Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem kekebalan tubuh sangat mendasar peranannya bagi kesehatan, tentunya
harus disertai dengan pola makan sehat, cukup berolahraga, dan terhindar dari
masuknya senyawa beracun ke dalam tubuh. Sekali senyawa beracun hadir dalam
tubuh, maka harus segera dikeluarkan.
Kondisi sistem kekebalan tubuh menentukan kualitas hidup. Dalam tubuh
yang sehat terdapat sistem kekebalan tubuh yang kuat sehingga daya tahan tubuh
terhadap penyakit juga prima. Pada bayi yang baru lahir, pembentukan sistem
kekebalan tubuhnya belum sempurna dan memerlukan ASI yang membawa
sistem kekebalan tubuh sang ibu untuk membantu daya tahan tubuh bayi. Semakin
dewasa sistem kekebalan tubuh terbentuk sempurna. Namun pada orang lanjut
usia, sistem kekebalan tubuhnya secara alami menurun. Itulah sebabnya timbul
penyakit degeneratif atau penyakit penuaan.
Pola hidup modern menuntut segala sesuatu dilakukan serba cepat dan instan.
Hal ini berdampak juga pada pola makan. Sarapan di dalam kendaraan, makan
siang serba tergesa, dan malam karena kelelahan tidak ada nafsu makan. Belum
lagi kualitas makanan yang dikonsumsi, polusi udara, kurang berolahraga, dan
stres. Apabila terus berlanjut, daya tahan tubuh akan menurun, lesu, cepat lelah,
dan mudah terserang penyakit. Karena itu, banyak orang yang masih muda
mengidap penyakit degeneratif.
Kondisi stres dan pola hidup modern sarat polusi, diet tidak seimbang, dan
kelelahan menurunkan daya tahan tubuh sehingga memerlukan kecukupan
antibodi. Gejala menurunnya daya tahan tubuh sering kali terabaikan sehingga
timbul berbagai penyakit infeksi, penuaan dini pada usia produktif.
Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang mengandung
mikroba pathogen disekelilingnya. Mikroba tersebut dapat menimbulkan penyakit
infeksi pada manusia. Mikroba patogen yang ada bersifat poligenik dan kompleks.
Oleh karena itu respon imun tubuh manusia terhadap berbagai macam mikroba
patogen juga berbeda. Umumnya gambaran biologik spesifik mikroba

1
menentukan mekanisme imun mana yang berperan untuk proteksi. Begitu juga
respon imun terhadap bakteri khususnya bakteri ekstraseluler atau bakteri
intraseluler mempunyai karakteriskik tertentu pula.
Respon imun yang alamiah terutama melalui fagositosis oleh neutrofil,
monosit serta makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam dinding bakteri gram
negative dapat mangativasi komplemen jalur alternative tanpa adanya antibodi.
Kerusakan jaringan yang terjadi ini adalah akibat efek samping dari mekanisme
pertahanan tubuh untuk mengeliminasi bakteri. Sitokin juga merangsang demam
dan sintesis protein.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian imunologi?
2. Apa pengertian serologi?
3. Apa saja jenis-jenis reaksi imunologi?
4. Apa saja jenis-jenis reaksi serologi?
5. Apa saja contoh pemeriksaan dari reaksi imunologi dan serologi?
6. Apa saja hal-hal yang berkaitan dengan reaksi tersebut?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian imunologi?
2. Untuk mengetahui pengertian serologi?
3. Untuk mengetahui jenis-jenis reaksi imunologi?
4. Untuk mengetahui jenis-jenis reaksi serologi?
5. Untuk mengetahui contoh pemeriksaan dari reaksi imunologi dan
serologi?
6. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan reaksi tersebut?

2
BAB II
ISI

2.1 Pengertian Imunologi


Imonologi atau Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama
penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam
resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel,
molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respons imun.
Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap
bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.
Jadi imunologi adalah suatu cabang yang luas dari ilmu biomedis yang
mencakup kajian mengenai semua aspek sistem imun (kekebalan) pada semua
organisme. Imunologi antara lain mempelajari peranan fisiologis sistem imum
baik dalam keadaan sehat maupun sakit, malafungsi sistem imun pada gangguan
imunologi (penyakit autoimun, hipersensitivitas, defisiensi imun, penolakan
allograft), karakteristik fisik, kimiawi, dan fisiologis komponen-komponen sistem
imun in vitro, in situ, dan in vivo. Imunologi memiliki berbagai penerapan pada
berbagai disiplin ilmu dan karenanya dipecah menjadi beberapa subdisiplin.

2.2 Pengertian serologi


Serologi ialah ilmu yang mempelajari reaksi antigen antibody secara invitro
Untuk dapat menegakkan diagnose suatu penyakit infeksi kita harus dapat
mengisolasi atau menemukan kuman penyebabnya. Proses isolasi atau
menemukan kuman tersebut memakan waktu yang cukup lama dan sulit dalam
pelaksanaannya. Apabila sebuah kuman masuk kedalam tubuh kita maka kuman
tersebut akan merupakan suatu antigen (benda asing) bagi tubuh kita dan
selanjutnya akan merangsang tubuh kitauntuk membentuk antibody terhadap
kuman tersebut. Dengan dapat ditemukannya antibody tersebut dalam tubuh kita,
mka hal ini akan membantu kita dalam menegakkan diagnose suatu penyakit
infeksi. Proses untuk menemukan atau mendeteksi adanya antigen dan antibody
tersebut yang selanjutnya kita kenal dengan pemeriksaan serologi. Beberapa

3
contoh pemeriksaan serologi adalah: widal, VDRL, toxoplasmosis, hepatitis,
AIDS, dsb. Dalam kuliah ini akan dibahas pemeriksaan serologi untuk widal dan
hepatitis A dan B.

2.3 Jenis-Jenis Reaksi Imunologi


2.3.1 Reaksi Peradangan
Respon peradangan terjadi setelah infeksi atau cedera jaringan. Peradangan
dapat mendahului suatu respons imun. Terdapat 2 stadium pada reaksi peradangan
yaitu :
1. Stadium vaskuler peradangan
Stadium vaskuler peradangan dimulai hampir segera setelah cedera. Arteriol
di atau dekat tempat cedera mengalami konstriksi secara singkat lalu vasodilatasi
(relaksasi) berkepanjangan. Dilatasi arteriol menyebabkan peningkatan tekanan
cairan di kapiler-kapiler setelah hilir sehingga terjadi peningkatan perpindahan
filtrate plasma ke dalam ruang interstisium. Hal ini menyebabkan pembengkakan
dan edema ruang interstisium
2. Stadium seluler peradangan
Stadium seluler peradangan dimulai setelah peningkatan aliran darah ke
bagian yang cedera. Sel-sel darah putih dan trombosit tertarik ke daerah tersebut
dan bermigrasi melalui kapiler yang bocor untuk mengelilingi sel-sel yang rusak.
Sel-sel ini memfagositosis sel yang mati dan mikroorganisme serta merangsang
pembekuan untuk mengisolasi infeksi dan mengontrol perdarahan. Sel-sel yang
tertarik ke daerah cedera akhirnya akan berperan melakukan penyembuhan.

2.3.2 Reaksi Hipersensitivitas


Hipersensitivitas adalah respon imun yang berlebihan dan dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs di
bagi dalam 4 tipe reaksi menurut kecepatannya dan mekanisme imun yang terjadi.

4
1. Reaksi Tipe I
Hipersensitivitas tipe I atau disebut juga dengan reaksi cepat, reaksi alergi atau
reaksi anafilaksis ini merupakan respon jaringan yang terjadi akibat adanya ikatan
silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata,
nasofaring, jaringan bronkopulmonasi, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini
dapat menimbulkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil
hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar
antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12
jam. Berikut mekanisme umum dari reaksi tersebut :

Alergen berkaitan silang dengan IgE


Sel mast dan basofil mengeluarkan amina vasoaktif dan mediator kimiawi
lainnya
Timbul manifestasi

Reaksi anafilaksis atau reaksi alergi dikenal sebagai reaksi yang sering timbul
sesudah allergen masuk ke dalam tubuh. Antigen yang masuk tubuh akan
ditangkap oleh fagosit, diprosesnya lalu dipersentasikan ke sel Th2. Sel yang
akhir melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE akan
diikat terutama oleh sel mast melalui reseptor Fc (juga oleh eosinofil dan
basofil), bila ada alergen yang sama masuk tubuh akan diikat oleh IgE tadi
(spesifik) dan menimbulkan degranulasisel mast. Degranulasi tersebut
mengeluarkan berbagai mediator antara lain histamin yang di dapat dalam granul-
granul sel dan menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I.

Manifestasi yang dapat ditimbulkan dari reaksi ini adalah berupa anafilaksis,
urtikaria, asma bronchial, atau dermatitis. Uji diagnortik yang dapat digunakan
untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan atau
intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik
untuk melawan alergen (penyebab alergi) yang dicurigai.

5
2. Reaksi Tipe II

Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau reaksi sitolitik terjadi oleh
karena dibentuk antibody jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan
bagian sel pejamu. Antibody tersebut dapat mensensitasi sel K sebagai efektor
antibody dependent cell cytotoxicity (AADC) atau mengaktifkan komplemen dan
menimbulkan lisis.

Hipersensitivitas tipe II disebabkan oleh antibodi yang berupa Imunoglobulin


G (IgG) dan Imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel
dan matriks ekstraseluler. Kerusakan yang ditimbulkan akan terbatas atau spesifik
pada sel atau jaringan yang secara langsung berhubungan dengan antigen tersebut.
Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan
sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen atau reaksi silang yang
berkaitan dengan antibodi sel, sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II yaitu sebagai berikut :

Pemfigus, IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler diantara sel


epidermal
Anemia Hemolitik Autoimun, dipicu oleh obat-obatan seperti pensilin
yang dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan
seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berkaitan dengan
permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah
Sindrom Goodpasture, IgG bereaksi dengan membran permukaan
glomerulus, sehingga menyebabkan kerusakan pada ginjal

Mekanisme singkat dari reaksi hipersensitivitas tipe II adalah sebagai berikut :

IgG dan IgM berikatan dengan antigen di permukaan sel


Fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen, ADCC dan atua
antibodi
Pengeluaran mediator kimiawi

6
Timbul manifestasi (anemia hemolitik autoimun, eritoblastosis fetalis,
sindrom Good Pasture atau pemvigus vulgaris)

3. Reaksi Tipe III

Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun terjadi akibat endapan
kompleks antigen antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah. Antibodi
biasanya jenis IgG. Kompleks tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian
melepas berbagai mediator terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag
yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan sekitarnya. Antigen
dapat berasal dari infeksi kuman pathogen yang persisten (malaria), bahan yang
terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi). Infeksi
tersebut disertai antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tidak disertai
respons antibodi efektif.

Hipersensitivitas tipe II merupakan hipersensitivitsa kompleks imun. Hal ini


disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan
terlarut dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau
peradangan. Pada kondisi normal, komleks antigen-anibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya dagosit.
Namun terkadang kehadiran bakteri, virus, lingkungan anatu antigen seperti spora
fungi, bahan sayuran, dan hewan yang persisten akan membuat tubuh secara
otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut, sehingga terjadi
pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus menerus. Pengendapan
antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan didalam
saluran kecil, sehingga dapat memengaruhi beberapa organ seperti kulit, ginjal,
paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak. Secara umum,
mekanisme reaksi tipe III ini adalah :

Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang sulit difagosit


Mengaktifkan komplemen
Menarik perhatian Neutrofil

7
Pelepasan enzim lisosom
Pengeluaran mediator kimiawi
Timbul manifestasi, seperti reaksi Arthus, serum sickness, LES, AR,
Glomerulonefritis, dan penumonitis

4. Reaksi Tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel


atau tipe lambat (delay-tipe). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan
oleh sel T dan makrofag. Dalam reaksi ini membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi
makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat kronis. Reaksi ini dibedakan menjadi beberapa reaksi, seperti Tuberkulin,
reaksi inflamasi granulosa, dan reaksi penolakan transplant. Mekanisme reaksi ini
secara umum adalah sebagai berikut :

Limfosit T tersensitasi
Pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik yang diperantarai
oleh sel T langsung
Timbul menifestasi (tuberkulosis, dermatitis kontak, dan reaksi penolakan
transplant).

2.4 Jenis-Jenis Reaksi Serologi

2.4.1 Reaksi Presipitasi


Pada reaksi presipitasi terjadi reaksi antara satu antigen yang dapat larut dengan
antibodi homolognya. Reaksi ini berlangsung dengan pembentukan presipitat (endapan)
kasat mata pada batas permukaan reaktan-reaktan bersangkutan. Reaksi semacam itu
biasanya dilakukan dengan menggunakan antibodi (antiserum) dengan jumlah konstan
dan antigenj dengan berbagai pengenceran. Dengan mengingat bahwa konsentrasi
antibodi itu konstan, maka dapat kita lihat bahwa hanya terbentuk sejumlah kecil

8
presipitat bila antibodinya berlebihan. Dengan ditambahnya konsentrasi antigen, maka
jumlah presipitat meningkat dan mencapai maksimum bila perbandingan antara antigen
dan antibodinya optimum. Sesudah zone ini, dengan bertambahnya konsentrasi antigen,
maka jumlah presipitat menurun lagi. Jadi ada tiga zone reaksi antigen-antibodi pada uji
presipitin : zone kelebihan antibodi, zone setara, dan zone kelebihan antigen.
Pada zone kelebihan antibodi, semua antigen telah bereaksi dengan antibodi dan
telah diendapkan (tidak ada antigen bebas di dalam supernatan). Sebaliknya di dalam
zone kelebihan antigen, semua antibodi telah bereaksi dengan antigen (tidak ada antibodi
di dalam supernatan), tetapi kompleks yang terbentuk tetap dapat larut karena banyaknya
kelebihan antigen mengikat antibodi menjadi kompleks yang berukuran kecil yang tidak
terikat saling membentuk agregat besar yang kasat mata.di dalam zone setara terjadi
presipitasi antigen dan antibodi secara maksimum (tidak terdapat antigen bebas maupun
antibodi bebas di dalam supernatan) karena keduanya terdapat dalam proporsi optimum
sehingga dapat membentuk kisi-kisi antigen dan antibodi yang menjadi kasat mata dan
tidak dapat larut. Karena alasan ini, maka uji presipitin akan paling bermanfaat bila
memungkinkan reaktan berdifusi sampai konsentrasi optimumnya tercapai.

2.4.2 Reaksi Aglutinasi


Reaksi aglutinasi merupakan salah satu uji serologi yang digunakan untuk
mendiagnosa suatu penyakit. Uji aglutinasi ini dapat dilakukan dengan
menambahkan antibodi yang homolog pada antigen yang dapat berupa sel ataupun
partikel lateks yang telah diserapi antigen yang dapat larut. Penambahan antibodi
pada pertikel lateks ini dapat menyebabkan terjadinya proses aglutinasi atau
penggumpalan, sehingga menyebabkan terbentuknya agregat sel-sel yang kasat
mata. Proses penggumpalan ini disebabkan karena antibodi berlaku sebagai
jembatan untuk membentuk jaringan kisi-kisi antibodi dan antigen partikulat
sehingga membentuk gumpalan.
Uji aglutinasi ini tidak hanya dapat digunakan untuk diagnosis penyakit
menular tertentu yang reaksi aglutinasi antigen-antigennya yang telah diketahui
oleh serum penderita, tetapi juga dapat digunakan untuk mengetahui
mikroorganisme atau bakteri yang belum diketahui. Hal ini dapat diketahui karena
kemampuan spesifik serum yang telah diketahui untuk menggumpalkan suspensi

9
sel-sel yang yang belum diketahui tersebut, sehingga mikroorganisme atau bakteri
yang belum diketahui tersebut dapat diidentifikasi.
Uji aglutinasi terhadap bakteri dapat diklakukan dalam tabung-tabung reaksi
kecil atau sebuah kaca objek. Kebanyakan uji bakteri dilakukan dengan
pengenceran antiserum secara serial di dalam tabung yang kedalamnya
ditambahkan antigen dalan jumlah yang konstan. Setelah diinkubasi, pengamatan
dapat dilakukan secara visual, kemudian ditentukan titernya. Titer antiserum
adalah suatu nilai nisbi dan berbanding terbalik dengan pengenceran tertinggi
yang memiliki gumpalan sel dan antibodi. Titer yang lebih tinggi menunjukkan
adanya konsentrasi antibodi yang lebih tinggi pula.

2.4.3 Reaksi Fiksasi Komplemen


Reaksi fiksasi (penambatan) komplemen didasarkan pada adanya antibodi penambatan
komplemen di dalam serum. Adanya komplemen menyebabkan antibodi ini melisis sel-
sel. Tujuan uji fiksasi komplemen adalah untuk menentukan ada atau tidaknya antibodi
spesifik di dalam serum. Uji ini terdiri dari dua sistemyaitu sebagai berikut:

1. Sistem penambatan komplemen.


Dalam sistem ini serum, suspense bakteri (antigen lain), dan komplemen
dicampurkan. Bila antigen dan antibodi dari dalam serum itu bergabung, maka
komplemen itu dinyatakan tertambat. Karakteristika Sistem Komplemen adalah sebagai
berikut.
Komplemen adalah nama yang diberikan terhadap suatu seri protein(plasma)
yang terdiri dari 21 protein.
Mekanisme kerja sistem ini seperti proses pembekuan darah yang membentuk
suatu sistem enzim yang terstimulasi dalam plasma yang kebanyakan adalah
proteinase-proteinase.
Ciri spesifik sistem ini : menghasilkan suatu respon yang cepat dan bertingkat
terhadap suatu stimulus yang dapat berupa kompleks imun.
Protein plasma yang diberi simbol C diikuti dengan angka, menunjukkan nomor
penemuan komplemen tersebut, bukan suatu nomor urutan reaksi.

10
Protein komplemen utama yaitu : C1 (q,r,s), C2, C3, C4 ,dst hingga C9, faktor
B, faktor D, faktor H, properdin,dll.
Pada setiap tahap aktivasi selalu dihasilkan suatu aktivitas enzim baru yang juga
komponen komplemen.
Produk reaksi pertama berlaku sebagai katalis enzimatik yang mengaktifkan
komponen-komponen selanjutnya, demikian seterusnya hingga dihasilkan suatu respon
bertingkat yang menyerupai cascade. Kerja ini menyerupai air terjun yang terus
berlangsung tanpa bisa dihentikan di tengah-tengah reaksi. Fragmen enzim diberi nama a
dan b misalnya C2a dan C2b.
- Pusat katalitik sistem ini berada pada C3.
- Akhir dari aktivitas komplemen adalah : terbentuknya suatu pori fungsional pada
membran sel di mana komplemen tersebut melekat, kemudian terjadi perubahan
konformasi fosfolipid sel yang menyebabkan lisis dan berakhir dengan kematian
sel. Hal ini disebut MAC (membrane attack complex).

Sistem Komplemen terdiri dari tiga jalur yaitu sebagai berikut:


- Jalur Klasik. Jalur ini diawali dengan stimulasi dari kompleks antigen-antibodi
yang kemudian mengaktivasi C1q, C1r, C1s, ketiga komponen ini menghasilkan
komponen enzimatik yang menstimulasi C4, C4 menghasilkan komponen
enzimatik yang menstimulasiC2, komponen C2 ini kemudian menghasilkan
komponen enzimatik dan menstimulasi C3 Convertase (pusat katalitik sistem
komplemen).
- Jalur MB-Lecitin. Jalur ini diawali oleh stimulasi dari kompleks manosa binding
protein pada permukaan patogen yang kemudian menstimulasi MBL, MASP-1,
MASP-2. Ketiga komponen ini kemudian mnghasilkan komponen enzimatik
yang menstimulasi C4, (seperti halnya pada jalur klasik) C4, C4 menghasilkan
komponen enzimatik yang menstimulasiC2, komponen C2 ini kemudian
menghasilkan komponen enzimatik dan menstimulasi C3 convertase (pusat
katalitik sistem komplemen).
- Jalur Alternatif. Jalur ini diawali oleh stimulasi dari permukaan patogen yang
mengandung LPS (Lipopolisakarida) yang kemudian langsung menstimulasi C3,
C3 menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi faktor B, faktor B
menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi fakator D, faktor D

11
kemudian menghasilkan komponen enzimatik yang akhirnya mensimulasi C3
convertase.
Setelah Ketiga jalur tersebut mengaktivasi C3 Convertase, C3 convertase ini
kemudian menghasilkan C3a, C5a dan C3b. C3a, C5a kemudian menstimulasi peptida
mediator untuk inflamasi dan menstimulasi rekrutmen sel fagositik. C3b kemudian
berikatan dengan reseptor komplemen pada sel fagositik dan kemudian menstimulasi
opsonisasi dan penghilangan kompleks imun. Selain itu, C3b juga menstimulasi
komponen terminal komplemen yang kemudian terjadi reaksi cascade : menstimulasi
C5b, C6,C7,C8,C9 dan akhirnya membentuk Membran attack complex dan menyebabkan
lisis pada patogen.
Persamaan atara ketiga jalur tersebut adalah sebagai berikut :
Ketiganya sama-sama akan mengaktivasi pusat katalitik sistem komplemen
yaitu C3; Ketiganya pada akhirnya akan menginduksi C9; dan ketiganya
sama-sama membentuk membran attack complex.
Perbedaan atara ketiga jalur tersebut adalah sebagai berikut :
Stimulus yang menginduksi masing-masing jalur berbeda-beda. Jalur Lecitin
distimulasi oleh kompleks antigen antibodi, Jalur MB-Lecitin distimulasi
oleh kompleks manosa-binding Lecitin, dan Jalur Alternatif distimulasi LPS
(lipopolisakarida) dari permukaan patogen.
Komponen yang distimulasi oleh stimulus masing-masing jalur berbeda.
Jalur Lecitin selanjutnya mengaktivasi C1q,C1r,C1s, C4 dan C2, jalur MB
Lecitin selanjutnya mengaktivasi MBL, MASP-1, MASP-2, C4 dan C2, dan
jalur alternatif mengaktivasi C3, B,dan D.

2. Sistem indikator hemolitik


Antibody hemolitik (hemolisin)dibuat dengan cara mengimunisasi kelinci dengan sel-
sel darah merah biri-biri. Serum dari kelinci yang sudah diimunisasi dengan sel biri-biri
ini dicampur dengan sel-sel darah merah biri-biri. Bila komplemen tertambat digunakan
di dalam reaksi antibodi uji dan atigen maka tidak akan terjadi hemolisis. Oleh sebab itu,
reaksi hemolitik meninjukan uji negatif. Ini menunjukan bahwa semua reaktan didalam
uji fiksasi komplemen harus disesuaikan dengan tepat.
Uji fiksasi komplemen terutama bermanfaat bila kombinasi antara antigen uji dan
antibodi tidak menimbulkan reaksi kasat mata seperti yang terjadi pada aglutinasi dan
presipitasi. Uji fiksasi komplemen ini banyak digunakan secara luas di dalam diagnosis

12
laboratories penyakit menular, termasuk penyakit yang disebutkan oleh bakteri, virus,
protozoa, dan cendawan. Salah satu penerapan yang diketahui paling baik dari uji ini
adalah uji Wasserman untuk sifilis, meskipun uji ini telah diganti oleh uji-uji lain

2.4.4 Reaksi Netralisasi


Reaksi antara antigen dan antibodi untuk mencegah adanya efek yang
berbahaya antara lain adanya eksotoksin bakteri atau virus. Senyawa yang dapat
menetralkan toksin disebut dengan antitoksin, merupakan antibodi spesifik yang
diproduksi oleh sel hospes. Reaksi antara antitoksin yang dapat menetralkan
toksin bakteri disebut dengan reaksi netralisasi.

2.4.5 Reaksi Imunofluoresensi


Teknik ini merupakan kombinasi antara zat warna fluoresein dengan antibodi
sehingga menimbulkan warna pendaran ketika dilihat pada mikroskop dengan
sinar ultra violet. Uji ini merupakan cara yang cepat, sensitif dan sangat spesifik.

2.4.6 Radioimmuno Assay (RIA)


Teknik RIA merupakan cara diagnostik yang mampu mengukur konsentrasi
antigen maupun antibodi yang berkadar rendah, sehingga memungkinkan untuk
mendeteksi adanya kelainan tubuh secara dini. Terdapat dua cara untuk
melakukan pemeriksaan dengan teknik RIA ini, pertama dengan penentuan
berdasarkan reaksi antigen antibodi dalam larutan (liquid phase radio immuno
assay) dan yang kedua adalah berdasarkan reaksi pada zat padat atau partikel
(solid phase radio immuno assay).

2.4.7 Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)


ELISA merupakan teknik yang paling luas digunakan dari kelompok enzyme
immunoassay (EIA). Terdapat dua cara ELISA yaitu yang ecara langsung
mendeteksi antigen dan secara tidak langsung untuk mendeteksi antibodi. Teknik

13
ELISA cukup sederhana sehingga interpretasi terhadap hasil pemeriksaan sangat
jelas baik untuk menentukan hasil positif maupun negatif.

2.5 Contoh Pemeriksaan dari Reaksi


1. Reaksi Aglutinasi
Beberapa contoh uji aglutinasi adalah sebagai berikut:
Uji Widal
Uji Widal adalah prosedur uji serologi untuk mendeteksi bakteri Salmonella
enterica yang mengakibatkan penyakit Thipoid. Uji ini akan memperlihatkan
reaksi antibodi Salmonella terhadap antigen O-somatik dan H-flagellar di dalam
darah. Prinsip pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum
penderita dicampur dengan suspense antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan
yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(agglutinin). Antigen yang digunakan pada tes widal ini berasal dari suspense
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dalam laboratorium. Dengan jalan
mengencerkan serum, maka kadar anti dapat ditentukan. Pengenceran tertinggi
yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum.
Uji Weil-Felix
Uji Weil-Felix merupakan uji yang dilakukan terhadap infeksi oleh riketsia.
Uji ini melibatkan antigen heterofil, beberapa riketsia memiliki antiten yang sama
seperti yang terdapat pada galur-galur Proteus spp. Artinya serum dari pasien
yang menderita infeksi oleh riketsia akan mengaglutinasikan suspensi bakteri
Proteus spp.Reaksi Weil-Felix ini bersifat diferensial, atau diagnostik terhadap
penyakit-penyakit tertentu yang disebabkan oleh riketsia karena terjadinya
aglutinasi galur-galur ini secara selektif. Uji Aglutinasi biasanya digunakan dalam
penentuan golongan darah ABO dan penentuan tipe Rh.
Penggolongan Darah ABO
Pada proses transfusi darah, pertimbangan utama ditunjukkan pada interaksi
antara antibodi resipien dan sel-sel donor. Transfusi yang inkompatibel (tidak
serasi) akan mengakibatkan terjadinya penggumpalan serta lisis sel yang

14
ditransfusikan oleh isoantibodi dan komplemen serum si donor. Hal ini dapat
menyebabkan terganggunya fungsi ginjal pada donor.
Orang-orang dengan golongan darah O, yang memiliki agulitinin anti-A dan
anti-B dalam serum darahnya disebut sebagai donor universal, sedangkan
golongan darah AB yang memiliki aglutinogen A dan B disebut sebagai resipien
universal.
Penentuan tipe darah Rh
Pada sistem Rh tidak dijumpai isoantibodi alamiah terhadap antigen Rh.
Namun demikian, seseorang dengan Rh negatif yang menerima sel-sel darah
dengan Rh positif akan memberikan respon dengan cara mensintesis antibodi
terhadap faktor Rh. Untuk melakukan uji Rh dapat dilakukan dengan
menambahkan antigen D pada darah.
Penyakit yang dapat ditimbulkan apabila perkawinan terjadi antara rherus
yang berbeda adalah eritroblastosis fetalis bada bayi mereka. Hal ini dapat terjadi
bila ayah rhesus positif sedangkan ibunya rhesus negatif, rhesus positif lebih
dominan terhadap rhesus negatif. . Anak dari pasangan beda rhesus punya
kemungkinan 50-100% rhesus positif. Kemungkinan rhesus negatif hanya 0-50%.
Artinya rhesus si anak lebih mungkin berbeda dengan si ibu. Perbedaan rhesus
antara calon bayi dengan ibu akan menimbulkan masalah. Melalui plasenta,
rhesus darah janin akan masuk ke peredaran darah si ibu. Selanjutnya ini akan
menyebabkan tubuh si ibu memproduksi antirhesus. Melalui plasenta juga,
antirhesus ini akan melakukan serangan balik ke dalam peredaran darah si calon
bayi. Sel-sel darah merah si calon bayi akan dihancurkan.Pada kehamilan
pertama, antirhesus mungkin hanya akan menyebabkan si bayi lahir kuning
(karena proses pemecahan sel darah merah menghasilkan bilirubin yang
menyebabkan warna kuning pada kulit). Tapi pada kehamilan kedua, problemnya
bisa menjadi fatal jika anak kedua juga memiliki rhesus positif. Saat itu, kadar
antirhesus ibu sedemikian tinggi, sehingga daya rusaknya terhadap sel darah
merah bayi juga hebat. Ini bisa menyebabkan janin mengalami keguguran.

2. Beberapa uji serologi

15
ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay)

ELISA merupakan metode determinasi konsentrasi proteinberdasarkan


spesifitas reaksi immunologis antara antigen dan antibodi yang dirangkai
denganreaksi enzimatis.Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik
pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang
cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun1971 oleh Peter Perlmann dan Eva
Engvall untuk menganalisis adanyainteraksi antigen dengan antibodidi dalam
suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pelapor (reporter label). Prinsip
kerja ELISA reader sama dengan spektofotometer.Umumnya ELISA dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan konjugatantigen.

enzim atau konjugat antobodi

enzim, dan non-competitive assay yang menggunakan dua antibodi.

Pada ELISA non-competitive assay, antibodi kedua akan dikonjugasikan


dengan enzimsebagai indikator. Teknik kedua ini seringkali disebut sebagai
"Sandwich" ELISA. Uji ini dilakukan pada plate 96 well berbahan
polistirena.Untuk melakukan teknik "Sandwich" ELISA ini, diperlukan beberapa
tahap yang meliputi:

1. Well dilapisi atau ditempeli antigen


2. Sampel (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan.
3. Ditambahkan antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan enzim tertentu
seperti peroksidasealkali. Antibodi kedua ini akan menempel pada
antibodi sampel sebelumnya.
4. Dimasukkan substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat
bereaksi.
5. Intensitas warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang disebut
ELISA reader hingga mendapatkan hasil berupa densitas optis (OD).
Dengan menghitung rata-rata kontrol negatif yang digunakan, didapatkan

16
nilai cut-off untuk menentukan hasil positif-negatif suatu sampel. Hasil
OD yang berada di bawah nilai cut-off merupakan hasil negatif, dan
demikian jugasebaliknya.Uji ini memiliki beberapa kerugian, salah satu di
antaranya adalah kemungkinan yang besar terjadinya hasil false positive
karena adanya reaksi silang antara antigen yang satu dengan antigenlain.

Serologi untuk hepatitis B

Hepatitis B merupakan penyakit infeksi pada hati yang angka kejadiannya


tinggi dan dapatmenimbulkan masalah kronis seperti sirosis hepatis dan kanker
hati. Diagnosis hepatitis B dikerjakan dengan melakukan tes terhadap beberapa
marker serologis dari virus hepatitis B dan dengan menambahkan tes tambahan
untuk menyingkirkan penyebab lain seperti virus hepatitis Adan C. Sedangkan
untuk penyaring, cukup dilakukan pemeriksaan HBsAg dan Anti HBs.

HBs Ag jika positif, pasien dianggap terinfeksi hepatitis B. Pengulangan tes


setelah 6 bulan untukmenentukan infeksi telah sembuh atau kronik. HBsAg positif
setelah 6 bulan tetap terdeteksi dalamdarah selama lebih dari enam bulan berarti
telah menjadi kronis.

Anti HBs jika positif, pasien dianggap memiliki kekebalan terhadap hepatitis
B (baik karena infeksi yang telahsembuh atau karena vaksinasi). Hepatitis B
karier kronis dapat menunjukkan HBsAg dan Anti HBspositif. positif untuk
HbsAg dan anti HBs pada saat yang bersamaan, tetapi hal ini sangat jarangterjadi
(<1%). Jika negatif pasien belum memiliki kekebalan terhadap virus hepatitis B.

HbeAg HBeAg positif berhubungan dengan tingkat infeksi yang tinggi dan
pada karier kronik denganpeningkatan resiko sirosis. Tes ini dapat digunakan
untuk mengamati perkembangan hepatitis B kronik.

HBV DNA positif menunjukkan infeksi aktif, bergantung pada viral


load (jumlah virus). Tes ini dapatdigunakan untuk mengetahui prognosis dan
keberhasilan terapi.

17
Anti HBc jika positif, pasien telah terinfeksi oleh VHB. Infeksi telah sembuh
(HBsAg negatif) atau masihberlangsung (HBsAg positif). Jika infeksi telah
sembuh, pasien dianggap mempunyai kekebalanalami terhadap infeksi VHB. IgM
anti HBc mungkin menjadi satu-satunya marker yang dapatterdeteksi selama masa
window period ketika HbsAg dan anti-HBs masih negatif.

Anti Hbe umumnya Anti HBe positif dengan HBeAg negatif menunjukkan
tingkat replikasi virus yang rendah.Namun hal ini tidak berlaku pada virus
hepatitis B mutan. Pemeriksaan tambahan Anti HCV dan Anti HAV untuk
menyingkirkan adanya infeksi hepatitis C dan A.

2.6 Hal-Hal yang Berkaitan dengan Reaksi Tersebut


a. Uji Cincin
Uji cincin adalah uji presipitasi yang paling sederhana. Kedalam sebuah tabung
bermulut kecil diletakkan larutan antigen diatas larutan serum yang mengandung
antibodi. Kedua larutan tersebut akan berdifusi sampai keduanya mencapai konsentrasi
optimum untuk terjadinya presipitasi, pada titik tersebut muncullah suatu zona rapat atau
cincin endapan diantara kedua larutan tersebut.

b. Uji Tabung
Dengan mencampur pada tabung, masukkan dilusi antigen atau antibodi
dengan jumlah tertentu. Dilusi dilakukan dari konsentrasi tinggi (tabung pertama)
sampai konsentrasi terendah (tabung terakhir). Presipitat timbul pada tabung yang
mengandung Ag dan Ab secara proporsional.

c. Metode Difusi Agar


Ketepatan yang lebih tinggi dan pemisahan komponen di dalam campuran antigen
dan antibodi dapat diperoleh dengan cara membiarkan reaktan-reaktan tersebut berdifusi
bersama-sama dalam di dalam suatu gel agar.

- Metode difusi tunggal.

18
Dalam metode difusi tunggal yang dirancang Oudin, antigen ditaruh diatas gel agar
yang mengandung antiserum di dalam suatu tabung reaksi bermulut sempit. Setelah
dibiarkan selama beberapa jam atau beberapa hari, antigen itu merembes ke dalam gel
membentuk pita-pita endapan pada berbagai taraf, bergantung kepada jumlah dan macam
antigen-antibodi yang ada. Karena presipitasi terjadi ketika antigen menembus gel, maka
cincin endapan mula-mula muncul di dekat puncak gel dan nampaknya bergerak perlahan
ke arah bawah. Efek semacam ini mungkin sesungguhnya disebabkan karena adanya
peningkatan jumlah antigen yang menyebabkan endapan itu melarut (karena reaksi
antigen-antibodi itu dapat balik). Presipitasi terbentuk kembali pada posisi yang lebih
kebawah dalam tabung tersebut, yaitu pada tempat konsentrasi antigen yang optimum.
Faktor-faktor yang menentukan taraf untuk terjadinya reaksi ialah ukuran molekul dan
konsentrasi nisbi reaktan.

- Metode difusi ganda.


Oakley dan Fulthorpe memodifikasi teknik Oudin dalam metode difusi tunggal
dengan cara menaruh antiserum di dalam agar di dasar tabung reaksi dan melapisinya
dengan gel agar lalu diatasnya ditaruh larutan antigen. Kedua reaktan itu berdifusi kearah
masing-masing di dalam agar dan presipitasi terjadi pada titik terdapatnya konsentrasi
optimum. Ini adalah difusi ganda satu dimensi. Metode difusi ganda dua dimensi yang
dirancang oleh Ouchterlony mempunyai keuntungan dibandingkan dengan metode
sebelumnya, bahwa berbagai antigen dan antiserum dapat dibandingkan secara langsung.
Dalam uji ini, reaktan merembes dari sumur-sumur yang berisi antiserum dan antigen
homolog dalam konsentrasi optimum. Bila pita endapan yang dibentuk kedua antigen dan
antibodi itu melebur pada titik pertemuannya, maka berarti kedua antigen itu sama. Bila
bersilangan, artinya kedua antigen itu berbeda.

d. Radioimunoasai
Radioimunoasai ialah suatu teknik mikro dengan kepekaan tinggi untuk meentukan
jumlah antigen yang amat sedikit. Teknik ini pada hakikatnya merupakan proses dua
langkah. Langkah yang pertama menyangkut kompetensi antara antigen uji (tidak
berlabel atau tidak radio aktif) dengan konsentrasi yang tidak diketahui (beragam) dan
suatu antigen indikator yang dikenal (berlabel atau radioaktif) dengan konsentrasi yang
sudah diketahui (daoat dihitung). Mereka berkompetensi untuk bereaksi dengan antibodi
yang dikenal dan jumlahnya terbatas, yang spesifik bagi antigen yang diberi label

19
radioisotop. Ketiga reaktan ini diinkubasikan selama beberapa jam sehingga dapat terjadi
reaksi pengikatan antigen-antibodi.
Langkah kedua menyangkut ditambahkannya kedalam sistem itu antiserum (anti-
antibodi) yang spesisifik dan erhadapnya mampu mengikat komponen antibodi dari
kompleks kekebalan yang tebentuk selama inkubasi pada langkah yang pertama. Ini
mengakibakan terjadinya presipitasi kompleks antigen-antibodi.Radioaktivitas endapan
tersebut ditetapkan di dalam detektor dan penghitung radioisotop.
Bila antigen uji pada langkah pertama telah bereaksi dengan antibodi, maka antigen
indikator radioaktif tidak dapat bereaksi dengan antibodi itu. Hitungan radioaktifnya akan
redah karena antigen indikator tidak terdapat dalam endapan. Namun demikian, bila
antigen uji itu tidak bereaksi dengan antibodi, maka antibodi itu tentunya bebas untuk
mengikat antigen indikator radioaktif. Maka hitungan radioaktifnya akan tinggi karena
antigen indikator terikat dalam endapan. Jadi identitas dan konsentrasi antigen uji dapat
ditentukan oleh radioaktivitas endapan.
Teknik radioimunoasai ini penting untuk menentukan adanya antigen hepatitis B,
yang mungkin ada di dalam serum donor darah yang tidak memperlihatkan gejala (donor
yang membawa virus (antigen) tanpa memperlihatkan gejala). Substansi-substansi lain
yang dapat diukur dengan radioimunoasai meliputi insulin, testosteron, estradiol, igE
manusia, serta bahan-bahan lain yang biasanya ada dalam jumlah amat kecil di dalam
darah atau air seni.

e. Immunoelektroforesis
Jika terdapat sejumlah Ag dalam larutan seperti serum, sulit memisahkan pita
presipitasi yang timbul pada setiap reaksi Ab-Ag, bila hanya menggunakan cara
difusi di atas. Komponen serum dipisahkan dengan elektroforesis dalam agar gel
dan antiserum dibiarkan berdifusi melalui komponen yang dihasilkan pada pita-
pita yang terbentuk.
- Elektroforesis roket
Merupakan metode kuantitatif, dilakukan elektroforesis antigen ke dalam gel
yang telah mengandung antibodi. Presipitasi yang terjadi berbentuk roket, panjang
masing-masing roket menunjukkan konsentrasi antigen.

20
- Immunodifusi radial tunggal
Antiserum monospesifik ditambahkan ke dalam gel, kemudian dituang pada
slide petridisk atau lempeng plastik. Dibuat lubang gel, larutan antigen
dimasukkan pada lubang. Terjadi difusi sehingga terbentuk zona sirkuler yang
menunjukkan jarak proporsional dengan jumlah antigen yang ditambahkan pada
setiap lubang. Kuantitasi antigen yang diperiksa diketahui dari perbandingan
cincin presipitasi dibandingkan dengan cincin presipitasi kontrol.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Imonologi atau Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit
infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi
terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-
molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respons imun. Sistem imun
diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang
dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.
Serologi ialah ilmu yang mempelajari reaksi antigen antibody secara invitro
Untuk dapat menegakkan diagnose suatu penyakit infeksi kita harus dapat
mengisolasi atau menemukan kuman penyebabnya.. Apabila sebuah kuman
masuk kedalam tubuh kita maka kuman tersebut akan merupakan suatu antigen
(benda asing) bagi tubuh kita dan selanjutnya akan merangsang tubuh kita untuk
membentuk antibody terhadap kuman tersebut. Dengan dapat ditemukannya
antibody tersebut dalam tubuh kita, mka hal ini akan membantu kita dalam
menegakkan diagnose suatu penyakit infeksi. Proses untuk menemukan atau
mendeteksi adanya antigen dan antibody tersebut yang selanjutnya kita kenal
dengan pemeriksaan serologi. Beberapa contoh pemeriksaan serologi adalah:
widal, VDRL, toxoplasmosis, hepatitis, AIDS, dsb. Dalam kuliah ini akan dibahas
pemeriksaan serologi untuk widal dan hepatitis A dan B.

3.2 Saran
Imunoserologi adalah cabang ilmu yang sangat penting untuk menegakkan
diagnose. Jadi sebagai ahli teknologi laboratorium medik, haruslah benar-benar
mempelajari dan memahami ilmu ini.

22
DAFTAR PUSTAKA

http://grahailmu.co.id/previewpdf/978-602-262-033-4-1042.pdf
http://sharing-analiskesehatan.blogspot.co.id/2013/06/imunoserologi.html
http://impujeng.blogspot.co.id/2012/01/imunologi.html
http://www.pengobatanalergi.com/4-macam-reaksi-hipersensitivitas/
http://matakuliahbiologi.blogspot.co.id/2012/06/diagnosis-penyakit.html
https://www.scribd.com/doc/95795703/Pemeriksaan-serologi
http://analismuslim.blogspot.co.id/2013/12/pemeriksaan-serologi.html
http://dokumen.tips/documents/reaksi-serologi.html
http://hasananalis.blogspot.co.id/2012/04/uji-serologi.html
http://percikcahaya.blogspot.co.id/2011/04/imunoserologi.html
https://aboutlabkes.wordpress.com/2012/01/29/pemeriksaan-imunologiserologi-
di-laboratorium/

23

Anda mungkin juga menyukai