LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : An. MDA
Usia : 1 tahun 3 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 18 Juni 2019
Alamat : Dusun Kliwon, Kuningan, Jawa Barat
No Rekam Medis : 69-16-90
Tanggal Pemeriksaan : 8 Oktober 2020; jam 14.15 WIB
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa terhadap ayah pasien pada hari Kamis, 8
Oktober 2020
1. Keluhan Utama: Kejang 5 jam SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang anak laki-laki berusia 1 tahun 3 bulan datang diantar ayahnya ke poliklinik
anak dengan keluhan kejang 2 kali sekitar 5 jam SMRS. Ayah pasien mengatakan
kejang pertama terjadi tiba-tiba saat anak sedang bermain di rumah pukul 07.00 WIB
pagi. Kejang seperti kaku pada seluruh tubuh pasien, dengan mata mendelik ke atas,
dan berlangsung selama ±10 detik. Kemudian setelah kejang, anak kembali sadar, dan
menangis. 1 jam kemudian, anak kembali kejang selama 10 detik dengan sifat kejang
yang sama (kaku). Ayah pasien mengatakan, setelah kejang pasien sadar namun
menjadi lemas. Saat kejang, pasien tidak diberikan obat apapun. Keluhan kejang tidak
disertai demam. Keluhan batuk, dan pilek disangkal. Riwayat makan dan minum
pasien baik. Riwayat BAB dan BAK pasien baik. Pasien saat ini sedang menjalani
pengobatan epilepsi bulan pertama.
3. Riwayat Pengobatan
Saat kejang, pasien tidak diberikan obat apapun. Pasien saat ini sedang menjalani
pengobatan epilepsi bulan pertama, obat yang diminum adalah As. Valproat 2 x 2.4
mg dan Fenitoin 2 x 30 mg.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah dirawat pada tanggal 24 September hingga 2 Oktober 2020 dengan
diagnosa epilepsi, bronkopneumoni, GDD, dan ISK. Saat itu pasien datang ke
poliklinik anak dengan keluhan kejang berulang sebanyak 5 kali dalam 1 minggu
terakhir SMRS. Kejang bersifat kaku selama kurang lebih 10 detik setiap kejangnya,
dan interval antar kejang sekitar 3-12 jam. Pada saat kejang, seluruh tubuh anak kaku,
dan matanya mendelik ke atas. Setelah kejang, anak menangis kuat. Pasien memiliki
riwayat keluhan demam, dan batuk. Keluhan pilek, sesak nafas, dan muntah
disangkal. Riwayat makan dan minum pasien baik. BAB dan BAK baik, tidak ada
keluhan.
Orang tua pasien mengatakan pasien demam sekitar 1 bulan SMRS bersamaan
dengan timbulnya batuk. Demam dirasakan terus menerus, dan saat diukur suhunya
sekitar 38 C. Keluhan demam hilang setelah mengonsumsi obat penurun panas.
Orang tua pasien mengatakan pasien mulai batuk 1 bulan SMRS. Batuk disertai
dahak berwarna putih, namun pasien tampak sulit mengeluarkan dahaknya. Saat itu
pasien sempat dibawa untuk berobat di kampungnya, dan keluhan batuk pasien
membaik.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Kakak pasien memiliki riwayat kejang 1 kali saat kecil. Orang tua pasien mengatakan
saat itu kakak pasien sedang demam lebih dari 38 C. Kejang juga bersifat kaku pada
seluruh tubuhnya, dan berlangsung 5-10 detik.
6. Riwayat Lingkungan dan Sosial
Tidak ada keluhan kejang pada lingkungannya.
7. Riwayat Perinatal
Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara, pasien lahir secara pervaginam
pada usia kehamilan 38-39 minggu. Selama kehamilan, ayah pasien mengaku bahwa
ibu pasien rutin kontrol ANC dan memiliki penyulit pre-eklamsia. Saat lahir, pasien
lahir sehat, menangis kuat, bergerak aktif dan kulitnya kemerahan, dengan berat
badan lahir 3600 gram dan panjang lahir tidak diingat ayahnya.
1
8. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi pasien lengkap sesuai jadwal hingga usia 9 bulan. Pada saat baru
lahir, pasien diberikan hepatitis B, kemudian dilanjutkan imunisasi polio pada usia 1
bulan hingga 4 bulan, BCG pada usia 1 bulan, pentavalen pada usia 2 bulan hingga 4
bulan, dan campak pada usia 9 bulan.
9. Riwayat Tumbuh dan Kembang
Pasien dalam kategori obesitas, berat badan sekarang 12 kg, dan panjang badan 76
cm. Diukur dengan kurva WHO didapatkan BB/U diantara 0 SD dan 2 SD kesan
normal PB/U diantara 0 SD dan -2 SD kesan normal dan BB/PB diantara 2 SD dan 3
SD kesan overweight. Berat badan ideal anak adalah 9.8 kg dan status gizi
berdasarkan waterlow sebesar 122% dengan kesan obesitas. Riwayat perkembangan
anak didapatkan perkembangan terhambat. Pasien belajar tengkurap pada usia 6
bulan, dan duduk pada usia 9 bulan. Di usianya yang 15 bulan ini, pasien belum dapat
berjalan dan berdiri sendiri.
10. Riwayat Asupan Nutrisi
Pasien mendapatkan ASI dan susu soya hingga saat ini, mulai makanan pendamping
ASI pada 6 bulan. Pada usia 12 bulan pasien makan sesuai dengan menu makanan
keluarga.
(Food Recall) Berdasarkan anamnesa dengan ayah pasien, didapatkan asupan nutrisi
anak per 24 jam sebagai berikut:
Pagi: bubur tim satu porsi, susu soya 100cc dan ASI dengan perkiraan kalori 224 kkal
Siang: nasi lunak dengan daging cincang, dan sayur sop setengah porsi dengan
perkiraan kalori 304 kkal
Malam: setengah porsi nasi lunak dengan telur, sayur sop dan susu soya 100 cc
dengan perkiraan kalori 363 kkal.
Ayah pasien juga mengatakan pada sore hari pasien diberi selingan ASI dengan
perkiraan kalori 70 kkal. Pada perhitungan kebutuhan kalori didapatkan kebutuhan
kalori pasien sebesar 1224 kkal, dan protein 15 g.
2
III. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan pada hari Kamis, 8 Oktober 2020 jam 14.30 WIB
Status Generalis
Keadaan Umum : tampak tenang
Kesadaran : GCS E4V5M6
Tanda vital
Tekanan Darah : 100/60 mmHg, persentil 95 - 99
Frekuensi Napas : 24x/menit, regular, abdominotorakal
Frekuensi Nadi : 120x/menit, regular, isi cukup
Suhu Tubuh : 36.5 C
SpO2 : 99%
Skala Nyeri :2
Data Antropometri
Berat Badan : 12 kg
Panjang Badan : 76 cm
Lingkar Kepala : 45 cm
BB/U : 0 – 2 SD – normal
PB/U : 0 - (-2) SD – normal
BB/PB : 2 – 3 SD – overweight
Berat Badan Ideal : 9.8 kg
Waterlow : 122% – obesitas
LK/U : 0 – (-1) – normal
Status Lokalis
Kepala : normosefali, rambut warna hitam sebaran merata, UUB
baik
Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, kelopak mata
cekung -/-, pupil bulat, diameter 3/3mm
3
Telinga : pinna bentuk normal, sekret -, fistula -, membrane timpani
intak
Hidung : septum deviasi -, sekret -, mukosa hiperemis -/-, konka
edema -/-
Mulut : bibir sianosis (-), bibir kering (-), lidah papil (-), tonsil
T1/T1, hiperemis (-), detritus (-)
Leher : trakea letak di tengah, massa -, pembesaran KGB –
Pulmo : inspirasi/ekspirasi normal, gerakan dada simetris,
tertinggal -, nyeri -/-, massa -/-, krepitasi -/-, suara perkusi
sonor +/+, retraksi -,/-, ronkhi -/-, wheezing -/-
Cor : ictus cordis tidak tampak, pulsasi teraba di ICS V
midclavicula line sinistra, batas jantung normal, S1 dan S2
reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : datar, bising usus (+), timpani, nyeri tekan (-), shifting
dullness (-), massa (-), turgor baik
Hepar : tidak teraba membesar
Lien : tidak teraba membesar
Anus dan Genitalia : dalam batas normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT 2 detik, edema (-/-)
Tulang Belakang : dalam batas normal, kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-)
Kulit : dalam batas normal
Kelenjar Getah Bening : tidak ditemukan adanya pembesaran KGB
Status Neurologis
Rangsang meningeal
Kaku Kuduk :-
Laseque :-
Kerniq :-
Brudzinski I :-
Brudzinski II :-
Brudzinski III :-
4
Brudzinski IV :-
• Reflek fisiologis : biceps (++/++), triceps (++/++), patella (++/++), achilles (++/++)
• Normotoni, normotrofi
• Kekuatan 5555 5555
5555 5555
- Tampak multiple spot lesi hiperdense kecil-kecil pada white matter kanan kiri dan
tampak pula lesi hiperdense kesan mengikuti sulcy gan gyri di region parietal kiri
5
- Tidak tampak midline shift
- Sulcy dan gyri tampak baik
- Sistem ventrikel dan sisterna tampak baik
- Tak tampak kalsifikasi abnormal
- Pons dan serebelum tak tampak kelainan
- Orbita dan mastoid kanan kiri tampak baik
- Sinus frontalis, sinus etmoidalis, sinus maxilaris dan sphenoidalis kanan kiri tak
tampak kelainan
- Tampak deformitas bagian occipital kiri
Kesimpulan:
- Multiple spot lesi hiperdense kecil-kecil pada white matter kanan kiri dan tampak
pula lesi hiperdense kesan mengikuti sulcy gan gyri di region parietal kiri, curiga
vasculitis dd/ post congenital infection
6
Pemeriksaan Pungsi Lumbal (03/10/2020)
V. Resume
Telah diperiksa pasien anak laki-laki berusia 1 tahun 3 bulan dengan keluhan kejang 2
kali, 5 jam SMRS. Kejang bersifat kaku seluruh tubuh dengan mata mendelik ke atas
selama 10 detik. Jarak antar kejang sekitar 1 jam. Kondisi anak sadar dan menangis
setelah kejang. Kejang tidak disertai demam. Sebelumnya pasien pernah dirawat dengan
7
keluhan serupa. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan tanggal 08/10/2020 didapatkan
keadaan umum pasien tampak tenang, pemeriksaan GCS E4M6V5 dengan hasil compos
mentis, frekuensi nafas 24x/menit, regular, nadi 120x/menit, regular isi cukup, kuat
angkat, simetris kanan dan kiri, suhu tubuh 36.5C, skala nyeri 2 dan SpO2 99%. Pada
pemeriksaan kepala didapatkan normosefali dengan lingkar kepala 45cm, pada
pemeriksaan toraks didapatkan jantung dan paru dalam batas normal. Pada pemeriksaan
status neurologis tidak ditemukan adanya gejalas iritasi meningeal. Pada pemeriksaan lab
darah lengkap tanggal 03/10/2020 didapatkan peningkatan eritrosit (5.38), penurunan
MCV (71.7 fl), MCH (23.8 pg), dan MCHC (33.2%), penurunan kadar neutrophil segmen
(43%) dan peningkatan kadar limfosit (47%). Pada pemeriksaan pungsi lumbal tanggal
03/10/2020 didapatkan cairan sedikit keruh, dengan predominasi sel MN pada leukosit,
dan peningkatan kadar protein (755 mg/dl).
VI. Diagnosis
Diagnosis utama : Meningitis Bakterial (G00.9)
Diagnosis tambahan : Infeksi saluran kemih (N39)
Epilepsi on theraphy (G40.909)
Diagnosis banding : Meningitis Viral (A87.9)
VII. Tatalaksana
- Kebutuhan cairan 1100 cc
- IVFD RL 240cc/24 jam, 10 tpm mikro
- Oral on demand
- Kebutuhan kalori 1224 kkal
- Kebutuhan protein 15 g
- PO As. Valproat 2 x 5 ml (dosis 15-40mg/kg/hari)
- PO Fenitoin 2 x 30 mg (dosis 5-7mg/kg/hari)
- IV Dexamethasone 3 x 2 mg (dosis 0,6 mg/kg/hari)
- IV Ampicilin 4 x 300 mg (200-400mg/kg/hari)
- IV Cefotaxime 4 x 600 mg (200-300mg/kg/hari)
8
VIII. Prognosis
Ad vitam : dubia
Ad functionam : dubia
Ad sanationam : dubia
FOLLOW UP
9
Cefotaxime 4 x Cefotaxime 4 x Cefotaxime 4 x Cefotaxime 4 x
600mg 600mg 600mg 600mg
Dexamethasone Dexamethasone Dexamethasone Dexamethasone
3x2mg 3x2mg 3x2mg 3x2mg
10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Meningitis
Meningitis adalah suatu peradangan pada meningen, membran yang melapisi otak dan
medulla spinalis yang disebabkan oleh bakteri patogen. Penyakit ini dapat disebabkan
oleh bakteri, virus atau fungi, namun angka kejadian tertinggi secara global adalah
meningitis bacterial.1 Meningitis aseptic mengarah pada meningitis viral, namun
meningitis dengan hasil negative pada kultur bakteri cairan serebrospinal dapat juga
ditemukan pada infeksi lain seperti tuberculosis, infeksi parameningeal, paparan zat
kimia (NSAID), kelainan autoimun, dan penyakit lain, seperti Kawasaki.2
Organisme penyebab meningitis bakteri tersering sebelum ditemukan adanya
vaksin konjugat adalah Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumonia, dan
Neisseria meningitides. Insiden terjadinya meningitis bacterial paling tinggi ditemukan
pada anak berusia kurang dari 1 tahun, terutama pada neonatus yang kurang dari 2 bulan.
Pada neonatus, penyebab meningitis sama dengan penyebab sepsis neonatal (B
streptococci, E. coli, Klebsiella, L. monocytogenes, dan H. influenzae), sedangkan pada
anak, S. pneumonia dan N. meningitidis tetap menjadi penyebab tersering meningitis
bacterial. Meningitis staphylococcal paling sering ditemukan setelah tindakan
pembedahan saraf atau trauma kepala.2
Meningitis partial adalah meningitis bacterial yang dipengaruhi oleh penggunaan
antibiotic sebelum pungsi lumbal, yang dapat menyebabkan hasil negative pada kultur
serebrospinal, meskipun temuan lainnya menunjukkan infeksi bakteri tetap ada. Dalam
kasus ini, etiologi dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan PCR cairan serebrospinal.
Penyebab virus tersering pada meningitis adalah enterovirus dan parechovirus.
Virus lain yang dapat menjadi etiologi adalah herpes simplex virus (HSV), Epstein0Barr
virus (EBV), sitomegalovirus (CMV), lymphocytic choriomeningitis virus (LCMV),
arbovirus, dan human immunodeficiency virus (HIV). Virus mumps juga dapat
menyebabkan meningitis pada anak yang tidak divaksinasi.2
Etiologi-etiologi lain yang juga dapat menyebabkan meningitis antara lain
Mycobacterium tuberculosis, Toxoplasma, dan Naugleria fowleri.2
11
Tabel 2.1 Etiologi Umum Meningitis Bakterial dan Rekomendasi Terapi Empirik 3
Penyakit ini menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%).4 Angka-
angka tinggi yang ditemukan pada penduduk Amerika asli, penduduk Alaska asli, dan
Aborigin Australia menunjukkan bahwa factor genetic memainkan peran. Faktor resiko
12
lain meliputi immunodefisiensi kongenital maupun yang didapat, asplenia anatomis
maupun fungsional, implantasi koklear, trauma kepala, dan prosedur pembedahan saraf.
Adanya kebocoran cairan cerebrospinal (fistula), sebagai akibat dari kelainan kongenital
atau akibat dari fraktur tulang tengkorak, meningkatkan resiko terjadinya meningitis
(terutama yang disebabkan oleh S. pneumoniae).2
Enterovirus dan parechovirus sering ditemukan sebagai virus penyebab pada
musim panas dan musim gugur. Kasus ini lebih sering ditemukan anak-anak usia sekolah
dan pada orang-orang immunocompromised.2
Bakteri yang menyebabkan meningitis dapat ditransmisikan dari satu orang ke
orang yang lain melalui droplet. Kontak erat dan lama, seperti bersin atau batuk, atau
tinggal bersama dengan carrier, dapat memfasilitasi penyebaran penyakit tersebut. Masa
inkubasi rata-rata sekitar 4 hari namun berkisar antara 2 hingga 10 hari.1
Gejala saluran pernafasan atas dapat ditemukan, namun onset cepat biasanya
menunjukkan infeksi S.pneumoniae dan N.meningitidis. Indikasi inflamasi meningeal
meliputi nyeri kepala, iritabel, nausea, kaku kuduk, letargi, fotofobia, dan muntah.
Demam juga biasanya ditemukan. Kernig dan brudzinski dari perangsangan meningeal
biasanya ditemukan positif pada anak lebih dari 12 bulan. Pada bayi, tanda-tanda
inflamasi meningeal biasanya minimal dan hanya ditandai dengan iritabel, penurunan
status mental, dan/atau penurunan nafsu makan. Tanda neurologis fokal, kejang, atralgia,
myalgia, petechiae atau lesi purpurik, sepsis, syok, dan koma. Gejala peningkatan
tekanan intracranial berupa nyeri kepala, diplopia, dan muntah; bulging pada fontanel
dapat ditemukan pada bayi.2 Hampir 40% diantara pasien meningitis mengalami gejala
sisa berupa gangguan pendengaran dan deficit neurologis.4
Pada pasien dengan kecurigaan meningitis bacterial, pungsi lumbal harus
dilakukan. Pemeriksaan rutin cairan serebrospinal meliputi jumlah sel darah putih dan
hitung jenisnya, kadar protein dan glukosa, dan pemeriksaan Gram. Cairan serebrospinal
(LCS) perlu dikultur untuk mencari bakteri. PCR digunakan untuk mendiagnosa
meningitis viral; lebih sensitive dan cepat hasilnya jika dibandingkan dengan kultur virus.
Leukositosis perifer sering ditemukan dan kultur darah dapat positif sesuai dengan
organismenya dan apakah sudah diberikan terapi antibiotik sebelumnya. Idealnya, pungsi
lumbal (LP) dilakukan sebelum terapi empiric; namun, antibiotik sebaiknya tidak ditunda
13
apabila terdapat kendala untuk melakukan LP. Apabila pemeriksaan imaging diperlukan
sebelum LP, kultur darah harus diperiksa dan antibiotik diberikan, sebelum CT scan.
Interpretasi LCS pada anak yang telah mendapatkan terapi antibiotik lebih sulit. Pada
meningitis meningococcal, LCS dapat dengan cepat menjadi steril, biasanya dalam 1-2
jam, dan seringnya setelah pemberian terapi dosis pertama.2
Anamnesis pada pasien dengan meningitis bacterial biasanya ditemukan riwayat
infeksi saluran nafas atas atau saluran cerna seperti demam, batuk, pilek, diare, dan
muntah. Gejala-gejala lain seperti demam, nyeri kepala, letargi, malaise, kejang, dan
muntah merupakan hal yang sangat sugestif meningitis namun tidak ada satu gejala pun
yang khas. Pada anak kurang dari 3 tahun jarang mengeluh nyeri kepala. Pada bayi,
gejala hanya berupa demam, iritabel, letargi, malas minum, dan high pitched-cry.4
14
mendominasi sebelumnya
bila sudah dapat
diberikan memberikan
terapi hasil steril
sebelumnya pada cairan
serebrospinal
namun
bakteri tetap
dapat
dideteksi
dengan PCR
Meningitis Biasanya 10-500; 100-500; <50, Organisme
Tuberkulosis meningkat; awalnya dapat menurun dapat
dapat predominasi lebih seiring ditemukan
menurun PMN tinggi waktu bila pada kultur
karena kemudian tidak atau PCR.
adanya limfosit dan diberikan
blockade monosit terapi
pada tahap mendominasi
lanjutan
Fungal Biasanya 10-500; 20-500 <50, Ragi dapat
meningkat awalnya menurun terlihat;
predominasi seiring organisme
PMN, waktu bila dapat dilihat
kemudian tidak dengan kultur
MN diberikan
terapi
Meningitis Viral Normal 10-1000; <50 Normal / Virus dapat
atau atau sedikit awalnya menurun dideteksi
Meningoensefaliti meningkat predominasi hingga 40 dengan PCR
s PMN, pada
kemudian sebagian
15
MN kasus
Abses (Infeksi Normal 0-100 PMN 20-200 Normal Dapat tampak
Parameningeal) atau kecuali normal
meningkat terjadi
rupture ke
cairan
serebrospinal
16
Pengobatan meningitis bakterial difokuskan pada sterilisasi CSF dengan antibiotik
dan pemeliharaan perfusi serebral dan sistemik yang adekuat. Karena peningkatan
resistensi S. pneumoniae, sefalosporin generasi ketiga ditambah vankomisin empiris
harus diberikan sampai hasil kultur dan uji kerentanan antibiotik tersedia. Sefotaksim
atau seftriakson juga cukup untuk mengobati N. meningitidis, H. influenzae, dan
beberapa E. coli. Untuk bayi di bawah usia 2 bulan, ampisilin ditambahkan untuk
menutupi kemungkinan Listeria monocytogenes. Lama pengobatan 5-7 hari untuk N.
meningitidis, 7-10 hari untuk H. influenzae, dan 10-14 hari untuk S. pneumoniae.
Meningitis yang disebabkan oleh basil gram negatif umumnya harus diobati minimal 21
hari atau 14 hari setelah kultur CSF negatif pertama, mana saja yang lebih lama.
Deksametason sebagai terapi tambahan yang dimulai tepat sebelum atau bersamaan
dengan dosis pertama antibiotik, secara signifikan mengurangi kejadian gangguan
pendengaran akibat meningitis H. influenzae. Peran steroid adjuvan untuk mengurangi
gejala sisa neurologis dan mortalitas untuk meningitis pneumokokus dan meningokokus
pada anak-anak kurang jelas. Terapi suportif melibatkan pengobatan dehidrasi, syok,
kejang, peningkatan tekanan intrakranial, apnea, aritmia, dan koma. Perfusi serebral yang
adekuat harus dipertahankan bila ditemukan edema serebral.2
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotic disesuaikan dengan hasil kultur dan
resistensi.
17
Terapi Deksametason4
Durasi terapi sesuai dengan bakteri penyebab menurut Infectious Diseases Society of
America:5
Durasi terapi tidak diperbolehkan lebih singkat dari 5 hari untuk meningokokus, 10 hari
untuk H. influenza, dan 14 hari untuk S. pneumonia.
Infeksi saluran kemih (ISK) menyatakan adanya pertumbuhan bakteri di dalam saluran
kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih. Infeksi
saluran kemih merupakan penyebab demam kedua tersering setelah infeksi akut saluran
napas pada anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada kelompok ini angka kejadian ISK
mencapai 5%. Angka kejadian ISK bervariasi, tergantung umur dan jenis kelamin.
Angka kejadian pada neonates kurang bulan adalah sebesar 3%, sedangkan pada
neonates cukup bulan 1%. Pada anak kurang dari 10 tahun, ISK ditemukan pada 3,5%
anak perempuan dan 1,1% anak laki-laki. Diagnosis yang cepat dan akurat dapat
18
mencegah penderita ISK dari komplikasi pembentukan parut ginjal dengan segala
konsekuensi jangka panjangnya seperti hipertensi dan gagal ginjal kronik.4
Klasifikasi ISK berdasarkan lokasinya dibagi menjadi ISK atas dan ISK bawah.
Untuk kepentingan klinis, dibagi menjadi ISK tidak berkomplikasi (ISK simpleks) dan
ISK komplikata (ISK kompleks). Kebanyakan infeksi ini tidak berkomplikasi dan
berespons terhadap pengobatan, namun 30-40% lainnya mengalami episode berulang di
dalam 2 tahun. Infeksi rekurens ini menjadi komplikata dan pengobatannya sulit serta
memiliki sekuele serius.2
Penyebab tersering ISK adalah Escherichia coli (E. coli). 4 Kuman lain yang
ditemukan antara lain Klebsiella, Alkaligenes, Staphylococcus saphrophyticus, Proteus,
dan Asinetobacer. Pada ISK yang disertai kelainan structural saluran kemih sering
ditemukan penyebab lain yang virulensinya rendah seperti Pseudomonas,
Staphylococcus aureus, Epidermidis, atau Enterococcus fecalis.2 Perjalanan
mikroorganisme ke dalam saluran kemih dapat terjadi secara asendens, hematogen
limfatik, dan juga ekstensi langsung. Bakteri E. coli misalnya, memiliki fimbriae yang
dapat melekat pada sel uroepitel. Selanjutnya, terjadi kerusakan pada ginjal akibat
endotoksin bakteri yang akan memicu sistem kekebalan tubuh. Hal ini akan merangsang
pengeluarkan sitokin, kemokin, dan berbagai faktor inflamasi. Respon inflamasi akan
menyebabkan 3 hal utama, yaitu peningkatan permeabilitas vaskular, serta
pengambilan/recruitment neutrofil untuk meredakan infeksi dan pembentukan
skar/jaringan parut.6
Gambaran klinis ISK sangat bervariasi dan sering tidak khas. Pada neonatus
sampai usia 2 bulan, gejalanya berupa demam, apatis, berat badan tidak naik, muntah,
mencret, anoreksia, riwayat gangguan pada kebiasaan minumnya, dan sianosis. Ikterus
tanpa demam sering timbul pada anak yang berusia kurang dari 8 minggu. Pada anak
yang berusia antara 2 bulan hingga 2 tahun yang mengalami demam tinggi tanpa
diketahui sebabnya dapat dianggap sebagai pielonefritis. Kemampuan neonates
mengatasi infeksi yang belumberkembang menyebabkan mudah terjadinya sepsis atau
meningitis, terutama pada neonates dengan kelainan saluran kemih. Pada anak besar,
gejalanya lebih khas, seperti sakit waktu miksi, frekuensi miksi meningkat, nyeri perut
19
atau pinggang, mengompol, polaksiuria, atau urin yang berbau menyengat. Tanda
neurologis seperti iritabel dan kejang dapat terjadi pada anak dengan demam tinggi.
Gejala yang ditemukan pada sistitis biasanya adalah demam yang tidak tinggi (jarang
lebih dari 38 ͦC), sakit waktu berkemih, selalu berkemih, sakit di daerah suprapubik,
susah berkemih/retensi urin, urgensi, dan enuresis.2,4
Setiap bayi dan anak disertai bakteriuria dan demam sama atau di atas 38 ͦC
dianggap menderita ISK atas atau pielonefritis akut. Apabila demam di bawah 38 ͦC,
namun dengan nyeri pinggang dan bakteriuria juga dianggap menderita pielonefritis
akut. Setiap bayi dan anak mengalami bekteriuria tetapi tanpa gejala dan tanda sistemik
dianggap sebagai ISK bawah atau sistitis.7
Pemeriksaan fisik dan tanda vital seperti tekanan darah, pengukuran antropometri,
pemeriksaan massa di dalam abdomen, kandung kemih, muara uretra dan genitalia,
pemeriksaan neurologis ekstremitas bawah, serta pemeriksaan tulang belakang. 7 Gejala
dan tanda ISK yang dapat ditemukan berupa demam, nyeri ketok sudut kostovertebral,
nyeri tekan suprasimfisis, kelainan pada genitalia eksterna seperti fimosis, sinekia vulva,
hipospadia, epispadia, dan kelainan pada tulang belakang sperti spina bifida.4
Konsensus UKK Nefrologi Anak IDAI (2011) tentang interpretasi hasil biakan urin
yang bermakna bergantung pada teknik pengambilan sampel urin. Diartikan sebagai
bakteriuria bermakna apabila pada:9
- Biakan urin dengan aspirasi suprapubik: didapatkan berapa pun jumlah kuman;
20
- Biakan urin dengan teknik katerisasi urine: didapatkan kuman dengan jumlah ≥
50.000 cfu/mL
- Biakan urin dengan urin pancar tengah: didapatkan kuman dengan jumlah ≥ 100.000
cgu/mL
- Biakan urin dengan urine collector: didapatkan kuman dengan jumlah ≥100.000
cfu/mL.
Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, antibiotic diberikan secara
empiric selama 7-10 hari untuk eradikasi infeksi akut. Anak yang mengalami dehidrasi,
muntah, atau tidak dapat minum oral, berusia satu bulan atau kurang, atau dicurigai
mengalami urosepsis sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk rehidrasi dan terapi
antibiotika intravena. Selain pemberian antibiotic, penderita ISK perlu mendapat asupan
cairan yang cukup, perawatan hygiene daerah perineum dan periuretra, serta pencegahan
konstipasi.
o Bayi < 3 bulan dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke dokter spesialis
anak, pengobatan harus dengan antibiotik parenteral;
o Bayi ≥ 3 bulan dengan pieloneftiris akut/ISK atas: pertimbangan untuk dirujuk ke
spesialis anak. Terapi antibiotik oral 7-10 hari dengan antibiotik yang resistensisnya
masih rendah berdasar atas pola resistensi kuman, seperti sefalosporin atau ko-
amoksiklaf; Jika antibiotik per oral tidak dapat digunakan, tetapi antibiotik
parenteral, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 2-4 hari dilanjutkan dengan
antibiotik per oral hingga total lama pemberian 10 hari.
o Bayi ≥ 3 bulan dengan sistitis/ISK bawah: berikan antibiotik oral selama 3 hari
berdasar atas pola resistensi kuman setempat. Bila tidak ada hasil pola resistensi
kuman, dapat diberikan trimetroprim, sefalosporin, atau amoksisilin. Bila dalam 24-
48 jam belum ada perbaikan klinis harus dinilai kembali, dilakukan pemeriksan
biakan urine untuk melihat pertumbuhan bakteri dan kepekaan terhadap obat.
21
Jenis Antibiotik Dosis per hari
Amoksisilin 20-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
Sulfonamida
Kotrimoksazol 6-12mg TMP dan 30-60 mg SMX/kgBB/hari dibagi
dalam 2 dosis
Sulfisoksazol 120-150 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
Sefalosporin:
Sefiksim 8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
Sefpodiksim 10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
Sefprozil 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
Sefaleksin 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Lorakarbef 15-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
Siprofloksasin 10-20 mg/kgBB 2 kali per hari
22
Sefadroksil 3-5 mg/kgBB/hari
Untuk pemantauan, dalam 2 x 24 jam setelah pengobatan fase akut dimulai, gejala ISK
umumnya menghilang. Bila belum menghilang, perlu dipikirkan untuk mengganti
antibiotik yang lain. Pemeriksaan kultur dan uji resistensi urin ulang dilakukan 3 hari
setelah pengobatan fase akut dihentikan, dan bila memungkinkan setelah 1 bulan dan
setiap 3 bulan. Antibiotik juga diberikan pada ISK berulang, ISK pada neonatus, dan
pielonefritis akut.4
ISK simpleks umumnya tidak mengganggu tumbuh kembang, sedangkan ISK kompleks
bila disertai dengan gagal ginjal kronik akan mempengaruhi proses tumbuh kembang.4
2.3 Epilepsi
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan pada otak yang ditandai oleh (1) paling tidak dua
bangkitan kejang spontan dengan jarak lebih dari 24 jam, (2) satu bangkitan kejang
spontan disertai kemungkinan berulangnya kejang paling sedikit 60% dalam 10 tahun
berikutnya, dan (3) bila bangkitan kejang tersebut merupakan sindrom epilepsi. 11 Epilepsi
adalah penyakit otak kronis yang paling umum dan menyerang orang-orang dari segala
usia. Lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi; hampir 80% dari
mereka tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Diperkirakan hingga
70% orang yang hidup dengan epilepsi dapat hidup bebas kejang jika didiagnosis dan
diobati dengan benar.12
23
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsi (ILAE) terdiri
atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi
untuk sindrom epilepsi.
Tabel 2.6 Klasifikasi epilepsi berdasarkan tipe bangkitan (ILAE 1981)14
Untuk diagnosa, dalam anamnesa perlu ditanyakan mengenai gejala dan tanda sebelum,
selama, dan pasca bangkitan. Gejala prodromal atau sebelum bangkitan dapat ditandai
dengan perubahan perilaku, berkeringat, hipotermi, mengantuk, atau menjadi sensitive.
Selama bangkitan perlu ditanya apakah terdapat aura, bagaimana pola atau bentuk
bangkitan, deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, gerakan pada salah
satu atau kedua kengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit,
atau pucat. Ditanyakan juga apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, apakah
terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya, apakah aktivitas yang dilakukan saat
terjadi bangkitan. Kemudian kejadian pasca bangkitan apakah pasien langsung sadar,
nyeri kepalar, tidur, bingung, atau gaduh gelisah. Dalam anamnesa juga perlu dicari
factor pencetus seperti kelelahan, kurang tidur, hormonal, atau stress psikologis. Usia
awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara bangkitan,
kesadaran antara bangkitan juga perlu digali. Kemudian tanyakan juga untuk terapi
epilepsy sebelumnya dan respon terhadap OAE.16
Pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan adalah lingkar kepala, gangguan respirasi,
evaluasi psikologis, deficit neurologis, dan pemeriksaan organ-organ lainnya.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah EEG, imaging CT-scan, MRI, MR
spektroskopis. Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai indikasi.16
24
Mayoritas anak dengan first unprovoked seizures tidak akan mengalami kekambuhan.
Anak dengan hasil pemeriksaan EEG normal dan kejang awitan dini pada saat terjaga,
mempunyai angka kekambuhan dalam 5 tahun sebesar 21%. Faktor risiko kekambuhan
adalah etiologi simtomatik, hasil pemeriksaan EEG abnormal, riwayat kejang demam,
dan usia kurang dari 3 tahun.16
1. Topiramate: untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 5-9 mg/kg/hari terbagi dalam 2-3
dosis
2. Levetiracetam: untuk epilepsi umum, parsial, absans, dan mioklonik. Dosis 20-60
mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis
3. Oxcarbazepine: untuk epilepsi parsial. Dosis 10-30 mg/ kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis
4. Lamotrigine: untuk epilepsi umum, parsial, absans, dan mioklonik. Dosis 0,5-5
mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis
Secara umum disepakati bahwa monoterapi harus menjadi pengobatan awal untuk epilepsi yang
baru didiagnosis pada anak-anak. Jika satu OAE tidak bekerja, obat kedua harus diperkenalkan
25
saat anak masih menerima obat pertama. Semua perubahan terapi, apakah menambah atau
mengganti OAE perlu disepakati orang tua dan pasien. Perlu dipertimbangkan interaksi yang
mungkin terjadi saat memperkenalkan OAE baru. Jika kontrol bangkitan dicapai dengan obat
baru, OAE yang tidak efektif dihentikan bertahap, tergantung efektivitas, efek samping, dan
parahnya kekambuhan. Namun jika masih tidak terkontrol, maka dapat diberikan dosis
maksimum kedua obat.17
Bila seorang anak tanpa gangguan neurologis mengalami kejang tanpa provokasi pertama kali,
maka anak tersebut mempunyai risiko 24% untuk mengalami kejang kedua pada tahun pertama,
dan 45% untuk mengalami kejang kedua dalam waktu 14 tahun kemudian. Jika anak tersebut
memiliki gangguan neurologis, maka risiko timbulnya kejang kedua dalam 1 tahun pertama lebih
besar, yaitu sampai 37%. Bila anak mengalami kejang tanpa provokasi kedua dengan interval
lebih dari 24 jam dari kejang pertama, maka risiko mengalami kejang berikutnya meningkat
hingga 70%. 18
26
BAB 3
PEMBAHASAN
Telah diperiksa seorang anak laki-laki usia 1 tahun 3 bulan datang ke poli RS Sumber Waras
dengan keluhan kejang tiba-tiba saat anak sedang bermain pada pagi hari sekitar 5 jam SMRS
sebanyak 2 kali. Sifat kejang kaku seluruh badan, dan saat kejang mata anak mendelik ke atas.
Anak sadar dan menangis begitu kejang selesai. Kemudian anak menjadi lemas. Demam, batuk,
dan pilek disangkal. Pasien memiliki riwayat epilepsi dalam pengobatan. Pada pemeriksaan fisik
yang didapatkan keadaan umum pasien tampak tenang, compos mentis, frekuensi nafas
24x/menit, regular, nadi 120x/menit, regular isi cukup, kuat angkat, simetris kanan dan kiri, suhu
tubuh 36.5C, skala nyeri 2, SpO2 99%, dan status gizi obesitas. Pada pemeriksaan kepala
didapatkan normosefali dengan lingkar kepala 45cm, pada pemeriksaan toraks didapatkan
jantung dan paru dalam batas normal. Pada pemeriksaan status neurologis tidak ditemukan
adanya gejala iritasi meningeal. Pada pemeriksaan urin lengkap didapatkan bakteriuria (+). Pada
pemeriksaan darah lengkap didapatkan peningkatan eritrosit, penurunan MCV, MCH, MCHC,
penurunan kadar neutrophil segmen, dan peningkatan kadar limfosit. Pada pemeriksaan pungsi
lumbal didapatkan cairan sedikit keruh, dengan predominasi sel MN pada leukosit dan
peningkatan kadar protein.
Diagnosis pasien tersebut adalah meningitis, ISK, dan epilepsi dalam pengobatan.
1. Dasar diagnosis meningitis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan pungsi lumbal yang
menunjukkan perubahan kejernihan cairan serebrospinal menjadi keruh, peningkatan
protein hingga 755 mg/dL dan predominasi sel MN pada hitung jenis leukosit. Sesuai
dengan definisi meningitis partial adalah meningitis bacterial yang dipengaruhi oleh
penggunaan antibiotic sebelum pungsi lumbal, yang dapat menyebabkan hasil negative
pada kultur serebrospinal, meskipun temuan lainnya menunjukkan infeksi bakteri tetap
ada.
2. Dasar diagnosis ISK adalah ditemukannya bakteriuria pada pemeriksaan urin lengkap.
Menurut IDAI, dikatakan bahwa setiap bayi dan anak mengalami bekteriuria tetapi tanpa
gejala dan tanda sistemik dianggap sebagai ISK bawah atau sistitis.
27
3. Dasar diagnosis epilepsi dengan terapi adalah adanya riwayat pasien dirawat dengan
diagnosa epilepsi sebelumnya. Pada saat itu, pasien mengalami kejang berulang hingga >
3 kali sebelum di bawah ke rumah sakit. Kejang tersebut juga bersifat kaku seluruh tubuh
dan berlangsung ± 10 detik. Saat kejang, pasien tidak demam, dan tidak memiliki keluhan
lainnya.
IVFD Ringer Laktat diberikan sebanyak 240 cc per 24 jam, oral on demand untuk memenuhi
kebutuhan cairan pasien yaitu sebesar 1100 cc menurut perhitungan Holidar Segar.
As. Valproat 2 x 5ml dan Fenitoin 30 mg merupakan terapi epilepsi pasien. Asam valproate
bekerja dengan menurunkan aktivitas listrik yang berlebih pada otak dengan cara meningkatkan
GABA. Fenitoin saat ini ditetapkan sebagai lini pertama OAE yang paling utama, bekerja
dengan cara menghambat perpindahan ion-ion pada kanal kalsium.
Terapi steroid (dexamethasone 3 x 2mg) yang diberikan pada pasien dikatakan dapat memberi
outcome yang lebih baik pada pasien, seperti mengurangi gejala sisa (gangguan pendengaran,
dan lainnya).
Ampicilin 4 x 300mg dan Cefotaxime 4 x 600mg diberikan pada pasien sesuai dengan
rekomendasi NICE dalam penanganan ISK dimana bayi ≥ 3 bulan dengan sistitis/ISK bawah bila
tidak ada hasil pola resistensi kuman, dapat diberikan trimetroprim, sefalosporin, atau
amoksisilin.
28
DAFTAR PUSTAKA
29
14. Berg AT, Berkovic SF, Brodie MJ. Revised terminology and concepts for
organization of seizures and epilepsies: report of the ILAE Commission on
Classification and Terminology, 2005-2009. Epilepsia. 2010;51:676-85.
15. Commission on Classification and Terminology of the International Leage Against
Epilepsi. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic Classification of
Epileptic Seizure. Epilepsia 1981; 22: 489-501
16. Panayiotopoulos CP. The Epilepsies Seizure, Syndromes and Management. Blandom
Medical Publishing. UK; 2005; 1-26
17. Wijaya J, Saing J, Destariani C. Politerapi Anti-Epilepsi pada Penderita Epilepsi
Anak. Cermin Dunia Kedokteran. 2020;47(3).
18. Combs SE, Pearl PL. Classification and definition of seizures and epilepsy syndromes
in childhood. Dalam: Wheless JW, penyunting. Epilepsy in children and adolescents.
Chichester: Wiley Blackwell; 2013. h. 17-36
30