Anda di halaman 1dari 18

MATA KULIAH KOMUNITAS 3

MAKALAH PENYAKIT MENULAR


LIMFOGRANULOMA VENEREUM

Disusun Oleh:
Lesi Lestari
1202078
S1 / 3A

Prodi S1 Keperawatan
STIKes Bethesda YAKKUM Yogyakarta
TA 2014/2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat

Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil


menyelesaikan makalah ini. Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai
salah satu jenis penyakit menular seksual yang bernama Limfagranuloma
Venereum. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita
semua tentang berbagai informasi yang ada didalamnya.

Penulis menyadari

bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu Penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal
sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberkati segala usaha
kita. Amin.

Yogyakarta, 2 Juni 2015

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah penyakit yang penularannnya
terutama melalui hubungan seksual (Sjaiful Fahmi Daili,2007). Tempat
terjangkit penyakit tersebut tidak hanya pada alat kelamin saja, tetapi dapat di
berbagai tempat di luar alat kelamin. Yang tergolong penyakit menular
seksual ini adalah sifilis, gonore, ulkus mole, lymfogranuloma venereum dan
granuloma inguinale. Dari sudut epidemiologi ternyata penyaki menular
seksual berkembang sangat cepat berkaitan dengan pertambahan dan migrasi
penduduk, bertambahnya kemakmuran serta terjadi perubahan perilaku
seksual yang semakin bebas ( Ida bagus Gede Manuaba 2008). Penyakit
kelamin banyak terdapat di negara berkembang maupun yang sudah maju dan
tersebar luas pada semua lapisan masyarakat baik miskin maupun kaya.
Seperti pada penyakit IMS lainnya, limfogranuloma venereum merupakan
penyakit yang lebih sering dijumpai pada daerah- daerah rural dan orangorang berperilaku promiskus serta golongan social ekonomi rendah.
B. Rumusan masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Lymphogranuloma venereum?
b. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya

penyakit

Lymfogranuloma venereum??
c. Bagaimana cara penularan penyakit Limfogranuloma venereum?
d. Bagaimana mencegah, mendiagnosis dan mengobati penyakit
Limfogranuloma venereum?

C. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui

tentang

bagaimana

dan

seperti

apa

penyakit

Limfogranuloma venereum itu serta bagaimana cara mencegah, mendiagnosis


dan pengobatan penyakit tersebut. 1.3 Manfaat penulisan Diharapkan dapat
memberikan informasi kepada masyarakat dan para pekerja seks mengenai
Penyakit Menular Seksual (PMS) khususnya Limfogranuloma venereum

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotype L1, L2, L3, afek primer
biasanya cepat hilang, bersifat sistemik, mengenai sistem saluran pembuluh
limfe dan kelenjar limfe, terutama pada daerah genital, inguinal, anus dan
rektum, dengan perjalanan klinis, akut, sub-akut, atau kronis tergantung pada
imunitas penderita dan biasanya berbentuk sindrom inguinal. Sindrom
tersebut berupa limfadenitis dan periadenitis beberapa kelenjar getah bening
inguinal medial dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala
konstitusi, kemudian akan mengalami perlunakkan yang tak serentak.
Limfogranuloma venereum (LGV) disebut juga Limfopatia venereum yang
dilukiskan pertama kali oleh Nicolas, Durand dan Favre pada tahun 1913,
karena itu juga disebut penyakit Durand-Nicolas-Favre disease. Selain itu
dikenal juga sebagai Limfogranuloma Inguinal, Limfogranuloma tropikum,
Tropical bubo, Climatic bubo, Strumous bubo, dan Paradenitis inguinal
B. Epidemiologi
LGV bersifat sporadis tersebar di seluruh dunia terutama pada negara-negara
yang beriklim tropis dan subtropics, seperti I daerah Amerika Utara, Eropa,
Australia dan prevalensi tinggi yang terdapat di Asia dan Amerika Selatan,
LGV merupakan penyakit endemis di timur dan barat Afrika, India, sebagian
Asia Tenggara, Amerika Utara dan Kepulauan Karibia. Pada daerah
nonendemis ditemukan padapelaut, tentara, dan wisatawan yang mendapat
infeksi pada saat berkunjung atau pernah tinggal di daerah endemis. Seperti
pada penyakit IMS lainnya, limfogranuloma venereum merupakan penyakit
yang lebih sering

dijumpai pada daerah-daerah rural dan

orang-orang

berperilaku promiskus serta golongan social ekonomi rendah. Penyakit ini


dijumpai pada usia antara 20-40 tahun, lebih sering pada laki-laki dibanding
dengan perempuan dengan rasio 5:1 atau lebih, hal ini disebakan karena
adanya perbedaan patogenesis. Kejadian akut LGV berhubungan erat dengan

usia dan tingginya aktivitas seksual, pernah dilaporkan kasus LGV pada
remaja. Kini penyakit ini jarang ditemukan.
C. Etiologi
Penyebab Limfogranuloma venereum (LGV) adalah Chlamydia trachomatis,
yang merupakan salah satu organisme dari 4 spesies dari genus Chlamydia,
yang memiliki siklus pertumbuhan yang unik . Chlamydia trachomatis
memiliki

sifat sebagian seperti bakteri dalam hal pembelahan sel,

metabolisme,

struktur,

maupun

kepekaan

terhadap

antibiotika

dan

kemoterapi, dan sebagian bersifat seperti virus yaitu memerlukan sel hidup
untuk berkembang biaknya (parasit obligat intrasel).
Spesies Chlamydia trachomatis terdiri dari dua biovars yaitu trachoma atau
organisme TRIC dan organisme LGV. Organisme LGV sendiri terdiri atas 3
serovars yaitu L1, L2, L3.
Chlamydia berukuran lebih kecil dari bakteri, berdiameter 250-550 mm,
namun lebih besar dari ukuran virus pada ummunya. Di dalam jaringan
pejamu , membentuk sitoplasma inklusi yang merupakan

patognomoni

infeksi Chlamydia.
Penyakit yang segolongan dengan Limfogranuloma venereum ialah
psitakosis, trakoma, dan Inclusion conjunctivitis.
D. Manifestasi klinis
LGV adalah penyakit sistematik primer menyerang system limfatik, dengan
manisfestasi klinis dapat akut, subakut atau kronik,dengan komplikasi pada
stadium lanjut. Masa tunas penyakit ini adalah 1-4 minggu. Gejal konstitusi
timbul sebelum penyakitnya mulai dan biasanya menetap selam sindrom
inguinal. Gejal tersebut berupa malese, nyeri kepala, artralgia, anoreksia,
nausea dan demam. Terdapat perbedaan gambaran klinis pada pria dan dan
wanita. Pada wanita jarang didapatkan lesi primer genital dan bubo inguinal.
E. Klasifikasi
Gambaran klinis LGV secara umum dapat dibagi dalam 2 stadium, yaitu :
1. Stadium dini, yang terdiri atas :
a. Lesi primer genital
Setelah masa inkubasi antara 3-20 hari, akan terjadi lesi primer di
genital yang bersifat tidak sakit, ummumnya bersifat solitar, tidak

khas, dan cepat menghilang (sembuh) tanpa pembentukan jaringan


parut (scar) ,

lesi primer dapat berbentuk erosi atau ulkus dangkal,

papula- papula gerombolan vesikel kecil mirip lesi herpes, atau sebagai
uretritis nonspesifik. Masa inkubasi dapat bersifat lebih lama apabila
lesi primer genital tidak muncul, sebagai manifestasi adalah sindrom
inguinal. Pada pria sering berlokasi di genitalia, eksterna terutama
disulkus koronarius, frenulum, preputium, penis, uretra, dan skrotum.
Lesi primer pada pria sering disertai oleh limfangitis pada bagian
dorsal penis dan membentuk nodul limfangial yang lunak atau absesabses kecil (bubonuli). Bubonuli dapat pecah dan membentuk drainse
sinus, fistel, dan fibrosisuretra sehingga terbentuk sikatrik pada dasar
penis. Pada wanita lebih sering terjadi pada dinding posterior vagina,
portio, bagian posterior serviks dan vulva. Limfangitis sangat sering
berhubungan dengan edema local dan regional yang menyebabkan
phimosis pada pria dan pembengkakan pada wanita dengan derajat
yang bervariasi.
b. Sindrom inguinal
Sindrom inguinal merupakan sindrom yang sering dijumpai karena itu
akan diuraikan secara luas. Sindrom tersebut terjadi pada pria, jika afek
primernya di genitalia eksterna, umumnya unilateral, kira-kira 80%.
Pada wanita terjadi jika afek primernya pada genitelia eksterna dan
vagina 1/3 bawah. Itulah sebabnya sindrom tersebut lebih sering
terdapat pada pria daripada wanita, karena umumnya lesi primer pada
wanita terletak di tempat yang lebih dalam, yakni di vagina 2/3 atas
dan serviks. Jika lesi primer terletak pada tempat tersebut, maka yang
mengalami peradangan bukan kelenjar inguinal medial, tetapi kelenjar
Gerota. Pada sindrom ini yang terserang ialah kelenjar getah bening
inguinal medial, karena kelenjar tersebut merupakan kelnjar regional
bagi genitalia eksterna. Kelenjar yang dikenal ialah beberapa dan dapat
mdiketahui karena permukaannya berbenjol- benjol, kemudian akan
berkonfluensi. Karena LGV merupakn penyakit subakut, maka kelima

tanda radang akut terdapat pada dolor, rubor, tumor, kalor dan fungsio
lea. Selain limfadenitis terjadi pula periadenitis yang menyebabkan
perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Kemudian terjadi perlunakan
yang tidak serentak, yang mengakibatkan konsistensinya menjadi
bermacam-macam, yakni keras, kenyal dan lunak (abses). Perlunakan
biasanya di tengah, dapat terjadi abses dan fistel yang multiple.
Sering terlihat pula 2 atau 3 kelompok kelenjar yang berdekatan dan
memanjang seperti sosis di bagian proksimal dan distal ligamentum
Pouparti dan dipisahkan oleh lekuk (sulkus). Gejala tersebut oleh
Greenblatt disebut

stigma of groove. Pada stadium lanjut terjadi

penjalaran ke kelenjar getah bening di fosa iliaka dan danamai bubo


bertingkat (etage bubonen), kadang-kadang dapat pula ke kelenjar di
fosa femoralis. Ada kalanya terdapat limfangitis yang tampak sebagai
tali yang keras dan bubonuli.
Biasanya terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu setelah lesi
primer menghilang. Pada 2/3 kasus terjadi limfadenitis inguinal yang
unilateral.

Dimulai sebagai suatu masa, agak sakit menetap 1-2

minggu. Bubo inguinal pertama kali ditemukan oleh William Allace


tahun 1833 yang terdiri atas: kulit menjadi merah, dan kemudian
ditemukannya tumor yang melekat pada permukaan kulit tersebut,
mulanya dapat digerakkan , bubo kemudian mengalami kemajuan
cepat, sehingga menyebabkan rasa sakit yang berdenyut- denyut,
demam tinggi diikuti dengan takikardi, hilangnya nafsu makan, dan
gangguan tidur. Kelainan ini lebih sering pada pria daripada wanita,
karena pada wanita lokasi primer terletak di bagian dalam dan aliran
limfe kearah kelenjar limfe daerah pelvis.
Masa inkubasi untuk gejala ini berkisar 10-30 hari, tapi mungkin lebih
lambat 4-6 bulan setelah infeksi.
Gejala sistemik seperti demam, menggigil, nausea, anoreksia, sakit
kepala

sering

kemungkinan

menyertai
berhubungan

sindrom
dengan

ini.

Gejala

penyebaran

konstitusi

ini

sistemik

dari

Chlamydia. Selama stadium ini, organisme LGV dapat diisolasi dari

darah

dan

cairan

serebrospinal

pasien

baik

dengan

gejala

meningoencephalitis maupun tidak dan pada cairan serebrospinalyang


abnormal.
Manifestasi dari penyebaran sistemik yang lain yaitu: hepatitis,
pneumonitis, kemungkinan arthritis, eritema multiforme dan pernah
dilaporkan edema papil sedangkan pada wanita gejala nyeri pinggang
bawah lebih sering terjadi karena terkena kelenjar limfe Gerotha yang
diikuti dengan gejala proktitis dan periproktitis seperti nyeri abdomen,
nyeri saat defekasi dan diare.
Pada pemeriksaan klinis sindrom inguinal didapatkan keadaan sebagai
berikut :
Kelenjar inguinal membesar, nyeri dan teraba padat, kemudian
berkembang menjadi peradangan sekitar kelenjar atau perilimfadenitis.
Terjadi perlekatan antar kelenjar sehingga terbentuk paket, juga
perlekatan kelenjar dengan kulit di atasnya, kulit tampak merah
kebiruan (blue balls) yang menandakan akan terjadi tumor bubo, juga
panas dan nyeri.ini biasanya terjadi pada 1-2 minggu setelah bubo
mengalami fluktuasi. Perlunakan kelenjar yang tak serentak
ditandai dengan fluktuasi pada 75% kasus, dan terbentuk abses
multiple.
Abses pecah menjadi sinus atau fistel multiple pada 1/3 kasus,
sedangkan yang lain mengalami involusi secara perlahan dan
membentuk massa padat kenyal di daerah inguinal.
Beberapa bentuk spesifik dapat terjadi dapat terjadi seperti :
pembesaran kelenjar di atas dan di bawah ligamentum inguinal
Pouparti sehingga terbentuk celah disebut sign of groove (Greenblatts
sign). Pembesaran kelenjar femoralis, inguinalis superficial dan
profundus menyebabkan bentuk seperti tangga sehingga disebut ettage
bubo. Pada penyembuhan fistel akan terjadi akan terjadi jaringan parut
yang khas di daerah inguinal. Beberapa laporan kasus LGV mirip
limfoma leher pada pria homoseksual yang mempraktekkan felasio dan
laki-laki heteroseks yang melakukan kunilungus.

Banyak penelitian mengenai LGV pada wanita hanya 20-30 % terlihat


sebagai sindroma inguinal. Pada wanita kira-kira 1/3 kasus tanpa
proktitis, tetapi keluhan sakit pada perut bagian bawah dan pinggang
terutama waktu membungkuk, keluhan ini menandakan terkenanya
limfenod bagian dalam pelvis dan limfenod bagian lumbal, dan
mungkin dapat disalahartikan sebagi apendisitis akut atau abses tuba.
2. Stadium lanjut, dapat berupa :
a. Sindrom ano-rektal
Sindrom anorektal merupakan manifestasi lanjut LGV terutama pada
wanita, karena penyebaran lansung dari lesi primer di vagina ke
kelenjar limfe perirektal. Gejala awal adalah perdarahan anus yang
diikuti duh

anal yang purulen disertai febris, nyeri pada waktu

defekasi, sakit perut bawah, konstipasi dan diare. Selanjutnya bila tidak
diberi pengobatan akan terjadi proktokolitis berat yang gejalanya mirip
colitis ulserosa, dengan tanda-tanda fistel anal, abses perirektal dan
rektovaginal/rektovesikel. Gejala striktura rekti yang progresif sering
ditandai dengan secret dan perdarahan rektum, kolik dan obstipasi oleh
karena obstruksi total. Sindrom anorektal dapt terjad pada pria yang
homoseksual, yang melakukan sanggama secara genitoanal, mukosa
rektal dapat diinokulasi lansung oleh Chlamydia selama hubungan seks
secara anal atau melalui penyebaran limfatik dari uretra posterior.
b. Elefantiasis/Sindrom genital (esthiomene) Waktu terjadinya lesi primer
hingga sindrom inguinal 3-6 minggu, sedangkan dari bentuk dini
hingga bentuk lanjut yaitu selam satu tahun hingga beberapa tahun.
F. Cara Penularan
Penyakit seksual dapat menulari siapa saja yang memang telah aktif secara
seksual tanpa terkecuali. Baik pria maupun wanita dapat tertular penyakit
seksual apabila melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang telah
terjangkit penyakit seksual.
Ada banyak macam penyakit seksual, biasanya disebabkan oleh virus atau
bakteri. Mengetahui jenis dari penyakit-penyakit seksual mungkin dapat

menambah wawasan dan juga membuat anda semakin waspada akan


bahaya penyakit-penyakit tersebut.
Salah satu penyakit seksual menular adalah lymphogranuloma venereum
atau biasa disingkat dengan LGV. Penyakit seksual ini merupakan penyakit
langka yang jarang ditemukan. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri tipe
Chlamydia trachomatis. Seseorang yang mengalami penyakit ini biasanya
mengalami infeksi pada kelenjar di pangkal paha.
LGV, biasanya muncul apabila seseorang kerap melakukan seks anal.
Penderita penyakit ini kebanyakan berasal dari mereka yang homoseksual.
Selain terjadinya infeksi di kelenjar pangkal paha, salah satu gejala dari
terjangkitnya penyakit ini adalah terjadinya diare.
Penyakit ini biasanya petama-tama ditandai dengan munculnya bisul yang
tidak biasa pada organ vital. Jika didiamkan selama tiga sampai dengan
sepuluh hari, bisul ini akan berubah menjadi infeksi. Kemudian akan
terjadi penyebaran hingga sampai ke pangkal paha yang membuat bagian
tersebut berubah menjadi bengkak.

G.

Pemeriksaan Penunjang

1. Tes Frei
Merupakan metode diagnosis pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis
LGV (1930-1970). Tes ini berdasarkan pada imunitas seluler terhadap virus
LGV. Bahan diambil dari aspirasi bubo yang belum pecah atau antigen yang
dibuat dari hasil pembiakan dalam selaput kuning telur embrio ayam, nama
dagang lygnanum.
Cara kerja :
a. Caranya dengan menyuntikkan 0,1 ml antigen intradermal pada lengan
bawah dengan kontrol pada lengan lainnya
b. Reaksi dibaca setelah 48-72 jam, hasil positif bila tampak papul
eritematosa dikelilingi daerah infaltrat dengan diameter >6 mm dan
daerah control negative. 3. Hasil positif dalam waktu 2 sampai beberapa

minggu (bahkan sampai 6 bulan) setelah infeksi dan akan tetap positif
untuk jangka waktu lama bahkan seumur hidup. Reaksi ini merupakan
delayed intradermal yang spesifik terhadap golongan Chlamydia
sehingga

dapat member hasil positif semu pada penderita dengan

infeksi Chlamydia yang lain.


2. Tes Serologi
Tes serologi yang digunakan dalam pemeriksaan ini meliputi:
a. complement fixation tes (CFT)
CFT lebih sensitive dan dapat mendiagnosis lebih awal (positif), dan
antibodi bisa menetap selama bertahun-tahun. Pada pemeriksaan CFT
menggunakan antigen yang spesifik, yang merupakan tes yang lebih
sensitive. Terdapat reaksi silang dengan infeksi Chlamydia yang lain
dan antibodi dapat tetap positif dengan titer tinggi atau rendah sampai
beberapa tahun. Titer lebih atau sama dengan 1:64 menunjukkan adanya
infeksilimfogranuloma venereum yang aktif. Penurunan titer dapat
dipakai untuk menunjukkan keberhasilan terapi. Titer yang rendah
biasanya pada kasus-kasus in-aktif atau infeksi Chlamydia lainnya
b. radio isotop presipitation (RIP)
Pemeriksaan RIP digunakan oleh Philip et al untuk mendeteksi antibody
limfogranuloma venereum yang menggunakan antiglobulin untuk
persipitasi

antibody

Chlamydia

dan

kompleks

Chlamydia

meningopneumonitis radiolabeled yang tidak dapat dilihat dari proporsi


radioaktif yang dilepaska. Antigen spesifik trachoma limfogranuloma
venereum diekstrasi dari pertumbuhan Chlamydia dalam kultur jaringa.
Pemeriksaan ini lebih sensitive dari pemeriksaan micro-IF.
c. micro imunofluorescence (micro-IF) typing
Pemeriksaan micro-IF dianggap lebih sensitive dibandingkan tes fiksasi
komplemen. Tes ini dapat memperlihatkan tipe strain antigen yang
menyebabkan infeksi melalui pola reaktivitasnya. Pada LGV, serumfase
akut biasanya mengandung antibody micro-IF yang sangat tinggi. Pada
LGV dapat ditemukan titer antibody IgG yang sangat tinggi (>1 : 2000)

jauh melebihi titer urethritis non gonokokus yang disebabkan oleh


Chlamydia

3. Kultur Jaringan
Dilakukan dalam yolk sac embrio ayam atau dalam biakan sel dengan bahan
pemeriksaan dari aspirasi pus bubo yang belum pecah dapat member
konfirmasi diagnosis
4. Sitologi
Dipakai untuk menemukan badan inklusi Chlamydia yang khas dari koloni
virus, baik intraseluler maupun ekstraseluler. Specimen diambil dari
jaringan yang terinfeksi kemudian diwarnai dengan menggunakan metode
giemsa, iodine, dan antibodi fluoresen. Ssitologi tidak terlalu baik sebagai
metode untuk diagnosis pasti LGV karena spesimen sering kali
terkontaminasi dengan bakteri dan artefak lain.
5. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan untuk melihat asam nukleat spesifik Chlamydia trachomatis
pada kasus-kasus yang disebabkan organisme ini. Primer DNA yang
digunakan untuk mengetahui adanay sekuens DNA di dalam plasmid atau
membrane protein bagian luar Chlamydia trachomatis.
6. Biopsi-Histopatologi
Biopsy digunakan untuk menyingkirkan diagnose banding yang tersering
yaitu infeksi atipik dan neoplasia. Gambaran histopatologi berupa
hyperplasia folikuler dan abses dari kelenjar limfe yang tidak spesifik.
7. Tes GPR
Tes GPR ini berdasarkan peningkatan globulin dalam darah. Dilakukan
dengan memberiakn beberapa tetes (1-2 tetes) formalin 40% pada 2 cc
serum

penderita dan dibiarkan 24 jam. Hasil positif bila terjadi

penggumpalan (serum jadi beku). Tes ini tidak spesifik oleh karena dapat
positif pada penyakit lain.

H. Diagnosis
Diagnosis LGV

umumnya berdasarkan atas anamnesis adanya koitus

suspektus disertai gambaran klinis yang khas, dan hasil pemeriksaan


penunjang antara lain:
1. Tes Frei positif
2. Tes fiksasi komplemen atau tes serologi lain untuk LGV positif
3. Isolasi Chlamydia dari jaringan yang terinfeksi pada kultur jaringan
4. Pemeriksaan PCR untuk Chlamydia
5.Pemeriksaan histology ditemukan Chlamydia dalam jaringan yang
terinfeksi
G. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Penderita LGV akut dianjurkan untuk istirahat total dan diberikan terapi
untuk gejala sistemik yang timbul yaitu meliputi terapi berikut.
a. Rejimen yang direkomendasikan oleh National Guideline for the
management of Lymphogranuloma Venereum dan U.S Departement of
health and Human Services, Public Health Service Center for disease
control and Prevention adalah doksiklin yang merupakan pilihan
pertama pengobatan LGV dosis 2 X 100 mg/hari selama 14-21 hari
atau tetrasiklin 2 gr/ hari atau minosiklin 300 mg diikuti 200 mg
2X/hari. Sulfonamid: dosis 3-5 gr/hari selama 7 hari.
b. Eritromisin: pilihan kedua, dosis 4 X 500 mg/hari selama 21 hari,
terutama pada kasus-kasus alergi obat golongan tetrasiklin pada
wanita hamil dan menyusui.
c. Eritrhomycin ethylsuccinate 800 mg 4 X / hari selama 7 hari.
d. Kotrimoksasol (Trimetropin 400 mg dan sulfametoksasol 80 mg) 3 X
2 tablet selama 7 hari.
e. Ofloxacin 400 mg 2 X / hari selama 7 hari.
f. Levof loxacin 500 mg 4 X / hari selama 7 hari
g. Azithromycin 1 gr dosis tunggal
2. Pembedahan
Tindakan pembedahan dilakukan pada stadium lanjut di samping
pemberian antibiotika. Pada abses multipel yang berfluktuasi dilakukan

aspirasi berulang karena insisi dapat memperlambat penyembuhan.


Tindakan bedah antara lain vulvektomi lokal atau labiektomi pada
elefantiasis labia. Dilatasi dengan bougie pada struktur rekti atau
kolostomi bila terjadi obstruksi total, abses perianal dan perirektal. Proses
ini mempunyai risiko untuk terjadinya perforasi usus, harus dibatasi pada
yang lunak, struktur yang pendek tidak berada di bawah peritoneum, dan
jangan dilakukan striktur muda terlepas (licin) atau jika terjadi perdarahan.
Operasi plastik dilakukan untuk elefantiasis penis, skrotum dan
esthiomene. Tidak ada satu prosedurpun yan diberikan tanpa didahului
dengan pemberian antibiotik, bahkan antibiotika harus diberikan beberapa
bulan sebelum diputuskan untuk dilakukan tindakan bedah. Resolusi
spontan dari fibrosis LGV belum pernah tejadi, tetapi proses inflamasi dan
diameter striktur mungkin mengalami kemajuan yang dramatis dengan
pengobatan antibiotika.
H. Komplikasi
1. Dapat terjadi ruptur bubonuli sehingga terbentuk sinus dan fistel
2. Pada komplikasi jangka panjang dapat terjadi fibrosis dan jaringan parut
pada penis
3. Pada wanita dapat terjadi servitis, perimetritis, dan salpingitis
4. Pada komplikasi sistemik dapat menyebabkan infeksi pulmo, perikarditis,
arthritis, konjungtivitis dan meningitis
I. PENCEGAHAN
Cara yang paling baik untuk mencegah penularan penyakit ini adalah
abstinensia (tidak melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang
diketahui menderita penyakit ini).
Untuk mengurangi resiko tertular oleh penyakit ini, sebaiknya menjalani
perilaku seksual yang aman (tidak berganti-ganti pasangan seksual atau
menggunakan kondom).
J. Prognosis
Jika diobati secara dini, prognosisnya baik, tetapi jika terjadi komplikasi
lanjut dapat menyebabkan kematian. Reinfeksi dan relaps mungkin terjadi,
terutam pada pasien human immunodeficiency virus (HIV), pada pasien ini

dapat berkembang dengan multipel abses, sehingga memerlukan terai yang


lebih lama karena resolusinya terlambat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh Chlamydia trachomatis.
Gambaran klinis LGV secara umum dapat dibagi dalam 2 stadium, yaitu :
1. Stadium dini, yang terdiri atas : Lesi primer genital, Sindrom inguinal
2. Stadium lanjut, dapat berupa : Sindrom ano-rektal, Elefantiasis/Sindrom
genital (esthiomene)
LGV, jika diobati secara dini, prognosisnya baik, tetapi jika terjadi komplikasi
lanjut dapat menyebabkan kematian. Reinfeksi dan relaps mungkin terjadi,
terutam pada pasien human immunodeficiency virus (HIV), pada pasien ini
dapat berkembang dengan multipel abses, sehingga memerlukan terai yang
lebih lama karena resolusinya terlambat.

DAFTAR PUSTAKA

Centres for Disease Control and Prevention (CDC). Lymphogranuloma venereum


sexually transmitted disease treatment guideline, Public health Sevice, Atlanta,
U.S Departement of Health and Human Services. 1993:26-7
Daili Sf. Anatomi alat kelamin. Djuamda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd editions. Jakarta: Balai penerbit FK UI.1999. hal.
9-18.
Djamaluddin W, Mucthar Sv, Anwar AI. Limfogranuloma venereum: Amiruddin
MD, editor. Penyakit Menular Seksual. 1st edition. Yogyakarta: LkiS Pelangi
Aksara,Inc.2004.h.131-40.
Hutomo M, Barakbah J, Kasansengari U. Lymphogranuloma venereum, berkala
I.P. Kulit dan kelamin 1989;1(2):131-22.
Maibach HI, Steigleder GK. Penyakit Hubungan Seksual. Sadana K, editor. Atlas
Saku Penyakit Kulit. 1st edition. Jakarta: Binarupa Aksara.1995.p. 193-4
Sentono HK. Limfogranuloma venereum: Daili SF, Makes WIB, Zubier f,
Judanarso J, editors. Penyakit Menular seksual. 2nd edition. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2003.h.131-7.
Sudirman U. Lymphogranuloma venereum. In: Harahap M, Ed. Penyakit Menular
Seksual. Jakarta: PT Gramedia, 1984:131-45

Anda mungkin juga menyukai