Jain, S.
Patogenesis urtikaria kronik tidak diketahui dengan jelas dan tatalaksana penyakit ini
bersifat paliatif karena tidak dihubungkan dengan patomekanisme. Sentralitas sel mast
serta aktivasi dan degranulasi sel tersebut yang tidak tepat sebagai peristiwa
patofisiologis utama sudah diketahui dengan baik. Rangsangan pencetus dan
kompleksitas mekanisme efektor masih diperdebatkan. Sifat autoimun urtikaria kronik,
meskipun masih kontroversial, telah didokumentasikan dengan baik. Perubahan jumlah
dan perilaku basofil disertai dengan perubahan ekspresi dan fungsi molekul pensinyalan
dan juga aktivasi jalur ekstrinsik koagulasi yang menyimpang merupakan alternatif
hipotesis lainnya. Sel mast juga diduga terlibat dalam patogenesis melalui mekanisme
yang melampaui stimulasi reseptor IgE afinitas tinggi. Meningkatnya pengenalan
urtikaria kronik sebagai suatu penyakit inflamasi yang dimediasi sistem imun (immune
mediated inflammatory disorder) berkaitan dengan perubahan network sitokin –
kemokin akibat disregulasi imun yang disebabkan oleh terganggunya imunitas
nonspesifik muncul sebagai penjelasan patogenik lainnya. Berbagai patomekanisme
tersebut mungkin saling berkaitan, bukan merupakan suatu kaskade independen, bekerja
secara sinergis atau sekuensial untuk menghasilkan ekspresi klinis urtikaria kronik.
Pengetahuan mengenai kompleksitas patogenesis dapat memberikan dorongan untuk
mengembangkan immunomodulators dan tatalaksana biologis yang lebih aman, efektif,
dan targeted untuk urtikaria kronik berat dan refrakter.
1. Pendahuluan
Urtikaria kronik merupakan suatu penyakit yang menimbulkan distres dan
berdampak buruk terhadap kualitas hidup, namun patogenesis penyakit ini tidak
diketahui dengan jelas, dan oleh karena itu, terapi yang diberikan seringkali bersifat
paliatif dan outcome terapeutik menjadi kurang optimal. Hal ini membutuhkan
pemahaman mengenai patogenesis untuk memfasilitasi perkembangan terapi yang lebih
baik. Belakangan ini, tercatat beberapa langkah cepat dalam memahami patomekanisme
urtikaria kronik; namun, sebagian besar hipotesis berbasis bukti, yang konklusif dan
sulit dipatahkan telah diatasi dengan penjelasan alternatif otentik, logistik dan
meyakinkan.
Pengetahuan mengenai imunopatogenesis dan kompleksitas mekanisme efektor
pada urtikaria kronik telah ditingkatkan oleh penelitian imunohistologis yang dilakukan
pada biopsi sekuensial dari urtikaria dan terfokus pada imunofenotipe sel yang
menginfiltrasi dan sitokin yang dilepaskan, reseptor kemokin/kemokin, dan molekul
adhesi.
Peninggian kulit mendadak pada urtikaria (urticarial wheal) dikarakteristikkan
dengan edema dermis, vasodilatasi, dan infiltrat perivaskuler non – nekrotik yang
terutama terdiri dari sel mononuklear, limfosit CD4+, dengan berbagai jumlah monosit,
neutrofil, eosinofil, dan basofil. Neutrofilia dermal sangat jelas terlihat pada enam puluh
menit evolusi wheal dengan neutrofil yang merupakan komponen utama infiltrasi
seluler. Jumlah sel mast tidak mengalami perubahan dan serupa dengan jumlah sel mast
pada kulit yang tidak terlibat dan kulit kontrol. Profil sitokin dikarakteristikkan oleh
peningkatan interleukin-4 (IL-4), interleukin-5 (IL-5), dan interferon-gamma RNA
(IFN-gamma), menggambarkan adanya suatu campuran respon Th1/Th2. Kemokin
mengalami upregulation dan adanya bukti peningkatan ekspresi molekul adhesi. Kulit
yang tidak terlibat dikarakteristikkan dengan upregulation mediator larut dan molekul
adhesi, hampir serupa dengan kulit yang sakit, dan jumlah sel T yang secara signifikan
lebih tinggi, sementara akumulasi neutrofil merupakan suatu eksklusivitas pada kulit
yang meninggi (wheal) (Tabel 1 dan 2).
Tabel 1. Infiltrating cells : pola pada urticarial wheal, kulit sehat, dan kontrol sehat.
Jenis sel Urticarial wheal Kulit tidak terlibat Kontrol sehat
Sel mast Jumlah normal Jumlah normal Jumlah normal
Limfosit Peningkatan limfosit T Lebih banyak limfosit T Jumlah limfosit T
dibandingkan dengan yang rendah
lesi kulit
Neutrofil Infiltrat sel mayor pada Infiltrasi yang lebih Tidak signifikan
60 menit pembentukan sedikit dibandingkan
urticarial wheal dengan lesi kulit
Eosinofil Peningkatan jumlah Tidak signifikan Tidak signifikan
secara signifikan
Basofil Jumlah yang signifikan, Lebih sedikit, tetapi Tidak signifikan
terutama pada 30 menit dalam jumlah yang
pembentukan urticarial relevan
wheal
Tabel 2. Sitokin, kemokin, dan ekspresi molekul adhesi : urticarial wheals, kulit tidak
terlibat, dan subyek kontrol sehat.
Urticarial Kulit tidak terlibat Kontrol sehat
wheals
Sitokin
Interferon γ Ekspresi tinggi Ekspresi yang sangat rendah Tidak terekspresi
Interleukin-4 Ekspresi tinggi Ekspresi yang sangat rendah Tidak terekspresi
Interleukin-5 Ekspresi tinggi Ekspresi yang sangat rendah Tidak terekspresi
Interleukin-8 Ekspresi sedang Ekspresi sedang Tidak terekspresi
Kemokin
CXCR3/CCR3 Ekspresi serupa Ekspresi tinggi Ekspresi serupa
dengan kulit dengan lesi dan
kontrol kulit kontrol sehat.
Molekul adhesi
Molekul adhesi Ekspresi tinggi Ekspresi intens Ekspresi signifikan
seluler
Urtikaria kronik diinisiasi oleh aktivasi dan degranulasi sel mast dermis yang
tidak tepat. Kejadian patofisiologis utama ini sangat dominan pada onset urtikaria dan
kandungan sel yang dilepaskan mempersiapkan fase cepat inflamasi, yang berlanjut
menjadi interaksi kompleks berbagai mediator proinflamasi, sitokin, kemokin, reseptor
kemokin, dan molekul adhesi yang mengatur vasoaktivitas dan kinetik spesifik infiltrasi
sel, yang akhirnya berkembang menjadi reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh
limfosit dan granulosit, ditunjukkan sebagai urticarial wheal.
Sebaliknya, sel inflamasi yang datang melepaskan lebih banyak mediator
proinflamasi yang berfungsi untuk merekrut dan mengaktifkan jenis sel lain, sehingga
memperkuat dan memperluas respon pejamu. Upregulation molekul inflamasi, ekspresi
kemokin dan molekul adhesi yang hampir serupa, serta jumlah sel T yang lebih tinggi
pada kulit yang tidak terlibat mengindikasikan adanya aktivasi imunologis yang luas,
menggambarkan priming inflamasi kulit tingkat rendah dan aparatus respon imunologi,
menguatkan kembali hipotesis inflamasi kulit laten, minimal, dan persisten pada kulit
yang tidak terlibat. Hal ini menurunkan ambang batas reaktif sel mast untuk
mencetuskan rangsangan dan memfasilitasi suseptibilitas terhadap urtikaria selama
remisi klinis.
2. Autoimunitas dan Urtikaria Kronik
Sifat autoimun merupakan hipotesis yang paling diterima untuk menjelaskan
aktivasi dan degranulasi sel mast yang tidak tepat pada urtikaria. Toleransi sistem imun
dipertahankan oleh keseimbangan antara limfosit autoreaktif dan mekanisme regulatorik
yang melawan hal tersebut. Peningkatan jumlah dan/atau fungsi naturally occurring
autoreactive T-cells atau menghilangnya mekanisme regulator bermanifestasi sebagai
autoimunitas. Sel T regulatorik (T(REG)), terutama CD4(+) CD25(+) alami subset dari
T(REG), menyediakan komponen substansial dari penyeimbangan autoimun.
Identifikasi forkhead box P3 (FOX P3) sebagai suatu determinan penting dari
perkembangan dan fungsi sel CD4(+) CD25(+) T(REG) memberikan wawasan
mengenai keseimbangan antara mekanisme autoreaktif dan regulatorik pada penyakit
autoimun, termasuk urtikaria autoimun kronik. Uji fungsional dan analisis fenotip
menunjukkan bahwa T(REG) yang diisolasi dari pasien dengan autoimun
menggambarkan penurunan fungsi regulatorik dibandingkan dengan kontrol sehat.
Dapat disimpulkan bahwa penurunan persentase sel T regulator CD4(+) CD25(+) FOX
P3 (+) berkontribusi terhadap proses patogenik autoimun urtikaria kronik. Mekanisme
patogenik autoimun telah dikonseptualisasikan pada pengamatan berikut yang
memberikan bukti dan dorongan awal untuk penelitian klinis dan laboratorium lebih
lanjut yang menegaskan kembali konsep tersebut.
(i) Tingginya prevalensi autoantibodi tiroid pada urtikaria kronik.
(ii) Reaksi wheal and flare pada injeksi intradermal serum autolog pada sebuah
subpopulasi pasien (autologous serum skin test [ASST] positif) dan
reproduksibilitas transfer pasif serum pada subyek kontrol yang sehat dan
normal.
(iii) Identifikasi antibodi IgG selanjutnya diarahkan ke subunit alpha reseptor IgE,
mampu menginduksi hasil ASST positif serta pelepasan histamin dari basofil.
Insidensi antibodi tersebut sekitar 30% dan sebanyak 5-10% pasien memiliki
antibodi anti-IgE, bukan antibodi reseptor anti-IgE.
(iv) Asosiasi positif dengan HLA subtipe DRB∗04(DR4) dan DQB 1∗0302
(DQ8).
(v) Respon terapeutik terhadap plasmaferesis dan imunoglobulin intravena.
Bukti yang mendukung patomekanisme autoimun, meskipun cukup meyakinkan
secara persuasif, masih belum lengkap. Masalah tertentu, yang akan dijelaskan di bawah
ini, harus diatasi untuk penerimaan tegas dari hipotesis yang diajukan.
(i) Respon kulit terhadap injeksi intradermal serum autologi dapat disebabkan
oleh adanya faktor pelepasan histamin vasoaktif nonimunoglobulin. Selain
itu, reaktivitas terhadap serum autolog ditemukan pada subyek dengan
gangguan pernapasan akibat alergi dan kontrol sehat. Uji ASST menemukan
beberapa subset pasien yang menunjukkan autoreaktivitas, bukan
autoimunitas.
(ii) Model hewan coba, yang wajib untuk menetapkan status autoimun dari
penyakit, belum dikembangkan untuk urtikaria kronik.
(iii) Autoantibodi dari spesifisitas serupa telah terdeteksi in sera dari subyek sehat
dan mungkin disebabkan oleh repertoar alami. Autoantibodi alamiah tersebut
dapat menjadi patogenik pada keadaan tertentu dan kejadian ini bergantung
pada keadaan pengikaatan reseptor FceRI oleh ligan alamiah IgE. Urtikaria
disebabkan oleh perubahan pengikatan jaringan autoantibodi yang sudah ada
sebelumnya pada individu yang rentan, bukan suatu produksi de novo.
Dengan demikian, konsep autoimunitas kondisional telah berkembang dalam
urtikaria kronik.
(iv) Diduga bahwa autoantibodi anti-FceRI dan anti-IgE tidak benar – benar
bersifat patogenik, tetapi sekunder terhadap terjadinya urtikaria pada individu
dengan kecenderungan untuk mengalami autoimunitas.
3. Agonis Nonimunologi
Agonis nonimunologi, seperti substance P, endorfin, enkefalin, peptida endogen,
dan somatostatin dapat meningkatkan degranulasi dan pembebasan molekul
proinflamasi dari sel mast, terutama saat produk sistem imun yang teraktivasi
menurunkan ambang batas pelepasan sel mast.
Jalur ekstrinsik
koagulasi
Diterjemahkan dari :
Jain, S. Pathogenesis of Chronic Urticaria: An Overview. Dermatology Research and
Practice 2014;1-0.