Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS ILMU KESEHATAN ANAK ANAK

LAKI LAKI USIA 3 TAHUN 9 BULAN DENGAN


KEJANG DEMAM KOMPLEKS DAN PNEUMONIA

Pembimbing:

dr. Meirianisari, M.Sc, Sp.A

Penyusun:

John Jordan Adam Runtu

406191018

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT SUMBER WARAS

PERIODE 23 DESEMBER 2019 – 1


MARET 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
1
JAKARTA
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. GKJ Suku Bangsa : Chinese/Jawa

TTL: Jakarta, 24-03-2016 Agama : Islam

Usia : 3 tahun 9 bulan Tanggal Masuk RS : 01 Januari 2020

Jenis Kelamin : Perempuan Tanggal Keluar : 04 Januari 2020

Alamat : Jelambar No RM : 67-72-64

Tanggal Pemeriksaan : 01 Januari 2020

Jam : 19.30

II. Riwayat Penyakit Sekarang


 Dilakukan alloanamnesis terhadap orang tua pasien pada tanggal 01 Januari 2020
jam 19.30 WIB

 Keluhan utama : Kejang saat 2 jam SMRS

 Pasien datang dengan keluhan kejang saat 2 jam SMRS. Kejang dirsakan 2x, pada
jam 07.00 dan jam 12.00. Kejang meliputi seluruh badan pasien. Kejang pertama
dan kedua berlangsung selama ± 1 menit. Setelah kejang, pasien langsung sadar,
tetapi jika diajak bicara hanya diam saja. Faktor yang memperberat dan
memperingan tidak diketahui. Keluhan kejang disertai dengan demam dan batuk
pilek.
 Keluhan demam dirasakan sejak 12 jam SMRS, demam naik turun, turun bila diberi
obat penurun panas namun beberapa jam kemudian demam naik kembali tanpa
diperngaruhi oleh waktu, dengan suhu tertinggi ± 39oC. Faktor yang memperberat
dan memperingan tidak diketahui.
 Keluhan batuk pilek dirasakan sejak 3 hari SMRS, batuk pilek dirasakan hilang
timbul, batuk tidak berdahak, tidak ada darah, batuk tidak memicu pasien untuk
muntah, pilek sekret berwarna putih bening cair. Faktor yang memperberat dan 2
memperingan tidak diketahui. Keluhan batuk belum diobati.
 Tidak ada gangguan terhadap buang air besar dan buang air kecil, buang air kecil
terakhir setengah jam sebelum pemeriksaan. Keluhan sesak napas disangkal.

III. Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien pernah mengalami kejang saat usia 1 tahun 6 bulan dan 1 tahun 9 bulan.

IV. Riwayat Penyakit Keluarga

 Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan serupa.


V. Riwayat Perinatal

 Anak ke 1 dari 2 bersaudara.

 Lahir cukup bulan (39 minggu) dengan section caesaria atas indikasi myopia berat.

 BBL 3100 gram, PBL 50 cm

 Selama kehamilan rutin Kontrol ANC sesuai jadwal.

 Tidak ada penyulit kehamilan.

 Keadaan saat lahir: Bayi cukup bulan, sesuai masa kehamilan, tonus otot baik,
bayi langsung menangis kuat, gerakan aktif dan kulit kemerahan.
VI. Riwayat Imunisasi

 Hep B : usia 0,2,3,4 bulan

 Polio: usia 0,2,3,4 bulan

 BCG: usia 1 bulan, scar (+) lengan kanan

 DPT/Hep B/Hib: usia 2, 3, 4 bulan

 Campak: 9 bulan

 Imunisasi lain : -

 Kesan : Imunisasi dasar lengkap, booster/ ulangan belum dilakukan.

VII. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Riwayat Pertumbuhan


 BBL = 3100 gr, PBL = 50 cm
3
 BB = 12 kg, PB = 92 cm
Riwayat Perkembangan

 Angkat kepala : usia 2 bulan

 Merangkak : usia 3 bulan

 Duduk : usia 6 bulan

 Berdiri : usia 9 bulan

 Berjalan : usia 12 bulan

Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia

VIII. Riwayat Asupan Nutrisi

 ASI eksklusif sejak bayi lahir sampai usia 24 bulan

 Pemberian susu formula sejak usia 24 bulan

 Makanan pendamping sejak usia 6 bulan

 Makanan padat mulai usia 10 bulan

 Kebutuhan kalori sebesar 1080 kkal

 Kebutuhan protein 12 gram

 Kebutuhan cairan 1100 cc/24 jam


Menu Jumlah makanan Kalori

Pagi Susu formula 120 cc 80 kkal

Siang Nasi sayur sop + 1 mangkok + 120 cc 140 kkal


susu formula
Malam Nasi sayur sop + 1 mangkok + 120 cc 140 kkal
susu formula
Total 360 kkal

Kesan: asupan nutrisi pasien secara kuantitas belum mencukupi kebutuhan kalori
per hari, dan secara kualitas belum cukup bervariasi.
4
IX. Pemeriksaan Fisik

Tanggal pemeriksaan : 01/01/2020; pukul 19.30


WIB Kesadaran (pGCS) : E3V5M4
Keadaan umum : lemas
Skala nyeri :-
Tekanan darah :-

Nadi : 124 x/menit, reguler, isi cukup

Suhu : 38,1 °C

Pernapasan : 32 x/menit, reguler

SpO2 : 99 %

 Antropometri :

BB = 12 kg TB = 92 cm

 WHO antropometri :

 BB/U : (-2) - 0 SD

 TB/U : (-2) – 0 SD

 BB/ TB : (-1) – 0 SD

 BB ideal : 13 kg

 Waterlow : 92 %

 Kesan : Gizi baik

 Status Generalis

• Kepala: normocephali, tidak teraba massa, rambut berwarna hitam, rambut


terdistribusi merata, tidak mudah dicabut, kulit kepala tidak ada kelainan
• Mata: bentuk simetris, pupil bulat, isokor, 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+),
konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-)
• Hidung: deviasi (-), sekret (+/+), napas cuping hidung (-/-)

• Telinga: dalam batas normal, sekret (-/-)

• Mulut: sianosis (-), bibir kering, faring hiperemis (-), tonsil T1/T1, hiperemis (-), 5
tremor lidah (-), mukosa bibir kering (-)
• Leher: trakea di tengah, tidak ada pembesaran KGB submandibular (-)

• Thorax Paru-paru
- Inspeksi : Bentuk simetris, retraksi (-)

- Palpasi : Tidak teraba massa, krepitasi (-), nyeri (-)

- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

- Auskultasi : Vesikuler di seluruh lapang paru, ronkhi (+/-), wheezing (-/-)

Jantung

- Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak tampak

- Palpasi : pulsasi iktus kordis teraba di ICS IV MCLS.

- Perkusi : batas jantung dalam batas normal

- Auskultasi : S1 dan S2 dbn, murmur (-), gallop (-)

• Abdomen

- Inspeksi : tampak datar, jejas (-), massa (-)

- Auskultasi : BU (+) 6x/menit, bruit (-)

- Palpasi : supel, turgor kulit baik, massa (-), nyeri tekan ulu hati (-),
nyeri tekan suprapubik (-)
- Perkusi : hipertimpani di seluruh abdomen

• Tulang Belakang : dalam batas normal, kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-),
gibbus (-)
• Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-)

• Kulit: dalam batas normal, sianosis (-)

• Anus dan Genitalia : dalam batas normal

• KGB: Tidak terdapat pembesaran KGB

• Pemeriksaan neurologis :

- Rangsang meningeal = kaku kuduk (-)

- Saraf cranialis I-XII = kesan normal 6

- Reflek fisiologis : biceps (+/+), triceps (+/+), patella (+/+), achilles (+/+)
- Reflek patologis : babinski (-/-), chaddock (-/-), gordon (-/-), schaeffer (-/-),
hoffman tromner (-/-), klonus paha (-/-), klonus kaki (-/-), oppenheim (-/-)
- Normotoni, normotrofi
- Kekuatan 5/5
-

X. Pemeriksaan Penunjang

Hasil
Nilai Acuan
04/8/2019
Eritrosit 4,45 3.70 – 5.20 juta/mikroL
Hemoglobin 12,1 10.7 – 14.7 g/dl
Hematokrit 34,7 35 – 43 %
Leukosit 9,1 6.0 – 17.5 ribu /µL
Trombosit 237 150 – 440 ribu /µL
LED 5 0 – 10 mm/jam
Indeks Eritrosit
MCV/VER 78 70.0 – 86.0 fL
MCH/HER 27,2 23.0 – 31.0 pg
MCHC/KHER 34,9 30.0 – 36.0 %
Hitung Leukosit
Basofil 0 0–1%
Eosinofil 0 0–3%
Batang 0 0–6%
Segmen 74 (H) 50 – 70 %
Limfosit 20 20 – 40 %
Monosit 6 0–8%

7
Hasil
Nilai Acuan
05/8/2019

Elektrolit
Kalium 4,6 3.5 – 5.0 mmoL/L
Natrium 147 (H) 136 – 146 mmoL/L
Chlorida 108 (H) 98 – 106 mmoL/L
Kalsium 0,91 (L) 1.15 – 1.29 mmoL/L
GDS 99 Normal : 70 – 199 mg/dL
Diabetes Melitus : >= 200 mg/dL

Nama test Hasil


Igm Anti Salmonella Typhi Negative

Rontgen Thorax (7/82019)

Kesan: bronchopneumonia

XI. Resume

 Pasien datang dengan keluhan kejang saat 2 jam SMRS. Kejang dirsakan 2x, pada
jam 07.00 dan jam 12.00. Kejang meliputi seluruh badan pasien. Kejang pertama
dan kedua berlangsung selama ± 1 menit. Setelah kejang, pasien langsung sadar,
tetapi jika diajak bicara hanya diam saja. Keluhan kejang disertai dengan demam
dan batuk pilek. Keluhan demam dirasakan sejak 12 jam SMRS, demam naik turun,
turun bila diberi obat penurun panas namun beberapa jam kemudian demam naik
kembali tanpa diperngaruhi oleh waktu, dengan suhu tertinggi ± 39oC. Keluhan
batuk pilek dirasakan sejak 3 hari SMRS, batuk pilek dirasakan hilang timbul, batuk
tidak berdahak, pilek sekret berwarna putih bening cair. Pada pemeriksaan fisik
keadaan umum tampak lemas, kesadaran compos mentis (E4V5M6), dan suhu
38,1oC. Pada pemeriksaan penunjang hasil lab hitung leukosit terdapat peningkatan
netrofi segmen. Pada pemeriksaan elektrolit didapatkan hipernatremia,
hiperkloremia dan hipokalsemia
8
XII. DAFTAR MASALAH/DIAGNOSA

Daftar Masalah:
- Kejang
- Batuk pilek
- Demam
- Hipernatremia
- Hiperkloremia
- Hipokalsemia
- Pneumonia

XIII. PENGKAJIAN

a. Clinical Reasoning

• Pasien anak perempuan dengan keluhan kejang 2x/24 jam, didahului dengan
demam. Riwayat kejang saat usia 1 tahun 6 bulan dan 1 tahun 9 bulan. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan suhu 38,1oC. Berdasarkan uraian tersebut dapat
ditegakkan diagnosa kejang demam kompleks.

• Keluhan batuk pilek sejak 4 hari SMRS, disertai demam. Pada pemeriksaan
rontgen thorax, kesan bronchopneumonia. Berdasarkan uraian tersebut dapat
ditegakkan diagnosis tambahan pneumonia.
XIV. Diagnosis Utama
Kejang demam kompleks

XV. Diagnosis tambahan


Pneumonia

XVI. Diagnosa Banding


 Epilepsi
 Status epilepticus
 Rhinofaringitis akut

XVII. Rencana Diagnostik: 9


Tidak ada
XVIII. TATALAKSANA

a. Rencana Terapi Farmakologis


- Cefotaxime 3 x 400 mg / IV
- Ambroxol syr 3 x 2,5 ml
- Dexametasone 3 x 1,5 mg / IV
- Paracetamol syr 5 ml/ 4jam jika S= 38- 38,5oC
- Paracetamol 150mg / IV jika S > 38,5oC
- Diazepam 3 x 2,5 mg / IV jika S > 38oC

b. Rencana Terapi Non-Farmakologis

- Kebutuhan cairan : 1100 cc/hari

o IVFD Kaen 3B 1000 cc/24 jam

o Oral: on demand

- Kebutuhan kalori = 1080 kkal/hari

- Kebutuhan protein = 12 gr/hari

Diet : Nasi + lauk bervariasi 3 x 1 porsi, snack/ buah 2 x 1 porsi

c. Rencana Evaluasi

- Observasi tanda-tanda vital (nadi, suhu, pernapasan) tiap 3 jam

XIX. PROGNOSIS

 Ad vitam : Dubia ad bonam

 Ad sanationam : Dubia ad bonam

 Ad functionam : Dubia ad bonam

XX. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis
kejang demam kompleks dengan pneumonia. Pasien telah diberi obat cefotaxime, paracetamol,
dexametasone, dan diazepam. Pasien sudah diizinkan pulang tanggal 4/1/2020 dan diberi obat
10
pulang cefixime dan puyer batuk. Pasien disarankan untuk kembali kontrol ke poli tanggal
11/1/202
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kejang Demam Kompleks
A. Definisi
Menurut National Institute of Health (NIH), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi
atau anak, yang biasanya terjadi pada usia 3 bulan sampai dengan 5 tahun, berhubungan dengan
demam, namun tanpa bukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu dari kejang.
Definisi ini mengeksklusi kejang dengan demam pada anak yang pernah mengalami kejang
tanpa demam.

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), kejang demam adalah


bangkitan kejang yang berhubungan dengan demam, tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat
atau ketidakseimbangan elektrolit akut, pada anak berusia lebih dari 1 bulan, yang tidak pernah
mengalami kejang tanpa demam sebelumnya.

Menurut Konsensus Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(UKK Neurologi IDAI ), kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Definisi ini mengeksklusi anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam. Kejang disertai
demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan juga tidak termasuk dalam kejang demam.

B. Klasifikasi
Penggolongan kejang demam dikemukakan oleh berbagai pakar. Penggolongan tersebut
didasari oleh jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung,
gambaran elektroensefalografi, dan lainnya.

Klasifikasi kejang demam menurut Prichard dan McGreal

Prichard dan McGreal membagi kejang demam menjadi:

 Kejang demam sederhana


 Kejang demam tidak khas
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang memenuhi semua kriteria berikut ini.
Kejang demam yang tidak memenuhi butir tersebut digolongkan sebagai kejang demam tidak
khas.
11
 Kejang bersifat simetris
 Usia penderita antara 6 bulan - 4 tahun
 Suhu 100°F (37,78°C) atau lebih
 Lama kejang kurang dari 30 menit
 Keadaan neurologis sebelum dan setelah kejang adalah normal
 Elektroensefalografi setelah kejang normal

Klasifikasi kejang demam menurut Livingston

Livingston membagi kejang demam menjadi:

 Kejang demam sederhana


o Kejang bersifat umum
o Lama kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
o Kejang demam pertama terjadi pada usia kurang dari 6 tahun
o Frekuensi serangan kejang 1-4 kali dalam setahun
o Elektroensefalografi normal
 Epilepsi yang dicetuskan oleh demam
o Kejang bersifat fokal
o Kejang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
o Kejang demam pertama terjadi pada usia lebih dari 6 tahun
o Frekuensi serangan kejang lebih dari 4 kali dalam setahun
o Elektroensefalografi setelah anak tidak demam abnormal

Klasifikasi kejang demam menurut Fukuyama

Fukuyama membagi kejang demam menjadi:

 Kejang demam sederhana


 Kejang demam kompleks

Kejang demam sederhana harus memenuhi semua kriteria berikut ini. Kejang demam yang
tidak memenuhi kriteria tersebut digolongkan sebagai kejang demam kompleks.

 Tidak ada riwayat epilepsi dalam keluarga 12


 Tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun
 Serangan kejang pertama terjadi antara usia 6 bulan – 6 tahun
 Lama kejang kurang dari 20 menit
 Kejang bersifat umum (tidak bersifat fokal)
 Tidak ada gangguan atau abnormalitas pasca-kejang
 Tidak ada abnormalitas neurologis atau perkembangan sebelumnya

Klasifikasi kejang demam menurut Konsensus UKK Neurologi IDAI

Berdasarkan Konsensus UKK Neurologi IDAI, kejang demam diklasifikasikan menjadi:

 Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)


Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari
15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau
klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam 24 jam.
 Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
o Kejang lama. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak
sadar.
o Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
o Kejang berulang. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari,
di antara 2 bangkitan kejang anak sadar.

C. Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan - 5 tahun. Kejang demam sederhana
merupakan 80% diantara seluruh kejang demam, sedangkan 20% lainnya merupakan kejang
demam kompleks. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam, sedangkan kejang berulang
terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam. Kejang demam lebih sering
terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 1,4:1.

D. Etiologi
Etiologi kejang demam digambarkan dalam diagram berikut ini.

13
Gambar 1. Etiologi Kejang Demam
(Sumber: Schellack N. Febrile Seizures in Children. SA Pharmaceutical Journal 2012;
79(3):10-13)

Infeksi yang berakibat pada kejang demam

Infeksi merupakan penyebab tersering dari kejang demam. Peranan infeksi pada sebagian besar
kejang demam tidak spesifik, serangan kejang terutama didasarkan atas reaksi demam yang
terjadi. Faktor lain yang mungkin berperan menyebabkan kejang demam, antara lain:

 Efek produk toksik dari mikroorganisme terhadap otak


 Respons alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh karena infeksi
 Ensefalitis viral yang ringan yang tidak tidak diketahui atau ensefalopati toksik sepintas
 Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit

Virus Influenza A dan B

Infeksi virus influenza A merupakan penyebab terpenting kejang demam, terutama di Asia. Hal
ini berkaitan dengan tingginya insidensi kejang demam pada infeksi virus ini dibandingkan
dengan infeksi virus saluran nafas lainnya, seperti adenovirus dan virus parainfluenza. Pada
anak dengan infeksi virus Influenza A ditemukan suhu maksimal yang lebih tinggi, durasi
demam yang lebih pendek sebelum timbulnya kejang, dan kejang fokal.

14
Respiratory Synctitial Virus (RSV)

Komplikasi neurologis, meliputi ensefalopati dengan hipotonus dan kejang atau ensefalopati
yang bermanifestasi dengan kejang, dilaporkan berkaitan dengan infeksi RSV. Oleh karena itu,
baik melalui proses inflamasi langsung ataupun tidak langsung, RSV memiliki efek
neurotoksik dan menyebabkan ensefalopati selama infeksi saluran nafas akut.

Enterovirus

Enterovirus dilaporkan berkaitan dengan manifestasi kejang. Badai sitokin “cytokine storm”
pada sistem saraf pusat dapat terjadi pada infeksi enterovirus-71. Kejang demam juga dapat
disebabkan oleh infeksi enterovirus lainnya, seperti Coxsackievirus Grup A.

Rotavirus

Rotavirus merupakan penyebab gastroenteritis dengan dehidrasi tersering pada anak-anak


berusia 3-24 bulan. Kejang sebelum onset gastroenteritis dilaporkan terjadi pada 40% kasus.
Hilangnya cairan dan elektrolit pada diare rotavirus juga terlibat dalam patogenesis terjadinya
kejang.

Herpesvirus

Beberapa anggota keluarga herpesvirus memiliki neurotropisme dan menyebabkan gangguan


neurologis pada anak, diantaranya: virus herpes simpleks 1, virus herpes simpleks 2,
varicellazoster, Epstein-Barr, cytomegalovirus, human herpes virus 6, dan human herpes virus
7. Virus herpes simpleks 1, cytomegalovirus, human herpes virus 6, dan human herpes virus 7
berkaitan dengan kejang demam. Berdasarkan penelitian, human herpes virus 6, dan human
herpes virus 7 berkaitan dengan kejang lama (30 menit atau lebih).

Bakteri

Dibandingkan dengan infeksi viral, bakteremia jarang menyebabkan kejang demam. Beberapa
penelitian menemukan bahwa infeksi oleh Shigella dysenteriae (enteritis), Streptococcus
pneumoniae (infeksi saluran nafas), dan Escherichia coli (infeksi saluran kemih) berkaitan
dengan kejang demam.

15
Vaksinasi

Demam merupakan efek samping dari imunisasi yang umum terjadi. Kejang demam yang
berkaitan dengan vaksinasi sangat jarang terjadi. Kejang demam terutama terjadi pasca
pemberian vaksin tertentu, khususnya vaksin dengan organisme yang dilemahkan, seperti
vaksin Measles, Mumps, Rubella (MMR) dan vaksin yang mengandung toksin atau vaksin
dengan preparat sel utuh (whole cell), seperti vaksin whole cell pertusis. Angka kejadian pasca
vaksinasi MMR adalah 25-34 per 100.000 anak, sedangkan pasca vaksinasi DTwP adalah 6-9
kasus per 100.000 anak. Tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada anak yang
mengalami kejang demam.

Genetik

Faktor resiko genetik telah lama diketahui berkontribusi terhadap kejang demam. Kejang
demam cenderung terjadi dalam keluarga, dengan resiko terbesar pada keluarga tingkat
pertama (orang tua dan saudara kandung). Namun, pola turunan dari kejang demam tidak
diketahui. Sekitar 10-20% saudara kandung dari anak dengan kejang demam akan mengalami
kejang demam. Dalam penelitian pada saudara kembar dan orang tua, kejang demam dapat
diturunkan sebesar 70%. Sebagian besar penelitian mendukung pola pewarisan poligenik atau
multifaktorial. Jarang ditemukan pola pewarisan monogenik pada kejang demam.

Gambar 2. Mutasi genetik pada kejang demam


(Sumber: Kundu G, Rabin F, Nandi E, Sheikh N, Akhter S. Etiology and Risk Factors of
16
Febrile Seizure – An Update. Bangladesh Journal Child Health 2010; 34(3): 103-112.
E. Patogenesis/ Patofisiologi
Patofisiologi kejang demam hingga saat ini belum sepenuhnya dimengerti. Kejang demam
merupakan fenomena yang terkait dengan usia. Beberapa penelitian mengemukakan terdapat
interaksi 3 faktor sebagai penyebab kejang demam, yaitu demam, imaturitas otak dan
termoregulator, serta predisposisi genetik.

Kejang merupakan kondisi akibat aktivitas neuronal yang berlebihan pada otak. Neuron
(unit fungsional terkecil dari sistem saraf) memiliki sifat khusus, yaitu eksitabilitas, merupakan
kemampuan untuk menciptakan sinyal elektrik, mengintegrasikannya, dan
mentransmisikannya ke neuron lain dan efektor.

Dalam keadaan istirahat, neuron memiliki membran potensial sebesar -70 mV.
Membran potensial istirahat merupakan perbedaan muatan di dalam dan di luar sel akibat
pemisahan muatan positif dan negatif oleh membran sel.

Gambar 3. Membran potensial


(Sumber: Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganong’s Review of Medical
Physiology. Edisi ke-23; 2010)

Pada neuron, perbedaan muatan di dalam dan di luar sel merupakan perbedaan jenis dan
konsentrasi ion. konsentrasi K+ lebih tinggi di dalam daripada di luar sel, sebaliknya
konsentrasi Na+ lebih tinggi di luar daripada di dalam sel. Gradien konsentrasi K+ keluar sel 17
menyebabkan pergerakan pasif K+ keluar sel ketika kanal selektif K+ terbuka. Hal sama terjadi
pada Na+, yaitu ketika gradient konsentrasi Na+ keluar sel, terjadi pergerakan pasif Na+ keluar
sel ketika kanal selektif Na+ terbuka. Oleh karena lebih banyaknya kanal K+ yang terbuka
dibandingkan kanal Na+ saat istirahat, permeabilitas membran terhadap K+ lebih besar.
Perbedaan konsentrasi ini dijaga oleh pompa Na+/K+ ATPase.

Sel saraf memiliki ambang batas untuk dapat tereksitasi. Stimulus dapat berupa elektrik,
kimia, ataupun mekanik. Ada 2 respon sel saraf terhadap stimulus, yaitu potensial aksi dan
potensial sinaptik. Hal ini terjadi karena konduksi ion-ion melewati membran sel saraf akibat
perubahan kanal ion.

Sebagai respon terhadap stimulus yang mendepolarisasi, beberapa kanal Na+ terbuka,
dan ketika potensi ambang batas tercapai, terjadilah potensial aksi. Setelah itu kanal Na+
menjadi inaktif (periode refraktori relatif dan absolut). Kemudian, terjadilah repolarisasi
dengan terbukanya kanal K+. Kanal K+ terbuka lebih lambat dan lebih lama daripada kanal Na+
menyebabakan keadaan hiperpolarisasi. Setelah keadaan hiperpolarisasi, kondisi berangsur-
angsur kembali lagi ke membran potensial istirahat. Setelah potensial aksi, respons propagasi
terjadi yang secara elektrotonikal mendepolarisasi membran di depannya.

Gambar 4. Eksitabilitas neuron selama propagasi impuls


(Sumber: Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganong’s Review of Medical 18
Physiology. Edisi ke-23; 2010)
Impuls ditransmisikan antara satu neuron dengan yang lain atau antara neuron dengan sel lain
pada sinaps. Sinaps merupakan pertemuan antara akson (sel pre-sinaps) dengan dendrit, soma,
atau akson neuron lainnya atau pada otot dan kelenjar (sel post-sinaps). Komunikasi yang
terjadi dapat berupa elektrik ataupun kimia. Pada sinaps kimia, terdapat celah sinaptik yang
memisahkan antara sel pre-sinaps dengan sel post-sinaps. Komunikasi dilakukan dengan
mengirimkan sinyal kimiawi yang dapat berdifusi melalui celah sinaps dan menempel pada
reseptor post-sinaps. Sedangkan pada sinaps elektrik, membran pre-sinaps dan post-sinaps
saling berdekatan, membentuk gap junctions.

Gambar 5. Propagasi impuls sepanjang neuron


( Sumber: Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganong’s Review of Medical
Physiology. Edisi ke-23; 2010)

Selain itu, untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel-sel neuron pada otak,
diperlukan energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak adalah
glukosa. Melalui proses oksidasi, glukosa dipecah menjadi CO2 dan air.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Oleh karena itu kenaikan suhu
tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat 19
terjadi difusi dari K+ maupun Na+ mengakibatkan terjadinya lepasan muatan listrik. Lepasan
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
sel sekitarnya dengan bantuan neurotransmiter dan terjadi kejang.

Selain itu, pada anak terdapat imaturitas mekanisme termoregulator dan kapasitas yang
terbatas untuk meningkatkan metabolisme energi selular. Pada percobaan dengan binatang
ditemukan bahwa eksitabilitas neuronal juga meningkat selama proses maturasi otak.
Predisposisi genetik juga terbukti berkontribusi terhadap kejang demam dengan pola pewarisan
poligenik.

Gambar 6. Patogenesis/ patofisiologi kejang demam


(Sumber: http://doctorology.net/wp-content/uploads/2009/03/patofisiologi-kejang-
demam.jpg)

F. Manifestasi klinis
Anak dengan kejang demam memiliki perkembangan yang baik dan sehat secara neurologis
sebelum dan setelah kejang demam. Serangan kejang pada kejang demam biasanya berkaitan
dengan peningkatan suhu pusat (core temperature) yang tinggi (39°C atau lebih) dan cepat.
Umumnya serangan kejang terjadi dalam 24 jam pertama timbulnya demam. Sebagian besar
serangan kejang demam berlangsung singkat (kurang dari 15 menit) dengan sifat bangkitan
kejang berbentuk umum. Umumnya kejang tidak berulang dalam 24 jam. 20
Bangkitan kejang dapat berupa postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh),
gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama), ataupun kejang fokal.
Saat kejang anak tidak sadar. Selain itu, mata dapat berputar-putar (sehingga hanya sklera yang
terlihat), mulut berbusa, lidah atau pipinya dapat tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat,
inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan,
apnea atau henti nafas, dan kulitnya menjadi kebiruan.

Pada fase setelah kejang (fase post-iktal), anak sadar kembali, namun biasanya tampak
kelelahan atau tertidur. Hal ini dapat terjadi hingga 15 menit atau lebih.

Gambar 7. Bangkitan kejang tonik-klonik


(Sumber: http://drdjebrut.files.wordpress.com/2010/01/grand-mal-seizure.jpg)

G. Diagnosis
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.

Anamnesis
Anamnesis yang baik dapat membantu menegakkan diagnosis kejang demam. Perlu ditanyakan
kepada orang tua/ pengasuh yang menyaksikan anak kejang mengenai kejang: jenis kejang,
lama kejang, frekuensi dalam 24 jam, serta kondisi sebelum, diantara, dan setelah kejang
(termasuk kesadaran). Hal yang menyertai kejang seperti muntah, kelemahan anggota gerak, 21
kemunduran, dan lainnya juga perlu ditanyakan. Penting juga ditanyakan suhu sebelum/ saat
kejang.

Untuk demam, perlu ditanyakan pola demam (apakah mendadak tinggi atau perlahan-
lahan meningkat, apakah demam menetap atau hilang timbul, apakah membaik dengan
pemberian obat, dan lainnya). Selain itu, keluhan lain yang menyertai demam, seperti batuk,
pilek, sesak nafas, mual, muntah, diare, manifestasi perdarahan dan lainnya perlu ditanyakan.
Hal ini bertujuan mengidentifikasi sumber infeksi.

Pada riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah mengalami
kejang dengan demam atau tanpa demam. Ditanyakan pula apakah anak mengalami gangguan
neurologi sebelum demam. Penting juga ditanyakan apakah anak mengkonsumsi obat-obatan
anti kejang, atau obat-obatan lainnya. Selain itu, riwayat trauma kepala juga penting
ditanyakan.

Pada riwayat penyakit keluarga perlu digali riwayat kejang demam atau epilepsi dalam
keluarga. Pada riwayat kehamilan dan persalinan, perlu ditanyakan riwayat kehamilan ibu,
apakah pernah mengalami sakit selama kehamilan, apakah ibu merokok selama kehamilan.

Pada riwayat tumbuh kembang, perlu ditanyakan pola tumbuh kembang anak apakah
sesuai dengan usianya. Pada riwayat vaksinasi, ditanyakan apakah anak baru saja menerima
vaksinasi MMR atau DTwP.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, nilai keadaan umum dan kesadaran anak. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, dan pernafasan) dan status tumbuh
kembang anak. Pasien kejang seringkali mengalami hipertensi dan takikardi, yang akan pulih
menjadi normal kembali bila kejang sudah berhenti. Bradikardia, hipotensi, dan perfusi yang
buruk merupakan tanda yang buruk. Pemeriksaan suhu tubuh pada anak dapat dilakukan di
beberapa tempat, seperti pada gambar.

22
Gambar 8. Tempat pengukuran suhu pada anak dan nilainya
(Sumber: http://netdoctor.co.uk/)

Pada anak dengan kejang demam penting untuk melakukan pemeriksaan neurologis, antara
lain:

 Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, kernig, laseque, brudzinsky I dan brudzinsky
II
 Pemeriksaan nervus kranialis I-XII
 Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun-ubun membonjol, papilledema
 Pemeriksaan motorik: massa, tonus, kekuatan, dan refleks (fisiologis dan patologis)
 Pemeriksaan sensorik: sensibilitias eksteroseptif, propioseptif, dan diskriminatif
 Pemeriksaan autonom
Tanda infeksi di luar sistem saraf pusat juga dicari, seperti infeksi saluran nafas akut, otitis
media akut, infeksi saluran kemih, enteritis, dan lainnya.

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan, diantaranya pemeriksaan terhadap adanya


fraktur kranial akibat trauma kepala, kelainan kraniofasial sebagai tanda gangguan
perkembangan korteks serebri, korioretinitis sebagai tanda infeksi rubella, cytomegalovirus,
dan toxoplasmosis, dan lainnya.

Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam mengevaluasi kejang demam,
diantaranya sebagai berikut.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya
gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
23
misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.
Pungsi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0.6 -
6.7%.

Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:

 Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan untuk dilakukan


 Bayi antara 12 - 18 bulan dianjurkan
 Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau


memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya,
tidak direkomendasikan.

Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas.
Misalnya : kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam
fokal.

Pencitraan

Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau magnetic
resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:

 Kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis)


 Paresis nervus VI
 Papiledema

H. Diagnosis Diferensial

Diagnosis diferensial dari kejang demam diantaranya:

 Infeksi intrakranial: meningitis dan ensefalitis 24


 Keracunan: alkohol, teofilin, kokain, dan lainnya
 Gangguan metabolik: hipoglikemia, hiponatremia, hipernatremia, hipoksemia,
hipokalsemia, hipomagnesemia, gangguan asam-basa, defisiensi piridoksin, gagal
ginjal, gagal hati
 Gangguan metabolik bawaan
 Trauma kepala
 Penghentian obat antiepilepsi mendadak
 Lain-lain: ensefalopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial
 Idiopatik

I. Tatalaksana
Apapun jenis dan etiologi kejang yang dihadapi, langkah penatalaksanaan kejang yang harus
dilakukan adalah:

 Manajemen jalan nafas, pernafasan, dan fungsi sirkulasi yang adekuat.


Bila anak datang dalam keadaan kejang, tanyakan beberapa hal penting saja agar tidak
membuang waktu sambil memeriksa fungsi vital dengan cepat. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik lengkap dilakukan setelah kejang teratasi.
Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pasien diletakkan dalam posisi
miring agar tidak terjadi aspirasi bila muntah. Lendir dihisap, diberikan oksigen 100%.
Jangan memasukkan benda keras antara gigi yang sudah terkatup.
 Terminasi kejang dan pencegahan kembalinya kejang.
Penatalaksanaan saat kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah
berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0.2-
0.5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/ menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan
dosis maksimal 10 mg.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0.5-0.75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk anak
dengan berat badan lebih dari 12 kg. Diazepam rektal juga dapat diberikan dengan dosis 5 mg
untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7.5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan
25
penatalaksanaan kejang demam)
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian
diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan
diazepam intravena dengan dosis 0.2-0.5 mg/kg.

Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang
berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila
dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang intensif. Bila kejang
telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang
demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.

Pemberian obat pada saat demam


Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang
demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap
dapat diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15
mg/kg/kali diberikan tiap 4 6jam. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.

Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada
anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (level III,
rekomendasi E).

Antikonvulsan

Pemakaian diazepam oral dosis 0.3 mg/kg 3 kali sehari pada saat demam menurunkan resiko
berulangnya kejang pada 30-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0.5 mg/kg
setiap 8 jam pada suhu > 38.5 derajat Celcius (level I, rekomendasi A). Dosis tersebut cukup
tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.

Pemberian obat rumat


Indikasi pemberian obat rumat

Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukan ciri sebagai berikut (salah
satu) :
26
 Kejang lama > 15 menit
 Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus. Kelainan
neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan
indikasi pengobatan rumat
 Kejang fokal. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukan bahwa anak
mempunyai fokus organik
 Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :
o Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
o Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
o Kejang demam > = 4 kali per tahun

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat

Pemberian fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan resiko
berulangnya kejang (level I). Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya
diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi D). Pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-
50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama
yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari
dalam 1-2 dosis

Lama pengobatan rumat

Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap
selama 1-2 bulan.

Edukasi pada orang tua


Kejang selalu merupakan peristiwa menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian
besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi
dengan cara yang diantaranya :

 Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik


27
 Memberitahukan cara penanganan kejang
 Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
 Pemberian obat untu mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang

 Tetap tenang dan tidak panik


 Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
 Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu kedalam mulut.
 Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
 Tetap bersama pasien selama kejang
 Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti
 Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.

J. Prognosis
Prognosis dari kejang demam umumnya baik.

Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis


Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan
mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian
lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan
kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum
atau fokal.

Kemungkinan mengalami kematian


Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.

Kemungkinan berulangnya kejang demam


Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya kejang
demam adalah:

 Riwayat kejang demam dalam keluarga


 Usia kurang dari 12 bulan 28

 Temperatur yang rendah saat kejang


 Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%,
sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya
10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.

Faktor resiko terjadinya epilepsi


Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko menjadi epilepsi
adalah :

 Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama
 Kejang demam kompleks
 Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%,
kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkianan epilepsi mejadi 10-49%
(level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat
pada kejang demam.

2. PNEUMONIA

a. Definisi

Pneumonia adalah inflamasi akut traktus respiratorius bagian bawah yang melibatkan saluran
napas dan parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstisial disertai konsolidasi
di ruang alveolar. Sebagian besar disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (virus/bakteri) dan
sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi). Pneumonia merupakan infeksi
traktus respiratorius bagian bawah yang terdiri dari bronkitis, bronkiolitis, pneumonia atau
gabungan dari hal tersebut. Pneumonia lobaris adalah penumonia yang terbatas pada satu atau
lebih lobus paru. Pneumonia atipikal dimana lebih difus dan interstisial ketimbang pneumonia
lobaris. Bronkopneumonia merupakan bagian dari pneumonia dimana inflamasi paru yang
berpusat dalam bronkiolus dan menyebabkan produksi eksudat mukopurulen yang
menghambat saluran napas kecil dan menyebabkan bercak-bercak konsolidasi lobul-lobul yang
berhubungan..

29
b. Etiologi
Usia merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan startegi
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcis
group B dan bakteri gram negatif seperti E. colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp.
Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza tipe B, dan Staphylococcus aureus.
Sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.

Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, disamping
bakteri, atau campuran dan bakteri. Virus terbanyak ditemukan adalah Respiratory
Syncytial Virus (RSV), Rhinovirus, dan virus Parainfluenza. Daftar etiologi pneumonia
pada anak sesuai dengan kelompok usia yang bersumber dari data dinegara maju dapat
dilihat pada tabel 1.

Secara klinis, umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus.
Demikian juga dengan pemeriksaan radiologis dan laboratorium, biasanya tidak dapat
menentukan etiologi.

Tabel 10. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang

Bakteri Bakteri

E. colli Bakteri an aerob

Streptococcus grup B Haemophillus influenza

Listeria monocytogenes Streptococcus pneumonia


Lahir – 20 hari
Ureaplasma urealyctims

Virus

Virus sitomegalo

Virus Herpes simpleks


30
Bakteri Bakteri

Chalmydia trachomatis Bordetella pertussis

Streptococcus pneumonia Haemophilus influenza tipe B

Virus Moraxella cathralis


3 minggu -3 bulan
Virus adeno Staphylococcus aureus

Virus influenza Ureaplasma urealyctims

Respiratory syncytial virus Virus

Virus parainfluenza 1,2,3 Virus sitomegalo

Bakteri Bakteri

Chalmydia trachomatis Haemophilus influenza tipe B

Streptococcus pneumonia Moraxella cathralis

Mycoplasma pneumoniae Staphylococcus aureus

4 bulan – 5 tahun Virus Neisseria meningitidis

Virus adeno virus

Virus influenza Virus varisela-Zoster

Respiratory syncytial virus

Virus rinovirus parainfluenza

Bakteri Bakteri

Chalmydia trachomatis Haemophilus influenza tipe B

Streptococcus pneumonia legionella


5 tahun- remaja
Mycoplasma pneumoniae Staphylococcus aureus

virus

Virus adeno
31
Virus influenza

Respiratory syncytial virus

Virus rinovirus parainfluenza

Virus Epstein-Barr

Virus Varisela Zoster

c. Epidemiologi
Pneumonia merupakan masalah kesehatan dunia karena angka kematiannya tinggi.
Pada tahun 2015, WHO melaporkan hampir 6 juta anak balita meninggal dunia, 16%
diantaranya disebabkan oleh pneumonia. Pneumonia merupakan salah satu masalah di
berbagai negara berkembang termasuk Indonesia dengan insidensi pneumonia pada
anak <5 tahun sekitar 10 – 20 kasus/100 anak/tahun dan merupakan urutan kedua
penyebab kematian pada balita setelah diare yang menyebabkan kematian lebih dari 5
juta per tahun pada anak balita. Di Indonesia, angka kesakitan pneumonia pada balita
tahun mencapai 57%, dengan angka kematian mencapai 20%. Terdapat berbagai faktor
resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di
negara berkembang. Faktor resiko tersebut adalah pneumonia yang terjadi pada masa
bayi, berat badan lahir rendah, tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang
adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri
patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau
asap rokok).

d. Patofisiologi

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran


respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena
mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema
dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah.
Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di 32
alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi
kelabu. Selanjutnya jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami
degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium
resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.

Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit,


sehingga stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri
tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan
bakteri lain. Infeksi streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-
bercak konsolidasi merata di seluruh lapang paru (bronkopneumonia), dan pada anak
besar atau remaja dapat berupa konsolidasi pada paru lobus (pneumonia lobaris).
Pneumatokel atau abses-abses kecil sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada
neonatus atau bayi kecil, karena Staphylococcus aureus menghasilakan berbagai toksin
dan enzim seperti hemolisis, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim
ini menyebabkan nekrosis, pendarahan, dan kavitas. Koagulase berinteraksi dengan
faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi
fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi
koagulase dan virulensi kuman. Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase
jarang menimbulkan penyakit yang serius. Pneumatokel dapat menetap hingga
berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut.

e. Klasifikasi
a. Berdasarkan klinis dan epidemiologis
• Pneumonia komunitas (community-acquired pneumonia)
• Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia/nosocomial pneumonia)
• Pneumonia aspirasi
• Pneumonia pada penderita Immunocompromised
b. Berdasarkan bakteri penyebab
• Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
• Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
• Pneumonia virus
• Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada 33
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
c. Berdasarkan predileksi infeksi
• Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan
sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda
asing atau proses keganasan
• Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru.
Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua.
Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
• Pneumonia interstisial
d. Berdasarkan WHO
• Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
o Pneumonia ringan
 Bila tidak ada sesak napas
 Ada napas cepat dengan laju napas:
 > 50x/menit intik anak usia 2 bulan – 1 tahun
 >40x/menit untuk anak >1-5 tahun
o Pneumonia berat  retraksi
o Pneumonia sangat berat: tidak dapat minum/makan, kejang, letargis,
malnutrisi
• Bayi berusia dibawah 2 bulan
o Pneumonia berat: napas cepat atau retraksi yang berat
o Pneumonia sangat berat: tidak mau menyusu/minum, kejang, letargis,
demam atau hipotermia, bradipnea atau pernapasan ireguler

f. Diagnosa
a. Manifestasi klinis

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan
hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat,
mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan
perawatan di RS. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada
berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:

34
 Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-
kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
 Gejala gangguan respiratori untuk batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

Pada pemeriksaan dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara
napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda
pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi
paru umumnya tidak ditemukan kelainan.

b. Pemeriksaan penunjang
• Darah perifer lengkap
Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan
leukosit dalam batas normal ataus sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia
bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan
predominan PMN. Leukopenia ( >5.000/mm3) menunjukan prognosis yang buruk.
Leukositosis hebat (< 3.000/ mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi
bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakteriemi, dan risiko terjadinya komplikasi
lebih tinggi. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak
dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.
• C- Reactive Protein (CRP)
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit sebagai respon
infeksi atau inflamasi. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan
infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang-
kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik.
• Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk
pemeriksaan mikrobiologis spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. diagnosis
dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi
paru. Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum yang mengandung lebih
35
dari 25 lekosit dan kurang dari 40 sel epitel/ lapangan pada pemeriksaan
mikroskopis dengan pembesaran kecil.

• Rontgen toraks
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia di Instalasi gawat darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks
posisi AP. Posisi lateral tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
penegakan diagnosis pneumonia pada anak. Foto AP lateral hanya dilakuakan
pada pasien dengan tanda dan gejala klinik distress pernapasan.
Gambaran foto rongen toraks pneumonia pada anak meliputi:
o Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing dan hiperaerasi.
o Infiltrat alveolar merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus yang disebut pneumonia lobaris atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal
sebagai round pneumonia
o Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru, berupa bercak – bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial

g. Tatalaksana
 Kriteria rawat inap :
 Bayi :
- Saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis
- Frekuensi napas > 60 x /menit
- Distress pernapasan, apnea intermitten atau grunting
- Tidak mau minum
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah

 Anak :
- Saturasi oksigen < 92%, sianosis
- Frekuensi napas > 50 x/menit 36
- Distress pernapasan
- Grunting
- Terdapat tanda dehidrasi
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah

 Tatalaksana Umum
– Pasien dengan saturasi oksigen ≤ 92% pada saat bernapas dengan udara kamar
harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal atau sungkup untuk
mempertahankan saturasi oksigen > 92 %.
– Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena
dan dilakukan balans cairan ketat.
– Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien
dan mengontrol batuk.
– Nebulisasi dengan beta 2 agonis dan atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucociliary clearance.
– Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4
jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen.

 Pneumonia rawat jalan


Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotika lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan,
dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%.
Dosis amoksisilin yang diberikan 25mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah
4mg/kgBB TMP-20mg/kgBB sulfametoksazol). Makrolid, baik eritromisin
maupun makrolid baru dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta laktam untuk
pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda
terhadap S.pneumoniae dan bakteri atipik.

 Pneumonia rawat inap


Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan beta-
laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta
laktam dan kolramfenikol dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin,
amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan.
Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa 37
komplikasi, meskipun tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi antibiotik yang
optimal.
Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai
sesegera mungkin dikarenakan sering terjadi sepsis dan meningitis. Antibiotik yang
direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi beta
laktam/klavulonat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila
keadaan sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari.
Pada balita dan anak lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah
antibiotik beta-laktam/klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberika beta
laktam/klavulanat dikombinasikan dengna makrolid baru intravena, atau
sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah
stabil, antibiotik diganti dengan antibiotik oral dan berobat jalan.

Beberapa pilihan antibiotik intravena yang dapat digunakanuntuk pneumonia

Tabel 11. Pilihan antibiotik intravena untuk pneumonia

 Tatalaksana Pneumonia sesuai Derajat Keparahan30,31,32,33


o Tatalaksana pneumonia ringan:
 Rawat jalan
38
 Antibiotik: kotrimoksasol (4 mg TMP/kgBB/kali) 2 x/hari selama 3
hari atau amoksisilin (25 mg/kgBB/kali) 2 x/hari selama 3 hari (HIV
diberikan 5 hari)
 Memberikan makanan yang cukup dan bergizi.
 Kontrol 2 hari kemudian atau lebih jika keadaan buruk atau tidak
minum atau menyusu  tatalaksana di Rumah Sakit :
o Jika pernapasan membaik (melambat), demam berkurang, nafsu
makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari.
o Jika frekuensi napas, demam, nafsu makan tidak ada perubahan,
ganti ke antibiotik lini kedua dan kembali 2 hari lagi.
o Jika ada tanda-tanda pneumonia berat  rawat inap dan
tatalaksana sebagai pneumonia berat
o Tatalaksana pneumonia berat:
 Rawat inap
 Terapi antibiotik:
 Ampisilin/amoksisilin (25 – 50 mg/kgBB/kali IV atau IM tiap 6 jam)
 pantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama  membaik: lanjut
selama 5 hari  lanjut terapi di rumah atau RS dengan amoksisilin
oral (15 mg/kgBB/kali 3x/hari) untuk 5 hari berikutnya.
 Klinis memburuk sebelum 48 jam atau keadaan berat  +
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV 1x/hari)
 Klinis berat  oksigenasi + ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-
gentamisin
 Alternatif (ceftriaxone 80 – 100 mg/kgBB IM atau IV 1x/hari)
 Pneumonia stafilokokal  ganti dengan gentamisin (7,5 mg/kgBB
IM 1x/hari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV tiap 6 jam) atau
klindamisin (15 mg/kgBB/hari 3x pemberian)  membaik:
kloksasilin (dikloksasilin) PO 4x/hari sampai 3 minggu atau
klindamisin PO selama 2 minggu
 Terapi oksigen:
o Untuk semua pneumonia berat & SpO2 <90%
o Pulse oximetry
39
o Nasal prongs, kateter nasal, kateter nasofaringeal
 Kriteria pulang
- Gejala dan tanda pneumonia menghilang
- Asupan per oral adekuat
- Pemberian antibiotic dapat diteruskan di rumah (per oral)
- Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana control
- Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah.

h. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis
purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmuner seperti meningitis
purulenta. Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada
pneumonia bakteri, bisa juga terjadi efusi parapneumonik, empiema,
pneumatocele, bronkiektasis, abses paru, bronkiolitis obliterans, hiperlusen
paru unilateral/Swyer-James syndrome dan miokarditis. Kebanyakan anak
sembuh dari pneumonia dengan cepat dan lengkap walaupun gambaran
radiologis kembali ke normal butuh waktu 6 – 8 minggu. SKN, 2001
menunjukkan 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia
disebabkan oleh penyakit respiratori, terutama pneumonia.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman R, Stanton B, St. Geme J, Schor N, Behrman R. Nelson Textbook of Pediatrics.


Edisi ke-19. Amerika Serikat: Elsevier Saunders, Inc.; 2011.
2. Hay W, Levin M, Sondheimer J, Deterding R. Current Diagnosis and Treatment: Pediatrics.
Edisi ke-20. Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2011.
3. Lumbantobing S. Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007.
4. Kundu G, Rabin F, Nandi E, Sheikh N, Akhter S. Etiology and Risk Factors of Febrile
Seizure – An Update. Bangladesh Journal Child Health 2010; 34(3): 103-112.
5. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Indonesia 2006. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI); 2006.
6. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusomo. Pediatric Neurology and Neuroemergency in Daily Practice.
.Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006.
7. Baumann R. Febrile Seizures [Online]. [Diunduh tanggal 24 April 2012]. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/
8. Schellack N. Febrile Seizures in Children. SA Pharmaceutical Journal 2012; 79(3):10-13.
9. Mayhar A, Ayazi P, Fallahi M, Javadi A. Risk Factors of the First Febrile Seizures in
Iranian Children. International Journal of Pediatrics 2010; 2010:1-3.
10. O’Leary M, Chappell J, Stratton C, Cronin R, Taylor M, Tang Y. Complex Febrile Seizures
Followed by Complete Recovery in an Infant with High-Titer 2009 Pandemic Influenza A
(H1N1) Virus Infection. Journal of Clinical Microbiology 2010; 48(10): 3803-3805.
11. Kimia A, Ben-Joseph E, Rudloe T, Capraro A, Sarco D, Hummel D, Johnston P, dan
Harper M. Yield of Lumbar Puncture Among Children Who Present With Their First
Complex Febrile Seizure. Pediatrics 2010; 126; 62-69.
12. Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganong’s Review of Medical Physiology. Edisi
ke-23. Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2010.
13. Rudolph C, Rudolph A, Lister G, First L, Gershson A. Rudolph’s Pediatrics.Edisi ke-22.
Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2011.
14. Ojha A, Aryal U. Leucocytosis in Febrile Seizure. Journal of Nepal Pediatric Society 2011; 41
31(3): 188-191.
15. Farrell Kevin, Goldman R. The Management of Febrile Seizures. British Columbia Medical
Journal 2011; 53(6): 268-273.
16. Subcommitee on febrile seizures. Febrile Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic
Evaluation of the Child with a Simple Febrile Seizure. Pediatrics 2011; 127: 389-394.
17. Steering committee on quality improvement and management, subcommittee on febrile
seizures. Febrile Seizures: Clinical Practice Guideline for the Long-term Management of
the Child with Simple Febrile Seizure. Pediatrics 2008; 121: 1281-1286.
18. Ojha A, Shakya K, Aryal U. Recurrence Risk of Febrile Seizure in Children. Journal of
Nepal Pediatric Society 2012; 32(1): 33-36.
19. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi I. Badan
Penerbit IDAI.
20. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, et.al, ed. Pedoman
pelayanan medis. Ed. I. Jakarta: IDAI; 2009.
21. Marcdante KJ, Kliegman RM. Nelson essentials of pediatrics. 7th ed. USA: Elsevier
Saunders; 2015.
22. Anwar A, dan Dharmayanti I. 2014. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 8 No. 8. Mei 2014. Tersedia di
https://media.neliti.com/media/publications/39862-ID-pneumonia-pada-anak-balita-di-
indonesia.pdf. [Diakses 10 Juni 2019]
23. Hartati, S., Nurhaeni, N., & Gayatri, D. (2012). Faktor risiko terjadinya pneumonia pada
anak balita. Jurnal Keperawatan Indonesia, 15(1), 13–20.
24. PDPI. 2003. Pneumonia Komuniti-Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksaan Di Indonesia,
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
25. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid I. Badan Penerbit
IDAI.
26. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. Jakarta:
World Health Organization;2009
27. World Health Organization. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
28. WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Ed. 1. Jakarta: WHO; 2009.
29. WHO. Classification and treatment (revised) of Pneumonia. WHO; 2014. Tersedia di
http://apps.who. int/iris/bitstream/10665/137319/1/9789241507813_eng.pdf. [Diakses :
11 Juni 2019] 42
30. World Health Organization. [Online].; 2017 [diakses 11 Juni 2019]. Tersedia di:
http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/pneumonia
31. Herry Gama dkk, Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak ringkasan klinik,
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung; 2014

43

Anda mungkin juga menyukai