Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN PROGRAM PUSKESMAS

PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR


VEKTOR DAN ZOONOSIS (P2PTVZ)

Disusun oleh :
KELOMPOK 2

Nur Intan Hasanah Assagaf 1102015172


Rizky Alif Ahmad Damiri 1102015205
Siti Khodijah Mulya Sari Rifki 1102015226
Aulia Asa Karlos 1102014048

Pembimbing :
DR. Rifqatussa’adah SKM., M.Kes

KEPANITERAAN KEDOKTERAN KELUARGA


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 20 APRIL – 12 JUNI 2020
PERNYATAAN PERSETUJUAN

Laporan Diagnosis dan Intervensi Komunitas dengan judul “EVALUASI


PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT TULAR
VEKTOR DAN ZOONOSIS (P2PTVZ) BULAN JANUARI – MARET 2018
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN SAWAH BESAR”
periode 20 April – 12 Juni 2020 telah disetujui oleh pembimbing untuk
dipresentasikan dalam rangka memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Ilmu
Kedokteran Keluarga, Fakultas Kedokteran Universitas YARSI.

Jakarta, Juni 2020


Pembimbing

DR. Rifqatussa’adah SKM., M.Kes


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum, Wr. Wb.

Penulisan dan penyusunan laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas


kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kedokteran Keluarga Fakultas Kedokteran
Universitas YARSI. Selain itu, tujuan lainnya adalah sebagai salah satu sumber
pengetahuan bagi pembaca, terutama pengetahuan mengenai Ilmu Kesehatan
Masyarakat, semoga dapat memberikan manfaat.

Penyelesaian laporan ini tidak terlepas dari bantuan para dosen


pembimbing, staf pengajar, dokter dan tenaga medis Puskesmas, serta orang-
orang sekitar yang terkait. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:

1. DR. Rifqatussa’adah SKM., M.Kes selaku pembimbing dan staf pengajar


Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas
YARSI.
2. DR. Dr. Fathul Jannah, M.Si, Dipl.DK selaku Kepala Bagian Ilmu Kesehatan
Masyrakat Fakultas Kedokteran Universitas YARSI.
3. Dr. Yusnita, M.Kes, Dipl DK selaku Koordinator Kepanitraan Kedokteran
Keluarga Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas YARSI.
4. Dr. Dini Widianti MKK, DipI.DK, DR. Kholis Ernawati, S. Si, M.Kes, Dr.
Maya Trisiswanti, MKM dan Dr. Siti Maulidya Sari, M.Epid, Dipl.DK,
selaku staf pengajar Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas
Kedokteran Universitas YARSI.
5. Seluruh rekan sejawat yang telah memberikan motivasi dan kerjasama
sehingga tersusun laporan ini.
Jakarta, Juni 2020

Tim Penulis
DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN...........................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................……ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................vii
DAFTAR TABEL.................................................................................................viii
DAFTAR BAGAN...................................................................................................x
DAFTAR GRAFIK.................................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Definisi Puskesmas................................................................................1
1.2 Kategori Program Puskesmas................................................................5
BAB II PROGRAM PUSKESMAS PPENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOSIS (P2PTVZ)................39
2.1 Program Kerja......................................................................................39
2.2 Kegiatan Program.................................................................................46
2.4 Indikator Kinerja Program...................................................................51
2.5 Target Konerja Program.......................................................................54
2.5 Monitoring Evaluasi Program..............................................................54
2.5 Peraturan Terkait Program...................................................................54
BAB III INOVASI PROGRAM............................................................................59
3.1 Kegiatan Lintas Program......................................................................59
3.2 Kegiatan Lintas Sektor.........................................................................59
3.3 Contoh Inovasi Program......................................................................59
PENUTUP..............................................................................................................64
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................79
LAMPIRAN...........................................................................................................79
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Wilayah Kecamatan Sawah Besar................................................2


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Luas Wilayah, Jumlah RW/ Kelurahan, Jumlah Penduduk, Jumlah
Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Sawah Besar Tahun 2017. .4
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori.....................................................................................54


DAFTAR GRAFIK

Grafik 1.1 Jumlah Sepuluh Besar Penyakit Di Puskesmas


Kresek Tahun 2019..................................................................................................7
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Definisi Puskesmas


Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya di wilayah
kerjanya (Permenkes RI No. 75 Tahun 2014).

1.2 Kategori Program Puskesmas


Sebagai Unit Pelaksana Teknis, Puskesmas bertugas menjalankan
kebijakan kesehatan dalam rangka pembangunan kesehatan di wilayah
kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Terkait hal
tersebut, Puskesmas berperan dalam menyelenggarakan (1) Upaya Kesehatan
Masyarakat (UKM) tingkat pertama dan (2) Upaya Kesehatan Perorangan
(UKP) tingkat pertama di wilayah kerjanya ((Permenkes RI No. 75 Tahun
2014).

1. Upaya Kesehatan Masyarakat tingkat pertama

A. Upaya Kesehatan Masyarakat Esensial

a. Pelayanan promosi kesehatan

b. Pelayanan kesehatan lingkungan

c. Pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana

d. Pelayanan gizi; dan

e. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit


Upaya kesehatan masyarakat esensial tersebut harus
diselenggarakan oleh setiap Puskesmas untuk mendukung
pencapaian standar pelayanan minimal kabupaten/kota bidang
kesehatan.

B. Upaya Kesehatan Masyarakat Pengembangan

Merupakan upaya kesehatan masyarakat yang kegiatannya


memerlukan upaya yang sifatnya inovatif dan/atau bersifat
ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan, disesuaikan dengan
prioritas masalah kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi
sumber daya yang tersedia di masing – masing Puskesmas.

2. Upaya Kesehatan Perseorangan Tingkat Pertama

a. Rawat jalan

b. Pelayanan gawat darurat

c. Pelayanan satu hari (one day care)

d. Home care dan/atau

e. Rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan


kesehatan

Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan sesuai


dengan standar prosedur operasional dan standar pelayanan.

Dalam melaksanakan tugas Puskesmas menyelenggarakan fungsi


penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya, Puskesmas
berwenang untuk (Permenkes RI No. 75 Tahun 2014 Tentang Puskesmas) :
a. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan
masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan;
b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;
c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan;
d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang
bekerjasama dengan sektor lain terkait;
e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya
kesehatan berbasis masyarakat;
f. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia
puskesmas;
g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;
h. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu
dan cakupan pelayanan kesehatan; dan
i. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat,
termasuk dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon
penanggulangan penyakit.

Sedangkan dalam melaksanakan tugas Puskesmas menyelenggarakan


fungsi penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya, Puskesmas
berwenang untuk (Permenkes RI No. 75 Tahun 2014 Tentang Puskesmas) :
a. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dasar secara komprehensif,
berkesinambungan dan bermutu;
b. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan upaya
promotif dan preventif;
c. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat;
d. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan keamanan
dan keselamatan pasien, petugas dan pengunjung;
e. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan prinsip koordinatif dan
kerja sama inter dan antar profesi;
f. Melaksanakan rekam medis;
g. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan
akses Pelayanan Kesehatan;
h. Melaksanakan peningkatan kompetensi Tenaga Kesehatan;
i. Mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan
j. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan
Sistem Rujukan.
BAB II
PROGRAM PUSKESMAS PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOSIS (P2PTVZ)

2.1 Program Kerja


Vektor adalah artropoda yang dapat menularkan, memindahkan dan/atau
menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia. Pengendalian vector
adalah semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurukan
populasi vector serendah mungkin sehingga keberadaaannya tidak lagi
berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah atau
menghindari kontak masyarakat dengan vector sehingga penularan penyakit
tular vektor dapat dicegah sesuai dengan Permenkes 374 Tahun 2010 tentang
Pengendalian Vektor.
Zoonosis adalah penyakit dan infeksi yang ditularkan secara alami di
antara hewan vertebrata dan manusia (WHO). Dalam rangka akselerasi
Pengendalian Zoonosis telah dibentuk Komisi Nasional Pengendalian
Zoonosis melalui PERPRES No.30 Tahun 2011 tentang Pengendalian
Zoonosis.
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan
Zoonotik membagi strategi dalam lima sub direktorat sebagai berikut:
1. Pencegahan dan Pengendalian Malaria
2. Pencegahan dan Pengendalian Arbovirosis
3. Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
4. Pencegahan dan Pengendalian Filariasis dan Kecacingan
5. Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa
Penyakit

2.2 Kegiatan Program


A. Pencegahan dan Pengendalian Malaria
Pemberantasan malaria bertujuan untuk mencegah kematian akibat
malaria, terutama jika terjadi KLB, menurunkan angka kematian,
menurunkan angka kesakitan (insidensi dan prevalensi), meminimalkan
kerugian sosial dan ekonomi akibat malaria. Pemberantasan malaria
haruslah rasional, harus berbasis pada epidemiologinya seperti manusia,
parasit malaria, vektor dan lingkungannya. Pemberantasan malaria harus
ditujukan untuk memutus penularan penyakit malaria, dengan sasaran
antara lain:
a. Penemuan Penderita
Penemuan penderita secara dini merupakan salah satu cara memutus
penyebaran penyakit malaria. Kegiatan tersebut antara lain dilakukan
dengan penemuan penderita malaria secara aktif (ACD = Active
Case Detection) dilakukan oleh petugas juru malaria desa yang
mengunjungi rumah secara teratur. Penemuan penderita secara pasif
(PCD = Passive Case Detection) yakni berdasarkan kunjungan
pasien di unit pelayanan kesehatan (puskesmas pembantu,
puskesmas, dan rumah sakit) yang menunjukkan gejala klinis
malaria.

b. Pengobatan Penderita
Kegiatan pengobatan penderita antara lain:
a) Pengobatan malaria klinis, adalah pengobatan penderita malaria
berdasarkan diagnosis klinis tanpa pemeriksaan laboratorium.
b) Pengobatan radikal, adalah pengobatan penderita malaria
berdasarkan diagnosa secara klinis dan pemeriksaan
laboratorium sediaan darah.
c) Pengobatan MDA (Mass Drug Administration), adalah
pengobatan massal pada saat KLB, mencakup >80% jumlah
penduduk di daerah tersebut yang diobati.
d) Profilaksis, adalah pengobatan pencegahan dengan sasaran
warga transmigrasi dan ibu hamil di daerah endemis malaria
(Depkes RI, 2000)
c. Pemberantasan Vektor
Pemberantasan vektor dilakukan antara lain dengan penyemprotan
rumah menggunakan insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa,
membunuh jentik melalui kegiatan anti larva atau larvasiding dan
menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan nyamuk untuk
mengurangi jumlah nyamuk (Depkes RI, 2000).

a) Jumlah Kabupaten/Kota dengan API < 1 per 1.000 Penduduk


Annual Paracites Incidence (API) adalah jumlah kasus positif
malaria per 1000 penduduk pada satu tahun. API ini digunakan
untuk menentukan trend morbiditas malaria dan menentukan
endemisitas suatu daerah (masih terjadi penularan malaria). API
juga merupakan salah satu syarat suatu daerah masuk dalam fase
eliminasi yaitu jika API kurang dari 1 per 1000 penduduk.
1) Definisi Operasional Indikator
Jumlah Kumulatif Kabupaten/Kota dengan API < 1
1000 Penduduk

2) Rumus perhitungan pencapaian indikator


Jumlah Kasus Positif Malaria X 100 penduduk
Jumlah Penduduk

B. Pencegahan dan Pengendalian Arbovirosis

C. Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis


Zoonosis adalah penyakit-penyakit dan infeksi yang secara alami dapat
ditularkan dari hewan-hewan vertebrata ke manusia dan atau sebaliknya.
Pengendalian zoonosis meliputi pengendalian penyakit antraks,
leptospirosis, Avian Influenza H5N1 dan rabies. Kegiatan yang
dilakukan:
A. Surveilans
a) Surveilans penyakit
b) Surveilans vektor
c) Surveilans faktor risiko
B. Deteksi dini dan pengobatan atau perawatan dini
C. Pengendalian faktor risiko
D. Partisipasi masyarakat

Apabila ditemukan suspect, probable ataupun confirmed antraks,


leptospirosis, Avian Influenza H5N1 dan rabies maka harus dilakukan
penyuluhan, penyelidikan Epidemiologi lingkungan dan case finding
yaitu mencari kasus tambahan dengan radius 200 meter dari rumah
penderita untuk diobati atau dirujuk bila dengan komplikasi.
Bila ditemukan penderita tambahan dengan sebab lingkungan yang
sama maka segera dilaporkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) dengan
menggunakan formulir laporan W1 dan kasus tambahan selanjutnya
dilaporkan dengan W2. Penanggulangan KLB diikuti penyelidikan kasus
dan lingkungan serta dilakukan pengambilan spesimen terhadap
penderita dan hewan tersangka sekitar lokasi dengan bantuan tim
kota/kab administrasi provinsi dan pusat. Pencegahan yang dilakukan,
yaitu:
a) Kebersihan perorangan dan lingkungan
b) Penggunaan APD (alat pelindung diri)
c) Vaksinasi hewan kesayangan dan hewan ternak dinas kelautan
dan pertanian

1) Antraks

Penyakit antraks adalah termasuk salah satu zoonosis yang


disebabkan oleh Bacillus anthracis, dapat menyerang manusia
melalui 3 cara yaitu melalui kulit yang lecet, abrasi atau luka, dapat
melalui pernafasan (inhalasi) dan melalui mulut karena makan bahan
makanan yang tercemar kuman antraks misalnya daging yang
terinfeksi yang dimasak kurang sempurna. Spora antraks ini dapat
digunakan sebagai senjata bioterorisme.

Wilayah endemis antraks pada hewan tersebar di 11 provinsi


yaitu Jambi, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
DI Yogyakarta, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan, NTB dan NTT. Dalam 5 tahun terakhir (2011 – 2015) kasus
antraks pada manusia ditemukan di Provinsi Jawa Tengah, Sulawesi
Selatan, dan NTT. Jumlah rata-rata kasus antraks pada manusia
dalam lima tahun terakhir adalah 22 kasus per tahun. Sebesar 98%
dari seluruh kasus antraks pada manusia di Indonesia merupakan
kasus antraks tipe kulit yang disebabkan kontak langsung dengan
hewan yang sakit/mati akibat antraks dan sebesar 2% merupakan
Antraks tipe pencernaan.

Penanganan kasus anthraks di beberapa lokasi masih belum


tepat yang dikhawatirkan malah menjadi penyebab terhadap
penyebaran agen penyebab penyakit, untuk itu perlu adanya SOP.
SOP meliputi radius pelaksanaan vaksinasi, cara mengubur bangkai
(kuburan hewan mati antraks dalamnya 2-3 meter), pembakaran
bangkai (yang baik adalah onsite incinerator sampai menjadi abu),
dll. Penggunaan kapur perlu dievaluasi dan disarankan untuk
pembakaran ternak dilakukan dengan incinerator (mobile) sehingga
sisa pembakaran adalah dalam bentuk abu dan hanya perlu waktu 3-
4 jam. Apabila menggunakan kayu bakar diperlukan 2 ton kayu dan
minyak tanah untuk menjadi abu. Disarakan mobile incinerator perlu
diusahakan di daerah endemis antraks. Sementara itu untuk
dekontaminasi tanah diperlukan formalin 10% sejumlah 50 liter per
meter persegi dalam waktu 1 jam.
Pengendalian Anthraks melalui pengawasan lalu lintas ternak.
Lalu lintas ternak berasal dari daerah yang tidak ada laporan kasus
dalam 20 hari terakhir, SKKH, tidak ada gejala klinis pada hari
pengiriman, ternak yg divaksinasi minimal 20 hari dan maksimal 6
bulan pascavaksinasi dan tidak ada pemeriksaan lab untuk antraks
pada hewan hidup secara scientific base. Pengendalian anthraks
melalui kegiatan surveilans sudah sering dilakukan tetapi tidak pada
tempat yang tepat begitu juga KIE.

Pemberantasan Anthraks harus dilakukan lintas institusi dan


sektor. Perlu koordinasi dari berbagai pihak, kemenkes utk obat2,
kementan (disposal), polisi, polri, dll. Pedoman koordinasi KLB atau
wabah termasuk anthraks sedang dibuat oleh Komnas Zoonosis.
Masih munculnya penyakit anthraks dikarenakan masih lemahnya
koordinasi, seperti penutupan wilayah tidak langsung dilakukan.
Komitmen pemeritah pusat dan pemerintah daerah sangat penting
tetapi peran masyarakat juga harus ditingkatkan dengan
pemberdayaan.

2) Leptospirosis

Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi


bakteri dari genusleptospira yang patogen dan dapat menyerang
manusia dan hewan. Tikus dicurigai sebagai sumber utama infeksi
pada manusia di Indonesia. Pada tahun 2014 dilaporkan kasus
Leptospirosis nasional 524 kasus dengan 62 kematian (CFR
11,83%). Tahun 2016 dilaporkan kasus Leptospirosis nasional 830
kasus dengan 61 kematian (CFR 7 %).
Selain melakukan surveilans rutin Leptospirosis terhadap
manusia dan vektor, juga dilakukan sistem kewaspadaan dini (SKD)
untuk daerah endemis Leptospirosis, seperti daerah rawan banjir,
daerah pasang surut, persawahan dan sebagainya. Batas SKD yaitu
kewaspadaan penyakit beserta faktor risikonya untuk meningkatkan
sikap tanggap, kesiapsiagaan upaya pencegahan dan dan
penanggulangan KLB dengan cepat dan tepat. SKD ini merupakan
salah satu bentuk surveilans ketat yang dilaksanakan jika pada
analisis surveilans rutin ditemukan kecenderungan peningkatan
jumlah vektor maupun beberapa kondisi rentan lainnya. Beberapa
kondisi rentan yang menyebabkan peningkatan kontaminasi terhadap
tanah atau air permukaan seperti hujan, banjir, dan bencana lainnya,
akan meningkat risiko kejadian Leptospirosis dan dapat
menyebabkan KLB.
Sedangkan selama musim kering, manusia dan vektor dapat
mencari tempat cadangan air, sehingga dapat juga meningkatkan
risiko kejadian Leptospirosis dan dapat menyebabkan KLB.
Kegiatan sosial dan bersifat rekreasi pun dapat membuat seseorang
terpapar lingkungan yang terkontaminasi bakteri Leptospira. Untuk
itu, sangat perlu untuk meningkatkan SKD Leptospirosis dalam
menghadapi berbagai kondisi rentan tersebut.
Jenis dan sumber data Surveilans Beberapa variabel data yang
berhubungan dengan pengendalian Leptospirosis adalah sebagai
berikut:

j. Data kesakitan dan kematian menurut golongan umur dan jenis


kelamin kasus suspek dan konfirmasi Leptospirosis
k. Data penduduk dan golongan umum dan jenis kelamin
l. Data desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi terdapat kasus
suspek dan konfirmasi Leptospirosis
m. Data Leptospirosis positif pada tikus (dan/atau vektor lain) Di
kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hasil dari kegiatan survei
vektor.
Data tersebut dapat diperoleh dari :
1. Laporan rutin Leptospirosis mingguan dan rekap bulanan
2. Laporan KLB/wabah
3. Laporan laboratorium
4. Laporan penyelidikan KLB/wabah
5. Survei khusus
6. Laporan data demografi
7. Laporan data populasi kepadatan tikus dan binatang penular
lainnya
8. Laporan data klimatologi

3) Avian Influenza H5N1

Kasus Flu Burung (FB) pertama kali dilaporkan pada manusia


pada bulan Juni 2005. Berdasarkan data kasus FB dalam 5 tahun
terakhir (2011 – 2015), terjadi sporadis di 15 provinsi, yaitu DKI
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Lampung, Jawa Tengah, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi
Selatan, Riau, Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Bengkulu
dan Nusa Tenggara Barat. Jumlah kasus FB pada manusia tertinggi
masih ditemukan di 3 provinsi dengan urutan DKI Jakarta, Jawa
Barat, dan Banten. Jumlah kumulatif kasus FB di Indonesia sejak
Juni 2005 sampai Desember 2015 adalah 199 kasus konfirmasi
dengan 167 kasus kematian. Secara kumulatif jumlah kasus FB pada
manusia cenderung menurun, namun pada tahun 2012 sampai 2015,
Case Fatality Rate (CFR) FB mencapai 100%.

Sampai saat ini terdapat 15 provinsi di Indonesia yang


terkonfirmasi kasus Flu Burung pada manusia. Untuk tahun 2015
penambahan kasus konfirmasi dan kematian berasal dari Provinsi
Banten. Kasus terbesar terdapat di Provinsi DKI Jakarta yang disusul
oleh Provinsi Jawa Barat lalu Provinsi Banten.
Upaya menurunkan kasus pada manusia terus dilakukan dengan
intensifikasi deteksi dini dan pengobatan dini. Pengalaman selama
hampir 10 tahun penanggulangan kasus Flu Burung pada manusia,
sebagian besar kasus datang ke pelayanan kesehatan terlambat
(kurang lebih 5 – 7 hari sejak sakit), dan perlu peningkatan
sensitivitas para dokter dan pelayanan kesehatan lainnya dalam
mendeteksi kasus suspek Flu Burung (Avian Influenza).

4) Rabies

Rabies adalah penyakit infeksi sistem saraf pusat akut pada


manusia dan hewan berdarah panas yang disebabkan oleh Lyssa
virus, dan menyebabkan kematian pada hampir semua penderita
rabies baik manusia maupun hewan. Sebanyak 25 provinsi telah
tertular rabies dan hanya 9 provinsi masih bebas historis dan telah
dibebaskan dari rabies (Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung,
DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat). Tahun 2016
terdapat 91 kasus Lyssa dan terlaporkan 68.216 kasus GHPR dan
yang diberikan Post Exposure Treatmeant (PET) sebanyak 45.104
kasus.

Sasaran yang dilakukan yaitu untuk menurunkan kematian akibat


rabies.
Kegiatan:
a) Koordinasi LS (One Health)
b) Surveilans terpadu
c) Sinergi sumberdaya LS
d) Tatalaksana kasus GHPR
e) Pemenuhan logistik & iperasional
f) Public awereness
g) Pemberdayaan masyarakat

Cara melakukan eliminasi Rabies:


a) Pembentukan tim terpadu
b) Pelatihan vaksinasi HPR
c) Pelatihan tatalaksana KGHPR
d) Penyuluhan kepada masyarakat.

D. Pencegahan dan Pengendalian Filariasis dan Kecacingan


FILARIASIS

Filariasis atau penyakit kaki gajah merupakan salah satu Penyakit


Tropik Terabaikan (Neglected Tropical Diseases/NTDs). Filariasis
adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh parasit berupa
cacing filaria, yang terdiri dari tiga spesies yaitu Wuchereria bancrofti,
Brugia malayidan Brugia timori. Penyakit ini menginfeksi jaringan limfe
(getah bening). Filariasis menular melalui gigitan nyamuk yang
mengandung cacing filaria dalam tubuhnya. Dalam tubuh manusia,
cacing tersebut tumbuh menjadi cacing dewasa dan menetap di jaringan
limfe sehingga menyebabkan pembengkakan di kaki, tungkai, payudara,
lengan dan organ genital. WHO menetapkan kesepakatan global untuk
mengeliminasi filariasis pada tahun 2020 (The Global Goal of
Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The
Year 2020).

Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular


penyakit kaki gajah di lebih dari 83 negara dan 60% kasus berada di Asia
Tenggara.Di Indonesia, sampai dengan akhir tahun 2016 terdapat 13.032
kasus filariasis.
Untuk meningkatkan cakupan minum obat, maka pada Bulan
Oktober periode Tahun 2015 – 2020 akan dilaksanakan Bulan Eliminasi
Kaki Gajah (BELKAGA). BELKAGA adalah Bulan dimana seluruh
penduduk sasaran di wilayah endemis Filariasis minum obat pencegahan
Filariasis. Pencanangan BELKAGA dilaksanakan pada tanggal 1
Oktober 2015. Cakupan POPM filariasis dalam lima tahun terakhir terus
meningkat, dari 56,5%pada tahun 2012 menjadi 69,5% pada tahun 2015,
71% pada tahun 2016.

Terselenggaranya kegiatan pokok untuk merealisasikan strategi


eliminasi filariasis agar eliminasi filariasis dapat dicapai pada Tahun
2020, memerlukan perencanaan yang sistermatis dan berkelanjutan yang
mengacu pada tahapan realisasi kegiatan (Kepmenkes No 1582 Tahun
2005).

a. Pentahapan Kabupaten/ Kota


1. Penemuan Kasus Klinis Filariasis
Setiap Kabupaten/ Kota mengumpulkan data kasus klinis
filariasis yang dilakukan pemutakhiran secara teratur setiap
akhir tahun. Data ini merupakan data dasar penetapan
endemisitas daerah, lokasi survai data dasar (baseline survey),
penetapan prioritas daerah pelaksana kegiatan penatalaksanaan
kasus klinis filariasis dan evaluasi program eliminasi filariasis.
Secara operasional, penemuan kasus klinis filariasis
dilaksanakan oleh Puskesmas dengan melaksanakan kegiatan :
a) Kampanye penemuan dan penatalaksanaan kasus klinis
filariasis
b) Mendorong penemuan dan pelaporan kasus oleh
masyarakat, kepala desa, PKK, guru dan pusat – pusat
palayanan kesehatan
c) Pemeriksaan dan penetapan kasus klinis filariasis
d) Perekaman dan pelaporan data kasus klinis filariasis
2. Penentuan Endemisitas Filariasis di Kabupaten/Kota
Daerah endemis filariasis menjadi prioritas
penyelenggaraan eliminasi filariasis di Kabupaten/Kota,
Propinsi dan Nasional. Penentuan endemisitas filariasis di
Kabupaten/Kota dapat dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut :
a) Kabupaten/Kota yang memiliki kasus klinis filariasis,
melaksanakan survei mikrofilaria (servei darah jari) di desa
dengan jumlah kasus klinis filariasis terbanyak. Mikrofilaria
rate 1% atau lebih merupakan indikator sebagia
Kabupaten/Kota endemis filariasis
b) Kabupaten/Kota yang terdapat kasus klinis filariasis,
berdekatan atau berada diantara dua daerah endemis
filariasis dan memiliki geografi serta budaya masyarakat
yang kurang lebih sama dengan daerah endemis filariasis
yang ditetapkan sebagai Kabupaten/Kota endemis filariasis
c) Penentuan Kabupaten/Kota endemis ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur
3. Survei Data Dasar Sebelum Pengobatan Massal Filariasis
Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan sebagai
Kabupaten/Kota endemis filariasis dan akan melaksanakan
pengobatan massal, perlu melakukan survey data dasar di
minimal 2 desa berdasarkan jumlah kasus klinis filariasis
terbanyak.
4. Pengobatan Massal Filariasis
Pengobatan massal dilakukan pada semua penduduk
Kabupaten/Kota, sekali setahun selama minimal 5 tahun berturut
– turut. Pengobatan massal dapat dilakukan serentak pada
seluruh wilayah Kabupaten/Kota, atau secara bertahap per
kecamatan sesuai dengan kemampuan daerah dalam
mengalokasikan anggaran daerah untuk kegiatan pengobatan
massal. Pengobatan massal secara bertahap harus dapat
diselesaikan di seluruh wilayah Kabupaten/Kota dalam waktu 5
– 7 tahun agar reinfeksi tidak terjadi.
5. Monitoring dan Evaluasi
a) Monitoring cakupan pengobatan massal dilaksanakan setiap
tahun setelah pengobatan massal
b) Survey cakupan pengobatan massal dilakukan setelah
pelaksanaan pengobatan massal tahun pertama
c) Survey evaluasi prevalensi mikrofilaria dilaksanakan
sebelum pengobatan massal tahun ketiga dan kelima
6. Sertifikasi Eliminasi Filariasis
Sertifikasi dilakukan setelah pengobatan massal tahun
kelima. Sertifikasi adalah penilaian untuk menentukan apakah
Kabupaten/Kota telah berhasil mengeliminasi filariasis.
7. Penatalaksanaan Kasus Klinis
Penatalaksanaan kasus klinis dilakukan dilakukan
terhadap semua kasus klinis yang ditemukan untuk mencegah
dan membatasi kecacatan. Penatalaksanaan kasus dilakukan
dengan pemberian obat dan perawatan.
8. Penatalaksanaan Kasus Asimptomatis
Setiap orang sehat yang ditemukan mikrofilaria dalam
darahnya mendapat pengobatan yang memadai agar tidak
menderita klinis filariasis dan tidak menjadi sumber penularan
terhadap masyarakat sekitarnya.
9. Pengendalian Vektor
Pengendalian nyamuk sebagai vektor penular filariasis
dilaksanakan untuk memutus rantai penularan. Dilaksanakan
secara terpadu dengan pengendalian vector penyakit malaria,
demam berdarah dan pengendalian vetor lainnya.
Gambar 1. Skema Proses Eliminasi Filariasis di Kabupaten/Kota

Kabupaten/Kota endemis rendah filariasis adalah Kabupaten/Kota


yang terdapat penderita filariasis, tetapi dengan microfilaria rate
<1%.
b. Pentahapan Propinsi
1. Propinsi bertugas untuk menentukan endemisitas filariasis
semua Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya yang diharapkan
selesai Tahun 2006.
2. Propinsi mendorong perluassan pelaksanaan eliminasi filariasis,
sehingga semua Kabupaten/Kota endemis filariasis
melaksanakan program eliminasi. Pada Tahun 2014, semua
Kabupaten/Kota endemis filariasis telah selesai melaksanakan
pengobatan massal.
3. Melaksanakan kerjasama lintas batas Kabupaten/Kota
c. Pentahapaan Nasional
1. Mendorong perluasan jangkauan program ke seluruh propinsi
2. Mendorong kerjasama lintas batas antar propinsi
3. Mendorong kerjasama lintas batas dengan negara lian
4. Pada Tahun 2014, semua Kabupaten/Kota endemis filariasis
telah melaksanakan pengobatan massal filariasis tahun kelima
5. Pra sertifikasi eliminasi filariasis dilakukan Tahun 2015 – 2020

Pengobatan Massal Filariasis


a. Tujuan
Dalam rangka Eliminasi Filariasis, tujuan pengobatan massal
adalah untuk memutus transmisi filariasis :
1. Menurunkan mikrofilaria rate menjadi < 1%
2. Menurunkan kepadatan rata – rata mikrofilaria
b. Sasaran Pengobatan Massal
Sasaran pengobatan massal dilaksanakan serentak terhadap
semua penduduk yang tinggal di daerah endemis filariasis, tetapi
pengobatan untuk sementara ditunda bagi :
1. Anak – anak berusia kurang dari 2 tahun
2. Ibu hamil
3. Orang yang sedang sakit berat
4. Penderita kasus kronis filariasis sedang dalam serangan akut
5. Balita dengan marasmus atau kwasiorkor
c. Jenis Obat dan Cara Pemberian
Pengobatan massal filariasis menggunakan obat DEC (Diethyl
Carbamazine Citrate), Albendazole dan Paracetamol yang diberikan
sekali setahun selama minimal 5 tahun. DEC diberikan 6 mg/kgBB,
Albendazole 400 mg untuk semua golongan umur dan Paracetamol
10 mg/kgBB sekali pemberian. Sebaliknya obat diminum sesudah
makan dan di depan petugas.
d. Evaluasi Pengobatan Massal
1. Cakupan Geografis
Cakupan geografis adalah persentase Desa/Kelurahan yang
diobati dalam satu Kabupaten/Kota disetiap tahun pengobatan.
Cakupan ini dihitung dengan rumus sbb :

Jumlah Desa/Kelurahan yang Diobati x 100


Jumlah Seluruh Desa/Kelurahan
Cakupan ini dipergunakan untuk menilai apakah pengobatan
massal telah dilaksanakan di seluruh Desa/Kelurahan di
Kabupaten/Kota yang endemis tersebut. Kadang – kadang tidak
semua Desa/Kelurahan diobati, sehingga cakupan pengobatannya
menjadi rendah.
2. Cakupan Pengobatan Massal
a) Cakupan Pengobatan
Cakupan ini dibuat setiap tahun, dengan perhitungan sbb :

Angka Pencapaian Pengobatan

Jumlah Penduduk yang Meminum Obatnya x 100


Jumlah Seluruh Penduduk di Kab/Kota
Cakupan ini dapat menjelaskan jumlah penduduk yang
beresiko untuk diobati dan aspek epidemiologinya.

Angka Keberhasilan Pengobatan

Jumlah Penduduk yang Meminum Obatnya x 100


Jumlah Penduduk Sasaran Pengobatan Massal
Cakupan ini dapat menjelaskan efektivitas pengobatan
massal.

b) Survei Cakupan
Bertujuan untuk menilai kebenaran cakupan
pengobatan massal berdasarkan laporan di Kabupaten/Kota
yang dilakukan satu bulan setelah pengobatan massal. Survei
ini dilaksanakan satu kali setelah siklus pertama pengobatan
massal dengan metode kuesioner Cluster Survey.
Cakupan Pengobatan

Jumlah Individu yang Minum Obat x 100


Jumlah Individu yang Disurvei

CACINGAN

Cacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh


infeksi cacing dalam tubuh manusia yang ditularkan
melalui tanah. Penderita Cacingan yang selanjutnya
disebut Penderita adalah seseorang yang dalam
pemeriksaan tinjanya mengandung telur cacing dan/atau
cacing. Penanggulangan Cacingan adalah semua kegiatan
atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan
prevalensi serendah mungkin dan menurunkan risiko
penularan Cacingan di suatu wilayah.

Pemerintah Pusat menetapkan target program Penanggulangan


Cacingan berupa reduksi Cacingan pada tahun 2019. Indikator dalam
pencapaian target program Penanggulangan Cacingan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa penurunan prevalensi Cacingan sampai
dengan di bawah 10% (sepuluh persen) di setiap daerah kabupaten/kota.
Untuk mewujudkan target program Penanggulangan Cacingan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:

a. Penyusunan strategi;

b. Intensifikasi kegiatan Penanggulangan Cacingan; dan

c. Koordinasi dan integrasi dengan lintas program dan lintas sektor.


Strategi dalam mewujudkan target program Penanggulangan Cacingan
meliputi:

a. Meningkatkan komitmen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah


untuk menjadikan program Penanggulangan Cacingan sebagai
program prioritas;

b. Meningkatkan koordinasi lintas program, lintas sektor, dan peran


serta masyarakat dengan mendorong kemitraan baik dengan
kelompok usaha maupun lembaga swadaya masyarakat;

c. Mengintegrasikan kegiatan Penanggulangan Cacingan dengan


kegiatan POPM Filariasis, penjaringan anak sekolah, usaha
kesehatan sekolah, dan pemberian vitamin A di posyandu dan
pendidikan anak usia dini serta menggunakan pendekatan keluarga;

d. Mendorong program Penanggulangan Cacingan masuk dalam


rencana perbaikan kualitas air serta berkoordinasi dengan
kementerian yang bertanggung jawab dalam penyediaan sarana air
bersih;

e. Melakukan sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat di pendidikan


anak usia dini dan sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah; dan

f. Melakukan pembinaan dan evaluasi dalam pelaksanaan


Penanggulangan Cacingan di daerah.

Dalam penyelenggaraan Penanggulangan Cacingan dilaksanakan


kegiatan :

a. Promosi Kesehatan
Kegiatan promosi kesehatan dilaksanakan dengan strategi
advokasi, pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan, yang ditujukan
untuk :

a) Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang tanda dan gejala


Cacingan serta cara penularan dan pencegahannya;

b) Meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat guna memelihara


kesehatan dengan cara :

1. Cuci tangan pakai sabun;

2. Menggunakan air bersih untuk keperluan rumah tangga;

3. Menjaga kebersihan dan keamanan makanan;

4. Menggunakan jamban sehat; dan

5. Mengupayakan kondisi lingkungan yang sehat;

c) Meningkatkan perilaku mengkonsumsi obat cacing secara rutin


terutama bagi anak balita dan anak usia sekolah; dan

d) Meningkatkan koordinasi institusi dan lembaga serta sumber


daya untuk terselenggaranya reduksi Cacingan.

Kegiatan promosi kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan.

b. Surveilans Cacingan

Surveilans Cacingan adalah kegiatan pengamatan


yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan
informasi tentang kejadian Cacingan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan
Cacingan untuk memperoleh dan memberikan
informasi guna mengarahkan tindakan penanggulangan
secara efektif dan efisien.

Surveilans Cacingan dilakukan melalui peemuan kasus


cacingan, survey factor risiko, dan survey prevalensi cacingan :

1. Penemuan kasus Cacingan

Penemuan kasus Cacingan dilakukan secara aktif melalui


penjaringan anak sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah dan
secara pasif melalui penemuan kasus berdasarkan laporan pasien
yang berobat di fasilitas pelayanan kesehatan dengan
pemeriksaan sampel tinja.

a) Tujuan pemeriksaan sampel adalah menegakkan diagnosis


pasti, dengan melihat melalui mikroskop ada atau tidaknya
telur cacing dan jenis telur cacing serta menentukan
intensitas infeksi dengan teknik Katokatz

b) Interpretasi hasil pemeriksaan sampel tinja.


Hasil pemeriksaan sampel tinja dinyatakan dengan kualitatif
yaitu positif dan negative, dan proporsi hasil positif dari
sampel tinja yang diperiksa memberikan interpretasi tingkat
prevalensi dari sejumlah sampel yang diperiksa. Selain itu
pemeriksaan sampel tinja juga dapat dinyatakan secara
kuantitatif yaitu menyatakan jumlah telur cacing per gram
tinja dalam setiap sediaan yang diperiksa. Dan hal ini
menggambarkan intensitas infeksi pada sampel individu
yang diperiksa.

c) Pencatatan hasil pemeriksaan sampel tinja.


Hasil pengumpulan data tentang pengetahuan murid dan
hasil pemeriksaan laboratorium direkap dengan
menggunakan formulir terlampir

2. Survei faktor risiko

Survei faktor risiko dilakukan dengan menggunakan


kuisioner terstruktur dengan sasaran anak sekolah dasar atau
madrasah ibtidaiyah yang menjadi sampel pada survei cakupan
pemberian obat massal.

3. Survei prevalensi Cacingan

Survei prevalensi Cacingan dilakukan untuk menentukan


tingkat prevalensi Cacingan disuatu kabupaten/kota. Survei ini
dilakukan dengan cara pemeriksaan sampel tinja pada anak
sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah yang dikumpulkan
melalui metode pengambilan sampel kluster dua tahap (two
stages cluster sampling). Survei prevalensi ditingkat
kabupaten/kota dilakukan oleh kabupaten/kota, sehingga
diharapkan kabupaten/kota memiliki peta prevalensi dalam
rangkabaseline data serta monitoring dan evaluasi program
Penanggulangan Cacingan.

Prevalensi Cacingan diperoleh dengan membagi jumlah


feses yang positif mengandung telur cacing STH dibagi dengan
jumlah sample feses yang diperiksa.

Jumlah Sampel Tinja Positif Telur Cacing x 100%


Jumlah Sampel Tinja yang Diperiksa

Hasil dari survei dapat digunakan untuk


mengklasifikasikan tingkat endemisitas suatu daerah, sebagai
berikut :
Tabel 1. Klasifikasi Prevalensi Penyakit Cacingan (WHO, 2002)

Kategori Prevalensi Prevalensi


Tinggi  50%
Sedang  20 – 50%
Rendah < 20%

c. Pengendalian faktor risiko

Upaya pengendalian faktor risiko Cacingan dapat dilakukan melalui


upaya kebersihan perorangan ataupun kebersihan lingkungan.
Kegiatan tersebut meliputi :

1. Menjaga kebersihan perorangan

a) Mencuci tangan dengan menggunakan air dan sabun pada 5


waktu penting yaitu sebelum makan, setelah ke jamban,
sebelum menyiapkan makanan, setelah menceboki anak,
sebelum memberi makan anak
b) Menggunakan air bersih untuk keperluan mandi
c) Mengkonsumsi air yang memenuhi syarat untuk diminum
d) Mencuci dan memasak bahan pangan sebelum dimakan
e) Mandi dan membersihkanbadan pakai sabun paling sedikit
dua kali sehari
f) Memotong dan membersihkan kuku
g) Memakai alas kaki bila berjalan di tanah, dan memakai
sarung tangan bila melakukan pekerjaan yang berhubungan
dengan tanah
h) Menutup makanan dengan tutup saji untuk mencegah debu
dan lalat mencemari makanan tersebu

2. Menjaga kebersihan lingkungan

a) Stop buang air besar sembarangan


b) Membuat saluran pembuangan air limbah
c) Membuang sampah pada tempat sampah
d) Menjaga kebersihan rumah, sekolah/madrasah dan
lingkungannya

d. Penanganan Penderita

Penanganan Penderita dilakukan melalui pengobatan penderita,


penanganan komplikasi Cacingan, dan konseling pada penderita dan
keluarga.

1. Pengobatan Penderita

Pengobatan Penderita dilakukan pada setiap Penderita


yang ditemukan oleh tenaga kesehatan atau pada fasilitas
pelayanan kesehatan. Pengobatan diberikan terhadap penduduk
yang hasil pemeriksaan tinjanya positif Cacingan. Pengobatan
ini dilakukan di sarana kesehatan bagi Penderita yang datang
berobat sendiri dan hasil pemeriksaan mikroskopik tinja positif
atau hasil pemeriksaan klinis dinyatakan positif menderita
Cacingan.

Untuk kasus dengan tinja positif usia < 2 tahun dan ibu
hamil, dapat diberikan obat cacing dengan dosis yang
disesuaikan. Untuk anak usia Balita diberikan sediaan berupa
sirup.
Tabel 2. Jenis dan Obat Cacingan

2. Penanganan komplikasi Cacingan

Cacingan bisa disertai oleh anemia ataupun gizi buruk.

a) Cacingan dengan anemia

Jika pada Penderita Cacingan ditemui anemia, maka lalukan


tata laksana sesuai dengan penyebabnya.

b) Cacingan dengan gizi buruk

Jika ditemukan anak Cacingan dengan gizi buruk maka


tangani sesuai dengan tatalaksana anak gizi buruk. Jika anak
gizi buruk berumur 4 bulan atau lebih dan belum pernah
mendapatkan obat cacing dalam 6 bulan terakhir dengan
hasil pemeriksaan tinjanya positif, beri pirantel pamoat di
klinik sebagai dosis tunggal (diberikan pada fase transisi).

3. Konseling kepada Penderita dan keluarga.

Kepada Penderita dan keluarganya diberikan edukasi


tentang upaya-upaya pencegahan penularan Cacingan seperti
cuci tangan pakai sabun,menggunakan air bersih untuk
keperluan rumah tangga, menjaga kebersihan dan keamanan
makanan, menggunakan jamban sehat, dan mengupayakan
kondisi lingkungan yang sehat.

e. POPM Cacingan

Pemberian Obat Pencegahan Secara Massal Cacingan yang


selanjutnya disebut POPM Cacingan adalah pemberian obat yang
dilakukan untuk mematikan cacing secara serentak kepada semua
penduduk sasaran di wilayah berisiko Cacingan sebagai bagian dari
upaya pencegahan penularan Cacingan.

POPM Cacingan ditujukan untuk menurunkan prevalensi


Cacingan pada daerah Kabupaten/Kota. Penentuan prevalensi
Cacingan pada daerah Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan
survei sebagai berikut :

1. Prevalensi tinggi apabila prevalensi Cacingan di atas 50%

2. Prevalensi sedang apabila prevalensi Cacingan 20 – 50%


3. Prevalensi rendah apabila prevalensi Cacingan dibawah 20%

Tabel 3. Jenis Intervensi berdasarkan Tingkat Prevalensi Cacingan

POPM Cacingan dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan


kegiatan :

1. Bulan vitamin A;

2. Pemberian makanan tambahan anak balita, anak usia pra


sekolah, dan anak usia sekolah;

3. Usaha kesehatan sekolah; dan/atau

4. Program kesehatan lain.

Dalam pelaksanaan POPM Cacingan harus selalu diikuti dengan


penyuluhan tentang perilaku hidup bersih dan sehat. Obat harus
diminum di depan petugas dan tidak boleh dibawa pulang.
Untuk POPM Cacingan, obat cacing yang digunakan adalah
Albendazol karena efektif untuk beberapa jenis cacing, praktis dalam
penggunaannya (dosis tunggal) dan efek samping relatif kecil, aman
dan terjangkau, serta terintegrasi dengan program eliminasi filariasis.
Obat Mebendazol dapat juga dipergunakan dalam POPM Cacingan
yang memiliki efektifitas yang sama dengan Albendazol.

Untuk anak usia Balita diberikan dalam bentuk sediaan sirup,


sedangkan untuk anak usia pra sekolah dan usia sekolah diberikan
dalam bentuk sediaan tablet kunyah.

Dosis Albendazol yang digunakan adalah sbb : untuk penduduk


usia >2 tahun – dewasa : 400 mg dosis tunggal, sedangkan anak usia
1 – 2 th : 200 mg dosis tunggal. Dosis Mebendazol yang
dipergunakan adalah 500 mg dosis tunggal.

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah


Daerah kabupaten/kota melakukan pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan POPM Cacingan. Pemantauan dilakukan setiap tahun
terhadap pelaksanaan POPM Cacingan. Evaluasi dilakukan setelah 5
(lima) tahun berturut-turut pelaksanaan POPM Cacingan.

Pemantauan dan Evaluasi dalam Kegiatan Penanggulangan Cacingan


a. Pelaksanaan POPM Cacingan
3. Kabupaten/Kota
a) Cakupan Geografis

Cakupan geografis adalah persentase desa atau


kelurahan yang diobati dalam satu kabupaten/kota disetiap
tahun pengobatan. Cakupan ini dihitung dengan rumus sbb :
Angka Cakupan Desa =

Jumlah Desa/Kelurahan dengan POPM Cacingan x 100


Jumlah Seluruh Desa/Kelurahan

Cakupan ini dipergunakan untuk menilai apakah POPM


Cacingan telah dilaksanakan di seluruh desa/kelurahan di
kabupaten/kota yang endemis tersebut. Kadang-kadang
tidak semua desa/kelurahan diobati, sehingga cakupan
pengobatannya menjadi rendah.

b) Cakupan POPM Cacingan

Cakupan ini dibuat setiap tahun, dengan perhitungan


sebagai berikut :

Angka Pencapaian Pengobatan =

Jumlah Sasaran yang Minum Obat di Kab/Kota x 100


Jumlah Seluruh Penduduk Sasaran di Kab/Kota

Cakupan ini dapat menjelaskan jumlah penduduk yang


berisiko untuk diobati dan aspek epidemiologinya. Karena
ada dua kelompok sasaran maka pengukuran angka cakupan
POPM Cacingan menjadi :

Anak Sekolah =

Jumlah Anak Usia Sekolah yang Minum Obat di Kab/Kota x 100


Jumlah Seluruh Anak Usia Sekolah di Kab/Kota

Anak Pra Sekolah =


Jumlah Anak Pra Sekolah yang Minum Obat di Kab/Kota x 100
Jumlah Seluruh Anak Pra Sekolah di Kab/Kota

Anak Balita =

Jumlah Anak Balita yang Minum Obat di Kab/Kota x 100


Jumlah Seluruh Anak Balita di Kab/Kota
4. Propinsi
a) Cakupan Geografis

Cakupan geografis adalah persentase Kabupaten/Kota


yang diobati dalam satu propinsi disetiap tahun pengobatan.
Cakupan ini dihitung dengan rumus sbb :

Angka Cakupan Kabupaten/Kota =

Jumlah Kab/Kota dengan Pengobatan Cacingan x 100


Jumlah Seluruh Kab/Kota

Cakupan ini dipergunakan untuk menilai apakah POPM


Cacingan telah dilaksanakan di seluruh Kabupaten/Kota di
propinsi yang endemis tersebut. Kadang-kadang tidak
semua Kabupaten/Kota melaksanakan program pengobatan,
sehingga cakupan pengobatan propinsi menjadi rendah.

b) Cakupan POPM Cacingan

Cakupan ini dibuat setiap tahun, dengan perhitungan


sebagai berikut :

Angka Pencapaian Pengobatan =

Jumlah Sasaran yang Minum Obat di Propinsi x 100


Jumlah Seluruh Penduduk Sasaran di Propinsi
Cakupan ini dapat menjelaskan jumlah penduduk yang
berisiko untuk diobati dan aspek epidemiologinya. Karena
ada dua kelompok sasaran maka pengukuran angka cakupan
POPM Cacingan menjadi :

Anak Sekolah =

Jumlah Anak Usia Sekolah yang Minum Obat di Kab/Kota x 100


Jumlah Seluruh Anak Usia Sekolah di Kab/Kota

Anak Pra Sekolah =

Jumlah Anak Pra Sekolah yang Minum Obat di Kab/Kota x 100


Jumlah Seluruh Anak Pra Sekolah di Kab/Kota

Anak Balita =

Jumlah Anak Balita yang Minum Obat di Kab/Kota x 100


Jumlah Seluruh Anak Balita di Kab/Kota

b. Survei Cakupan Pengobatan


Bertujuan untuk menilai besarnya cakupan POPM Cacingan
yang telah dilaksanakan. Dilakukan satu bulan setelah POPM
Cacingan selesai. Survei ini dilaksanakan satu kali setelah siklus
pertama pengobatan massal. Metode yang digunakan adalah Cluster
Survey dengan menggunakan populasi dan sample size sesuai
dengan survey prevalensi.

Angka Pencapaian Pengobatan =

Jumlah Individu yang Minum Obat x 100


Jumlah Individu yang Disurvei
c. Survei Evaluasi Prevalensi

Evaluasi prevalensi dilaksanakan setelah 5 tahun berturut-turut


pelaksanaan POPM Cacingan. Survey evaluasi prevalensi
menggunakan pengambilan sampel kluster dengan jumlah sampel
minimal 210.

Untuk tindak lanjut hasil survey evaluasi prevalensi dibagi


menjadi 5 kategori sebagai berikut :

Tabel 4. Kategori Evaluasi Hasil Survey

Pelaksanaan tindak lanjut dilaksanakan selama 5 tahun berturut-


turut untuk selanjutnya dievaluasi kembali prevalensinya.
Pemantauan dan evaluasi dapat dilakukan oleh petugas pusat,
provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas.

E. Pencegahan dan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit


Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) merupakan pendekatan yang
menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian vektor yang
dilakukan berdasarkan azas keamanan, rasionalitas dan efektifitas
pelaksanaannya serta dengan mempertimbangkan kelestarian
keberhasilannya (Permenkes 374/2010 tentang Pengendalian Vektor).

2.3 Target dan Indikator Kinerja Program


Target kinerja merupakan penilaian dari pencapaian program yang diukur
secara berkala dan dievaluasi pada akhir tahun 2019. Kegiatan Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
mempunyai indikator kinerja sebagai berikut:
1. Jumlah Kabupaten/Kota dengan API < 1/1.000 penduduk
2. Jumlah Kabupaten/Kota endemis yang melakukan pemberian obat
massal pencegahan (POMP) Filariasis
3. Jumlah Kabupaten/Kota endemis Filaria berhasil menurunkan angka
mikrofilaria menjadi < 1%
4. Presentase Kabupaten/Kota yang melakukan pengendalian vektor
terpadu
5. Persentase Kabupaten/Kota dengan IR DBD < 49 per 100.000
penduduk
6. Persentase Kabupaten/Kota yang eliminasi rabies

Target periodik atas kinerja kegiatan pencegahan dan pengendalian


penyakit tular vektor dan zoonotik sebagai berikut:
Tabel 2.1 Matrik Target Periodik Atas Kinerja Kegiatan Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Tahun 2015-2019
Base Target
No Indikator Line
2015 2016 2017 2018 2019
(2014)
1 Jumlah Kabupaten/Kota dengan
337 340 360 375 390 400
API <1 per 1.000 penduduk
2 Jumlah Kabupaten/Kota
endemis yang melakukan
pemberian obat massal 140 170 210 240 245
pencegahan (POMP)
Filariasis
3 Jumlah Kabupaten/Kota
endemis Filaria berhasil
29 35 45 55 65 75
menurunkan angka
mikrofilaria menjadi < 1%
4 Persentase Kabupaten/Kota
yang melakukan 30% 40% 50% 60% 70% 80%
pengendalian vektor terpadu
5 Persentase Kabupaten/Kota
dengan IR DBD < 49 per 58% 60% 62% 64% 66% 68%
100.000 penduduk
6 Persentase Kabupaten/Kota 10% 25% 40% 55% 70% 85%
yang eliminasi Rabies

2.4 Monitoring Evaluasi Program


Pemantauan, evaluasi dan pengendalian merupakan bagian tidak
terpisahkan dari tahapan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Pengendalian merupakan upaya untuk memastikan tercapainya sasaran
pembangunan. Berbagai aplikasi dan media pelaporan yang dibangun
digunakan sebagai salah satu alat untuk pengumpulan data realisasi
(pemantauan) pelaksanaan rencana pembangunan. Data hasil pemantauan ini
digunakan sebagai bahan untuk melakukan pengendalian dan bahan bagi
pelaksanaan evaluasi, baik evaluasi tahap pelaksanaan (ongoing), evaluasi
hasil, -output-outcome (ex-post) maupun evaluasi pra-rencana (ex-ante).
Kebutuhan akan data secara sistematis akan sangat menentukan kualitas
pengendalian dan hasil evaluasi.

2.5 Peraturan Terkait Program


1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1582/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis
(Penyakit Kaki Gajah)
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2017 tentang Penanggulangan Cacingan
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2011 tentang Pengendalian Zoonosis
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64
Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Kesehatan
5. Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2015, Renstra
Kementerian Kesehatan 2015-2019 melalui Keputusan Menteri
Kesehatan nomor HK.02.02/2015 sebagaimana telah direvisi berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/422/2017 dan Rencana Aksi Program PP dan PL
tahun 2015 – 2019 yang merupakan jabaran kebijakan Kementerian
Kesehatan dalam Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan
Zoonotik (P2PTVZ).
BAB III
INOVASI PROGRAM

3.1 Kegiatan Lintas Program

3.2 Kegiatan Lintas Sektor

3.3 Contoh Inovasi Program


PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai