Anda di halaman 1dari 8

TEORI RESEPTOR

Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada sel
organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul fungsional, yang pada
umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis bagi ligan-ligan endogen (semisal:
hormon dan neurtransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah
kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali yang baru.
Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon, faktor
pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan regulator (seperti
dihidrofolat reduktase, asetilkolinesterase). Namun demikian, reseptor untuk obat pada
umumnya merupakan reseptor yang berfungsi bagi ligan endogen (hormone dan
neurotransmitter). 2 Reseptor bagi ligan endogen seperti ini pada umumnya sangat spesifik
(hanya mengenali satu struktur tertentu sebagai ligan).
Obat-obatan yang berinteraksi dengan reseptor fisiologis dan melakukan efek
regulator seperti sinyal endogen ini dinamakan agonis Ada obat yang juga berikatan
dengan reseptor fisioloigs namun tanpa menghasilkan efek regulator dan
menghambat kerja agonis (terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut dengan
istilah antagonis, atau disebut juga dengan bloker. Obat yang berikatan dengan reseptor
dan hanya menimbulkan efek agonis sebagian tanpa memedulikan jumlah dan
konsentrasi substrat disebut agonis parsial. Obat agonis-parsial bermanfaat untuk
mengurangi efek maksimal agonis penuh, oleh karena itu disebut pula dengan istilah
antagonis parsial Sebaliknya, obat yang menempel dengan reseptor fisiologik dan justru
menghasilkan efek berlawanan dengan agonis disebut agonis negatif.
Obat harus berintekasi dengan target aksi obat (salah satunya adalah reseptor) untuk
dapat menimbulkan efek. Interaksi obat dan reseptor dapat membentuk komplek obat-reseptor
yang merangsang timbulnya respon biologis, baik respon antagonis maupun agonis. Mekanisme
timbulnya respon biologis dapat dijelaskan dengan teori obat reseptor.
Ada beberapa teori interaksi obat reseptor, antara lain yaitu teori klasik, teori pendudukan, dan
teori kecepatan.
Teori Klasik
Crum dan Brown dan Fraser (1869), mengaktakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa
merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis
mempunyai sifat karakteristik.
Langley (1878), dalam studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin, memperkenalkan
konsep reseptor yang pertama kali, kemudian dikembangkan oleh Ehrlich.
Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana tentang
interaksi obat reseptor yaitu corpora non agunt nisi fixate atau obat tidak dapat menimbulkan

efek tanpa mengikat reseptor. Reseptor biologis timbul bila ada interaksi antara tempat dan
struktur dalam tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul asing yang sesuai atau
obat, yang satu sama yang lainnya merupakan stuktur yang saling mengisi.Reseptor obat
digambarkan seperti permukaan logam yang halus dan mirip dengan struktur molekul obat
Teori Pendudukan
Clark (1926) memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati sati sisi reseptor dan
obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebihan agar tetap efektif selama proses
pembentukan kompleks
Besarnya efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah reseptor khas yang
diduduki molekul obat. Clark hanya meninjau dari segi agonis saja yang kemudian dilengkapi
oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari sisi antagonis.
Jadi respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat berupa :
1. rangsangan aktivitas (efek agonis )
2. pengurangan aktivitas (efek antagonis )
Ariens (1954) dan Stephenson (1959), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor
menjadi dua tahap yaitu :
1. Pembentukan komplek obat-reseptor
2. Menghasilkan respon biologis
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat menunjang
afinitas interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk menimbulkan respon biologis
sebagai akibat pembentukan komplek. Proses interaksinya adalah sebagai berikut:

Afinitas
O + R < ==========>
komplek OR respon biologis
Afinitas merupakan ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas sangat
bergantung dari struktur molekul obat dan sisi reseptor.
Efikasi (aktivitas instrinsik) adalah ukuran kemampuan obat untuk memulai timbulnya respon
biologis.
O + R < =====> O-R respon (+) : senyawa agonis (afinitas besar dan aktivitas instrinsik =1)
O + R < ===> O-R respon (-) : senyawa antagonis (afinitas besar dan aktivitas instrinsik = 0)

Teori Kecepatan
Croxatto dan Huidobro (1956) memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada saat
berinteraksi dengan reseptor.
Paton (1961) mengatakan bahwa efek biologis obat setara dengan kecepatan kombinasi obatreseptor dan bukan jumlah reseptor yang didudukinya.Di sini, tipe kerja obat ditentukan oleh
kecepatan penggabungan (asosiasi) dan peruraian (disosiasi) komplek obat-reseptor dan bukan
dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil.
Asosiasi
dissolusi

O + R < =========> komplek (OR) > respon biologis


Senyawa dikatakan agonis jika memiliki kecepatan asosiasi (mengikat reseptor ) dan dissolusi
yang besar. Senyawa dikatakan antagonis jika memiliki kecepatan asosiasi (mengikat reseptor)
dan dissolusi kecil. Di sini, pendudukan reseptor tidak efektif karena menghalangi asosiasi
senyawa agonis yang produktif.
Senyawa dikatakan agonis parsial jika kecepatan asosiasi dan dissolusinya tidak maksimal.
Konsep di atas ditunjang oleh fakta bahwa banyak senyawa antagonis menunjukkan efek
rangsangan singkat sebelum menunjukkan efek pemblokiran.
Pada permulaan kontak obat-reseptor, jumlah reseptor yang diduduki oleh molekul obat masih
relatif sedikit, kecepatan penggabungan obat-reseptor maksimal sehingga timbul efek rangsangan
yang singkat. Bila jumlah reseptor yang diduduki molekul obat cukup banyak, maka kecepatan
penggabungan obat-reseptor akan turun sampai di bawah kadar yang diperlukan untuk
menimbulkan respon biologis sehingga terjadi efek pemblokiran.

Pembagian Reseptor Fisiologik


1. Reseptor enzim mengandung protein permukaan kinase yang memfosforilasi protein efektor
di membran plasma. Fosforilasi mengubah aktivitas biokimia protein tersebut. Selain kinase,
siklase juga dapat mengubah aktivitas biokimia efektor. Tirosin kinase, tirosin fosfatase,
serin/treonin kinase, dan guanil siklase berfungsi sebagai situs katalitik, dan berperan layaknya
suatu enzim. Contoh ligan untuk reseptor ini: insulin, epidergmal growth factor (EGF), plateletderived growth factor (PDGF), atrial natriuretic factor (ANF), tra nsforming growth factor-beta
(TGF-), dan sitokin.
2. Reseptor kanal ion reseptor bagi beberapa neurotransmitter, sering disebut dengan istilah
ligand-gated ion channels atau receptor operated channels. Sinyal mengubah potensial membran
sel dan komposisi ionik instraselular dan ekstraselular sekitar.
Contoh ligan untuk reseptor ini: nikotinik, ?-aminobutirat tipe A (GABA ), glutamat, aspartat,
dan A glisin.

3. Reseptor tekait Protein G Protein G merupakan suatu protein regulator pengikatan GTP
berbentuk heterotrimer. Protein G adalah penghantar sinyal dari reseptor di
permukaan sel ke protein efektor. Protein efektor Protein G antara lain adenilat siklase,
fosfolipase C dan A2, fosfodiesterase, dan kanal ion yang terletak di membran plasma yang
selektif untuk ion Ca2+ dan K . Obat selain antibiotik pada umumnya bekerja dengan
mekanisme ini.
Contoh ligan untuk reseptor ini: amina biogenik, eikosanoid, dan hormon-hormon peptida lain.

4. Reseptor faktor transkripsi mengatur transkripsi gen tertentu. Terdapat daerah pengikatan
dengan DNA (DNA binding domain) yang berinteraski secara spesifik pada genom
tertentu untuk mengaktifkan atau menghambat transkripsi.
Contoh ligan: hormon steroid, hormon tiroid, vitamin D, dan retinoid.

Pada artikel ini, kita akan lebih banyak membicarakan tentang reseptor sebagai target aksi obat.
Reseptor pula lah yang masih menjadi focus utama dalam investigasi tentang efek suatu obat dan
mekanisme aksinya karena dianggap sebagai faktor yang paling bertanggungjawab atas terjadinya
suatu efek terapetik maupun efek toksik pada pasien.
Reseptor merupakan suatu makromolekul seluler yang dapat berikatan dengan suatu ligan secara
langsung dan spesifik untuk memicu terjadinya proses biokimiawi hingga menimbulkan efek dengan
melibatkan suatu second messenger tertentu. Sebagian besar reseptor merupakan senyawa
protein. Katzung (2007) memprediksi hal ini disebabkan oleh struktur polipeptida yang
memungkinkan terjadinya keragaman (diversity) dan spesifisitas bentuk serta muatan elektronik
sehingga muncullah banyak reseptor yang satu sama lain saling berbeda dalam strukturnya.
Suatu ligan dapat beraksi sebagai agonis maupun sebagai antagonis bagi reseptornya. Beraksi
sebagai agonis jika ligan tersebut memiliki afinitas (kemampuan beriktan dengan reseptor) sekaligus
memiliki efikasi (kemampuan intrinsic untuk menimbulkan efek jika berikatan dengan reseptor)
sehingga ikatan ligan reseptor ini akan memicu terjadinya suatu respon biokimia tertentu hingga
memunculkan suatu efek. Sedagkan jika ligan tersebut hanya memilki afinitas saja tanpa memilki
efikasi sehingga ikatannya dengan reseptor tidak akan menimbulkan efek apa pun, maka dia beraksi
sebagai antagonis.
Afinitas antara ligan dan reseptornya sangat bergantung pada kesesuaian antara kedua molekul
tersebut. Semakin sesuai, maka afinitasnya semakin besar. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan
bahwa masing masing ligan reseptor memiliki spesifisitas tertentu. Artinya, suatu ligan hanya
dapat berikatan dengan satu tipe reseptor tertentu saja. Sedangkan bila suatu ligan dapat berikatan
dengan lebih dari satu tipe reseptor, dikatakan ligan tersebut bersifat kurang spesifik. Spesifisitas ini
dapat bersifat kimiawi maupun biologis. Spesifisitas kimia maksudnya perubahan sedikit saja pada
konformasi kimia atau stereoisomerisasi ligan maupun reseptor dapat mengubah kekuatan ikatan di
antara keduanya yang pada gilirannya dapat mempengaruhi efek farmakologinya. Sedangkan
spesifikasi bilogis maksudnya ikatan antara ligan dan reseptor yang sama dapat menimbulkan efek
dengan kekuatan yang berbeda jika terjadi pada jaringan yang berbeda.
Berdasarkan sistem transduksi sinyalnya, reseptor dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

1. Reseptor Kanal Ion


Reseptor ini desebut juga sebagai reseptor ionotropik. Reseptor kanal ion merupakan suatu reseptor
membrane yang langsung terhubung dengan suatu kanal ion dan memperantarai aksi sinaptik yang
cepat. Contohnya adalah reseptor asetilkolin nikotinik, reseptor GABAa, dan reseptor glutamate.
2. Reseptor Terikat Protein G
Reseptor terikat protein G atau GPCR (G-Protein Coupled Receptor) atau 7TM Receptor (7 Trans
Membrane Receptor) ini merupakan golongan reseptor yang memiliki jumlah anggota yang paling
banyak. Sesuai dengan namanya, rangkaian peptida penyusun reseptor ini melintasi membrane
sebanyak tujuh kali dan terikat dengan sistem efektor yang disebut protein G. reseptor ini
memperantarai beberapai aksi neurotransmitter dan hormon secara lambat. Contoh reseptor ini
misalnya reseptor asetil kolin muskarinik, reseptor adrenergic, reseptor histamine, reseptor
dopaminergik, dan reseptor serotonin.
3. Reseptor Tyrosine Kinase
Reseptor ini merupakan reseptor single trans membrane (hanya melintasi membrane satu kali) yang
memiliki aktibitas kinase dalam transduksi sinyalnya. Cobtoh dari reseptor ini adalah reseptor
sitokinin, reseptor growth factor, dan reseptor insulin.
Ketiga reseptor di atas terletak di membrane sel dan melintasi membrane.
4. Reseptor Intra Seluler
Reseptor intra seluler merupakan satu satunya kelompok reseptor yang tidak terletak di
membrane sel tetapi terletak di dalam sitoplasmik atau nukleus. Reseptor ini beraksi dalam
mengatur transkripsi gen yang menentukan sintesis protein.

TEORI RESEPTOR
Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada sel
organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul fungsional, yang pada
umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis bagi ligan-ligan endogen (semisal:
hormon dan neurtransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah
kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali yang baru.
Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon, faktor
pertumbuhan,
(seperti
umumnya

faktor

transkripsi,

neurotransmitter,

enzim

metabolik

dan

regulator

dihidrofolat reduktase, asetilkolinesterase). Namun demikian, reseptor untuk obat pada


merupakan

reseptor

yang

berfungsi

bagi

ligan

endogen

(hormone

dan

neurotransmitter). 2 Reseptor bagi ligan endogen seperti ini pada umumnya sangat spesifik
(hanya mengenali satu struktur tertentu sebagai ligan).
Obat-obatan yang berinteraksi dengan reseptor fisiologis dan melakukan efek
regulator seperti

sinyal

endogen

ini

dinamakan agonis

Ada

obat yang

juga berikatan dengan reseptor fisioloigs namun tanpa menghasilkan efek regulator d
an menghambat kerja agonis (terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut
dengan

istilah

antagonis,

atau

disebut

juga

dengan bloker. Obat

yang berikatan dengan reseptor dan hanya menimbulkan efek agonis sebagian tanpa
memedulikan jumlah dan konsentrasi substrat disebut agonis parsial. Obat agonisparsial bermanfaat untuk

mengurangi

oleh karena itu disebut pula dengan

efek maksimal

agonis penuh,

istilah antagonis parsial Sebaliknya, obat yang

menempel dengan reseptor fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan dengan agonis
disebut agonis negatif.

Pembagian Reseptor Fisiologik


1. Reseptor enzim mengandung protein permukaan kinase yang memfosforilasi protein efektor
di membran plasma. Fosforilasi mengubah aktivitas biokimia protein tersebut. Selain kinase,
siklase juga dapat mengubah aktivitas biokimia efektor. Tirosin kinase, tirosin fosfatase,
serin/treonin kinase, dan guanil siklase berfungsi sebagai situs katalitik, dan berperan layaknya
suatu enzim. Contoh ligan untuk reseptor ini: insulin, epidergmal growth factor (EGF), plateletderived growth factor (PDGF), atrial natriuretic factor (ANF), tra nsforming growth factor-beta
(TGF-), dan sitokin.
2. Reseptor kanal ion reseptor bagi beberapa neurotransmitter, sering disebut dengan istilah
ligand-gated ion channels atau receptor operated channels. Sinyal mengubah potensial membran
sel dan komposisi ionik instraselular dan ekstraselular sekitar.
Contoh ligan untuk reseptor ini: nikotinik, ?-aminobutirat tipe A (GABA ), glutamat, aspartat,
dan A glisin.
3. Reseptor tekait Protein G Protein G merupakan suatu protein regulator pengikatan GTP
berbentuk
heterotrimer. Protein G adalah penghantar sinyal dari reseptor di permukaan sel ke
protein efektor. Protein efektor Protein G antara lain adenilat siklase, fosfolipase C dan A2,

fosfodiesterase, dan kanal ion yang terletak di membran plasma yang selektif untuk ion
Ca2+ dan K . Obat selain antibiotik pada umumnya bekerja dengan mekanisme ini.
Contoh ligan untuk reseptor ini: amina biogenik, eikosanoid, dan hormon-hormon peptida lain.
4. Reseptor faktor transkripsi mengatur transkripsi gen tertentu. Terdapat daerah pengikatan
dengan

DNA (DNA binding domain)

yang berinteraski secara spesifik pada genom tertentu untuk mengaktifkan atau menghambat
transkripsi.
Contoh ligan: hormon steroid, hormon tiroid, vitamin D, dan retinoid.

Pada senyawa basa; propranolol, lidokain, disopiramid, petidin atau antidepresi trisiklik, 1glikoprotein asam membantu juga pembentukan ikatan protein plasma.
Untuk senyawa tubuh sendiri seringkali terdapat protein transport spesifik dari fraksi globulin,
misalnya transkortin untuk kortisol.
Ikatan protein adalah bolak-balik. Ikatan yang tidak bolak-balik (kovalen) misalnya reaksi
sitostatika yang mengalkilasi protein, tidak termasuk ke dalam ikatan protein.
Makin besar tetapan afinitas bahan yang bersangkutan, pada protein, makin kuat ikatan protein.
Sejauh tetapan afinitas terhadap berbagai protein, misalnya terhadap protein plasma dan
protein jaringan berbeda, maka kesetimbangan distribusi juda ikut terpengaruh dan
kesetimbangan akan bergeser ke protein dengan afinitas yang lebih besar. Ikatan protein juga
juga tergantung kepada pH plasma dan umur., contohnya pada asidosis barbiturate, ikatan
protein pada bayi baru lahir lebih rendah daripada pada orang dewasa karena perbedaan
kepekaannya.
Ikatan protein mempengaruhi intensitas kerja, lama kerja dan eliminasi bahan obat sebagai
berikut: bagian obat yang terikat pada protein plasma tidak dapat berdifusi dan umumnya tidak
mengalami biotransformasi dan eliminasi. Artinya obat dalam bentuk bebas yang dapat
mencapai sasaran sehingga dapat berkhasiat.
Bentuk yang terikat juga berfungsi sebagai cadangan. Jika dalam darah terdapat beberapa
obat, kemungkinan terjadi persaingan terhadap tempat terikat sehingga mempengaruhi
intensitas dan lama kerja, terutama jika yang terikat > 80%.
Harus diingat pula bahwa obat juga dapat mengusir senyawa tubuh sendiri, misalnya bilirubin
atau glukokortikoid dari ikatannya pada protein plasma dan menyebabkan bagian yang tidak
terikat menjadi meningkat.
Diposkan oleh Ozal di 03.52

Anda mungkin juga menyukai