Anda di halaman 1dari 42

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Disampaikan Oleh : Arhamsyah, S.Kep,Ns


TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti perkuliahan diharapkan
mahasiswa dapat
 Mengetahui pengertian hipersensitivitas

 Mengetahui tentang mekanisme pertahanan diri

 Mengetahui tentang proses reaksi


hipersensitivitas
 Mengetahui manifestasi hipersensitivitas
OVERVIEW…
 Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka
tubuh akan mengadakan respon. Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan
hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi
ialah keadaan imun.
 Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh
menjadi rusak, maka terjadilah reaksi
hipersensitivitas atau alergi.
PENGERTIAN
 Imunitas atau kekebalan adalah sistem
mekanisme pada organisme yang melindungi
tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan
mengindentifikasi dan membunuh patogen serta
sel tumor.
 Sistem Imun adalah struktur efektif yang
menggabungkan spesifisitas dan adaptasi.
Kegagalan pertahanan dapat muncul, dan jatuh
pada 3 kategori yaitu: Defisiensi Imun,
autoimunitas dan Hipersensitivitas.
BENTUK-BENTUK ANTIBODI
Klas Tempat Fungsi
IgG Bentuk antibodi utama Mengikat patogen, mengaktifkan
di sirkulasi komplemen, meningkatkan
fagositosis
IgM Di sirkulasi, antibodi Aktifkan komplemen,
terbesar menggumpalkan sel
IgA Di saliva dan susu Mencegah patogen menyerang sel
epitel traktus digestivus dan
respiratori.
Ig D Di sirkulasi dan Menandai kematuran sel B
jumlahnya paling
rendah
Ig E Membran berikatan Bertanggung jawab dalam respon
dengan reseptor basofil alergi dan melindungi dari serangan
dan sel mast dalam parasit cacing
jaringan
 Defisiensi Imun muncul ketika satu atau lebih
komponen sistem Imun tidak aktif, kemampuan
sistem Imun untuk merespon patogen
berkurang.
 Autoimunitas, Respon imun terlalu aktif
menyebabkan disfungsi imun yang disebut
autoimunitas. Sistem imun gagal untuk
memusnahkan dengan tepat antara diri sendiri
dan orang lain yang menyerang dari bagian
tubuh.
 Hipersensitivitas adalah respon imun yang
merusak jaringan tubuh sendiri.
 Hipersensitivitas
adalah suatu reaksi yang tidak diharapkan
dari respon imun tubuh.

 Coombs dan Gell membagi menjadi 4 tipe


(mekanisme dan waktu):
 Rx. Hipersensitivitas tipe I
 Rx. Hipersensitivitas tipe II
 Rx. Hipersensitivitas tipe III
 Rx. Hipersensitivitas tipe IV
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I

 Reaksi Hipersensitivitas tipe cepat atau anafilaktik


 Diperantarai IgE, berlangsung di kelenjar limfe.

 Alergenproduksi IgE berikatan spesifik dengan reseptor di


permukaan sel mast dan basofil  tersensitisasi
 Kontak berikutnya  sederetan reaksi biokimia  degranulasi dan
pelepasan mediator2 (histamin, leukotrien dan sitokin)  reaksi alergi
 15-30 menit setelah terpapar antigen, kadang keterlambatan (10-12 jam)

 Dapat melibatkan kulit (urtikaria dan eksema), mata (konjungtivitis),


nasofaring (rinitis), jaringan bronkopulmoner (asma), dan GI tract
(gastroenteritis)
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I…
 Contoh: reaksi anafilaksis terhadap bisa hewan, hay fever, urtikaria akibat
makanan, dermatitis atopik, rhinitis alergika, konjungtivitis, asma, dll
 Gejala : ketidaknyamanan ringan sampai kematian

 Berat ringan gejala dipengaruhi :

 antibodi IgE
 jumlah alergen
 faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan respon (infeksi virus dan
polutan)
URUTAN KEJADIAN REAKSI TIPE 1 ADALAH
SEBAGAI BERIKUT:

 1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan


untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh
reseptor spesifik (Fcε-R) yang terdapat pada
permukaan sel mast dan basofil.
 2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan
antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik
dan sel mast maupun basofil melepas isinya yang
berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini
terjadi oleh karena ikatan silang antara antigen
dengan IgE.
 3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang
kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-
mediator yang di lepas sel mast/basofil dengan
aktivitas farmakologik.1
PENYEBAB
Kontak pertama :
alergen menstimulasi sel B untuk
memproduksi antibodi, yaitu IgE. Ig E
kemudian masuk ke aliran darah dan
berikatan dengan reseptor di sel
mastosit dan basofil sehingga sel mastosit
atau basofil menjadi tersensitisasi.
Kontak ulang
allergen akan berikatan dengan Ig E yang
berikatan dengan antibody di sel mastosit
atau basofil dan menyebabkan terjadinya
granulasi. Degranulasi menyebabkan
pelepasan mediator inflamasi primer dan
sekunder.
Mediator Primer

Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan


Histamine
kontraksi otot polos
Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan
Serotonin
kontraksi otot polos
ECF-A Kemotaksis eosinofil
NCF-A Kemotaksis eosinofil
proteases Sekresi mucus, degradasi jaringan penghubung

MediatorSekunder
Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan
Leukotrienes
kontraksi otot polos
Vasodilatasi pembuluh darah, aktivasi platelet, kontaksi
Prostaglandins
otot polos
Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan
Bradykinin
kontraksi otot polos
Cytokines Aktivasi sel endothelium, penarikan eosinofil
TIPE I
DAMPAK
 Anafilatoksis local ( alergi atopik )
 batuk, mata berair, bersin karena alergen masuk ke
saluran respirasi (alergi rhinitis)
 Terakumulasinya mucus di alveolus paru-paru dan
kontraksi otot polos kontraksi yang mempersempit jalan
udara ke paru-paru sehingga menjadi sesak
 Kulit memerah atau pucat, gatal (urticaria) karena alergi
makanan.
 Anafilatoksis sistemik
sulit bernafas karena kontraksi otot polos yang menyebabkan
tertutupnya bronkus paru-paru, dilatasi arteriol sehingga
tekanan darah menurun dan meningkatnya permeabilitas
pembuluh darah sehingga cairan tubuh keluar ke jaringan.
Gejala ini dapat menyebabkan kematian karena tekanan
darah turun drastis dan pembuluh darah collapse ( shock
anafilatoksis)
PENGOBATAN
 anafilatoksis lokal
 menghindari allergen dan makanan yang dapat menyebabkan
alergi
 Bila allergen sulit dihindari ( seperti pollen, debu, spora, dll)
dapat digunakan antihistamin untuk menghambat pelepasan
histamine dari sel mastosit. Bila terjadi sesak nafas
pengobatan dapat berupa bronkoditalor yang dapat
merelaksasi otot bronkus dan ekspektoran yang dapat
mengeluarkan mucus
 Injeksi allergen secara berulang dgn dosis tertentu secara
subkutan dengan harapan pembentukan IgG meningkat
sehingga mampu mengeliminasi allergen sebelum allergen
berikatan dengan IgE pada sel mast. Proses ini disebut
desensitisasi atau hiposensitisasi.
 Anafilatoksis sistemik
menyuntikan epinefrin (meningkatkan tekanan darah) atau
antihistamin (memblok pelepasan histamine) secara intravena
TES KULIT
Skin test for allergy

Ragweed

Control negative (saline)


Control positve (histamine)
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II
 Reaksi hipersensitivitas sitotoksik, Sistem kekebalan tubuh
secara keliru mengenal tubuh normal sebagai benda asing
 Waktu reaksi : menit - jam

 Diperantarai IgM atau IgG dan komplemen

 Interaksi antigen-antibodi pd permukaan sel, IgM atau IgG dgn


antigen yang juga merupakan bagian integral membran sel
atau telah terserap atau menyatu menjadi membran.
 Mengaktifkan sistem komplemen dan sel yang terlibat
dihancurkan.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II..
 Contoh: reaksi transfusi, drug-induced hemolytic
anemia, pada penyakit miastenia gravis
 Hipersensitivitas tipe II melibatkan IgG dan
IgM.
 Antibodi ditujukan pada antigen yang berada di
permukaan sel atau matriks ekstraseluler.
 Ikatan Ag-Ab → aktifkan komplemen → lisis.

 Terapi: anti-inflamasi dan agen immunosupresif


MAC LYSIS DURING TYPE-II
HYPERSENSITIVITY

IgG or IgM reacts with epitopes on the host cell


membrane and activates the classical complement
pathway. Membrane attack complex (MAC) then
causes lysis of the cell.
ANTIBODY-DEPENDENT CELLULAR CYTOTOXICITY
(ADCC) DESTRUCTION DURING TYPE-II
HYPERSENSITIVITY

Antibodi bereaksi dengan "diri" epitop pada membran sel inang dan sel NK
berikatan dengan Fc dari antibodi. Sel NK kemudian mampu untuk menghubungi
sel dan pori pembentuk protein yang disebut rilis perforins, enzim proteolitik yang
disebut granzymes, dan kemokin. Granzymes melewati pori-pori dan mengaktifkan
enzim yang menyebabkan apoptosis sel yang terinfeksi dengan cara penghancuran
protein struktural dan sitoskeleton oleh degradasi kromosom. Akibatnya, sel rusak
menjadi fragmen yang kemudian dihapus oleh fagosit. Perforins juga dapat kadang-
kadang mengakibatkan lisis sel.
ADCC APOPTOSIS BY NK CELLS DURING TYPE
II HYPERSENSITIVITY

 Sel NK melepaskan pori pembentuk protein yang disebut perforins dan enzim proteolitik
disebut granzymes. Granzymes melewati pori-pori dan mengaktifkan enzim yang
menyebabkan apoptosis, bunuh diri diprogram dari sel yang terinfeksi. Apoptosis terjadi
ketika granzymes tertentu mengaktifkan sekelompok enzim protease yang disebut caspases
yang menghancurkan perancah protein struktural dari sel, menurunkan nukleoprotein sel,
dan mengaktifkan enzim yang mendegradasi DNA sel. Akibatnya, sel yang terinfeksi
menerobos masuk ke dalam membran-bound fragmen yang kemudian dihapus oleh fagosit.
Jika jumlah yang sangat besar perforins dimasukkan ke dalam membran plasma dari sel
yang terinfeksi, hal ini dapat mengakibatkan melemahnya membran dan menyebabkan lisis
sel daripada apoptosis. Keuntungan untuk membunuh sel yang terinfeksi oleh apoptosis
adalah bahwa isi sel, termasuk partikel virus yang layak dan mediator peradangan, tidak
dibebaskan karena mereka selama lisis sel.
IMUNOPATOLOGI
1. Kerusakan pada eritrosit pada reaksi tranfusi
darah
- IgM menimbulkan aglutinasi, aktivasi komplemen
dan hemolisis intravaskular pada sistem ABO.
- IgG menembus barier plasenta masuk ke sirkulasi
janin, melapisi permukaan eritrosit janin →
hipersensitivitas tipe II. Terjadi pada sistem rhesus.
2. Kerusakan jaringan transplantasi
- Antigen sel pada organ transplantasi
dianggap asing.
- Antibodi pada darah resipien bereaksi
dengan antigen pada organ
transplantasi yang menyebabkan
aktivasi komplemen dan neutrofil.
3. Reaksi karena obat
- Obat berikatan dengan unsur tubuh menjadi
hapten lengkap, yang menyebabkan orang-
orang tertentu menjadi sensitif.
- Obat membentuk kompleks antigenik dengan
permukaan suatu elemen yang ada pada
darah dan merangsang pembentukan antibodi.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE III
 Reaksi hipersensitivitas kompleks imun / reaksi Arthus
 3-10 jam setelah terpapar antigen

 Diperantarai kompleks imun (antigen-antibodi)

 Antigen eksogen (bakteri, virus, atau parasit)/endogen (SLE)

 Contoh: serum sickness,SLE,rx Arthus,lupus nephritis,RA,dll

 Terbentuk kompleks antigen-antibodi (toksik terhadap


jaringan di tempat mereka diendapkan seperti ginjal / paru-
paru) infiltrasi dinding pembuluh darah kecil  aktivasi
kaskade komplemen pelepasan bahan aktif secara
biologis, termasuk faktor-faktor yang menarik sel-sel fagosit
yang akan menfagositosis kompleks tersebut
MEKANISME REAKSI
 Antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan
membentuk kompleks antigen antibodi
 Aktivasi sistem komplemen, menyebabkan
pelepasan berbagai mediator oleh sel mastosit.
 Vasodilatasi dan akumulasi PMN yang
menghancurkan kompleks.
 Merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut
melepaskan isi granula berupa enzim proteolitik
diantaranya proteinase, kolegenase, dan enzim
pembentuk kinin.
 Kompleks antigen-antibodi itu mengendap
dijaringan, proses diatas bersama–sama dengan
aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak
jaringan sekitar kompleks.
GEJALA KLINIS UMUM
 Demam, nyeri, malaise
 Gatal, edema
 Pengurangan komplemen di dalam darah
 Glomerulonephritis (ginjal)
 Arthritis (persendian)
 Rheumatik penyakit jantung
FAKTOR YANG BERPENGARUH
 Ukuran kompleks imun
 Kelas imunoglobulin

 Aktivasi komplemen

 Permeabilitas pembuluh darah

 Proses hemodinamik

 Afinitas antigen pada jaringan


PREKURSOR UMUM HS III
 Sensitisasi sel B dengan sejumlah besar antigen
disajikan dalam waktu lama
 Infusi intravena obat antigenik
 Injeksi sejumlah besar obat antigenik (tidak cepat
dibersihkan)
 Sejumlah besar infeksi (contoh, Streptococcus,
dengan demam rematik)
 Autoantigen yang tidak dapat dihindari
PENGOBATAN HS III
 Obat anti-inflamasi\antihistamin
 Menghindari sejumlah besar antigen dan
berhati-hati terhadap immunisasi dan
antitoksin.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV
 tipe seluler atau tipe lambat (delayed type
hypersensitivity)
 > 12 jam
 Reaksi terjadi karena sel T yang sudah
disensitisasi mengeluarkan zat disebut limfokin,
menstimulasi makrofag, shg enzim lisozim
dilepaskan yang dapat menimbulkan reaksi
inflamasi dan kerusakan jaringan.
 Efek edema dan aktivasi fibrin memberikan reaksi
positif pada tes tuberkulin.
 Contoh klasik: reaksi tuberkulin (Mantoux) yang
memuncak 48 jam setelah injeksi antigen
 Contoh lain: dermatitis kontak, penyakit autoimun
dan infeksi seperti tuberkulosis, lepra,
granulomatosa, toksoplasmosis, dll
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TYPE IV
DIBAGI MENJADI DUA TYPE DASAR YAITU:

 1. Delayed type hypersensitivity (DTH) yang


diinisiasi oleh sel T CD4+
2. T cell mediated cytolysis / sitotoksitas sel
(CTL) langsung yang diperantarai oleh sel T
CD8+
 Mekanisme perusakan melibatkan limfosit T dan
monosit dan/atau makrofag.
 Sel t sitotoksik (Tc) menyebabkan kerusakan
langsung sedangkan sel T helper (TH1)
mensekresi sitokin  aktivasi Tc, makrofag serta
monosit  kerusakan
REAKSI DTH…
 Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-
mediated), kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh
reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh
sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs
 Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan
mekanisme yang digunakan oleh sel T untuk
mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba.
 Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau
jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi
inflamasi dan mengaktivasi makrofag.
 Kerusakan jaringan terjadi disebabkan oleh sekresi sitokin
dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T
CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan
antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang
diperantarai oleh sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T
CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya
berperan pada kerusakan jaringan.
 Bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh
antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam
tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi
oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit T ini
menjadi ganas terhadap sel yang mengandung
antigen itu (sel target)
 Masa sensitasi selama 1 – 2 minggu, yaitu untuk
meningkatkan jumlah klon sel T yang spesifik
untuk antigen tertentu. Antigen tersebut harus
dipresentasikan terlebih dahulu oleh APC.
Kontak yang berulang akan menimbulkan
rentetan reaksi yang menimbulkan kelainan
khas dari cell mediatif immunity (CMI)/DTH.
PENYAKIT DARI REAKSI SEL T
Penyakit Spesifitas sel T patogenik Penyakit pada manusia

Diabetes melitus Antigen sel islet (insulin, Spesifisitas sel T belum


tergantung insulin dekarboksilase asam ditegakkan
(tipe I) glutamat)

Artritis reumatoid Antigen yang tidak diketahui Spesifisitas sel T dan peran
di sinovium sendi antibodi belum ditegakkan

Ensefalomielitis alergi Protein mielin dasar, protein Postulat : sklerosis multipel


eksperimental proteolipid

Penyakit inflamasi usus Tidak diketahui, peran Spesifisitas sel T belum


mikroba intestinal ditegakkan
RESPON HIPERSENSITIVITAS
TIPE IV

Sitokin yang dilepaskan termasuk : TNF-β, GM-CSF (Granulosit


Macrophag Colony Stimulating Factor), and IFN – γ
RESPON HIPERSENSITIVITAS TIPE
IV
Reaksi imun Mekanisme Klinis Waktu reaksi

Kompleks IgE-obat Urtikaria, angioedema, Menit sampai jam


Tipe I (diperantarai IgE) berikatan dengan sel bronkospasme, muntah, setelah paparan
mast melepaskan diare, anafilaksis
histamin dan mediator
lain

Antibodi IgM atau IgG Anemia hemolitik, Variasi


Tipe II (sitotoksik) spesifik terhadap sel neutropenia,
hapten-obat trombositopenia

Deposit jaringan dari Serum sickness, demam, 1-3 minggu setelah


Tipe III (kompleks imun) kompleks antibodi-obat ruam, artralgia, paparan
dengan aktivasi limfadenopati, vaskulitis,
komplemen urtikaria

Presentasi molekul obat Dermatitis kontak alergi 2-7 hari setelah paparan
Tipe IV (lambat, oleh MHC kepada sel T
diperantarai oleh selular) dengan pelepasan sitokin
DAFTAR PUSTAKA
 Bratawidjaja, K. Garna, Et All ; Imunologi
Dasar, Edisi V, Interna Publishing, 2009,
Jakarta.

 Price, Sylvia. A, Et All ; Patofisiologi Konsep


Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6 , 2006.

 Robbins, L. Stanley, Et All ; Buku Ajar Patologi,


Edisi VII, EGC, 2007, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai