Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2017


UNIVERSITAS PATTIMURA

LIMFOGRANULOMA VENEREUM

Disusun Oleh:
Valentine Hursepuny
2015-84-049

Pembimbing:
dr. Hanny Tanasal, Sp.KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Limfogranuloma Venereum (LGV) adalah penyakit seksual yang disebabkan

oleh serovar L Chlamydia trachomatis. Penyakit ini ditemukan di daerah-daerah

endemik seperti Afrika Timur dan Barat, India, Asia Tenggara, Amerika selatan dan

Amerika Tengah, dan sebagian kepulauan Caribia; sekitar 7-19% penyakit ulkus

genital ditemukan di daerah Afrika dan India.1,2

Manifestasi klinis bervariasi, tergantung dari jenis kelamin, cara penularan

dan stadium penyakit. Terdapat tiga stadium klinis dari LGV. LGV dapat muncul

dengan gejala yang bervariasi mulai dari akut sampai kronik. Penyakit ini ditandai

dengan adenitis inguinal supuratif, bubo inguinal dengan ulserasi sekunder dan gejala

lainnya.1,2,3

Tujuan pembuatan referat ini agar dapat memahami apa itu limfogranuloma

venereum, penyebab dan faktor predisposisi, gambaran klinik, pemeriksaan

penunjang, diagnosis banding, terapi, prognosis sampai pencegahan limfogranuloma

venereum.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Limfogranuloma Venereum (LGV) adalah penyakit seksual yang disebabkan

oleh serovar L Chlamydia trachomatis.1

2.2. Sinonim

Limfogranuloma inguinale, Penyakit Durand-Nicolas-Favre, tropical or

climatic bubo, strumous bubo, poradenitis inguinalis dan limfopatia venera.1,2,4

2.3. Epidemiologi

LGV ditemukan di daerah endemik (iklim tropis dan subtropis) seperti Afrika

Timur dan Barat, India, Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Amerika Tengah, dan

sebagian kepulauan Caribia; sekitar 7-19% penyakit ulkus genital ditemukan di

daerah Afrika dan India.1,2

Sejak tahun 2003, terjadi wabah LGV pada laki-laki yang berhubungan sex

dengan laki-laki (men who have sex with men [MSM]) di Eropa dan Amerika Utara.

Kasus tersering didapatkan pada wisatawan, pelaut dan tentara. Antara April 2003

sampai Juni 2012, lebih dari 2.000 kasus LGV dikonfirmasi di Inggris. Tujuh puluh

tujuh persen kasus didapatkan di London, Brighton dan Manchester. Sejak tahun

2007 sampai 2011, 146 kasus LGV dilaporkan di Barselona. Didapatkan pertama kali

kasus infeksi C. trachomatis pada wanita di Finlandia, Republik Cheko dan Perancis.

3
Peneliti dalam sebuah studi kasus melaporkan seorang wanita dengan LGV bubo

yang terinfeksi dari mitra seksualnya.4,5,6

Peningkatan insidens pada usia 15-40 tahun, daerah perkotaan dan individu

dengan sosio-ekonomi rendah. Laki-laki enam kali lebih banyak memberikan

manifestasi klinis infeksi dibandingkan perempuan. LGV disebabkan oleh kontak

langsung dengan sekret yang terinfeksi, biasanya melalui semua hubungan seks tanpa

kondom, baik melalui oral, vaginal atau anal. Frekuensi infeksi setelah paparan tidak

diketahui. LGV mungkin tidak menular seperti gonorrhea. Lesi primer kulit ulseratif,

urethritis, servisitis, proktokolitos dan ulserasi kronis merupakan bentuk yang paling

menular dari LGV. Meskipun bukti yang mendukung terbatas, endoserviks

merupakan tempat paling umum dari infeksi akut pada perempuan. Serviks dapat

terinfeksi selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan, seperti yang telah

ditunjukkan untuk serovar lain C. trachomatis. Tidak terjadi penularan secara

kongenital, tetapi infeksi dapat diperoleh oleh bayi selama proses kelahiran melalui

jalan lahir yang terinfeksi.1

2.4. Etiologi

LGV disebabkan oleh satu dari 3 serovar Chlamydia trachomatis: L1, L2 dan

L3. Strain C. trachomatis lainnya dapat diisolasi dari jaringan yang diambil dari

pasien yang memiliki gejala genitoanorektal LGV. Sebagian besar wabah disebabkan

oleh strain C. trachomatis serovar L2 (L2b).1,2,5,7

Chlamydiae adalah bakteri obligat intraseluler yang ditandai dengan dua

bentuk morfologi yang berbeda: (1) sebagian kecil metabolik inaktif dan menginfeksi,

4
(2) sebagian besar metabolik aktif dan badan retikular non infeksius. C. trachomatis

telah dibagi menjadi beberapa serovar yang berbeda terutama pada bagian luar

membran protein, dan berhubungan dengan penyakit yang berat. Serovar A, B dan C

menyebabkan infeksi trachoma pada mata, sedangkan serovar D-K yang bertanggung

jawab untuk infeksi pada urogenital. Berbeda dengan serovar A-K, serovar L lebih

invasif dan memiliki afinitas yang tinggi untuk makrofag. Setelah diinokulasi ke

permukaan mukosa, organisme akan bereplikasi dalam makrofag dan menyerang

limfonodus (LNs), dan menyebabkan limfadenitis.1,6,8

2.5. Patogenesis

C. trachomatis terbagi atas 15 serovar (A,B,Ba,C-K dan L1-L3). LGV

sebagian besar menyerang jaringan limfatik. Berbeda dengan serovar A-K, yang

terbatas pada mukosa. Serovar LGV menyebabkan reaksi limfoproliferatif, masuk

melalui kulit yang lecet atau melalui sel epitel membran mukosa. Serovar L1-L3

sebagai penyebab LGV. Serovar L2 lebih lanjut terbagi menjadi L2, L2’, L2a atau

L2b, berdasarkan pembagian minor dari komponen asam amino. C. trachomatis

merupakan bakteri gram negatif obligat intraseluler, selama siklus perkembangannya

antara dua bentuk : elementary body (EB) yang infeksius dan bentuk replikasi non-

infeksius, reticulate body (RB). Proses infeksi EB pada sel host adalah yang paling

penting dalam keberhasilan infeksi. EB menyerang sel epitel kolumner melalui

endositosis dan menghambat fusi lisosom. Kemudian menggunakan adenosine

trifosfat (ATP) yang ada di dalam sel untuk bereplikasi. Di dalam sel, EB berubah

5
bentuk menjadi RB yang membentuk badan inklusi yang terdiri > 100 RB. Dalam 48

jam RB berubah menjadi bentuk yang infeksius untuk dilepaskan ke dalam sel.1,2

C. trachomatis tidak memproduksi heparin sulfat. Heparin sulfat bertindak

sebagai reseptor sel host untuk major outer membrane protein (MOMP). Serovar

LGV mengikat sel-sel epitel melalui reseptor heparin sulfat dan kemudian melalui

sistem limfatik untuk memperbanyak diri dalam fagosit mononuklear pada kelenjar

getah bening regional.1,6 Limfangitis ditandai dengan proliferasi sel endotel pada

pembuluh limfe dan saluran limfe pada limfonodus. Limfonodus pada tempat infeksi

primer cepat membesar, terjadi nekrosis. Daerah nekrosis dikelilingi oleh sel endotel,

yang menarik leukosit polimorfonuklear sehingga tampak melebar dan diikuti

pembentukan abses yang berbentuk segitiga atau segiempat. Peradangan pada

kelenjar getah bening yang berdekatan bersama-sama dengan periadenitis, proses

inflamasi terus berlangsung, abses menyatu dan pecah membentuk fistel atau saluran

sinus.2

Gambar 1. Siklus hidup Chlamydia sp.1

6
2.6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis bervariasi, tergantung dari jenis kelamin, cara penularan

dan stadium penyakit. Terdapat 3 stadium klinis dari LGV. Lesi kutaneus non-

spesifik seperti eritema nodosum, eritema multiforme, urtikaria dan exanthema

skarlatiniform mungkin berhubungan pada tiga stadium ini.1

STADIUM PRIMER. Setelah infeksi 3-30 hari, 5-8 mm papul eritematous yang

tidak nyeri atau ulkus herpetiform tampak pada tempat inokulasi. Ulkus yang nyeri

dan urethritis non-spesifik jarang terjadi. Pada pria, lesi biasanya ditemukan pada

sulkus coronal, preputium atau glans penis; pada wanita, lesi ditemukan di dinding

posterior vagina, vulva atau terkadang dapat ditemukan lesi pada cervix. Inokulasi

dapat ditemukan di rectum atau pharynx. Lesi primer sering sembuh dalam beberapa

hari.1,6

Tabel 1. Lesi pada LGV2


Awal Lambat
Sindroma Inguinal
Lesi genital primer Elefantiasis genital
Ulkus genital Ulkus genital
Bubo inguinal
Bubonulus
Sindroma Anorektal
Proktitis Striktur rektal
Lymphorroid
Abses perirectal
Fistel anal
Lain-lain
Uretritis
Servisitis Frozen pelvis
Salfingitis Infertilitas
Parametritis
Konjungtivitis

7
STADIUM SEKUNDER. Beberapa minggu setelah stadium primer, melibatkan

kelenjar getah bening dan terjadinya diseminasi hematogen, gejala dan tanda

bervariasi. Fotosensitivitas didapatkan pada 35% kasus, 1-2 bulan setelah formasi

bubo. Penyebaran LGV secara sistemik berhubungan dengan demam, menggigil,

malaise, penurunan nafsu makan, muntah, myalgia dan atralgia. Penyebaran secara

sistemik kadang-kadang menyebabkan artritis, pneumonitis, gangguan enzim hepatik,

dan perihepatitis. Komplikasi sistemik yang jarang terjadi melibatkan jantung,

meningitis aseptik dan penyakit mata. Sindrom faringeal yang menyerang mulut dan

tenggorokan, limfadenopati servikal dan bubo dapat terjadi.1,6,9

Sindroma Genital akut (AGS) atau sindroma inguinal ditandai dengan

keterlibatan limfonodus inguinalis dan/ atau femoralis dan biasanya ditemukan pada

pria. Awalnya, kulit pada daerah kelenjar getah bening yang terlibat didapatkan

eritema dan indurasi. Setelah >1-2 minggu, pembesaran kelenjar yang berdekatan

membentuk massa (bubo) yang nyeri dan tidak dapat digerakkan, mudah ruptur dan

perlu dilakukan drainase. Bersifat bilateral pada satu sampai tiga kasus. Pembesaran

kelenjar pada kedua sisi ligamentum inguinalis, “groove sign” merupakan tanda

patognomonik dari LGV, didapatkan pada 10-20% kasus dan jarang ditemukan

bilateral. Pada wanita, limfadenitis inguinal biasanya disebabkan karena drainase

limfatik dari vagina dan serviks.1,9,10

8
Gambar 2. Sindrom Inguinal LGV pada superfisial, erosi preputium, limfangitis dorsal penis bubo
inguinal kanan2

STADIUM TERTIER (Sindroma Genito-anorektal/ Sindroma Anogenitorektal/

LGV Stadium 3) . Pada stadium ini sering ditemukan pada wanita yang tidak diobati,

termasuk striktur rektal dan abses, sinus perineal, fistula rektovaginal dan limforoid.

Pada pria, elefantiasis terdapat di penis dan skrotum, sedangkan pada wanita di labia

dan klitoris disebut estiomen. Estiomen jarang sebagai infeksi primer genitalia

eksternal.1,6,9

Gambar 3. Elefantiasis dari labia dan klitoris pada wanita dengan limfogranuloma venereum
(estiomen)2

9
Sindroma anorektal (ArS) dapat terjadi pada pria homoseksual, yang

melakukan senggama secara genito-anal. Pada wanita dapat terjadi dengan dua cara:

1) jika senggama dilakukan dengan cara genito-anal, 2) jika afek primer terdapat pada

vagina 2/3 bagian atas atau serviks, sehingga terjadi penjalaran ke kelenjar perirectal

yang terletak antara uterus dan rektum. Proses berikutnya hampir sama dengan

sindrom inguinal, yakni terjadi limfadenitis dan periadenitis, lalu mengalami

perlunakan hingga terbentuk abses. Kemudian abses pecah sehingga menyebabkan

gejala keluarnya darah dan pus pada waktu defekasi kemudian terbentuk fistel.9

Tabel 2. Gambaran Klinis LGV6


Laki-laki Perempuan
Stadium Pertama Stadium Pertama
- Nyeri pada papul/pustule/nodul/erosi/ulkus pada - Nyeri pada
penis/anus/bibir dan cavitas oral (tonsil) papul/pustule/nodul/erosi/ulkus pada
- Proktitis (gejala: nyeri pada rektal, perdarahan vulva/ dinding vagina posterior/
anorektal, mucus atau cairan rektal cervix/anus
hemopurulen, tenesmus , konstipasi) - Proktitis (gejala: nyeri pada rektal,
perdarahan anorektal, mucus atau cairan
rektal hemopurulen, tenesmus ,
konstipasi)
Stadium kedua Stadium kedua
- Limfadenitis - Limfadenitis
- Limfadenopati intra-abdomen atau - Limfadenopati intra-abdomen atau
retroperitoneal retroperitoneal
- Limfadenopati inguino dan atau femoral - Limfadenopati inguino dan atau femoral
(unilateral, heteroseksual) (unilateral, hanya 20% pada wanita)
- Bentuk bubo (kelenjar getah bening yang - Bentuk bubo (kelenjar getah bening yang
berfluktuasi dan supurasi dapat rupture) berfluktuasi dan supurasi dapat rupture)
- Demam/arthritis/pneumonitis/perihepatitis/enzi - Demam/arthritis/pneumonitis/perihepatitis
m hepar abnormal (penyebaran sistemik) / enzim hepar abnormal (penyebaran
sistemik)
Stadium ketiga Stadium ketiga
- Sindroma genito-anorektal (lebih sering pada - Sindroma genito-anorektal (lebih sering
wanita) pada wanita)
- Proktitis kronik - Proktitis kronik
- Fistel - Fistel
- Striktur - Striktur
- Stenosis rectum - Stenosis rectum
- Limfedema (elephantiasis, “saxophone penis”) - Limfedema (elephantiasis, “saxophone
- “Lymphorroids” penis”)
- “Lymphorroids”
- Skar pada vulva (estiomen)

10
2.7. Diagnosis

Diagnosis LGV mungkin sulit dilakukan, tetapi LGV harus dicurigai pada

pasien dengan kontak seksual, ulkus genital, fistel perianal atau bubo. Ketepatan

diagnosis klinis dilaporkan < 20%. Pemeriksaan laboratorium penting dalam

menegakkan diagnosis dan biasanya dibagi menjadi dua kategori: (1) tes non-spesifik

tidak membedakan antara LGV dan (2) serovar non-LGV dan tes LGV spesifik. Hasil

tes yang positif pada aspirasi kelenjar getah bening dapat dipertimbangkan diagnosis

LGV, perbedaan hasil tes positif lesi primer pada genital selanjutnya dilakukan tes

spesifik untuk infeksi chlamydia urogenital.1

Diagnosis LGV biasanya didasarkan pada 1) Tes Frei positif, 2) complement-

fixation (CF) positif, 3) isolasi Chlamidya LGV dari jaringan atau sekret yang

terinfeksi pada tikus, embrio telur atau kultur jaringan, 4) identifikasi Chlamydia

secara histologi pada jaringan yang terinfeksi, atau 5) demonstrasi Chlamydia oleh

pemeriksaan PCR atau NAATs pada sekret atau jaringan yang terinfeksi.1,2,6

Untuk pasien dengan penyakit kelamin dapat dilakukan kultur C. trachomatis

dan pemeriksaan direct immunofluorescence. Studi terbaru dari Belanda

menunjukkan uji serologi anti-MOMP IgA yang paling berguna untuk infeksi

anorektal LGV. Tes ini memiliki sensitivitas 75,5% dan spesifisitas 74,3% MSM

asimptomatis, dan sensitivitas 85,7 dan spesifisitas 84,2% MSM yang simptomatis.6

11
Tes Frei
Melakukan tes Frei dengan menggunakan antigen Frei. Frei memperolehnya

dari pus penderita LGV, pada abses yang belum pecah, kemudian dilarutkan dalam

garam faal dan dilakukan pasteurisasi. Untuk mendapatkan antigen yang tidak

terkontaminasi oleh bakteri, dapat diperoleh dari otak tikus yang telah ditulari. Cara

melakukannya seperti pada tes tuberculin, yakni 0,1 cc disuntikkan intrakutan pada

bagian anterior lengan bawah dan dibaca setelah 48 jam. Jika terdapat infiltrat

diameter 0,5 cm atau lebih berarti positif. Tes tersebut tak khas karena penyakit yang

segolongan juga menunjukkan hasil positif. Kekurangan lainnya ialah tes tersebut

baru memberikan hasil positif setelah 5-8 minggu dan jika positif hanya berarti

sedang atau pernah menderita LGV.2,6

Tes Ikatan Komplemen (complement fixation -CF)

Tes ini lebih peka dan lebih cepat daripada tes Frei. Tes ini juga memberi reaksi

silang dengan penyakit yang segolongan. Jika titer 1/16 berarti sedang sakit, tetapi

jika titernya lebih rendah hanya berarti pernah sakit. Variasi dalam titer CF juga dapat

disebabkan oleh perubahan di kedua tes konsentrasi antigen dan prosedur tes. 2,9

Prosedur Diagnostik

Aspirasi bubo untuk dilakukan kultur dan pemeriksaan mikroskopi, dan mungkin

membutuhkan injeksi 2-5 ml larutan saline sebelum aspirasi. Pemeriksaan

proktoskopi menyatakan, pada keadaan ArS, mempunyai ciri-ciri ulkus superfisial

12
yang ireguler dan jaringan granulasi yang rapuh, biasanya membatasi bagian distal

10cm dari kanal anorektal.1

Nucleic Acid Amplification Tests (NAATs)

Teknik modern sekarang berupa nucleic acid amplification tests (NAATs)

yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Penggunaan NAAT khusus

untuk mendeteksi asam nukleat C. trachomatis yang merupakan organisme penyebab

urethritis, servisitis, salfingitis dan sindrom lainnya yang disebabkan oleh organisme

ini.2

C. trachomatis adalah organisme intraseluler sehingga sampel harus berisi

bahan selular. Untuk mendeteksi serovar LGV C. trachomatis, sampel DNA yang

berbeda dapat digunakan: 1) swab lesi anogenital (ulkus dengan dasar eksudat), 2)

swab mukosa anus (jika dicurigai LGV anorektal) atau 3) pembesaran kelenjar getah

bening atau nodus yang berfluktuasi atau aspirasi bubo (curiga LGV inguinal).

Setelah desinfeksi topikal, jarum 21G dimasukkan ke dalam kelenjar getah bening

melalui jaringan sehat yang berdekatan dan pus disedot ke dalam jarum suntik;

volume kecil (0,5 ml) larutan garam dapat disuntikkan dan reaspirasi untuk nodus

yang non-fluktuasi. Swab uretra atau spesimen urin pertama dapat digunakan sebagai

sampel jika ada urethritis dan limfadenopati inguinal dan diduga sebagai LGV.

Spesimen urin biasanya menunjukkan hasil PCR negatif dalam kasus LGV

anorektal.6,11,12

13
2.8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada stadium primer LGV, ulkus pada penyakit chancroid

biasanya besar dan sangat nyeri, dan ulkus pada granuloma inguinale memiliki

jaringan granulasi yang rapuh dan tidak berhubungan dengan limfadenitis. GS akut

mungkin sulit dibedakan dengan chancroid. [Lihat tabel 3]1

Tabel 3. Diagnosis banding limfadenopati venereal (bubo) 4,10


Gambaran Sifilis Limfogranuloma Chancroid Granuloma
Klinis Venereum Inguinale
Lesi kulit Ada Kadang diabaikan Ada Luas
Masa inkubasi 3-12 minggu 2-12 minggu 1-2 minggu 1-2 bulan
Berat Bilateral, Biasanya unilateral Unilateral Luas
multiple
Limfonodus Tegas, lunak Multilokular Lunak Pseudo-bubo
dengan konsistensi (granuloma
yang bervariasi dan subkutan)
groove sign
Pus Tidak ada Kental, berwarna Kental, sedikit Pus pada
krem berdarah permukaan lesi
kulit

Tabel 4. Diagnosis banding Limfogranuloma Venereum (stadium spesifik)1


Stadium Primer Stadium Sekunder Stadium Tertier
 Penyakit ulkus genital  Sindrom genital akut  Keganasan
(herpes simpleks virus,  Penyakit ulkus genital  Filariasis atau infeksi parasit
chancroid, granuloma dengan limfadenopati lainnya
inguinale) (sifilis, chancroid, herpes  Pseudoelefantiasis
 Infeksi Neisseria simpleks virus) tuberculosis (tidak ada
gonorrhoeae dan atau  Hernia inguinalis inkarserata limfadenitis) dan granuloma
chlamydia  Limfadenitis inguinal reaktif inguinale
 Penyebab non-infeksius: focus infeksi pada  Infeksi jamur
trauma, balanitis Zoon, ekstremitas bawah  Hidradenitis supuratif
fixed drug eruption  Plak bubonik (pada daerah  Trauma
endemik)
 AIDS
 Sarkoma kaposi
 Tularemia
 Infeksi mikobakteri
 Sindrom anorektal akut
Inflammatory bowel disease
 Orofaringeal limfogranuloma
venereum
 Limfoma
 Infeksi mononucleosis
 Cat-scratch disease

14
2.9. Tatalaksana

C. trachomatis perlu diterapi dengan obat antibakterial dengan konsentrasi

yang tinggi pada intraselular, agen intracellular-acting seperti doksisiklin, eritromisin

dan azitromisin dan pertimbangan mengenai pemberian golongan quinolone. Pada ibu

hamil dan menyusui diterapi dengan eritromisin atau azitromisin. Pengobatan LGV

dapat dilihat pada tabel 5. 6,12,13

Tabel 5. Pengobatan Limfogranuloma Venereum1


Regimen Dosis Pemberian Lama Pemberian
Lini pertama Doksisiklin oral 100 mg 2 x sehari 3 minggu
Lini kedua Eritromisin oral 500 mg 4 x sehari 3 minggu
Lini ketiga Azitromisin oral 1 g per minggu dosis 3 minggu
tunggal

Lebih dari setengah abad pengalaman klinis mendukung penggunaan

doksisiklin 100 mg dua kali sehari selama 21 hari, sebagai drug of choice untuk LGV.

Rekomendasi ini didasarkan pada laporan khasiat obat dari berbagai kasus, ditambah

dengan profil farmakokinetik yang menguntungkan dan efek toksisitas minimal.

Durasi pemberian selama 3 minggu diperlukan karena infeksi LGV lebih invasif dan

lebih sulit dibandingkan memberantas infeksi genital yang biasanya membaik dalam

satu minggu pengobatan. Eritromisin sebagai terapi alternatif yang digunakan selama

bertahun-tahun menunjukkan khasiat yang baik, meskipun menyebabkan intoleransi

gastrointestinal. Selain terapi antimikroba, tatalaksana lokal bubo (dengan aspirasi

melalui kulit yang intak, atau insisi dan drainase) juga dapat mencegah

perkembangan ulserasi. Azitromisin juga efektif dalam mengobati LGV. Namun,

15
bukti klinis kurang mendukung penggunaan rutin azitromisin (1 g per minggu selama

21 hari). Moksifloksasin (400 mg per hari selama 10 hari) telah dilaporkan sebagai

pengobatan yang efektif jika terapi doksisiklin gagal.14

Tabel 6. Regimen pengobatan yang direkomendasikan untuk LGV6


Obat Mekanisme/ Efek Samping Ulasan
Doksisiklin  Menghambat sintesis protein dengan  Pilihan pertama, yang direkomendasikan
mengikat subunit ribosom 305 oleh Centers for Disease Control
100 mg dua kali bakteri  Kontraindikasi pada ibu hamil dan
sehari untuk 21  Dispepsia; diare, fotosensitivitas, menyusui
hari, per oral perubahan warna kulit, kuku, mata,  Antasid berisi alumunium, kalsium, atau
gusi atau skar; ulkus esophageal, magnesium atau produk lain yang
sindroma Fanconi (nefrotoksik), mengandung besi seperti vitamin atau
steatosis (hepatotoksik), sakit kepala suplemen mineral sebaiknya tidak
dan gangguan penglihatan diminum
(secondary intracranial
hypertension-pseudotumor cerebri)
Eritromisin  Menghambat pertumbuhan bakteri  Pilihan kedua, yang direkomendasikan
500 mg empat dengan menghambat disosiasi oleh Centers for Disease Control
kali sehari peptidil tRNA dari ribosom
untuk 21 hari  Diare, nyeri uluhati, nausea, muntah
Azitromisin  Menghambat sintesis protein dengan  Dapat dipertimbangkan sebagai terapi
1 g per minggu mengikat subunit ribosom 50S dari pilihan kedua, tetapi bukti kelemahan
selama 3 ribosom 70S bakteri untuk direkomendasikan
minggu  Sama seperti eritromisin
Tetrasiklin  Sama seperti doksisiklin Sama seperti doksisiklin
500 mg 4x1  Efek samping sama seperti
21 hari doksisiklin
Minosiklin  Sama seperti doksisiklin Sama seperti doksisiklin
300 mg loading  Vertigo, pusing, ataxia, tinnitus dan
dose, lanjut 200 efek samping paling awal sama
mg 2x1 untuk seperti doksisiklin
21 hari
Moxifloxacin  Blok enzim DNA gyrase (untuk  Pemberian sebaiknya tanpa alumunium
400 mg sekali produksi dan perbaikan DNA dan Mg terdiri dari antasid, sukralfat,
sehari untuk 21 bakteri) dan menyebabkan bakteri dan multivitamin karena mengurangi
hari, per oral mati absorbsi moxifloxacin dan menurunkan
 Nausea, pusing, diare, prolongasi efektifitasnya.
QT dan fotosensitivitas  Hati-hati dalam pemberian warfarin

Tindakan operasi untuk sindroma inguinal akut terbatas pada aspirasi kelenjar

getah bening yang berfluktuasi dan dapat dilakukan insisi dan drainase abses. Operasi

bedah plastik pada vulva, penis dan skrotum mungkin diperlukan pada estiomen dan

16
elephantiasis genital. Prosedur ini tidak dilakukan tanpa pengobatan antibiotik.

Antibiotik harus diberikan beberapa bulan sebelum dilakukan tindakan operasi.2

2.10. Prognosis

Antibiotik jika diberikan lebih awal sebagai kuratif, pada ArS akut berespon

lebih baik dibanding sindroma genital akut.1 Dengan diagnosis awal secara akurat dan

pemberian terapi antibiotik, prognosis baik, tetapi reinfeksi dan kekambuhan dapat

terjadi.6

2.11. Pencegahan
Pencegahan LGV di daerah non endemik didasarkan pada identifikasi dan

dugaan kasus kontak seksual. Perlu diberikan antibiotik profilaksis jika terkena

infeksi untuk mencegah infeksi berulang serta untuk menghilangkan reservoir

potensial. Meningkatnya prevalensi limfogranuloma venereum anorektal pada pria

homoseksual di Eropa Barat dan Amerika Serikat menunjukkan gejala proctokolitis.

Pengendalian LGV di daerah endemik merupakan masalah yang cukup serius. Pasien

harus mendapatkan informasi tentang penggunaan kondom dan praktek seksual yang

aman. Penggunaan kondom dapat mengurangi risiko penularan LGV.2,6

17
BAB III
KESIMPULAN

Limfogranuloma Venereum (LGV) adalah penyakit seksual yang disebabkan

oleh serovar L1, L2, L3 Chlamydia trachomatis yang merupakan bakteri obligat

intraseluler.

Siklus perkembangan C. trachomatis terbagi menjadi 2 bentuk : elementary

body dan reticulate body. EB sebagai bentuk yang infeksius menyerang sel epitel

kolumner melalui endositosis dan menghambat fusi lisosom. Serovar LGV mengikat

sel-sel epitel melalui reseptor heparin sulfat dan kemudian melalui sistem limfatik

untuk memperbanyak diri dalam fagosit mononuklear pada kelenjar getah bening

regional sehingga terjadi limfangitis, nekrosis dan pembentukan abses.

Manifestasi klinis bervariasi, tergantung dari jenis kelamin, cara penularan

dan stadium penyakit. Peningkatan insidens pada usia 15-40 tahun, daerah perkotaan

dan individu dengan sosio-ekonomi rendah. Laki-laki enam kali lebih banyak

memberikan manifestasi klinis infeksi dibandingkan perempuan. LGV disebabkan

oleh kontak langsung dengan sekret yang terinfeksi, biasanya melalui semua

hubungan seks tanpa kondom, baik melalui oral, vaginal atau anal.

Diagnosis LGV mungkin sulit dilakukan, tetapi LGV harus dicurigai pada

pasien dengan kontak seksual, ulkus genital, fistel perianal atau bubo. Ketepatan

diagnosis klinis dilaporkan <20%. Pemeriksaan laboratorium penting dalam

menegakkan diagnosis. Diagnosis banding pada stadium primer LGV, ulkus pada

penyakit chancroid biasanya besar dan sangat nyeri, dan ulkus pada granuloma

18
inguinale memiliki jaringan granulasi yang rapuh dan tidak berhubungan dengan

limfadenitis. GS akut mungkin sulit dibedakan dengan chancroid.

Doksisiklin merupakan drug of choice. Pemberian doksisiklin dengan dosis

100 mg 2 x sehari selama 21 hari (3 minggu). Dengan diagnosis awal secara akurat

dan pemberian terapi antibiotik, prognosis baik. Pencegahan dapat dilakukan dengan

pemberian informasi tentang penggunaan kondom dan praktek seksual yang aman.

Penggunaan kondom dapat mengurangi risiko penularan LGV.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Ishak RS, Ghosn SH. Chapter 203 Lymphogranuloma venereum. In: Goldsmith

LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s

dermatology in general medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill Inc; 2012.

2. Stamm W. Lymphogranuloma Venereum. In: Holmes KK, Sparling PF, Stamm

WE, Piot P, Wasserheit JN, Corey L, et all. Sexually transmited disease. 4 th

Edition. Mc-GrawHill. 2008. P. 595-604.

3. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ disease of the skin clinical

dermatology. Sanders Elsevier. 2011.

4. Kohl PK, Abeck D. Other veneral infections. In: Burgdorf WHC, Plewig G,

Wolff HH, Landthaler M, editors. Braun-Falco’s dermatology. 3rd edition. Italy:

springer. 2009. P. 275-77.

5. Borsje A, van der Reijden W, Soetekouw R. Lymphogranuloma venereum

presenting with erythema nodosum. International Journal of STD & AIDS.

2016;27(14):1354-1355.

6. Ceovic R, Gulin SJ. Lymphogranuloma venereum: diagnostic and treatment

challenges. Infection and Drug Resistance. 2015;8:39-47.

7. Gmelig MKA, Boonk SE, Versteeg B, de Vries HJ, van Doorn R.

Lymphogranuloma venereum with a persistent genital ulcer and

lymphadenopathy as the only symptoms. J Con Exp Dermatol Res. 2016;7(6):1-2.

8. White J, O’Farrell N, Daniels D. 2013 UK national guideline for the management

of lymphogranuloma. International Journal of STD & AIDS. 2013;24(8):593-601.

20
9. Djuanda A, Hamsah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ketujuh.

Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2016.

10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional penanganan

infeksi menular seksual 2011. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan. 2011.

11. O’Byrne P, MacPherson P, DeLaplante S, Metz G, Bourgault A. Approach to

lymphogranuloma venereum. Can Fam Physician. 2016;62:554-58.

12. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually transmited diseases

treatment guidelines, 2015. MMWR. 2015;64(3):35-36.

13. Mishori R, McClaskey EL, Winklerprins VJ. Chlamydia trachomatis infections:

screening, diagnosis and management. American Family Physician.

2012;86(12):1127-32.

14. Stoner BP, Cohen SE. Lymphogranuloma venereum 2015: clinical presentation,

diagnosis, and treatment. CID. 2015;61(Suppl8):S865-73.

21

Anda mungkin juga menyukai