Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Kornea merupakan lapisan jernih anterior paling luar dari mata yang harus
dilalui cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Oleh karena itu
kornea harus tetap jernih dan rata permukaannya agar tidak menghalangi proses
pembiasan sinar, sehingga kelainan yang bisa merusak bentuk dan kejernihan
kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan.1
Keratitis merupakan suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat
akut maupun kronis yang disebabkan oleh bakteri, jamur, virus atau karena alergi.
Keratitis dapat diklasifikasikan dalam lapis kornea yang terkena, seperti keratitis
superfisial dan interstitial atau profunda.2
Gejala umum keratitis adalah visus menurun, mata merah, rasa silau,
merasa ada benda asing di matanya, sakit ringan sampai berat, mata berair dan
kotor. Gejala khususnya tergantung dari jenis-jenis keratitis yang diderita oleh
pasien. Gambaran klinik masing-masing keratitis pun berbeda-beda tergantung
dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, jika keratitis
tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu
ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen sehingga akan menyebabkan
gangguan penglihatan bahkan dapat menyebabkan kebutaan sehingga pengobatan
keratitis haruslah cepat dan tepat agar tidak menimbulkan komplikasi yang
merugikan di masa yang akan datang terutama pada pasien yang masih muda.2,3

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI KORNEA

Kornea adalah jaringan transparan yang disisipkan ke dalam sklera pada


limbus, lekukan melingkar pada sambungan ini disebut sulcus scleralis. Kornea
dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 µm dipusatnya; diameter horizontalnya
sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm.4 Dari anterior ke posterior, kornea
mempunyai lima lapisan :

a. Lapisan Epitel
Lapisan ini mempunyai ketebalan 50 µm menyusun sekitar 10% dari
ketebalan kornea, terdiri dari lima atau enam lapis sel yang melindungi
permukaan okular dari abrasi mekanik dan mencegah masuknya
patogen.4,5
b. Lapisan Bowman
Lapisan jernih aselular yang terletak di belakang epitel kornea yang
mengandung massa fibril kolagen padat diatur dalam matriks yang mirip
dengan substansia propria (stroma). Lapisan Bowman mempunyai
ketebalan 12 μm, mudah dibedakan dari substantia propria karena tidak
mengandung fibroblas, dan tampak amorf pada mikroskop cahaya.4,5
c. Substansia Propia (Stroma)
Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea, bagian ini
tersusun atas jalinan lamella serat-serat kolagen dengan lebar sekitar 10-
250 μm dan tinggi 1-2 μm yang mencakup hampir seluruh diameter
kornea. Lamella terletak di dalam suatu zat dasar proteoglikan terhidrasi
bersama keratosit yang menghasilkan kolagen dan zat dasar.4
d. Membran Descement
Merupakan lamina basalis endotel kornea, memiliki tampilan yang
homogen. Saat lahir tebalnya sekitar 3-4 μm dan terus menebal selama
hidup mencapai 10-12 μm.4,5

2
e. Lapisan Endotel
Endotel hanya memiliki satu lapis sel, tetapi lapisan ini berperan besar
dalam mempertahankan deturgesensi stroma kornea. Endotel kornea cukup
rentan terhadap trauma dan kehilangan sel-selnya seiring dengan
penuaan.4

Gambar 2.1. Lapisan Kornea5

2.2 FISIOLOGI KORNEA

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui


berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahaya kornea disebabkan oleh
strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan
dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif
pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting
daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi, dan kerusakan pada endotel lebih
serius dibandingkan dengan kerusakan pada epitel, karena dapat menyebabkan
edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sementara kerusakan pada epitel
hanya menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma kornea yang akan meghilang
dengan regenerasi sel-sel epitel yang cepat. Penguapan air dari film air mata
prakornea menyebabkan film air mata menjadi hipertonik, proses tersebut dan

3
penguapan langsung adalah faktor faktor yang menarik air dari stroma kornea
superfisial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.3

Penetrasi obat melalui kornea yang utuh terjadi secara bifasik. Substansi
larut-lemak dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma
yang utuh. Sehingga agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan
larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme ke dalam kornea. Namun, apabila kornea ini cedera, stroma yang
avaskular dan membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam
organisme, seperti bakteri, amuba, dan jamur.3

Kornea merupakan lapisan jernih anterior paling luar dari mata, struktur
pertama yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di
retina. Kornea bersifat jernih, sebab susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak
ada pembuluh darah, oleh karena itu kornea merupakan salah satu dari media
refraksi. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea dapat mengganggu
pembentukan bayangan di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di
kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan.1,3

2.3 KERATITIS

Keratitis merupakan peradangan pada kornea. Radang kornea biasanya


diklasifikasikan dalam lapis kornea yang terkena, seperti keratitis superfisial dan
interstisial atau profunda. Keratitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri
(pneumococci, streptococci atau staphylococci), jamur dan protozoa. Keratitis
umumnya didahului oleh2 :

 Defisiensi vitamin A
 Reaksi konjungtivitis menahun
 Trauma dan kerusakan epitel
 Lensa kontak dapat mengakibatkan infeksi sekunder dan non infeksi
keratitis
 Daya imunitas yang berkurang

4
 Musim panas dan daerah yang lembab
 Pemakaian kortikosteroid
 Herpes genital

Gejala umum pada keratitis dapat berupa mata merah disertai penurunan
visus, sakit ringan sampai berat, silau, lesi di kornea mata berair dan kotor.
Gambaran klinik keratitis dibedakan2 :

Keratitis Epitelialis Mengenai Uji fluoresein (+) Uji Plasido (+)


Superfisialis kornea di depan
membran
bowmann
Subepitel Mengenai Uji fluoresein (-) Uji Plasido (+)
kornea di bawah
epitel kornea
Profunda/ Di dalam Di dalam Uji fluoresein (-) Uji Plasido (-)
Interstisialis stroma kornea stroma kornea

Penyulit keratitis yang dapat terjadi pada keratitis adalah sebagai berikut2 :

 Radang kornea menahun


 Infeksi virus pada kornea kronik dan menahun
 Luka terbuka pada kornea (ulkus kornea)
 Kornea edema dan parut pada kornea
 Penglihatan menurun dan kebutaan akibat jaringan parut, perforasi kornea
dan endoftalmitis.

Pengobatan keratitis dapat diberikan antibiotik, air mata buatan, analgetik,


kortikosteroid dan sikloplegik.2

2.3.1 Keratitis Pungtata2,3

Keratitis yang terkumpul di daerah membran bowmann dengan infiltrat


berbentuk bercak-bercak halus. Keratitis ini disebabkan oleh hal-hal yang tidak
spesifik dan dapat terjadi pada moluskum kontangiosum, akne rosasea, herpes

5
simpleks, herpes zoster, blefaritis neuroparalitik, infeksi virus, vaksinia, trakoma
dan trauma radiasi, dry eye, trauma, lagoftalmos, keracunan obat (neomisin,
tobramisin dan bahan pengawet lainnya). Kelainan dapat berupa :

1. Keratitis pungtata epitel


2. Keratitis pungtata, biasanya bersifat bilateral dan berjalan kronis tanpa
terlihatnya gejala kelainan konjungtiva ataupun tanda akut yang biasanya
terjadi pada dewasa muda.
3. Pada konjungtivitis vernal dan konjungtivitis atopik ditemukan bersama-
sama papil raksasa
4. Pada trakoma, pemfigoid, sindrom Stevens Johnson dan pasca pengobatan
radiasi dapat ditemukan bersama-sama dengan jaringan parut konjungtiva.

A. Keratitis Pungtata Superfisial


Radang pada kornea berupa multiple, kecil dipermukaan kornea akibat
infeksi bakteri (chlamydial, staphylococcal), defisiensi vitamin B2, infeksi virus
(herpes), trauma kimia dan sinar ultraviolet dan akan memberikan warna hijau
bila dilakukan uji fluoresein.
Keratitis pungtata superfisial juga dapat disebabkan oleh sindrom dry eye,
blefaritis, keratopati lagoftalmos, keracunan obat topikal (neomisin, tobramisin,
ataupun obat lainnya), sinar ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa
kontak.
Pasien akan mengeluh sakit, silau, mata merah dan rasa kelilipan. Pasien
diberikan air mata buatan, tobramisin tetes mata dan sikloplegik. Pengobatan
bergantung pada penyebabnya.

B. Keratitis Pungtata Superfisial Thygeson


Keratitis thygeson ini merupakan bentuk yang jarang terjadi, bersifat
bilateral rekurens kronik, wanita lebih sering terkena. Penyakit ini ditandai dengan
kekeruhan epitel yang meninggi berbentuk lonjong dan berbatas tegas, yang
menampakkan bintik-bintik pada pemulasan dengan fluoresein, terutama di
daerah pupil. Kekeruhan ini tidak tampak dengan mata telanjang, tetapi mudah
dilihat dengan slitlamp.

6
Penyebab tidak diketahui dan diduga disebabkan oleh virus, Keluhan
berupa iritasi ringan dengan fotofobia dan gangguan penglihatan, tidak mengenai
konjungtiva. Pengobatan berupa air mata buatan, kortikosteroid.

C. Keratitis Pungtata Subepitel


Keratitis yang terkumpul di daerah membran bowman. Pada keratitis ini
biasanya terdapat bilateral dan berjalan kronis tanpa terlihatnya gejala kelainan
konjungtiva ataupun tanda akut yang biasanya terjadi pada dewasa muda.

2.3.2 Keratitis Marginal2


Keratitis marginal merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea
sejajar dengan limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat mengakibatkan
keratitis marginal, merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap eksotoksin
stafilokok. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur
dengan adanya blefarokonjungtivitis.
Bila tidak diobati dengan baik dapat menyebabkan tukak kornea. Biasanya
bersifat rekuren, dengan kemungkinan terdapatnya Streptococcus pneumonia,
Hemophilus aegepty, Moraxella lacunata dan Esrichia. Infiltrat dan tukak yang
terlihat diduga merupakan timbunan kompleks antigen-antibodi.
Penderita akan mengeluh sakit, seperti kelilipan, lakrimasi disertai
fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksi
konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memanjang, dangkal unilateral dapat
tunggal atau multipel, sering disertai neovaskularisasi dari arah limbus.
Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika yang sesuai dengan
penyebab infeksi lokalnya dan steroid dosis ringan. Pada pasien dapat diberikan
vitamin B dan C dosis tinggi. Pada kelainan yang indolen dilakukan kauterisasi
dengan listrik ataupun AgNO3 di pembuluh darahnya atau dilakukan flep
konjungtiva yang kecil.
Penyulitnya dapat berupa jaringan parut pada kornea yang akan
mengganggu penglihatan atau ulkus meluas dan menjadi lebih dalam. Keratitis
marginalis trakomatosa merupakan keratitis dengan pembentukan membran pada

7
kornea atas. Keadaan ini akan membentuk pannus berupa keratitis dengan
neovaskularisasi.

Gambar 2.2 Marginal Keratitis7

2.3.3 Keratitis Interstisial2,3


Keratitis yang ditemukan pada jaringan kornea yang lebih dalam pada
kedua mata. Keratitis ini dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke dalam
stroma kornea dan akibat tuberkulosis.
Keratitis interstisial merupakan keratitis nonsupuratif profunda disertai
dengan neovaskularisasi, disebut juga sebagai keratitis parenkimatosa. Penderita
akan memberikan keluhan fotofobia, lakrimasi, kelopak meradang, sakit dan
penurunan visus. Dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur. Keratitis
profunda dapat juga terjadi akibat trauma dan mata terpajan pada kornea dengan
daya tahan rendah. Seluruh kornea keruh sehingga iris sukar untuk dilihat.
Permukaan kornea seperti permukaan kaca. Terdapat injeksi siliar disertai dengan
serbukan pembuluh ke dalam sehingga memberikan gambaran merah kusam,
disebut “salmon patch” dari Hutchinson. Seluruh kornea dapat berwarna merah
cerah. Kelainan ini biasanya bilateral, terutama yang disebabkan oleh
tuberkulosis.

8
Pada keratitis yang disebabkan oleh sifilis kongenital biasanya ditemukan
tanda-tanda sifilis kongenital lain, seperti hidung pelana (sadlenose) dan trias
Hutchinson dan pemeriksaan serologik positif terhadap sifilis.
Pengobatan keratitis profunda tergantung pada penyebabnya berupa
antibiotika, antijamur dan antivirus. Pada keratitis diberikan sulfas atropin tetes
mata untuk mencegah sinekia akibat terjadinya uveitis dan kortikosteroid tetes
mata.

A. Keratitis Interstisial akibat Sifilis Kongenital


Penyakit radang kornea yang dapat sembuh sendiri ini juga dikenal
sebagai keratitis stromal imun, secara khas merupakan manifestasi lanjut dari
sifilis kongenital.
Keratitis interstisial akibat sifilis kongenital terkadang timbul secara
unilateral, tetapi hampir selalu menjadi bilateral dalam beberapa minggu sampai
bulan kemudian. Keratitis ini mengenai semua bangsa dan lebih banyak pada
wanita daripada pria. Gejala muncul antara usia 5-20 tahun. Temuan patologik,
antara lain edema, infiltrasi limfosit dan vaskularisasi stroma kornea. Keratitis
interstisial kemungkinan adalah suatu respon imun lambat terhadap antigen
stroma yang tertinggal, saat Treponema pallidum melintas masuk kornea sebelum
atau saat kelahiran.
a. Gejala dan Tanda
Trias Hutchinson terdiri atas keratitis interstisial, tuli dan gigi incisivus
sentral atas yang bertakik. Hidung pelana adalah tanda lain dari sifilis
kongenital. Pasien mengeluhkan nyeri, fotofobia dan penglihatan kabur.
Tanda fisik mencakup injeksi konjungtiva, edema kornea, vaskularisasi
pada lapisan kornea yang lebih dalam dan miosis. Terdapat uveitis
granulomatosa anterior yang hebat dan blefarospasme akibat fotofobia.
Tampilan kornea merah muda-kelabu (akibat edema dan vaskularisasi)
yang terlihat pada fase akut, yang disebut “Salmon patch”.
b. Temuan Laboratorium
Hasil uji serologis terhadap sifilis adalah positif.

9
c. Komplikasi dan Sekuele
Timbul vaskularisasi dan parut kornea jika prosesnya hebat dan lama.
Glaukoma sekunder dapat timbul akibat uveitis.
d. Pengobatan
Sikloplegik topikal untuk melebarkan pupil penting untuk mencegah
sinekia posterior. Tetesan kortikosteroid sering meredakan gejala secara
dramatis, tetapi harus diberi cukup lama untuk mencegah kambuhnya
gejala. Mungkin diperlukan kacamata gelap dan kamar yang gelap apabila
terdapat fotofobia berat. Pengobatan juga diberikan untuk sifilis
sistemiknya. Timbulnya jaringan parut pada kornea mungkin memerlukan
transplantasi kornea.
e. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Fase radang berlangsung selama 3-4 minggu. Korneanya kemudian
berangsur menjadi bening, meninggalkan parut pada stroma kornea.

Gambar 2.3 Salt and pepper retinopathy following congenital syphilic infection7

10
Gambar 2.4 Systemic signs of congenital syphilis, (a) Saddle-shaped nasal
deformity, (b) Sabre tibiae, (c) Hutchinson teeth7

11
Gambar 2.5 Syphilic Interstitial Keratitis, (a) Salmon patch, (b) Ghost vessels, (c)
Intrastromal corneal hemorrhage from re-perfused vessels, (d) typical feathery
scarring7

B. Keratitis Interstisial oleh sebab lain

Keratitis interstisial unilateral biasanya disebabkan oleh virus herpes


simpleks dan sesekali oleh virus varicella zoster. Biasanya, tidak ada penyebab
yang ditemuka pada keratitis interstisial bilateral aktif, tetapi sifilis kongenital
tetap merupakan penyebab bilateral inaktif yang paling sering. Tuberkulosis,
lepra, cytomegalovirus, virus campak, virus parotitis epidemika dan penyakit
Lyme adalah penyebab-penyebab keratitis interstisial yang jarang. Pengobatan
biasanya simptomatik, tetapi sedapat mungkin penyebabnya harus ditentukan.

2.3.4 Keratitis Bakteri2,3


a. Faktor Risiko

12
Setiap faktor atau agen yang menciptakan kerusakan pada epitel kornea adalah
potensi penyebab atau faktor risiko bakteri keratitis, beberapa faktor risiko
terjadinya keratitis bakteri diantaranya:

 Penggunaan lensa kontak


 Trauma
 Riwayat keratitis bakteri sebelumnya
 Riwayat operasi mata sebelumnya
 Gangguan defense mechanism
 Perubahan struktur permukaan kornea

b. Etiologi

Tabel 2.1 Etiologi Keratitis Bakteri


c. Manifestasi klinis
Pasien keratitis bakterial biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada
mata yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi
kabur, serta kelopak mata lengket setiap bangun pagi. Pada pemeriksaan bola
mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea,
infiltrasi kornea

d. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus kornea dan
bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian ditanam di
media cokelat, darah dan agar Sabouraud, kemudian dilakukan pengecatan
dengan Gram.

13
 Biopsy kornea dilakukan jika kultur negatif dan tidak ada perbaikan secara
klinis dengan menggunakan blade kornea bila ditemukan infiltrat dalam di
stroma

Gambar 2.6 Keratitis Bakteri, (a) Early ulcer, (b) large ulcer, (c) advanced
disease with hypopion, (d) Perforation assosiated with Pseudomonas
infection7

e. Terapi
Dapat diberikan inisial antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur
bakteri. Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan:

Batang gram negatif Tobramisin


Ceftazidim
Fluoroquinolon
Batang gram positif Cefazoline
Vancomycin
Moxifloxacin/gatofloxacin
Kokus gram negatif Ceftriaxone
Ceftazidime
Moxifloxacin/gatifloxacin

14
2.3.5 Keratitis Fungi (Jamur)2,3
Keratitis jamur lebih jarang dibandingkan dengan keratitis bakterial. Dimulai
dengan suatu trauma pada kornea oleh ranting pohon, daun dan bagian tumbuh-
tumbuhan.
a. Etiologi
- Jamur berfilamen (filamentous fungi), bersifat multiseluler dengan cabang-
cabang hifa, terdiri dari:
 Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,
Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp,
Curvularia sp, Altenaria sp.
 Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
- Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas :
Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
- Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media
pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies sp,
Histoplastoma sp, Sporothrix sp.
b. Patologi
Hifa jamur cenderung masuk stroma secara paralel ke lamella kornea.Mungkin
ada nekrosis koagulatif stroma kornea yang meluas dengan edema serat kolagen
dan keratosit. Reaksi inflamasi yang menyertai kurang terlihat daripada keratitis
bakterialis. Abses cincin steril mungkin ada yang terpisah pusat ulkus. Mikroabses
yang multipel dapat mengelilingi lesi utama. Hifa berpotensi masuk ke membran
descemet yang intak dan menyebar ke kamera okuli anterior.

c. Manifestasi Klinis
Keluhan baru timbul setelah 5 hari atau 3 minggu kemudian. Pasien akan
mengeluh sakit mata yang hebat, berair, penglihatan menurun dan silau. Pada
mata akan terlihat infiltrat kelabu, disertai hipopion, peradangan, ulserasi
superfisial dan satelit bila terletak di dalam stroma. Biasanya disertai dengan
cincin endotel dengan plaque tampak bercabang-cabang, gambaran satelit pada
kornea dan lipatan descement.
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur
dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut.

15
Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan
akut, respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang
berat.

Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan


infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang
tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan
lesi utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat
terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang
merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai
tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi
konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup parah. Untuk menegakkan
diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :

 Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama


 Lesi satelit
 Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan
seperti hifa di bawah endotel utuh
 Plak endotel
 Hypopyon, kadang-kadang rekuren
 Formasi cincin sekeliling ulkus
 Lesi kornea yang indolen

16
Gambar 2.7 Fungal Keratitis, (a) Severe
Candidal Keratitis, (b) Filamentous
keratitis with fluffy edges, (d) Satelite
lesions, (e) Ring infiltrate with satelite
lesion and hypopion7

d. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan kerokan kornea
(sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan
biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH
+ Tinta India.
 Biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau
Methenamine Silver.

17
e. Terapi
Obat-obat anti jamur yang dapat diberikan meliputi:
 Polyenes termasuk natamycin, nistatin, dan amfoterisin B.
 Azoles (imidazoles dan triazoles) termasuk ketoconazole, Miconazole,
flukonazol, itraconazole, econazole, dan clotrimazole.`

2.3.6 Keratitis Virus 3


Virus yang menyebabkan infeksi pada kornea termasuk infeksi virus pada
saluran nafas seperti adenovirus dan semua yang menyebabkan demam. Virus
herpes simpleks dan zoster juga dapat menyebabkan keratitis
Kelainan pada kornea didapatkan sebagai keratitis pungtata superfisialis
memberikan gambaran seperti infiltrat halus berbintik bintik pada dataran depan
kornea yang dapat terjadi pada penyakit seperti herpes simpleks, herpes zoster,
infeksi virus, vaksinia dan trakoma.
a. Etiologi
Herpes Simpleks Virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus tersering
pada kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host, merupakan
parasit intraselular obligat, dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga
mulut, vagina dan mata. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan
jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.

b. Patofisiologi
Patofisiologi keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk :
 Pada epitelial : kerusakan terjadi akibat pembiakan virus intraepitelial
mengakibatkan kerusakan sel epitel dan membentuk tukak kornea
superfisial.
 Pada stromal : terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang
menyerang yaitu reaksi antigen-antibodi yang menarik sel radang ke dalam
stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus
tetapi juga akan merusak stroma di sekitarnya.

18
c. Manifestasi Klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri, fotofobia, penglihatan kabur,
mata berair, mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika bagian pusat yang
terkena.
Infeksi primer herpes simpleks pada mata biasanya berupa konjungtivitis
folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta pembengkakan
kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga disertai keratitis epitelial dan
dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada dasarnya infeksi primer ini dapat
sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu di mana daya tahan tubuh
sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.
d. Pemeriksaan Penunjang
Usapan epitel dengan Giemsa multinuklear noda dapat menunjukkan sel-sel
raksasa, yang dihasilkan dari perpaduan dari sel-sel epitel kornea yang terinfeksi
dan virus intranuclear inklusi.

e. Terapi
 Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial,
karena virus berlokasi didalam epithelial. Debridement juga mengurangi
beban antigenic virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada
kornea namun epitel yang terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement
dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat siklopegik seperti
atropine 1% atau homatropin 5% diteteskan kedalam sakus konjungtiva, dan
ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan
diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumnya dalam 72
jam.
 Terapi Obat
1. IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1% dan
diberikan setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap 4 jam)
2. Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep
3. Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam
4. Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.

19
5. Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada
orang atopi yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif.

2.3.7 Keratitis Alergi3


a. Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, biasanya penderita
sering menunjukkan gejala alergi terhadap tepung sari rumput-rumputan.

b. Manifestasi Klinis
 Bentuk palpebra: cobble stone (pertumbuhan papil yang besar), diliputi
sekret mukoid.
 Bentuk limbus: tantras dot (penonjolan berwarna abu-abu, seperti lilin)
 Gatal
 Fotofobia
 Sensasi benda asing
 Mata berair dan blefarospasme
c. Terapi
 Biasanya sembuh sendiri tanpa diobati
 Steroid topikal dan sistemik
 Kompres dingin
 Obat vasokonstriktor
 Cromolyn sodium topikal
 Koagulasi cryo CO2.
 Pembedahan kecil (eksisi).
 Antihistamin umumnya tidak efektif
 Kontraindikasi untuk pemasangan lensa kontak

2.3.7 Keratokonjungtivitis Epidemika6


Merupakan peradangan yang mengenai kornea dan konjungtiva yang
disebabkan oleh reaksi alergi terhadap adenovirus tipe 8.

20
Penyakit ini dapat timbul sebagai suatu epidemia dan biasanya unilateral.
Umumnya pasien merasa demam, merasa seperti ada benda asing, kadang-kadang
disertai nyeri periorbita, dan disertai penglihatan yang menurun.
Perjalanan penyakit ini sangat cepat, dimulai dengan konjungtivitis folikularis
nontrakomatosa akut yang ditandai dengan palpebra yang bengkak, konjungtiva
bulbi khemosis dan mata terasa besar dan dapat disertai dengan adanya
pseudomembran.

2.3.8 Keratokonjungtivitis Flikten2,6


Merupakan radang kornea dan konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi imun
yang mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen.
Dahulu diduga disebabkan alergi terhadap tuberkuloprotein. Sekarang diduga
juga alergi terhadap jenis kuman lain. Untuk mengetahui penyebab sebaiknya
dicari penyebab alerginya.
Pada benjolan akan terjadi penimbunan sel limfoid. Secara histopatologis
ditemukan sel eosinofil dan tidak pernah ditemukan basil tuberkulosis. Terdapat
daerah yang berwarna keputihan yang merupakan degenerasi hialin. Terjadi
pengelupasan lapis sel tanduk epitel kornea.
Mata akan memberikan gejala lakrimasi dan fotofobia disertai rasa sakit.
Bentuk keratitis dengan gambaran yang bermacam-macam, dengan ditemukannya
infiltrat dan neovaskularisasi pada kornea. Gambaran karakteristiknya adalah
terbentuknya papul atau pustula pada kornea ataupun konjungtiva. Pada mata
terdapat flikten yaitu berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih keabuan yang
terdapat pada lapisan superfisial kornea dan menonjol di atas permukaan kornea.
Biasanya bersifat bilateral yang dimulai dari daerah limbus. Gambaran klinis
berupa hiperemis konjungtiva, kurangnya air mata, menebalnya epitel kornea,
perasaan panas disertai gatal dan tajam penglihatan berkurang.
Pada limbus tampak benjolan putih kemerahan dikelilingi daerah konjungtiva
yang hiperemis, bila terjadi penyembuhan akan terjadi jaringan parut dengan
neovaskularisasi pada kornea.
Pengobatan dengan steroid dapat diberikan dengan hati-hati. Pada anak-anak
keratitis flikten disertai gizi buruk dapat berkembang menjadi tukak kornea karena
infeksi sekunder.

21
2.3.9 Keratokonjungtivitis Sika2,7
Merupakan peradangan akibat keringnya permukaan kornea dan konjungtiva, yang
dapat disebabkan karena;
a) Defisiensi komponen lemak, seperti pada blefaritis kronik, distikiasis, dan akibat
pembedahan kelopak mata.
b) Defisiensi kelenjar air mata, seperti pada Sjogren syndrome, sindrom relay day dan
sarkoidosis
c) Defisiensi komponen musin, seperti pada avitaminosis A, trauma kimia, Steven-
johnson syndrome
d) Akibat penguapan yang berlebihan
e) Akibat sikatrik di kornea Gambaran klinis berupa sekret mukous, adanya tanda-
tanda konjungtivitis dengan xerosis. Pada kornea terdapat infiltrat kecil-kecil, letak
epitelial sehingga akan didapatkan tes fluoresin (+).

Secara subyektif keluhan penderita tergantung dari kelainan kornea yang terjadi.
Apabila belum ada kerusakan kornea maka keluhan penderita adalah mata terasa pedih,
kering, dan rasa seperti ada pasir, keluhan-keluhan yang lazim disebut syndrom dry eye.
Apabila terjadi kerusakan pada kornea, keluhan-keluhan ditambah dengan silau, sakit,
berair, dan kabur.
Secara obyektif pada tingkat dry-eye, kejernihan permukaan konjunctiva dan kornea
hilang, tes Schimmer berkurang, tear-film kornea mudah pecah, (tear break-up time)
berkurang, dan sukar menggerakkan bola mata.
Kelainan kornea dapat berupa erosi kornea, keratitis filamentosa, atau punctata.
Pada kerusakan kornea dengan segala komplikasinya. Tes pemeriksaan untuk keratitis
sika:
a. Tes Schimmer. Apabila resapan air pada kertas Schimmer kurang dari 10 mm
dalam 5 menit dianggap abnormal
b. Tes zat warna Rose Bengal konjunctiva. Pada pemeriksaan ini terlihat
konjunctiva berwarna titik merah karena jaringan konjunctiva yang mati
menyerap zat warna

22
c. Tear film break-up time. Waktu antara kedip lengkap sampai timbulnya bercak
kering sesudah mata dibuka minimal terjadi sesudah 15-20 detik, tidak pernah
kurang dari 10 detik.

Pengobatan dari keratitis sika tergantung dari penyebab penyakitnya:


1. Pemberian air mata tiruan apabila yang berkurang adalah komponen air.
2. Pemberian lensa kontak apabila komponen mukus yang berkurang.
3. Penutupan punctum lacrima bila terjadi penguapan yang berlebihan.

Penyulit keratitis sika adalah ulkus kornea, kornea tipis, infeksi sekunder oleh
bakteri, serta kekeruhan dan neovaskularisasi kornea

2.3.10 Keratitis Lagoftalmus2,3,7


Keratitis yang terjadi akibat adanya lagoftalmus yaitu keadaan kelopak mata tidak
dapat menutup dengan sempurna sehingga terdapat kekeringan kornea. Lagoftalmus akan
mengakibatkan mata terpapar sehingga terjadi trauma pada konjungtiva dan kornea
menjadi kering dan terjadi infeksi.
Umumnya pada lagoftalmus yang terkena kornea bagian bawah, karena secara
refleks, pada waktu tidur bola mata bergerak ke arah temporal atas, sehingga pada
lagoftalmus, bagian bawah kornea tidak terlindung.

2.3.11 Keratitis Neuroparalitik2


Merupakan keratitis akibat kelainan nervus trigeminus, sehingga terdapat
kekeruhan kornea yang tidak sensitif disertai kekeringan kornea. Penyakit ini dapat
terjadi akibat herpes zoster, tumor fossa posterior, dan keadaan lain sehingga kornea
menjadi anestetis.
Penderita mengeluh ketajaman penglihatannya menurun, lakrimasi, silau tetapi
tak ada rasa sakit. Uji fluoresin (+).

2.4 Diagnosis Keratitis2

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil


pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma,
adnya riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetic akibat infeksi

23
herpes simpleks sering kambuh, namun erosi yang kambuh sangat sakit dan
keratitis herpetic tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya.
Anamnesis mengenai pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah
memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri,
fungi, atau virus terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi
imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan
penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus. Dalam mengevaluasi
peradangan kornea penting untuk membedakan apakah tanda yang kita temukan
merupakan proses yang masih aktif atau merupakan kerusakan dari struktur
kornea hasil dari proses di waktu yang lampau. Sejumlah tanda dan pemeriksaan
sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan penyebab dari suatu
peradangan kornea seperti: pemeriksaan sensasi kornea, lokasi dan morfologi
kelainan, pewarnaan dengan fluoresin, neovaskularisasi, derajat defek pada
epithel, lokasi dari infiltrat pada kornea, edema kornea, keratik presipitat, dan
keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda yang ditemukan ini juga berguna
dalam mengawasi perkembangan penyakit dan respon terhadap pengobatan.
Sangat penting untuk melaksanakan penegakan diagnosis morfologis pada pasien
yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan dengan
melihat tanda – tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial,
perubahan epitel bervariasi secara luas mulai dari edema ringan dan vakuolasi
hingga erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi partial. Pada keratitis
stromal, respon struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang
bermanifestasi kepada edema kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke
epitel kornea. Pemeriksaan fisik pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan
kepada keratitis dilakukan melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan
flouresent dapat menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat
terlihat dengan inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial
dalam pemeriksaan kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan
sebuah loup dan iluminasi yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya
refleksi cahaya sementara memindahkan cahaya dengan hati – hati ke seluruh
kornea. Dengan cara ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat
terlihat.

24
Dapat pula dilakukan pemeriksaan lain pada mata, seperti:

1. Tes pachometry : tes untuk mengukur tebal kornea dengan memberikan


seberkas sinar
2. Tes dengan keratoskop atau plasido : untuk melihat licinnya kelengkungan
kornea
3. Tes sensibilitas kornea : tes untuk pemeriksaan fungsi saraf trigeminus
yang memberikan sensibilitas kornea
4. Tes sensibilitas kuantitatif kornea : tes untuk mengetahui derajat
sensibilitas kornea
5. Tes fluoresin : tes untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea.
6. Tes rose Bengal : untuk melihat sel mati pada kornea
7. Tes metilen biru : tes untuk melihat adanya kerusakan saraf pada kornea
8. Tes fistel : tes untuk memeriksa adanya fistel atau kebocoran pada kornea
9. Tes seidel : tes untuk mengetahui letak kebocoran pada luka operasi pasca
bedah intraocular.

2.5 Komplikasi 3,4

Bila peradangan hanya di permukaan saja, dengan pengobatan yang baik


dapat sembuh tanpa jaringan parut, Bila peradangan dalam, penyembuhan
berakhir dengan pembentukan jaringan parut yang dapat berupa nebula, makula,
leukoma, leukoma adherens dan stafiloma kornea. Namun, dapat juga terjadi
komplikasi lain seperti penipisan kornea sehingga dapat terjadi perforasi kornea

 Nebula : bentuk parut kornea berupa kekeruhan yang sangat tipis dan hanya
dapat dilihat dengan menggunakan kaca pembesar atau menggunakan slit
lamp.

 Makula : parut yang lebih tebal berupa kekeruhan padat yang dapat dilihat
tanpa menggunakan kaca pembesar.

 Leukoma : kekeruhan seluruh ketebalan kornea yang mudah sekali terlihat


dari jarak yang agak jauh sekalipun.

25
 Leukoma adherens : keadaan dimana selain adanya kekeruhan seluruh
ketebalan kornea, terdapat penempelan iris pada bagian belakang kornea
(sinekia anterior).

 Stafiloma kornea : bila seluruh permukaan kornea mengalami ulkus disertai


perforasi, maka pada penyembuhan akan terjadi penonjolan keluar parut
kornea yang disertai dengan sinekia anterior.

26
BAB V

KESIMPULAN

Keratitis merupakan suatu infeksi pada kornea yang ditandai dengan adanya
infiltrat yang disebabkan oleh beberapa faktor. Berdasarkan lapisan yang terkena
keratitis secara garis besar dapat dibagi menjadi keratitis pungtata superfisialis,
keratitis marginal dan keratitis interstitial. Berdasarkan penyebabnya keratitis
digolongkan menjadi keratitis bakterialis, keratitis fungal, keratitis viral dan
keratitis akibat alergi. Kemudian berdasarkan bentuk klinisnya dapat dibagi
menjadi keratitis sika, keratitis flikten, keratitis nurmularis dan keratitis
neuroparalitik.

Gejala umum keratitis adalah visus turun mendadak, mata merah, fotofobia, dan
merasa ada benda asing di matanya. Gejala khususnya tergantung dari jenis-jenis
keratitis yang diderita oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing keratitis pun
berbeda-beda tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi
di kornea, jika keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan
berkembang menjadi tukak kornea yang dapat merusak kornea secara permanen
sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat sampai
menyebabkan kebutaan.

27
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC;
2012
2. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: FKUI;
2017.
3. Vaughan, Asbury. Kornea dalam Oftalmologi Umum. Ed. 17. Jakarta:
EGC. 2009. Hal 125-149.
4. Vaughan, Asbury. Anatomi dan Embriologi Mata dalam Oftalmologi
Umum. Ed. 17. Jakarta: EGC. 2009. Hal 1-27.
5. Richard L Drake; Wayne Vogl; Adam W M Mitchell. 2014. Gray’s
Anatomy: Anatomy of the Human Body. Elsevier; 2014.
6. Wijana N. Ilmu penyakit mata. Jakarta. 1983.
7. Kanski J, Bowling B. Cornea. In: clinical ophthalmology. 8th ed. Australia:
Elsevier. 2016.
8. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea. San
Fransisco 2007.

28

Anda mungkin juga menyukai