Anda di halaman 1dari 14

PATOGENESIS URTIKARIA KRONIK : SEBUAH RINGKASAN

Jain, S.

Patogenesis urtikaria kronik tidak diketahui dengan jelas dan tatalaksana penyakit ini
bersifat paliatif karena tidak dihubungkan dengan patomekanisme. Sentralitas sel mast
serta aktivasi dan degranulasi sel tersebut yang tidak tepat sebagai peristiwa
patofisiologis utama sudah diketahui dengan baik. Rangsangan pencetus dan
kompleksitas mekanisme efektor masih diperdebatkan. Sifat autoimun urtikaria kronik,
meskipun masih kontroversial, telah didokumentasikan dengan baik. Perubahan jumlah
dan perilaku basofil disertai dengan perubahan ekspresi dan fungsi molekul pensinyalan
dan juga aktivasi jalur ekstrinsik koagulasi yang menyimpang merupakan alternatif
hipotesis lainnya. Sel mast juga diduga terlibat dalam patogenesis melalui mekanisme
yang melampaui stimulasi reseptor IgE afinitas tinggi. Meningkatnya pengenalan
urtikaria kronik sebagai suatu penyakit inflamasi yang dimediasi sistem imun (immune
mediated inflammatory disorder) berkaitan dengan perubahan network sitokin –
kemokin akibat disregulasi imun yang disebabkan oleh terganggunya imunitas
nonspesifik muncul sebagai penjelasan patogenik lainnya. Berbagai patomekanisme
tersebut mungkin saling berkaitan, bukan merupakan suatu kaskade independen, bekerja
secara sinergis atau sekuensial untuk menghasilkan ekspresi klinis urtikaria kronik.
Pengetahuan mengenai kompleksitas patogenesis dapat memberikan dorongan untuk
mengembangkan immunomodulators dan tatalaksana biologis yang lebih aman, efektif,
dan targeted untuk urtikaria kronik berat dan refrakter.

1. Pendahuluan
Urtikaria kronik merupakan suatu penyakit yang menimbulkan distres dan
berdampak buruk terhadap kualitas hidup, namun patogenesis penyakit ini tidak
diketahui dengan jelas, dan oleh karena itu, terapi yang diberikan seringkali bersifat
paliatif dan outcome terapeutik menjadi kurang optimal. Hal ini membutuhkan
pemahaman mengenai patogenesis untuk memfasilitasi perkembangan terapi yang lebih
baik. Belakangan ini, tercatat beberapa langkah cepat dalam memahami patomekanisme
urtikaria kronik; namun, sebagian besar hipotesis berbasis bukti, yang konklusif dan
sulit dipatahkan telah diatasi dengan penjelasan alternatif otentik, logistik dan
meyakinkan.
Pengetahuan mengenai imunopatogenesis dan kompleksitas mekanisme efektor
pada urtikaria kronik telah ditingkatkan oleh penelitian imunohistologis yang dilakukan
pada biopsi sekuensial dari urtikaria dan terfokus pada imunofenotipe sel yang
menginfiltrasi dan sitokin yang dilepaskan, reseptor kemokin/kemokin, dan molekul
adhesi.
Peninggian kulit mendadak pada urtikaria (urticarial wheal) dikarakteristikkan
dengan edema dermis, vasodilatasi, dan infiltrat perivaskuler non – nekrotik yang
terutama terdiri dari sel mononuklear, limfosit CD4+, dengan berbagai jumlah monosit,
neutrofil, eosinofil, dan basofil. Neutrofilia dermal sangat jelas terlihat pada enam puluh
menit evolusi wheal dengan neutrofil yang merupakan komponen utama infiltrasi
seluler. Jumlah sel mast tidak mengalami perubahan dan serupa dengan jumlah sel mast
pada kulit yang tidak terlibat dan kulit kontrol. Profil sitokin dikarakteristikkan oleh
peningkatan interleukin-4 (IL-4), interleukin-5 (IL-5), dan interferon-gamma RNA
(IFN-gamma), menggambarkan adanya suatu campuran respon Th1/Th2. Kemokin
mengalami upregulation dan adanya bukti peningkatan ekspresi molekul adhesi. Kulit
yang tidak terlibat dikarakteristikkan dengan upregulation mediator larut dan molekul
adhesi, hampir serupa dengan kulit yang sakit, dan jumlah sel T yang secara signifikan
lebih tinggi, sementara akumulasi neutrofil merupakan suatu eksklusivitas pada kulit
yang meninggi (wheal) (Tabel 1 dan 2).

Tabel 1. Infiltrating cells : pola pada urticarial wheal, kulit sehat, dan kontrol sehat.
Jenis sel Urticarial wheal Kulit tidak terlibat Kontrol sehat
Sel mast Jumlah normal Jumlah normal Jumlah normal
Limfosit Peningkatan limfosit T Lebih banyak limfosit T Jumlah limfosit T
dibandingkan dengan yang rendah
lesi kulit
Neutrofil Infiltrat sel mayor pada Infiltrasi yang lebih Tidak signifikan
60 menit pembentukan sedikit dibandingkan
urticarial wheal dengan lesi kulit
Eosinofil Peningkatan jumlah Tidak signifikan Tidak signifikan
secara signifikan
Basofil Jumlah yang signifikan, Lebih sedikit, tetapi Tidak signifikan
terutama pada 30 menit dalam jumlah yang
pembentukan urticarial relevan
wheal
Tabel 2. Sitokin, kemokin, dan ekspresi molekul adhesi : urticarial wheals, kulit tidak
terlibat, dan subyek kontrol sehat.
Urticarial Kulit tidak terlibat Kontrol sehat
wheals
Sitokin
Interferon γ Ekspresi tinggi Ekspresi yang sangat rendah Tidak terekspresi
Interleukin-4 Ekspresi tinggi Ekspresi yang sangat rendah Tidak terekspresi
Interleukin-5 Ekspresi tinggi Ekspresi yang sangat rendah Tidak terekspresi
Interleukin-8 Ekspresi sedang Ekspresi sedang Tidak terekspresi
Kemokin
CXCR3/CCR3 Ekspresi serupa Ekspresi tinggi Ekspresi serupa
dengan kulit dengan lesi dan
kontrol kulit kontrol sehat.
Molekul adhesi
Molekul adhesi Ekspresi tinggi Ekspresi intens Ekspresi signifikan
seluler

Urtikaria kronik diinisiasi oleh aktivasi dan degranulasi sel mast dermis yang
tidak tepat. Kejadian patofisiologis utama ini sangat dominan pada onset urtikaria dan
kandungan sel yang dilepaskan mempersiapkan fase cepat inflamasi, yang berlanjut
menjadi interaksi kompleks berbagai mediator proinflamasi, sitokin, kemokin, reseptor
kemokin, dan molekul adhesi yang mengatur vasoaktivitas dan kinetik spesifik infiltrasi
sel, yang akhirnya berkembang menjadi reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh
limfosit dan granulosit, ditunjukkan sebagai urticarial wheal.
Sebaliknya, sel inflamasi yang datang melepaskan lebih banyak mediator
proinflamasi yang berfungsi untuk merekrut dan mengaktifkan jenis sel lain, sehingga
memperkuat dan memperluas respon pejamu. Upregulation molekul inflamasi, ekspresi
kemokin dan molekul adhesi yang hampir serupa, serta jumlah sel T yang lebih tinggi
pada kulit yang tidak terlibat mengindikasikan adanya aktivasi imunologis yang luas,
menggambarkan priming inflamasi kulit tingkat rendah dan aparatus respon imunologi,
menguatkan kembali hipotesis inflamasi kulit laten, minimal, dan persisten pada kulit
yang tidak terlibat. Hal ini menurunkan ambang batas reaktif sel mast untuk
mencetuskan rangsangan dan memfasilitasi suseptibilitas terhadap urtikaria selama
remisi klinis.
2. Autoimunitas dan Urtikaria Kronik
Sifat autoimun merupakan hipotesis yang paling diterima untuk menjelaskan
aktivasi dan degranulasi sel mast yang tidak tepat pada urtikaria. Toleransi sistem imun
dipertahankan oleh keseimbangan antara limfosit autoreaktif dan mekanisme regulatorik
yang melawan hal tersebut. Peningkatan jumlah dan/atau fungsi naturally occurring
autoreactive T-cells atau menghilangnya mekanisme regulator bermanifestasi sebagai
autoimunitas. Sel T regulatorik (T(REG)), terutama CD4(+) CD25(+) alami subset dari
T(REG), menyediakan komponen substansial dari penyeimbangan autoimun.
Identifikasi forkhead box P3 (FOX P3) sebagai suatu determinan penting dari
perkembangan dan fungsi sel CD4(+) CD25(+) T(REG) memberikan wawasan
mengenai keseimbangan antara mekanisme autoreaktif dan regulatorik pada penyakit
autoimun, termasuk urtikaria autoimun kronik. Uji fungsional dan analisis fenotip
menunjukkan bahwa T(REG) yang diisolasi dari pasien dengan autoimun
menggambarkan penurunan fungsi regulatorik dibandingkan dengan kontrol sehat.
Dapat disimpulkan bahwa penurunan persentase sel T regulator CD4(+) CD25(+) FOX
P3 (+) berkontribusi terhadap proses patogenik autoimun urtikaria kronik. Mekanisme
patogenik autoimun telah dikonseptualisasikan pada pengamatan berikut yang
memberikan bukti dan dorongan awal untuk penelitian klinis dan laboratorium lebih
lanjut yang menegaskan kembali konsep tersebut.
(i) Tingginya prevalensi autoantibodi tiroid pada urtikaria kronik.
(ii) Reaksi wheal and flare pada injeksi intradermal serum autolog pada sebuah
subpopulasi pasien (autologous serum skin test [ASST] positif) dan
reproduksibilitas transfer pasif serum pada subyek kontrol yang sehat dan
normal.
(iii) Identifikasi antibodi IgG selanjutnya diarahkan ke subunit alpha reseptor IgE,
mampu menginduksi hasil ASST positif serta pelepasan histamin dari basofil.
Insidensi antibodi tersebut sekitar 30% dan sebanyak 5-10% pasien memiliki
antibodi anti-IgE, bukan antibodi reseptor anti-IgE.
(iv) Asosiasi positif dengan HLA subtipe DRB∗04(DR4) dan DQB 1∗0302
(DQ8).
(v) Respon terapeutik terhadap plasmaferesis dan imunoglobulin intravena.
Bukti yang mendukung patomekanisme autoimun, meskipun cukup meyakinkan
secara persuasif, masih belum lengkap. Masalah tertentu, yang akan dijelaskan di bawah
ini, harus diatasi untuk penerimaan tegas dari hipotesis yang diajukan.
(i) Respon kulit terhadap injeksi intradermal serum autologi dapat disebabkan
oleh adanya faktor pelepasan histamin vasoaktif nonimunoglobulin. Selain
itu, reaktivitas terhadap serum autolog ditemukan pada subyek dengan
gangguan pernapasan akibat alergi dan kontrol sehat. Uji ASST menemukan
beberapa subset pasien yang menunjukkan autoreaktivitas, bukan
autoimunitas.
(ii) Model hewan coba, yang wajib untuk menetapkan status autoimun dari
penyakit, belum dikembangkan untuk urtikaria kronik.
(iii) Autoantibodi dari spesifisitas serupa telah terdeteksi in sera dari subyek sehat
dan mungkin disebabkan oleh repertoar alami. Autoantibodi alamiah tersebut
dapat menjadi patogenik pada keadaan tertentu dan kejadian ini bergantung
pada keadaan pengikaatan reseptor FceRI oleh ligan alamiah IgE. Urtikaria
disebabkan oleh perubahan pengikatan jaringan autoantibodi yang sudah ada
sebelumnya pada individu yang rentan, bukan suatu produksi de novo.
Dengan demikian, konsep autoimunitas kondisional telah berkembang dalam
urtikaria kronik.
(iv) Diduga bahwa autoantibodi anti-FceRI dan anti-IgE tidak benar – benar
bersifat patogenik, tetapi sekunder terhadap terjadinya urtikaria pada individu
dengan kecenderungan untuk mengalami autoimunitas.

Jalur kompleks yang terlibat dalam mencetuskan, mempertahankan, dan


mengendalikan pembentukan autoantibodi terhadap FceRI dan/atau IgE belum dapat
dijelaskan. Autoantibodi yang relevan dengan urtikaria kronik merupakan bagian dari
subtipe complement fixing IgG1 dan IgG3. Kebocoran vaskular autoantibodi tersebut
akibat kejadian lokal mempermudah pengikatan autoantibodi tersebut dengan FceRI
atau IgE, cross-linking reseptor, dan aktivasi komplemen yang membentuk C5a. C5a
berinteraksi dengan reseptor untuk anafilatoksin komplemen (reseptor C5a) yang
terlokalisir pada permukaan sel mast MCTC, subtipe yang dominan pada kulit, dan
berperan serta dalam aktivasi sel mast. Hal ini mencetuskan serangkaian kejadian
intraseluler dan paling awal pada transduksi sinyal yang melibatkan fosforilasi tirosin
pada rantai beta dan gamma FveRI pada immunoreceptor tyrosine activationmotifs
(ITAM). ITAM berkaitan dengan Src-family protein tyrosine kinases (PTK), seperti
Lyn dan Syk, yang menginisiasi aktivasi jalur downstream efektor dan pelepasan granul
yang telah terbentuk yang mengandung histamin, heparin, triptase, dan tumour necrosis
factor-alpha (TNF-α), serta sintesis sitokin/kemokin proinflamasi lainnya dan
eikosanoid. Downregulation transduksi sinyal dan pelepasan mediator diatur oleh signal
regulatory proteins (SIRP) yang mengandung immunotyrosine inhibition motifs
(ITIMS) yang bekerja dengan merekrut SH-2 bearing tyrosine phosphatases (SHIP 1
dan 2), menyebabkan defosforilasi ITAM pada unit beta dan gamma FceRI.
Autoantibodi tehadap rantai alfa FceRI dan/atau IgE terdeteksi hanya pada 35-
40% dan 5-10% pasien. Selain itu, deteksi autoantibodi dalam serum tidak dapat
memastikan fungsionalitasnya dan mungkin tidak selalu terlibat dalam induksi
pelepasan histamin dari sel mast/basofil. Permeabilizing factors lainnya mungkin
terlibat dalam kebocoran vaskular yang dimediasi serum.

3. Agonis Nonimunologi
Agonis nonimunologi, seperti substance P, endorfin, enkefalin, peptida endogen,
dan somatostatin dapat meningkatkan degranulasi dan pembebasan molekul
proinflamasi dari sel mast, terutama saat produk sistem imun yang teraktivasi
menurunkan ambang batas pelepasan sel mast.

4. Abnormalitas Seluler : Basofil


Abnormalitas utama pada beberapa pasien dengan urtikaria kronik mungkin
bersifat seluler/subseluler, bukan mekanisme autoimun yang dimediasi oleh sistem
imun.
Terdapat peningkatan bukti perubahan jumlah, struktur, fungsi, dan defek
trafficking pada basofil. Basopenia telah didokumentasikan dan jumlah basofil
berbanding terbalik dengan tingkat keparahan urtikaria. Bukti lain, yang mungkin lebih
meyakinkan, adalah penekanan paradoks pelepasan histamin dari basofil yang induksi
oleh antibodi anti-FceRI/anti-IgE dan dimediasi oleh FceRI saat fase aktif penyakit. Hal
yang lebih menarik adalah bahwa basofil tersebut mempertahankan respon normal
terhadap monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1) dan bradikinin dan hiperresponsif
terhadap serum. Diduga bahwa basofil pada urtikaria autoimun kronik mengalami
desensitisasi in vivo terhadap aktivasi yang diinduksi oleh FceRI. Namun, desensitiasi
reseptor IgE yang dimediasi oleh autoantibodi tampaknya tidak mungkin terjadi, karena
respon serupa dijumpai pada basofil pasien dengan kekurangan antibodi autoimun.
Gambaran yang lebih kompleks timbul dari pengetahuan mengenai ekspresi
molekul yang mengalami disregulasi yang penting terhadap propagasi sinyal atau
inhibisi molekul tersebut setelah aktivasi reseptor IgE. Spleen tyrosine kinase (Syk)
merupakan regulator positif pensinyalan melalui FceRI dan kadar Syk merupakan
determinan utama pelepasan histamin (histamine release [HR]) basofil dalam basofil
normal. Src homology 2 (SH2) yang mengandung inositol phosphatases, SHIP-1 dan
SHIP-2, merupakan regulator negatif propagasi sinyal. Pada urtikaria kronik, terdapat
pergeseran dalam paradigma pengaturan pelepasan histamin yang didominasi oleh Syk
dan berbeda dengan basofil normal, perubahan kadar SHIP-1 dan SHIP-2 berkorelasi
dengan pola pelepasan histamin yang distimulasi oleh anti-IgE.
Selain temuan tersebut, berdasarkan profil aktivasi ex vivo basofil oleh
konsentrasi optimal anti-IgE poliklonal, telah dipastikan bahwa fenotipe degranulasi
basofil berbeda ditemukan pada urtikaria kronik dan stratifikasi bimodal basofil telah
ditemukan. Lima puluh persen subyek dengan urtikaria kronik mengalami penurunan
pelepasan histamin basofil yang signifikan dengan stimulasi anti-IgE. Hal ini
disebabkan oleh peningkatan kadar SHIP-2 dan subyek tersebut merupakan designated
anti-IgE nonresponders (CIU-NR). Subyek lain memiliki basofil yang melepaskan
kandungan histamin >10% setelah stimulasi anti-IgE dan disebut sebagai responder
anti-IgE (CIU-R) dan kadar SHIP-1 pada basofil tersebut mengalami penurunan.
Pola fenotipe fungsional basofil tersebut (CIU-R dan CIU-NR) tampaknya tidak
bergantung pada kehadiran dan/atau kadar autoantibodi dan tetap stabil pada subyek
dengan penyakit persisten. Fitur yang menonjol dari fenotipe basofil pada urtikaria
kronik dirangkum dalam Tabel 3.
Kadar dan/atau ekspresi protein regulatorik bersifat fungsional dan mengalami
normalisasi saat remisi. Pergeseran fungsi basofil tersebut tidak bergantung pada status
autoimun urtikaria dan ditemukan pada pasien dengan autoimunitas tanpa penurunan
paralel pada titer antibodi. Profil protein sinyal pada basofil tersebut bersama dengan
stratifikasinya ke dalam berbagai fenotipe telah ditegaskan kembali bahwa fungsi
basofil yang abnormal dapat menjadi faktor utama dalam patogenesis penyakit ini.

5. Sel Mast dan Urtikaria Kronik


Perang langsung sel mast dalam urtikaria kronik masih diperdebatkan (Tabel 4).
Activating factors berasal dari infiltrat sel inflamasi yang mengelilingi venula
postkapiler dermis merangsang sel mast untuk mensekresikan molekul vasoaktif yang
mengaktivasi sel endotel. Ekspresi molekul adhesi mengalami upregulation dan
peningkatan vasopermeabilitas meningkatkan kebocoran cairan dan protein
ekstravaskuler, menyebabkan pembentukan urticarial wheals.

Tabel 3. Fenotipe basofil : profil pada urtikaria kronik.


Fitur Urtikaria kronik (autoimun/nonautoimun)
CIU – R CIU – NR
(1)Stimulasi anti-IgE / >10% kandungan seluler <10% kandungan seluler
cross-linking pada
fase aktif
(2)Protein regulatorik Paradigma pergeseran Paradigma pergeseran
(a) Kinase HR tidak ditentukan oleh HR tidak ditentukan oleh
kadar kinase kadar kinase
Kadar Syk normal Kadar Syk normal
(b) Fosfatase Mengatur HR, menurunkan Mengatur HR, menurunkan
kadar SHIP-1 kadar SHIP-2
(3)Sensitivitas terhadap Peningkatan sensitivitas Sensitivitas dikembalikan ke
stimulasi anti-IgE saat kadar normal seperti subyek
remisi sehat
HR : pelepasan histamin; CIU-R: chronic idiopathic urticaria—responders; CIU-NR:
chronic idiopathic urticaria—nonresponders; Syk: serum tyrosine kinase; SHIP-1: Src
homology 2 (SH2) mengandung inositol phosphatase 1; SHIP-2: Src homology 2 (SH2)
mengandung inositol phosphatase 2.

Dalam sebuah penelitian in vitro yang dilakukan untuk mengevalusi aktivitas


permeabilizing serum pasien urtikaria kronik, pola degranulasi sel mast dan peningkatan
permeabilitas endotel monolayer serupa ditemukan setelah pajanan dua jenis sel mast
yang berbeda (LAD-2 dan HMC-1) terhadap serum pasien urtikaria kronik.
Peningakatan respon serum pasien dengan urtikaria kronik tetap tidak mengalami
perubahan setelah deplesi IgG, memastikan kembali ketidaktergantungan terhadap
aktivasi reseptor IgE sel mast. Disimpulkan bahwa molekul vasoaktif dapat dilepaskan
dari sel mast tanpa degranulasi.
Berbagai reseptor membran mungkin diekspresikan pada sel mast dicetuskan
secara selektif oleh beberapa ligan seperti IgG, peptida, derivat mikroba, dan fragmen
komplem teraktivasi serta sel mast yang distimulasi oleh sinyal pengaktivasi untuk
mensintesis bahan vasoaktif seperti metabolit lipid, sitokin, dan kemokin. Faktor
permeabilisasi yang baru terbentuk antara lain adalah tumour necrosis factor-alpha
(TNF-alpha), interleukin-6 (IL-6), vascular endothelial growth factor (VEGF), dan
platelet activating factor (PAF). Faktor tersebut disekresi dari sel mast, tidak
bergantung pada pelepasan mediator sebelumnya yang disimpan dalam granul, seperti
histamin, serotonin, protease, dan proteoglikan. Permeabilizing factors memfasilitasi
pembentukan urticarial wheals. Temuan ini memberikan penjelasan untuk kurangnya
korelasi antara deteksi autoandibodi dan degranulasi sel mast, kualitas dan kuantitas
faktor vasoaktif yang dilepaskan, peningkatan vasopermeabilitas, tingkat keparahan
urtikaria, refrakteritas urtikaria berat untuk menstandariasi tatalaksana lini pertama
dengan antihistamin, dan respon terapeutik terhadap agen imunosupresif.

6. Urtikaria Kronik : Penyakit Inflamasi yang dimediasi Sistem Imun


Konsep urtikaria kronik berupa penyakit inflamasi yang dimediasi oleh sistem
imum berkembang dari penemuan observasional bahwa rekomendasi terapi biologis
targeted immunomodulator, ditujukan pada sitokin/reseptor sel tertentu, diberikan untuk
beberapa penyakit inflamasi lain yang terjadi bersamaan dengan urtikaria kronik yang
mengalami perbaikan. Hal ini menunjukkan bahwa kaskade inflamasi pada urtikaria
kronik dapat dicetuskan oleh perubahan jaringan kemokin – sitokin dan disebabkan oleh
disregulasi imun akibat gangguan imunitas nonspesifik pada penyakit tersebut.
Penelitian tentang peristiwa awal dari imunitas nonspesifik melalui penelitian sel
dendrit yang menghubungkan sistem imun adaptif dan alamiah telah memberikan
wawasan terhadap respon imun yang mengalami disregulasi pada urtikaria kronik.
Plasmacytoid dendritic cells (pDC) mengekspresikan toll-like receptors (TLR) yang
diaktivasi oleh ligan alamiah dan sintetik, mencetuskan respon proinflamasi yang
berperan penting dalam patogenesis beberapa penyakit inflamasi, termasuk urtikaria.
Dengan demikian, sebuah penelitian tentang peristiwa awal respon imun, melalui
aktivasi pDC oleh TLR sensing, dilakukan untuk menilai disregulasi imun pada urtikaria
kronik.
Plasmacytoid dendritic cells sangat jarang tersebar di antara infiltrat seluler pada
lesi kulit dan persentasenya dalam sel mononuklear darah perifer tidak mengalami
perubahan dan serupa dengan kontrol sehat. Derajat normal aktivasi pDC oleh ekspresi
molekul kostimulatorik dan ditemukan peningkatan konstitutif fosforilasi STAT1 pada
limfosit nonstimulated. Namun, sekresi IFN-α oleh pDC saat stimulasi oleh CpGA
mengalami gangguan dan berhubungan dengan perubahan IRF-7 dan downregulation
ekspresi TLR9, mengindikasikan suatu gangguan fungsional pDC, dan mendukung
adanya disregulasi imun pada urtikaria kronik.
Beberapa hipotesis yang telah diajukan untuk menjelaskan downregulation TLR9
pada pDC setelah stimulasi CpGA. Diduga bahwa autoantibodi IgE atau anti-FceRI
crosslink FceRI pada pDC imatur, mengganggu fungsi imun dengan menekan produksi
IFN-α. Selain itu, reseptor regulatorik seperti BDCA-2, ILT-7, dan NKp44
menyebabkan downmodulate produksi IFN. Selain itu, juga terdapat kemungkinan
bahwa histamin dilepaskan ke dalam sirkulasi dari sel mast/basofil yang mengalami
degranulasi dapat mengatur beberapa jenis sel melalui stimulasi reseptor histamin dan
pDC yang diaktivasi oleh respon CpG ke histamin melalui reseptor H2 dengan
downregulation produksi IFN – α.
Respon imun alamiah disfungsional pada urtikaria kronik terjadi akibat gangguan
fungsional pDC terhadap aktivasi TLR9 mengganggu produksi sitokin oleh sel T,
terutama IL-17A dan IL-10. Selain itu, ditemukan peningkatan kadar serum IL-1, IL-4,
IL-13, IL-18, tumour necrosis factor-alpha (TNF-α), B-cell activating factor (BAFF),
dan faktor – faktor terkait proses inflamasi seperti neopterin dan C-reactive protein.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa terdapat proses inflamasi yang sedang terjadi,
membentuk suatu lingkungan proinflamasi pada urtikaria kronik yang sebaliknya
bertanggungjawab untuk perubahan pola sekresi kemokin.
Kadar kemokin serum yang secara signifikan lebih tinggi (C-C dan C-X-C),
seperti CXCL8, CXCL9, CXCL10, dan CCL2 telah ditemukan pada urtikaria kronik
dan tidak berhubungan dengan parameter klinis penyakit atau outcome pelepasan
histamin basofil dan/atau uji ASST. Sitokin kemotaktik proinflamasi berinteraksi
dengan reseptor kemokin pada permukaan sel inflamasi untuk mencetuskan kemotaksis
dan migrasi transendotel leukosit ke lokasi inflamasi.
CXCL8/IL-8 merupakan kemotaktik neutrofil, limfosit T, dan monosit.
CXCL9/Mig, suatu monokin yang diinduksi oleh interferon- (IFN-) gamma
induced protein 1 (IP-10), merupakan kemokin C-X-C tipe 1 dan menunjukkan
kemoatraksi yang kuat untuk limfosit T-helper tipe 1 (Th1).
C-C ligand 2 (CCL2) (monocyte chemoattractant protein 1), prototipe kemokin
C-C, disekresikan terutama oleh monosit, seperti yang dibuktikan oleh peningkatan
ekspresi mRNA pada sel CD14+ pada urtikaria kronik. CCL2 mengaktivasi sejumlah sel
seperti monosit, makrofag, limfosit, eosinofil, dan basofil dan merupakan faktor penting
untuk perkembangan respon Th2.
Upregulation kemokin pada urtikaria kronik berkontribusi terhadap maintenance
status subset sel inflamasi yang teraktivasi. Basofil pada urtikaria kronik menunjukkan
upregulation aktivasi/degranulasi marker, CD203c dan CD63, dan tingginya
responsivitas terhadap stimulasi interleukin-3 (IL-3). Diduga bahwa profil basofil
teraktivasi tersebut dicetuskan oleh in vivo priming dengan faktor aktivasi basofil poten
seperti CCL2.
CCL2 menginduksi degranulasi sel mast dan memiliki aktivitas pelepasan
histamin basofil yang poten. Selain itu, telah didokumentasikan bahwa pembentukan
kemokin dalam sirkulasi, yaitu CCL2, CCL5, dan CXCL8 berperan penting ddalam
aktivasi sel mast serta pembentukan histamin dan serotonin. Dapat disimpulkan bahwa
disregulasi imunologis akibat gangguan respons imun alamiah mengubah jaringan
sitokin-kemokin yang memicu status inflamasi, berkontribusi terhadap patogenesis
urtikaria kronik.

7. Urtikaria Kronik dan Sistem Koagulasi


Telah diketahui bahwa plasma autolog, yang mengalami antikoagulasi dengan zat
selain heparin, membentuk respon autoreaktif positif dalam persentase yang lebih tinggi
pada pasien, dibandingkan dengan autologous serum skin test (ASST). Karena serum
dan plasma tidak mengalami perubahan kandungan autoantibodi, teuan ini menunjukkan
adanya peran faktor pembekuan dalam reaksi wheal-and-flare. Diduga bahwa plasma
mengandung faktor koagulasi dan komplemen yang lebih besar, sedangkan konsumsi
faktor tersebut dalam serum selama pembentukan bekuan bertanggung jawab untuk
perbedaan reaktivitas plasma dan serum autolog. Oleh karena itu disimpulkan bahwa
kaskade pembekuan dapat terlibat dalam patogenesi urtikaria dan hal ini dapat
menjelaskan efek terapeutik yang ditemukan pada beberapa pasien yang mengonsumsi
obat – obatan yang aktif dalam sistem koagulasi.
Jalur ekstrinsik koagulasi teraktivasi dan trombin dihasilkan dari protrombin oleh
faktor X, dengan kehadiran faktor V terakivasi dan ion kalsium. Penelitian in vitro
membuktikan bahwa plasma pasien dengan urtikaria memiliki kadar protrombin
fragmen F1+2 yang lebih tinggi secara signifikan, suatu polipeptida 34 kDa yang
dilepaskan ke sirkulasi saat aktivasi protrombin menjadi trombin oleh faktor X, dan
eksaserbasi berat urtikaria yang berkaitan dengan aktivasi kuat kaskade koagulasi yang
menyebabkan pembentukan fibrin dan fibrinolisis, ditunjukkan oleh peningkatan kadar
D-dimer plasma.
Trombin merupakan protease serine yang meningkatkan permeabilitas vaskuler,
mengaktivasi dan menyebabkan degranulasi sel mast, dan menginduksi pembentukan
anafilatoksin C5a. Oleh karena itu, aktivasi jalur ekstrinsik koagulasi diajukan sebagai
penjelasan lainnya.
Berbagai jalur patomekanisme, yaitu autoimun seroimunologis, inflamasi, defek
seluler, sistem koagulatif dan komplemen, mungkin saling berhubungan, bukan
merupakan suatu kaskade terpisah dan terdapat perdebatan antar jalur tersebut dengan
aktivasi regulasi timbal balik. Jalur tersebut bekerja secara sinergis atau sekuensial
sebagai patomekanisme independen atau saling berhubungan untuk mengaktivasi sel
mast dengan pelepasan mediator dan/atau sekresi molekul vasoaktif yang baru disintesis
untuk membentuk gambaran klinis akhir urtikaria (Gambar 1). Berbagai mediator sel
mast, yang telah terbentuk dan baru disintesis, relevan dengan urtikaria kronik,
dirangkum dalam Tabel 4.
Histamin merupakan mediator vasoaktif utama dan kombinasi reseptor respon
histamin – 1 dan 2 dibutuhkan untuk ekspresi lengkap vasoaktivitas histamin, seperti
vasodilatasi segera, perubahan vasopermeabilitas, ekstravasasi plasma, dan stimulasi
saraf sensorik kulit. Peran patogenesis wheal kurang diketahui dan diduga bahwa
mediator mast cell nonhistamin mengatur rekrutmen sel. Leukotrien, sitokin, dan
kemokin menimbulkan upregulation ekspresi molekul adhesi pada sel endotel,
meningkatkan rolling dan adhesi leukosit, diikuti oleh kemotaksis dan migrasi
transendotel serta influks seluler ke kulit yang mengalami peninggian (whealing skin).
Sel yang menginfiltrasi tersebut menyebabkan pelepasan sitokin dan kemokin
proinflamasi yang berfungsi untuk merekrut dan mengaktivasi lebih banyak sel
inflamasi, sehingga mempertahankan, memperkuat, dan memperluas respon pejamu.
Sinyal untuk resolusi urtikaria juga tidak dikarakteristikkan dengan baik. Hal ini
melibatkan downregulation reseptor histamin, rekonstitusi integritas lapisan sel endotel,
apoptosis sel inflamasi, klirens debris seluler oleh makrofag, dan drainase cairan edema
ke sirkulasi vaskular.

Tabel 4. Mediator sel mast : relevan dengan urtikaria kronik.


Mediator Efek pada urtikaria kronik
Preformed mediator
Histamin Efek vasoaktif poten langsung dan spasmogenik otot polos
Mediator utama perubahan vaskuler.
Mediator yang baru
disintesis
Mediator lipid
LTC4 Kerja serupa dengan histamin
LTB4 Mencetuskan vasodilatasi, permeabilitas vaskuler, dan
kontraksi otot polos
PGD2 Kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil
Sitokin dan kemokin
TNF-α Baru disintesis dan telah terbentuk
Upregulates ekspresi molekul adhesi pada sel endotel
Meningkatkan rolling dan adhesi leukosit
Kemotaktik untuk neutrofil
Sitokin proinflamasi
Interleukin-1 Aktivator limfosit
Mengaktivasi sel mast setelah dilepaskan dari leukosit
Kemotaktik untuk neutrofil
Interleukin-4 Merekrut eosinofil
Interleukin-5 Merekrut eosinofil
Interleukin-6 Sitokin proinflamasi
Mengaktivasi limfosit
Anggota kemokin CXC
Interleukin-8/CXCL2 Kemoatraktan neutrofil poten
Terlibat dalam degranulasi neutrofil, respiratory burst, dan
adhesi pada sel endotel
MCP-1/CCL2 Kemoatraktan untuk eosinofil
MIP-1-α/CCL3 Kemoatraktan untuk eosinofil
Interleukin-16 Kemoatraktan untuk limfosit T
RANTES/CCL5 Kemoatraktan untuk eosinofil
Dapat disimpulkan bahwa patogenesis urtikaria kronik sangat membingungkan
karena penyakit tersebut cukup menarik, dan patomekanisme yang ringkas, yang belum
diidentifikasi, yang dapat memberikan penjelasan rasional untuk semua kasus.
Pemahaman yang tidak lengkap menghambat pencarian obat-obatan baru, efektif, dan
dengan toksisitas rendah yang dapat ditawarkan sebagai alternatif pada urtikaria berat
dan refrakter, tidak responsif terhadap standar tatalaksana lini pertama. Namun,
wawasan baru mengenai kompleksitas patogenesis mungkin membuka jalan untuk
perkembangan terapi yang secara khusus lebih terkait dengan patomekanik penyakit dan
mendorong pengembangan targeted immunomodulators dan terapi biologis yang
mungkin dapat dimasukkan ke dalam armamentarium terapeutik.

Jalur ekstrinsik
koagulasi
Diterjemahkan dari :
Jain, S. Pathogenesis of Chronic Urticaria: An Overview. Dermatology Research and
Practice 2014;1-0.

Anda mungkin juga menyukai