Pembimbing:
Penyusun:
406191018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
1
JAKARTA
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Jam : 19.30
Pasien datang dengan keluhan kejang saat 2 jam SMRS. Kejang dirsakan 2x, pada
jam 07.00 dan jam 12.00. Kejang meliputi seluruh badan pasien. Kejang pertama
dan kedua berlangsung selama ± 1 menit. Setelah kejang, pasien langsung sadar,
tetapi jika diajak bicara hanya diam saja. Faktor yang memperberat dan
memperingan tidak diketahui. Keluhan kejang disertai dengan demam dan batuk
pilek.
Keluhan demam dirasakan sejak 12 jam SMRS, demam naik turun, turun bila diberi
obat penurun panas namun beberapa jam kemudian demam naik kembali tanpa
diperngaruhi oleh waktu, dengan suhu tertinggi ± 39oC. Faktor yang memperberat
dan memperingan tidak diketahui.
Keluhan batuk pilek dirasakan sejak 3 hari SMRS, batuk pilek dirasakan hilang
timbul, batuk tidak berdahak, tidak ada darah, batuk tidak memicu pasien untuk
muntah, pilek sekret berwarna putih bening cair. Faktor yang memperberat dan 2
memperingan tidak diketahui. Keluhan batuk belum diobati.
Tidak ada gangguan terhadap buang air besar dan buang air kecil, buang air kecil
terakhir setengah jam sebelum pemeriksaan. Keluhan sesak napas disangkal.
Pasien pernah mengalami kejang saat usia 1 tahun 6 bulan dan 1 tahun 9 bulan.
Lahir cukup bulan (39 minggu) dengan section caesaria atas indikasi myopia berat.
Keadaan saat lahir: Bayi cukup bulan, sesuai masa kehamilan, tonus otot baik,
bayi langsung menangis kuat, gerakan aktif dan kulit kemerahan.
VI. Riwayat Imunisasi
Campak: 9 bulan
Imunisasi lain : -
Kesan: asupan nutrisi pasien secara kuantitas belum mencukupi kebutuhan kalori
per hari, dan secara kualitas belum cukup bervariasi.
4
IX. Pemeriksaan Fisik
Suhu : 38,1 °C
SpO2 : 99 %
Antropometri :
BB = 12 kg TB = 92 cm
WHO antropometri :
BB/U : (-2) - 0 SD
TB/U : (-2) – 0 SD
BB/ TB : (-1) – 0 SD
BB ideal : 13 kg
Waterlow : 92 %
Status Generalis
• Mulut: sianosis (-), bibir kering, faring hiperemis (-), tonsil T1/T1, hiperemis (-), 5
tremor lidah (-), mukosa bibir kering (-)
• Leher: trakea di tengah, tidak ada pembesaran KGB submandibular (-)
• Thorax Paru-paru
- Inspeksi : Bentuk simetris, retraksi (-)
Jantung
• Abdomen
- Palpasi : supel, turgor kulit baik, massa (-), nyeri tekan ulu hati (-),
nyeri tekan suprapubik (-)
- Perkusi : hipertimpani di seluruh abdomen
• Tulang Belakang : dalam batas normal, kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-),
gibbus (-)
• Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-)
• Pemeriksaan neurologis :
- Reflek fisiologis : biceps (+/+), triceps (+/+), patella (+/+), achilles (+/+)
- Reflek patologis : babinski (-/-), chaddock (-/-), gordon (-/-), schaeffer (-/-),
hoffman tromner (-/-), klonus paha (-/-), klonus kaki (-/-), oppenheim (-/-)
- Normotoni, normotrofi
- Kekuatan 5/5
-
X. Pemeriksaan Penunjang
Hasil
Nilai Acuan
04/8/2019
Eritrosit 4,45 3.70 – 5.20 juta/mikroL
Hemoglobin 12,1 10.7 – 14.7 g/dl
Hematokrit 34,7 35 – 43 %
Leukosit 9,1 6.0 – 17.5 ribu /µL
Trombosit 237 150 – 440 ribu /µL
LED 5 0 – 10 mm/jam
Indeks Eritrosit
MCV/VER 78 70.0 – 86.0 fL
MCH/HER 27,2 23.0 – 31.0 pg
MCHC/KHER 34,9 30.0 – 36.0 %
Hitung Leukosit
Basofil 0 0–1%
Eosinofil 0 0–3%
Batang 0 0–6%
Segmen 74 (H) 50 – 70 %
Limfosit 20 20 – 40 %
Monosit 6 0–8%
7
Hasil
Nilai Acuan
05/8/2019
Elektrolit
Kalium 4,6 3.5 – 5.0 mmoL/L
Natrium 147 (H) 136 – 146 mmoL/L
Chlorida 108 (H) 98 – 106 mmoL/L
Kalsium 0,91 (L) 1.15 – 1.29 mmoL/L
GDS 99 Normal : 70 – 199 mg/dL
Diabetes Melitus : >= 200 mg/dL
Kesan: bronchopneumonia
XI. Resume
Pasien datang dengan keluhan kejang saat 2 jam SMRS. Kejang dirsakan 2x, pada
jam 07.00 dan jam 12.00. Kejang meliputi seluruh badan pasien. Kejang pertama
dan kedua berlangsung selama ± 1 menit. Setelah kejang, pasien langsung sadar,
tetapi jika diajak bicara hanya diam saja. Keluhan kejang disertai dengan demam
dan batuk pilek. Keluhan demam dirasakan sejak 12 jam SMRS, demam naik turun,
turun bila diberi obat penurun panas namun beberapa jam kemudian demam naik
kembali tanpa diperngaruhi oleh waktu, dengan suhu tertinggi ± 39oC. Keluhan
batuk pilek dirasakan sejak 3 hari SMRS, batuk pilek dirasakan hilang timbul, batuk
tidak berdahak, pilek sekret berwarna putih bening cair. Pada pemeriksaan fisik
keadaan umum tampak lemas, kesadaran compos mentis (E4V5M6), dan suhu
38,1oC. Pada pemeriksaan penunjang hasil lab hitung leukosit terdapat peningkatan
netrofi segmen. Pada pemeriksaan elektrolit didapatkan hipernatremia,
hiperkloremia dan hipokalsemia
8
XII. DAFTAR MASALAH/DIAGNOSA
Daftar Masalah:
- Kejang
- Batuk pilek
- Demam
- Hipernatremia
- Hiperkloremia
- Hipokalsemia
- Pneumonia
XIII. PENGKAJIAN
a. Clinical Reasoning
• Pasien anak perempuan dengan keluhan kejang 2x/24 jam, didahului dengan
demam. Riwayat kejang saat usia 1 tahun 6 bulan dan 1 tahun 9 bulan. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan suhu 38,1oC. Berdasarkan uraian tersebut dapat
ditegakkan diagnosa kejang demam kompleks.
• Keluhan batuk pilek sejak 4 hari SMRS, disertai demam. Pada pemeriksaan
rontgen thorax, kesan bronchopneumonia. Berdasarkan uraian tersebut dapat
ditegakkan diagnosis tambahan pneumonia.
XIV. Diagnosis Utama
Kejang demam kompleks
o Oral: on demand
c. Rencana Evaluasi
XIX. PROGNOSIS
XX. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis
kejang demam kompleks dengan pneumonia. Pasien telah diberi obat cefotaxime, paracetamol,
dexametasone, dan diazepam. Pasien sudah diizinkan pulang tanggal 4/1/2020 dan diberi obat
10
pulang cefixime dan puyer batuk. Pasien disarankan untuk kembali kontrol ke poli tanggal
11/1/202
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kejang Demam Kompleks
A. Definisi
Menurut National Institute of Health (NIH), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi
atau anak, yang biasanya terjadi pada usia 3 bulan sampai dengan 5 tahun, berhubungan dengan
demam, namun tanpa bukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu dari kejang.
Definisi ini mengeksklusi kejang dengan demam pada anak yang pernah mengalami kejang
tanpa demam.
Menurut Konsensus Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(UKK Neurologi IDAI ), kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Definisi ini mengeksklusi anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam. Kejang disertai
demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan juga tidak termasuk dalam kejang demam.
B. Klasifikasi
Penggolongan kejang demam dikemukakan oleh berbagai pakar. Penggolongan tersebut
didasari oleh jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung,
gambaran elektroensefalografi, dan lainnya.
Kejang demam sederhana harus memenuhi semua kriteria berikut ini. Kejang demam yang
tidak memenuhi kriteria tersebut digolongkan sebagai kejang demam kompleks.
C. Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan - 5 tahun. Kejang demam sederhana
merupakan 80% diantara seluruh kejang demam, sedangkan 20% lainnya merupakan kejang
demam kompleks. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam, sedangkan kejang berulang
terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam. Kejang demam lebih sering
terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 1,4:1.
D. Etiologi
Etiologi kejang demam digambarkan dalam diagram berikut ini.
13
Gambar 1. Etiologi Kejang Demam
(Sumber: Schellack N. Febrile Seizures in Children. SA Pharmaceutical Journal 2012;
79(3):10-13)
Infeksi merupakan penyebab tersering dari kejang demam. Peranan infeksi pada sebagian besar
kejang demam tidak spesifik, serangan kejang terutama didasarkan atas reaksi demam yang
terjadi. Faktor lain yang mungkin berperan menyebabkan kejang demam, antara lain:
Infeksi virus influenza A merupakan penyebab terpenting kejang demam, terutama di Asia. Hal
ini berkaitan dengan tingginya insidensi kejang demam pada infeksi virus ini dibandingkan
dengan infeksi virus saluran nafas lainnya, seperti adenovirus dan virus parainfluenza. Pada
anak dengan infeksi virus Influenza A ditemukan suhu maksimal yang lebih tinggi, durasi
demam yang lebih pendek sebelum timbulnya kejang, dan kejang fokal.
14
Respiratory Synctitial Virus (RSV)
Komplikasi neurologis, meliputi ensefalopati dengan hipotonus dan kejang atau ensefalopati
yang bermanifestasi dengan kejang, dilaporkan berkaitan dengan infeksi RSV. Oleh karena itu,
baik melalui proses inflamasi langsung ataupun tidak langsung, RSV memiliki efek
neurotoksik dan menyebabkan ensefalopati selama infeksi saluran nafas akut.
Enterovirus
Enterovirus dilaporkan berkaitan dengan manifestasi kejang. Badai sitokin “cytokine storm”
pada sistem saraf pusat dapat terjadi pada infeksi enterovirus-71. Kejang demam juga dapat
disebabkan oleh infeksi enterovirus lainnya, seperti Coxsackievirus Grup A.
Rotavirus
Herpesvirus
Bakteri
Dibandingkan dengan infeksi viral, bakteremia jarang menyebabkan kejang demam. Beberapa
penelitian menemukan bahwa infeksi oleh Shigella dysenteriae (enteritis), Streptococcus
pneumoniae (infeksi saluran nafas), dan Escherichia coli (infeksi saluran kemih) berkaitan
dengan kejang demam.
15
Vaksinasi
Demam merupakan efek samping dari imunisasi yang umum terjadi. Kejang demam yang
berkaitan dengan vaksinasi sangat jarang terjadi. Kejang demam terutama terjadi pasca
pemberian vaksin tertentu, khususnya vaksin dengan organisme yang dilemahkan, seperti
vaksin Measles, Mumps, Rubella (MMR) dan vaksin yang mengandung toksin atau vaksin
dengan preparat sel utuh (whole cell), seperti vaksin whole cell pertusis. Angka kejadian pasca
vaksinasi MMR adalah 25-34 per 100.000 anak, sedangkan pasca vaksinasi DTwP adalah 6-9
kasus per 100.000 anak. Tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada anak yang
mengalami kejang demam.
Genetik
Faktor resiko genetik telah lama diketahui berkontribusi terhadap kejang demam. Kejang
demam cenderung terjadi dalam keluarga, dengan resiko terbesar pada keluarga tingkat
pertama (orang tua dan saudara kandung). Namun, pola turunan dari kejang demam tidak
diketahui. Sekitar 10-20% saudara kandung dari anak dengan kejang demam akan mengalami
kejang demam. Dalam penelitian pada saudara kembar dan orang tua, kejang demam dapat
diturunkan sebesar 70%. Sebagian besar penelitian mendukung pola pewarisan poligenik atau
multifaktorial. Jarang ditemukan pola pewarisan monogenik pada kejang demam.
Kejang merupakan kondisi akibat aktivitas neuronal yang berlebihan pada otak. Neuron
(unit fungsional terkecil dari sistem saraf) memiliki sifat khusus, yaitu eksitabilitas, merupakan
kemampuan untuk menciptakan sinyal elektrik, mengintegrasikannya, dan
mentransmisikannya ke neuron lain dan efektor.
Dalam keadaan istirahat, neuron memiliki membran potensial sebesar -70 mV.
Membran potensial istirahat merupakan perbedaan muatan di dalam dan di luar sel akibat
pemisahan muatan positif dan negatif oleh membran sel.
Pada neuron, perbedaan muatan di dalam dan di luar sel merupakan perbedaan jenis dan
konsentrasi ion. konsentrasi K+ lebih tinggi di dalam daripada di luar sel, sebaliknya
konsentrasi Na+ lebih tinggi di luar daripada di dalam sel. Gradien konsentrasi K+ keluar sel 17
menyebabkan pergerakan pasif K+ keluar sel ketika kanal selektif K+ terbuka. Hal sama terjadi
pada Na+, yaitu ketika gradient konsentrasi Na+ keluar sel, terjadi pergerakan pasif Na+ keluar
sel ketika kanal selektif Na+ terbuka. Oleh karena lebih banyaknya kanal K+ yang terbuka
dibandingkan kanal Na+ saat istirahat, permeabilitas membran terhadap K+ lebih besar.
Perbedaan konsentrasi ini dijaga oleh pompa Na+/K+ ATPase.
Sel saraf memiliki ambang batas untuk dapat tereksitasi. Stimulus dapat berupa elektrik,
kimia, ataupun mekanik. Ada 2 respon sel saraf terhadap stimulus, yaitu potensial aksi dan
potensial sinaptik. Hal ini terjadi karena konduksi ion-ion melewati membran sel saraf akibat
perubahan kanal ion.
Sebagai respon terhadap stimulus yang mendepolarisasi, beberapa kanal Na+ terbuka,
dan ketika potensi ambang batas tercapai, terjadilah potensial aksi. Setelah itu kanal Na+
menjadi inaktif (periode refraktori relatif dan absolut). Kemudian, terjadilah repolarisasi
dengan terbukanya kanal K+. Kanal K+ terbuka lebih lambat dan lebih lama daripada kanal Na+
menyebabakan keadaan hiperpolarisasi. Setelah keadaan hiperpolarisasi, kondisi berangsur-
angsur kembali lagi ke membran potensial istirahat. Setelah potensial aksi, respons propagasi
terjadi yang secara elektrotonikal mendepolarisasi membran di depannya.
Selain itu, untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel-sel neuron pada otak,
diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak adalah
glukosa. Melalui proses oksidasi, glukosa dipecah menjadi CO2 dan air.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Oleh karena itu kenaikan suhu
tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat 19
terjadi difusi dari K+ maupun Na+ mengakibatkan terjadinya lepasan muatan listrik. Lepasan
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
sel sekitarnya dengan bantuan neurotransmiter dan terjadi kejang.
Selain itu, pada anak terdapat imaturitas mekanisme termoregulator dan kapasitas yang
terbatas untuk meningkatkan metabolisme energi selular. Pada percobaan dengan binatang
ditemukan bahwa eksitabilitas neuronal juga meningkat selama proses maturasi otak.
Predisposisi genetik juga terbukti berkontribusi terhadap kejang demam dengan pola pewarisan
poligenik.
F. Manifestasi klinis
Anak dengan kejang demam memiliki perkembangan yang baik dan sehat secara neurologis
sebelum dan setelah kejang demam. Serangan kejang pada kejang demam biasanya berkaitan
dengan peningkatan suhu pusat (core temperature) yang tinggi (39°C atau lebih) dan cepat.
Umumnya serangan kejang terjadi dalam 24 jam pertama timbulnya demam. Sebagian besar
serangan kejang demam berlangsung singkat (kurang dari 15 menit) dengan sifat bangkitan
kejang berbentuk umum. Umumnya kejang tidak berulang dalam 24 jam. 20
Bangkitan kejang dapat berupa postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh),
gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama), ataupun kejang fokal.
Saat kejang anak tidak sadar. Selain itu, mata dapat berputar-putar (sehingga hanya sklera yang
terlihat), mulut berbusa, lidah atau pipinya dapat tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat,
inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan,
apnea atau henti nafas, dan kulitnya menjadi kebiruan.
Pada fase setelah kejang (fase post-iktal), anak sadar kembali, namun biasanya tampak
kelelahan atau tertidur. Hal ini dapat terjadi hingga 15 menit atau lebih.
G. Diagnosis
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis yang baik dapat membantu menegakkan diagnosis kejang demam. Perlu ditanyakan
kepada orang tua/ pengasuh yang menyaksikan anak kejang mengenai kejang: jenis kejang,
lama kejang, frekuensi dalam 24 jam, serta kondisi sebelum, diantara, dan setelah kejang
(termasuk kesadaran). Hal yang menyertai kejang seperti muntah, kelemahan anggota gerak, 21
kemunduran, dan lainnya juga perlu ditanyakan. Penting juga ditanyakan suhu sebelum/ saat
kejang.
Untuk demam, perlu ditanyakan pola demam (apakah mendadak tinggi atau perlahan-
lahan meningkat, apakah demam menetap atau hilang timbul, apakah membaik dengan
pemberian obat, dan lainnya). Selain itu, keluhan lain yang menyertai demam, seperti batuk,
pilek, sesak nafas, mual, muntah, diare, manifestasi perdarahan dan lainnya perlu ditanyakan.
Hal ini bertujuan mengidentifikasi sumber infeksi.
Pada riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah mengalami
kejang dengan demam atau tanpa demam. Ditanyakan pula apakah anak mengalami gangguan
neurologi sebelum demam. Penting juga ditanyakan apakah anak mengkonsumsi obat-obatan
anti kejang, atau obat-obatan lainnya. Selain itu, riwayat trauma kepala juga penting
ditanyakan.
Pada riwayat penyakit keluarga perlu digali riwayat kejang demam atau epilepsi dalam
keluarga. Pada riwayat kehamilan dan persalinan, perlu ditanyakan riwayat kehamilan ibu,
apakah pernah mengalami sakit selama kehamilan, apakah ibu merokok selama kehamilan.
Pada riwayat tumbuh kembang, perlu ditanyakan pola tumbuh kembang anak apakah
sesuai dengan usianya. Pada riwayat vaksinasi, ditanyakan apakah anak baru saja menerima
vaksinasi MMR atau DTwP.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, nilai keadaan umum dan kesadaran anak. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, dan pernafasan) dan status tumbuh
kembang anak. Pasien kejang seringkali mengalami hipertensi dan takikardi, yang akan pulih
menjadi normal kembali bila kejang sudah berhenti. Bradikardia, hipotensi, dan perfusi yang
buruk merupakan tanda yang buruk. Pemeriksaan suhu tubuh pada anak dapat dilakukan di
beberapa tempat, seperti pada gambar.
22
Gambar 8. Tempat pengukuran suhu pada anak dan nilainya
(Sumber: http://netdoctor.co.uk/)
Pada anak dengan kejang demam penting untuk melakukan pemeriksaan neurologis, antara
lain:
Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, kernig, laseque, brudzinsky I dan brudzinsky
II
Pemeriksaan nervus kranialis I-XII
Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun-ubun membonjol, papilledema
Pemeriksaan motorik: massa, tonus, kekuatan, dan refleks (fisiologis dan patologis)
Pemeriksaan sensorik: sensibilitias eksteroseptif, propioseptif, dan diskriminatif
Pemeriksaan autonom
Tanda infeksi di luar sistem saraf pusat juga dicari, seperti infeksi saluran nafas akut, otitis
media akut, infeksi saluran kemih, enteritis, dan lainnya.
Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam mengevaluasi kejang demam,
diantaranya sebagai berikut.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya
gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
23
misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.
Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0.6 -
6.7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:
Elektroensefalografi
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas.
Misalnya : kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam
fokal.
Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau magnetic
resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
H. Diagnosis Diferensial
I. Tatalaksana
Apapun jenis dan etiologi kejang yang dihadapi, langkah penatalaksanaan kejang yang harus
dilakukan adalah:
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0.5-0.75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk anak
dengan berat badan lebih dari 12 kg. Diazepam rektal juga dapat diberikan dengan dosis 5 mg
untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7.5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan
25
penatalaksanaan kejang demam)
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian
diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan
diazepam intravena dengan dosis 0.2-0.5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang
berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila
dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang intensif. Bila kejang
telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang
demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang
demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap
dapat diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15
mg/kg/kali diberikan tiap 4 6jam. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada
anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (level III,
rekomendasi E).
Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0.3 mg/kg 3 kali sehari pada saat demam menurunkan resiko
berulangnya kejang pada 30-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0.5 mg/kg
setiap 8 jam pada suhu > 38.5 derajat Celcius (level I, rekomendasi A). Dosis tersebut cukup
tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukan ciri sebagai berikut (salah
satu) :
26
Kejang lama > 15 menit
Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus. Kelainan
neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan
indikasi pengobatan rumat
Kejang fokal. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukan bahwa anak
mempunyai fokus organik
Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :
o Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
o Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
o Kejang demam > = 4 kali per tahun
Pemberian fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan resiko
berulangnya kejang (level I). Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya
diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi D). Pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-
50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama
yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari
dalam 1-2 dosis
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap
selama 1-2 bulan.
J. Prognosis
Prognosis dari kejang demam umumnya baik.
Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama
Kejang demam kompleks
Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%,
kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkianan epilepsi mejadi 10-49%
(level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat
pada kejang demam.
2. PNEUMONIA
a. Definisi
Pneumonia adalah inflamasi akut traktus respiratorius bagian bawah yang melibatkan saluran
napas dan parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstisial disertai konsolidasi
di ruang alveolar. Sebagian besar disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (virus/bakteri) dan
sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi). Pneumonia merupakan infeksi
traktus respiratorius bagian bawah yang terdiri dari bronkitis, bronkiolitis, pneumonia atau
gabungan dari hal tersebut. Pneumonia lobaris adalah penumonia yang terbatas pada satu atau
lebih lobus paru. Pneumonia atipikal dimana lebih difus dan interstisial ketimbang pneumonia
lobaris. Bronkopneumonia merupakan bagian dari pneumonia dimana inflamasi paru yang
berpusat dalam bronkiolus dan menyebabkan produksi eksudat mukopurulen yang
menghambat saluran napas kecil dan menyebabkan bercak-bercak konsolidasi lobul-lobul yang
berhubungan..
29
b. Etiologi
Usia merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan startegi
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcis
group B dan bakteri gram negatif seperti E. colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp.
Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza tipe B, dan Staphylococcus aureus.
Sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.
Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, disamping
bakteri, atau campuran dan bakteri. Virus terbanyak ditemukan adalah Respiratory
Syncytial Virus (RSV), Rhinovirus, dan virus Parainfluenza. Daftar etiologi pneumonia
pada anak sesuai dengan kelompok usia yang bersumber dari data dinegara maju dapat
dilihat pada tabel 1.
Secara klinis, umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus.
Demikian juga dengan pemeriksaan radiologis dan laboratorium, biasanya tidak dapat
menentukan etiologi.
Tabel 10. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju
Bakteri Bakteri
Virus
Virus sitomegalo
Bakteri Bakteri
Bakteri Bakteri
virus
Virus adeno
31
Virus influenza
Virus Epstein-Barr
c. Epidemiologi
Pneumonia merupakan masalah kesehatan dunia karena angka kematiannya tinggi.
Pada tahun 2015, WHO melaporkan hampir 6 juta anak balita meninggal dunia, 16%
diantaranya disebabkan oleh pneumonia. Pneumonia merupakan salah satu masalah di
berbagai negara berkembang termasuk Indonesia dengan insidensi pneumonia pada
anak <5 tahun sekitar 10 – 20 kasus/100 anak/tahun dan merupakan urutan kedua
penyebab kematian pada balita setelah diare yang menyebabkan kematian lebih dari 5
juta per tahun pada anak balita. Di Indonesia, angka kesakitan pneumonia pada balita
tahun mencapai 57%, dengan angka kematian mencapai 20%. Terdapat berbagai faktor
resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di
negara berkembang. Faktor resiko tersebut adalah pneumonia yang terjadi pada masa
bayi, berat badan lahir rendah, tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang
adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri
patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau
asap rokok).
d. Patofisiologi
e. Klasifikasi
a. Berdasarkan klinis dan epidemiologis
• Pneumonia komunitas (community-acquired pneumonia)
• Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia/nosocomial pneumonia)
• Pneumonia aspirasi
• Pneumonia pada penderita Immunocompromised
b. Berdasarkan bakteri penyebab
• Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
• Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
• Pneumonia virus
• Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada 33
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
c. Berdasarkan predileksi infeksi
• Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan
sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda
asing atau proses keganasan
• Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru.
Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua.
Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
• Pneumonia interstisial
d. Berdasarkan WHO
• Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
o Pneumonia ringan
Bila tidak ada sesak napas
Ada napas cepat dengan laju napas:
> 50x/menit intik anak usia 2 bulan – 1 tahun
>40x/menit untuk anak >1-5 tahun
o Pneumonia berat retraksi
o Pneumonia sangat berat: tidak dapat minum/makan, kejang, letargis,
malnutrisi
• Bayi berusia dibawah 2 bulan
o Pneumonia berat: napas cepat atau retraksi yang berat
o Pneumonia sangat berat: tidak mau menyusu/minum, kejang, letargis,
demam atau hipotermia, bradipnea atau pernapasan ireguler
f. Diagnosa
a. Manifestasi klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan
hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat,
mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan
perawatan di RS. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada
berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
34
Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-
kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
Gejala gangguan respiratori untuk batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara
napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda
pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi
paru umumnya tidak ditemukan kelainan.
b. Pemeriksaan penunjang
• Darah perifer lengkap
Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan
leukosit dalam batas normal ataus sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia
bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan
predominan PMN. Leukopenia ( >5.000/mm3) menunjukan prognosis yang buruk.
Leukositosis hebat (< 3.000/ mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi
bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakteriemi, dan risiko terjadinya komplikasi
lebih tinggi. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak
dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.
• C- Reactive Protein (CRP)
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit sebagai respon
infeksi atau inflamasi. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan
infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang-
kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik.
• Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk
pemeriksaan mikrobiologis spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. diagnosis
dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi
paru. Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum yang mengandung lebih
35
dari 25 lekosit dan kurang dari 40 sel epitel/ lapangan pada pemeriksaan
mikroskopis dengan pembesaran kecil.
• Rontgen toraks
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia di Instalasi gawat darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks
posisi AP. Posisi lateral tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
penegakan diagnosis pneumonia pada anak. Foto AP lateral hanya dilakuakan
pada pasien dengan tanda dan gejala klinik distress pernapasan.
Gambaran foto rongen toraks pneumonia pada anak meliputi:
o Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing dan hiperaerasi.
o Infiltrat alveolar merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus yang disebut pneumonia lobaris atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal
sebagai round pneumonia
o Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru, berupa bercak – bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial
g. Tatalaksana
Kriteria rawat inap :
Bayi :
- Saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis
- Frekuensi napas > 60 x /menit
- Distress pernapasan, apnea intermitten atau grunting
- Tidak mau minum
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Anak :
- Saturasi oksigen < 92%, sianosis
- Frekuensi napas > 50 x/menit 36
- Distress pernapasan
- Grunting
- Terdapat tanda dehidrasi
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Tatalaksana Umum
– Pasien dengan saturasi oksigen ≤ 92% pada saat bernapas dengan udara kamar
harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal atau sungkup untuk
mempertahankan saturasi oksigen > 92 %.
– Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena
dan dilakukan balans cairan ketat.
– Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien
dan mengontrol batuk.
– Nebulisasi dengan beta 2 agonis dan atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucociliary clearance.
– Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4
jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen.
40
DAFTAR PUSTAKA
43