Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN KASUS ILMU KESEHATAN ANAK

ANAK PEREMPUAN USIA 9 TAHUN 9 BULAN DENGAN


STATUS EPILEPTIKUS, ANEMIA GRAVIS, GIZI BURUK, DAN
SPEECH DELAY

Pembimbing:
dr. Lie Affendi, Sp.A

Penyusun:
Luthfia Prasetianingsih
406181079

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT SUMBER WARAS
PERIODE 20 MEI 2019 – 4 AGUSTUS 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA

1
IDENTITAS PASIEN
Nama : Anak D.R.
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 9 tahun 9 bulan
Tempat/tanggal Lahir : Jakarta, 14 September 2009
Suku Bangsa : Betawi
Agama : Islam
Alamat : Tawakal, Grogol, Jakarta Barat
Tanggal Masuk RS : 18 Juni 2019 pukul 11.00 WIB
No. RM : 00-66-xx-xx

ANAMNESIS
• Dilakukan alloanamnesis terhadap ibu pasien pada tanggal 18 Juni 2019, jam
11.00 WIB.
• Keluhan Utama : Kejang selama lebih dari 30 menit SMRS tanpa berhenti.
• Riwayat penyakit sekarang:
Pasien dibawa ibunya ke IGD pada tanggal 18 Juni 2019 pukul 23.00 WIB dengan
keluhan kejang sebanyak satu kali tanpa berhenti, keluhan kejang dirasakan selama ±
30 menit. Saat kejang, ibu pasien mengatakan gigi pasien gemeletuk, mata pasien
mendelik ke atas, kelonjotan pada seluruh badan termasuk tangan dan kaki. Saat
kejang pasien tidak sadar. Ibu pasien tidak yakin hal apa yang memicu kejang
tersebut, dan kejang ini tidak membaik dengan berbagai upaya ang telah dilakukan
ibu pasien sehingga ibu pasien membawa pasien ke IGD, kejang berhenti setelah
diberikan beberapa obat melalui infus, namun ibu pasien mengaku tidak mengetahui
obat apa yang dimasukan. Setelah kejang pasien tampak lemas dan agak mengantuk.
Keluhan kejang ini disertai demam yang suhunya 38,5 C terukur saat di IGD. Keluhan
lain seperti batuk, pilek, mual dan muntah sebelumnya disangkal. Terakhir pasien
BAB adalah kemarin malam, dengan BAK yang normal.
Sebelumnya, pasien pernah mengalami keluhan kejang saat usia 9 bulan. Kejang
yang dialami mirip dengan kejang saat ini, namun saat itu, pasien dibawa ke
puskesmas untuk diberi obat dan kejangnya berhenti.
Keluhan demam dirasakan sejak ± 1 hari yang lalu, demam dirasakan terus
menerus, ibu pasien tidak sempat mengukur suhu tubuh pasien saat di rumah, keluhan
demam tidak dipengaruhi oleh waktu, ibu pasien mengatakan bahwa ia sudah

2
memberikan obat penurun panas, demam mulai mereda namun setelah 4 jam demam
kembali timbul. Sejak sakit, pasien tampak lemas sehingga tidak dapat bermain
seperti biasanya.

 Riwayat penyakit dahulu: Pasien pernah kejang saat usia 9 bulan dan dibawa
ke puskesmas. Saat usia 1 tahun, pasien juga pernah mengalami keluhan
kejang, namun tidak dirawat di rumah sakit. Pasien sempat mengkonsumsi
obat kejang rutin selama 3 bulan namun setelah konsumsi obat 3 bulan dan
pasien tidak pernah kejang kembali, ibu pasien tidak pernah membawa pasien
untuk kontrol ke dokter dan melanjutkan obat tersebut.
 Riwayat penyakit keluarga: Tidak ada anggota keluarga pasien yang
mengalami keluhan serupa.
 Riwayat kebiasaan : ibu pasien mengatakan bahwa pasien sering bermain di
tanah rumah tanpa menggunakan alas kaki.
 Riwayat perinatal:
o Pasien merupakan anak ke 7 dari 7 bersaudara.
o Pasien lahir cukup bulan (38 minggu) dengan persalinan normal
dibantu bidan. BBL 3200 gram, PBL 49cm.
o Selama kehamilan, ibu pasien rutin kontrol kehamilan setiap bulan di
puskesmas.
o Keadaan setelah lahir bayi sehat, langsung menangis, kemerahan,
tonus otot baik, bergerak aktif, kuning (-), sianosis (-)
 Riwayat imunisasi:
o Hep B: usia 0, 2, 3, 4 bulan
o BCG: usia 1 bulan, scar (+)
o Polio: usia 0, 2, 3, 4 bulan
o DPT/Hep B/Hib : usia 2, 3, 4 bulan
o Campak : -
o Kesan : Imunisasi dasar pasien tidak lengkap sesuai usia.
 Riwayat tumbuh kembang:
o Pertumbuhan:
 BBL = 3200 gr, PBL = 49 cm
 BB = 15 kg

3
 TB = 130 cm
 BBI : 27 kg
 Waterlow : 55%  gizi buruk
 Kesan : Pertumbuhan tidak sesuai dengan usia
o Perkembangan:
 Mengangkat kepala 45 derajat usia 2 bulan
 Tengkurap usia 4 bulan
 Duduk usia 6 bulan
 Berdiri usia 9 bulan
 Berjalan usia 12 bulan
 Berbicara : belum dapat berbicara sampai saat ini
 Kesan : Perkembangan tidak sesuai dengan usia
 Riwayat asupan nutrisi:
o ASI eksklusif selama 6 bulan
o Susu formula selama 24 bulan
o MP-ASI sejak usia 6 bulan
o Makanan padat sejak 12 bulan
o Food recall 1x24 jam:

WAKTU JENIS JUMLAH KALORI


Pagi Bubur ayam 1 mangkuk 175
Siang Nasi + ayam 1 porsi 282
Malam Nasi + telur dadar 1 porsi 224
Jumlah 681

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan tanggal 18 Juni 2019 pada pukul 11.00 WIB.
Pemeriksaan Umum
• Keadaan umum: Tampak lemas
• Kesadaran PGCS (E3M4V2) - somnolen
• Skala nyeri (Wong Baker Faces) : 6
• Kurva CDC :
BB = 15 kg

4
TB = 130 cm
Plotting berdasarkan kurva CDC :
BB/U: < P5 (51,7% )
TB/U: P10 sampai P25 (102,3%)
BBI: 27 kg, WL: 55%, status gizi buruk
• Tanda vital
- Tekanan darah :100/60 mmHg
- Frekuensi nadi : 123x/menit, regular, isi cukup
- Frekuensi nafas : 24x/menit, regular
- Suhu tubuh : 38,5°C aksila
• Kepala : Normocephali, rambut berwarna hitam, distribusi merata, mudah
dicabut, kulit kepala tidak ada kelainan
• Mata : pupil bulat, isokor, bentuk simetris, diameter 3mm/ 3mm, refleks
cahaya (+/+), mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
• Hidung : bentuk normal, deviasi (-), deformitas (-/-), sekret (-/-), mukosa
hiperemis (-/-)
• Mulut : gigi karies (-), atrofi papil lidah (-), uvula di tengah, faring simetris
(+), tonsil T1/T1, hiperemis (-),
• Telinga: normotia, tidak ada nyeri tekan, sekret (-/-), membran timpani intak
• Leher: trakea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax :
Paru-paru
• Inspeksi : bentuk normal, dada simetris, retraksi (-), iga gambang (+/+)
• Palpasi : stem fremitus sama kuat
• Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
• Auskultasi: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
• Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak tampak
• Palpasi : pulsasi iktus kordis teraba di ICS IV midclavicula line sinitra
• Perkusi : batas jantung dalam batas normal
• Auskultasi : bunyi jantung I/II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
• Inspeksi : tampak datar, jejas (-), massa (-)
• Auskultasi : bising usus (+) 6 x/ menit, bruit (-)

5
• Palpasi : supel, turgor kulit cepat kembali , massa (-), NT (-)
• Perkusi : timpani (+) di keempat kuadran
 Tulang Belakang : dalam batas normal, kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-)
• Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-),
• Kulit: dalam batas normal, sianosis (-),
• Anus dan Genitalia : Tidak diperiksa
• KGB: Tidak terdapat pembesaran KGB.

Pemeriksaan Neurologis
• Refleks fisiologis: biceps (+/+), triceps (+/+), patella (+/+), achiles (+/+)
• Refleks patologis: babinski -/-, chaddock -/-, schaeffer -/-, Gordon -/-
• Meningeal sign: kaku kuduk (-), Brudzinsky I – IV (-)
• Normotoni, normotrofi
• Kekuatan otot 5555/5555/5555/5555.
• Kesan N. VII : wajah simetris.
• N. XII : posisi lidah saat dijulurkan lurus.
• Kesan: dalam batas normal.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 18 Juni 2019.
Eritrosit 3,20 juta/uL (L) Normal: 3,70-5,20
Haemoglobin 5,1 g/ dL (L) 10,7-14,7
Hematokrit 18,2 % (L) 31,0-43,0
Trombosit 396 ribu/uL 150-440
Leukosit 11,7ribu/uL 4,5-13,5
Basofil 0% 0-1 %
Eosinofil 0% 0-3 %
Batang 1% 0-6 %
Segmen 86 % (H) 50-70 %
Limfosit 10 % (L) 20-40 %
Monosit 3% 0-8 %
LED 40 mm/jam (H) 0-20 mm/jam
MCV/VER 56,9 fl (L) Normal: 78-102
MCH/HER 15,9 pg/ dL (L) 25-33 pg
MCHC/KHER 28% (L) 31-37%
Kalium darah 2,5 mmol/L (LL) 3,5-5,0 mmol/L
Natrium darah 137 mmol/L 136-146 mmol/L
Chlorida darah 103 mmol/L 98-106 mmol/L

6
Calsium darah 0,82 mmol/L (LL) 1,15-1,29 mmol/L
Ureum darah 12 mg/dl 10-50 mg/dl
Kreatinin darah 0,6 mg/dl 0,1-1,5 mg/dl
GDS 143 mg/dl 70-199 mg/dl
pH 7,45 Normal: 7,35-7,45
pco2 29 mmHg (L) 35-45
PO2 210 mmHG(H) 80-100
hco3 20 mmol/L (L) 21-28%
Total co2 21 mmol/L 21-30
Base excess -3 mmol/L (L) -2-(2)
so2 100% >95%

RESUME
Telah diperiksa seorang pasien anak perempuan usia 9 tahun 9 bulan dengan
keluhan kejang selama lebih dari 30 menit tanpa berhenti. Saat kejang, ibu pasien
mengatakan gigi pasien gemeletuk, mata pasien mendelik ke atas, kelonjotan pada
seluruh badan termasuk tangan dan kaki. Saat kejang pasien tidak sadar. Ibu pasien
tidak yakin hal apa yang memicu kejang tersebut, dan kejang ini tidak membaik
dengan berbagai upaya ang telah dilakukan ibu pasien sehingga ibu pasien membawa
pasien ke IGD, kejang berhenti setelah diberikan beberapa obat melalui infus, namun
ibu pasien mengaku tidak mengetahui obat apa yang dimasukan. Setelah kejang
pasien tampak lemas dan agak mengantuk. Keluhan kejang ini disertai demam yang
suhunya 38,5 C terukur saat di IGD. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan
KU lemas, kesadaran somnolen, febris, konjungitva anemis (+/+), rambut pasien
mudah dicabut dan iga gambang (+/+). Dari hasil lab didapatkan anemia, penurunan
eritrosit, hematokrit, MCV, MCH dan MCHC. Didapatkan juga jumlah netrofil
meningkat dengan limfositopenia, peningkatan LED, hipokalemi, hipokalsemi, serta
kesan asidosis metabolik.

DIAGNOSIS
• Diagnosis Utama:
• Status epileptikus
• Diagnosis Tambahan
• Anemia gravis ec. susp defisiensi besi dd kecacingan.
• Gizi buruk.
• Asidosis metabolik

7
• Diagnosis Banding:
• Muscle twitching ec hipokalemi
• Thalasemia

TATALAKSANA
Farmakologi:
 Diazepam supp 10 mg (2x)
 Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg)  3 mg (2x)  6 mkD
 Fenitoin IV 20 mg/kg  300 mg dalam 50 cc NaCl 0,9% habis dalam 20
menit.
Non-farmakologi :
• Transfusi PRC 150cc/24 jam
• Pemberian cairan 1250cc/24jam
• IVFD RL 500cc + Kaen3B 500cc/24 jam
• Pemberian cairan oral on demand
• Pemberian makanan tinggi kalori dan protein
• Kebutuhan kalori : 1050 kkal/hari
• Kebutuhan protein : 15 g/hari
• Nasi lunak + lauk bervariasi 3x sehari .
• Selingan snack buah 2 x sehari.

SARAN PEMERIKSAAN LANJUTAN:


EEG
Apusan darah tepi
SI TIBC

MONITORING
Observasi TTV, input dan output cairan tiap 3 jam
Monitor balance cairan 24 jam
Observasi kejang

8
PROGNOSIS
• Ad vitam : ad bonam
• Ad sanationam : dubia ad bonam
• Ad functionam : ad bonam.

9
TINJAUAN PUSTAKA: STATUS EPILEPTIKUS

1. Definisi
Epilepsi adalah kejang spontan yang terjadi sebanyak dua kali atau lebih dengan jarak
lebih dari 24 jam. (1) Pada tahun 2005, International League Against Epilepsy (ILAE)
membuat definisi baru dan telah disetujui pada tahun 2014 yaitu bahwa epilepsi
adalah penyakit otak yang ditandai oleh:
(1) Minimal terjadi dua bangkitan kejang spontan dengan jarak lebih dari 24 jam.
(2) Satu bangkitan kejang spontan (First unprovked seizure/ FUS) yang mempunyai
risiko rekurensi paling sedikit 60% untuk terjadinya kejang berulang dalam 10
tahun terakhir.
(3) Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala, tanda klinis (tipe kejang), EEG
(Electroencephalography) yang terjadi bersama-sama. (2)

Status epileptikus adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama 30 menit


atau lebih atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. (3) Status
epileptikus adalah kegawat daruratan dan harus ditangani dengan segera, karena dapat
terjadi disfungsi kardiorespirasi, hipertermia, dan kekacauan metabolik akibat kejang
yang berkepanjangan, yang akan berujung pada cedera neuron yang ireversibel.
Cedera sistem saraf pusat juga masih dapat terjadi meskipun saat pasien diparalisis
dengan blok neuromuskular namun terus mengalami kejang elektrografik. (4)

2. Epidemiologi
Kejang merupakan kelainan neurologis yang paling sering ditemukan pada anak
dimana ada sekitar 4-10% anak mengalami minimal satu kali kejang (febris atau
nonfebris) dalam 16 tahun pertama kehidupan. Sekitar 10-20% penderita epilepsi
setidaknya akan mengalami satu kali episode status epileptikus dalam perjalanan
penyakitnya. Selain itu, status epileptikus dapat merupakan manifestasi epilepsi
pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi. (5)

Berdasarkan data tahun 2015 oleh Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) didapatkan 1,2% populasi Amerika Serikat menderita penyakit epilepsi aktif.
Presentase angka ini menunjukkan ada sekitar 3,4 juta orang yang mengalami epilepsi
dimana perbandingannya 3 juta pada orang dewasa dan 470.000 pada anak-anak.

10
Insiden status epileptikus pada anak diperkirakan sekitar 10-58 per 100.000 anak.
Status epileptikus lebih sering terjadi pada usia muda, terutama usia kurang dari 1
tahun dengan estimasi insiden 1 per 1000 bayi. (6,5)

3. Etiologi
Epilepsi disebabkan oleh multifaktorial dan untuk mengetahui salah satu faktor
pencetus epilepsi adalah dengan pemeriksaan otak menggunakan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) untuk melihat apakah ada gangguan struktural. Faktor tambahan
lainnya seperti genetik, infeksi, metabolik, imunitas dan idiopatik. Sekitar 60% kasus
epilepsi merupakan idiopatik. (2)
 Gangguan struktural pada otak dapat terjadi secara genetik atau didapat. Pada
pasien epilepsi ditemukan mutasi gen GPR56, ensefalopati hipoksik-iskemik,
trauma kepala, infeksi.
 Mutasi genetik dapat meningkatkan risiko terjadinya epilepsi namum
diperlukan adanya kontribusi lingkungan. Mutasi genetik saja tidak
memberikan kontribusi yang cukup berarti untuk menyebabkan epilepsi.
Kontribusi lingkungan yang dapat meningkatkan risiko adalah kurang tidur,
stres dan penyakit.
 Infeksi yang paling sering menyebabkan epilepsi adalah neurosisterkosis,
tuberkulosis, HIV, malaria serebral, toksoplasmosis serebral dan infeksi
kongenital seperti virus Zika dan sitomegalovirus.
 Penyakit metabolik menyebabkan perubahan biokimiawi dalam tubuh berupa
porfiria, uremia, aminoacidopathies, piridoksin.
 Autoimun akibat inflamasi sistem saraf pusat (autoimmune encephalitides)
dimana pada pemeriksaan antibodi ditemukan anti-NMDA receptor
encephalitis dan anti-LGI1 encephalitis. (2)

11
Gambar 1. Etiologi dan Jenis Kejang Berdasarkan International League Against
Epilepsy (ILAE) 2014. (2)

Etiologi status epileptikus adalah sebagai berikut:


 Infeksi dengan demam (52%) seperti kejang demam, ensefalitis, meningitis
 Kelainan SSP kronik (395) seperti ensefalopati hipoksik iskemik dan serebral
palsi
 Penghentian obat anti kejang (21%)
 Lain-lain (<10%). (7)

4. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat ketidakseimbangan antara neurotransmitter eksitasi dan inhibisi.
Jika penyebaran kejang tidak dapat dibatasi maka akan berlanjut menjadi status
epileptikus. Neurotransmiter eksitasi utama adalah neurotran dan asetilkolin,
sedangkan neurotransmiter inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid (GABA). (5) Ada
4 tahap terjadinya kejang:
1. Adanya faktor-faktor yang menimbulkan kejang antara lain faktor predisposisi
(mutasi genetik/ riwayat epilepsi pada keluarga) dan faktor presipitasi (infeksi,
gangguan metabolik, autoimun).
2. Faktor-faktor diatas menyebabkan perubahan pada otak menjadi lebih bersifat
epileptik yang disebut epileptogenesis.

12
3. Terbentuknya fokus kejang pada otak dimana saraf pada fokus kejang tersebut
mengalami depolarisasi paroksismal sehingga terjadi peningkatan eksitasi dan
penurunan inhibisi.
4. Adanya aktivasi jalur apoptosis pada fokus kejang. Hal ini dapat dilihat pada
pemeriksaan MRI dan ditemukan atrofi dan sklerosis pada hippocampus. (5)

5. Tanda dan Gejala


Berdasarkan tanda dan gejala yang muncul, kejang dibagi menjadi kejang fokal dan
kejang umum. (5) Pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Kejang parsial disebabkan oleh adanya lesi pada satu hemisfer serebrum
sehingga kejang hanya terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dengan
kesadaran masih utuh. Gejala yang muncul dapat berupa gangguan sensorik
ataupun motorik.
a. Kejang parsial sederhana merupakan kejang pada satu sisi atau satu
bagian tubuh tanpa disertai gangguan kesadaran.
b. Kejang parsial kompleks merupakan kejang pada satu sisi atau satu
bagian tubuh disertai penurunan kesadaran. (5)
2. Kejang umum disebabkan oleh adanya lesi pada kedua hemisfer serebral
sehingga kejang terjadi pada seluruh tubuh disertai penurunan kesadaran.
a. Kejang tonik ditandai dengan peningkatan rigiditas atau tonus otot.
b. Kejang mioklonik ditandai dengan kontraksi otot bilateral yang cepat,
singkat, berulang.
c. Kejang tonik-klonik sering disebut kejang grand-mal. Dimulai dengan
fase tonik dan diikuti dengan fase klonik.
d. Kejang atonik ditandai dengan hilangnya tonus otot secara mendadak.
e. Kejang absans ditandai dengan hilangnya kesadaran sesaat dan
mendadak. (5)

6. Diagnosis
Anamnesis pasien dengan kejang harus mencakup:
 Deskripsi kejang (bentuk, fokal atau umum, lama, frekuensi, kesadaran saat
kejang, dengan/tanpa demam, interval, kesadaran paska kejang, dan kelumpuhan
paska kejang.

13
 Anamnesis untuk mencari etiologi kejang: demam, trauma kepala, sesak napas,
diare, muntah, riwayat ada tidaknya kejang/epilepsi. Jika ada epilepsi, apakah
minum obat secara teratur.
 Riwayat kejang/epilepsi dalam keluarga. (7)

Pemeriksaan fisik kejang harus meliputi:


 Penilaian kesadaran, pemeriksaan fisik umum yang menunjang ke arah etiologi
kejang seperti ada tidaknya demam, hemodinamik, tanda-tanda dehidrasi maupun
tanda-tanda hipoksia.
 Pemeriksaan neurologi meliputi ada tidaknya kelainan bentuk kepala, ubun-ubun
besar, tanda rangsang meningeal, nervus kranial, motorik, refleks fisiologis dan
patologis. (7)

Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dilakukan pemeriksaan tambahan


berupa darah perifer lengkap, cairan serebrospinal, gula darah, elektrolit darah, dan
analisis gas darah, elektroensefalografi (EEG), dan CT/MRI. (7) Manfaat pemeriksaan
EEG dalam menentukan apakah kejang akan berulang kembali menjadi perdebatan
panjang. Penelitian prospektif selama 2 tahun dilakukan terhadap 347 anak dengan
first unprovoked seizure (FUS). Sebanyak 71% anak dengan EEG epileptik
mengalami berulangnya kejang dalam 2 tahun sehingga perlu dipertimbangkan
penggunaan EEG agar dapat membantuk menetapkan apakah FUS merupakan
sindrom tertentu, apakah bangkitan kejang merupakan kejang parsial atau umum.
EEG abnormal, terutama adanya gelombang paku-ombak, merupakan prediktor yang
konsisten dalam menentukan kemungkinan kejang kembali. (1)

Jika terdapat perlambatan pada EEG, fokalisasi pada EEG atau anak menunjukkan
kelainan neurologis, dapat dilakukan pemeriksaan magnetic resonance imaging
(MRI). Penelitian MRI terhadap 218 diantara 411 anak dengan FUS menunjukkan
bahwa 45 anak (21%) menunjukkan MRI abnormal berupa ensefalomalasia, disgnesis
serebral dan sklerosis temporal mesial. (1)

14
7. Tatalaksana
Setelah kejang pertama, jika risiko rekurensi rendah seperti pada pasien dengan status
neurodevelopmental, EEG dan MRI normal, maka terapi biasanya tidak diberikan.
Jika pasien mempunyai hasil abnormal dalam status neurodevelopmental, EEG, MRI,
riwayat epilepsi dalam keluarga, maka termasuk risiko tinggi untuk terjadinya
rekurensi sehingga dimulainya terapi. (3)

7.1 Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus


Anak yang datang dengan kejang akut yang masih aktif perlu dilakukan stabilisasi
terlebih dahulu. Tujuan utama pengobatan status epileptikus:
 Mempertahankan fungsi vital (A, B, C)
 Identifikasi dan terapi faktor penyebab dan faktor presipitasi
 Menghentikan aktivitas kejang. Tatalaksana penghentian kejang akut dapat dilihat
pada algoritme. (7)

7.1.1. Tahap Stabilisasi (0-5 menit)


Tahap-tahap stabilisasi dilakukan dalam waktu 5 menit pertama sebagai berikut:
 Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) untuk
memastikan tidak ada benda apapun didalam mulut pasien, ventilasi berjalan
dengan baik dan nadi dalam keadaan stabil.
 Posisikan pasien dimiringkan ke samping agar tidak terjadi aspirasi (jika pasien
muntah atau mengeluarkan banyak sekresi oral).
 Lepaskan semua objek atau pakaian yang berada disekitar leher dan wajah untuk
memfasilitasi jalan napas dan mencegah terjadi cedera.
 Pemasangan alat perekam frekuensi nadi, frekuensi napas, tekanan darah, suhu
tubuh dan saturasi oksigen.
 Jika tersedia, oksigen dapat diberikan menggunakan mask atau nasal kanul
walaupun kadar saturasi oksigen dalam batas normal. Pemberian oksigen ini
berfungsi untuk mengoptimalkan oksigenasi dimana kejang akut meningkatkan
kebutuhan oksigen otak dan sistem kardiovaskular.
 Jika saturasi oksigen dibawah batas normal, suction dapat dilakukan untuk
membersihkan jalan napas dari sekresi oral dan/atau vomitus. Selain alat suction,
tidak boleh ada objek lain yang dimasukkan kedalam mulut untuk menghindari

15
risiko cedera pada area mulut.
 Jalur intravena perlu dipasang untuk memfasilitasi obat-obatan dan pengambilan
sampel darah diperlukan untuk membantu menegakkan penyebab kejang.
Penyebab paling sering ditemukan adalah hipoglikemi sehingga untuk
menghentikan kejang dan mencegah cedera pada daerah hippocampus (gangguan
memori) diperlukan terapi glukosa segera melalui jalur intravena. Disebut
hipoglikemi jika didapatkan hasil glukosa darah <45 mg/dl pada anak dengan gizi
baik atau glukosa darah <55mg/dl pada anak dengan gizi buruk. Untuk
mengatasinya diberikan solusio glukosa 10% secara injeksi dengan dosis 5ml/kg,
dan jika dalam 30 menit kadar glukosa darah masih dibawah normal maka dapat
diberikan injeksi glukosa 10% yang kedua. (8)

Penyebab lain dapat dipertimbangkan seperti yang tertera pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Pertimbangan Dalam Evaluasi Diagnosis pada Anak dengan Kejang Akut. (8)

7.1.2. Terapi Inisial (5-20 menit)


Pemilihan jenis obat serta dosis anti-konvulsan pada tata laksana status epileptikus
sangat bervariasi antar institusi. Diazepam merupakan anti-kejang golongan
benzodiazepine yang paling banyak digunakan. Jika pasien tidak berada dirumah sakit
atau rumah sakit tidak mempunyai fasilitas intravena, maka pemberian diazepam
dapat diberikan secara supositoria dengan dosis 0,5mg/kg (maksimal 10mg) dan jika
berat badan pasien tidak dapat diukur maka dosis diazepam berdasarkan usia pasien.
(8)

16
Bila terpasang cairan IV, berikan fenitoin IV dengan dosis 20 mg/kgBB dilarutkan
dalam NaCl 0,9% diberikan perlahan lahan dengan kecepatan pemberian 50
mg/menit. Bila kejang belum teratasi, dapat diberikan tambahan fenitoin IV 10
mg/kgBB. Bila kejang teratasi, lanjutkan pemberian fenitoin IV setelah 12 jam
kemudian dengan rumatan 5-7 mg/kgBB. (7)

Bila kejang belum teratasi, berikan fenobarbital IV dengan dosis maks 15-20
mg/kgBB dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit. Awasi dan atasi kelainan
metabolik yang ada. Bila kejang berhenti, lanjutkan dengan pemberian fenobarbital
IV rumatan 4-5 mg/kgBB setelah 12 jam kemudian. (7)

7.1.3. Terapi Status Epileptikus (20-40 menit)


Jika setelah pemberian obat golongan benzodiazepine kedua gagal, maka pasien dapat
dikategorikan status epileptikus. Keadaan ini membahayakan nyawa dan dapat dirujuk
ke rumah sakit tingkat A untuk diberikan terapi intensif. Selama proses pemindahan
pasien ke rumah sakit tipe A maka diperlukan pemberian anti kejang terlebih dahulu
yang mempunyai jangka kerja yang panjang. WHO’s Mental Health Gap Acton
Program merekomendasikan obat antikejang jangka panjang berupa fenobarbital,
fenitoin dan asam valproat. (8)

Tabel 2. Obat Anti Kejang Jangka Panjang untuk Pasien dengan Status Epileptikus. (8)

Di ruang intensif, dapat diberikan salah satu obat di bawah ini:


- Midazolam 0,2 mg/kgBB diberikan bolus perlahan-lahan, diikuti infus midazolam
0,01 – 0,02 mg/kgBB/menit selama 12-24 jam

17
- Propofol 1 mg/kgBB selama 5 menit, dilanjutkan dengan 1-5 mg/kgBB/jam dan
diturunkan setelah 12-24 jam
- Pentobarbital 5-15 mg/kgBB dalam 1 jam, dilanjutkan dengan 0,5-5
mg/kgBB/jam. (7)

Cara Pemberian Obat Antikonvulsan pada Tata Laksana Kejang Akut


Diazepam:
 Dosis maksimum pemberian diazepam rektal 10 mg, dapat diberikan 2 kali
dengan interval 5-10 menit
 Sediaan IV tidak perlu diencerkan, maksimum sekali pemberian 10 mg dengan
kecepatan maks 2 mg/menit, dapat diberikan 2-3x dengan interval 5 menit. (7)

Fenitoin:
 Dosis inisial maksimum adalah 1000 mg (30 mg/kgBB)
 Sediaan IV diencerkan dengan NaCl 0,9%, 10 mg/1 cc NaCl 0,9%
 Kecepatan pemberian IV: 1 mg/kgBB/menit, maksimum 50 mg/menit
 Jangan diencerkan dengan cara yang mengandung dekstrosa, karena akan
menggumpal
 Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20 menit setelah pemberian
 Dosis rumat: 12-24 jam setelah dosis inisial
 Efek samping: aritmia, hipotensi, kolaps kardiovaskuler pada pemberian IV
yang terlalu cepat. (7)

Pemantauan kejang adalah sebagai berikut:


 CT scan/MRI kepala, elektroensefalografi, Brainstem Auditory Evoked
Potential, Visual Evoked Potential
 Gejala sisa: delayed motorik, sindrom ekstrapiramidal, retardasi mental, dan
epilepsi. (7)
Berikut ini adalah algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus
berdasarkan Konsensus UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. (3)

18
Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus. (3)

7.2 Tatalaksana Epilepsi


Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sel-sel otak sehingga
jika kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas
dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Tujuan utama
pengobatan epilepsi adalah mencegah serangan berulang agar meminimalkan
kerusakan sel-sel otak. Tujuan ini sudah dicapai lebih dari 60% pasien yang
menggunakan obat antikejang. Studi tahun 2017 telah membuktikan bahwa kurang
dari 2/3 pasien yang terdiagnosa epilepsi telah bebas kejang selama1 tahun. (5,9)

Inisiasi pemberian obat anti-kejang jika hasil pemeriksaan EEG abnormal


walaupun pasien baru menunjukkan bangkitan kejang yang pertama. Pendekatan
terapi ini dapat dilihat berdasarkan algoritma pada Gambar 3. (5)

19
Gambar 3. Algoritma Pendekatan terhadap Pasien dengan Suspek Gangguan
Kejang (5)

Pemberian obat anti-kejang berbeda-beda berdasarkan tipe kejang. Diharapkan


hanya memberikan 1 jenis obat (monoterapi) pada saat baru dimulainya terapi.
Penambahan obat anti-kejang hanya diberikan jika kejang tidak dapat ditangani
setelah pemberian obat lini pertama dengan dosis maksimal. Pemilihan kombinasi
anti-kejang sebaiknya menghindari penggabungan obat yang mempunyai mekanisme
kerja yang sama seperti fenitoin dan karbamasepin (keduanya sama-sama bekerja di
kanal Na+). Penghentian obat anti kejang lini pertama dilakukan jika menimbulkan
efek samping yang tidak dapat ditoleransi dan digantikan dengan obat anti-kejang
lainnya. (5)

Obat anti-kejang bekerja dengan cara: (1) Menghambat fungsi kanal natrium,
kalium, kalsium; (2) Mengurangi pelepasan neurotransmitter eksitasi; (3)

20
Meningkatkan inhibisi GABA. Pada umumnya obat anti-kejang mempunyai lebih dari
(5)
satu mekanisme kerja. Berikut adalah pembagian obat anti-kejang berdasarkan
mekanisme kerja obat:
 Blokade Voltage-gated sodium channels: Asam valproat, karbamasepin,
okskarbasepin, fenitoin, felbamat, topiramat.
 Blokade T-type calcium channels: Asam valproat, etosuksimid.
 Blokade Voltage-gated calcium channels: Gabapentin, pregabalin,
lamotrigine, felbamat.
 Aktivasi reseptor GABAA: Fenobarbital, bensodiasepin, topitamat, felbamat,
levetiracetam. (5)

Gambar 4. Mekanisme Kerja Obat Anti-kejang. (5)

Penyebab dan patofisiologi penyakit epilepsi masih belum jelas sehingga


pemberian obat anti-kejang tidak dapat diberikan secara spesifik dan pemilihan jenis
obat anti-kejang beradasarkan tipe kejang. Lini pertama untuk kejang parsial dan
epilepsi adalah okskarbazepin dan karbamazepin, kejang absan diberikan etosuksimid,
juvenile myoclonic epilepsy diberikan valproat dan lamotrigin. Obat antiepilepsi ini
diberikan dimulai dengan dosis yang lebih kecil dan dapat ditingkatkan secara
bertahap hingga dosis pemeliharaan. Penghentian pengobatan anti-kejang
diindikasikan jika telah bebas kejang selama minimal 2 tahun. (5)

21
 Okskarbazepin diberikan pada anak usia >2 tahun, dimulai dengan ¼ dosis
pemeliharaan dan ditingkatkan setiap 2-3 hari hingga dosis pemeliharaan 20-
40 mg/kg/hari dan dibagi 2 kali/hari.
 Karbamazepin dapat diberikan semua umur , dimulai dengan ¼ dosis
pemeliharaan dan ditingkatkan setiap 2-3 hari hingga dosis pemeliharaan 10-
20 mg/kg/hari dan dibagi 2-3 kali/hari.
 Etoksusimid diberikan pada anak usia > 3 tahun dengan dosis pemeliharaan
20-30 mg/kg/hari dan dibagi dalam 2-3 kali/hari.
 Asam valproate diberikan pada anak usia > 2 tahun dengan dosis pemeliharaan
15-40 mg/kg/hari dan dibagi dalam 2-3 kali/hari.
 Lamotrigin diberikan pada anak usia > 2 tahun dengan dosis pemeliharaan 1-
15 mg/kg/hari dan dibagi dalam 2-3 kali/hari. (5)

Jika pasien gagal dengan kombinasi 3 obat, maka kesempatan untuk mencapai
bebas kejang menggunakan obat anti-kejang <10%. Diperlukan pertimbangan untuk
dilakukan operasi jika pada pasien gagal dengan 2 atau 3 jenis obat anti-kejang dalam
2 tahun sejak onset epilepsi atau segera sebelum 2 tahun. Melakukan operasi epilepsi
pada tahap awal (usia <5 tahun) dapat membantu fungsi perkembangan otak. Jenis
operasi yang paling umum dilakukan adalah reseksi fokal. Jika lesi difus pada
hemisfer dilakukan hemisferetomi. Idealnya, operasi epilepsy dapat mengeliminasi
kejang tanpa menyebabkan penurunan fungsi apapun. Penelitian dilakukan terhadap
134 anak dengan epilepsi di Seoul National University Children’s Hospital dan
didapatkan data bahwa operasi epilepsi berhasil menghasilkan pasien bebas kejang
pada 93 per 134 kasus (69%). Pada penelitian ini tidak terjadi kematian pasca operasi
dan komplikasi yang paling sering terjadi adalah gangguan lapang pandang dan
hemiparesis. (5,10)

8. Komplikasi
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu
reaksi in amasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat
dan GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem
jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang
dapat menyebabkan komplikasi sistemik. Proses kontraksi dan relaksasi otot yang

22
terjadi pada status epileptikus konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot, demam,
rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan
metabolism anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan
fungsi saraf otonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau
aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia akibat
pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa akan turun.
Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan
bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi
akibat proses in amasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak. (3)

9. Prognosis

Gejala sisa lebih sering terjadi pada status epileptikus simtomatis berupa menderita de
sit neurologis permanen (37%), disabilitas intelektual (48%). Sekitar 3-56% pasien
yang mengalami status epileptikus akan mengalami kembali kejang yang lama atau
status epileptikus yang terjadi dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko status epileptikus
berulang adalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi simtomatis remote,
sindrom epilepsi. (3)

23
TINJAUAN PUSTAKA: ANEMIA GRAVIS PADA ANAK

1. Definisi
Anemia adalah kondisi saat jumlah sel darah merah (dan sebagai dampaknya,
kapasitas membawa oksigen) tidak mampu memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh. (11)
Anemia juga seringkali didefinisikan sebagai kadar hemoglobin yang lebih rendah
dua standar deviasi dari rerata untuk usianya. Setelah anak mencapai usia 12 tahun,
kadar hemoglobin normal dapat dibagi berdasarkan rentang tergantung jenis
kelaminnya. (12)

2. Patofisiologi dan Etiologi


Anemia dapat terjadi pada berbagai bagian dari proses eritropoiesis. Proses
eritropoiesis sendiri bermula dari sel punca hematopoietik (HSC) hingga menjadi
eritrosit (RBC). Proses ini terjadi pada sumsum tulang, dan retikulosit dilepaskan ke
sirkulasi, serta mengalami pematangan dengan degenerasi organel-organel internalnya
dan remodeling membran plasmanya, hingga menjadi eritrosit. (13)

Gambar 5. Jalur Eritropoiesis (13)

Berbagai penyebab anemia pada bayi dan anak-anak adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Etiologi Anemia pada Bayi dan Anak-anak (12)


Tipe Anemia
Usia
Mikrositik Normositik Makrositik
Neonatus Talasemia alfa Kehilangan darah akut Aplasia kongenital
Isoimunisasi (hemolisis
dimediasi antibodi)
Anemia hemolitik kongenital
(sferositosis, G6PD)
Infeksi kongenital (parvovirus

24
B19)
Bayi dan balita Anemia defisiensi Infeksi yang berlangsung Defisiensi folat atau
besi Kehilangan darah akut vitamin B12
Infeksi yang Anemia defisiensi besi Hipotiroidisme
berlangsung Penyakit sel sabit Hipersplenisme
Talasemia Defek enzim eritrosit (G6PD, Aplasia kongenital
defisiensi piruvat kinase)
Defek membran eritrosit
(sferositosis, eliptositosis)
Anemia hemolitik akuisita
Anemia hemolitik autoimun
Hipersplenisme
Eritroblastopenia transien
pada anak
Kelainan sumsum tulang
(leukemia, mielofibrosis)
Anak-anak yang Anemia defisiensi Kehilangan darah akut Defisiensi folat atau
lebih tua dan besi Anemia defisieni besi vitamin B12
remaja Anemia penyakit Anemia penyakit kronik Hipotiroidisme
kronik Anemia hemolitik akuisita
Talasemia Penyakit sel sabit
Kelainan sumsum tulang
(leukemia, mielofibrosis)

Anemia terbanyak pada bayi dan anak adalah anemia defisiensi besi. Etiologi
tersering dari ADB pada anak-anak adalah asupan zat besi yang tidak mencukupi,
pertumbuhan yang cepat, berat lahir yang rendah, dan hilangnya zat besi dari saluran
(14)
cerna karena konsumsi susu sapi dalam jumlah besar. Pada periode intrauterin,
satu-satunya sumber zat besi adalah dari ibu yang masuk transplasental. Pada akhir
(14)
masa kehamilan, total jumlah zat besi pada fetus sekitar 75 mg/kgBB. Anemia
fisiologis terjadi pada periode paska natal, dan simpanan zat besi seharusnya cukup
untuk proses eritropoiesis pada enam bulan pertama kehidupan, jika tidak ada
kehilangan darah secara signifikan. Pada bayi-bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) dan dengan kehilangan darah perinatal, persediaan besi habis lebih cepat.
Penjepitan tali pusat yang tidak segera (>30 detik) akan memperbaiki status zat besi
dan menurunkan risiko terkena defisiensi besi pada bayi. (14)
Pada bayi-bayi yang mendapat ASI eksklusif, cadangan besi pada ASI
tertinggi pada bulan pertama, namun perlahan-lahan berkurang hingga mencapai 0,3
mg/L pada bulan kelima. Meskipun jumlah zat besi dari ASI tidak terlalu banyak,
penyerapannya tinggi (50%), namun jumlah zat besi tersebut masih lebih rendah dari
jumlah yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Makanan apapun yang diberikan
bersama ASI selama periode enam bulan pertama kehidupan akan mengganggu

25
penyerapan zat besi pada ASI, sehingga harus diberikan secara terpisah. Bayi-bayi
menggunakan cadangan besi pada tubuh mereka selama enam bulan pertama sampai
mereka dapat mengonsumsi zat besi dari MPASI. (14)
Setelah usia enam bulan, bayi harus mendapat MPASI yang mengandung
banyak zat besi, zink, fosfor, magnesium, kalsium, dan vitamin B6. Menurut WHO,
98% kebutuhan zat besi bayi usia 6-23 bulan harus terpenuhi dengan makanan padat.
(15,16)
Makanan-makanan padat harus terdiri dari daging, ikan, telur, dan vitamin C
untuk membantu kecukupan zat besi. Kesalahan lain dalam pemberian makan bayi
adalah pemberian susu sapi yang terlalu dini dalam jumlah banyak. Pada bayi-bayi,
kehilangan darah yang kronik dapat disebabkan oleh protein sensitif panas (heat-
sensitive proteins) pada susu sapi. Penyerapan zat besi pada susu sapi juga lebih
rendah dibandingkan ASI. Susu sapi menggantikan asupan makanan tinggi zat besi,
dan kalsium dan kaseinofosfopeptida pada susu sapi mengganggu penyerapan zat
besi. Jika bayi usia enam bulan kurang diberikan asupan zat besi saat cadangan besi
mereka hampir habis, defisiensi besi dengan mudah terjadi. (14)
Pada anak-anak yang lebih besar, kehilangan darah sebagai penyebab
defisiensi zat besi harus dipertimbangkan, jika asupan zat besi cukup atau respons
pengobatan oral kurang baik. ABD kronik akibat perdarahan occult terkadang terjadi
pada anak-anak dengan masalah gastrointestinal seperti ulkus peptikum, divertikulum
Meckel, polip, hemangioma, atau inflammatory bowel disease. Kehilangan zat besi
dari makanan mungkin disebabkan penyakit seliak, diare kronik, atau hemosiderosis
pulmonal, dan harus digali dengan anamnesis. Parasitosis juga dapat menyebabkan
ADB, terutama pada negara tropis yang sedang berkembang. Pada anak-anak remaja
perempuan, ADB terjadi pada 2% populasi akibat pertumbuhan yang cepat (growth
spurt) atau menstruasi yang abnormal, sehingga perlu ditanyakan adanya kelainan
perdarahan seperti penyakit von-Willebrand, dan penyakit-penyakit lainnya.
Penyebab anemia defisiensi besi jika dilihat dari demografi usia adalah sebagai
berikut:
1. Bayi dibawah umur 1 tahun
 Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah dan bayi kembar.
2. Anak berumur 1 – 2 tahun
 Masukan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat makanan tambahan
(hanya minum susu)

26
 Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
 Malabsorbsi
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan, antara lain karena infeksi parasit
dan divertikulum Meckel
3. Anak berumur 2 – 5 tahun
 Masukan besi berkurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-heme
 Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan, antara lain karena infestasi parasit
dan divertikulum Meckel
4. Anak berumur 5 tahun – masa remaja
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan, antara lain karena infestasi parasit
dan poliposis
5. Usia remaja – dewasa.
 Pada wanita, menstruasi berlebihan. (17)

Penyerapan zat besi pada tubuh manusia dipengaruhi oleh status besi individu
tersebut dan beberapa faktor dalam dietnya, sebagai berikut:

1. Penyerapan besi hem


Faktor-faktor yang menentukan status besi subjek:
 Jumlah besi hem dalam makanan, terutama dalam daging
 Jumlah kalsium dalam makanan (contoh: dari susu, keju)
 Persiapan makanan (waktu, suhu) (18)
2. Penyerapan besi non-hem
 Faktor-faktor yang menentukan status besi subjek:
o Jumlah besi non-hem yang tersedia (termasuk besi terfortifikasi dan
besi yang mengontaminasi)
o Adanya keseimbangan antara faktor-faktor pendukung dan faktor-
faktor inhibisi.
 Faktor-faktor pendukung:
o Asam askorbat (beberapa jus buah, kentang, beberapa sayur)
o Daging, ikan, dan makanan laut lain
o Sayur terfermentasi, saus kedelai terfermentasi, dll
 Faktor-faktor inhibisi:

27
o Fitat dan berbagai fosfat inositol rendah lain
o Kandungan fenol yang mengikat besi (teh, kopi, kokoa, beberapa
bumbu dapur, beberapa sayur, anggur merah)
o Kalsium (susu, keju)
o Soya (18)

Anemia defisiensi besi banyak disebabkan oleh infeksi cacing. Hookworm,


yang merupakan sebutan untuk cacing Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale, tinggal pada usus halus individu yang terinfeksi. Cacing-cacing tersebut
menempel pada vili di usus halus dan mengonsumsi darah manusia. Pada anak-anak
dengan asupan zat besi yang inadekuat dan kebutuhan besi fisiologis yang tinggi, hal
ini dapat berakibat pada anemia. (19)
Anemia yang juga dapat terjadi pada anak-anak yang berusia lebih besar
adalah anemia penyakit kronis. Anemia jenis ini adalah anemia tersering setelah
anemia defisiensi besi, dan biasanya terjadi pada pasien yang penyakit mereka
mengelisitasi respons imun/inflamatori yang menyebabkan penurunan pengambilan
besi pada berbagai tempat. (20) Beberapa penyebab anemia penyakit kronik adalah:
 Infeksi (akut dan kronik) oleh virus, parasit, bakteri, fungi
 Kanker (hematologi, tumor padat)
 Autoimun (artritis rematik, lupus dan penyakit jaringan ikat, vaskulitis,
sarkoidosis, penyakit radang panggul)
 Penolakan transplantasi organ yang terjadi kronik
 Penyakit ginjal kronik dan inflamasi. (20)

3. Diagnosis
3.1 Manifestasi Klinis
Kebanyakan anak dengan anemia tidak menunjukkan tanda dan gejala klinis yang
signifikan, dan biasanya terdeteksi melalui skrining rutin pada usia 12 bulan, atau
lebih awal pada anak dengan risiko tinggi, seperti masalah makan, pertumbuhan yang
tidak adekuat, dan konsumsi besi dari makanan yang tidak mencukupi. (12) Anamnesis
awal harus mencakup riwayat medis secara keseluruhan, seperti prematuritas, berat
badan lahir rendah, pola makan anak, adanya penyakit-penyakit kronik, riwayat
(12)
anemia di keluarga, dan latar belakang etnis. Anamnesis yang baik dapat
mengarahkan ke diagnosis etiologi tertentu. Selain pucat, orang tua pasien dapat

28
(21)
mengeluhkan anak mengantuk, iritabel, dan penurunan toleransi olahraga. Pucat
adalah tanda yang terpenting dari anemia, namun biasanya tidak terlihat hingga
hemoglobin (Hb) turun ke angka 7-8 g/dL. Penampakan anemis biasanya dapat
terlihat pada telapak tangan, garis-garis tangan, kuku, atau konjungtiva. (22) Orang tua
biasanya tidak menyadari penampakan anemis tersebut karena Hb turun perlahan.
Seiring dengan semakin parahnya anemia, terjadi kelemahan, takipneu, dan gagal
(21)
jantung dengan high-output, apapun penyebab anemia tersebut. Kondisi
kekurangan zat besi akan tampak pada kuku yang berbentuk seperti sendok (spoon-
shaped nails) atau koilonikia (terdapat pada 5,5% kasus ADB). Pada saluran cerna,
kekurangan zat besi akan mengganggu proses epitelisasi. Papil lidah juga mengalami
atrofi. Pada pinggir mulut dapat tampak stomatitis angularis, dan dapat ditemui
gastritis pada 75% kasus ADB. (17)
Perilaku anak dengan ADB dapat menjadi aneh, seperti pika (mengonsumsi
atau mengunyah benda-benda bukan makanan seperti kertas, kotoran, alat tulis, pasta
gigi), dan pagofagia (keinginan untuk mengunyah-ngunyah es batu), yang disebabkan
oleh rasa kurang nyaman di mulut. (17,22)

Tabel 4. Temuan Klinis pada ADB (14)


Organ Temuan Klinis
Kulit Pucat
Kuku Koilonikia
Muskuloskeletal Penurunan kapasitas aktivitas dan olahraga
Kardiovaskular Peningkatan curah jantung
Takikardi
Kardiomegali
Gagal jantung
Gastrointestinal Hilang nafsu makan
Stomatitis angularis
Glositis atrofikans
Disfagia
Pica
Enteropati sensitif gluten
Sindrom Plummer-Vinson
Imunitas Penurunan resistensi terhadap infeksi
Disfungsi limfosit T dan PMN
Sistem Saraf Pusat Iritabiliti – malaise
Pingsan / sinkop
Papiledema
Pseudotumor serebri
Palsi nervus 6
Restless leg syndrome

29
Breath holding spell
Gangguan tidur
Sulit berkonsentrasi
Sulit menerima pelajaran
Masalah kepribadian
Penurunan fungsi persepsi
Retardasi perkembangan motor dan mental
Peningkatan penyerapan logam berat Intoksikasi zat besi

Anamnesis anemia penyakit kronik akan memperoleh adanya riwayat penyakit


yang biasanya telah berjalan cukup lama (baik diketahui maupun tidak diketahui),
yang dapat mengarahkan pada diagnosis anemia penyakit kronik. Biasanya, diagnosis
ini dibuat secara eksklusionam. (20)

3.2 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis anemia ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang, yaitu dari kadar
hemoglobin (Hb). Hitung darah lengkap adalah tes awal yang paling sering dilakukan
untuk menentukan jenis anemia, yang membagi anemia menjadi anemia mikrositik,
normositik, dan makrositik, berdasarkan mean corpuscular volume (MCV). (12) Selain
itu, juga dilakukan pemeriksaan hitung leukosit, hitung jenis leukosit, hitung platelet,
hitung retikulosit, dan pemeriksaan apusan darah tepi. Perlunya pemeriksaan
laboratorium tambahan ditentukan oleh anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil
laboratorium berbagai pemeriksaan tersebut. (21)

Tabel 5. Rerata dan Batas Bawah Kadar Hemoglobin, Hematokrit, dan Mean
Corpuscular Volume (21)
Hemoglobin (g/dL) Hematokrit (%) Mean Corpuscular
Volume (uM3)
Usia (tahun)
Rerata Batas Rerata Batas Rerata Batas
Bawah bawah Bawah
0,5 – 1,9 12,5 11,0 37 33 77 70
2–4 12,5 11,0 38 34 79 73
5–7 13,0 11,5 39 35 81 75
8 – 11 13,5 12,0 40 36 83 76
12 – 14
Perempuan 13,5 12,0 41 36 85 78
Laki-laki 14,0 12,5 43 37 84 77
15 – 17
Perempuan 14,0 12,0 41 36 87 79
Laki-laki 15,0 13,0 46 38 86 78
18 – 49

30
Perempuan 14,0 12,0 42 37 90 80
Laki-laki 16,0 14,0 47 40 90 80

Pada daerah dengan fasilitas laboratorium yang terbatas, Markum et al


mengusulkan beberapa pedoman untuk menduga adanya anemia defisiensi besi:
 Adanya riwayat faktor predisposisi dan faktor etiologi
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala pucat tanpa perdarahan atau
organomegali
 Adanya anemia hipokromik mikrositer (MCV menurun dan RDW meningkat)
 Adanya respons terhadap pemberian suplementasi zat besi. (17)

Gambar 7. Apusan darah tepi pasien dengan ADB yang parah (22)

Gambar 8. Berbagai Abnormalitas Morfologis Eritrosit (A) Normal (B) Makrosit (Defisiensi Asam
Folat atau B12) (C) Mikrositik Hipokromik (Defisiensi Besi) (D) Sel Target (Penyakit HbCC) (E)
Skizosit (Sindrom Hemolitik Uremiik) (21)

Beberapa indikator anemia defisiensi besi adalah sebagai berikut:


 Hemoglobin kurang dari 11.0 gram/dL

31
 Mean corpuscular volume (MCV) <70 um3 pada usia enam hingga 24 bulan
 Saturasi transferin <16%
 Erythrocyte zinc protoporphyrin (ZPP) anak usia dibawah lima tahun >70, diatas
lima tahun >80
 Red cell distribution weight (RDW) yang meningkat. (22)

Berikut perbandingan anemia defisiensi besi dengan anemia-anemia


mikrositik lain:

Tabel 6. Parameter Laboratorium Pembeda ADB dengan Anemia Mikrositik Lainnya (22)
Talasemia alfa atau Anemia akibat
Parameter ADB
beta Penyakit Kronis
Hemoglocin   
MCV   N/
RDW  N/ minimal N-
Eritrosit  N- N-
Feritin serum  N 
TIBC  N 
Saturasi transferin  N 
FEP  N 
Reseptor transferin  N 
Konsentrasi Hb  N N-
retikulosit

Anemia yang disebabkan infeksi cacing dapat didiagnosis dengan menemukan


telur cacing pada sediaan tinja anak yang terinfeksi cacing.
Perhitungan indeks Mentzer (MCV/hitung eritrosit) akan membantu
membedakan talasemia dari anemia defisiensi besi. Indeks Mentzer <13 mengarahkan
ke diagnosis talasemia, sedangkan >13 mengarah pada defisiensi besi.
Pemeriksaan anemia penyakit kronik mencakup apusan darah (gambaran
anemia normositik normokrom) dan sumsum tulang, hitung retikulosit (biasanya
menurun), analisis feses, kadar bilirubin serum dan kadar laktat dehidrogenase
(LDH), dan penilaian fungsi ginjal. (20) Perbedaan kadar beberapa marker serum antara
anemia penyakit kronik (APK) dan anemia defisiensi besi (ADB) adalah sebagai
berikut:

32
Tabel 7. Kadar Beberapa Marker Serum pada ADB dan APK (20)
Variabel APK ADB Keduanya
Besi Menurun Menurun Menurun
Transferin serum Menurun - N Meningkat Menurun
Saturasi transferin Menurun Menurun Menurun
Feritin N – Meningkat Menurun Menurun – N
TfR terlarut N Meningkat N – Meningkat
Rasio TfR terhadap Rendah (<1) Tinggi (>2) Tinggi (>2)
log feritin
Kadar sitokin Meningkat Normal Meningkat

4. Diagnosis Diferensial
Penyebab anemia tidak bersifat spesifik, namun disebabkan oleh proses patologis
yang mendasari. Demi menyempitkan kemungkinan diagnosis, anemia
(21)
diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan/atau fisiologinya. Anemia dapat
diklasifikasikan berdasarkan ukuran eritrosit (MCV), dan penampakan mikroskopik
mereka. Pemeriksaan apusan darah seringkali menunjukkan perubahan pada
penampakan eritrosit, yang akan membantu membuat diagnosis semakin spesifik. (21)

Gambar 9. Penyebab Anemia pada Negara-negara Sosioekonomi Menengah Ke Bawah (21)

33
Gambar 10. Penggunaan Kriteria MCV dan Hitung Retikulosit Untuk Diagnosis Anemia (21)

Anak-anak dengan anemia mikrositik dan hitung retikulosit rendah atau


normal biasanya memiliki defek maturasi eritroid atau eritropoiesis inefektif.
Defisiensi besi biasanya merupakan penyebab tersering. Talasemia adalah diagnosis
diferensial primer jika dicurigai defisiensi besi. Anemia penyakit kronik atau atau
inflamasi, keracunan logam berat, dan anemia sideroblastik harus dipertimbangkan.
Mikrositosis dan peningkatan hitung retikulosit dikaitkan dengan sindrom talasemia
dan hemoglobin C dan E. Kelainan talasemia dan hemoglobinopati adalah yang paling
sering ditemukan pada pasien-pasien yang tinggal di Mediterania, Timur Tengah,
Afrika, atau Asia. (21)

Beberapa diagnosis diferensial anemia mikrositik yang tidak berespon


terhadap suplementasi besi oral:
 Compliance yang rendah (intoleransi besi murni agak jarang didapatkan)
 Dosis obat yang tidak tepat
 Malabsorpsi besi suplemental
 Adanya kehilangan darah yang terus berlangsung, termasuk dari traktus
gastrointestinal, menstruasi, dan pulmonal
 Infeksi atau penyakit inflamasi yang berlangsung yang menghambat respon
terhadap besi
 Defisiensi vitamin B12 atau folat. (22)

Anemia normositik dengan hitung retikulosit yang rendah merupakan


karakteristik dari berbagai jenis anemia. Biasanya, anemia penyakit kronik atau
inflamasi bersifat normositik. Anemia yang terkait dengan gagal ginjal biasanya

34
diakibatkan penurunan produksi EPO. Penurunan atau tidak adanya produksi eritrosit
yang diakibatkan eritroblastopenia transien pada anak-anak, infeksi, obat-obatan,
endokrinopati dan infiltrasi keganasan ke sumsum tulang biasanya berakibat pada
anemia normositik. Pada kasus-kasus leukemia atau infiltrasi keganasan, dapat
ditemukan leukosit abnormal atau sel-sel tumor terkait trombositopenia, atau leukosit
yang menurun atau meningkat. Perdarahan akut, hipersplenisme, dan anemia
diseritropoietik kongenital tipe II juga bersifat normositik. (21)
Pada anak-anak dengan anemia normositik dan respons retikulosit yang baik,
anemia biasanya disebabkan oleh perdarahan, hipersplenisme, atau hemolisis yang
terjadi. Pada kondisi-kondisi hemolitik, retikulositosis, hiperbilirubinemia indirek,
dan peningkatan laktat dehidrogenase serum merupakan indikator destruksi eritrosit
yang dipercepat. Terdapat banyak penyebab hemolisis, yang biasanya diakibatkan
kondisi ekstrinsik (biasanya akuisita) atau intrinsik (biasanya kongenital) dari
eritrosit. Morfologi eritrosit yang abnormal yang ditemukan pada apusan darah tepi
dapat membantu menegakkan diagnosis. (21)
Anemia pada anak-anak dengan eritrosit makrositik dapat bersifat
megaloblastik, yang diakibatkan kerusakan sintesis DNA dan perkembangan nukleus.
Apusan darah tepi pada anemia megaloblastik dapat menemukan makroovalosit yang
besar, dan neutrofilnya seringkali menunjukkan hipersementasi nukleus. Berbagai
penyebab anemia megaloblastik meliputi defisiensi folat, defisiensi B12, dan
kesalahan metabolisme. Penyebab anemia makrositik lain dengan hitung retikulosit
normal atau rendah meliputi anemia aplastik akuisita dan kongenital (Diamond-
Blackfan dan Fanconi), dan hipotiroidisme. Pasien-pasien dengan trisomi 21 memiliki
sel-sel makrositik, namun biasanya anemia tidak selalu ditemukan. MCV yang tinggi
dan retikulositosis ditemukan pada anemia diseritropoietik kongenital tipe I dan III,
dan pada kondisi hemolisis menyebabkan banyaknya produksi eritrosit dan tingginya
MCV. (21)

5. Tatalaksana
Anak usia <6 tahun dianggap menderita anemia jika kadar Hb nya <9,3 gram/dL
(kira-kira sama dengan nilai Ht <27%). Jika timbul anemia, atasi hal tersebut, kecuali
jika anak tersebut menderita gizi buruk. Pengobatan dengan menggunakan zat besi
(tablet besi/folat atau sirup setiap hari) selama 14 hari. Minta orang tua anak untuk
datang lagi setelah 14 hari, dan jika mungkin, pengobatan harus diberikan hingga dua

35
bulan. Dibutuhkan waktu 2-4 minggu untuk menyembuhkan anemia dan 1-3 bulan
setelah kadar Hb kembali normal untuk mengembalikan persediaan besi tubuh. (23)
Suplementasi besi harian dapat membantu memperbaiki cadangan besi tubuh
dan memperbaiki klinis anemia. Preparat besi yang tersedia di Indonesia adalah ferous
sulfat, ferous glukonas, ferous fumarat, dan ferous suksinat. Dosis suplemen besi
elemental harian adalah 4-6 mg/kgBB/hari. Respons terapi dinilai dengan memantau
kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulan, yaitu kenaikan Hb sebesar 2 gram/dL atau
lebih. Bila respons ditemukan, terapi dilanjutkan hingga dua hingga tiga bulan. (24)
o Ferous fumarat : 33% merupakan besi elemental
o Ferous glukonas : 11,6% merupakan besi elemental
o Ferous sulfat : 20% merupakan besi elemental
Pada kasus-kasus anemia berat, beri transfusi darah sesegara mungkin untuk:
 Semua anak dengan kadar Ht ≤12% atau Hb ≤4 gram/fL
 Anak dengan anemia tidak berat (Ht 13-18%; Hb 4-6 gram/dL) dengan beberapa
tampilan klinis berikut:
o Dehidrasi yang terlihat secara klinis
o Syok
o Gangguan kesadaran
o Gagal jantung
o Pernapasan yang dalam dan berat
o Parasitemia malaria yang sangat tinggi (>10% eritrosit berparasit). (23)

Anak yang mengalami anemia akibat infeksi cacing harus diberikan terapi
antihelmintik, dengan albendazol atau mebendazol. Pada area yang bersifat ko-
endemik dengan skistosomiasis, henzimidazol biasanya digunakan bersamaan dengan
prazikuantel. Seringkali, infeksi cacing dapat diiringi dengan kelainan lain yang dapat
menyebabkan anemia. (19)
Tatalaksana anemia penyakit kronik adalah dengan mengendalikan penyakit
yang mendasari, pemberian suplementasi asam lemak tidak jenuh omega-3, agen
stimulan eritropoietin, terapi dengan besi, dan transfusi sel darah merah pada kondisi-
kondisi anemia yang berat. (20)
Apapun penyebabnya, anemia yang berat harus diberikan transfusi darah. Jika
komponen sel darah merah (PRC) tersedia, pemberian 10 mL/kgBB selama 3-4 jam

36
lebih baik dibandingkan pemberian whole blood (WB). Jika tidak tersedia, boleh
diberikan darah utuh segar (WB) 20 mL/kgBB dalam 3-4 jam. Selama pemberian
darah, periksa frekuensi napas dan denyut nadi anak setiap 15 menit. Jika salah satu di
antaranya mengalami peningkatan, lambatkan transfusi. Jika anak tampak mengalami
kelebihan cairan karena transfusi darah, berikan furosemid 1-2 mg/kgBB IV, hingga
jumlah total maksimal 20 mg. Jika kadar Hb masih sama seperti sebelum transfusi,
transfusi dapat diulang. Pada anak dengan gizi buruk, kelebihan cairan merupakan
komplikasi yang umum terjadi dan serius. Berikan komponen PRC atau WBC 10
mL/kgBB (bukan 20 mL/kgBB) hanya sekali, dan jangan ulangi transfusi. (23)

6. Pencegahan
Defisiensi besi sebaiknya dicegah dengan menghindari manifestasi sistemik dan
anemia. Pencegahan ADB dapat dibagi menjadi pencegahan primer dan sekunder,
sebagai berikut:
1. Pencegahan Primer
 Mempertahankan ASI eksklusif hingga enam bulan
Bayi-bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif harus mendapatkan susu formula
yang terfortifikasi zat besi (12 mg zat besi per liter) pada tahun pertama, sehingga
pemberian susu sapi harian harus dibatasi sebanyak <600-700 mL. Pendekatan ini
mendukung pemberian makanan yang kaya zat besi dan mencegah hilangnya darah
dari saluran cerna akibat enteropati akibat susu. (22)
 Menunda pemakaian susu sapi hingga usia satu tahun
 Menggunakan sereal/makanan tambahan yang difortifikasi tepat pada
waktunya (sejak enam bulan hingga satu tahun)
 Pemberian vitamin C seperti jeruk saat makan dan mengonsumsi preparat besi
untuk meningkatkan absorpsi besi, serta menghindari bahan yang menghambat
absorpsi besi seperti teh, fosfat, dan fitat pada makanan
 Menghindari minum susu yang berlebihan dan meningkatkan makanan yang
mengandung kadar besi yang berasal dari hewani
 Pendidikan kebersihan lingkungan

2. Pencegahan Sekunder
 Skrining ADB

37
Skrining ADB dilakukan dengan pemeriksaan Hb dan Ht, dan waktunya disesuaikan
dengan berat lahir dan usia bayi. Skrining rutin dengan memeriksa hemoglobin dan
hematokrit dilakukan pada usia 12 bulan pertama, atau lebih awal (pada usia empat
bulan) jika anak tersebut memiliki risiko tinggi defisiensi besi. Skrining harus
dilanjutkan jika didapatkan adanya faktor-faktor risiko. (22) Pada daerah-daerah risiko
tinggi, skrining dilakukan setiap tahun sejak usia satu hingga lima tahun. Skrining
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan MCV, RDW, feritin serum, dan trial terapi
besi. Nilai MCV yang rendah dengan RDW yang lebar merupakan salah satu alat
skrining ADB. Skrining lain yang paling sensitif, mudah, dan dianjurkan adalah zinc
erythrocyte protoporphyrin (ZEP). (24)
 Suplementasi besi
Suplementasi besi merupakan cara paling tepat untuk mencegah terjadinya ADB di
daerah prevalensi tinggi. Dosis besi elemental yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
o Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia enam bulan, dianjurkan 1
mg/kgBB/hari
o Bayi 1,5-2,0 kg: 2 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia dua minggu
o Bayi 1,0-1,5 kg: 3 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia dua minggu
o Bayi <1 kg: 4 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia dua minggu. (24)
 Bahan makanan yang terfortifikasi, seperti susu formula untuk bayi, dan
makanan pendamping ASI seperti sereal.

38
TINJAUAN PUSTAKA: GIZI BURUK

1. Definisi
Gizi buruk adalah terdapatnya edema pada kedua kaki atau adanya severe wasting
(BB/TB < 70% atau < -3SD), atau ada gejala klinis gizi buruk (kwashiorkor,
marasmus atau marasmik- kwashiorkor). Sebelum terjadinya gizi buruk, terjadi gizi
kurang, yaitu kategori status gizi dengan anak tampak kurus, dengan BB/PB atau
BB/TB anak <-2 SD, atau 80% median. (25)

2. Etiologi
Status gizi buruk dapat disebabkan oleh asupan makanan yang kurang dan anak sering
sakit atau terkena infeksi. Selain itu, gizi buruk dipengaruhi oleh faktor lain seperti
faktor-faktor sosio-ekonomi, kepadatan penduduk, kemiskinan, dan lain-lain. (26)

A. Faktor utama penyebab gizi buruk pada anak


 Peranan Diet
Asupan makanan bergizi seimbang seringkali tidak tercukupi pada anak, terutama
pada komposisi protein dan karbohidrat. Diet yang mengandung cukup energi tetapi
kurang protein akan menyebabkan anak mengalami kwashiorkor, sedangkan diet
dengan zat gizi esensialnya seimbang namun kurang energi akan menyebabkan anak
mengalami marasmus. Pola makan yang salah seperti pemberian makanan yang tidak
(26)
sesuai usia akan menimbulkan masalah gizi pada anak. Hal ini menekankan
pentingnya intervensi asupan makanan untuk perbaikan kondisi gizi anak-anak.
 Peranan penyakit atau infeksi

Penyakit atau infeksi menjadi penyebab kedua terbesar gizi buruk setelah asupan
makanan yang tidak seimbang. Tingkat kesadaran akan kebersihan diri di negara-
negara berkembang, termasuk di Indonesia, masih kurang. Infeksi kronik akan
menyebabkan anak menjadi kurang gizi, yang pada akhirnya berdampak buruk
terhadap sistem pertahanan tubuh sehingga memudahkan terjadinya infeksi baru pada
anak. (26)

B. Faktor lain penyebab gizi buruk pada anak


 Peranan Sosial Ekonomi

39
Tidak tersedianya makanan yang adekuat merupakan penyebab langsung yang
diakibatkan masalah sosial ekonomi dan kemiskinan. Data di Indonesia dan negara
lain menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dengan masalah-
masalah sosial yang terjadi di masyarakat, terutama masalah kemiskinan, yang pada
akhirnya mempengaruhi ketersediaan makanan serta keberagaman makanan yang
dikonsumsi. (26)

 Peranan Kepadatan Penduduk

Dalam kongres tahun 1974, World Food Organization memaparkan bahwa


meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambahnya
persediaan pangan maupun bahan makanan setempat yang memadai merupakan sebab
utama krisis pangan. (26)

Gambar 4. Multifaktorial Penyebab Gizi Buruk (26)

3. Patofisiologi
Gizi buruk terjadi akibat banyak faktor. Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga
faktor penting yaitu: tubuh sendiri (host), kuman penyebab (agent), dan lingkungan

40
(environment). Faktor diet memang memegang peranan penting, namun faktor lainnya
juga ikut menentukan. (26)
Asupan energi dan protein yang tidak adekuat mengakibatkan hilangnya
jaringan fungsional pada tubuh. Kekurangan nutrien membuat tubuh menggunakan
cadangan energi dan menjaga protein pool, dengan cara mengurangi metabolisme
basal melalui penurunan sekresi faktor anabolik dan meningkatkan hormon katabolik.
(27)

Marasmus adalah suatu bentuk compensated malnutrition, yaitu sebuah


mekanisme adaptasi tubuh terhadap kekurangan energi dalam waktu yang lama.
Dalam keadaan kekurangan makanan dan dengan respon metabolik terhadap stres
atau trauma, tubuh memerlukan suplai energi dan protein yang lebih banyak, dan akan
menggunakan protein untuk membentuk glukosa. Kemampuan tubuh untuk
mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan kehidupan. Karbohidrat dapat dipakai oleh seluruh jaringan
tubuh sebagai bahan bakar, tetapi kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat
sangat terbatas. Akibatnya, katabolisme protein dari organ-organ penyimpanan seperti
otot menghasilkan asam amino yang diubah jadi karbohidrat (glukoneogenesis) pada
hepar dan ginjal dan membentuk urea yang diekskresikan lewat urin. (26,27)
Selama kurangnya asupan makanan, jaringan lemak akan dipecah jadi asam
lemak, gliserol dan badan keton. Setelah lemak tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan
energi, maka otot menggunakan asam lemak dan badan keton sebagai sumber energi
pada kondisi kekurangan makanan. Pada akhirnya, setelah semua cadangan nutrisi
dalam tubuh tidak dapat memenuhi kebutuhan energi, protein akan dipecah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Proses ini berjalan menahun, dan
merupakan proses adaptasi terhadap ketidakcukupan asupan energi dan protein.
Melalui semua proses ini, terjadilah kondisi gizi buruk pada anak. (26,27)

4. Diagnosis
Anamnesis awal untuk menilaian kedaruratan pada anak dengan gizi buruk adalah
sebagai berikut:
 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul

 Jika ada, lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan
muntah dan diare (encer/darah/lendir)

41
 Kapan terakhir berkemih
 Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin. (25)

Anamnesis lanjutan untuk melakukan pencarian penyebab gizi buruk dan


rencana tatalaksana selanjutnya harus mencakup hal-hal sebagai berikut:
 Diet (pola makan) / kebiasaan makan sebelum sakit
 Riwayat pemberian ASI
 Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
 Hilangnya nafsu makan
 Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
 Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
 Batuk kronik
 Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
 Berat badan lahir
 Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
 Riwayat imunisasi
 Apakah ditimbang setiap bulan
 Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
 Diketahui atau tersangka infeksi HIV. (25)

Pemeriksaan fisik anak dengan gizi buruk adalah sebagai berikut:


 Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki.
Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB
 Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati
menentukan status dehidrasi pada gizi buruk).
 Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang lambat, nadi
lemah dan cepat), kesadaran menurun.
 Demam (suhu aksilar ≥ 37.5° C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35.5° C).
 Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung
 Sangat pucat
 Pembesaran hati dan ikterus
 Adakah perut kembung,bising usus melemah/meninggi, tanda asites, atau
adanya suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)

42
 Tanda defisiensi vitamin A pada mata:
o Konjungtiva atau kornea yang kering
o Bercak Bitot
o Ulkus kornea
o Keratomalasia
 Ulkus pada mulut
 Fokus infeksi: telinga, tenggorokan, paru, kulit
 Lesi kulit pada kwashiorkor:
o Hipo- atau hiper-pigmentasi
o Deskuamasi
o Ulserasi (kaki, paha, genital, lipatan paha, belakang telinga
o Lesi eksudatif (menyerupai luka bakar), seringkali dengan infeksi
sekunder (termasuk jamur).
 Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir).
 Tanda dan gejala infeksi HIV. (25)

Penegakan diagnosis gizi buruk didasarkan pada tanda dan gejala klinis serta
pengukuran antropometri. Pengukuran dilakukan berdasarkan berat badan (BB)
menurut panjang badan (TB) (BB/PB atau BB/TB). Grafik pertumbuhan yang
digunakan sebagai acuan adalah grafik WHO 2006 untuk anak <6 tahun dan grafik
CDC 2000 untuk anak >5 tahun. (28) Anak didiagnosis gizi kurang jika BB/PB atau
BB/TB anak <-2 SD atau 80% median. Anak didiagnosis gizi buruk apabila terdapat
indikator berikut:

 BB/TB < -3 SD atau <70% dari median (marasmus)


 Edema pada kedua punggung kaki sampai
seluruh tubuh (kwashiorkor:
BB/TB >-3SD atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-3SD. (25)

Penentuan status gizi menurut kriteria Waterlow, WHO 2006, dan CDC 2000
adalah sebagai berikut:

43
Tabel 7. Status Gizi Menurut Waterlow (26)

Status Gizi BB/TB BB/TB WHO 2006 IMT CDC 2000

(% median)

Obesitas >120 >+3 > P95

Overweight >110 >+2 hingga +3 SD P85-95

Normal >90 +2 SD hingga -2 SD

Gizi kurang 70-90 <-2 SD hingga -3 SD

Gizi buruk <70 <-3 SD

Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur secara akurat karena adanya
organomegali, edema anasarka, spondilitis atau kelainan tulang, dan sindrom tertentu,
gunakan parameter lain seperti lingkar lengan atas, knee height, arm span, dan lain-
(28)
lain. Parameter lain juga dapat menggunakan tanda klinis berupa anak tampak
sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah
kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihat jelas,
dengan atau tanpa adanya edema. Anak-anak dengan BB/U < 60% belum tentu gizi
buruk, karena mungkin anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus.
Anak seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali jika ditemukan
penyakit lain yang berat. (25)

44
Pemeriksaan Klinis, BB/PB, LILA di
Poskesdes/Pustu/Polindes/Puskesmas

Anak dengan satu atau Anak dengan atau satu Anak dengan satu
lebih tanda berikut:  Bila LILA
lebih tanda berikut: atau lebih tanda
 Terlihat sangat kurus > 11,5 cm <
 Terlihat sangat berikut:
 Edema pada seluruh 12,5 cm (untuk
kurus  Terllihat
tubuh anak usia 6-59
 Edema minimal, sangat kurus
 BB/PB atau BB/TB bulan) (BB/TB
pada kedua  BB/PB atau
<-3 SD <-2 SD s.d -3
punggung BB/TB <-3
 LILA < 11,5 cm SD)
tangan/kaki SD
 Tidak ada
(anak usia 6-59  BB/PB atau BB/TB  LILA <
bulan) dan salah satu edema dan
<-3SD 11,5cm (untuk
atau lebih dari tanda-  Nafsu
 LILA < 11,5 cm anak usia 6-59
tanda komplikasi makan
(uuntuk anak usia bulan dan
baik
medis berikut: 6-59 bulan dan  Nafsu makan
 Klinis baik
- Anoreksia  Nafsu makan baik baik
- Pneumonia berat  Tanpa komplikasi  Tanpa
- Anemia berat
- Dehidrasi berat
- Demam sangat
Gizi Kurang

Gizi Buruk Dengan


Komplikasi Gizi Buruk Tanpa
Komplikasi PMT
Pemulihan
Rawat Inap
Rawat Jalan

Gambar 5. Alur Pemeriksaan dan Tindak Lanjut Gizi Buruk (29)

Beberapa hasil laboratorium yang dapat ditemukan pada anak dengan kondisi
gizi buruk adalah sebagai berikut:

Tabel 8. Pemeriksaan Lab Anak dengan Gizi Buruk (30)

Variabel Darah atau Plasma Informasi yang Diperoleh

Hemoglobin, hematokrit, hitung eritrosit, Derajat dehidrasi dan anemia, tipe anemia
mean corpuscular volume (besi/folat dan defisiensi vitamin B12,
hemolisis, malaria)

Glukosa darah Hipoglikemia

Elektrolit dan alkalinitas

Natrium Hiponatremia, tipe dehidrasi

Kalium Hipokalemia

45
Klorida, pH, bikarbonat Alkalosis atau asidosis metabolik

Total protein, transferin, (pre)albumin Derajat defisiensi protein

Kreatinin Fungsi ginjal

CRP, hitung limfosit, serologi, apusan darah Adanya infeksi bakteri, virus, atau parasit
tipis dan tebal seperti malaria

Pemeriksaan feses Adanya parasit

5. Tatalaksana
Saat anak dengan gizi buruk masuk ke rumah sakit, ia harus dipisahkan dari pasien
infeksi, ditempatkan pada ruangan yang hangat (suhu ruangan sekitar 25-30oC, dan
bebas dari angin). Anak tersebut juga harus dipantau secara rutin, dan dimandikan
seminimal mungkin dan harus segera dikeringkan. (25) Pada anak sakit, selain untuk
tetap memelihara tumbuh kembang, pemenuhan kebutuhan nutrisi sangat bermanfaat
untuk mempercepat proses penyembuhan, memperpendek masa perawatan,
mengurangi terjadinya komplikasi, menurunkan morbiditas dan mortalitas, serta
mencegah terjadinya malnutrisi akibat pengobatan atau tindakan medis. (28)
Tatalaksana gizi buruk mencakup tiga fase yang harus dilakukan per tahapnya,
yaitu fase stabilisasi, fase peralihan, dan fase rehabilitasi.
1. Fase stabilisasi (hari 1 – 2)
Pada fase stabilisasi, diberikan makanan formula 75 (F-75) dengan asupan gizi 80-
100 kkal/kgBB/hari dan protein 1-1,5 g/KgBB/hari. ASI tetap diberikan pada anak
yang masih mendapatkan ASI.
2. Fase transisi (hari 3 – 7)
Pada fase transisi ada perubahan pemberian makanan dari F-75 menjadi F-100.
Diberikan makanan formula 100 (F-100) dengan asupan gizi 100-150 kkal/kgBB/
hari dan protein 2-3 g/kgBB/hari.
3. Fase rehabilitasi (minggu ke 2 – 6)
Pada fase rehabilitasi, diberikan makanan seperti pada fase transisi yaitu F-100,
dengan penambahan makanan untuk anak dengan BB < 7 kg diberikan makanan
bayi dan untuk anak dengan BB > 7 kg diberikan makanan anak. Asupan gizi 150-
220 kkal/kgBB/hari dan protein 4-6 gr/kgBB/hari.
4. Fase tindak lanjut (minggu ke 7 – 26)

46
Fase tindak lanjut merupakan fase yang dilakukan di rumah. Setelah anak pulang
dari pusat pemulihan gizi (PPG), anak tetap dikontrol secara berkala. Anak tetap
melakukan kontrol (rawat jalan) pada bulan pertama satu kali/ minggu, bulan
kedua satu kali/dua minggu, selanjutnya sebulan sekali sampai dengan bulan ke-6.
(29)

Gambar 6. Tahap Tatalaksana Gizi Buruk (25)

Pemberian nutrisi melalui oral atau enteral adalah pilihan utama, untuk
mempertahankan enterosit dalam kondisi hidup dan mencegah translokasi bakteri.
Jalur parenteral hanya digunakan pada situasi tertentu saja. Kontra indikasi pemberian
makanan melalui saluran cerna adalah obstruksi saluran cerna, perdarahan saluran
cerna, serta tidak berfungsinya saluran cerna. Pemberian nutrisi enteral untuk jangka
pendek dapat dilakukan melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal. Untuk jangka
panjang, nutrisi enteral dapat dilakukan melalui gastrostomi atau jejunostomi. Untuk
pemberian nutrisi parenteral jangka pendek (<14 hari), dapat digunakan akses perifer,
sedangkan untuk jangka panjang harus menggunakan akses sentral. (28)
Sepuluh langkah tatalaksana gizi buruk adalah sebagai berikut:

a. Hipoglikemia
Semua anak dengan gizi buruk memiliki risiko hipoglikemia (GDS <54 mg/dL),
sehingga harus diberikan makanan atau larutan glukosa/gula 10% segera setelah
masuk rumah sakit. Jika tidak tersedia alat pemeriksaan kadar gula darah, semua anak
gizi buruk harus dianggap menderita hipoglikemia, sehingga ditangani segera. (25) Jika
kadar gula darah awal rendah, ulang pengukuran setelah 30 menit. Jika hasil

47
pengukuran menunjukkan kadar gula darah <54 mg/dL, ulangi pemberian larutan
glukosa atau gula 10%. (25)

b. Hipotermia
Hipotermia didiagnosis jika suhu aksilar <35,5oC. Segera beri makan F-75 (jika perlu,
rehidrasi terlebih dahulu). Tutup anak dengan selimut hangat dan letakkan pemanas
atau lampu di dekatnya (lampu pijar 40 W dengan jarak 50 cm dari tubuh anak). Jika
anak masih sangat kecil, letakkan anak langsung pada dada atau perut ibunya (metode
(25)
kanguru). Pengukuran suhu aksilar dilakukan tiap dua jam hingga suhu tubuh
meningkat menjadi 36,5oC atau lebih. Jika pemanas digunakan, ukur suhu tiap 30
menit. Hentikan pemanasan jika suhu tubuh telah mencapai 36.5oC. (25)
c. Dehidrasi
Status dehidrasi sulit ditentukan secara tepat pada anak-anak dengan gizi buruk, dan
biasanya didasarkan pada gejala klinis saja. Anak dengan gizi buruk dan diare cair,
jika gejala dehidrasi tidak jelas, dianggap mengalami dehidrasi ringan. (25) Tatalaksana
rehidrasi tidak menggunakan infus, kecuali pada kasus-kasus dehidrasi berat dengan
syok. Berikan ReSoMal secara oral atau NGT, sejumlah 5 mL/kgBB tiap 30 menit
untuk dua jam pertama, dan ReSoMal 5-10 mL/kgBB selang seling dengan F-75
dengan jumlah yang sama setiap jam berikutnya hingga 10 jam. Setelah itu, F-75
diberikan secara teratur tiap 2 jam. (25)
d. Elektrolit
Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan magnesium, yang
dapat memakan waktu dua minggu atau lebih untuk perbaikannya. Jumlah natrium
total dalam tubuh berlebih, meskipun kadar nadar natrium serum dapat rendah, yang
menyebabkan edema. Edema tidak boleh diobati dengan diuretikum. Gangguan
elektrolit diatasi dengan pemberian kalium dan magnesium yang telah terkandung di
dalam larutan Mineral-Mix yang ditambahkan ke dalam F-75, F-100, atau ReSoMal.
Makanan disajikan untuk anak tanpa ditambahkan garam (NaCl). (25)
e. Infeksi
Gejala infeksi yang biasanya ditemukan adalah demam, namun jarang ditemukan
pada anak dengan gizi buruk karena kurangnya fungsi imun tubuh anak. Semua anak
yang datang dengan gizi buruk diberikan antibiotik spektrum luas, dan vaksin campak
jika ia berusia ≥6 bulan dan belum pernah divaksin campak, atau jika usia anak >9
bulan dan sudah pernah diberi vaksin sebelum usia sembilan bulan.

48
Antibiotik spektrum luas yang dipilih adalah kotrinoksazol per oral (25 mg
SMZ + 5 mg TMP/kgBB tiap 12 jam). Jika disertai komplikasi (hipoglikemia,
hipotermia, atau anak tampak letargis/sakit berat) atau jelas ada fokus infeksi,
berikan:
 Ampisilin 50 mg/kgBB IM/IV tiap enam jam selama dua hari, dilanjutkan
amoksisilin oral 15 mg/kgBB tiap 8 jam selama 5 hari
 Jika tidak ada amoksisilin, berikan ampisilin per oral 50 mg/kgBB tiap enam
jam selama lima hari (total tujuh hari), ditambah gentamisin 7,5 mg/kgBB/hari
IM/IV setiap hari selama tujuh hari. (25)

f. Mikronutrien
Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral, namun zat
besi tidak diberikan pada fase awal untuk mencegah perparahan infeksi. (25) Berikan
mikronutrien pada anak setiap hari, paling sedikit selama dua minggu, sebagai
berikut:
 Multivitamin
 Asam folat 5 mg pada hari pertama, selanjutnya satu miligram per hari
 Zink (seng) elemental 2 mg/kgBB/hari
 Tembaga 0,3 mg/kgBB/hari
 Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (fase rehabilitasi)
 Vitamin A, dengan dosis menurut usia:
o <6 bulan : 50.000 IU (1/2 kapsul biru)
o 6-12 bulan : 100.000 IU (1 kapsul biru)
o 1-5 tahun : 200.000 IU (1 kapsul merah). (25)

Jika anak mengalami defisiensi vitamin A atau pernah sakit campak dalam
tiga bulan terakhir, berikan vitamin A dengan dosis sesuai usia pada hari ke-1, 2, dan
15. (25)

Tabel 9. Kelainan yang Disebabkan Defisiensi Mikronutrien (31)


Mikronutrien Kelainan Utama Akibat Defisiensi
Besi Anemia defisiensi besi, penurunan kemampuan belajar dan bekerja,
peningkatan mortalitas ibu dan anak, berat lahir rendah, gangguan fungsi

49
manusia pada semua stadium kehidupan
Iodin Kretinisme, goiter, fungsi kognitif yang terganggu, peningkatan
morbiditas dan mortalitas prenatal, penurunan produktivitas
Zink Luaran klinis kehamilan yang kurang baik, gangguan pertumbuhan
(stunting), kelainan genetik, penurunan resistensi terhadap penyakit-
penyakit menular
Folat Defek neural tube dan defek kelahiran lainnya, anemia megaloblastik,
penyakit jantung, stroke, gangguan fungsi kognitif, depresi
Vitamin A Xeroftamia (buta senja, Bitot spot, ulkus kornea, keratomalasia,
xerosis), peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas, peningkatan
risiko anemia
Vitamin D Rikets, osteomalasia, osteoporsis, kanker kolorektal
Vitamin E Ataksia, neuropati perifer, lemah otot, keguguran, pertumbuhan yang
lambat pada anak
Vitamin C Scurvy (lelah, perdarahan, ketahanan infeksi yang rendah, anemia)
Vitamin B1 Beriberi (kardiak dan neurologis), sindroma Wernicke dan Korsakov
Vitamin B2 Nonspesifik (lelah, perubahan mata, dermatitis, disfungsi otak,
gangguan penyerapan besi)
Vitamin B3 Pellagra (dermatitis, diare, demensia, kematian)
Vitamin B6 Dermatitis, gangguan neurologis, kejang, anemia, peningkatan
homosistein plasma
Vitamin B12 Anemia megaloblastik (terkait atrofi gaster yang diinduksi H. pylori)
Kalsium Penurunan mineralisasi tulang, rikets, osteoporosis
Selenium Kardiomiopati dan peningkatan risiko kanker dan kardiovaskular
Fluorida Mempengaruhi kesehatan tulang, termasuk peningkatan pembusukan
gigi

g. Makanan awal
Makanan awal diberikan dalam jumlah sedikit namun sering, yang bersifat rendah
osmolaritas dan rendah laktosa. Jika pemberian makanan per oral pada fase awal tidak
mencapai kebutuhan minimal 80 kkal/kgBB/hari, berikan sisanya melalui NGT.
(25)
Jangan diberikan melebihi 100 kkal/kgBB/hari pada fase awal. Komposisinya
adalah sebagai berikut:
 Energi : 100 kkal/kgBB/hari
 Protein : 1-1,5 g/kgBB/hari

50
 Cairan : 130 mL/kgBB/hari (jika edema berat, 100 mL/kgBB/hari
saja).
 ASI lanjutkan, namun pastikan jumlah F-75 yang ditentukan terpenuhi. (25)

h. Tumbuh kejar
Tanda yang menunjukkan anak telah sampai di tahap tumbuh kejar adalah kembalinya
nafsu makan dan edema yang menjadi minimal atau hilang. Transisi F-75 ke F-100
dilakukan secara bertahap, dan dinaikkan sebanyak 10 mL tiap pemberian sampai
anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Setelah transisi bertahap, beri
anak makanan dengan jumlah sesuai kemampuannya, energi 150-220 kkal/kgBB/hari,
(25)
dan protein 4-6 gram/kgBB/hari. Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan
peningkatan berat badan setelah tahap transisi dan mendapat F-100. Timbang dan
catat berat badan setiap pagi sebelum pemberian makan, dan setiap tiga hari dalam
gram/kgBB/hari. Kenaikan berat badan dikelompokkan sebagai berikut:
 Kurang (<5 gram/kgBB/hari) : anak memerlukan penilaian ulang yang
lengkap.
 Sedang (5-10 gram/kgBB/hari) : periksa apakah target asupan terpenuhi, atau
mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi.
 Baik (>10 gram/kgBB/hari) : intervensi dilanjutkan. (25)

i. Stimulasi sensoris
Saat tatalaksana, pastikan anak mendapat ungkapan kasih sayang, dikelilingi
lingkungan yang ceria, dengan terapi bermain terstruktur selama 15-30 menit setiap
hari, dan aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat. Ibu juga dilibatkan sesering
mungkin (menghibur, memberi makan, memandikan, bermain). (25)

j. Mempersiapkan tindak lanjut di rumah


Saat anak memiliki BB/TB diatas 90% (sama dengan -1 SD), dapat dikatakan telah
sembuh dari gizi buruk. Orang tua harus diedukasi mengenai pola makan yang baik
dan stimulasi sensorik yang harus dilanjutkan di rumah. Kemudian, anak harus
dipantau secara berkala (follow up). (29) Pemulihan gizi buruk dilakukan sampai anak
berstatus gizi kurang (-2 SD sampai -3 SD) dengan frekuensi pada 3 bulan pertama
dilakukan pemeriksaan setiap minggu dan pada bulan ke 4 sampai ke 6, dilakukan

51
pemeriksaan setiap dua minggu. Anak yang tidak mencapai perbaikan atau status gizi
kurang dalam kurun waktu enam bulan akan dilakukan kembali proses pemulihan
dengan dilakukan rujukan ke Puskesmas ataupun ke RS dan apabila telah mencapai
status gizi kurang maka tetap dilanjutkan dengan program PMT dan konseling (Fase
Tindak Lanjut). (29)

6. Pemantauan dan Evaluasi


Pemantauan dan evaluasi pemberian nutrisi meliputi pemantauan terhadap
akseptabilitas atau penerimaan makanan, dan toleransi (reaksi simpang makanan).
Reaksi simpang yang dapat terjadi pada pemberian enteral antara lain mual/muntah,
konstipasi, dan diare. Pada pemberian parenteral, dapat terjadi reaksi infeksi,
metabolik, dan mekanis. Selain itu, diperlukan pemantauan efektivitas berupa
monitoring pertumbuhan. Pada pasien rawat inap, evaluasi dan monitoring dilakukan
setiap hari, dengan membedakan antara pemberian jalur oral/enteral dan parenteral.
Pada pasien rawat jalan, evaluasi dilakukan sesuai kebutuhan. (28)

52
Gambar 7. Langkah-langkah Melakukan Asuhan Nutrisi Pediatrik (28)

7. Kriteria Pemulangan Anak Gizi Buruk


Anak dapat dipulangkan jika BB/TB atau BB/PB > -2 SD dan tidak ada gejala klinis,
serta memenuhi kriteria pulang sebagai berikut:
 Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif
 BB/PB atau BB/TB > -3 SD
 Komplikasi sudah teratasi
 Ibu telah mendapat konseling gizi
 Ada kenaikan BB sekitar 50 g/kgBB/minggu selama dua minggu berturut-turut
 Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan. (29)

53
8. Komplikasi
Dampak jangka pendek gizi kurang atau buruk pada masa batita adalah gangguan
pertumbuhan dan perkembangan otak, otot, komposisi tumbuh, dan metabolic
programming dari glukosa, lemak, dan protein. Dampak jangka panjangnya berupa
gangguan kognitif, menurunnya prestasi akademik, menurunnya kekebalan tubuh dan
produktivitas kerja. Kondisi gizi kurang dan gizi buruk meningkatkan risiko diabetes,
obesitas, penyakit jantung koroner, hipertensi, kanker, stroke, dan penuaan dini. (28)

54
TINJAUAN PUSTAKA: SPEECH DELAY

1. Definisi
Speech adalah produksi verbal dari suatu bahasa, sedangkan bahasa adalah jenis
proses konseptual dari komunikasi. Bahasa meliputi bahasa reseptif (pemahaman) dan
ekspresif (kemampuan mentransfer informasi, perasaan, pikiran, dan ide). Bahasa
umumnya dianggap sebagai bentuk yang diucapkan, namun dapat juga melibatkan
bentuk visual, seperti American Sign Language. (32)

2. Prevalensi dan Faktor Risiko


Prevalensi speech delay pada anak-anak usia 2-7 tahun berkisar dari 2,3-19% di
dunia. (32)
Faktor risiko yang paling banyak dilaporkan adalah riwayat gangguan bicara
dan berbahasa di keluarga, jenis kelamin laki-laki, prematuritas, dan berat lahir yang
rendah. Beberapa faktor risiko lain yang tidak sekerap itu adalah tingkat pendidikan
orang tua, sakit pada masa kanak-kanak, urutan kelahiran yang semakin belakang, dan
ukuran keluarga yang lebih besar. (32)

3. Tanda dan Gejala, Diagnosis, Serta Tatalaksana


Milestone perkembangan bicara dan berbahasa yang normal dicantumkan dalam tabel
di bawah. Penting bagi dokter untuk memahami ini untuk menentukan apakah anak
terlambat berbicara atau berbahasa. Tingkat bicara yang normal melalui tahap cooing,
babbling, kata-kata, dan kombinasi kata-kata. Perkembangan berbahasa yang normal
melalui proses pemahaman dan ekspresi konsep yang lebih kompleks. Perkembangan
kemahiran pilihan kata dan penggunaan bahasa sangat bergantung pada pengalaman
di keluarga dan masa awal sekolah. Keluarga dapat membantu anak dalam
perkembangan bahasa mereka dengan bercerita, bermain permainan kata, bernyanyi
syair atau lagu, mengajak anak bercengkrama, dan membaca buku bersama-sama.
Proporsi pembicaraan anak yang dapat dimengerti orang asing tanpa adanya cue
kontekstual seharusnya meningkat seiring usia. (32)

55
Tabel 10. Milestone Perkembangan Bicara dan Berbahasa Anak-anak (32)
Usia Reseptif Ekspresif
6 bulan Menoleh pada suara Tertawa
mainan Bernyanyi (cooing)
9 bulan - Babbles, mengucapkan satu suku kata
Mengucapkan “mama” atau “papa”, kata-
kata non-spesifik lain
12 bulan Mengikuti satu perintah Babbles
Mengikuti kata-kata dan suara
Mengucapkan satu kata
Melambaikan “bye-bye”
15 bulan - Mengucapkan satu kata
Mengucapkan tiga kata
Melambaikan “bye-bye”
18 bulan Menunjuk sedikitnya 1 Mengucapkan 3 kata
bagian tubuh Mengucapkan 6 kata
2 tahun Menunjuk 2 gambar Mengkombinasikan kata-kata
Mengikuti dua perintah Menyebut nama satu gambar
2,5 tahun Menunjuk 6 bagian tubuh Mengenali 2 tindakan
Menyebut nama satu gambar
3 tahun - Memahami dua kata sifat
Menyebut nama empat gambar
Menyebut nama satu warna
Semua perkataannya dapat dimengerti
4 tahun - Mendefinisikan lima kata
Menyebut nama empat warna
Semua perkataannya dapat dimengerti

Pada anak-anak yang tidak memenuhi milestone perkembangan bicara dan


berbahasa untuk usianya, penilaian perkembangan yang komprehensif harus
dilakukan. Perkembangan bahasa yang atipikal dapat merepresentasikan masalah fisik
dan perkembangan yang dapat bermanifestasi awalnya sebagai gangguan berbahasa.
Kelainan tersebut dapat dibagi menjadi gangguan bicara dan bahasa primer tanpa
etiologi yang dapat ditemukan, dan gangguan bicara dan bahasa sekunder yang
berkaitan dengan kondisi lainnya. (32)

Tabel 11. Gangguan bicara dan berbahasa pada anak-anak


Kelainan Temuan Klinis Tatalaksananya dan Prognosis
Primer (tidak berkaitan dengan kondisi lainnya)
Keterlambatan bicara Keterlambatan bicara. Intervensi terapi berbahasa
dan bahasa Anak memiliki pemahaman, inteligensi, biasanya efektif diberikan.
pendengaran, hubungan aemosional, dan Prognosis sangat baik. Anak-
artikulasi yang normal. anak biasanya memiliki

56
kemampuan bicara yang normal
pada usia awal sekolah.
Gangguan berbahasa Keterlambatan bicara. Intervensi aktif diperlukan
ekspresif. Anak memiliki pemahaman, inteligensi, karena kelainan ini tidak dapat
pendengaran, hubungan emosional, dan membaik sendiri.
artikulasi yang normal. Intervensi terapi berbahasa juga
Kelainan berbahasa ekspresif sulit efektif dilakukan.
dibedakan pada usia dini dari
keterlambatan perkembangan bicara dan
bahasa lainnya.
Kelainan bahasa Keterlambatan bicara, dan juga artikulasi Efek terapi bicara-bahasa jauh
reseptif. yang sedikit, agrammatic, dan kurang lebih sedikit dibandingkan
jelas. kelompok-kelompok lain.
Anak-anak mungkin tidak melihat atau Intervensi yang berlangsung
menunjuk objek atau orang-orang yang lebih dari 8 minggu lebih
disebut orang tua (menunjukkan defisit efektif.
pada pemahaman). Pada anak-anak ini, jarang
Anak-anak memiliki respons yang normal untuk mengembangkan
terhadap stimulus auditori nonverbal. kapasitas bahasa oral yang
normal.
Sekunder (terkait kondisi lainnya)
Autism spectrum Anak-anak memiliki berbagai kelainan Anak-anak harus dirujuk untuk
disorder bicara, termasuk keterlambatan bicara penilaian perkembangan.
(terutama dengan disabilitas intelektual), Anak-anak akan menerima
ekolalia tanpa membentuk bahasa sendiri, manfaat dari intervensi intensif
kesulitan menginisiasi dan dini yang berfokus pada
mempertahankan percakapan, pronoun peningkatan komunikasi.
reversal, dan regresi bicara dan bahasa. Program pelatihan bahasa
Anak-anak mengalami gangguan terbukti membantu komunikasi
komunikasi, gangguan interaksi sosial, dan anak-anak.
perilaku repetitif / circumscribed interests.
Cerebral palsy Keterlambatan bicara pada anak dengan Layanan terapi bicara-bahasa
cerebral palsy dapat disebabkan kesulitan dapat mencakup perkenalan
koordinasi atau spastisitas otot lidah, sistem komunikasi augmentatif
ketulian, disabilitas intelektual, atau defek dan alternatif, seperti simbul
korteks serebri. atau speech synthesizers,
memperbaiki bentuk
komunikasi yang natural, dan
melatih partner komunikasi.
Apraksia bicara masa Apraksia bicara adalah masalah fisik Banyak teknik terapi bicara-
kanan-kanak dimana anak-anak kesulitan menciptakan bahasa telah digunakan.
suara dengan urutan yang benar, dan sulit
dimengerti.
Anak-anak berkomunikasi dengan gestur,
namun kesulitan berbicara (menunjukkan
motivasi untuk berkomunikasi, namun
kekurangan kemampuan berbicara).
Disartria. Disartria adalah masalah fisik saat anak- Studi-studi observasional kecil
anak mengalami kesulitan bicara, yang menunjukkan bahwa untuk
berkisar dari artikulasi yang sedikit slurred beberapa anak, terapi bicara-
dan suara berfrekuensi rendah, hingga bahasa dapat dikaitkan dengan
ketidakmampuan mengucapkan kata-kata perubahan-perubahan positif

57
apapun. pada inteligensi dan kejelasan
Anak-anak berkomunikasi dengan gestur, berbicara.
namun memiliki kesulitan berbicara
(menunjukkan motivasi untuk
berkomunikasi, namun kesulitan
berbicara).
Ketulian setelah Keterlambatan bicara. Anak-anak dengan gangguan
awitan bicara Anak-anak mungkin mengalami distorsi pendengaran harus dirujuk pada
suara bicara dan pola prosodik (intonasi, dokter THT.
laju, ritme, dan volume bicara). Intervensi dini yang berfokus
Anak-anak mungkin tidak melihat atau pada keluarga memperbaiki
menunjuk pada objek atau orang yang perkembangan bahasa (verbal
disebut orang tua (menunjukkan defisit dan/atau sign) dan kognitif.
pemahaman).
Anak-anak memiliki kemampuan
komunikasi visual yang normal.
Disabilitas intelektual Keterlambatan bicara. Anak-anak harus dirujuk untuk
Penggunaan gestur yang terlambat, dan penilaian perkembangan.
ada keterlambatan pada semua aspek
perkembangan.
Anak-anak mungkin tidak melihat atau
menunjuk pada objek atau orang yang
disebut orang tua (menunjukkan defisit
pemahaman).
Mutisme selektif Anak-anak dengan mutisme selektif Anak-anak harus dirujuk ke ahli
menunjukkan kegagalan berbicara pada patologi bicara-bahasa, dan pada
situasi sosial yang spesifik (yang ada terapis untuk terapi perilaku dan
ekspektasi untuk berbicara (contoh: di kognitif, yang bersifat efektif.
sekolah)). Intervensi gabungan seperti
modifikasi perilaku, partisipasi
keluarga, keterlibatan sekolah,
dan pada kasus-kasus yang
parah, tatalaksana dengan
fluoksetin.

Tujuan utama tatalaksana adalah mengajari anak-anak strategi untuk


memahami bahasa verbal dan menghasilkan perilaku komunikatif yang baik, dan
membantu para orang tua memahami cara-cara mendukung perkembangan
kemampuan bicara anak mereka. Terapi bicara-bahasa sangat efektif, terutama untuk
anak-anak dengan kelainan bahasa ekspresif primer. Efek terapi bicara-bahasa pada
kelainan reseptif membuahkan hasil yang kurang dibandingkan kelompok-kelompok
kelainan lainnya. Setelah dilatih, para orang tua dapat secara efektif menerapkan
terapi bicara-bahasa. Respons pengobatan lebih bervariasi saat terapi dilaksanakan
oleh ornag tua, yang menyatakan bahwa beberapa orang tua dapat melakukannya
lebih baik dibandingkan orang tua lain. Terapi yang berlangsung ≥8 minggu lebih
efektif dibandingkan yang berlangsung kurang dari 8 minggu. (32)

58
Selain tatalaksana pada anak, penting untuk menatalaksana orang tua dan cara
mereka memperlakukan anak. Dokter dan terapis harus mengingatkan bahwa orang
tua harus berfokus pada progres positif pada anak sejak kunjungan sebelumnya.
Dokter juga dapat membantu orang tua dengan memberikan mereka buku-buku untuk
dibaca, yang mengajarkan orang tua cara berperilaku dan mendukung anak dengan
speech delay. (32)

4. Indikasi Rujuk
Jika anak dicurigai mengalami keterlambatan bicara dan bahasa, anak-anak harus
dirujuk ke ahli patologis bicara-bahasa atau program intervensi lokal dini, dan pada
ahli audiologi. Pemantauan yang ketat sebelum rujukan dapat dilakukan jika diduga
ada keterlambatan bicara dan bahasa. (32)

Tabel 12. Red Flag yang menandakan perlunya penilaian bicara-bahasa segera (32)
Usia Reseptif Ekspresif
12 bulan - Tidak melakukan babble, tidak
menunjuk atau mengarahkan
15 bulan Tidak melihat atau menunjuk pada Tidak menggunakan setidaknya 3
5-10 objek atau orang saat disebut kata
orang tua
18 bulan Tidak mengikuti satu perintah Tidak mengucapkan “mama”,
“papa”, atau nama-nama lainnya
2 tahun Tidak menunjuk pada gambar atau Tidak menggunakan setidaknya
anggota tubuh saat disebut 25 kata
2,5 tahun Tidak berespon secara verbal atau Tidak menggunakan frasa dua
mengangguk/menggeleng terhadap kata, termasuk kombinasi kata
pertanyaan benda – kata kerja
3 tahun Tidak memahami presposisi atau Tidak menggunakan setidaknya
kata-kata aksi 200 kata.
Tidak meminta benda dengan
kata-kata.
Mengulang frasa sebagai respon
terhadap pertanyaan (ekolalia).
Usia berapapun - Mengalami regresi atau
kehilangan kemampuan
bicara/bahasa sebelumnya.

5. Prognosis
Anak-anak yang mengalami gangguan bicara dan berbahasa pada usia 2,5-5 tahun
mengalami kesulitan membaca pada masa sekolah dasar. Anak-anak yang gangguan

59
bicaranya menetap hingga lebih dari usia 5,5 tahun mengalami kesulitan fokus dan
kesulitan sosial. Anak-anak yang gangguan bicara dan berbahasanya menetap hingga
usia 7,5-13 tahun mengalami gangguan menulis, dengan defisit yang jelas pada ejaan
dan tanda baca, dibandingkan dengan anak-anak tanpa gangguan bicara dan
berbahasa. Prognosis menetapnya kesulitan bicara dan bahasa pada anak-anak
berkaitan secara langsung dengan fungsi bahasa yang terganggu. Prognosis terbaik
dimiliki anak-anak dengan developmental speech delay. (32)

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Djier M, Sekartini R, Dewi R, Harijadi. Knowledge and Soft Skill Update to


Improve Child Health Care. 2015. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Scheffer I. ILAE Classification of Epilepsies: Position Paper of the ILAE
Commission for Classification and Terminology. Epilepsia. 2017 Apr; 58(4): 512-
21.
3. Ismael S, Pusponegoro H, Widodo D, Mangunatmadja I, Handryastuti S.
Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. 2016. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
4. Lowenstein DH. Seizure and Epilepsy. Dalam: Kasper DL, Hauser SL, Jameson
JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
Ed 19. 2015. New York: McGraw Hill. 2557.
5. Kliegman R. Nelson’s Textbook of Pediatrics. Ed 20. 2011. Philadelphia: Elsevier.
6. Centers for Disease Control and Prevention. Epilepsy [Internet]. 2018 Juli 31
[dikutip 2018 Aug 28]. Diakses dari https://www.cdc.gov/epilepsy/about/fast-
facts.htm.
7. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Tata Laksana Kejang Akut dan Status Epileptikus. Dalam: Pedoman Pelayanan
Medis. Ed 1. 2009. Jakarta: IDAI; 310-4.
8. Ciccone O, Mathews M, Birbeck G. Management of Acute Seizures in Children: A
Review with Special Consideration of Care Resource-limited Settings. Afr J Emerg
Med. 2017 Aug 14; 7(Suppl 3-9).
9. Ko D. Epilepsy and Seizures Treatment and Management [Internet]. 2018 Februari
14 [dikutip 2018 August 28]. Diakses dari
ttps://emedicine.medscape.com/article/1184846-treatment.
10. Kim SK, Wang KC, Hwang YS, Kim KJ, Chae JH, Kim IO, et al. Epilepsy
Surgery in Children: Outcomes and Complications. J Neurosurg Pediatr. 2008
April; 1(4): 227-83.
11. World Health Organization. Haemoglobin Concentrations for The Diagnosis of
Anaemia and Assessment of Severity. 2011. Geneva: WHO Department of
Nutrition for Health and Development (NHD); 1-5.
12. Wang M. Iron Deficiency and Other Types of Anemia in Infants and Children. Am
Fam Physician. 2016 Feb 15; 93(4): 270-8.

61
13. Zivot A, Lipton JM, Narla A, Blanc L. Erythropoiesis: insights into
pathophysiology and treatments in 2017. Mol Med. 2018; 24: 11.
14. Ozdemir N. Iron Deficiency Anemia from Diagnosis to Treatment in Children.
Turk Pediatri Ars. 2015 Mar; 50(1): 11-9.
15. World Health Organization (WHO) and Food and Agriculture Organization (FAO)
of the United Nations. Vitamin and Mineral Requirements in Human Nutrition. Ed
2. 2004. China: WHO Press.
16. Dewey KG. Nutrition, Growth, and Complementary Feeding of The Breastfed
Infant. Pediatr Clin North Am. 2001; 48: 87-104.
17. Abdulsalam M, Daniel A. Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia
Defisiensi Besi. Sari Pediatri. 2002 Sep; 4(2): 72-7.
18. World Health Organization. Vitamin and Mineral Requirements in Human
Nutrition. Ed 2. 2004. Hong Kong: WHO dan FAO. 246-72.
19. Smith JL, Brooker S. Impact of hookworm infection and deworming on anaemia in
non-pregnant populations: a systematic review. Trop Med Int Health. 2010 Jul;
15(7): 776-95.
20. Madu AJ, Ughasoro MD. Anaemia of chronic disease: an in-depth review. Med
Princ Pract. 2017 Jan; 26(1): 1-9.
21. Lerner NB. The Anemias. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, et
al. Nelson Textbook of Pediatrics. Ed 20. 2011. Philadelphia: Elsevier. 2309-12.
22. Sills R. Iron-Deficiency Anemia. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III
JW, et al. Nelson Textbook of Pediatrics. Ed 20. 2011. Philadelphia: Elsevier.
2323-26.
23. WHO. Perawatan Penunjang: Tatalaksana Anemia. Dalam: Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Ed 1. 2009. Jakarta: WHO. 296-7.
24. IDAI. Anemia defisiensi besi. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Ed 1. Jakarta: IDAI; 2009. 10-3.
25. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. Jakarta: World Health Organization, 2009. 193-221.
26. Ashworth A. Nutrition, Food Security, and Health. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, St Geme III JW, et al. Nelson Textbook of Pediatrics. Ed 20. 2011.
Philadelphia: Elsevier. 295-306.

62
27. Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, Caulfield LE, de Onis M, Ezzati M, et al.
Maternal and child undernutrition: global and regional exposures and health
consequences. Lancet. 2008 Jan 19; 371(9608): 243-60.
28. UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik. Rekomendasi Asuhan Nutrisi Pediatrik.
2011. Ed 1. Jakarta: IDAI. 1-13.
29. Kemenkes RI. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk, Buku I. Depkes RI: Jakarta,
2011.
30. Muller O, Krawinkel M. Malnutrition and health in developing countries. CMAJ.
2005 Aug 2; 173(3): 279-86.
31. Bhandari S, Banjara MR. Micronutrients deficiency, a hidden hunger in Nepal:
Prevalence, causes, consequences, and solutions. Int Sch Res Notices. 2015; 2015:
276469.
32. McLaughlin MR. Speech and language delay in children. Am Fam Physician. 2011
Mei 15; 83(10): 1183-8.

63

Anda mungkin juga menyukai