Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENYIMPANGAN

1.1 Pengertian Penyimpangan Sosial


Pengertian Penyimpangan Sosial adalah semua tindakan yang menyimpang
dari norma-norma yang berlaku di suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha
dari pihak berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang
tersebut.Untuk lebih lanjutnya, berikut pengertian penyimpangan sosial menurut
beberapa tokoh:
1. Menurut Robert M. Z. Lawang. Penyimpangan perilaku adalah semua
tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial
dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sitem itu
untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
2. Menurut James W. Van Der Zanden. Perilaku menyimpang yaitu perilaku
yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang tercela dan di
luar batas toleransi.
3. Menurut Becker, perilaku menyimpang bukanlah kualitas yang dilakukan
orang, melainkan konsekuensi dari adanya suatu peraturan dan penerapan
sangsi yang dilakukan oleh orang lain terhadap pelaku tindakan tersebut.

1.2 Sebab Penyimpangan Sosial Menurut Sudut Pandang Psikologi


Teori ini berpandangan bahwa penyakit mental dan gangguan keperibadian
berkaitan erat dengan beberapa bentuk perilaku menyimpang.
Ilmuan yang terkenal di bidang ini adalah Sigmund Freud. Dia membagi diri
manusia menjadi tiga bagian penting, sebagai berikut :
Id, yaitu bagian diri yang bersifat tidak sadar, naluriah, dan impulsif
(mudah terpengaruh gerak hati).
Ego, yaitu bagian diri yang bersifat sadar dan rasional (penjaga pintu
kepribadian).
Superego, yaitu bagian diri yang telah menyerap nilai-nilai cultural dan
berfungsi sebagai suara hati.
Menurut Freud perilaku menyimpang terjadi apabila id yang berlebihan (tidak
terkontrol) muncul bersamaan dengan superego yang tidak aktif, sementara dalam
waktu yang sama ego yang seharusnya dominan tidak berhasil memberikan
perimbangan.

1.3 Teori-Teori Perilaku Menyimpang


Teori ini berpandangan bahwa penyakit mental dan gangguan kepribadian
berkaitan erat dengan beberapa bentuk perilaku menyimpang seringkali dianggap
sebagai suatu gejala penyakit mental.
Teori-Teori Perilaku Menyimpang Edwin H. Sutherland :
- mengemukakan association theory menurutnya penyimpangan
bersumber pada pergaulan dengan orang yang berperilaku
menyimpang .
- dinamakan dengan labelling theory yaitu seseorang mulai menyimpang
karena di labeli oleh orang-orang

Berikut beberapa teori tentang penyimpangan sosial:


1. Teori Differential Association Edwin H. Sutherland
Teori ini mengatakan bahwa penyimpangan sosial bersumber pada
pergaulan yang berbeda dan terjadi melalui proses alih budaya. contoh:
seoranng ikut mengisap ganja karena bergaul dengan kelompok
pengisap ganja
2. Teori Labeling Edwin M. Lemert
Pandangan teori ini, seseorang melakukan perilaku menyimpang karena
proses Labeling, pemberian julukan, cap, etiket dan merek yang
diberikan masyarakat secara menyimpang sehingga menyebabkan
seseorang melakukan penyimpangan sosial sesuai dengan label yang
diberikan. contoh: seseorang yang lupa mengerjakan tugas langsung
disebut pemalas dan sebutan itu melekat pada dirinya.
3. Teori Merton (R. Merton)
Teori penyimpangan ini bersumber dari struktur sosial sehingga
terjadinya perilaku menyimpang itu sebagai bentuk adaptasi terhadap
situasi tertentu.
4. Teori Fungsi (Durkheim)
Bahwa kesadaran moral semua anggota masyarakat tidak mungkin
terjadi karena setiap orang berbeda satu sama lainnya tergantung faktor
keturunan, lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Menurut Durkheim
kejahatan itu perlu, agar moralitas dan hukum itu berkembang secara
formal.
5. Teori konflik (Karl Marx)
Menurut teori ini mengatakan bahwa perilaku menyimpang hanya
dalam pandangan kelas yang berkuasa untuk melindungi kepentingan
mereka. Jadi, karena ada kelas atas yang selalu menindas kelas bawah
akan menimbulkan pertentangan dan menjadikan tindakan
menyimpang.

1.4 Faktor-faktor penyimpangan sosial


Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap tindakan manusia ada sebabnya, atau
sering dikatakan hokum sebab-akibat, begitu juga dengan perilaku menyimpang.
Perilaku menyimpang disebabkan oleh berapa faktor sebagai berikut:
Menurut James W. Van Der Zanden, faktor penyimpangan sosial dibagi
menjadi tiga yaitu:
1. Longgar/tidaknya nilai dan norma. longgarnya nilai dan norma disuatu
daerah akan berdampak pada perilaku menyimpang dalam
masyarakat. Semakin longgar suatu nilai dan norma dalam masyarakat
akan semakin mudah orang melakukan penyimpangan di daerah atau
masyarakat lainnya. contohnya: seseorang yang hidup di Barat ciuman
depan umum hal yang wajar, ketika ia ke Indonesia dan melakukan
hal yang sama akan dikatakan sebagai tindakan menyimpang.
2. Adanya perubahan norma-norma dari suatu periode ke periode wakatu
lain.
3. Sosialisasi yang tidak sempurna. Ketika seseorang dalam proses
sosialisasinya dalam keluarga tidak sempurna, maka tak jarang
seorang anak akan melakukan tindakan menyimpang. contohnya:
seorang anak yang kedua orang tuanya telah bercerai akan
memungkinkan melakukan tindakan yang sama ketika ia menikah
nantinya.
4. Sosialisasi sub kebudayaan yang menyimpang. Meski sosialisasi
dalam keluarga sudah baik, tetapi ketika mendapatkan sub budaya
yang berbeda dari keluarga atau pengaruh dari budaya luar akan
berdampak pada tindakan menyimpang. contohnya: seorang anak
yang taat pada orang tua bersahabat dengan anak yang menyimpang
maka secara tidak langsung anak yang taat akan melakukan seperti
yang dilakukan temannya.
5. Adanya individu-individu yang kurang yakin akan kebenaran
atau kebaikan norma, atau dihadapkan dengan situasi di mana terdapat
norma-norma yang tidak sesuai.
6. Terjadi konik peran dalam seorang individu karena ia menjalankan
beberapa peran yang menghendaki corak perilaku yang berbeda.

Menurut Casare Lombroso, faktor penyimpangan sosial dibagi menjadi


tiga yaitu:
1. Biologis. Orang yang memiliki ciri fisik tertentu akan berdampak pada
tindakan seseorang. contohnya: ketika orang memiliki badan besar
sering dikatakan sebagai orang pemarah dan tukang pukul. Karena
anggapan seperti itulah orang yang berbadan besar menjadi apa yang
dikatakan oleh masyarakat.
2. Psikologis. Secara psikologis seseorang juga akan berdampak pada
tindakannya, seperti seseorang yang trauma atau kepribadian yang
retak akan sering melakukan tindakan menyimpang. contohnya: orang
yang ditinggal pacar melakukan bunuh diri.
3. Sosiologis. Perilaku menyimpang juga dapat dipengaruhi oleh faktor
sosiologis yaitu pengaruh lingkungan sekitar. contohnya: anak yang
rajin berteman dengan anak pembolos sehingga ia diajak untuk
melakukannya.
4. Anomi. Teori menyatakan bahwa masyarakat kompleks cenderung
menjadi masyarakat tanpa norma, yang tidak memberikan pedoman
jelas yang dapat dipelajari dan dipatuhi orang.
5. Reaksi masyarakat (labeling theory). Teori ini memusatkan perhatian
pada pembuat peraturan dan para pelanggar peraturan. Pemberian cap
menyimpang pada seseorang seringkali merubah perlakuan
masyarakat terhadap orang itu.
6. konik. Teori konik terdiri atas teori konik budaya yang menilai
penyimpangan diawali dengan adanya pertentangan norma antara
berbagai kebudayaan khusus yang berlainan. Teori konik kelas sosial
melihat penyimpangan bermula dari adanya perbenturan kepentingan
antara kelas-kelas sosial yang berbeda.
7. Pengendalian. Teori ini menghubungkan penyimpangan dengan
lemahnya ikatan-ikatan dengan lembaga-lembaga sosial di
masyarakat, seperti keluarga, sekolah dan pekerjaan. Teori
pengendalian memandang norma yang diakui dan pemberian
hukuman yang sistematis sebagai alat kendali yang bermanfaat.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang


mempengaruhi perilaku menyimpang adalah:
1. Pertentangan antara norma kelompok dengan norma masyarakat
2. Tidak mempunyai seseorang sebagai panutan dalam memahami dan
meresapi tata nilai atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
3. Pengaruh lingkungan kehidupan sosial yang tidak baik.
4. Pertentangan antar agen sosialisasi
5. Pengaruh fisik dan jiwa seseorang.
6. Proses bersosialisasi yang negatif.
7. Ketidakadilan.

1.5 Bentuk-Bentuk Penyimpangan Sosial


Penyimpangan dalam masyarakat sering terjadi dan memiliki bentuk-bentuk
tersendiri seperti penyimpangan yang dilakukan oleh individu, kelompok,
campuran. Penyimpangan tersebut ada yang bisa diterima, ada pula yang tidak
diterima oleh masyarakat karena ada penyimpangan yang dianggap positif oleh
masyarakat. lebih lanjut, berikut bentuk penyimpangan dalam masyarakat:
Berdasarkan kadar penyimpangan.
Menurut Lemert (1951), Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk:
1. Penyimpangan Primer (Primary Deviation). Penyimpangan yang
dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat diterima
masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau
sementara, tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat
ditolerir oleh masyarakat. Contohnya: menunggak iuran listrik,
telepon, melanggar rambu-rambu lalu lintas dll.
2. Penyimpangan Sekunder (secondary deviation) Penyimpangan
yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara
umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi
oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan
pengulangan dari penyimpangan sebelumnya. Penyimpangan ini
tidak bisa ditolerir oleh masyarakat. Penyimpangan jenis ini sangat
merugikan orang lain, sehingga pelakunya dapat dikenai sanksi
hukum atau pidana. Contohnya: pemabuk, pengguna obat-obatan
terlarang, pemerkosaan, pelacuran, pembunuhan, perampokan,
perjudian.
Berdasarkan pelaku penyimpangan
1. Penyimpangan individu (individual deviation). Penyimpangan jenis
ini dilakukan secara perorangan tanpa campur tangan orang lain
dan berupa pelanggaran terhadap norma-norma suatu kebudayaan
yang telah mapan. contohnya: tidak patuh pada perintah orang tua
(Pembandel), tidak taat pada orang berwenang seperti RW atau
guru (pembangkang), menerobos lampu merah (pelanggar),
pencopet di pasar (perusuh atau penjahat).
2. Penyimpangan kelompok (individual deviation). Penyimpangan
yang dilakukan secara bersama-sama atau secara berkelompok
dengan melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat
pengaruh pergaulan/teman. penyimpangan kelompok biasanya
lebih sulit dikendalikan karena mereka patuh pada aturan
kelompoknya dan fanatik sehingga lebih berbahaya dari
penyimpangan individu. contohnya: tawuran pelajar, kenakalan
remaja, penyimpangan kebudayaan, pemberontakan, perkelahian
antar suku, agama, dan antar geng.
3. Penyimpangan campuran (mixture of both deviation).
Penyimpangan ini diawali oleh individu, selanjutnya memengaruhi
orang lain agar ikut dalam penyimpangan. Dalam hal ini, orang
yang terpengaruh akan mengikuti jejak para propokatornya.
contohnya: demonstrasi damai berubah menjadi anarkis ketika
salah satu demonstran melakukan penyimpangan, pemalsuan uang,
dan pengedaran narkoba.

Berdasarkan sifat penyimpangan


1. Penyimpangan positif. Penyimpangan atau perilaku yang
melanggar atau tidak sesuai dengan nilai dan norma dalam
masyarakat, tetapi memiliki dampak positif bagi dirinya atau
masyarakat karena memberikan unsur kreatif dan inovatif.
contohnya: dahulu istri (perempuan) tidak boleh kerja di luar atau
mengerjakan pekerjaan lelaki seperti jadi sopir taksi, akan tetapi
karena suami (laki-laki) tidak mampu lagi bekerja sehingga istri lah
yang bekerja.
2. Penyimpangan negatif. Penyimpangan ini bersifat negatif karena
tindakannya cenderung merugikan dirinya, masyarakat,
menghancurkan barang atau benda, bahkan menimbulkan korban.
contohnya: korupsi, pencurian, demonstrasi anarkis, dan
pembunuhan.

1.6 Beberapa Penyimpangan Sosial Dalam Masyarakat


Nilai dan norma dibuat masyarakat untuk mengatur kehidupannya yang tertib
dan tentram. Tapi tak jarang nilai dan norma tersebut dilanggar seseorang dan ini
lah yang dinamakan tindakan menyimpang atau penyimpangan sosial. Dalam
masyarakat terdapat beberapa pelanggaran terhadap nilai dan norma yaitu sebagai
berikut:
1. Penyalahgunaan narkotika (heroin, ganja, ekstasi, shabu-shabu)
2. Kenakalan remaja (bolos sekolah, tawuran, ugal-ugalan di jalan raya)
3. Minuman keras (alkoholisme)
4. Pelacuran
5. Penyimpangan seksual (lesbian dan homoseksual, sodomi, sek diluar
nikah, kumpul kebo)
6. Tindakan kejahatan (pembunuhan, pencurian, perampokan, pemerkosaan)
7. Gaya hidup (sikap arogansi, sikap eksentrik/sikap yang aneh dari lainnya
seperti anak funk)

1.7 Dampak Penyimpangan Sosial


Setelah dilakukan perilaku menyimpang akan bedampak pada pelaku
penyimpangan dan juga bagi masyarakat sekitarnya. Berikut dampak dari
penyimpangan sosial:
Dampak terhadap diri sendiri
1. Dikucilkan masyarakat atau mencelakakan dirinya sendiri
2. Terganggunya perkembangan jiwa
3. Dapat mengahncurkan masa depan
4. Dapat menjauhkan diri pada tuhan

Dampak terhadap masyarakat


1. Terganggunya keseimbangan sosial
2. Pudarnya nilai dan norma
3. Merusak unsur-unsur budaya
4. Kriminalitas

Dampak positif
1. Menumbuhkan kesatuan masyarakat
2. Memperkokoh nilai-nilai dan norma dalam masyarakat
3. Memperjelas batas moral
4. Mendorong terjadinya perubahan sosial

1.8 Upaya Pencegahan Dan Mengatasi Penyimpangan Sosial


Banyak upaya yang mampu mencegah, mengantisivasi, dan mengatasi
penyimpangan sosial dalam masyarakat. Berikut ini upaya pencegahan dan
mengatasi penyimpangan sosial:
1. Penanaman nilai dan norma terhadap anak
2. Penanaman nilai-nilai ketuhanan
3. Pelaksanaan peraturan tidak memihak dan tegas
4. Pembentukan kepribadian yang kuat
5. Melaksanakan penyuluhan-penyuluhan dan rehabilitasi
6. Mengembangkan kegiatan-kegiatan positif
7. Mengembangkan kerukunan antar warga masyaraka
http://khairulazharsaragih.blogspot.co.id/2012/11/penyimpangan-sosial-dalam-
masyarakat.html
https://prezi.com/fftc2zyazgxp/penyimpangan-dari-sudut-pandang-psikologi/
BAB V
BUDAYA

2.1 Pengertian
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada
budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya
itu dipelajari.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Psikologi budaya adalah studi tentang cara tradisi budaya dan praktek sosial
meregulasikan, mengekspresikan, mengtransformasikan dan mengubah psikis
manusia. Psikologi budaya merupakan studi tentang cara subjek dan objek self
dan other, psike, dan budaya person dan konteks, figure dan ground, praktisi dan
praktek hidup bersama. Psikologi budaya mengasumsikan tentang prinsip
intensionalisme, dimana kehidupan psike adalah kehidupan person intensional.
Dapat dilihat bahwa psikologi budaya hanya memandang psikis manusia dari
akar budayanya tanpa melihat keragaman yang ada. Psikologi budaya lebih
melihat eksistensi budayanya satu persatu dan tidak membandingkan dengan
budaya lainya. Sedangkan psikologi lintas budaya melihat pada eksistensi
keragaman budaya.

2.2 Hubungan Psikologi dan Budaya


Pada awal perkembangannya, ilmu psikologi tidak menaruh perhatian
terhadap budaya. Baru sesudah tahun 50-an budaya memperoleh perhatian.
Namun baru pada tahun 70-an ke atas budaya benar-benar memperoleh perhatian.
Pada saat ini diyakini bahwa budaya memainkan peranan penting dalam aspek
psikologis manusia. Oleh karena itu pengembangan ilmu psikologi yang
mengabaikan faktor budaya dipertanyakan kebermaknaannya. Triandis (2002)
misalnya, menegaskan bahwa psikologi sosial hanya dapat bermakna apabila
dilakukan lintas budaya. Hal tersebut juga berlaku bagi cabang-cabang ilmu
psikologi lainnya.
Sebenarnya bagaimanakah hubungan antara psikologi dan budaya? Secara
sederhana Triandis (1994) membuat kerangka sederhana bagaimana hubungan
antara budaya dan perilaku:
Ekologi budaya sosialisasi kepribadian perilaku
Sementara itu Berry, Segall, Dasen, & Poortinga (1999) mengembangkan
sebuah kerangka untuk memahami bagaimana sebuah perilaku dan keadaan
psikologis terbentuk dalam keadaan yang berbeda-beda antar budaya. Kondisi
ekologi yang terdiri dari lingkungan fisik, kondisi geografis, iklim, serta flora dan
fauna, bersama-sama dengan kondisi lingkungan iasr-politi, adaptasi biologis dan
adaptasi iasral merupakan dasar bagi terbentuknya perilaku dan karakter
psikologis. Ketiga hal tersebut kemudian akan melahirkan pengaruh ekologi,
genetika, transmisi budaya dan pembelajaran budaya, yang bersama-sama akan
melahirkan suatu perilaku dan karakter psikologis tertentu.
Ratusan definisi budaya yang ada tidak biasa dianggap yang satu lebih benar
daripada yang lainnya. Masing-masing definisi memiliki kekuatannya masing-
masing. Oleh karena itu penggunaan definisi budaya semestinya dilihat dari
tingkat kegunaannya bagi tujuan yang dikehendaki. Triandis (1994)
mencontohkan dengan definisi budaya yang digunakan B.F. Skinner, seorang
behavioris, yakni budaya adalah seperangkat aturan penguatan (a set of schedules
of reinforcement). Definisi tersebut bernilai optimal bagi pendekatan yang
dilakukan Skinner.
Psikologi budaya menekankan pada pembuatan teori etnis seperti teori
mengenai bangsa dan rakyat dalam fungsi psikologi dari pada penelitian dalam
teori psikolog.

http://wanpsikologi.blogspot.co.id/2011/08/psikologi-sosial-dan-kebudayaan.html
http://untar.ac.id/fp/budaya-dan-pelajaran-psikologi/?lang=id
BAB VI
MASYARAKAT SIPIL

6.1 Pengertian Masyarakat Sipil ( Civil Society )


Sekitar pertengahan abad XVIII dalam tradisi Eropa pengertian dari
istilah civil society di anggap sama pengertiannya dengan istilah negara (state)
yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat
lain. Akan tetapi pada paruh abad XVIII, terminologi ini mengalami pergeseran
makna. State dancivil society dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda,
sejalan dengan proses pembentukan sosial (social information) dan perubahan-
perubahan struktur politik dan Eropa sebagai pencerahan (enlightenment) dan
modernisasi dalam mengahadapi persoalan duniawi. Pendapat ini diungkapkan
oleh AS Hikam tahun 1999.
Selanjutnya, istilah masyarakat sipili di Indonesia diperkenalkan oleh Dr.
Anwar Ibrahim, ketika menyampaikan ceramah dalam acara Festival istiqlal II
tahun 1995 di Jakarta, sebagai terjemahan dari civil society dalam bahasa Inggris,
atau al-Mujtamaal-madani dalam bahasa Arab, adalah masyarakat yang bermoral
yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas
masyarakat, dimana masyarakat memiliki daya dorong usaha dan inisiatif
individual. Adapun yang memaknai civil society identik dengan masyarakat
berbudaya (civilized society). Lawannya, adalah masyarakat liar (savage
society).
Akan tetapi secara global bahwa yang di maksud dengan masyarakat sipil
adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di
hadapan penguasa dan negara memiliki ruang publik ( publik sphere ) dalam
mengemukakan pendapat adanya lembaga-lembaga mandiri yang dapat
menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.
Untuk menciptakan civil society yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan
perkembangan demokrasi diperlukan strategi penguatan kearah pembentukan
Negara secara gradual dengan suatu masyarakat politik yang demokratif-
partisipatif, reflektif, dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan control
atas kecenderungan aksesif Negara.
Yang perlu kita garis bawahi dalam pengertian masyarakat sipil ini adalah
bahwa masyarakat tersebut mempunyai cita-cita agar rakyatnya aman, nyaman
dan sejahtera, serta system yang di gunakan cukup baik karena setiap orang tidak
harus menggantungkan dirinya kepada orang lain.

6.2 Sejarah Pemikiran Masyarakat Sipil (Civil Society).


Untuk memahami masyarakat sipil terlebih dahulu harus di bangun paradigma
bahwa konsep masyarakat sipil ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan
sudah jadi, akan tetapi merupakan sebuah wacana yang harus dipahami sebagai
sebuah proses. Oleh karena itu, untuk memahaminya haruslah di analisis secara
historic. Menurut Manfred, Cohen dan Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana
masyarakat sipil sudah mengemuka pada masa Aristoteles. Disini ada beberapa
fase tentang sejarah pemikiran masyarakat sipil.
Fase pertama, (Aristoteles, 384-322 SM) masyarakat madani di pahami
sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni
sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai
pencaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia
politike yang di kemukakan oleh Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan
sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya
berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni
seperangkat nilai yang di sepakati tidak hanya dengan prosedur politik, tetapi juga
sebagai subtansi dasar kebijakan (viertue) dari berbagai bentuk interaksi di antara
warga negara.
Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-143 SM)
dengan istilah societies civilizes, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi
komunitas yang lain. Tema yang di kedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan
pada konsep Negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan , kota
dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi
masyarakat madani yang aksentuasinya pada system kenegaraan ini
dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan John Locke (1632-
1704).[7] Pada masa itu civil society dipahami sebagai suatu wilayah yang
mencakup masyarakat politik (politica society) dan masyarkat ekonomi (economic
society).
Fase kedua. Pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil
society dengan konteks sosial dan politik di skotlandia. Berbeda pendapat dengan
pendahulunya, Ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam
kehidupan sosial. Pendapat ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial
yang diakibatkan oleh revolusi indutri munculnya kapitalisme serta mencoloknya
perbedaan antara publik dan individu. Dengan konsepnya ini, Ferguson berharap
bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali depotisme,
karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami
oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar
warga negara secara alamiah.
Fase ketiga. Pada tahun 1792 Thomas Paine memaknai wacana civil society
sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap
sebagai antitesis negara. Bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah
saatnya dibatasi. Menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan
buruk belaka. Menurutnya, civil society adalah ruang dimana warga negara dapat
mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan
kepentingannya secara bebas tanpa paksaan. Sejalan dengan pandangan ini, civil
society harus lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi
keberlangsungan kebutuhan anggotanya.
Fase keempat. Wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G. W. F.
Hegel (1770-1831 M), Karl Max (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci (1891-
1837 M). Pandangan mereka, civil society merupakan elemen ideologi kelas
dominan. Pemahaman ini adalah reaksi atas pandangan Paine yang memisahkan
civil society dari negara. Berbeda dengan pandangan Paine, Hegel memandang
civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Pandangan ini,
menurut pakar politik Indonesia Ryaas Rasyid, erat kaitannya dengan
perkembangan sosial masyarakat borjuasi eropa yang pertumbuhannya ditandai
oleh perjuangan melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.
Lebih lanjut Hegel menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society
terdapat tiga (3) entitas sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Keluarga
merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan
keharmonisan. Selanjutnya, masyarakat sipil merupakan lokasi atau tempat
berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama
kepentingan ekonomi. Dan terakhir, negara merupakan representasi dari ide
universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan
mempunyai hak penuh untuk melakukan intervensi terhadap civil society.
Berbeda dengan Hegel, Karl Max memandang bahwa civil society dalam
konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala
terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal.
Demi terciptanya proses pembebasan manusia, civil society harus dilenyapkan
untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas.
Antonio Gramsci berbeda pendapat dengan Marx, yaitu ia lebih memandang
pada sisi ideologis. Menurut Gramsci, civil society merupakan tempat berebutan
posisi hegemoni di luar kekuatan Negara, aparat mengembangkan hegemoni
untuk membentuk consensus dalam masyarakat.
Fase kelima. Wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian
yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859). Bersumber dari
penglamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, Tocqueville memandang
civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Menurut
Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama
yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat. Mengaca
pada kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika yang bercirikan plural, mandiri,
dan kedewasaan berpolitik, menurutnya warga negara di mana pun akan mampu
mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.
Beberapa fase sudah di sebutkan, bahwa setiap fase mempunyai pandangan
yang berbeda-beda dalam mengartikan masyarakat madani tersebut. Mulai dari
,(Aristoteles, 384-322 SM) yang memaknai masyarakat madani sebagai system
kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah
komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai
pencaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Dan pada akhirnya pada
fase ke lima yang menganggap masyarakat madani sebagai kelompok
penyeimbang kekuatan negara. Namun fase-fase tersebut pada intinya hampir
sama dalam menafsirkan masyarakat madanai yaitu masyarakat yang mandiri
yang memiliki hak untuk memaparkan pendapat-pendapatnya di muka umum
untuk memenuhi kesejahteraan daerahnya.

6.3 Syarat Terbentuknya Masyarakat Madani.


Banyak pendapat tentang pembahasan syarat-syarat terbentuknya masyarakat
madani. Elemen dasar terbentuknya masyarakat madani menurut Rasyid dalam
Barnadib (2003:63) adalah:
1. Masyarakat yang memiliki moral dan peradaban yang unggul, menghargai
persamaan dan perbedaan (plural), keadilan, musyawarah, demokrasi
2. Masyarakat yang tidak bergantung pada pemerintah pada sector ekonomi
3. Tumbuhnya intelektualis yang memiliki komitmen independent
4. Bergesernya budaya paternalistic menjadi budaya yang lebih modern dan
lebih independent.
Barnadib (2003:67-68) juga mengemukakan adanya empat syarat
terbentuknya masyarakat madani, yakni:
1. Pemahaman yang sama (one standart), artinya diperlukan pemahaman
bersama di kalangan masyarakat tentang apa dan bagaimana masyarakat
madani
2. Keyakinan (confidence) dan saling percaya (social trust), artinya perlu
ditumbuhkan dan dikondisikan keyakinan di masyarakat, bahwa madani
adalah merupakan masyarakat yang ideal
3. Satu hati dan saling tergantung, artinya kondisi kesepakatan, satu hati dan
kebersamaan dalam menentukan arah kehidupan yang dicita-citakan
4. Kesamaan pandangan tentang tujuan dan misi.
Syarat-syarat di atas sangatlah berperan penting dalam kaitannya
pembentukan masyarakat madani. Karenanya semua syarat tersebut harus ada
ketika suatu kelompok menginginkan masyaraktnya dikatakan masyarakat yang
madani.

6.4 Karakteristik Masyarakat Sipil


Penyebutan karakteristik civil society dimaksudkan untuk menjelaskan, bahwa
dalam merealisir wacana civil society diperlukan prasyarat yang bersifat universal.
Prasyarat ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, melainkan satu kesatuan
integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi civil society. Karakteristik
tersebut antara lain adalah free public sphere, demokrasi, toleransi, pluralisme,
keadilan,sosial (social justice) dan berkeadaban.
1. Free Public Sphere (wilayah publik yang bebas).
Yang di maksud dengan istilah free public sphere adalah adanya ruang
public yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang
public yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan
transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan
kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat ini dikemukakakan oleh Arendt dan
Habermas. Warga Negara dalam wacana free public sphere memiliki hak penuh
dalam setiap kegiatan politik. Warga Negara berhak melakukan secara merdeka
dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta menerbitkan dan
mempublikasikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan
mewujudkan civil society dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free public
sphere menjadi salah bagian yang harus di perhatikan. Karena dengan
mengesampingkan ruang public yang bebas dalam tatana civil society, akan
memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam
menyalurkan aspirasinya.
2. Demokrasi.
Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society
yang murni (genuine). Tanpa demokrasi, masyarakat sipil tidak mungkin
terwujud. Secara umum demokrasi adalah suatu tatanan social politik yang
bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga negara. Penekanan
demokrasi (demokratis) disini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan
seperti politik, social, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.
3. Toleransi.
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan
pendapat. Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, toleransi,
mengacu kepada pandangan Nurcholish Majid, adalah persoalan ajaran dan
kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara
pergaulan yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda,
maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan
ajaran yang benar. Senada dengan Majdid, Azra menyatakan untuk menciptakan
kehidupan yang bermoral, masyararakat madani menghajatkan sikap-sikap
toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima beragam perbedaan
pandangan politik di kalangan warga bangsa.
4. Pluralisme.
Kemajemukan atau pluralism merupakan prasyarat lain bagi civil society.
Namun, prasyarat ini harus benar-benar di tanggapi dengan tulus ikhlas dari
kenyataan yang ada, karena mungkin dengan adanya perbedaan wawasan akan
semakin bertambah. Kemajemukan dalam pandangan Majdid erat kaitannya
dengan sikap penuh pengertian (toleran) kepada orang lain, yang nyata-nyata
diperlukan dalam masyarakat yang majemuk. Secara teologis, tegas Majdid,
kemajemukan social merupakan dekrit Allah untuk umat manusia.
5. Keadilan Sosial.
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian
yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara dalam semua
aspek kehidupan.
Dengan terciptanya keadilan sosial, akan tercipta masyarakat yang
sejahtera seperti nilai yang terkandung dalam pengertian masyarakat madani.
Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh
kebijakan-kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah (penguasa).
Sangatlah bagus beberapa karakteristik masyarakat madni di atas, mulai
dari free public spere, demokrasi, toleransi, plurasime, dan keadilan social. Bahwa
masyarakat tersebut selain bebas mengemukakan pendapat juga mempunyai rasa
toleran terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Selain itu juga, mempunyai jiwa
keadilan terhadap orang-orang di sekitar, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan.

6.5 Pilar Penegak Masyarakat Sipil.


Yang di maksud disini adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari
social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang
diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas.
Ada lima pilar penegak masyarakat madani.
1) Lembaga Swadaya Masyarakat, tugas dari institusi social ini adalah
membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat
yang tertindas. Selain itu LSM juga mengadakan pelatihan-pelatihan dan
sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.
2) Pers, institusi ini sangat penting dalam kaitannya penegakan masyarakat
madani karena dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control
yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan
pemerintah yang berkenaan dengan warga negara.
3) Supermasi Hukum, dalam hal ini semua warga negara harus taat terhadap
peraturan hukum yang sudah ditetapkan. Hal tersebut untuk mewujudkan
masyarakat yang damai dalam memperjuangkan hak dan kebebasan antar
warga negara.
4) Perguruan Tinggi, yang mana dosen dan mahasiswa merupakan bagian
dari kekuatan social dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur
moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi
berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan dalam
mengkritisinya tersebut tidak melanggar peraturan hokum yang ada. Disisi
lain perguruan tinggi juga bisa mencari solusi-solusi dari permaslahan
yang ada di masyarakat
5) Partai Politik, partai politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk
dapat menyalurkan asipirasi politiknya dan tempat ekspresi politik warga
Negara, maka partai politik ini menjadi persyaratan bagi tegaknya
masyarakat madani.
Dari point satu sampai lima sungguh sangatlah berperan penting dalam
menegakkan masyarakat madani itu sendiri, karena ketika masyarakat merasa
tidak puas atas kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, pilar-pilar
penegak tersebut bisa di gunakan untuk mewakili masyarakat madani yang dapat
menyuarakan semua ansipari-anspirasi dari masyarakat yang menjadi uneg-uneg
atas ketidakpuasannya terhadap pemerintah.

6.6 Masyarakat Sipil Indonesia


Gerakan untuk membentuk masyarakat sipil berkaitan dengan proses
demokratisasi yang sedang melanda dunia dewasa ini. Sudah tentu perwujudan
kehidupan yang demokratis untuk setiap bangsa mempunyai ciri-ciri tertentu di
samping ciri-ciri universal. Salah satu cirri dari bermasyarakat Indonesia ialah
kebhinekaan dari bangsa Indonesia.
a) Masyarakat dan budaya Indonesia yang bhinneka.
Menurut pendapat Lombard, Indonesia berada dalam persimpangan pengaruh
budaya internasional. Oleh sebab itu, di Indonesia bukanlah hanya terdapat
berbagai suku, akan tetapi budaya pun bermacam-macam akibat Negara-negara
lain yang pernah masuk ke Indonesia selama berabad-abad. Dengan adanya
masyarakat Indonesia yang demokratis justru akan memperoleh dasar
perkembangan yang sangat relevan dengan adanya kebhinekaan masyarakat
Indonesia. Kehidupan demokrasi sebagai ciri utama masyarakat madani akan
mendapat persemaian yang yang sempurna dalam corak kebhinekaan masyarakat
dan budaya Indonesia.
b) Beberapa ciri pokok masyarakat sipil Indonesia.
Sebenarnya ide masyarakat madani sudah dikembangkan mulai zaman Yunani
klasik seperti ahli piker Cicero. Di dalam kaitan ini Hikam misalnya mengambil
pemikiran Alexis Tocqueville mengenai ciri-ciri masyarakat sipil. Dengan
pendekatan elektrik, Hikam merumuskan empat ciri utama dari masyarakat sipil
yaitu:
1. Kesukarelaan. Artinya masyarakat sipil bukanlah merupakan suatu
masyarakat paksaan atau karena indoktrinasi. Kenggotaan masyarakat
madani adalah kenggotan pribadi yang bebas, dan mempunyai cita-cita
yang di wujudkan bersama.
2. Keswasembadaan. Setiap orang mempunyai harga diri yang tinggi,
tidaklah setiap anggota masyarakat madani selalu menggantungkan
kehidupannya kepada orang lain. Namun, justru membantu orang lain
yang sekiranya membutuhkan pertolongan.
3. Kemandirian tinggi terhadap Negara. Bagi mereka (anggota masyarakat
madani) Negara adalah kesepakatan bersama sehingga tanggung jawab
yang lahir dari kesepakatan tersebut adalah juga tuntutan dan tanggung
jawab dari masing-masing anggota. Inilah Negara yang berkedaulatan
rakyat.
4. Keterkaitan pada nilai-nilai hokum yang disepakati bersama. Hal ini
berarti suatu masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang
berdasarkan hokum dan bukan Negara kekuasaan.
Di atas merupakan ciri-ciri masyarakat madani yang di ungkapkan oleh Hikam
dengan pendekatan eklektik. Dan beliau melampiaskan ciri-ciri tersebut ke Negara
Indonesia.
Selain itu, cirri-ciri di atas juga bisa menjadi gambaran seperti apakah
sebenarnya masyarakat madani itu. Dan agar orang-orang tidak salah persepsi
dalam memandang masyarakat madani itu sendiri.

6.7 Civil Society Sebagai Indikator Keberhasilan Pembangunan.


Di indonesia pada hakikatnya proses pembangunan masih sarat oleh prakarsa
pemerintah dan aparatnya baik dari segi perencanaan maupun pelaksanannya,
walaupun pemerintah indonesia secara formal mengatakan bahwa partisipasi
rakyat dalam pembangunan merupakan unsur yang paling penting dalam
menciptakan keberhasilan pembangunan Indonesia.
Sebagai pembuktiannya, pmerintah mendirikan organisasi - organisasi seperti
LKMD, PKK, HKTI di tingkat kecamatan dan partai politik di tingkat nasional.
Hambatan- hambatan organisasi tersebut untuk mendukung terciptanya
masyarakat madani yaitu :
a) Organisasi tersebut bukan organisasi yang bersifat otonom. Program, dana
dan pengurus terdiri dari pejabat atau mantan pejabat
pemerintahan. Masyarakat memandangnya baik-aik saja, akan tetapi
oknum-oknum tertentu ada yang bisa menghambat jalannya suatu proses
pembangunan.
b) Lemahnya partai politik dan pers indonesia.
c) Akibat absennya civil society dalam proses pembangunan indonesia
walaupun hampir meninggalkan era pembangunan 25 tahun tahap pertama
pembagunan indonesia belum mampu menciptakan kehidupan soisal
budaya politik modern bagi bangsa indonesia yang mampu menjadi dasar
bagi pembangunan manusi indonesia sutuhnya.
Sehubungan dengan adanya hambatan hambatan tersebut, mengakibatkan
tatanan masyarakat yang madani secara utuh belum bias tercapai di Indonesia.
Selain itu, masih ada factor lain diantaranya korupsi yang kian merakyat dan
membudaya, kolusi yang menelurkan pejabat pejabat yang kurang bertanggung
jawab serta nepotisme yang menjadikan persaingan kehidupan yang tidak sehat
dan penuh kecurangan. Jauh dari tolok ukur sebagai masyarakat yang sipil.

gungsukron99.blogspot.co.id/2013/04/makalah-civil-society-masyarakat-
madani.html
BAB III
MODAL BUDAYA

3.1 Pengertian
Modal budaya adalah berbentuk simbolik tidak seperti modal ekonomi
yang berbentuk material(wang). Oleh itu, ilmu pengetahuan adalah modal
budaya. Modal budaya mentakrifkan bagaimana manusia melibatkan diri antara
satu sama lain dan sumber-sumber ekonomi. Sama ada budaya organisasi yang
baik atau buruk - modal budaya dicipta apabila nilai, tradisi, kepercayaan dan
bahasa menjadi mata wang untuk memanfaatkan modal lain. Modal budaya
mempunyai tiga sub-jenis iaitu embodied, objectified and institutionalized
(Bourdieu, 1986:47).
Modal budaya embodied dibahagikan kepada secara sedar diperolehi
dan secara pasif diwarisi sifat-sifat diri sendiri. Modal budaya tidak berpindah
serta-merta seperti hadiah atau wasiat, sebaliknya, ia diperolehi dari masa ke
masa. Sebagai contoh ialah modal bahasa. Modal bahasa boleh ditakrifkan
sebagai satu penguasaan dan kaitan dengan bahasa (Bourdieu, 1990:114). Modal
bahasa dianggap sebagai satu bentuk modal budaya embodied kerana kemahiran
berkomunikasi diperolehi daripada budaya persekitaran seseorang.
Modal budaya Objectified terdiri daripada benda-benda fizikal yang
dimiliki, seperti alatan saintifik atau karya-karya seni. Barang-barang budaya ini
boleh dipindahkan secara keuntungan ekonomi (seperti dengan membeli dan
menjual mereka dengan mengambil kira hanya kepada kesanggupan orang lain
untuk membayar) dan bagi maksud "simbolik". Contohnya, seseorang itu
dikatakan boleh memiliki modal budaya objectified dengan memiliki lukisan
manakala seseorang itu boleh menggunakan lukisan hanya jika seseorang itu
mempunyai asas yang betul tetang konsep modal budaya sebelumnya.
Modal budaya institutionalized terdiri daripada pengiktirafan dari
sesebuah institusi di mana modal budaya yang dimiliki oleh seseorang individu
paling kerap adalah di dalam bentuk kelayakan akademik. Konsep ini memainkan
peranan yang paling menonjol dalam pasaran buruh, di mana ia membolehkan
pelbagai modal budaya yang akan dinyatakan dalam ukuran kualitatif dan
kuantitatif. Proses pengiktirafan daripada sesebuah institusi itu memudahkan
penukaran modal budaya kepada modal ekonomi dengan menjadikannya sebagai
heuristik yang mana penjual boleh gunakan untuk menggambarkan modal mereka
dan pembeli boleh gunakan untuk menggambarkan keperluan mereka untuk
modal itu.

3.2 Asal Usul Teori Modal Budaya


Pierre Bourdieu (1930 -2002) merupakan tokoh sosiologi yang terkenal dan
merupakan salah seorang tokoh yang mengkaji fungsi amalan- amalan pendidikan
yang menyumbang kepada ketidaksamaan sosial. Bourdieu pada awalnya
menghasilkan karya-karya yang memaparkan sejumlah pengaruh teoritis,
termasuk fungsionalisme, strukturalisme dan eksistensialisme, terutama pengaruh
Jean Paul Sartre dan Louis Althusser. Pada tahun 60an ia mulai mengolah
pandangan-pandangan tersebut dan membangun suatu teori tentang model
masyarakat. Gabungan antara pendekatan teori objektivis dan teori subjektivis
sosial yang dituliskan dalam buku yang berjudul Outline Of A Theory Of
Practice dimana di dalamnya ia memiliki posisi yang unik kerana berusaha
menganalisiskan kedua pendekatan metodologi dan epistemologi
tersebut. Beliau menganalisis bagaimana sekolah telah menyumbang kepada
reproduksi kelas sosial. Ketidaksamaan sosial telah dipindahkan dari satu
generasi kepada generasi yang lain. Antara konsep-konsep penting yang telah
beliau sumbangkan untuk menganalisis proses reproduksi adalah habitus,
modal budaya dan penganiayaan simbolik.

Modal budaya memiliki beberapan dimensi, antara lain :


a) Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya
b) Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi
c) Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelar-gelar universitas dan ujian-
ujian musik)
d) Kemampuan-kemampuan budayawi (cultural skills) dan pengetahuan
praktis (savoir-faire atau know-how seperti kemampuan memainkan alat
musik, serta
e) Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat perbedaan antara yang
baik dan buruk
Menurut rangka kerja Bourdieu, kunci kejayaan dalam pendidikan adalah
disebarkan secara berbeza mengikut latar belakang sosial. Hanya murid yang
berbudaya atau daripada keluarga yang mempunyai cita rasa mempunyai akses
kepada kunci pendidikan. Beliau mengenal pasti tiga zon citarasa iaitu cita rasa
sah, cita rasa middle-brow dan cita rasa popular. (Amir Hassan Dawi, 2009).
Bordieu menganggap modal budaya sebagai dimensi yang lebih luas dari
habitus, sekaligus menunjukkan lingkungan sosial pemiliknya. Dalam karyanya
Distinction (1979), ia menyerang gagasan filosofis yang menyatakan bahwa
keputusan estetis dibuat berdasarkan kriteria objektif tentang yang baik dan yang
buruk. Sebaliknya, cita rasa itu ditentukan secara sosial. Penelitian yang
dilakukannya menunjukkan bahwa dalam masyarakat Prancis, cita rasa seni
dipengaruhi oleh kelas dan pekerjaan. Keadaan ini menunjukkan bahwa modal
budaya dibentuk oleh lingkungan sosial. Menurunya kelompok elite menentukan
apa yang dapat diterima sebagai modal budaya, yaitu yang berharga dan tidak
berharga. Yang paling mencolok dalam masyarakat Prancis adalah mereka lebih
menghargai budaya tinggi (high culture) dari pada budaya populer dan
membedakan yang berharga dari yang remeh. Dengan mendefinisikan yang
legitim dan tidak legitim, kelompok elite menekankan penghargaan pada
kecakapan dan kecerdasan mereka untuk menegakkan status mereka. Dlam hal
ini, budaya tinggi diartikan sebagai yang beradab, intelektual, abadi dan serius.
Sementara itu budaya populer diartikan sebagainya remeh dan tidak bertahan
lama.
Gagasan berdieu yang penting adalah tentang modal budaya yang dapat
berubah ubah. Tidak seperti modal ekonomi dan modal sosial, modal budaya
terbentuk selama bertahun-tahun hingga terbatinkan dalam diiri seseorang.
Sumber:
Sutrisno, M. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Kanisius : Yogyakarta. Hal 183
http://myazlanbehadin.blogspot.com/2013/10/teori-modal-budaya.html
http://www.slideshare.net/azlanbehadin/teori-modal-budaya-21341986

Anda mungkin juga menyukai