Anda di halaman 1dari 48

REFERAT

CHRONIC KIDNEY DISEASE


(CKD) DAN GANGGUAN ELEKTROLIT

Disusun oleh :
Luthfia Prasetianingsih
406181079

Pembimbing
dr. Cristina Tarigan, Sp.PD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI
PERIODE 18 NOVEMBER 2019 – 26 JANUARI 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA

1
DAFTAR ISI

Pendahuluan iii
Anatomi Ginjal 1
Fisiologi Ginjal 3
Penyakit Ginjal Kronis
Definisi 12
Epidemiologi 13
Etiologi 14
Patofisiologi 15
Diagnosis 19
Kriteria 21
Penataksanaan 24
Prognosis 29
Gangguan Elektrolit
Air 12
Natrium 13
Kalium 14
Kalsium 15
Fosfor 19
Magnesium 21
Kesimpulan 30

2
BAB I
PENDAHULUAN

Ginjal merupakan organ penting yang mempunyai beberapa fungsi penting


tubuh, yaitu untuk membantu mengeluarkan zat sisa pada tubuh, mengendalikan
keseimbangan cairan tubuh, dan membantu dalam mengendalikan tekanan darah,
elektolit serta beberapa hormon pada tubuh. Gangguan pada ginjal dapat mengganggu
keseimbangan dalam tubuh, karena fungsinya yang bersifat sistemik.

Penyakit ginjal kronik(CKD) merupakan penyakit global dengan angka


kejadian yang terus meningkat dan membutuhkan biaya yang tinggi. Prognosis dari
CKD adalah buruk, perjalanannya terjadi secara perlahan yang pada akhirnya
mengakibatkan gagal ginjal. Hasil systematic review dan meta-analisis yang
dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan prevalensi global CKD sebesar 13,4%.
Menurut hasil Global Burden of Disease tahun 2010, CKD merupakan penyebab
kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18
pada tahun 2010. Sedangkan di Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan
ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung.
Penyakit ginjal kronik bukan merupakan penyakit mendasar, melainkan akibat dari
penyakit mendasar. Prevalensi CKD meningkat bersamaan dengan meningkatnya
jumlah usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi.

Salah satu fungsi utama ginjal adalah membantu tubuh untuk mengatur
keseimbangan elektrolit dalam tubuh. Penyakit ginjal kronik mengakibatkan ginjal
kehilangan kemampuan untuk berfungsi secara normal. Gangguan keseimbangan
elektrolit akibat penyakit ginjal kronik biasanya terjadi progresif, lamban dan samar.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Anatomi Ginjal


Makroskopis
Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium
(retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus
abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di
bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar
suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada
orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-
kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1%
berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram.
Ginjal kanan biasanya terletak
sedikit ke bawah dibandingkan
ginjal kiri untuk memberi
tempat lobus hepatis dextra
yang besar. Kedua ginjal
dibungkus oleh dua lapisan
lemak (lemak perirenal dan
lemak pararenal) yang
membantu meredam guncangan.

Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa,
terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla
renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex.
Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak
kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut
papilla renalis.

4
Hilus adalah pinggir medial
ginjal berbentuk konkaf sebagai
pintu masuknya pembuluh darah,
pembuluh limfe, ureter dan nervus.
Terdapat Pelvis Renalis berbentuk
corong yang menerima urin yang
diproduksi ginjal. Pelvis Renalis
terbagi menjadi dua atau tiga
kaliks renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga
kaliks renalis minores. Kaliks renalis masing-masing bertugas mengalirkan urin
dari setiap Medulla. Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut
piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun
dari segmen-segmen tubulus dan Duktus Kolektivus nefron. Papila atau apeks
dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan
bagian terminal dari banyak duktus kolektivus.1,2

Mikroskopis
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta
buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri
dari Kapsula Bowman, Tubulus Kontortus Proksimal, Lengkung Henle dan
Tubulus Kontortus Distal, yang berakhir padaDuktus Kolektivus.

5
Vaskularisasi Ginjal
Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra
lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak
disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut
bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya
membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola interlobularis yang tersusun
paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen
pada glomerulus.
Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang
membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler
peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam
jalinan vena selanjutnya menuju vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris,
dan vena renalis untuk akhirnya mencapai vena cava inferior.1

1.2. Fisiologi Ginjal


Fungsi ginjal :1,2
1. Mempertahankan keseimbangan H2O di dalam tubuh
2. Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh
3. Mengatur kuantitas dan konsentrasi sebagian besar ion ECF seperti sodium,
klorida, potasium, ion hidrogen, bikarbonat, dll
4. Mempertahankan volume plasma
5. Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa di dalam tubuh
6. Membuang produk akhir metabolisme tubuh
7. Membuang zat asing seperti obat-obatan, pestisida, dan material non-nutritive
lain yang masuk ke dalam tubuh
8. Memproduksi eritropoietin
9. Memproduksi renin
10. Mengubah vitamin D ke bentuk aktif

6
Proses Pembentukan Urin
 Filtrasi Glomerulus
Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi cairan dalam jumlah banyak dari
kapiler glomerulus ke kapsula bowman. Seperti kapiler pada umumnya,
kapiler glomerulus tidak permeable terhadap protein dan sel-sel sehingga hasil
filtrasi biasanya bebas protein dan sel darah.
Kapiler glomerulus disusun
oleh tiga lapisan yaitu endotel,
membrane basalis, dan lapisan
epithelial. Pada endotel kapiler
terdapat banyak rongga-rongga
yang disebut fenestrae.
Membran basalis yang terdiri
dari kolagen dan fibril
proteoglikan yang memiliki
rongga yang cukup besar untuk
dilalui air dan molekul kecil.
Lapisan terakhir dari
glomerulus adalah lapisan epitelium. Pada lapisan ini terdapat sel yang
disebut podosit—sel yang berbentuk seperti gurita dengan kaki-kakinya
menempel pada permukaan kapiler glomerulus. Kaki-kaki podosit akan
membentuk slit pores yang akan dilalui oleh hasil filtrasi glomerulus serta
mencegah ikut keluarnya protein plasma.
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) ditentukan oleh (1) penjumlahan tekanan
hidrostatik dan osmotic koloid yang akan menghasilkan tekanan filtrasi akhir.
(2) Koefisien LGF (Kf) Sehingga, secara matematis dapat dinyatakan sebagai
LFG = Kfx tekanan filtrasi akhir (net filtration pressure)
Sedangkan tekanan filtrasi akhir mempunyai perhitungan sbb ;
NFR = Tek hidrostatik glomerulus – tek kapsula bowman –tek onkotik glomerulus
(10 mmHg) (60 mmHg) (18 mmHg) (32 mmHg)

7
Tekanan hidrostatik kapiler dalam keadaan normal diperkirakan sekitar 60 mmHg.
Perubahan dari tekanan hidrostatik kapiler merupakan faktor terbesar dari perubahan
LFG. Tekanan hidrostatik kapiler glomerulus dipengaruhi oleh 3 hal berikut yaitu :(1)
tekanan arteri, (2) resistensi arteriolar afferent dan (3) resistensi arteriolar efferent.
Kenaikan tekanan dari arteri cenderung untuk menaikkan LFG namun jika terdapat
vasokonstriksi dari arteriola afferent, akan menimbulkan penurunan LFG. Aretriola
efferent memiliki efek yang bifasik terhadap LFG tergantung seberapa berat resistensi
yang terjadi. Jika terjadi vasokonstriksi sedang, maka akan terjadi sedikit peninggian
dari LFG, namun saat terjadi vasokonstriksi yang berat, akan terjadi penurunan pada
LFG.2

Berikut hal-hal yang dapat mempengaruhi LFG

8
Renal Blood Flow
Pada laki-laki dengan berat rata-rata 70 kg, ginjal mendapatkan pasokan darah
sebanyak 1100/ml per menitnya, atau sekitar 22% dari cardiac output. Aliran
darah ke ginjal yang sangat banyak ini bertujuan untuk mensuplai plasma
yang cukup agar bisa mendapatkan LFG yang tinggi yang dibutuhkan untuk
regulasi cairan tubuh dan konsentrasi cairan yang presisi. Adapun yang
mempengaruhi aliran darah ke ginjal adalah sebagai berikut
(Renal arterial pressure – Renal vein pressure)
Total Renal Vascular Resistance
Tekanan arteri renal umumnya hamper sama dengan tekanan arteri sistemik,
sedangkan tekanan vena renal umumnya berada 3-4 mmHg dari tekanan
arterinya. Sedangkan tekanan reisitensi renal total biasanya dipengaruhi oleh
arteri interlobularis, arteriola afferent dan efferent. Resistensi dari pembuluh
darah tersebut dipengaruhi oleh aktivitas simpatis maupun hormonal.2

Autoregulasi LFG dan Renal Blood Flow


Sistem autoregulasi yang dimiliki ginjal ini ditujukan untuk mempertahankan
LFG jika terjadi perubahan tekanan maupun aliran darah ke ginjal.
Mekanisme ini diatur oleh sebuah komplek yang bernama sel juxtaglomerular
yang memiliki kumpulan sel yang dinamakan macula densa.
Saat terjadi penurunan tekanan hidrostatik glomerulus ataupun penurunan
konsentrasi sodium clorida dalam darah, sel macula densa akan merespon
secara otomatis dengan melepaskan Renin dan mengakitfkan Renin
Angiotensin System atau dengan membuat arteriola afferent berdilatasi
2
sehingga didapatkan peningkatan dari LFG.

9
10
 Reabsorpsi
Tidak seperti filtrasi glomerulus yang tidak selektif dalam filtrasinya, pada
proses reabsorpsi merupakan proses yang sangat selektif. Beberapa
substansi seperti gukosa dan asam amino kembali diserap ulang sehingga
substansi tersebut hampir tidak ditemukan di urin. Beberapa produk
buangan seperti urea dan kreatinin umumnya hanya sedikit diresorpsi dan
lebih banyak dikeluarkan.

Proses reabsorbsi di tubulus menggunakan dua macam mekanisme yaitu2


 Transpor aktif
Pada sistem ini, reabsorbsi membutuhkan sumber energy yaitu
ATP yang akan dipasangkan secara langsung, seperti pada
transport sodium melalui Sodium-Potassium ATP pump yang
dikenal sebagai primary active transport dan secara tidak langsung
dengan substansi yang akan direabsorbsi. Ini dikenal sebagai
secondary active transport. Biasanya ini digunakan untuk
reabsorbsi glukosa.
Penyerapan sodium terjadi hampir disepanjang lumen tubulus,
namun pada tubulus contortus proximal terdapat brush border yang
melipat gandakan area penyerapan sebanyak 20 kali. Cara
penyerapan sodium dari lumen ke pembuluh darah dilakukan
melalui tiga tahapan yaitu
 Sodium berdifusi di sepanjang membran lumen ke dalam sel
sehingga terbentuk gradient elektrokemikal oleh sodium-potassium
ATP pump pada sisi basolateral sel.

11
 Sodium di transport sepanjang sisi basolateral menggunakan ATP
pump

 Sodium, air, dan substansi lainnya diserap dari intratubular lumen


ke pembuluh darah peritubular dengan cara ultrafiltrasi yang
dipengaruhi perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotic koloid.

Sedangkan pada secondary activetransport, yang terjadi adalah


substansi akan berikatan dengan membran protein spesifik
(molekul karier) dan ditranspor bersamaan melewati membran.

12
Misalnya pada transportasi sodium, dalam transpor tersebut akan
melepaskan energi saat melawan gradien elektrokemikal. Energi
tersebut akan digunakan substansi seperti glukosa untuk melawan
perbedaan atau gradien elekrtokemikal dalam membran. Namun,
dalam transportasi ini, terdapat batasan atau yang disebut transport
maksimum saat enzim atau protein karier tertentu sudah
melampaui batas maksimalnya untuk membawa suatu substansi.
Contohnya adalah pada penyerapan glukosa di tubulus proximal,
dimana tubulus memiliki batas maksimal penyerapan glukosa
sebanyak 375mg/menit. Jika glukosa yang difiltrasi melebihi batas
itu, maka glukosa dalam urin juga bisa ditemukan.

Pada setengah awal tubulus proximal, sodium ditransport bersaamaan


dengan glukosa, asam amino dan substansi lainnya. Namun pada setengah
akhir tubulus proximal, hanya sedikit glukosa yang diserap melainkan
clorida yang diserap lebih banyak karena konsentrasinya yang lebih tinggi.

Lengkung Henle (Ansa Henle)

Lengkung henle terbagi tiga bagian yaitu segmen tipis descendent,


segment tipis ascendent, dan segmen tebal ascendent. Pada segmen tipis,
seperti namanya, terdapat sedikit epitel tanpa adanya brush border, sedikit
mitokondria dan sedikit aktivitas metabolis yang terjadi.
Segmen tipis descendent sangat permeabel terhadap air dan cukup
permeabel terhadap zat-zat lainnya, termasuk urea dan sodium. Fungsi dari
bagian ini adalah sebagai media difusi sederhana melalui dindingnya.

13
Sekitar 20% cairan direabsorpsi di lengkung henle dan sebagian besar
terjadi di segmen ini.
Pada segmen ascendent yang tebal maupun tipis, sangat tidak permeabel
terhadap air, sehingga konsentrasi dari urin akan diatur oleh segmen
tersebut. Segmen tebal ascendent memiliki lapisan epitel yang cukup tebal
dan memiliki mitokondria yang cukup banyak serta brush border.
Sehingga pada segmen ini masih terjadi penyerapan sodium-chlorida serta
penyerapan ion-ion seperti kalsium, bikarbonat, magnesium, dan kalium.

 Sekresi
Bagian yang berfungsi utama dalam hal ini adalah tubulus distal. Bagian
paling awal dari tubulus distal membentuk kompleks jugxtaglomerular
yang berfungsi mengatur LFG. Bagian selanjutnya mempunyai struktur
yang mirip dengan segmen tebal ansa henle sehingga berfungsi juga untuk
penyerapan ion-ion namun tidak permeabel terhadap air dan urea. Bagian
akhir atau setengah akhir dari tubulus distal berfungsi untuk mensekresi
potasium dan ion hidrongen serta reabsorpsi bikarbonat. Pada bagian ini,
permeabilitasnnya dipengaruhi oleh hormon ADH, jika terdapat hormon
ADH, maka dinding tubulus distal akan sangat permeabel terhadap air.

14
Duktus Kolektivus
Pada tempat ini akan terjadi reabsorpsi kembali 10% air dan sodium, dan
merupakan tempat akhir dari proses pembentukan urin. Tempat ini
berperan penting dalam penentuan output air dan substasnsi urin.
Permeabilitan tubulus ini terhadap air juga dipengaruhi oleh hormon ADH,
permeabel terhadap urea dan mampu mensekresi ion hidrogen dalam
jumlah besar sehingga berperan penting dalam keseimbangan asam basa.2

1.3 Penyakit Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)

Penyakit ginjal kronik (CKD) adalah kondisi yang ditandai oleh hilangnya
fungsi ginjal secara bertahap dari waktu ke waktu atau penurunan lambat dan
progresif fungsi ginjal. Ini biasanya akibat komplikasi dari yang lain kondisi
medis yang serius. Tidak seperti gagal ginjal akut, yang terjadi dengan cepat dan
tiba-tiba, gagal ginjal kronis terjadi secara bertahap - selama minggu, bulan, atau
tahun - sebagai ginjal perlahan berhenti bekerja, yang mengarah ke stadium akhir
penyakit ginjal (End Stage Renal Disease).3,4

Definisi Penyakit Ginjal Kronik


Menurut KDIGO tahun 2012, penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai
kelainan struktur atau fungsional ginjal, yang berlangsung lebih dari 3 bulan dan
diklasifikasian berdasarkan kausa, kategori LFG, dan kategori albuminuria3

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik


Marker dari kerusakan ginjal Albuminuria (AER ≥ 30 mg/g [ >3mg/mmol])
(Satu atau lebih) Abnormalitas sedimen urin
Kelainan elektrolit atau kelainan lainnya karena
adanya gangguan pada tubulus
Abnormalitas secara histologi
Kelainan struktur dengan pencitraan
Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan GFR GFR < 60 ml/min/1.73 m2 (kategori G3a-G5)

15
Epidemiologi Penyakit Ginjal Kronik
Di Amerika Serikat, ada meningkatnya insiden dan prevalensi gagal ginjal,
dengan hasil yang buruk dan biaya tinggi. Penyakit ginjal adalah penyebab utama
kematian kesembilan di Amerika Serikat. Nasional Ketiga Kesehatan dan Survey
(NHANES III) memperkirakan bahwa prevalensi penyakit ginjal kronis pada
orang dewasa di Amerika Serikat adalah 11% (19,2 juta): 3,3% (5,9 juta) memiliki
tahap 1, 3% (5,3 juta) harus tahap 2, 4,3% (7,6 juta) memiliki stadium 3, 0,2%
(400.000) memiliki stadium 4, dan 0,2% (300.000) memiliki tahap 6.
Prevalensi penyakit ginjal kronis tahap 1-4 meningkat dari 10% pada tahun
1988-1994 menjadi 13,1% pada 1999-2004. Peningkatan ini sebagian dijelaskan
oleh peningkatan prevalensi diabetes dan hipertensi, yang merupakan penyebab
paling umum dari penyakit ginjal kronis. Data dari Amerika Serikat Renal Data
System (USRDS) menunjukkan bahwa prevalensi gagal ginjal kronis meningkat
104% antara tahun 1990-2001.
Menurut ketiga Kesehatan Nasional dan Survei Pemeriksaan Gizi,
diperkirakan bahwa 6,2 juta orang (yaitu 3% dari total penduduk AS) lebih tua
dari 12 tahun memiliki nilai kreatinin serum di atas 1,5 mg / dL; 8 juta orang
memiliki GFR kurang dari 60 mL / menit, mayoritas dari mereka berada di
populasi Medicare senior (5,9 juta orang).
Tingkat kejadian stadium akhir penyakit ginjal (ESRD) telah terus meningkat
secara internasional sejak tahun 1989. Amerika Serikat memiliki tingkat kejadian
tertinggi ESRD, diikuti oleh Jepang. Jepang memiliki prevalensi tertinggi per juta
penduduk, dengan Amerika Serikat menempati posisi kedua.5

16
Etiologi
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe 1
dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan
kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh
darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan darah yang jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan
jantung, stroke, dan penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat
menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada
ginjal antara lain :
 Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat menyebabkan
inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit
ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik
 Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan
pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis
tubulus.
 Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim si
ibu. Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran
balik urin ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada
ginjal.
 Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%)
 Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran
glandula prostat pada pria danrefluks ureter
 Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.
Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen
(Motrin, Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati
analgesik sehingga berakibat pada kerusakan ginjal
 Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri
renalis
 Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell,
penyalahgunaan heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan kanker.

17
Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakityang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kuranglebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa
ginjal mengakibatkanhipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa. Hal ini mengakibatkanterjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darahglomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh prosesmaladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikutidengan penurunan fungsi
nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisasetelah kerusakan
ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefronyang masih
utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadilingkaran setan
hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikianseterusnya,
keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan GagalGinjal
Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya
peningkatanaktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi
sistemik, nefrotoksindan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut
memberikan kontribusiterhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi
 Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan
penurunanproduksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses
pembentukan eritrositmenimbulkan anemia ditandai dengan
penurunan jumlah eritrosit, penurunankadar Hb dan diikuti dengan
penurunan kadar hematokrit darah. Selain ituGGK dapat
menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati
uremikum)yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna.
Adanya toksik uremik pada GGK akan mempengaruhi masa paruh
dari sel darah merah menjadipendek, pada keadaan normal 120 hari
menjadi 70 –80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek
inhibisi eritropoiesis

18
 Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat
penurunankemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+disertai
dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma.
Patogenesis asidosis metabolik padagagal ginjal kronik meliputi
penurunan eksresi amonia karena kehilangansejumlah nefron,
penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonatmelalui
urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah.
Apabilapenurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan
asidosis metabolik.Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala
saluran cerna seperti mual,muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu
gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul
yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon
dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis
 Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal
sehinggamenyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi
iskemik ginjal. Haltersebut menyebabkan terjadinya pelepasan
renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga
mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh
converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin
II.Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga
meningkatkantekanan darah.
 Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak
bebas olehginjal sehingga menyebabkan hyperlipidemia
 Hiperuricemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di
dalamdarah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan
menyebabkanpengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi
akan terlihatmembengkak, meradang dan nyeri

19
 Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran
hormonpeptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi
natrium pada tubulusginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk
disertai dengan penurunan jumlahnefron, natriuresis akan
meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensiair yang
berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan
ekstraseluler.Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan
saluran pencernaan berupakram, diare dan muntah
 Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat
sehinggafosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika
kelarutannyaterlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca2+untuk
membentuk kalsiumfosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang
terpresipitasi akan mengendap disendi dan kulit ( berturut-turut
menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)
 Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+membentuk kompleks dengan fosfat.
Keadaanhipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar
paratiroid sehinggamemobilisasi kalsium fosfat dari tulang.
Akibatnya terjadi demineralisasitulang (osteomalasia). Biasanya
PTH mampu membuat konsentrasi fosfat didalam plasma tetap
rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadimeskipun
terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di
plasmatidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+dapat meningkat.
Namun padainsufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak
dapat ditingkatkan sehinggakonsentrasi fosfat di plasma meningkat.
Selanjutnya konsentrasi CaHPO4terpresipitasi dan konsentrasi
Ca2+di plasma tetap rendah. Oleh karena itu,rangsangan untuk
pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaanperangsangan
yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi

20
bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelainan yang
berkaitandengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi
renal danhiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain
terdapat di ginjaldan tulang, juga terdapat di banyak organ lain
( sistem saraf, lambung, seldarah dan gonad), diduga PTH berperan
dalam terjadinya berbagai kelainan diorgan tersebut.Pembentukan
kalsitriol berkurang pada gagal ginjal juga berperandalam
menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon
inimerangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena
terjadipenurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya
absorpsi fosfat di usus,hal ini memperberat keadaan hipokalsemia.
 Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion
H+plasmameningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke
dalam sel– sel ginjalsehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ke
dalam plasma. Peningkatankonsentrasi ion H+dalam sel ginjal akan
menyebabkan peningkatan sekresihidrogen, sedangkan sekresi
kalium di ginjal akan berkurang sehinggamenyebabkan
hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium iniberkaitan
dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos
sehinggadapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks
tendon dalam,gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan
mental.
 Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari
kerusakanginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan
hipertensi. Proteinuriaglomerular berkaitan dengan sejumlah
penyakit ginjal yang melibatkanglomerulus. Beberapa mekanisme
menyebabkan kenaikan permeabilitasglomerulus dan memicu
terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekulprotein berukuran
besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebasmelewati
membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan

21
terjadipengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebut dengan
sindrom nefrotik
 Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari
uremia pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada
ginjal sehingga dapatterjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea
dalam urin dapat berdifusi kealiran darah dan menyebabkan
toksisitas yang mempengaruhi glomerulus danmikrovaskularisasi
ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurangdari 10%
dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien
akanmenunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan
neurologis, nafasseperti amonia (fetor uremikum), perikarditis
uremia dan pneumonitis uremik.Gangguan pada serebral adapat
terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggidan menyebabkan
koma uremikum

Diagnosis
 Gejala Klinis
Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara perlahan.
Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya
dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan
berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan
kadar ureum darah semakin tinggi (uremia).

Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala – gejala fisik yang


melibatkan kelainan berbagai organ seperti :
 Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan
fetor uremik
 Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
 Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah

22
 Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada,
edema
 Gangguan kelamin: libido menurun, nokturia, oligouria

Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum
merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan
pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan
berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala
dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah
15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain
dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai
pada stadium gagal ginjal

23
 Kriteria Diagnosis CKD
Kriteria Kesan
Durasi > 3 bulan, berdasarkan riwayat Durasi dibutuhkan untuk membedakan CKD dengan AKI. Evaluasi secara klinis
dokumentasi atau tindakan biasanya dapat menunjukkan adanya dokumentasi dari durasi
GFR <60 ml/min/1.73m2 GFR merupakan indeks terbaik untuk melihat fungsi dan kelainan pada ginjal
(GFR categories G3a-G5)  GFR normal untuk dewasa muda sekitar 125 ml/min/1.73m2, GFR < 15
didefinisikan sebagai gagal ginjal
 Penurunan GFR dapat dilihat dari perhitungan Serum Creatinin atau Cystatin
C, namun tidak dengan Serum Creatinin atau Cystatin C saja
 Penurunan GFR dapat dikonfirmasi dengan mengkur GFR, jika dibutuhkan
Kerusakan Ginjal didefinisikan Albuminuria merupakan tanda dari kerusakan ginjal (kenaikan permeabilitas
sebagai abnormalitas struktural atau glomerulus) AER >30mg/24 jam kurang lebih sama dengan ACR > 30mg/g
fungsional selain kelainan pada GFR (>3mg/mmol)
 Normal ACR urine orang dewasa sehat adalah < 10mg/g

Sedimen urin dapat menandakan adanya kelainan ginjal


 Microhematuria dengan adanya kelainan morfologi sel darah merah
(anisositosis) pada kelainan GBM
 Silider sel darah merah pada glomerulonephritis poliferatif
 Silinder sel darah putih pada pyelonephritis atau interstisial nephritis
 Oval fat bodies atau silinder lemak pada penyakit dengan proteinuria
 Silinder granular dan sel tubulus ginjal pada banyak penyakit parenkim ginjal
Kelainan Tubulus Ginjal
 Renal tubular acidosis
 Nephrogenic diabetes incipidus
 Fanconi syndrome
 Renal potassium wasting

24
 Renal sodium wasting
 Non-albumin proteinuria
 Cystinuria
Kelainan Patologis yang dideteksi dengan pemeriksaan histologi atau pemeriksaan
lainnya
 Penyakit glomerular (diabetes, autoimun disease, systemic infections,
drugs,neoplasia)
 Penyakit vaskular (atherosclerosis, hypertension, ischemia, vasculitis,
thromboticmicroangiopathy)
 Penyakit tubulointerstitial (urinary tract infections, stones, obstruction,
drugtoxicity)
 Cystic and congenital diseases
Kelainan structural yang menandakan kerusakan ginjal dengan pencitraan
 Polycystic kidney
 Dyplastic kidney
 Hydronephrosis karena obstruksi
 Kerusakan kortikal yang disebabkan oleh infarct, pyelonephritis, atau
vesicourethral reflux
 Massa ginjal atau pembesaran ginjal karena penyakit infiltrative
 Renal artery stenosis
 Ginjal kecil dan hipoechoic
Riwayat Transplantasi Ginjal

25
Staging dari PGK
Direkomendasikan untuk mengklasifikasikan PGK berdasarkan kausa, kategori
GFR, dan albuminuria3
Kategori GFR
Kategori GFR GFR (ml/min/1.73 m2) Kesan
G1 ≥ 90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Sedikit menurun*
G3a 45–59 Penurunan sedikit sampai sedang
G3b 30–44 Penurunan sedang sampai berat
G4 15–29 Penurunan berat
G5 ≤15 Gagal Ginjal
*Relatif pada dewasa muda
Tanpa adanya bukti kerusakan ginjal, G1 dan G2 tidak memenuhi kriteria PGK

Kategori Albuminuria
Kategori AER ACR Kesan
(mg/24h) (mg/mmol) (mg/g)
A1 <30 <3 <30 Normal sampai sedikit kenaikan

A2 30-300 3-30 30-300 Kenaikan sedang


A3 >300 >30 >300 Kenaikan berat

Rumus Perhitungan GFR

 Metode dengan menggunakan Inulin Clearance


 Creatinin Based GFR
Ucr : kreatinin urin Pcr : Plasma Creatinin
V : Volume urin

26
Prediksi GFR (estimatedGFR)
 Rumus Cockcroft-Gault

Constant : 1.23 untuk laki-laki, 1.04 untuk perempuan

 Rumus MDRD (Modification Diet in Renal Disease)

 Rumus CKD-EPI

Scr k : 0.7 untuk perempuan dan 0.9 untuk laki-laki

 Rumus Mayo Quadratic

Jika SCr < 0.8, gunakan 0.8 untuk SCr

 Rumus GFR untuk Pediatri

Pemeriksaan Penunjang
 Gambaran Radiologi
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
o Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak
o Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan
o Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi

27
o Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi
o Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal,
dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil
terapi yang sudah diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang mengecil,
ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas

Komplikasi
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut :
- Hiperkalemia
- Asidosis metabolik
- Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )
- Kelainan hematologi (anemia)
- Osteodistrofi renal
- Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati)
- Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik

Penatalaksanaan
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari
normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
untuk mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan
pasien.

28
3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus
adalah :

o Pembatasan asupan protein


Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di
pecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
dieksresikan melalui ginjal selain itu makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion anorganik lainnya
juga dieksresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada penderita gagal ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan
mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat
selalu berasal dari sumber yang sama dan untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia. Berikut ini batasan protein yang dapat diberikan
sesuai dengan tingkat GFR pasien :

Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik


LGF ml/menit Asupan protein Fosfat g/kg/hari
g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6 – 0,8/kg/hari < 10 g
5-25 0,6 – 0,8/kg/hari < 10 g
< 60 (sind. Nefrotik) 0,8/kg/hari <9g

o Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi (ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk
memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus

29
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi, pengedalian
dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
5. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi
o Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g%
atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar
besi serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ total iron binding
capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian eritropoitin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah 11 – 12
g/dl.
o Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
i. Mengatasi hiperfosfatemia
 Pembatasan asupan fosfat 600 – 800 mg/hari
 Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium,
alluminium hidroksida, garam magnesium. Diberikan
secara oral untuk menghambat absorpsi fosfat yang berasal
dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah
kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium acetate
 Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat
menghambta reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan
nama sevelamer hidrokhlorida.
ii. Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal
dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal karena dapat
meningkatkan absorpsi fosfat dan kaliun di saluran cerna sehingga
mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di jaringan
yang disebut kalsifikasi metastatik, disamping itu juga dapat

30
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar
paratiroid.
iii. Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan
kompikasi kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air yang
masuk dianjurkan 500 – 800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit
yang harus diawasi asuapannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat
mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu,
pemberian obat – obat yang mengandung kalium dan makanan
yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi.
Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 – 5,5 mEq/lt. Pembatasan
natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan
tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15
ml/mnt. Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

Prognosis
UmumnyaPenyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang
dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK
itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai
mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya
seringkali terlambat. Menurut KDIGO predikisi prognosis pada CKD bisa dilihat
dengan menggunakan GFR dan albuminuria yang terjadi pada pasien seperti pada
tabel di bawah ;

31
Tabel yang terarsir dengan warna hijau memiliki kemungkinan yang lebih rendah
untuk jatuh menjadi kegagalan ginjal, sedangkan yang berwarna merah memiliki
resiko lebih tinggi untuk menjadi gagal ginjal.3

1.4 Gangguan Elektrolit


Air
Air adalah salah satu zat penyusun tubuh, sekitar 50% dari berat badan
pada wanita dan 60% pada pria. Air terdistribusi pada dua kompartemen, yaitu 55-
75% pada intraseluler (cairan intraseluler [CIS]), dan 25-45% pada kompartemen
ekstraseluler (cairan ekstraseluler [CES]). CES kemudian terbagi menjadi ruang
intravaskular dan ekstravaskuler dengan rasio 1:3. Perpindahan cairan antara
ruang terjadi di sepanjang dinding kapiler dan ditentukan oleh kekuatan Starling.
Osmolalitas cairan tubuh manusia antara 280 dan 295 mOsm / kg di
pertahankan dengan bantuan sekresi vasopresin, konsumsi air, dan transportasi air
ginjal. Vasopresin (AVP) disintesis dalam neuron magnoseluler dalam
hipotalamus, akson distal dari neuron menuju ke hipofisis posterior atau

32
neurohypophysis, kemudian AVP dilepaskan ke sirkulasi. Sebuah jaringan neuron
"osmoreseptor" pusat, yang meliputi neuron-neuron magnoseluler yang
mengekspresikan AVP sendiri, menangkap sinyal melalui saluran-saluran kation.
Neuron osmoreseptor ini diaktivasi atau dihambat oleh peningkatan sederhana dan
penurunan sirkulasi osmolalitas, aktivasi menyebabkan pelepasan AVP dan rasa
haus.5
Air berpindah dari daerah dengan tekanan osmotik lebih rendah ke daerah
dengan tekanan lebih tinggi. Normalnya, osmolalitas cairan ekstra dan intrasel
adalah sama. Kandungan air intrasel lebih banyak oleh karena jumlah kalium total
dalam tubuh lebih besar dari jumlah natrium total dalam tubuh. Natrium, kalium,
glukosa bebas berpindah antara interstisium dan intravaskular (plasma), sehingga
ketiga osmol ini tidak bperangaruh terhadap perpindahan air dari interstisium ke
dalam plasma atau sebaliknya. Protein dalam plasma yaitu albumin tidak mudah
berpindah sehingga albumin adalah osmol utama yang mempengaruhi tekanan
osmotik di intravaskular. Sehingga perpindahan air dari intravaskular ke
interstitium atau sebaliknya sangat diperngaruhi oleh kadar albumin dalam plasma.
Beberapa keadaan gangguan keseimbangan air antara lain, dehidarasi,
hipovolemia, hipervolemia, dan edema.
- Dehidrasi
Dehidrasi adalah keadaan dimana berkurangnya volume air saja atau
berkurangny air jauh melebihi berkurangnya natrium dalam cairan
ekstrasel atau keluarnya cairan hipotonik berlebihan dari ekstrasel yang
mengakibatkan peningkatan natrium ke ekstrasel (hipernatremia).
Dehidrasi melibatkan pengurangan cairan intra dan ekstrasel secara
bersamaan dimana 40% dari ekstrasel dan 60% dari intrasel. Cairan keluar
melalui keringat, penguapan dari kulit, saluran intestinal, diabetes
insipidus (sentral dan nefrogenik), diuresis osmotik, yang kesemuanya
disertai rasa haus.
- Hipovolemia
Hipovolemia adalah berkurangnya volume cairan ekstrasel tanpa
pengurangan volume cairan intrasel. Dapat terjadi karena kehilangan air
dan natrium secara bersamaan melalu intestinal seperti muntah, diare,

33
perdarahan atau melalui pipa sonde, bisa karena pengaruh penggunaan
diuretik, hipoaldosteronisme, dapat terjadi karena kehilangan air saja atau
cairan hipotonik secara berlebihan melalui kulit dan saluran napas melalui
keringat, luka bakar, atau pada diabetes insipidus sehingga volume cairan
ekstrasel berkurang
Pencegahan dapat dilakukan dengan menanggulangi penyakit mendasar
dan penggantian cairan yang hilang. Kecepatan cairan diberikan
disesuaikan dengan kecepatan hilangnya volume. Jenis cairan tergantung
jenis cairan yang keluar. Pada perdarahan diganti dengan darah, apabila
persediaan tidak ada dapat diberikan cairan kolid atau cairan kristaloid
seperti NaCl isotonis atau cairan ringer-laktat. Cairan koloid tetap tertahan
pada intravaskular, sedangkan cairan kristaloid akan masuk sebanyak dua
pertiga ke interstitium. Pada diare lebih dianjurkan diberi ringer laktat
karena potensi terjadi asidosis metabolik pada diare berat.

Tabel 2.4 Derajat hipovolemia


Derajat Hipovolemia Volume plasma Gejala klinis
Ringan ≤20% atau ≤ 1,2% BB Takikardia
Sedang 20-40% atau 1,2- Takikardia dan
2,4 % BB hipotensi ortostatik
Berat ≥40 atau ≥2.4% BB Hipotensi, takikardia,
oliguria, agitasi,
pikiran kacau

- Hipervolemia
Hipervolemia adalah suatu keadaan dimana terjadinya peningkatan volume
cairan ekstrasel khususnya intravaskular (volume overload) melebihi
kemampuan tubuh mengeluarkan air melalui ginjal, saluran intestinal, kulit.
Keadaan diperberat dengan gangguan pada otot jantung (gagal jantung
kongestif) atau pada gangguan fungsi ginjal berat (penyakit ginjal kronik
stadium IV dan V atau pada gangguan ginjal akut)

34
Penanggulangan dapat diberikan diuretik kuat seperti furosemid dan
dilakukan restriksi asupan air. Asupan air hanya sebanyak 40ml/jam.
Pembatasan cairan pada CKD stadium-5 bertujuan untuk mencegah
hiponatremia.
- Edema
Edema adalah suatu pembengkakan yang dapat diraba akibat penambahan
volume cairan interstisium. Dua faktor penyebab antara lain perubahan
hemodinamik dalam kapiler yang memungkinkan keluarnya cairan
intravaskular ke dalam jaringan interstisium, retensi natrium di ginjal.
Hemodinamik dalam kapiler dipengaruhi oleh permeabilitas kapiler,
selisih tekanan hidrolik dalam kapiler dengan tekanan hidrolik dalam
interstisium, selisih tekanan onkotik dalam plasma dengan tekanan onkotik
dalam interstisium.
Edema paru dapat diberikan diuretik. Selain itu dapat direstriksi asupan
natrium untuk meminimalisasi retensi air. Pada edema akibat gagal
jantung pengeluaran cairan dapat dikeluarkan sebanyak 2-3 liter dalam 24
jam tidak akan mengurangi perfusi, sedangkan pada asites dapat dilakukan
secara lambat, karena apabila dilakukan dengan cepat akan terjadi
penurunan perfusi jaringan dan menimbulkan kenaikan ureum atau
sindrom hepato-renal dan dapat menyebabkan ensefalopati hepatikum.3

Natrium
Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh.
Perubahan kadar natrium dalam cairan ekstrasel memengaruhi kadar hormon
terkait seperti hormon antidiuretik (ADH), sistem RAA, atrial natriuretic peptide
(ANP), brain natruretic peptide (BNP). Naik turunnya ekskresi natrium dalamm
urin diatur oleh filtrasi glomerulus dan reabsorpsi oleh tubulus ginjal. Peningkatan
volume dan peningkatan asupan natrium akan meningkatkan laju filtrasi
glomerulus. Sebanyak 60-65% natrium yang difiltrasi direabsorpsi di tubulus
proksimal, 25-30% di lengkung henle, 5% di tubulus distal dan 4% di duktus
kolingentes. Kadar natrium normal dalam tubuh adalah 135-145 mEq/L.

35
1. Hiponatremia
Keadaan dimana konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/ L. Respon
fisiologis dari hiponatremia adalah tertekannya pengeluaran ADH dari
hipotalamus sehingga eksresi urin meningkat. Hiponatremi terjadi bila
jumlah asupan air melebihi kemampuan ekskresi, ketidakmampuan
menekan eksresi ADH. Hiponatremia digolongkan menjadi:
 Hiponatremi dengan osmolalitas plasma rendah dan ADH meningkat:
Gangguan pemekatan di nefron sehingga osmolalitas urin meningkat,
lebih dari 100 mosm/kgH2O
- ADH meningkat karena deplesi volume sirkulasi efektif, seperti
pada: muntah, diare, perdaraham, jumlah urin meningkat, gagal
jantung, sirosis hati, dsb.
- ADH meningkat pada syndrome of inappropiate ADH-
secretion (SIADH).
 Hiponatremi dengan osmolalitas plasma rendah serta ADH tertekan
fisiologis.
- Tidak ada gangguan pemekatan pada nefron sehingga
osmolalitas urin rendah < 100 mosm/kg H2O
- Polidipsia primer atau gagal ginjal merupakan keadaan dimana
ekskresi air lebih rendah dibanding dengan asupan air yang
menimbulkan respons fisiologis menekan sekresi ADH.
 Hiponatremi dengan osmolalitas plasma normal atau tinggi
- Tingginya osmolalitas plasma pada keadaan hiperglikemi
menyebabkan cairan intrasel keluar dari sel.
- Pemberian cairan isoosmoik tidak mengandung natrium ke
dalam cairan ekstrasel.
 Berdasarkan waktu hiponatremi terbagi menjadi:
o Hiponatremi akut (<48 jam): Terjadi gejala berat seperti penurunan
kesadaran ataupun kejang akibat edema sel otak karena air dari
ekstrasel masuk ke intrasel yang osmolalitas nya lebih tinggi.
o Hiponatremi kronik (>48 jam): Umumnya tidak terjadi gejala berat
Tatalaksana hiponatremia:

36
o Anamnesa teliti.
o Pemeriksaan fisik teliti.
o Pemeriksaan gula darah, lipid darah.
o Pemeriksaan osmolalitas darah.
o Pemeriksaan osmolalitas urin.
o Pemeriksaan natrium, kalium, dan klorida dalam urin.
o Bedakan akut atau kronik.
o Hiponatremi akut: koreksi Na dilakukan dengan cepat dengan
pemberian larutan natrium hipertonik intravena. Kadar natrium
dinaikan 5mEq/L dari kadar natrium awal dalam waktu 1 jam.
Setelah itu kadar natrium dinaikan sebesar 1 mEq/Lsetiap satu
jam sampai kadar natrium darah mencapai 130 mEq/L. Rumus
untuk mengetahui jumlah natrium dalam larutan natrium
hipertonik yang diberikan adalah: 0,5 x berat badan (kg) x delta
Na (selisih kadar natrium yang diinginkan dengan kadar
natrium awal)
o Hiponatremi kronik: koreksi Na dilakukan perahan, yaitu
sebesar 0,5 mEq/L setiap 1 jam maksimal 10 mEq/L dalam
waktu 24 jam.3

2. Hipernatremia
Keadaan dimana konsentrasi natrium plasma >145 mEq/L. Respon
fisiologis hipernatremia adalah meningkatnya pengeluaran ADH dari
hipotalamus sehingga eksresi urin berkurang. Hipernatremia terjadi bila:
 Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi
natrium.
 Penambahan natrium melebihi jumlah cairan dalam tubuh (koreksi
bikarbonat pada asidosis metabolik).
 Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel (olahraga berat, asam laktat
sel meningkat)3
Gejala hipernatremi merupakan akibat mengecilnya volume otak
akibat air keluar dari dalam sel yang menyebabkan robeknya vena

37
menyebabkan perdrahan lokal di otak, selin itu berupa letargi, lemas,
kejang, kenaikan akut >180 mEq/L dapat menyebabkan kematian.
Tatalaksana hipernatremi dengan menentukan etiologi. Pada diabetes
insipidus sasaran pengobatan adalah mengurangi volume urin. Bila
penyebabnya asupan natrium berlebih, hentikan pemberian natrium.
Pengobatan dilakukan dengan koreksi cairan berdasarkan perhitungan
jumlah defisit cairan.3

Kalium
Kalium merupakan adalah salah satu kation terbanyak dalam tubuh dan
terbanyak di intrasel. Kalium berperan dalam sintesis protein, pengeluaran
hormon, transpor cairan, mekanisme kontraksi otot, konduksi saraf, serta
perkembangan janin. Untuk menjaga kestabilan kalium di intrasel diperlukan
keseimbangan elektrokimia, yaitu keseimbangan antara kemampuan muatan
negatif dalam sel untuk mengikat kalium dan kekuatan kimiawi untuk mendorong
kalium keluar dari sel. Keseimbangan ini menghasilkan kadar kalium yang kaku
dalam plasma antara 3,5 – 5 mEq/L.3
1. Hipokalemia
Keadaan dimana kadar kalium < 3,5 mEq/L. Penyebab hipokalemia
biasanya adalah asupan kalium yang kurang, pengeluaran yang berlebihan
dapat melalui keringat, saluran cerna atau ginjal, banyaknya kalium yang
masuk ke dalam sel. Pada keadaan muntah atau pemakaian selang
nasogastrik kalium pengeluaran bukan melalui saluran cerna karena kadar
kalium dari lambung hanya sedikit (5-10 mEq/L), tetapi kebanyakan
kalium keluar melalui ginjal akibat alkalosis metabolik sehingga hal ini
menyebabkan banyak bikarbonat yang difiltrasi glomerulus disertai tidak
direabsorpsi oleh tubulus yang nantinya akan mengikat kalium di duktus
kolingentes. Selain itu, peningkatan berlebihan aldosteron sekunder dari
hipovolemia akibat muntah akan meningkatkan ekskresi kalium melalui
saluran kalium di duktus kolingentes. Semua hal tersebut yang akan
meningkatkan ekskresi kalium melalui urin dan terjadi hipokalemi. Selain
itu, pengeluaran kalium yang banyak melalui ginjal dapat disebabkan oleh

38
pemakaian diuretik, berlebihnya hormon mineralkortikoid/
hiperaldosteronisme, anion yang tidak dapat di reabsorpsi berikatan
dengan natrium yang berlebihan dalam tubulus menyebabkan duktus
kolingentes bermuatan lebih negatif dan menarik kalium masuk ke lumen
kemudian dikeluarkan melalui urin.
Gejala klinis yang terjadi pada hipokalemi dapat berupa kelemahan pada
otot, perasaan lelah, apabila kalium <3mEq/L timbul gejala restless legs
syndrome, aritmia berupa timbulnya fibrilasi atrium. Selain itu dapat juga
terjadi takikardi ventrikuler, yang merupakan akibat perlambatan
repolarisasi ventrikel pada hipokalemi. Kadar kalium urin sewaktu < 15
mEq/L menunjukan adanya pembuangan kalium berlebihan ekstrarenal.
Kadar kalium urin sewaktu > 15 mEq/L menunjukan pembuangan kalium
berlebihan melalui ginjal.
Hipokalemi disertai rasa antara kadar kalium dan kreatinin urin sewaktu
<13 mEq/g kreatinin menunjukan adanya asupan kalium yang kurang dari
makanan, tranlokasi kalium dari ekstrasel ke intrasel, kehilangan kalium
melalui gastrointestinal atau karena penggunaan diuretika. Hipokalemia
disertai rasio kreetinin urin sewaktu >13mEq/g kreatinin menunjukan
adanya pengeluaran urin berlebihan melalui ginjal. Penilaian ekskresi
kalium melalui dalam urin dapat dinilai dengan TTKG (Transtubular
Pottasium Concentration Gradient). TTKG menunjukan estimasi kadar
kalium dalam cairan tubulus tepatnya pada akhir duktus kolingentes
bagian kortikal. Rumus TTKG adalah:
TTKG= [urin [K] : (Osmolalitas Urin/ Osmolalitas Plasma)] : Plama [K]
Nilai normal TTKG adalah 8-9. TTKG> 11 menunjukan ekskresi kalium
emningkat, < 11 menujukan peningkatan eksresi kalium ekstrarenal.
TTKG lebih dari normal juga menunjukan aktivitas aldosteron meningkat.

Tatalaksana hipokalemia:
1. Indikasi mutlak: pasien pengobatan digitalis, ketoasidosis metabolik,
kelemahan otot pernapasan, hipokalemia berat (<2mEq/L).

39
2. Indikasi kuat: insufisiensi koroner/ iskemia otot jantung, ensefalopati
hepatikum, pemakaian oba yang dapat menyebabkan perpindahan kalium
ekstrasel ke intrasel.
3. Indikasi sedang: hipokalemia ringan (3-3,5 mEq/L)
o Pemberian kalium oral 40-60 mEq dapat meningkatkan kadar kalium 1-
1,5mEq/L. Pemberian 1-1,5 mEq/L menaikan kadar kalium 2,5-3,5 mEq/L.
o Pemberian kalium intravena dalam bentuk larutan KCl disarankan melalui
vena yang besar dengan kecepatan 10-20 mEq/ jam. Pada keadaan aritmia
yang berbahaya atau kelumpuhan otot pernapasan dapat diberikan dengan
kecepatan 40-100 mEq/ jam. KCl dilarutkan sebanyak 20 mEq dalam 100
NaCl isotonik. Bila melalui vena perifer 60 mEq dalam 1000 cc NaCl
isotonik, sebab melebihi ini akan menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan sklerosis vena.

2. Hiperkalemia
Hiperkalemia adalah kadar kalium plasma mencapai >5 mEq/L.
Penyebabnya adalah keluarnya kalium dari intrasel ke ekstrasel, dapat juga
dikarenakan berkurangnya eksresi kalium melalui ginjal. Hiperkalemia
dapat menyebabkan peningkatan kepekaan membran sel sehingga dengan
sedikit perubahan depolarisasi, potensial aksi akan lebih mudah terjadi.
Gejala yang muncul ditemukan biasanya akibat gangguan konduksi listrik
jantung, kelemahan otot, paralisis, dapat juga berupa sesak napas. Gejala
ini timbul bila kadar kalium>7 mEq/L atau kenaikan terjadi dalam waktu
cepat.
Tatalaksana hiperkalemia:
o Dapat diberikan kalsium intravena untuk melindungi membran sel dari
pengaruh kalium. Kalsium glukonat biasanya diberikan 10 ml/2-3
menit dengan pemantauan EKG. Pemberian kalsium dapat diulang
setelah 5 menit apabila dalam EKG masih terdapat kelainan akibat
hiperkalemia.
o Mengembalikan kalium kembali dari ekstrasel ke intrasel, dengan cara:

40
o Pemberian insulin 10 unit dalam glukosa 40%, 50 ml bolus
intravena, lalu diikuti ddengan infus dekstrosa 5% untuk
mencegah hipoglikemi. Pemberian insulin bertujuan memicu
pompa Na-K ATPase dalam memasukan kalium ke dalam sel,
sedangkan glukosa/ dekstrosa akan memicu pengeluaran
insulin endogen.
o Pemberian Na Bikarbonat yang akan membantu meningkatkan
pH sistemik. Peningkatan pH akan merangsang ion H keluar
dari dalam sel dan menyebabkan ion K masuk ke dalam sel.
Dalam keadaan tanpa asidosis metabolik Na bikarbonat
diberikan 50 meq iv selama 10 menit.
o Pemberian β2 agonis, dapat diberikan secara inhalasi atau
tetesan intravena. β2 agonis akan merangsang pompa NaK-
ATPase, kalium masuk ke dalam sel. Pilihan β2 agonis dapat
diberikan albuterol diberikan 10-20 mg
o Mengeluarkan kalium dari dalam tubuh dengan pemberian
diuretik, resin penukar, hemodialisa.3

Kalsium
Kalsium dalam tubuh terbagi dalam beberapa bagian, sebanyak 40% kalsium
dalam plasma terikat oleh protein, 15% membentuk kompleks dengan sitrat, sulfat
dan fosfat, 45% sebagai kalsium ion bebas. 80-90% kalsium yang terikat dengan
protein berikatan dengan albumin. Kalsium ion bebas merupakan kalisum aktif
secara biologis, kadar dalam plasma sebesar 4 mg/dl-4,9 mg/dl atau 45% dari
kadar kalsium total dalam plasma. Keseimbangan kalsium berkaitan dengan
absorpsi usus, ekskresi dalam urin dan faktor hormonal. Absorpsi kalsium pada
duodenum dan jejunum membutuhkan vitamin-D. Kalsitriol yang bersikulasi
dalam darah dan hasil filtrasi oleh glomerulus merupakan pengatur utama absorpsi
kalsium di usus. Hormon paratiroid berperan utama dalam mengatur kadar
kalsium dalam darah dengan menghambat reabsorpsi kalsium di tubulus
proksimal dan meningkatkan reabsorpsi di tubulus distal sehingga hasil akhir

41
adalah menurunkan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kadar kalsium dalam
darah dapat meningkat.

1. Hipokalsemia
Etiologi:
- Defisiensi Vitamin D akibat asupan makanan yang tidak mengandung
lemak, malabsorpsi yang terjadi pada gastrektomi, pankreatitis kronik,
metabolisme vitamin-D yang terganggu pada penyakit Ricketsia.
- Hipoparatiroidisme: pasca bedah kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid
ikut terangkat.
- Pseudohipoparatiroidsme: bersifat diturunkan.
- Proses keganasan: karsinoma medular kelenjar tiroid menyebabkan
kalsitonin meningkat sehingga ekskresi kalsium urin meningkat.
- Hiperfosfatemia: pemberian fosfat berlebihan, penyakit ginjal kronik,
gagal ginjal akut.

Kalsium terikat dengan albumin sehingga kadar kalsium dipengaruhi oleh


kadar albumin. Setiap penurunan 1g/dL terjadi penurunan 0,8 mg/dL.
Kadar kalsium bebas dalam plasma adalah 4-4,9 mg/dL, dalam keadaan
hipo atau hiperalbumin, kadar ion kalsium bebas tidak terpengaruhi.

Tatalaksana:
o Gejala hipokalsemia belum timbul bila kadar kalsium ion > 3,2 mg/dl
atau > 0,8 mmol/L atau kalsium total> 8-8,5 mg/dl. Pada keadaan
asimtomatik dianjurkan meningkatkan asupan kalsium dalam makanan
sebesar 1000 mg/ hari.
o Gejala hipokalsemia akan muncul bila kadar kalsium ion <2,8 mg/ dl
atau <0,7 mmol/L atau kadar kalsium total<=7 mg/dl. Gejala berupa
parestesi, tetani, hipotensi dan kejang, Chovtek sign positif, bradikardi,
interval QT memanjang. Tatalaksana dengan pemberian kalsium
intravena sebesar 100-200 mg kalium elemental atau 1-2 gram kalsium
glukonas dalam 10-20 menit. Lalu diikuti dengan infus kalsium
glukonas dalam larutan dekstrosa atau NaCl isotonis dengan dosis 0,5-
1,5 mg kalsium elemental/ kgBB dalam 1 jam. Kalsium infus

42
kemudian dapat ditukar dengan kalsium oral dan kalsitrol 0,25-0,5
ig/hari. 3

2. Hiperkalsemia
Sering menyertai penyakit seperti hiperparatiroidisme, tumor ganas,
intoksikasi vitamin-D, intoksikasi vitamin A, Sarkoidosis, hipertiroidisme,
insufisiensi adrenal, sindrom ’Milk-Alkali’. Pemeriksaan hormon
paratiroid perlu dilakukan untuk membedakan penyebab hiperkalsemia
apakah oleh hiperparatiroid primer atau bukan seperti keganasan,
intoksikasi vitamin-D, dll.
Tatalaksana hiperkalsemia:
- Meningkatkan ekskresi kalsium melalui ginjal dilakukan dengan
pemberian larutan NaCl isotonis yang akan meningkatkan volume
cairan ektraselar yang umumnya rendah akibat pengeluaran urin
berlebihan
- Kalsitonin intramuskular atau subkutan setiap 12 jam dengan dosis 4
IU/KgBB untuk menghambat resorpsi tulang.
- Bifosfonat untuk menghambat aktivitas metabolik osteoklas.
- Prednison 20-40 mg/ hari untuk mengurangi absorpsi kalsium dari usus
dengan mengurangi produksi kalsitriol.3

Fosfor
Fosfor terbagi atas dua bentuk, yaitu fosfor organik dan inorganik. Semua
fosfor organik terdapat dalam fosfolipid yang terikat dalam protein. Fosfor
inorganik 90% di filtrasi oleh glomerulus dan sisanya terikat dengan protein. Total
jumlah fosfor dalam tubuh adalah 0,5-0,8 mg/ kgBB, 85% disimpan dalam tulang,
1 % dalam cairan ekstraselular serta sisanya berada dalam sel. Kadar fosfor dalam
darah orang dewasa adalah 2,4-4 mg/ dl. Reabsorpsi fosfor dipengaruhi oleh
hormon paratiroid dengan menghambat reabsorpsi fosfor di tubulus proksimal,
sehingga ekskresi dalam urin meningkat, vitamin D3 merangsang reabsorpsi
fosfor inorganik di tubulus ginjal, peningkatan volume CES meningkatkan
ekskresi fosfor.3

43
1. Hipofosfatemia
Kadar fosfor dalam darah dapat berkurang karena absorpsi melalui usus
berkurang, redistribusi fosfor dari ekstrasel ke dalam sel, eksresi melalui
urin meningkat.
Gejala baru timbul apabila kadar dalam darah mencapai < 2 mg/ dl dan
gejala berat seperti rabdomiolisis dapat timbul apabila kadar fosfor <1
mg/dl. Hiperkalsiuri akibat hipofosfatemi yang lama menimbulkan
hambatan reabsorpsi kalsium dan magnesium dalam tubulus, ensefalopati
metabolik akibat iskemi jaringan, terjadi pengurangan kadar ATP yang
menyebabkan perubahan regiditas dan timbul hemolitik, gangguan fungsi
sel darah putih dan trombosit.
Tatalaksana:
o Tidak diberikan bila tidak ada indikasi kuat umumnya ditunjukan pada
faktor etiologi.
o Dapat diberikan vitamin D sebanyak 400-800 IU/ hari apabila terjadi
kekurang vitamin D.
o Pemberian fosfor dapat diberikan bila timbul gejala atau pada keadaan
gangguan tubulus. Dosis peroral 2,5- 3,5 mg/ hari, bila terpaksa
memberikan intravena tidak lebih dari 2,5 mg/kgBB selama 6 jam.3

2. Hiperfosfatemia
Disebabkan terutama oleh ketidakmampuan ginjal dalam ekskresi fosfor.
Tatalaksana:
o Infus NaCl isotonis secara cepat yang akan meningkatkan eksresi
fosfor urin.
o Astazolamida (inhibitor karbonik anhidrase) 15 mg/kgBB setiap 4 jam.
o Pada hiperfosfatemia kronik pengobatan ditujukan untuk menekan
absorpsi melalui usus dengan memberikan pengikat fosfat, seperti
kalsium karbonat, kalsium asetat, dsb.3

44
Magnesium
Magnesium dapat ditemukan pada sumber makanan yang akan diserap oleh
usus halus. Sepertiga magnesium dalam makanan akan diabsorpsi oleh usus halus
secara pasif dan dalam bentuk sistem transpor. Magnesium berperan dalam reaksi
enzim diantaranya transfosforilasi, sintesis protein, metabolisme hidrat-arang,
sintesis dan degradasi DNA, aktivasi ATP. Hanya sebagian kecil magnesium
berada di CES 60% berada di dalam tulang, 20% berada di otot, kadar magnesium
serum berkisar 1,4- 1,75mEq/L, 20% terikat dengan protein.

1. Hipomagnesemia
Dapat terjadi karena gangguan absorpsi di usus, terbuang melalui ginjal,
serta pasca operasi. Tanda yang dapat muncul biasanya berupa gangguan
neuromuskular, hipokalemi, hipokalsemia, defisiensi vitamin D, pelebaran
kompleks QRS, perpanjangan interval PR, hilangnya gelombang P, dan
aritmia ventrikel.
Untuk mengetahui penyebab pasti hipomagnesemia diakibatkan oleh
gangguan renal atau non-renal dapat dilakukan dengan pengukuran kadar
Mg urin 24 jam atau pengukuran ekskresi fraksional magnesium dalam
urin. Bila magnesium >10-30mg dalam urin atau ekskresi fraksional >2%
hal ini disebabkan oleh penggunaan diuretik, sisplatin atau aminoglikosida.
Pada pengeluaran renal, ekskresi fraksional 15% (antara 4-48%). Rumus
ekskresi fraksional adalah [Umg x Pcr x 100] : [0,7 x PMg x Ucr]. Mg
bebas dalam plasma adalah 0,7 x kadar Mg plasma.
Tatalaksana hipomagnesemia:
o Pemberian magnesium harus secara hati-hati pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal
o Dengan keluhan tetani atau aritmia ventrikel dapat berikan 50 meq
(600 mg) MgSO4 dalam 24 jam.
o Pemberian peroral untuk hipomagnesemia kronik dengan MgO 250-
500 mg 4x/ hari.

45
2. Hipermagnesemia
Hal ini dapat muncul dalam keadaan gangguan fungsi ginjal. Gejala
hipermagnesemia, yaitu:
o Kadar Mg 4,8-7,2 mg/dl menimbulkan gejala nausea, flushing, sakit
kepala, letargi, mengantuk, penurunan refleks tendon.
o Kadar Mg 7,2-12 mg/dl: somnolen, hipokalsemi, reflek tendon hilang,
hipotensi, bradikardi, perubahan EKG.
o Kadar Mg > 12 mg/dl: kelumpuhan otot, lumpuh napas, henti jantung.

Tatalaksana dengan memberikan kalsium elemental 100-200 mg secara IV selama


5-10 menit.3

46
BAB III
KESIMPULAN

Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia (retensi urea dan sampah nitrogen
lainnya dalam darah). Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah
diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%).
Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara perlahan.
Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat
diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya
penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah
semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala – gejala
fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ seperti kelainan saluran cerna
(nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor uremik), kelainan kulit (urea frost
dan gatal di kulit), kelainan neuromuskular (tungkai lemah, parastesi, kram otot,
daya konsentrasi menurun, insomnia, gelisah), kelainan kardiovaskular
(hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema), kangguan kelamin (libido menurun,
nokturia, oligouria). Gejala komplikasi lainnya, hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida)
Diagnosis gagal ginjal kronik dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis
yang diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang.
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, termasuk pengendalian
diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian
anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Terapi spesifik terhadap penyakit mendasar
paling tepat dilakukan sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga tidak terjadi
perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. pencegahan dan terapi terhadap penyakit
komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.


Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2006. p. 463 – 503.
2. Arthur C. Guyton, M.D. Textbook of Medical Physiology Eleventh edition.
Elsevier publisher : New York ; 2006. pg. 1368-1375
3. Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic
Kidney Disease. KDIGO 2012. January 2013 ;3:1
4. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 – 1040
5. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation,
classification and stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.
6. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna
Patofisiologi. Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p.
110 – 115.
7. Fauci A, Kasper DL, Longo E, Braunwald. Harrison Internal Medicine. 19th
ed. US: Mc Graw Hill Education Lange; 2015.

48

Anda mungkin juga menyukai