Anda di halaman 1dari 11

2.

Mengetahui dan menjelaskan reaksi Hipersenitivitas tipe I

2.1. Mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I

Pada reaksi tipe I, allergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa
produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. Urutan
kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :

1. Fase sensitasi : waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh
reseptor (Fc-R) pada permukaan sel mast / basofil.
2. Fase aktivasi : waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik
dan sel mast/ basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal
ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
3. Fase efektor : waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast / basofil dengan aktivitas farmakologik.

Pajanan dengan mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma
yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel mast dan basofil
(banyak molekul IgE dengan berbagai spesifisitas dapat diikat FceR1). Pajanan kedua dengan
allergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast ,
memacu penglepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil.
Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas
vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis.
2.2. Manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe I

a. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang
biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk. Kecenderungan untuk
menunjukkan reaksi Tipe 1 adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20% populasi
menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis
atopi. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast /
basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa
minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi
dimasukkan ke dalam kulit / sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit,
mata, hidung dan saluran nafas.

b. Reaksi sistemik-anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs tipe I atau reaksi alergi yang
cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan
sel efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai allergen seperti
makanan ( asal laut, kavcang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks,
latihan jasmani dan bahan diagnostic lainnya.

c. Reaksi pseudoalergi / anafilaktoid


Reaksi pseudoalergi / anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan
penglepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Mekanisme
pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara klinis reaksi ini
menyerupai reaksi tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritus,
tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Reaksi anafilaktod dapat ditimbulkan
antimikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol, dan pelemas
otot.

Reaksi alergi

Jenis alergi Alergen umum Gambaran


Anafilaksis Obat, serum, bisa, kacang-kacangan Edema dengan peningkatan permeabilitas
vascular, berkembang menjadi oklusi
trakea, kolaps sirkulasi dan kemungkinan
meninggal
Urtikaria akut Sengatan serangga Bentol dan merah di daerah sengatan.
Sengatan serangga dapat pula
menibulkan reaksi tipe IV
Rinitis alergi Polen (hay fever), tungau debu Edema dan iritasi mukosa nasal
rumah (rinitis perennial)
Asma Polen , tungau debu rumah konstriksi bronchial, peningkatan
produksi mukus, inflamasi saluran napas
Makanan Kerang , susu, telur, ikan, bahan Urtikaria yang gatal dan potensial
asal gandum menjadi anafilaksis
Ekzem atopi Polen, tungau debu rumah, Inflamasi pada kulit yang terasa gatal,
beberapa makanan biasanya merah dan ada kalanya
vesikular

3. Mengetahui dan menjelaskan reaksi Hipersenitivitas tipe II

3.1. Mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe II

Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik / sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi
jenis IgG / IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi
antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membrane sel. Antibody
tersbutdapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R dan juga sel NK yang dapat
berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCG.

3.2. Manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe II

1. Reaksi transfusi

a. Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai
gen.
b. Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi,
karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan
kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravascular. Reaksi dapat cepat atau
lambat .
-Reaksi cepat : Disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu
oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma
dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemaglobinuria. Beberapa hemaglobin
diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala khas :
Demam, menggigil, nausea , bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah,
dan hemoglobinuria.

-Reaksi lambat: Terjadi pada orang yang mendapat transfusi berulang dengan darah
yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah yang lain. Terjadi
2-6 hari setelah transfusi.Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG
terhadap berbagai antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan resus,
Kidd, Kell, dan Duffy.

2). Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir


Ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah
rhesus ( ) dan janin dengan rhesus (+).

3). Anemia hemolitik

a. Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat


diabsorbsi nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks
serupa kompleks molekul hapten pembawa.
b. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk ab yang selanjutnya mengikat
obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan
anemia progresif.

4. Mengetahui dan menjelaskan reaksi Hipersenitivitas tipe III

4.1. Mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe III / kompleks imun

Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati,
limpa dan disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuclear, terutama di hati, limpa dan paru
tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat
dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan,
karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi.

4.2. Manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe III / kompleks imun

1. kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah


Antigen dapat berasal dari infeksi kuman pathogen yang persisten (malaria, bahan
yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau
dari jaringan sendiri (penyakit auto imun)
Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun
sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang
dapat merusak jaringan
Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan IgM / IgG3 (dapat
juga IgA)
Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi makrofag,
perubahan permeabilitas vascular, aktivasi sel mast, produksi dan penglepasan
mediator inflamasi dan bahan kemotaktik serta influks neutrofil

2. Kompleks imun mengendap di jaringan


Terjadinya pengendapan kompleks imun di jringan ialah ukuran kompleks imun yang
kecil dan permeabilitas vascular yang meningkat, anatar lain karena histamine yang
dilepas sel mast.

3. Bentuk reaksi
a. Reaksi lokal atau fenoma Arthus
Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel
vascular dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan.
Reaksi yang timbul berupa kerusakan jaringan lokal dan vascular akibat
akumulasi cairan (oedema) dan SDM (eritema).
C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi komplemen,
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan
oedema. C3a dan C5a berfungsi sebagai factor kemotaktik. Neutrofil dan
trombosit mulai dikerahkan di tempat reaksi dan menimbulkan stasis dan
obstruksi total aliran darah.
Sasaran anafilaktosin adalah pembuluh darah kecil, sel mast, otot polos
dan leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi otot polos, degranulasi
sel mast, peningkatan permeabilitas vascular dan respons tripel terhadap
kulit.
Reaksi Arthus di dalam klinik dapat berupa vaskulitis

b. Reaksi tipe III sistemik- serum sickness


Antibody yang berperan biasanya jenis IgM / IgG. Komplemen yang
diaktifkan melepas anafilatoksin (C3a,C5a) yang memacu sel mast dan
basofil melepas histamin.
Mediator lainnya dan MCF (C3a,C5a, C5, C6, C7) mengerahkan polimorf
yang melepas enzim proteolitik dan protein polikationik.
Pada LES, ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun.
Pada arthritis rheumatoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti-
IgG (FR berupa IgM) dan membentuk kompleks imun di sendi.
Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk
mkrotrombi kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktif
tersebut mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh
darah dan inflamasi.
Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil
yang terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks
tetapi akan tetap melepaskan granulnya (angrycell) sehingga
menyebabkan lebih banyak kerusakan jaringan.
Reaksi Herxheimer adalah serum sickness (tipe III) yang terjadi sesudah
pemberian pengobatanterhadap penyakit infeksi kronis (sifilis,
tripanosomiasis dan bruselosis).

5. Mengetahui dan menjelaskan reaksi Hipersenitivitas tipe IV

5.1. Mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe IV

Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV :

A. Fase sensitasi
Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th diaktifkan oleh
APCmelalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans/SD pada kulit dan makrofag)
menangkapantigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke sel T
sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).

B. Fase efektor
Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan melepas sitokin
yang menyebabkan :
Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel inflamasi).
Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.
Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke jaringan sekitar.
Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan menginduksi sel
Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.

Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang teraktivasi. Pada
Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan pada T Cell Mediated
Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi. Granuloma terbentuk pada : TB, Lepra,
Skistosomiasis, Lesmaniasis dan Sarkoidasis.

5.2. Manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe IV

Dematitis kontak

Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak berbahayaseperti
formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut (contoh reaksi DTH).
Hipersensitivitas tuberculin

Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan Mycobacterium tuberculosis
yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan), akan menimbulkan reaksi ini berupa kemerahan
dan indurasi pada tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang pernah kontak dengan
M. tuberkulosis, kulit akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca induksi. Reaksi ini diperantarai
oleh sel CD4+.
Reaksi Jones Mote

Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil yang
mencolok pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut sebagai hipersensitivitas basofil
kutan. Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah
kecil,tidak terjadi nekrosis jaringan. Reaksi ini disebabkan oleh suntikan antigen larut
(ovalbumin) dengan ajuvan Freund.
T Cell Mediated Cytolysis (Penyakit CD8+)

Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel sasaran.
Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik, contoh pada infeksi
virus hepatitis.
6. Mengetahui dan menjelaskan antihistamin & kortikosteroid

6.1. Definisi antihistamin & kortikosteroid

A. Antihistamin

Antihistamin atau antagonis histamin adalah zat yang mampu mencegah pelepasan atau kerja
histamin. Ada banyak golongan obat yang termasuk dalam antihistamin, yaitu antergan,
neontergan, difenhidramin, dan tripelenamin yang efektif untuk mengobati edema, eritem,
dan pruritus, dan yang baru ini ditemukan adalah burinamid, metiamid, dan simetidin untuk
menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Ada 2 jenis antihistamin, yaitu Antagonis
reseptor H1 (AH1) dan Antagonis reseptor H2 (AH2).

B. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di kulit kelenjar adrenal.
Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap
stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat,
pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku. Kortikosteroid bekerja dengan
mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran
plasma secara difusi pasif.

6.2. Farmakodinamik antihistamin & kortikosteroid

6.3. Farmakokinetik antihistamin & kortikosteroid

6.4. Efek samping antihistamin & kortikosteroid

6.5. Kontraindikasi antihistamin & kortikosteroid


A. Antihistamin

1). Antagonis reseptor H1 (AH1)


Farmakodinamik :
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam otot polos, selain itu
AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang
disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.
Farmakokinetik :
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal
setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru
sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat
utama biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui urin setelah 24 jam, terutama
dalam bentuk metabolitnya.
Efek samping :
Efek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang berhubungan dengan AH1
adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia,
gelisah,insomnia, tremor, nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium,
konstipasiatau diare,mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah
padatangan.
Indikasi :

2). Antagonis reseptor H2 (AH2)


Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Antagonis reseptor H2
yangada dewasa ini adalah simetidin, ranitidin, famotidine, dan nizatidin.
1. Simetidin dan Ranitidina

Farmakokinetik : Absorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin


diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek
pada periode pasca makan. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati
dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi
terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja.

Farmakodinamik : Simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan


reversible. Kerjanya menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan ranitidin juga
mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
Efek samping : Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor H2,
seperti nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit,
pruritus, kehilangan libido dan impoten.

Indikasi :

2. Famotidina

Farmakodinamik : Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam


lambung pada keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh pentagastrin.
Famotidin 3 kali lebih poten dari pada ramitidin dan 20 kali lebih poten daripada
simetidin.

Farmakokinetik : Famotidin mencapai kadarpuncak di plasma kira kira dalam 2 jam


setelah penggunaan secaraoral, masa paruh eliminasi 3-8 jam. Metabolit utama adalah
famotidin-S-oksida. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi
20 jam.

Efek samping : Efek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala, pusing,
konstipasi dan diare, dan tidak menimbulkan efek antiandrogenik.

Indikasi :

3. Nizatidina

Farmakodinamik : Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung.

Farmakokinetik : Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam,
masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengn 10 jam, disekresi
melalui ginjal.

Efek samping : Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki efek
antiandrogenik.

Indikasi :

B. Kortikosteroid

Farmakodinamik :
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu
juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan
organ lain.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid.

1. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-
inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.
2. Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit,
sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.

Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa kerjanya.

1. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
2. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
3. Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.

Farmakokinetik :

Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja dan lama
kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein.
Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial.
Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan
efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.

Efek samping :
Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara tiba-tiba atau
pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.
Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat
menimbulkan insifisiensi adrenal akut dengan gejala demam, malgia, artralgia dan
malaise.
Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan
elektrolit , hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama
tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau
perforasi, osteoporosis dll.
Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat
kortikosteroidsintetik.
Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan
dengan kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum
obat diberikan.

Kontraindikasi :
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian
dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin
dapatmerupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang
mengancam jiwa pasien.Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa
minggu, kontraindikasi relatif yaitudiabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat,
hipertensi atau gangguan sistemkardiovaskular lainnya.

Anda mungkin juga menyukai