Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sistem kekebalan tubuh sangat mendasar peranannya bagi kesehatan, tentunya harus
disertai dengan pola makan sehat, cukup berolahraga, dan terhindar dari masuknya senyawa
beracun kedalam tubuh. Sekali senyawa beracun hadir dalam tubuh, maka harus dikeluarkan.
Kondisi sistem kekebalan tubuh menentukan kualitas hidup . Dalam tubuh yang sehat
terdapat sistem kekebalan tubuh yang kuat sehingga daya tahan tubuh terhadap penyakit juga
prima. Pada bayi yang baru lahir, pembentukan sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna
dan memerlukan ASI yang membawa sistem kekebalan tubuh sang ibu untuk membantu daya
tahan tubuh bayi. Semakin dewasa , sistem kekebalan tubuh terbentuk sempurna. Namun,
pada orang lanjut usia, sistem kekebalan tubuhnya secara alami menurun. Itulah sebabnya
timbul penyakit degeneratif atau penyakit penuaan. Pola hidup modern menuntut segala
sesuatu dilakukan serba cepat dan instan. Hal ini berdampak juga pola makan. Sarapan
didalam kendaraan, makan siang serba tergesah, dan malam karena kelelahan tidak ada nafsu
makan. Belum lagi kualitas makanan yang di konsumsi, polusi udara, kurang berolahraga,
dan stres. Apabila terus melanjut, daya tahan tubuh akan menurun, lesu, cepat lelah, dan
mudah terserang penyakit. Karena, banyak orang yang masih muda mengidap penyakit
degeneratif. Kondisi stres dan pola hidup modern syarat polusi, diet tidak seimbang, dan
kelelahan menurunkan daya tahan tubuh sehingga memerlukan kecukupan antibodi. Gejala
menurunnya daya tahan tubuh sering kali terabaikan sehingga timbul berbagai penyakit
infeksi, penuaan dini pada usia produktif
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Imunopatologi ?
2. Apa saja Jenis Imunopatologi ?
3. Apa saja Reaksi hipersentivitas ?
4. Apa pengertian autoimun ?
5. Apa pengertian Imunodefisiensi?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian imunopatologi
2. Untuk mengetahui Jenis Imunopatologi
3. Untuk mengetahui reaksi hipersentivitas
4. Untuk mengetahui penyakit dari reksi hipersentifvitas
5. Untuk mengetahui pengertian autoimun
6. Untuk mengeahui penyakit dari autoimun

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. IMUNOPATOLOGI
1.1 Definisi
Imunopatologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang penyakit yang terjadi akibat
disfungsi dalam sistem imun. Istilah imunopatologi dan imunopatobiologi istilah
imunopatologi digunakan untuk menamakan kajian terhadap penyakit yang disebabkan oleh
kelainan sistem imun.
Konsep imunopatologik menempatkan kelainan sistem imun sebagai penyebab
penyakit, misal alergi dan otoimun. Sedang, istilah imunopatobiologi digunakan untuk
menamakan kajian terhadap sistem imun yang tidak lazim atau menyimpang.
Konsep imunopatobiologik menempatkan kelainan sistem imun, baik sebagai
penyebab maupun sebagai akibat dari proses patobiologik, sehingga cakupan istilah ini lebih
luas, misal kelainan imunologik pd kanker dan pada infeksi, alergi, otoimun dll.

B. JENIS-JENIS IMUNOPATOLOGI
Ada 3 jenis Imunopatologi yaitu
1. Reaksi Hipersentivitas
2. Imunodefisiensi
3. Autoimun

C. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
2.1 Definisi
Alergi atau reaksi hipersensitivitas adalah perubahan spesifik, didapat, pada
reaktivitas hospes yang diperantarai oleh mekanisme imunologis dan menyebabkan respons
fisiologis yang tidak menguntungkan.
Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung
pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini,
akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respon imun
berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing

2.2 Tipe Reaksi Hipersensitivitas


Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu
tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe
III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated
(hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V
atau stimulatory hipersensitivity.
Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah
evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat
mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan
mekanisme yang lainnya.

2
1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau yang biasa disebut dengan reaksi anafilaksis
merupakan reaksi yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi ini
allergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan dibentuknya Ig
E. Reaksi ini terjadi secara cepat (secara khusus hanya dalam bilangan menit). Antigen
bereaksi dengan antibodi IgE yang terikat ke permukaan sel mast, menyebabkan pelepasan
mediator yang dikandungnya diantaranya histamin, eosinophil chemotactic factor of
anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF). Urutan kejadian reaksi tipe I
adalah sebagai berikut :
1. Fase Sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor
spesifik pada permukaan sel mastosit dan basofil.
2. Fase Aktivasi
Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas
isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor
Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang
dilepas mastosit dengan aktivasi farmakologik.
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin
dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta
berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma
adalah kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/L setelah uji
provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa
menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta
peningkatan permeabilitas vaskular.

2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II


Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai dengan
antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen
atau hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut. Kemudian
kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear. Mungkin terjadi
sekresi atau stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid. Contoh reaksi tipe II ini adalah
distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan
kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
a. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
b. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell)
c. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II
1) Reaksi Transfusi
Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B,
AB dan O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig

3
M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung antibodi
(anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak
mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi
(Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut
disebut isohemaglutinin.

2) Reaksi Antigen Rhesus


Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi
baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak
yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian
eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan
membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian.
Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan
eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig
tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi
kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah
sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.

3) Anemia Hemolitik autoimun


Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk
Ig terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi
anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin,
tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.

4) Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang
menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit
dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura.
Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel
darah merah.

5) Sindrom Goodpasture
Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran
basal glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang
menunjukkan endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.
Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru.
Perjalanannya sering fatal. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian
steroid, imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi. Jadi,
sindrom ini merupakan penyakit auroimun yang membentuk antibodi terhadap membrane
basal. Sindrom ini sering ditemukan setelah mengalami infeksi streptococ.

6) Myasthenia gravis
Penyakit dengan kelemahan otot yang disebabkan gangguan transmisi
neuromuskuler, sebagian disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor astilkoli.

4
7) Pempigus
Penyakit autoimun yang disertai antibodi tehadap desmosom diantara keratinosit
yang menimbulkan pelepasan epidermis dan gelembung-gelembung.

3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III


Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila
kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah
dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG
sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag.
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :

1. Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap
adalah organ yang diinfektif dan ginjal.
2. Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah
ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
3. Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat
kompleks yang mengendap adalah paru.
Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan antibodi
dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat,
anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan
menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah.

Contoh dari reaksi hipersensitivitas tipe III, diantaranya :


1) Demam Reuma
Infeksi streptococ golongan A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan jantung,
sendi, dan ginjal. Berbagai antigen dalam membran streptococ bereaksi silang dengan antigen
dari otot jantung, tulang rawan, dan membran glomerulus. Diduga antibodi terhadap
streptococ mengikat antigen jaringan normal tersebut dan mengakibatkan inflamasi.
2) Artritis rheumatoid
Kompleks yang dibentuk dari ikatan antara faktor rheumatoid (anti IgG yang berupa
IgM) dengan Fc dari IgG akan menimbulkan inflamasi di sendi dan kerusakan yang khas.
3) Infeksi lain
Pada beberapa penyakit infeksi lain seperti malaria dan lepra, antigen mengikat Ig dan
membentuk kompleks imun yang ditimbun di beberapa tempat.
4) Farmers lung
Pada orang yang rentan, pajanan terhadap jerami yang mengandung banyak spora
actinomycete termofilik dapat menimbulkan gangguan pernafasan pneumonitis yang terjadi
6-8 jam setelah pajanan. Pada tubuh orang tersebut, diproduksi banyak IgG yang spesifik
terhadap actynomycete termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi yang
mengendap di paru-paru.

5
4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity
(CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari
24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah
disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh
antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang
mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target
yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.

Contoh reaksi hipersensitivitas tipe IV :


1) Reaksi JM (Jones Mole)
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut
biasanya ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang peka
terhadap siklofosfamid.
Reaksi JM atau Cutaneous Basophil Hypersensitivity (CBH) merupakan bentuk CMI yang
tidak biasa dan telah ditemukan pada manusia sesudah suntikan antigen intradermal yang
berulang-ulang. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa
indurasi yang merupakan ciri dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi sel basofil.
Mekanisme sebenarnya masih belum diketahui.

2) Dermatitis kontak
Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik
tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi
epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell (APC) memegang peranan pada
reaksi ini.
Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung untuk merangsang perkembangan
reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang sering kali disebabkan oleh benda-benda asing
yang dapat mengadakan ikatan dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen
baru. Oleh karena itu, hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang menjadi
peka karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia seperti prikil klorida
dan kromat.

3) Reaksi Tuberkulin
Reaksi tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak
dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel
mononuklier (50% limfosit dan sisanya monosit).
Kelainan kulit yang khas pada penyakit cacar, campak, dan herpes ditimbulkan oleh
karena CMI terhadap virus ditambah dengan kerusakan sel yang diinfektif virus oleh sel-Tc.

4) Reaksi Granuloma
Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila
keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya

6
dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan
sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik.
Dalam inflamasi kronik ini, monosit dan makrofak mempunyai 3 peranan penting sebagai
berikut:
a. Menelan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang berdegenerasi.
b. Modulasi respon imun dan fungsi sel-T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin.
c. Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel inflamasi melalui sekresi sitokin.

D. REAKSI IMUNODEFISIENSI

3.1 Definisi
Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon imun
normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang pada umumnya disebabkan oleh
kelainan genetik yang diturunkan, serta secara sekunder akibat penyakit utama lain seperti
infeksi, pengobatan kemoterapi, sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan (menekan
sistem kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi (Kekurangan gizi).
Immunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan yang berlainan , dimana system kekebalan
tidak berfungsi secara adekuat , sehingga infeksi lebih sering terjadi , lebih sering berulang ,
luar biasa berat dan berlangsung lebih lama dari biasanya.
Penyakit imunodefisiensi kombinasi parah adalah gangguan imunodefisiensi paling serius. Itu
bisa disebabkan oleh beberapa kerusakan genetika berbeda, kebanyakan yang adalah
menurun. Salah satu bentuk gangguan tersebut disebabkan oleh enzim adenosine deaminase.
Dahulu, anak dengan gangguan ini dijaga di ruang isolasi ketat, kadangkala di dalam tenda
plastik, menyebabkan gangguan tersebut disebut sindrom bubble boy.

3.2 Bentuk Imunodefisiensi


1. Primer
a) Severe combine immunodeficiency disease (SCID)
- Ditandai oleh limfopenia
- Kelenjar limfe, limpa, tonsil, appendik : tidak mengandung jaringan limfoid.
- 50 % penderita resesif autosomal SCID ADA (adenosin deaminase) pada
limfosit dan erytrosit akumulasi metabolit deoksidenosin & deoksi ATP toksin untuk..
limfosit
- Terapi : transplantasi ssm. Tulang.

b) X linked agammaglobulinemia of BRUTON.


- Paling sering ditandai :
- sel B matang oleh karena mutasi gen tirosin kinase yang diekspresikan pada sel B
muda Ig serum.
- Imun seluler normal.
- Sering infeksi bakteri berulang.
c) Defisiensi Ig A terisolasi (isolated Ig A deficiency)
- Umunya : tanpa gejala seperti infeksi traktus respiratorius,Kelainan Autoimun.

7
- efek : kegagalan pematangan sel B positif Ig A.
- Terapi : tranfusi darah yang mengandung Ig A sehingga terjadi anafilaksis
d) Common variabel immunodeficiency
- Hipogamaglobulinemi, kadang : Ig G
- Sebagaian besar kasus : sel B normal menyabakan diferensiasi sel plasma
- Folikel limfoid : hiperplastik.
e) SINDROMA WISKOTT ALDRICH (Imunodefisiensi dengan Trombositopenia dan
eksema)
- Ditandai : trombositopenia, eksema, inf berulang.
- Terapi : transplantasi sumsung tulang
f) SINDROMA DIGEORGE (HIPOPLASIA TIMUS)
- Kelainan multiorgan
- Ditandai dengan :
- Hipoplasi / aplasia timus.
- Hipoplasi paratiroid (hipokalsemi).
- Efek : cong.jantung
- Terapi : cangkok timus

2. Sekunder
Perubahan Fungsi Imunologik : inf, malnutrisi, penuaan, imunosupresi, kemoterapi
Didapat oleh karena:
- Infeksi : AIDS
- Penggunaan obat : - Kemoterapi
- Imunosupresif
- Peny lain : leukemia
- ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME (AIDS) oleh karena HIV 1 (Human
Immunodeficency Virus), ditandai :
a) Supresi imunitas (sel T)
b) Inf oportunistik.
c) Keganasan sekunder.
d) Kelainan neurologik
- Cara penularan :
a) Kontak seksual
b) Parenteral
c) Dari ibu yang terinfeksi pada janin
- Kelainan SSP karena HIV.
Sasaran utama infeksi HIV.
Mell : monosit / makrofag.
- Perjalanan peny. Infeksi HIV.

1. Tahap dini / fase akut.


- Viremia, CD4 + sel T

8
- peny. akut yang sembuh sendiri = 6 12 mg ,nyeri tenggorokan, mialgia non spesifik,
meningitis aseptik.
2. Tahap menengah, fase kronik
- Keadaan laten secara klinis, replikasi rendah, CD4 + perlahan
- Kel. Limfe.
- Akhir tahap : demam, kemerahan kulit, kelelahan, viremi.
- 7 10 tahun
3. Tahap akhir, fase krisis = AIDS.
- Pertahanan cepat : CD4 + rendah, BB , diare, inf. oportunistik, keganasan sekunder.
- AIDS : HIV (+) dan sel T CD4 + < 200 sel / Ul.

3.3 Etiologi
Immunodefisiensi bisa timbul sejak seseorang dilahirkan (immunodefisiensi
kongenital) atau bisa muncul di kemudian hari.
Immunodefisiensi kongenital biasanya diturunkan. Terdapat lebih dari 70 macam penyakit
immunodefisiensi yang sifatnya diturunkan (herediter).
Pada beberapa penyakit, jumlah sel darah putihnya menurun; pada penyakit lainnya, jumlah
sel darah putih adalah normal tetapi fungsinya mengalami gangguan. Pada sebagian penyakit
lainnya, tidak terjadi kelainan pada sel darah putih, tetapi komponen sistem kekebalan
lainnya mengalami kelainan atau hilang.
Immunodefisiensi yang didapat biasanya terjadi akibat suatu penyakit.
Immunodefisiensi yang didapat lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan
immunodefisiensi kongenital.
Beberapa penyakit hanya menyebabkan gangguan sistem kekebalan yang ringan,
sedangkan penyakit lainnya menghancurkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi.
Pada infeksi HIV yang menyebabkan AIDS, virus menyerang dan menghancurkan sel darah
putih yang dalam keadaan normal melawan infeksi virus dan jamur.
Beberapa penyebab dari immunodefisiensi yang didapat:
1. Penyakit keturunan dan kelainan metabolisme :
Diabetes
Sindroma Down
Gagal ginjal
Malnutrisi
Penyakit sel sabit
2. Bahan kimia dan pengobatan yang menekan sistem kekebalan
Kemoterapi kanker
Kortikosteroid
Obat immunosupresan
Terapi penyinaran
3. Infeksi
Cacar air
Infeksi sitomegalovirus
Campak Jerman (rubella kongenital)

9
Infeksi HIV (AIDS)
Campak
Infeksi bakteri yang berat
Infeksi jamur yang berat
Tuberkulosis yang berat
4. Penyakit darah dan kanker
Agranulositosis
Semua jenis kanker
Anemia aplastik
Histiositosis
Leukemia
Limfoma
Mielofibrosis
5. Pembedahan dan trauma
Luka bakar
Pengangkatan limpa
- Hal-hal yang sebaiknya dilakukan oleh penderita penyakit immunodefisiensi adalah :
Mempertahankan gizi yang baik
Memelihara kebersihan badan
Menghindari makanan yang kurang matang
Menghindari kontak dengan orang yang menderita penyakit menular
Menghindari merokok dan obat-obat terlarang
Menjaga kebersihan gigi untuk mencegah infeksi di mulut
Vaksinasi diberikan kepada penderita yang mampu membentuk antibodi.

E. AUTOIMUN
4.1 Definisi
Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan dalam tubuh yang membuat
badan menyerang jaringannya sendiri.
Reaksi autoimiunitas adalah reaksi system imun terhadaap antigen sel jaringan sendiri.
Antigen tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang dibentuk disebut autoantibody

4.2 Gejala Autoimun


Gangguan autoimun dapat menyebabkan demam. Tetapi gejala berfariasi bergantung pada
gangguan dari bagian badan yang diserang. Beberapa gangguan autoimun mempengaruhi
jenis tertentu dari jaringan tubuh diseluruh tubuh misalnya pembuluh darah, tulang rawan,
atau kulit.Hasil dari peradangan dan kerusakan jaringan bisa menyebabkan rasa sakit,
merusak bentuk sendi, kelemahan, penyakit kuning, gatal, kerusakan pernapasan,
penumpukan cairan, bahkan menyebabkan kematian.

4.3 Faktor yang berperan :


a. Letak anatomi Antigen jauh
b. Gangguan presentasi Ag

10
c. Ekspresi MHC yang tidak benar (MHC 1 dan 2 sama2 tinggi)
d. Aktivasi sel B poliklonal autoimun
e. Ekspresi CD-4 yang tidak benar
f. Keseimbangan Th1 dan Th2
g. Faktor lingkungan

4.4. Penyakit Autoimun


Multiple sclerosis gangguan autoimun yang mempengaruhi otak dan sistem saraf
pusat tulang belakang.
Myasthenia grafis gangguan neuromuskuler yang melibatkan otot dan saraf.
Reactive arthritis (peradangan sendi, saluran, dan mata)
Graves disease gangguan autoimun yang mengarah ke kelenjar tiroid hiperaktif.
Type 1 diabetes melitus ketidakmampuan / kurangnya tubuh membentuk insulin.

Beberapa contoh penyakit karena serangan sistem imun tubuh sendiri


Hashimoto tiroiditis (Gangguan kelenjar tiroid)
Pernicious anemia (penurunan sel darah merah yang terjadi ketika tubuh tidak
dapat dengan baik menyerap vitamin B12 dari saluran pencernaan)
Penyakit Addison (penyakit yang terjadi ketika kelenjar adrenal tidak
memproduksi cukup hormon)
Systemic lupus erythematosus (SLE) gangguan autoimun kronis, yang
mempengaruhi kulit, sendi, ginjal dan organ lainnya.

Penyebab penyakit autoimun


Kegagalan autoantibody dan sel T mengenali sel sendiri/ (Toleransi diri hilang)
Autoantibody dan sel T menyerang sel sel sendiri jika T helper limfosit terlalu
aktif.
Gangguan klinis yang diproduksi oleh respon imun ke komponen jaringan normal
dari tubuh.
Ketidakmampuan untuk menghilangkan antigen penyebab proses inplamasi
kronis.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Imunopatologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang penyakit yang terjadi akibat
disfungsi dalam sistem imun. Istilah imunopatologi dan imunopatobiologi istilah
imunopatologi digunakan untuk menamakan kajian terhadap penyakit yang disebabkan oleh
kelainan sistem imun.Tiga jenis Imunopatologi, reaksi hipersentivitas, imunodefisiensi,
autoimun.
Alergi atau reaksi hipersensitivitas adalah perubahan spesifik, didapat, pada
reaktivitas hospes yang diperantarai oleh mekanisme imunologis dan menyebabkan respons
fisiologis yang tidak menguntungkan.
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu
tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe
III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated
(hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V
atau stimulatory hipersensitivity.
Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon imun
normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang pada umumnya disebabkan oleh
kelainan genetik yang diturunkan, serta secara sekunder akibat penyakit utama lain seperti
infeksi, pengobatan kemoterapi, sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan (menekan
sistem kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi (Kekurangan gizi).
Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan dalam tubuh yang
membuat badan menyerang jaringannya sendiri.
Reaksi autoimiunitas adalah reaksi system imun terhadaap antigen sel jaringan sendiri.
Antigen tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang dibentuk disebut autoantibody

12
DAFTAR PUSTAKA

Imunopatologi Web: Imunokimia (Diakses Apil 11, 2012).


Guyton and Hall,1997, Fisiologi Kedokteran,Edisi 9, EGC:Jakarta
Isnaeni, Wiwi. 2006. Imunologi. Kanisius:Yogyakarta
http://aviramadhani.blogspot.com/2010/04/imunokimia.html(Diakses Apil 11, 2012).
http://id.shvoong.com/exact-sciences/biochemistry/1746654-imunokimia-
imunoglobulin/#ixzz1rtLpUOXc(Diakses Apil 11, 2012).
http://pewezone.blogspot.com/2008/07/imunokimia-merupakan-ilmu-yang.html(Diakses Apil
11, 2012).

13

Anda mungkin juga menyukai