Anda di halaman 1dari 29

A.

KATA SULIT
1. Angiodema : Reaksi vaskular pada dermis bagian dalam atau jaringan sunkutan atau
sub mukosa
2. Anti Histamin : Zat kimia yang melawan kerja histamin dengan cara memblok resptor
histamin
3. Hipersensitivitas : Keadaan berubahnya reaktivitas yang ditandai dengan reaksi tubuh
berupa respon imun berlebih terhadap sesuatu yang dianggap benda
asing
4. Kortikosteroid : a) Hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar ardenal
b) Anti Inflamasi
5. Urtikaria : reaksi vaskular pada dermis bagian atas yang ditandai dengan
gambaran
sementara bercak yang agak menonjol dan lebih merah atau lebih pucat
dari kulit sekitardisertai dengan gatal yang hebat
6. Histamin : Zat kimia yang diproduksi lebih pada saat terjadinya alergi atau
Inflamasi

B. Pertanyaan
1. mengapa di dapatkan angioedema dan urtikaria?
2. apa yang dimaksud Hipersensitivitas?
3. mengapa pada saat alergi dirasakan gatal dan muncul betol?
4. mengapa dokter memberikan antihistamin dan kartikosteroid?
5. apa saja macam macam hipersensitivitas?
6. apa saja faktor penyebab alergi?
7. apa saja gelaja alergi selain munculnya urtikaria dan angioedema?
8. apakah reaksi alergi dapat menyebabkan kematian?
9. kenapa parasetamol dapat memicu terjadinya reaksi alergi?
10.apa saja efek samping dari histamin dan kartikosteroid?
11.bagaimana mekanisme kerja obat antihistamin dan kartikosteroid terhadap
hipersensitivitas?
12.bagaimana pandangan islam terhadap alergi obat?
C. Jawaban
1. alergen masuk kedalam tubuh lalu merangsang sel T Helper lalu mensekresi sitokin
(interlukin IV, V. XIII) dan nntinya akan merangsang IgE untuk berikatan dengan sel mast
yang di mana IgE di hasilkan dari sel B dan sel mast akan menhasilkan sel mast setelah itu
mediator muncul dan terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah yang menyebabkan carikan
dan makrofag keluar ke intersisial karna adanya tekanan onkotik dan terjadi udem
2. munculnya dalam hitungan detik atau menit namun hilanganya dalam kurun waktu 2 jam
3. allergen akan memicu sel mast untuk menhasilkan histamin yang berlebihan
4. antihistamin untuk gatal sedangkan kartikosteroid untuk anti inflamasi
5. hispersensitivitas I , II, III, IV
6. dapat disebabkan oleh obat obatan, makanan, debu, suhu, lingkungan, sistem imunitas,
sinar matahari dan juga ketrunan (gen)
7. demam, batuk, pilek, edema, bersin, dan radang
8. alergi da[at menyebabkan kemataian bila terjai syok reaksi anafilaksis selain itu ada
beberapa komplikasi yang disebabkan oleh alergi seperti : udema laring, kejang, pada
kardiovaskular dapat terjadi aritmia dan hipotensi
9. karna dalam parasetamol terdapat kandungan yan bila di konsumsi tubuh akan mengenali
sebagai anyigen
10. kartikosteroid dapat menurunkan sistem imun dan anti histamin dapat menyebabkan
ngantuk
11. anti histamin berkerja dengan cara memblok reseptor histamin untuk histamin sehingga
histamin sehingga histamin tidak dapat menghasilkan reaksi gatal, sedangkan kartikosteroid
sebagai anti inflamasi berkerja dengan cara memblok terjadinya vasodilatasi akibat dari
mediator untuk kompleks IgE dan sel mast
12. dalam kedaan darurat obat yang mengandung unsur haraa di perboehkan dan ada
beberapa obat yang merugikan (masalat) dan menguntungkan (masahalat) bagi tubuh
D. Hipotesis
Allergen dapat menyebabkan hipersensitvitas dengan dihasilkannya histamin dan inflamas.
Hipersensitivitas terbagi dalam 4 tipe yaitu tipe I , II, III, dan IV, tergantung dari mekanisme
munculnya proses sistem imun. Hipersensitivitas dapat dicegah dengan pemberian anti
histamin dan kartikosteroid. Islam memandang peberian oba ada yang merugikan dan
menguntungkan.
SASARAN BELAJAR
LO 1 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas
1.1 definisi
1.2 etiologi
1.3 jenis jenis
LO 2 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe I
2.1 mekanisme
2.2 bentuk reaksi
LO 3. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe II
3.1 mekanisme
3.2 bentuk reakksi
LO 4 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe III
4.1 mekanisme
4.2 bentuk reaksi
LO 5 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe IV
5.1 Mekanisme
5.2 bentuk reaksi
LO 6 Memahami dan Menjelaskan Anti Hitasmin dan Kartikosteroid
6.1 farmakodinamik
6.2 farmakokinetik
6.3 indikasi
6.4 Kontraindikasi
6.5 Efek samping
LO 7 Pandangan Islam Terhadap Alergi Obat
LO 1. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas
1.1 Definisi
a. Peningkatan reaktivasi/sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipanjankan/ dikenal
sebelumnya (Imunologi Dasar UI)
b. Reaksi Imun yang menimbulkan cedera jaringan atau patologi (Patalogi Anatomi,
Imuninologi dasar Abbas)

1.2 Etiologi
Saat pertama kali masuknya allergen ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi
makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang
tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi.
Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali allergen yang masuk yang akan
memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk
mengaktifkan antibodi (IgE). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast
yang dikelurkan oleh basophil.

1.3. Klasifikasi
1. Menurut waktu timbulnya reaksi
Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan
silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi
penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis
sistemik atau anafilaksis berat.
Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam.
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang
disebabkan oleh sel neutrophil atau sel NK. Manifestasi reaksi intermediet
berupa :
Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis, dan anemia hemolitik
autoimun.
Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis
nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES.
Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sekitar 48 jam setalah terjadi pajanan dengan antigen
yang terjadi oleh aktivasi oleh sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T
mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan.
Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi M. Tuberkulosis dan
reaksi penolakan tandur.
2. Menurut Gell dan Coombs
Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell (1963) dibagi
dalam 4 tipe reaksi:
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi cepat atau reaksi alergi.
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik.
Reaksi hipersensitivitas tipe III atau reaksi kompleks imun.
Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau reaksi lambat.

Gambar 1 pembagian sensitivitas menurut Gell dan Coombs

Pada pembagian hipersensitivitas Gell dan Coombs terlihat bahwa mereka


membuatnya sebelum analisis yang lebih mendetail mengenai subset dan fungsi sel
T uang diketahui. Berdasarkan peneman-penemuan dalam penelitin Imunologi,
telah dikembangkan beberapa modifikasi yang membagi lagi tipe IV dalam
beberapa subtype reaksi. Meskipun reaksi tipe I, II dan III dianggap sebagai reaksi
humoral, sebetulnya reaksi-reaksi tersebut masih memerlukan bantuan sel T atau
peran selular.
LI.2. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe I

2.1 Mekanisme

Pada tipe I terdapat beberapa fase, yaitu:


a. Fase sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai
diikat silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sek mast/basofil.
b. Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan
granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara
antigen dan IgE.
c. Fase efektor, yaitu waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksisi)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivasi
farmakologik.

Gambar 2 mekanisme hipersensitivitas I

Antigen menginduksi sel B untuk membentuk antibodi IgE dengan bantuan sel
Th2 yang mengikat erat dengan bagian Fc-nya pada sel mast dan basofil.
Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel mast dan basofil (banyak
molekul IgE dengan berbagai spesifisitas dapat diikat FceR1). Beberapa minggu
kemudian, apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen
akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast dan basofil. Akibat
ikatan antigen-IgE, sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepas
mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dalam waktu beberapa menit antara
lain histamin yang menimbulkan gejala reaksi hipersensitivitas tipe I. Mediator-
mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas
vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis.
Mediator sekunder utama pada Hipersensitivitas Tipe 1
Mediator Efek
Histamin Peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot
polos, sekresi mukosa gaster.
ECF-A Kemotaksis eosinophil
NCF-A Kemotaksis neutrophil
Eosinophil chemotactic Kemotaktik untuk eosinophil
Neutrofil chemotactic Kemotaktik untuk neutrophil
Protease Sekresi mucus bronkial, degradasi membrane basal pembuluh
darah, pembentukan produk pemecah komplemen
PAF Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos paru
Hidrolase asam Degradasi matriks ekstraselular
NCA Kemotaksis neutrophil
BK-A Kalikrein : kininogenase
Proteoglikan Heparin, kondrotin sulfat, sulfat dermatan; mencegah komplemen
yang menimbulkan koagulasi
Enzim Kimase, triptase, proteolysis
Sitokin Aktivasi berbagai sel radang.
Bradikinin Peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot
polos, stimulasi ujung saraf nyeri.
Prostaglandin D2 Kontraksi otot polos paru, vasodilatasi, agregasi trombosit.
Leukotrien Kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas, kemotaksis.

2.2 Bentuk-bentuk Reaksi

a. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang
biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk. Kecenderungan
untuk menunjukkan reaksi Tipe 1 adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya
20% populasi menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi,
asma dan dermatitis atopi. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit,
segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast
akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif
bila serum (darah) orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang
normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata, hidung dan saluran nafas.
b. Reaksi sistemik anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit
saja. Anafilaksis adalah reaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs Tipe 1 atau
reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast
dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat
dipacu berbagai alergan seperti makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat atau
sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan anafilaksis, pemicu
spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang
melibatkan pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE.
Mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara
klinis reaksi ini menyerupai reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme,
anafilaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi
klinisnya sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini
tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi
anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium,
AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot.
LO 3 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas II

3.1 Mekanisme
Antobody yang sering menyeabkan penyakit adalah autoantibody yang melawan antigenself,
antibody spesifik untuk sel dan antigen jaringan dapat terfeteksi dalam jaringan dan
menyebabkan kerusakan dengan mencetuskan inflamasi lokal, merangsang fagositosis dan
menganggu fungsi seluler normal
3.2 benntuk bentuk reaksi
Ada 3 reaksi mekanisme dalam Hipersensitivitas
Reaksi yang bergantung pada
komplemen

Reaksi yang bergantung pada


Hipersensitivitas II antibody

Reaksi yang bergantung pada


ADCC

a. Reaksi yang bergantung pada komplemen

Sel normal terinfeksi oleh antigen IgG berikatan dengan antigen Sel diopsonisasi agar
mudah di fagosit Pengaktifan komplemen yang menghasilkan C3B dan C4B yang dapat
meningkatkan fagositosis Sel yang diopsonisasi dikenali oleh Fc receptor Sel di
fagositosis oleh makrofag dan neutrophil
Antibodi terikat pada jaringan ekstraseluler (membrane basal atau matriks) Pengaktifan
komplemen Menghasilkan C5a dan C3a C5a menarik neutrofil dan monosit Leukosit
aktif melepaskan bahan perusak Kerusakan Jaringan

Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks),
kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis sel.
Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya
menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga
berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan
perusak (enzim dan intermediate oksigen reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan jaringan.
Reaksi ini berperan pada glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ grafts

b. Reaksi yang tergantung pada Antibody

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel
merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Contohnya
yaitu pada penyakit miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalam motor end-
plate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Jadi
antibodi mem-block reseptor asetikolin yang berfungsi dalam kontraksi otot.
Contoh lainnya yaitu yang terjadi pada Graves disease. Graves disease adalah penyakit yang
biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar
tiroid. Akibatnya, Sel tiroid akan memproduksi hormon tiroid yang berlebihan
(hipertiroidisme).
c. Reaksi yang tergantung ADCC

Pertama, sel target mengekspresikan protein asing atau antigen. Lalu antigen
ditangkap oleh limfosit b. Selanjutnya, limfosit B aktif dan berubah menjadi sel plasma.Lalu
sel plasma menghasilkan antibody. Antibody akan berikatan dengan sel killer yang memiliki
reseptor antibody. Sel killer bersana dengan antibody yang menempel di permukaannya
selanjutnya menyerang sel target yang memasang antigennya di permukaannya. Antibody
berikatan dengan antigen di permukaan dan selanjutnya menyebabkan sel target tersebut lisis
LO. 4 Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivits III

4.1 Mekanisme
Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh
eritrosit ke hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks
imun yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang
menjadi masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks imun kecil yang
tidak bisa atau sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di pembuluh darah atau
jaringan.

1. Kompleks Imun Mengendap di Dinding Pembuluh Darah


Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga
makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak
jaringan. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan:
- Agregasi trombosit
- Aktivasi makrofag
- Perubahan permeabilitas vaskuler
- Aktivasi sel mast
- Produksi dan pelepasan mediator inflamasi
- Pelepasan bahan kemotaksis
- Influks neutrofil

2. Kompleks Imun Mengendap di Jaringan


Hal yang memungkinkan kompleks imun mengendap di jaringan adalah ukuran
kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meningkat. Hal tersebut terjadi
karena histamin yang dilepas oleh sel mast.

http://medchrome.com/wp-content/uploads/2011/08/type-3-hypersensitivity.jpg

Immune Complex Formation


Adanya antigen di dalam pembuluh darah memicu respon imun yang membuat
dilakukannya produksi antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi protein. Pada
reaksi hipersensitivitas tipe III, antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan
membentuk kompleks antigen antibodi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi.
Immune Complex Deposition
Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel, kulit,
ginjal dan persendian. Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk
membentuk cairan lain seperti urin dan cairan sinovial lebih sering terserang sehingga
meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus dan sendi. Neutrofil dan
leukosit mulai digerakkan ke tempat reaksi dan menimbulan obstruksi aliran darah.
Aktivasi sistem komplemen, menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh mastosit.
Immune Complex-Mediated Inflammation
C3a dan C5a yang terbentuk pada aktivasi komplemen meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah yang menimbulkan edema. C3a dan Ca berfungsi
sebagai fakor kemotaktik. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun bersama
dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti kolagenase
proteinase, kolegenase, enzim pembentuk kinin dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi
pendarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.

Reaksi tipe III mempunyai 2 bentuk :


a. Reaksi Arthus
Pada reaksi bentuk arthus, ditemukan eritema ringan dan edema dalam 2-4 jam sesduah
suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya. Suntikan selanjutnya
menimbulkan edema yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6 menimbulkan
perdarahan dan nekrosis. Hal tersebut disebut fenomena arthus yang merupakan bentuk
reaksi dari kompleks imun. Reaksi arthus membutuhkan antigan dan antibodi dalam
jumlah besar. Antigen yang disuntikkan akan membentuk kompleks yang tidak larut
dalam sirkulasi dan mengalami pengendapan. Mekanisme pada reaksi arthus adalah
sebaga berikut :
1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan
tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa
pengumpulan cairan di jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai
nekrosis.
2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga
bekerja sebagai faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan trombosit ke
tempat reaksi. Neutrofil dan trombosit ini kemudian menimbulkan statis dan
obstruksi total aliran darah.
3. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-bahan
seperti protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit
sehingga akan menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan
setempat.

b. Reaksi serum sickness


Reaksi serum sickness ditemukan sebagai konsekuensi imunasi pasif pada pengobatan
infeksi seperti difteri dan tetanus. Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG
atau IgM dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang
memacu sel mast dan basofil melepas histamin.
2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah yang
tinggi dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh
darah, plexus koroid, dan korpus silier mata)
3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mkrotrombi
kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut
mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan
inflamasi.
4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang
terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetap
melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak
kerusakan jaringan.
5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-mediator
antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan

Dari mekanisme diatas, beberapa hari minggu setelah pemberian serum asing akan
mulai terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di
beberapa bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis
sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi tersebut dinamakan reaksi
Pirquet dan Schick.

Pada hipersensitivitas III akan di temui Manifestasi klinis yaitu :


a. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme
b. Demam
c. Kelaianan sendi
d. Limfadenopati
e. Sindrom lupus eritematosus sistemik
f. Glomerulonefritis

Penyakit oleh kompleks imun

Penyakit Spesifitas Mekanisme Manifestasi


antibody klinopatologi
Lupus eritematosus DNA, Inflamasi Nefritis,
nucleoprotein diperantarai vaskulitis, arthritis
komlplemen dan
reseptor Fc
Poliarteritis nodosa Antigen Inflamasi Vaskulitis
permukaan virus diperantarai
hepatitis B komplemen dan
reseptor Fc
Glomreulonefritis Antigen dinding Inflamasi Nefritis
post-streptokokus sel streptokokus diperantarai
komplemen dan
reseptor Fc

LI.5. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas tipe IV

5.1. Definisi

Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediated imunity (CMI),
Delayed Type Hypersensitivity (DTH). Reaksi terjadi karena respons sel T yang sudah
disensitasi terhadap antigen tertentu. Tidak ada pernan antibodi. Antigen yang dapat
menimbulkan reaksi tersebut berupa jaringan asing, mikroorganisme intraseluler, protein atau
bahan kimia yang dapat menembus kulit. Merupakan hipersensitivitas tipe lambat yang
dikontrol sebagian besar oleh reaktivitas sel T terhadap antigen. Reaksi hipersensitivitas tipe
IV telah dibagi menjadi :

Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV


Merupakan hipersensitivitas granulomatosis, terjadi pada bahan yang tidak dapat
disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam rongga peritoneum dan kolagen
sapi dari bawah kulit.

T Cell Mediated Cytolysis


Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel
sasaran.
5.2. Etiologi

Reaksi ini terjadi karena sel T melepas sitokin bersama dengan produksi mediator
sitotoksik lainnya yang menimbulkan respon inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit
hipersensitivitas lambat.

5.3. Mekanisme

http://nfs.unipv.it/nfs/minf/dispense/immunology/lectures/files/images/type4_hypersensit
ivity.jpg

a. Fase Sensitasi
Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th diaktifkan
oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans / SD pada kulit dan makrofag)
menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan
ke sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).

b. Fase Efektor
Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan melepas
sitokin yang menyebabkan :
- Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel inflamasi).
Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.
- Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke jaringan sekitar.
- Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan menginduksi sel
Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.
Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang teraktivasi.
Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan pada T Cell
Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.
Granuloma terbentuk pada : TB, Lepra, Skistosomiasis, Lesmaniasis dan Sarkoidasis .

Dematitis kontak
Merupakan penyakit CD8+ yang terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak berbahaya
seperti formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut (contoh reaksi DTH).

Hipersensitivitas tuberkulin
Bentuk alergi spesifik terhadap produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan Mycobacterium
tuberculosis yang apabila disuntikan ke kulit (intrakutan), akan menimbulkan reaksi ini
berupa kemerahan dan indurasi pada tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang
pernah kontak dengan M. tuberkulosis, kulit akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca
induksi. Reaksi ini diperantarai oleh sel CD4+.

Reaksi Jones Mote


Reaksi terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil yang mencolok
pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut sebagai hipersensitivitas basofil kutan.
Reaksi ini lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah
kecil, tidak terjadi nekrosis jaringan. Reaksi ini disebabkan oleh suntikan antigen larut
(ovalbumin) dengan ajuvan Freund.

Penyakit CD8+ ( T cell mediated cytolysis )


Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel
sasaran. Penyakit ini terbatas pada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik, contoh
pada infeksi virus hepatitis.
Contoh mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe IV :
Reaksi pada infeksi parasit dan bakteri intrasel
a. DTH mengaktifkan influks makrofag pada infeksi yang tidak dapat ditemukan oleh
antibodi.
b. Makrofag melepaskan enzim litik yang menyebabkan kerusakan jaringan.
c. Bila enzim litik terus diproduksi dapat mengakibatkan reaksi granulomatosis yang
akan menyebabkan nekrosis pada jaringan yang dapat mengenai jaringan
pembuluh darah

Respon pada infeksi M. tuberkulosis


a. Bakteri mengaktifkan respon DTH yang selanjutnya mengaktifkan makrofag yang
merangsang isolasi kuman dalam lesi granuloma (tuberkulin)
b. Tuberkulin akan melepaskan enzim litik yang akan merusak jaringan paru-paru dan
menimbulkan nekrosis jaringan.

Granuloma terbentuk pada :


a. TB
b. Lepra
c. Skistosomiasis
d. Lesmaniasis
e. Sarkoidasis
LI.6. Memahami dan Menjelaskan Farmakologi Anti Alergi

6.1. Memahami dan Menjelaskan Antihistamin


Antihistamin atau antagonis histamin adalah zat yang mampu mencegah pelepasan atau
kerja histamin. Ada banyak golongan obat yang termasuk dalam antihistamin, yaitu antergan,
neontergan, difenhidramin, dan tripelenamin yang efektif untuk mengobati edema, eritem, dan
pruritus, dan yang baru ini ditemukan adalah burinamid, metiamid, dan simetidin untuk
menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Ada 2 jenis antihistamin, yaitu
Antagonisreseptor H1 (AH1) dan Antagonis reseptor H2 (AH2).
1. Antagonis reseptor H1 (AH1)
a. Farmakodinamik :
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam otot
polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau
keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.
b. Farmakokinetik :
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral
dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar
tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan
kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati.
AH1 disekresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk
metabolitnya.
c. Indikasi :
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan
mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.
d. Efek samping :
Efek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang
berhubungan dengan AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi,
penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah,insomnia, tremor, nafsu makan
berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasiatau diare,mulut
kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada
tangan.
2. Antagonis reseptor H2 (AH2)
Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Antagonis
reseptor H2 yang ada dewasa ini adalah simetidin, ranitidin, famotidine, dan
nizatidin.
1) Simetidin dan Ranitidina.
a. Farmakodinamik :
Simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversible. Kerjanya menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan
ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
b. Farmakokinetik :
Absorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan
bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperanjang
efek pada periode pasca makan. Ranitidinmengalami metabolisme lintas
pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin
dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja.
c. Indikasi :
Efektif untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat
penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan
mempercepat penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan
refluks lambung-esofagus.
d. Efek samping :
Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor H2, seperti
nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit,
pruritus, kehilangan libido dan impoten.
2) Famotidina.
a. Farmakodinamik :
Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam
lambung pada keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh
pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih poten daripada ramitidin dan 20 kali
lebih poten daripada simetidin.
b. Farmakokinetik :
Famotidin mencapai kadar puncak di plasma kira-kira dalam 2 jam setelah
penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam. Metabolit utama
adalah famotidin-S-oksida. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh
eliminasi dapat melibihi 20 jam.
c. Indikasi :
Efektifitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung, refluks
esofagitis, dan untuk pasien dengan sindrom Zollinger-Ellison.
d. Efek samping :
Efek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala, pusing,
konstipasi dan diare, dan tidak menimbulkan efek anti androgenik.
3) Nizatidin
a. Farmakodinamik :
Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung.
b. Farmakokinetik :
Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam,
masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengn 10 jam,
disekresi melalui ginjal.
c. Indikasi :
Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali sehari selama
8 minggu, tukak lambung, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellion.
d. Efek samping :
Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki efek
antiandrogenik.
6.1.Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di kulit kelenjar
adrenal. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya
tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi,
metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.
a. Farmakodinamik :
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.
Selain itu juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik,
sistem saraf dan organ lain.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar
yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek
anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit
kecil.
Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit,
sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.
Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa
kerjanya yaitu:
1. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
2. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
3. Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.
b. Farmakokinetik
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja
dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan
protein. Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan
ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.
c. Indikasi :
Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat ini
digunakan:
Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial
dan error dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan
penyakit.
Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi
spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis
melebihi dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan
bertambah.
Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan
merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena
efek anti-inflamasinya.
Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis
besar,mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam
jiwa pasien.
d. Kontraindikasi :
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid.
Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan
yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama
pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat akan diberikan untuk
beberapa hari atu beberapa minggu, kontraindikasi relatif yaitu diabetes mellitus
tukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan system
kardiovaskular lainnya.
e. Efek samping :
Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara tiba-tiba atau
pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.
Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat
menimbulkan insifisiensi adrenal akut dengan gejala demam, malgia, artralgia
dan malaise.
Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan
elektrolit, hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama
tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau
perforasi, osteoporosis dll.
Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat
kortikosteroidsintetik.
Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan
dengan kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan dianjurkan untuk
melaakukan pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum
obat diberikan.
LI 7 Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Tentang Memilih Obat
Maslahah
Kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazali mengemukakan penjelasan tentang al-
maslahah yaitu: Pada dasarnya al-maslahah adalah suatu gambaran untuk mengabil
manfaat atau menghindarkan kemudaratan, tapi bukan itu yang kami maksudkan,
sebab meraih manfaat dan menghindarkan kemudaratan terseut bukanlah tujuan
kemasalahatan manusia dalam mencapai maksudnya. Yang kami maksud dengan
maslahah adalah memelihara tujuan syara.
Ungkapan al-Ghazali ini memberikan isyarat bahwa ada dua bentuk
kemaslahatan, yaitu
Kemasalahatan menurut manusia, dan
Kemaslahatan menurut syariat.

Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah dikisahkan bahwa seorang Anshar
terluka di perang Uhud. Rasulullah pun memanggil dua orang dokter yang ada di kota
Madinah, lalu bersabda, Obatilah dia.
Dalam riwayat lain ada seorang sahabat bertanya,Wahai Rasulullah, apakah
ada kebaikan dalam ilmu kedokteran? Rasullah menjawab, Ya,
Begitu pula yang diriwayatkan dari Hilal bin Yasaf bahwa seorang lelaki
menderita sakit di zaman Rasulullah. Mengetahui hal itu, beliau bersabda, Panggilkan
dokter. Lalu Hilal bertanya, Wahai Rasulullah, apakah dokter bisa melakukan sesuatu
untuknya? Ya, jawab beliau. (HR Ahmad dalam Musnad: V/371 dan Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushannaf: V/21)
Hilal meriwayatkan bahwa Rasulullah mnjenguk orang sakit lalu bersabda,
Panggilkan dokter! kemudian ada yang bertanya, Bahkan engkau mengatakan hal
itu, wahai Rasulullah? Ya, jawab beliau.
Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bagaimana Rasulullah
menganjurkan kita untuk berobat dan berusaha menggunakan ilmu kedokteran yang
diciptakan Allah untuk kita. Kita juga ditekankan agar tidak menyerah pada penyakit
karena Rasulullah bersabda, Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai
Allah daripada mukmin yang lemah. (HR Muslim (34) dan Ahmad: II/380)
Di antaranya yang ada di Musnad Ahmad. Hadits Ziyadah bin Alaqah dari
Usamah bin Syuraik menuturkan,Aku berada bersama Nabi lalu datanglah
sekelompok orang Badui dan bertanya,Wahai Rasulullah, apakah kita boleh berobat?
Rasulullah menjawab, Ya, wahai hamba Allah, berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak
menciptakan penyakit kecuali Allah menciptakan obatnya, kecuali satu macam
penyakit. Mereka bertanya,Apa itu? Rasulullah menjawab,Penyakit tua.(HR
Ahmad dalam Musnad : IV/278, Tirmidzi dalam Sunan (2038))
Nabi bersabda,Setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat tepat pada
penyakitnya maka ia akan sembuh dengan izin Allah. (HR Muslim: I/191)
Abu Hurairah meriwayatkan secara marfu, Tidaklah Allah menurunkan panyakit
kecuali menurunkan obatnya.(HR Bukhari: VII/158)
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, Kesembuhan ada pada tiga hal, minum
madu, pisau bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api. (HR
Bukhari dan Muslim)
Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun
untuk kemaslahatan artinya : semua syariat dalam perintah dan larangannya serta
hukum-hukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-manfaat) dan makna
masholihi adalah : jamak dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan.

Misal : Allah melarang minuman keras dan judi karena mudharat (bahayanya) lebih
besar dari pada manfaatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :219

2:219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya.

1. Firman Allah taala :

)157 : (

Dan dia menghalalkan yang baik bagi mereka serta mengharamankan bagi mereka
segala sesuatu yang buruk ( al araf : 157 )

Rokok termasuk hal yang buruk dan membahayakan diri sendiri , dan orang lain serta
tak sedap baunya.

2. ) 195 : (

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan ( al baqoroh


: 195)

Rokok mengakibatkan penyakit yang bisa membinasakan seperti kanker, penyakir


paru-paru dan lain sebagainya.

3. ) 29 : (

Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah terhadap kalian Maha
menyayangi ( an nisa : 29 )

Rokok bisa membunuh penghisapnya secara perlahan-lahan

4. ) 19 : (

Dosa keduanya ( minuman keras dan judi ) lebih besar dari pada manfaatnya. (QS
Al-Baqoroh : 219 )
Rokok bahayanya lebih besar dari pada manfaatnya baik bagi dirinya sendiri ataupun
orang lain.

5. ) 26 : (

Janganlah menghambur-hamburkan ( hartamu ) dengan boros, sesungguhnya


pemborosan itu adalah saudaranya syaithon. (QS Al-Isra : 26 )

Membeli rokok adalah merupakan pemborosan dan pemborosan termasuk


perbuatannya syaithon.

6. Rasulullah Shallallahualaihi wasallam bersabda :

tidak boleh membahayakan diri sendiri ataupun orang lain

Merokok membahayakan si perokok, menganggu orang lain dan membuang-buang


harta.

7. Sabda Nabi Muhammad Shallallahualaihi wasallam :

( ) ( )

Allah membenci untukmu perbuatan menyia-yiakan harta. ( HR bukhari-muslim


).

Merokok adalah menyia-nyiakan harta dan dibenci Allah.

8. Sabda Rasulullah Shallallahualaihi wasallam :

) (

Perumpamaan kawan duduk yang baik dengan kawan duduk yang jelek ialah seperti
pembawa minyak wangi dengan peniup api (tukang pandai besi) (HR Bukhari-
Muslim)

Perokok adalah kawan duduk yang jelek yang meniup api yang bisa membakar orang
di sekitarnya ataupun menyebabkan bau yang tidak sedap.

9. ( )

Barang siapa menghirup (meminum) racun hingga mati maka racun itu akan berada
di tangannya lalu dihirupkan slama-lamanya di neraka jahannam. (HR Muslim).

Rokok mengandung racun (nikotin) yang membunuh penghisapnya perlahan-lahan


dan menyiksanya.
10. Sabda Rasulullah Shallallahualaihi wasallam :

) (

Barang siapa makan bawang putih atau bawang merah hendaknya menyingkir
(menjauh) dari kita dan menjauhi masjid kami dan duduklah dirumah. (HR Bukhari-
Muslim).

Rokok lebih busuk baunya dari pada bawang putih ataupun bawang merah .

11. Sebagian besar ahli fiqh mengharamkan rokok, sedang yang tidak
mengaharamkan rokok belum melihat bahayanya yang nyata yaitu penyakit kanker
dan paru-paru yang bisa membunun penghisapnya.

Al-Quran obat terbaik


Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman. Dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-
orang zalim selain kerugian. (Al-Isra:82)
Dalam hal ini Rasulullah bersabda, Di dalam tubuh terdapat segumpal darah,
jika ia baik maka seluruh tubuh akan menjadi baik.(HR Bukhari: I/153 (53) dalam
Fathul Bari)

Mafsadah
Al-mafsadah, yaitu sesuatu yang banyak keburukkannya.
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, K.G. & Rengganis, I. 2014. Imunologi Dasar. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Dorland W.A.N. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC.
Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, 2011. Farmakologi dan Terapi. Edisi V,
Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI
http://allergycliniconline.com/2012/02/01/imunologi-dasar-reaksi-hipersensitivitas/
http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/imunologi/hipersensitifitas-tipe-iv-delayed-
type-hypersensitivity-tipe-iv/

Jawetz, Melnick and Adelbergs, 2012. Medical Microbiology. Edisi 26: McGraw Hill.
Medical

Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran: 2005. Pathologic basis of disease. 7th ed. China:
Elsevier Saunders

Price A S, Wilson M L.2014. Patofisiologi: Konsep klinis proses proses penyakit. Edisi
6.vol1. EGC Jakarta
Setiati T, Alwi I, Sudoyo A W, dkk. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6 jilid 1 : Interna
Publishing

Anda mungkin juga menyukai