KELOMPOK B - 3
KETUA
: RIZKY GUMELAR P.
(1102012254)
(1102012183)
:
MOHAMAD NAUFAL Y DK
(1102011165)
METTY TUSIANA
(1102012162)
MUHAMMAD ZULFIKAR
(1102012182)
MUTIARA ALDERISA
(1102012185)
SILA INGGIT F.
(1102012276)
SITI ANDRIATI F.
(1102012278)
(1102012300)
(1102012313)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp. 62.21.4244574 Fax. 62.21. 4244574
SKENARIO 2
REAKSI ALERGI
Seorang perempuan berusia 25 tahun, datang ke dokter dengan keluhan demam dan
sakit menelan sejak 2 minggu yang lalu. Dokter memberikan antibiotika golongan penisilin.
Setelah minum antibiotika tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah yang hampir merata di
seluruh tubuh, timbul bengkak pada kelopak mata dan bibir. Ia memutuskan untuk kembali
berobat ke dokter, Pada pemeriksaan fisik didapatkan angioedema di mata dan bibir, dan
urtikaria di seluruh tubuh. Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi
(hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia mendapatkan obat anti histamin dan kortikosteroid.
Dokter memberikan saran agar selalu berhati - hati dalam meminum obat.
SASARAN BELAJAR
LI. 1.
LI. 2.
LI. 3.
LI. 4.
LI. 5.
LI. 6.
Definisi
LO.1.2
Klasifikasi
Definisi
LO.2.2
Etiologi
LO.2.3
Mekanisme
LO.2.4
Manifestasi klinik
Definisi
LO.3.2
Klasifikasi
LO.3.3
Mekanisme
LO.3.4
Manifestasi klinik
Definisi
LO.4.2
Klasifikasi
LO.4.3
Mekanisme
LO.4.4
Manifestasi klinik
Definisi
LO.5.2
Klasifikasi
LO.5.3
Mekanisme
LO.5.4
Manifestasi klinik
Definisi
LO.6.2
LI.7.
LI. 1.
Definisi
Klasifikasi
Reaksi intermediet
- Terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam.
- Melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui
aktivasi komplemen atau sel NK/ADCC.
- Menifestasi berupa :
i.
Reaksi tranfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun.
ii.
Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis
nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES.
- Reaksi ini diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh
sel neutrofil atau sel NK.
Reaksi lambat
- Terlihat sampai 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh
aktivasi sel Th.
- Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang
menimbulkan kerusakan jaringan.
- Contoh reaksi : dermatitis kontak, reaksi M.tuberkulosis dan reaksi penolakan
tandur.
Sumber : http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/16/reaksi-hipersensitivitas/
LI. 2.
Definisi
Reaksi hipersensitifitas tipe I adalah suatu reaksi yang terjadi secara cepat atau reaksi
anafilaksis atau reaksi alergi mengikuti kombinasi suatu antigen dengan antibodi yang terlebih
dahulu diikat pada permukaan sel basofilia (sel mast) dan basofil.
LO.2.2
Etiologi
Yang sering menjadi penyebab reaksi tipe I adalah serbuk sari, bisa serangga, alergen
hewan, jamur, obat, dan makanan (Price, 2007).
LO.2.3
Mekanisme
Fase efektor yaitu waktu yang terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivasi farmakologik.
Sumber : http://medicarea.blogspot.com/2010/06/reaksi-hipersensitivitas_21.html
Prosesnya adalah sebagai berikut:
Ketika suatu alergen masuk ke dalam tubuh, pertama kali ia akan terpajan oleh makrofag.
Makrofag akan mempresentasikan epitop alergen tersebut ke permukaannya, sehingga
makrofag bertindak sebagai antigen presenting cells (APC). APC akan
mempresentasikan molekul MHC-II pada Sel limfosit Th2, dan sel Th2 mengeluarkan
mediator IL-4 (interleukin-4) untuk menstimulasi sel B untuk berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel Plasma. Sel Plasma akan menghasilkan antibodi IgE dan IgE
ini akan berikatan di reseptor FC-R di sel Mast/basofil di jaringan. Ikatan ini mampu
bertahan dalam beberapa minggu karena sifat khas IgE yang memiliki afinitas yang
tinggi terhadap sel mast dan basofil. Ini merupakan mekanisme respon imun yang masih
normal.
Namun, ketika alergen yang sama kembali muncul, ia akan berikatan dengan IgE yang
melekat di reseptor FC-R sel Mast/basofil tadi. Perlekatan ini tersusun sedimikian rupa
sehingga membuat semacam jembatan silang (crosslinking) antar dua IgE di permukaan
(yaitu antar dua IgE yang bivalen atau multivalen, tidak bekerja jika igE ini univalen).
Hal inilah yang akan menginduksi serangkaian mekanisme biokimiawi intraseluler
secara kaskade, sehingga terjadi granulasi sel Mast/basofil. Degranulasi ini
mengakibatkan pelepasan mediator-mediator alergik yang terkandung di dalam
granulnya seperti histamin, heparnin, faktor kemotaktik eosinofil, danplatelet activating
factor (PAF). Selain itu, peristiwa crosslinking tersebut ternyata juga merangsang sel
Mast untuk membentuk substansi baru lainnya, seperti LTB4, LTC4, LTD4,
prostaglandin dan tromboksan. Mediator utama yang dilepaskan oleh sel Mast ini
diperkirakan adalah histamin, yang menyebabkan kontraksi otot polos,
Manifestasi klinik
Reaksi lokal
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang
biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk. Kecenderungan untuk
menunjukkan reaksi Tipe 1 adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20% populasi
menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis
atopi. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel
mast/basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa
minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi
dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit,
mata, hidung dan saluran nafas.
Reaksi Alergi :
Jenis Alergi
Anafilaksis
Alergen Umum
Obat, serum, kacangkacangan
Urtikaris
Sengatan serangga
akut
Rinitis alergi Polen, tungau debu rumah
Asma
Makanan
Ekzem atopi
LI. 3.
Gambaran
Edema dengan peningkatan permeabilitas
kapiler, okulasi trakea , koleps sirkulasi
yang dapat menyebabkan kematian
Bentol, merah
Edema dan iritasi mukosa nasal
Konstriksi bronkial, peningkatan produksi
mukus, inflamasi saluran nafas
Urtikaria yang gatal dan potensial menjadi
anafilaksis
Inflamasi pada kulit yang terasa gatal,
biasanya merah dan ada kalanya vesikular
Definisi
Reaksi hipersensitifitas tipe II disebut juga dengan reaksi sitotoksik, atau sitolisis.
Reaksi ini melibatkan antibodi IgG dan IgM yang bekerja pada antigen yang terdapat di
permukaan sel atau jaringan tertentu. Antigen yang berikatan di sel tertentu bisa berupa mikroba
atau molekul2 kecil lain (hapten). Ketika pertama kali datang, antigen tersebut akan
mensensitisasi sel B untuk menghasilkan antibodi IgG dan IgM. Ketika terjadi pemaparan
berikutnya oleh antigen yang sama di permukaan sel sasaran, IgG dan IgM ini akan berikatan
dengan antigen tersebut. Ketika sel efektor (seperti makrofag, netrofil, monosit, sel T cytotoxic
ataupun sel NK) mendekat, kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran tersebut akan
dihancurkan olehnya. Hal ini mungkin dapat menyebabkan kerusakan pada sel sasaran itu
sendiri, sehingga itulah kenapa reaksi ini disebut reaksi sitotoksik/sitolisis (sito = sel, toksik =
merusak, lisis = menghancurkan).
LO. 3.2.
Etiologi
Mekanisme
Sumber : http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/imunologi/hipersensitivitas-tipe-2sitotoksik/
Prosesnya ada 3 jenis mekanisme yang mungkin, yaitu:
Proses sitolisis oleh sel efektor. Antibodi IgG/IgM yang melekat dengan antigen sasaran,
jika dihinggapi sel efektor, ia (antibodi) akan berinteraksi dengan reseptor Fc yang
terdapat di permukaan sel efektor itu. Akibatnya, sel efektor melepaskan semacam zat
toksik yang akan menginduksi kematian sel sasaran. Mekanisme ini disebut ADCC
(Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity).
Proses sitolisis oleh sel efektor dengan bantuan komplemen. Komplemen C3b yang
berikatan dengan antibodi akan berikatan di reseptor C3 pada pemukaan sel efektor. Hal
ini akan meningkatkan proses sitolisis oleh sel efektor.
Keseluruhan reaksi di atas terjadi dalam waktu 5-8 jam setelah terpajan antigen yang sama untuk
kedua kalinya.
LO.3.4
Manifestasi klinik
Ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan
darah rhesus dan janin dengan rhesus (+).
LI. 4.
Anemia hemolitik
- Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat
diabsorbsi non spesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks
serupa kompleks molekul hapten pembawa.
- Pada beberapa penderita, kompleks membentuk ab yang selanjutnya mengikat
obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan
anemia progresif.
Memahami dan menjelaskan hipersensitifitas III
LO.4.1
Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe III atau yang disebut juga reaksi kompleks imun adalah
reaksi imun tubuh yang melibatkan kompleks imun yang kemudian mengaktifkan komplemen
sehingga terbentuklah respons inflamasi melalui infiltrasi masif neutrofil.
LO.4.2
Etiologi
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah
organ yang diinfektif dan ginjal.
Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah
ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat
kompleks yang mengendap adalah paru.
LO.4.3
Mekanisme
Hal ini akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang
ditimbulkan. Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C5-6-7 yang telah
diaktifkan menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C8-9. Dalam keadaan tertentu, trombosit
akan menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang menyediakan zat-zat
amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan iskemia setempat.
Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :
Aktivasi komplemen
- Melepaskan anafilaktoksin (C3a, C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas
histamine.
- Melepas faktor kemotaktik (C3a, C5a, C5-6-7) mengerahkan polimorf yang
melepas enzim proteolitik dan enzim polikationik.
Menimbulkan agregasi trombosit
- Menimbulkan mikrotrombi.
- Melepas amin vasoaktif.
Mengaktifkan makrofag Melepas IL-1 dan produk lainnya
LO.4.4
Manifestasi klinik
Manifestasi khas : reaksi lokal seperti Arthus dan sistemik seperti serum sickness,
vaskulitis dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES .
C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga bekerja sebagai
faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan trombosit ke tempat reaksi.
Neutrofil dan trombosit ini kemudian menimbulkan statis dan obstruksi total
aliran darah.
Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-bahan
seperti protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit
sehingga akan menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.
Definisi
menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke sel
T sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).
Fase efektor
Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel Th1 dan melepas
sitokin yang menyebabkan :
- Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan sel
inflamasi). Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak kedua.
- Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke jaringan
sekitar.
- Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan menginduksi
sel Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.
Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang
teraktivasi. Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan pada T
Cell Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.
Granuloma terbentuk pada : TB, Lepra, Skistosomiasis, Lesmaniasis dan Sarkoidasis.
LO.5.4
Manifestasi klinik
LI. 6.
Definisi
LO.6.2
A. Antihistamin
Antihistamin atau antagonis histamin adalah zat yang mampu mencegah pelepasan atau
kerja histamin. Ada banyak golongan obat yang termasuk dalam antihistamin, yaitu antergan,
neontergan, difenhidramin, dan tripelenamin yang efektif untuk mengobati edema, eritem, dan
pruritus, dan yang baru ini ditemukan adalah burinamid, metiamid, dan simetidin untuk
menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Ada 2 jenis antihistamin, yaitu Antagonis
reseptor H1 (AH1) dan Antagonis reseptor H2 (AH2).
1). Antagonis reseptor H1 (AH1)
a. Farmakodinamik :
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam otot
polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau
keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.
b. Farmakokinetik :
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral dan
maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar tertinggi
terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya
lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui
urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya
c. Indikasi :
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah
atau mengobati mabuk perjalanan.
d. Efek samping :
Efek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang berhubungan
dengan AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur,
diplopia, euforia, gelisah, insomnia, tremor, nafsu makan berkurang, mual, muntah,
keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare,mulut kering, disuria, palpitasi,
hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan.
2). Antagonis reseptor H2 (AH2)
Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Antagonis reseptor H2 yang
ada dewasa ini adalah simetidin, ranitidin, famotidine, dan nizatidin.
1. Simetidin dan Ranitidin
a. Farmakodinamik :
b.
c.
d.
2. Famotidin
a. Farmakodinamik :
Famotidin merupakan AH2sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada
keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali
lebih poten daripada ramitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
b. Farmakokinetik :
Famotidin mencapai kadarpuncak di plasma kira kira dalam 2 jam setelah
penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam. Metabolit utama adalah
famotidin-S-oksida. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat
melibihi20 jam.
c. Indikasi :
Efektifitas pbat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung, refluks esofagitis,
dan untuk pasiendengan sindrom Zollinger-Ellison.
d. Efek samping :
Efek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala, pusing, konstipasi dan
diare, dan tidak menimbulkan efek antiandrogenik.
3. Nizatidin
a. Farmakodinamik :
Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung.
b. Farmakokinetik :
c.
d.
Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh
plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengn 10 jam, disekresi melalui
ginjal.
Indikasi :
Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali sehari selama 8
minggu, tukak lambung, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellion.
Efek samping :
Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki efek
antiandrogenik
B. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di kulit kelenjar
adrenal. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan
terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme
karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku. Kortikosteroid bekerja
dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati
membran plasma secara difusi pasif.
a. Farmakodinamik :
- Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu juga
mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ lain.
- Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid.
1. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek antiinflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil.
2. Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit,
sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.
- Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa kerjanya.
1. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
2. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
3. Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.
b. Farmakokinetik
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja dan
lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan protein.
Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial.
Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek
sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.
c. Indikasi
Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat ini digunakan :
Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial dan
error dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.
Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi
spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis
melebihi dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan
bertambah.
Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan
terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek antiinflamasinya.
Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,
mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa
pasien.
d. Kontraindikasi :
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian
dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat
merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa
pasien.
Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu, kontraindikasi
relatif yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan
sistem kardiovaskular lainnya.
e. Efek samping :
- Efek samping dapat timbul karena peenghentian pemberian secara tiba-tiba atau
pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.
- Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan
insifisiensi adrenalm akut dengan gejala demam, malgia, artralgia dan malaise.
- Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan
elektrolit, hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama
tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau
perforasi, osteoporosis dll.
- Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat
kortikosteroid sintetik.
- Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan
kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melaakukan
pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat
diberikan.
DAFTAR PUSTAKA