Anda di halaman 1dari 23

LI.

Mempelajari dan Memahami Hipersensitivitas


LO.1.1 Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap
antigen yang pernah di pajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas
adalah respons imun, baik sesifik atau nonspesifik yang pada umumnya
menguntungkan bagi tubuh dan berfungsi sebagai rotektif terhadap infeksi atau
pertumbuhan kanker, tetapi reaksi hipersensitivitas ini dapat menimbulkan hal
yang tidak menguntungkan bagu tubuh yatu berupa penyakit. (Karnen, 2006)
Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas dimana tubuh
bereaksi dengan respon imun secara berlebihan terhadap bahan asing. (Dorland,
2002)

LO.1.2 Etiologi Hipersensitivitas


1) Autoimunitas
Secara normal, sistem imun tidak bekerja untuk melawan antigen individu
sendiri. Fenomena ini disebut “self-tolerance”, yaitu kita mentoleransi antigen
kita sendiri. Terkadang terjadi kegagalan pada self-tolerance, yang
mengakibatkan reaksi melawan sel tubuh dan jaringan sendiri dan ini disebut
autoimunitas.

2) Reaksi melawan mikroba


Terdiri dari banyak tipe reaksi melawan antigen mikroba yang dapat
menyebabkan penyakit. Dalam beberapa kasus, reaksi muncul berlebihan atau
antigen mikroba tetap ada. Jika antibody dibentuk melawan antigen tersebut,
maka antibody akan mengikat antigen mikroba dan membentuk kompleks
imun, yang dapat mengendap apda jaringan dan memicu inflamasi. Sel T
merespon melawan mikroba yang akan meningkatkan inflamasi hingga parah,
terkadang dengan adanya formasi granuloma yang dapat menyebabkan
kerusakan jaringan di tuberculosis dan penyakit infeksi lainnya.

3) Reaksi melawan antigen di lingkungan


Sebagian besar individu sehat tidak bereaksi secara kuat untuk melawan zat
yang umum pada lingkungan (contoh : serbuk, bulu binatang, debu), tetapi
hampir 20% dari populasi alergi terhadap zat tersebut. Alergi adalah penyakit
yang disebabkan oleh berlebihannya respon imun terhadap beberapa beberapa
jenis yang tidak infeksius yang sebaliknya tidak berbahaya. (Lichtman, 2005)

LO.1.3 Klasifikasi Hipersensitivitas


A. Pembagian Reaksi Hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi
1) Reaksi Cepat, terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam.
Ikatan silang antara allergen dan IgE pada permukaan sel mast
menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Menifestasi reaksi cepat
berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal
2) Reaksi Intermediet, terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam
24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukkan kompleks imun IgG dan
kerusakkan jaringan melalui aktivasi komplemen dana tau sel NK/ADCC.
Menifestasi reaksi intermediet berupa:
- Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik
autoimun.
- Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness,
vasculitis nekrotis, glomerulonefritis, arthritis rheumatoid dan LES.
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakkan jaringan pejamu yang
disebabkan oleh sel neutrophil atau sel NK.
3) Reaksi Lambat, terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjani pajanan
dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel T-h. Pada DTH, sitokin yang
dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan
kerusakkan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi
M. tuberculosis dan reaksi penolakkan tandur. (Imunologi Dasar FKUI)

B. Pembagian Reaksi Hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs


1. Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi cepat atau reaksi alergi.
2. Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik atau reaksi sitolitik.
3. Reaksi hipersensitivitas tipe III atau reaksi kompleks imun.
4. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau reaksi lambat.(Karnen, 2006)
PAKE GAMBAR AJA DI BUKU IMUNOLOGI UI ADA HALAMAN
322 TAPI COBA CARI DI ABBAS BIAR BERWARNA DI ABBAS
HALAMAN 240

LI.2 Mempelajari dan Memahami Hipersensitivitas Tipe 1


LO.2.1 Menjelaskan Mekanisme Hipersensitivitas Tipe 1
Rangkaian kejadian dalam perkembangan hipersensitivitas cepat dimulai
dengan aktivasi Th2 dan sel T Helper folikuler (Tfh) pensekresi IL-4 yang
merangsang pembentukan antibodi IgE sebagai respon terhadap
antigen,pengikatan IgE pada reseptor Fc spesifik sel mast , kemudian pada
kemudian pada paparan antigen berikutnya pengikatan silang IgE yang terikat
antigen , dan pelepasan mediator sel mast.

 Aktivasi sel Th2


dan produksi IgE
Hipersensitivitas
cepat berkembang
sebagai
konsekuensiaktivasi
sel Th2 dalam
respon terhadap
antigen protein atau
kimia yang
berikatan dengan
protein.masih belum dimengerti mengapa hanya sebagian kecil antigen
lingkungan umum dapat menimbulkan reaksi yang diperantarai Th2 dan produksi
IgE.
Dua dari beberapa sitokin yang disekresi oleh sel Th2 atau sel Tfh yaang
diaktifkan oleh yang sama adalah interleukin(IL)-4 dan IL-3. Sitokin tersebut
merangsang sel B plasma limfosit B berubah menjadi selplasma yang
memproduksi IgE.oleh karena itu indivudi atopik menghasilkan banyak antibodi
IgE sebagai respon antigen yang tidak tidak menimbulkanrespon IgE pada orang
lain.
 Aktivasi sel mast dan pelepasan mediator
Antibodi IgE dihasilkan sebagai respons terhadap alergen yang berikatan
dengan Fc berafinitas tinggi spesifik untuk rantai berat ε , yang dieksprsikan
pada sel mast.oleh karena itu, padaindividu atopik sel mast diselubungi dengan
antibodi IgE spesifikuntuk antigen yang menimbulkan alergi.proses
penyelubungan sal mast disebut sensitasi, karena penyelubungan dengan IgE
spesifik antigen membuat sel mast sensitif terhadap aktivasi oleh pertemuan
berikutnya dengan antigen tersebut pada waktu sel mast tersensitasi IgE terpapar
alergen/ ,sel diaktivasi mensekresi mediator-mediatornya. Aktivasi sel mast
ditimbulkan dari pengikatan alergen pada dua atau lebih dengan antibodi IgE
pada sel. Ketika ini terjadi,molekul FcεRI yang membawa IgE terikat silang ,
memicu sinyal biokimia dari rantai transduksi sinyal FcεRI. Sinyal tersebut
memicu tiga respons sel mast:
1. Pelepasan cepat granula (degranulasi)
2. Sintesis dan sekresimediator lipid
3. Sintesisdan sekresi sitokin

Mediator-mediator yang diproduksi oleh sel mast memiliki efek yan


berbeda-beda. Sitokin yang diproduksi oleh merangsangpengerahan
leukosit,yang menyebabkan fase lambat leukosit utamayang telibat dalam reaksi
ini adalah eosinofil,neutrofil, dan sel Th2. TumorNecrosis Factor (TNF) dan IL-4
dari sel yang menyebabkan inflamasi yang banyak neutrofil dan eosinofil.
eosinofil dan neutrofil melepaskan protease, yang menyebabkan kerusakan
jaringan, dan sel Th2 dapat memperberat reaksi dengan memperbanyak sitokin.
(IMUNOLOGI DASAR UI ED.11,2016)

LO.2.2 Menjelaskan Mediator Pada Hipersensitivitas Tipe 1


1. Histamin
Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat
granul. Histamin yang merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat oleh
reseptornya. Ada 4 reseptor histamin (H1,H2,H3,H4) dengan distribusi yang
berbeda dengan jaringan dan bila berikatan dengan histamin, menunjukkan
berbagai efek.
2. PG dan LT
Mediator PG dan LT ( dulu SRS-A ) yang dihasilkan dari metabolisme asam
arakidonat serta berbagai sitokin berperan pada fase lambat reaksi tipe 1. Fase
lambat sering timbul setelah fase cepat hilang yaitu antara 6-8 jam. PG dan LT
merupakan mediator sekunder yang kemudian dibentuk dari metabolisme asam
arakhidonat atas pengaruh fosfolipase A2. Efek biologisnya timbul lebih lambat,
namun lebih menonjol dan berlangsung lebih lama dibandingkan histamin. LT
berperan pada bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas vaskular dan produksi
mukus. PGE2 menimbulkan bronkonstriksi.
3. Sitokin
Berbagai sitokin dilepas sel mast dan basofil seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10,
IL-13, GM-CSF dan TNF-alfa. Beberapa diantaranya berperan dalam manifestasi
klinis reaksi tipe 1. Sitokin – sitokin tersebut mengubah lingkungan mikro dan
dapat mengerahkan sel inflamasi seperti neutrofil dan eosinofil. IL-4 dan IL-13
meningkatkan produksi IgE oleh sel B. IL-5 berperan dalam pengerahan dan
aktivasi eosinofil. Kadar TNF-alfa yang tinggi dan dilepas sel mast berperan
dalam renjatan anafilaksis. (IMUNOLOGI DASAR UI ED.11,2016)
LI.3 Mempelajari dan Memahami Hipersensitivitas Tipe 2
LO.3.1 Menjelaskan Mekanisme Hipersensitivitas Tipe 2
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan
bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki
reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan
menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi Tipe II dapat menunjukkan
berbagai manifestasi klinik.

Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di


jaringan dan menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau
mengganggu fungsi sel normal. Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi
inflamasi dengan memanggil dan mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari
subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada reseptor Fc neutrofil dan makrofag dan
mengaktivasi leukosit-leukosit ini, menyebabkan inflamasi. IgM mengaktivasi
sistem komplemen melalui jalur klasik, menyebabkan produksi zat-zat yang
dihasilkan komplemen yang merekrut leukosit dan menginduksi inflamasi. Ketika
leukosit teraktivasi di situs deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi substansi
seperti intermediet reaktif oksigen dan enzim lisosom yang merusak jaringan
disekitarnya. Jika antibodi terikat pada sel, seperti eritrosit dan platelet, sel akan
teropsonisasi dan dapat dicerna dan dihancurkan oleh fagosit penjamu.
Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa secara langsung
menyebabkan jejas jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor hormon
yang dapat menghambat fungsi reseptor; pada beberapa kasus myasthenia gravis,
antibodi terhadap reseptor asetilkolin menghambat transmisi neuromuskular dan
menyebabkan paralisis. Antibodi lainnya dapat mengaktivasi reseptor tanpa
adanya hormon fisiologis; seperti pada Graves’ disease, dimana antibodi terhadap
reseptor TSH menstimulasi sel tiroid bahkan tanpa keberadaan hormon tiroid.

Reaksi yang bergantung pada


Komplemen
Hipersensitivitas Reaksi yang bergantung pada ADCC
Tipe II
Disfungsi Sel akibat Antibodi

a. Reaksi Yang Bergantung Pada Komplemen

Sel normal terinfeksi oleh antigen →IgG berikatan dengan antigen →Sel diopsonisasi
agar mudah di fagosit →Pengaktifan komplemen yang menghasilkan C3B dan C4B
yang dapat meningkatkan fagositosis → Sel yang diopsonisasi dikenali oleh Fc receptor
→ Sel di fagositosis oleh makrofag dan neutrofil

Antibodi terikat pada jaringan ekstraseluler (membrane basal atau matriks) →


Pengaktifan komplemen → Menghasilkan C5a dan C3a C5a menarik neutrofil dan
monosit → Leukosit aktif melepaskan bahan perusak → Kerusakan Jaringan

Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks),
kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis sel.
Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya
menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga
berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan
perusak (enzim dan intermediate oksigen reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan
jaringan. Reaksi ini berperan pada glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ
grafts.

b. Reaksi Yang Bergantung Pada Adcc

Pertama, sel target mengekspresikan protein asing atau antigen. Lalu antigen ditangkap
oleh limfosit b. Selanjutnya, limfosit B aktif dan berubah menjadi sel plasma.Lalu sel
plasma menghasilkan antibody. Antibody akan berikatan dengan sel killer yang
memiliki reseptor antibody. Sel killer bersana dengan antibody yang menempel di
permukaannya selanjutnya menyerang sel target yang memasang antigennya di
permukaannya. Antibody berikatan dengan antigen di permukaan dan selanjutnya
menyebabkan sel target tersebut lisis

c. Disfungsi Sel Akibat Antibodi

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan
sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi.
Contohnya yaitu pada penyakit miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor
asetilkolin dalam motor end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi
neuromuskular disertai kelemahan otot. Jadi antibodi mem-block reseptor asetikolin
yang berfungsi dalam kontraksi otot.

Contoh lainnya yaitu yang terjadi pada Graves disease. Graves disease adalah
penyakit yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja
mirip TSH pada kelenjar tiroid. Akibatnya, Sel tiroid akan memproduksi hormon
tiroid yang berlebihan (hipertiroidisme). (Kumar,2005)

LO.3.2 Menjelaskan Jenis-jenis Hipersensitivitas Tipe 2


1. Reaksi Transfusi
Sejumlah besar protein dan gikoprotein pada membran sel darah merah disandi oleh
berbagai antigen. Bila darah individu golongan darah A medapat transfusi golongan B
terjadi reaksi transfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan dengan
sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif
intravaskular. Reaksi dapat cepat atau lambat.
Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang
dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam
plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa
hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala
khasnya berupa demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri
pinggang bawah dan hemoglobinuria.
Reaksi lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfusi berulang dengan
dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah
lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfusi. Darah yang ditransfusikan
memacu pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran golongan darah,
tersering adalah golongan Rhesus, Kidd, Kell dan Duffy.
2. Penyakit Hemolitik Bayi Baru Lahir
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh dalam
kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah Rhesus negatif dan janin dengan
Rhesus positif.
3. Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi
nonspesifik pada protein membran sel darah merah yang membentuk molekul
kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita,
kompleks membentuk antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada sel darah merah
dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.
(IMUNOLOGI DASAR UI ED.11,2016)

LI.4 Mempelajari dan Memahami Hipersensitivitas Tipe 3


LO.4.1 Menjelaskan Mekanisme Hipersensitivitas Tipe 3
Pada kondisi normal, kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke
hati, limpa dan dihancurkan oleh fagosit mononuclear tanpa bantuan komplemen.
Kompleks imun yang berada di dalam sirkulasi dapat bertahan untuk jangka waktu
yang lama namun tidak berbahaya. Permasalahan akan mulai timbul bila kompleks
imun tersebut mengendap di jaringan.
Antibodi terhadap antigen terlarut membentuk kompleks dengan antigen dan
kompleks imun terkumpul pada pembuluh darah pada berbagai jaringan menyebabkan
inflamasi dan cedera jaringan.

Reaksi ini ditimbulkan mula-mula dengan pembentukan kompleks imunogen


immunoglobulin di dinding pembuluh darah. Kerusakan di jaringan disebabkan oleh
pembentukan mikrotrombus, peningkatan permeabilitas vascular dan pelepasan
enzim-enzim yang menyebabkan peradangan, kerusakan jaringan dan bahkkan
kematian jaringan. Reaksi tipe III menghancurkan jaringan atau organ dimana saja
tempat kompleks imun mengendap. Kompleks imun yang mengendap di dinding
pembuluh darah menyebabkan komplemen terfiksasi dan timbul edema, demam dan
peradangan.PATOFISIOLOGI SYLVIA

Kompleks imun dan hipersensitivitas tipe III

Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk akan diikat dan diangkut oleh
eritrosit ke hati, limpa dan paru untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN.
Kompleks imun yang besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati.
Namun, yang menjadi masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah kompleks
imun kecil yang tidak bisa atau sulit dimusnahkan yang kemudian mengendap di
pembuluh darah atau jaringan.

1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah


Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria),
bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik
ekstrinsik) ata dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disetai
antigen dalam jumalh yang berlebihan,tetapi tanpa adanya respons antibodi
yang efektif. Makrofag yangdiaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan
kompleks imun sehingga makrofag dirangsng terus menerus untuk melepas
berbagai bahan yang dapat merusak jaringan.

Kompleks imun yang terdiri atas antigen sirkulasi dan IgM atau IgG3 (dapat
juga IgA) diendapkan di membran basal vaskular dan membran basal ginjal
yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks yang terjadi
dapat menimbulkan agregrasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan
permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan penglepasan mediator
inflamasi dan bahan kemotaktik serta influksi neutrofil. Bahan toksik yang
dilepas neutrofil dapat menimbulkan kerusakan jaringan setempat.

2. Kompleks imun mengendap di jaringan


Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks imun di jaringan
ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang
meningkat, antara lain karena histamin yang dilepas sel mast. (Karnen, 2006)

Penyakit Spesifitas antibody Mekanisme Manifestasi


klinopatologi
Lupus eritematosus DNA, nucleoprotein Inflamasi diperantarai Nefritis, vaskulitis,
komlplemen dan arthritis
reseptor Fc

Poliarteritis nodosa Antigen permukaan Inflamasi diperantarai Vaskulitis


virus hepatitis B komplemen dan
reseptor Fc

Glomreulonefritis Antigen dinding sel Inflamasi diperantarai Nefritis


post-streptokokus streptokokus komplemen dan
reseptor Fc

LO.4.2 Menjelaskan Bentuk-bentuk Reaksi dari Hipersensitivitas 3


A. Reaksi Lokal atau Fenomena Arthus
Pada mulanya, Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci secara berulang di tempat
yang sama. Dalam waktu 2-4 jam, terdapat eritema ringan dan edem pada kelinci. Lalu
setelah sekitar 5-6 suntikan, terdapat perdarahan dan nekrosis di tempat suntikan. Hal
tersebut adalah fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun.
Antibodi yang ditemukan adalah presipitin. Reaksi Arthus dalam kilinis dapat berupa
vaskulitis dengan nekrosis.

Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut

1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan tempat


kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa pengumpulan cairan
di jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai nekrosis.
2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga bekerja sebagai
faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan trombosit ke tempat reaksi.

Neutrofil dan trombosit ini kemudian menimbulkan statis dan obstruksi total aliran
darah. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-
bahan seperti protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit
sehingga akan menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.

B. Reaksi Sistemik atau Serum Sickness


Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan mekanisme
sebagai berikut:
1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a) yang
memacu sel mast dan basofil melepas histamin.
2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah yang
tinggi dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh
darah, plexus koroid, dan korpus silier mata)
3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mkrotrombi
kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut
mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan
inflamasi.
4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang
terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetap
melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak
kerusakan jaringan.
5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-
mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan

Dari mekanisme diatas, beberapa hari – minggu setelah pemberian serum asing akan mulai
terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di beberapa
bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis sistemik (arteritis),
glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi tersebut dinamakan reaksi Pirquet dan Schick.
(IMUNOLOGI DASAR UI ED.11,2016)

LI.5 Mempelajari dan Memahami Hipersensitivitas Tipe 4


LO.5.1 Menjelaskan Mekanisme Hipersensitivitas Tipe 4
KALO DILIHAT SAMA AJA SIH SAMA BENTUK-BENTUK REAKSI
LO.5.2 Menjelaskan Bentuk-bentuk Reaksi dari Hipersensitivitas 4
1. Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV

Contoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang diproduksi oleh injeksi intrakutan
dari tuberculin, suatu protein- lipopolisakarida yang merupakan komponen dari tuberkel
bacillus. Pada individu yang sebelumnya telah tersensitisasi, terjadi kemerahan dan
indurasi pada situs dalam waktu 8-12 jam, mencapai puncak dalam 24-72 jam, dan
berkurang. Secara morfologis, DTH dikarakterisasi oleh akumulasi sel mononuklear
disekeliling vena kecil dan venula, menghasilkan sebuah “perivascular cuffing”. Terdapat
asosiasi mengenai peningkatan permeabilitas mikrovaskular yang disebabkan mekanisme
yang sama dengan inflamasi lainnya. Sehingga protein plasma akan keluar dan
menyebabkan edema dermal dan deposisi fibrin di interstisial. Yang terakhir menjadi
penyebab utama terjadinya indurasi, yang menjadi ciri DTH. Pada lesi yang telah
berkembang penuh, venula yang dikelilingi limfosit akan menunjukkan hipertrofi atau
hiperplasia endotel.

Dengan antigen persisten atau yang sulit didegradasi, seperti tuberkel bacilli yang
berkolonisasi di paru atau jaringan lain, infiltrat limfosit perivaskular yang muncul di
awal akan digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 atau 3 minggu. Makrofag yang
terakumulasi seringkali mengalami perubahan morfologis menjadi sel epiteloid (mirip sel
epitel). Secara mikroskopis, agregat sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit, disebut
dengan granuloma. Pola inflamasi yang kadang terlihat pada hipersensitivitas tipe IV ini
disebut dengan inflamasi granulomatosa.

Tahapan selular dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberculin. Ketika seorang
individu pertama kali terekspos terhadap antigen protein dari tuberkel bacilli, sel CD4+ T
naïve mengenali peptida turunan antigen dan terkait dengan molekul kelas II pada
permukaan APC. Hal ini memicu diferensiasi dari sel T CD4+ naïve menjadi sel Th1.
Induksi sel Th1 merupakan hal yang penting karena ekspresi DTH bergantung pada
sebagian besar sitokin yang disekresi oleh sel Th1. Beberapa sel Th1 akan memasukin
sirkulasi dan tetap berada pada pool memori sel T untuk waktu yang lama. Atau injeksi
intrakutan dari tuberculin pada seseorang yang sebelumnya terekspos tuberkel bacilli,
dimana sel memori Th1 akan mengenali antigen yang ditampilkan APC dan teraktivasi.
Sel-sel Th1 ini akan menyekresi sitokin, terutama IFN-γ, yang bertanggung jawab
terhadap ekspresi DTH. Sitokin-sitokin yang paling relevan dalam reaksi ini dan kerja
mereka adalah sbb:

a. IL-12, sitokin yang diproduksi makrofag dan sel dendritik, penting untuk induksi
respons Th1 dan DTH. Pada tahap awal melawan mikroba, makrofag dan sel
dendritik menyekresi IL-12, yang menginduksi diferensiasi sel T CD4+ menjadi
sel Th1. Hal ini akan menyebabkan diproduksinya sitokin lain, yang disebutkan di
bawah ini. IL-12 juga merupakan inducer poten dari sekresi IFN-γ oleh sel T dan
sel NK. IFN-γ akan memperbanyak diferensiasi sel Th1.
b. IFN-γ memiliki banyak efek dan merupakan mediator kunci pada DTH. Paling
penting adalah merupakan aktivator makrofag yang kuat. Makrofag yang
teraktivasi berperan dalam mengeliminasi antigen yang menyerang; jika aktivasi
tetap berlangsung maka inflamasi tetap berlanjut dan terbentuk fibrosis.
c. IL-2 menyebabkan proliferasi parakrin dan autokrin dari sel T, menyebabkan
akumulasi di situs DTH.
d. TNF dan limfotoksin merupakan 2 sitokin yang memiliki efek terhadap sel
endotel: (1) peningkatan sekresi dari prostasiklin, yang meningkatkan aliran darah
dan menyebabkan vasodilatasi lokal; (2) peningkatan ekspresi P-E-selektin,
molekul adhesi yang mempromosikan penempelan limfosit dan monosit; dan (3)
induksi dan sekresi kemokin seperti IL-8.
e. Kemokin yang diproduksi sel T dan makrofag merekrut lebih banyak lagi leukosit
ke situs reaksi. Tipe inflamasi ini terkadang disebut inflamasi imun.

Hipersensitivitas tipe IV merupakan mekanisme utama


pertahanan terhadap beragam patogen intrasel, termasuk
mycobacteria, jamur, dan parasit tertentu, dan juga berperan
dalam rejeksi transplant dan imunitas tumor. Namun di sisi
lain, DTH juga dapat menyebabkan penyakit. Dermatitis
kontak merupakan contoh umum dari jejas jaringan yang
disebabkan oleh DTH. Hal ini dapat terjadi akibat kontak
dengan urushiol, komponen antigen dari poison ivy atau
poison oak dan bermanifestasi dalam bentuk dermatitis
vesikular. Mekanisme dasarnya mirip dengan yang dijelaskan
sebelumnya untuk sensitivitas tuberculin. Pada pajanan
berulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ yang tersensitisasi terakumulasi di dermis,
kemudian bermigrasi menuju antigen di epidermis. Di sana mereka melepaskan sitokin
yang merusak keratinosit, menyebabkan pemisahan dari sel=sel ini dan pembentukan
vesikel intraepidermal.

2. Sitokin yang berperan pada DTH

Diantara sitokin yang diproduksi, sel Th1 berperan dalam menarik dan mengaktifkan
makrofag ke tempat infeksi. IL-3 dan GM-CSF menginduksi hematopoesis lokal dari sel
garis granulosit-monosit. Neutrofil dan monosit dalam sirkulasi menempel pada molekul
adhesi sel endothel dan bergerak keluar dari vaskular menuju rongga jaringan. Neutrofil
nampak dini pada reaksi, memuncak pada 6 jam. Infiltrasi monosit terjadi antara 24-48
jam setelah pajanan dengan antigen monosit yang masuk jaringan menjadi mekrofag yang
ditarik ke tempat DTH oleh kemokin seperti MCP-1/CCL2. MIF mencegah makrofag
untuk berimigrasi keluar dari lokasi reaksi DTH.
(IMUNOLOGI DASAR UI ED.11,2016)

LI.6 Mempelajari dan Memahami Peranan Antihistamin dan Kortikosteroid


LO.6.1 Menjelaskan Farmako kinetik
ANTI HISTAMIN

1. AH1
Setelah pemberian oral atau parental, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya
timbul 15-30 menitsetelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam.
Lama kerja AH1 generasi I setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6
jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan limpa, ginjal, otak,
otot, dan kulit kadarnya rendah. Tempat utama biotransfarmasi AH1 adalah
hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. AH1 diekskresi melalui
urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.

2. AH2
a. Simetidin
Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70 %. Sama dengan setelah
pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanyalah 20 %.
Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan, sehingga simetidin
diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk
memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi simetidin
terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam SPP
dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20 % dari kadar serum. Sekitar 50-
80 % dari dosis IV dan 40 % dari dosis oral simetidin diekskresi dalam
bentuk asal dalam urin. Masa peruh eliminasinya sekitar 2 jam.
b. Renitidin
Biovailabilitas renitidin yang diberikan secara oral sekitar 50 % dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa [paruhnya kira-kira 1,7 – 3
jam pada orang dewasa, dan menmanjang pada orang tua dan pada
pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidine
juga memanjang menskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kada
puncak pada plasma dicapai 1.3 ja setalah penggunana 150 mg
ranitidine secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%.
Ranitidine mengalami metabolisme lintas utama dihati dalam jumlah
cukup besar setelah pemberian oral. Rranitidin dan metabolitnya
dieksresi rerutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70%
dari ranitidine yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara
oral dieksresi dalam urin dalam bentuk asal.
c. Famotidin
Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2
jam setelah penggunaanan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam
dan bioavailibitas 40-50%. Metabolit utama adalah famotidine-S-
oksida. Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan
dalam bentuk asal di urin.npada pasien gagal ginjal berat masa paruh
eliminasi dapat melebnihi 20 jam.
d. Nizatidin
− Bioavailibitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi
oleh makanan atauantikolinergik. Klirens menurun pada pasien
uremik dan usia lanjut.
− Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oraldicapai dalam 1
jam, masa paruh plasmasekitar satu setengah jam dan lama kerja
sampai dengan 10 jam. Nizatidin disekresikan terutama melalui
ginjal; 90 % dari dosis yang digunakan ditemukan diurin dalam 16
jam.
KORTIKOSTEROID

Kortikosteroid diabsorbsi cukup baik pada pemberian oral. Untuk mencapai


kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh diberikan secara IV. Untuk
mendapatkan efek yang lama, diberikan secara IM. Glikokortikoid dapat
diabsorbsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang synovial.
Biotransformasi terjadi didalam dan diluar hati. Metabolitnya merupakan
senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Proses reduksi dan menjadi lebih mudah
larut yang kemudian dieksresikanterutama terjadi di hepar dan sebagian kecil di
ginjal.

IMUNOLOGI DASAR FKUI HALAMAN 347

LO.6.2 Menjelaskan Farmako dinamik

Antagonisme terhadap histamin.


AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-
macam otot polos; selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan hista min endogen
berlebihan.

Otot polos
Secara umum AH, efektif menghambat kerja histamin pada otot polos usus dan
bronkus. Bronkokonstriksi akibat histamin dapat dihambat oleh AH, pada
percobaan dengan marmot.

Permeabilitas kapiler
Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat histamin, dapat dihambat
dengan efektif oleh AH1.

Reaksi anafilaksis dan alergi.


Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refakter terhadap pemberian AH1,
karena disini bukan histamin saja yang berperan tetapi autakoid lain yang
dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan beratnya reaksi hipersensitivitas berbeda
beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.

Kelenjar eksokrin.
Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat hambat
oleh AH1. AH1 dapat mencegah asfiksi pada marmot akibat histamin, tetapi
hewan ini mungkin mati karena AH1 tidak mencegah perforasi lambung akibat
hipersekresi cairan lambung AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi
kelenjar eksokrin lain akibat histamin..

Anestetik lokal.
Beberapa AH, bersifat anestetik lokal dengan intensitas berbeda. AH, yang baik
sebagai anestetik lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk
menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi
daripada sebagai antihistamin. Antikolinergik. Banyak AH, bersifat mirip
atropin. Efek ini tidak memadai untuk terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat
timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan
impotensi. Terdenadin dan astemizol tidak pengaruh terhadal reseptor
muskarinik.

Sistem kardiovaskular.
Dalam dosis terapi, AH tidak memperlihatkan efek yang berarti pada sistem
kardiovaskular. Beberapa AH, memperlihatkan sifat seperti kuinidin pada
konduksi miokard berdasar lokalnya kan sifat anestetik Intensitas efek beberapa
antihistamin dapat pada tabel.

SUMBER: (Buku farmakologi ui. Edisi 6 halaman 282-284)

LO.6.3 Menjelaskan Efek Samping


ANTI HISTAMIN
A. AH1
Efek yang palingsering adalah sedaso, yang justru menguntungkan
pasien yang dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur. Tapi efek ini
menggangu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tingkat tinggi.
Sehingga kemungkinan terjadi nya kecelakaan.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 adalah
vertigo, tinnitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia,
euphora, gelisah, insomnia, dan tremor. Efek samping yang paling sering juga
nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi
atau diar; efek samping ini akan berkurang jika AH1 diberikan sewaktu makan.
Efek samping yang mungkin timbul oleh AH1 adalah mulut kering,
dysuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan.
AH1 bisa menimbulkan aleri pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi
akibat penggunaan local berupa dermatitis alergik. Demam dan
fotosensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi AH1 jarang menimbulkan
komplikasi berupa leukopenia dan agranulositosis.
B. AH2
1) Simetidin dan Ranitidin
Efek samping ini antara lain nyeri kepala, pusing, malaise, myalgia, mual,
diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido, dan impoten.
2) Famotidin
Efek samping famotidin biasanya ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit
kepala, pusing, konstipasi dan diare. Seperti halnya dengan renitidin,
famotidine nampaknya lebih baik dari simetidin karena tidak menimbulkan
efek antiandrogenik
3) Nizatidin
Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efek samping ringan
saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transaminase
serum ditemukan pada beberapa pasien yang nampaknnya tidak menimbulkan
gejala klinik yang bermakna.

KORTIKOSTEROID
Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi.
Harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadapbanyaknya
efek pada setiap bagian organism ini. Efek utama yang tidakdiinginkan dari
glukokortikoidnya dan menimbulkan gambaran klinik sindromcushing iatrogenik.
Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka
panjang dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi

Efek samping jangka pendek


1. Peningkatan tekanan cairan di mata (glaukoma)
2. Retensi cairan, menyebabkan pembengkakan di tungkai.
3. Peningkatan tekanan darah
4. Peningkatan deposit lemak di perut, wajah dan leher bagian belakang
5. Efek samping jangka panjang.
6. Katarak
7. Penurunan kalsium tulang yang menyebabkan osteoporosis dan tulang rapuh
sehingga mudah patah.
8. Menurunkan produksi hormon oleh kelenjar adrenal
9. Menstruasi tidak teratur
10. Mudah terinfeksi
11. Penyembuhan luka yang lama

KORTIKOSTEROID

Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar


adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol respon inflamasi.
Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki efek penting pada metabolisme
karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan mineralokortikoid memiliki efek kuat
terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit (Katzung, 2012; Gilman, 2012; Johan,
2015).Kortikosteroid banyak digunakan dalam pengobatan karena efek yang kuat dan
reaksi antiinflamasi yang cepat.Kortikosteroid banyak digunakan untuk tatalaksana
penyakit inflamasi seperti reumathoid arthritis (RA)dan systemic lupus erythematosus
(SLE). (Arthritis Australia, 2008)

http://scholar.unand.ac.id/3869/2/bab%201%20pendahuluan.pdf

Efek samping pemberian glukokortikoid :


1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : Edema, hipokalemic alkalosis,
hipertensi Hiperglikemia

2. Infeksi
Bisa mengaktifasi infeksi laten. Pada penderita-penderita dengan infeksi pemberian
glukokortikoid hanya diberikan bila sangat dibutuhkan dan harus dengan
perlindungan pemberian antibiotika yang cukup.

3. Ulkus Pepticum
Hubungan antara glukokortikoid dan terjadinya ulkus pepticum ini masih belum
diketahui. Mungkin melalui efek glukokortikoid yang menurunkan perlindungan oleh
selaput lendir lambung ( mucous barrier ),mengganggu proses penyembuhan jaringan
dan meningkatkan produksi asam lambung dan pepsinogen dan mungkin oleh karena
hambatan penyembuhan luka-luka oleh sebab- sebab lain

4. Myopati
Terjadi karena pemecahan protein otot-otot rangka yang dipakai sebagai substrat
pembentukan glukosa. Miopati ini ditandai dengan kelemahan otot-otot bagian
proksimal tangan dan kaki. Pada penderita asma bronchiale dengan pemakaian
khronis glukokortikoid dapat keadaan ini dapat memperburuk keadaan bila kelemahan
terjadi pada otot pernafasan

5. Perubahan tingkah laku


Gejala yang bisa timbul bervariasi : nervous, insomnia, euphoria, psychosis

6. Pada mata Cataract : Efek glukokortikoid terhadap terjadinya cataract ini parallel
dengan dosis dan lama pemberian dan proses dapat terus berlangsung meskipun dosis
sudah dikurangi atau dihentikan Glaucoma
7. Ostoporosis
Osteoporosis dan fraktura kompressif sering terjadi pada penderita-penderita yang
mendapat terapi glukokortikoid dalam jangka lama, terutama terjadi pada tulang
dengan struktur trabeculae yang luas seperti tulang iga dan vertebra.

8. Osteonecrosis
Terjadi necrosis aseptic tulang sesudah pemakaian glukokortikoid yang lama
meskipun osteonecrosis juga dilaporkan terjadi pada pemberian jangka pendek
dengan dosis besar. Osteonecrosis sering terjadi pada caput femoris

9. Gangguan pertumbuhan
Gangguan pertumbuhan pada anak bisa terjadi dengan dosis yang relatif kecil.
Mekanisme yang pasti dari gangguan pertumbuhan ini belum diketahui. Pemberian
glukokortikoid antenatal pada binatang percobaan menyebabkan terjadinya cleft
palate dan gangguan tingkah laku yang kompleks. Glukokortikoid jenis yang
fluorinated ( dexamethasone, betamethasone, beclomethasone, triamcinolone ) dapat
menembus barier placenta, oleh karena itu walaupun pemberian glukokortikoid
antenatal dapat membantu pematangan paru dan mencegah RDS namun kita tetap
harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya gangguan pertumbuhan/
perkembangan janin.
Abdul Latief Azis Divisi Gawat Darurat Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSUD dr
Soetomo Surabaya

http://blogs.unpad.ac.id/dzakia/files/2011/06/kortiko.pdf

LI.7 Mempelajari dan Memahami Pandangan Islam terhadap Manfaat dan Mudharat dalam
Pemberian Obat
Pengambilan keputusan adalah suatu proses memilihalternatif cara bertindak
dengan metode yang efesiensesuai situasi.

1. Hadits

Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash:
Rasulullah Shalallahu Aalaihi Wassallam bersabda: “Di antara kebahagiaan manusia
adalah menentukan pilihannya dengan Allah dan diantara kebahagiaan manusia
adalah keridhoanya pada apa yang Allah tentukan. Dan di antara tanda
kesengsaraan manusia adalah ia meninggalkan Allah dalam pilihannya. Dan di
antara tanda kesengsaraan manusia adalah kemarahaannya pada apa yang Allah
tetapkan atas dirinya” (HR. Imam Ahmad dalam Musnad-nya, Hal: 3/377 hadis No:
1367).

Hadits diatas menuntun kita tentang bagaimana menentukan pilihan yang baik
dan benar agar membawa kebahagiaan sekaligus memberi peringatan agar kita tidak
salah memilih dan terhindar dari kesengsaraan.

Rasulullah SAW memberi dua ciri tentang manusia yang bahagia. Pertama,
Orang yang menentukan segala pilihannya berdasarkan pilihan Allah SWT dan tidak
berdasarkan hawa nafsu dan keinginan duniawi lainnya (QS. 33:71). Yang Kedua
Orang yang ridho dengan ketentuan dan pilihan Allah SWT, artinya orang tersebut
menerima dengan lapang dada apa yang telah Allah tentukan untuknya tanpa banyak
mengeluh.

Sebaliknya, Rasulullah SAW juga memberi dua ciri bagi orang yang sengsara.
Orang Pertama adalah Orang yang meninggalkan Allah SWT dalam menentukan
segala pilihannya. Maksudnya orang tersebut meninggalkan tuntunan dan syariat-Nya
bahkan bertentangan dengan Islam dalam menentukan pilihannya. Orang kedua
adalah Orang yang menolak apa yang telah Allah tentukan untuknya. Ia tidak
menerima takdirnya.

2. Al-Qur’an obat terbaik :

“Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawaran dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman. Dan Al-Qur’an itu tidaklah menambahkan kepada
orang-orang zalim selain kerugian.”

(Al-Isra:82)

Maslahat & Mudharat

Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, “Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu, pisau
bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun untuk
kemaslahatan artinya : semua syari’at dalam perintah dan larangannya serta hukum-
hukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-manfaat) dan makna masholihi adalah :
jamak dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan.

Misal : Allah melarang minuman keras dan judi karena mudharat (bahayanya) lebih
besar dari pada manfaatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :219

‫اس َو ِإثْ ُم ُه َما أَ ْكبَ ُر ِم ْن نَ ْف ِع ِه َما‬ ٌ ِ‫يَ ْسأَلُونَكَ َع ِن ْال َخ ْم ِر َو ْال َم ْيس ِِر قُ ْل فِي ِه َما ِإثْ ٌم َكب‬
ِ َّ‫ير َو َمنَافِ ُع ِللن‬

2:219. “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya”.

Hadits Ziyadah bin Alaqah dari Usamah bin Syuraik menuturkan,”Aku berada bersama
Nabi lalu datanglah sekelompok orang Badui dan bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah
kita boleh berobat?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, wahai hamba Allah, berobatlah.
Sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit kecuali Allah menciptakan obatnya,
kecuali satu macam penyakit.’ Mereka bertanya,’Apa itu?’ Rasulullah
menjawab,’Penyakit tua’.”(HR Ahmad dalam Musnad : IV/278, Tirmidzi dalam Sunan
(2038))

Nabi bersabda,”Setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat tepat pada penyakitnya maka
ia akan sembuh dengan izin Allah.” (HR Muslim: I/191)

Abu Hurairah meriwayatkan secara marfu’, “Tidaklah Allah menurunkan panyakit


kecuali menurunkan obatnya.” (HR Bukhari: VII/158)

Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, “Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu, pisau
bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api.” (HR Bukhari dan
Muslim)

Anda mungkin juga menyukai