Anda di halaman 1dari 20

1.

Jelaskan bagaimana peran sistem imun pada tubuh manusia dan apa yang terjadi jika
terjadi gangguan sistem imun?
ALDI
Sistem imun adalah sistem yang membentuk kemampuan tubuh untuk melawan bibit
penyakit dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke tubuh agar terhindar
dari penyakit (Irianto, 2012). Sistem imun tubuh memilki dua mekanisme pertahanan
dalam menjaga tubuh, yaitu sistem imun spesifik dan sistem imun non-spesifik.
Menurut Fox (2008), sistem imun mencakupi semua struktur dan proses yang
menyediakan pertahanan tubuh untuk melawan bibit penyakit dan dapat di
kelompokkan menjadi dua kategori yaitu; sistem imun bawaan (innate) yang bersifat
non-spesifik dan sistem imun adaptif yang bersifat spesifik. Sistem imun non-spesifik
yaitu sistem imun yang akan berfungsi saat benda asing atau virus apapun yang
masuk ke dalam tubuh tanpa harus mengenali suatu bibit penyakit tertentu karena
sistem imun ini tidak memiliki ingatan atau memori/respons terhadap zat asing dapat
terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar oleh zat tersebut. Sebagai
contoh dapat dijelaskan sebagai berikut : salah satu upaya tubuh untuk
mempertahankan diri terhadap masuknya antigen misalnya, bakteri, adalah dengan
cara menghancurkan bakteri tersebut dengan cara nonspesifik melalui proses
fagositosis, dan inflamasi, Sedangkan sistem imun spesifik adalah sistem imun khusus
yang akan mulai bekerja saat suatu virus atau bakteri itu sudah dikenali
sebelumnya/respon imun yang didapat (acquired), yang timbul akibat dari rangsangan
antigen tertentu, sebagai akibat tubuh pernah terpapar sebelumnya. Respons imun
spesifik dimulai dengan adanya aktifitas makrofag atau antigen precenting cell (APC)
yang memproses antigen sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan interaksi
dengan sel-sel imun, sistem imun ini memiliki memori atau daya ingat tentang suatu
bibit penyakit yang sebelumnya dan mulai memproses sel imun khusus yang disebut
limfosit untuk membasmi penyakit tersebut. Hal ini mencakup pengenalan terlebih
dahulu terhadap suatu bibit penyakit, kemudian memproduksi antibodi atau T-limfosit
khusus yang hanya akan bereaksi terhadap bibit penyakit tersebut yang sudah dikenali
(Irianto, 2012). Leukosit adalah sel imun tubuh non-spesifik atau yang disebut sebagai
sel darah putih yang bekerja melawan benda virus atau benda asing lainnya secara
langsung atau tanpa harus mengenali virus tersebut terlebih dahulu. Sedangkan
Limfosit atau sel imun tubuh spesifik adalah sel khusus yang akan melawan penyakit
atau virus yang sudah pernah masuk kedalam tubuh, sehingga limfosit bisa menjadi
lebih kuat dari sebelumnya. Jadi, sistem imun memiliki peran sebagai Pembentuk
kekebalan tubuh, Penolak dan penghancur segala bentuk benda asing yang masuk ke
dalam tubuh, Pendeteksi adanya sel abnormal, infeksi dan patogen yang
membahayakan, dan Penjaga keseimbangan komponen dan fungsi tubuh.
Lalu mengenai gangguan sistem imun, yang dimana kelainan dalam perkembangan
dan fungsi system imun mengakibatkan peningkatan kepekaan terhadap infeksi;
reaktivasi infeksi laten, seperti sitomegalovirus, virus Epstein Barr, dan tuberculosis,
di mana respon imun normal tetap mengawasi infeksi namun tidak mengeradikasi
infeksi tersebut; dan meningkatkan angka kejadian kanker tertentu. Konsekuensi dari
kerusakan imunitas ini dapat diprediksi karena fungsi sistem imun normal adalah
untuk mempertahankan individu terhadap infeksi dan beberapa kanker. Kelainan yang
disebabkan oleh kerusakan imunitas disebut penyakit imunodefisiensi. Beberapa
penyakit ini dapat diakibatkan oleh defek genetika pada satu atau lebih komponen
sistem imun; hal ini disebut penyakit imunodefisiensi kongenital (atau primer).
Kelainan lain dalam sistem imun dapat diakibatkan oleh infeksi, gangguan gizi, atau
terapi medis yang mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya fungsi berbagai
komponen sistem imun; hal ini disebut sebagai imunodefisiensi didapat (atau
sekunder).

Gangguan Imunitas secara luas diklasifikasikan menurut komponen dari sistem


kekebalan tubuh yang terutama terganggu. Gangguan sistem imunitas tersebut dapat
dibedakan atas gangguan sistem imun adaptif (Defisiensi sel T, Defisiensi se B dan
Kombinasi defisiensi sel T serta sel B) dan gangguan sistem imun alami (gangguan
fagositik dan gangguan komplemen)(McCusker,2011:2). Gangguan Kekebalan Sistem
Imunitas Adaptif Sel T dan sel B adalah sel utama dari sistem kekebalan adaptif
tubuh. Sel B memediasi produksi antibodi dan oleh karena itu memainkan peran
utama dalam antibodi-mediated (humoral) imunitas. Di sisi lain, sel T mengatur
respon sel yang dimediasi sistem imun. Cacat yang terjadi pada setiap pengembangan,
diferensiasi dan pematangan sel T mengarah pada gangguan immunodefisiensi sel T,
sedangkan cacat yang berkaitan dengan sel B mengarah pada pengembagan sel B
dan/atau gangguan hasil pematangan sel B (defisiensi antibodi), karena produksi
antibodi sel B yang diperantarai sel B membutuhkan fungsi sel T. Oleh karenanya
gabungan gangguan sel T dan sel B akan menyebabkan gangguan immunodefisiensi
sel B dan sel T(Combined Immunodeficiensies/ CIDs).

NIKEN

2. Jelaskan proses hipersensitivitas dari respon imun!


HENY
Hipersensitivitas merupakan peningkatan aktivitas atau sensitivitas terhadap antigen
yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Orang akan mengalami dua tahapan
sebelum mengalami hipersensitivitas. Tahap 1 adalah sensitisasi. Sensitisasi terjadi
ketika igE muncul akibat substansi yang dihirup, dimakan, atau disuntikkan. IgE baru
menempel pada sel mast dan basofil yang terdapat pada mukosa kulit, saluran
pencernaan, dan pernapasan. Hipersensitivitas terjadi setelah igE melawan substansi
asing tertentu dan terikat pada permukaan jaringan sel mast dan basofil.
Hipersensitivitas tidak menghasilkan gejala terkait penyakit alergi hingga tahap 2,
paparan ulang terhadap alergen, gejala alergi tersebut berupa bersin, asma, dan
anafilaksis. Meskipun seluruh proses seluler alergi tampak sama, tetapi terdapat
perbedaan klinis berdasarkan kondisi pertahanan inang/penjamunya, sifat alergen,
konsentrasi alergen, jalur masuknya alergen, dan jumlah alergen yang diterima, serta
organ yang terpengaruh. Reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi 4 jenis utama, yaitu :
a) Tipe 1 (Segera atau Anafilaksis)
Respon anafilaksis berlangsung cepat dan diperantarai IgE. Alergen berikatan
dengan IgE yang menarik sel mast dan basofil, mengakibatkan dilepaskannya
mediator.
b) Tipe 2 (Sitolitik atau Sitotoksik)
Reaksi sitolitik atau sitotoksik bergantung komplemen dan melibatkan IgG
dan IgM. Ikatan antigen-antibodi mengakibatkan aktivasi sistem komplemen
dan menghancurkan sel yang mengikat alergen, biasanya sel darah dan
menyebabkan cedera jaringan.
c) Tipe 3 (Komplek Imun)
Reaksi kompleks imun terjadi ketika antigen mengikat antibodi yang
mengakibatkan cedera jaringan. Ukuran molekul kompleks antigen-antibodi
menentukan dalam reaksi antigen-antibodi. Kompleks yang besar mampu
dibersihkan oleh sel fagosit dengan segera. Kompleks yang kecil bertahan
lebih lama karena tidak mudah ditangkap oleh sel fagosit di limpa dan hati.
Dengan demikian terjadi inflamasi dan penyakit organ akut atau kronis pada
tempat kompleks imun dikumpulkan.
d) Tipe 4 (Diperantarai sel atau lambat)
Pada hipersensitivitas diperantarai sel, sel T tersensitisasi merespons antigen
dengan melepaskan limfokin, yang berlangsung pada aktivitas fagositosis.
Reaksi terjadi dalam 24 - 72 jam setelah paparan antigen.
Sumber :
Black, M. Joyce & Hawks J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Buku 2.
Elsevier : Singapore.

Tambahan pendapat : ASTRIT


A.Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 merupakan respon jaringan yang terjadi karena adanya ikatan
silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi cepat, reaksi
alergi, atau reaksi anafilaksis. Mekanisme umum dari reaksi ini sebagai berikut : Alergen
berikatan silang dengan IgE. Sel mast dan basofil mengeluarkan amina vasoaktif dan
mediator kimiawi lainnya. Timbul manifestasi berupa anafilaksis, urtikaria, asma bronkial
atau dermatitis atopi.

B. Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II terjadi karena dibentuknya IgG dan IgM terhadap antigen yang
merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi sitotoksik
atau reaksi sitolitik. Reaksi ini terdiri dari 3 jenis mekanisme, yaitu reaksi yang bergantung
pada komplemen, reaksi yang bergantung pada ADCC (Antibody-dependent cellular
cytotoxicity) dan disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi. Mekanisme singkat dari
reaksi tipe II ini sebagai berikut : IgG dan IgM berikatan dengan antigen di permukaan sel.
Fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen, ADCC dan atau antibody.
Pengeluaran mediator kimiawi. Timbul manifestasi berupa anemia hemolitik autoimun,
eritroblastosis fetalis, sindrom Good Pasture, atau pemvigus vulgaris.
C. Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi hipersensitivitas tipe 3 terjadi karena pengendapan kompleks imun (antigen-antibodi)
yang susah difagosit sehingga akan mengaktivasi komplemen dan mengakumulasi leukosit
polimorfonuklear di jaringan. Reaksi ini juga dapat disebut reaksi yang diperantarai kompleks
imun. Reaksi ini terdiri dari 2 bentuk reaksi, yaitu : reaksi Kompleks Imun Sistemik (Serum
Sickness) dan reaksi Sistem Imun Lokal (Arthus). Mekanisme reaksi ini secara umum
sebagai berikut : Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang sulit difagosit. Mengaktifkan
komplemen. Menarik perhatian Neutrofil. Pelepasan enzim lisosom. Pengeluaran mediator
kimiawi. Timbul manifestasi berupa reaksi Arthus, serum sickness, LES (Lupus Eritematosus
Sistemik) , AR (Artritis reumatoid), glomerulonefritis, dan pneumonitis.

D. Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi ini dapat disebut juga reaksi imun seluler lambat karena diperantarai oleh sel T CD4+
dan CD8+. Reaksi ini dibedakan menjadi beberapa reaksi, seperti reaksi Tuberkulin, reaksi
Inflamasi Granulosa, dan reaksi penolakan transplant. Mekanisme reaksi ini secara umum
sebagai berikut : Limfosit T tersensitasi. Pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau
sitotoksik yang diperantarai oleh sel T langsung. Timbul manifestasi berupa tuberkulosis,
dermatitis kontak dan reaksi penolakan transplant. Hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat) atau
yang dipengaruhi oleh sel merupakan salah satu aspek imunitas yang dipengaruhi oleh sel.
Antigen akan mengaktifkan makrofag yang khas dan membuat limfosit T menjadi peka
sehingga mengakibatkan terjadinya pengeluaran limfokin.

3. Jelaskan mengapa faktor-faktor pencetus seperti sinar matahari, stres, dan aktivitas
fisik berlebih dapat menyebabkan pasien autoimun SLE dan RA dapat membuat sel
imun semakin sangat aktif dan tidak terkendali sehingga menyebabkan pasien sangat
keletihan hingga tidak sadarkan diri!
anyka
Paparan sinar matahari dengan pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE)/
Lupus sangat erat kaitannya. Sinar matahari ditemukan mengandung sinar ultraviolet
A,B dan C. Sinar Ultraviolet A (UVA) dan B (UVB), sangat berperan pada kejadian
lupus. Beberapa peneliti mengatakan bahwa sinar ultraviolet dari sinar matahari dapat
merusak kulit dengan mengubah komposisi DNA di bagian permukaan kulit, sehingga
merusak regenerasi sel dalam tubuh. Sehingga terjadi pembentukkan anti-DNA yang
dapat merusak jaringan tubuh penderita lupus.
Stress juga berdampak besar pada tubuh penderita lupus karena stress
merupakan suatu kekuatan yang menimbulkan respons tubuh. Jenis stress ada baik
fisik maupun emosional yang dapat menyebabkan perubahan pada sistim imun dan
sistim saraf pusat. Sistem imun seperti halnya sistem yang mempertahankan
homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses fisiologis lain dan
dimodifikasi oleh sistim saraf otak. Stress yang berat bagi seseorang, seperti kematian
pada seorang yang dicintainya, perceraian, kehilangan pekerjaan, kebangkrutan atau
trauma fisik yang berat beberapa waktu sebelum penegakan diagnosis lupus telah
diketahui dapat menyebabkan timbulnya aktivitas penyakit lupus.
Orang dengan lupus (odapus) perlu berolahraga secara teratur atau melakukan
beberapa jenis gerak badan. Kebanyakan odapus dapat mengikuti dalam beberapa
bentuk aktivitas tetapi semua latihan yang dilakukan harus didiskusikan terlebih
dahulu dengan dokter untuk memaksimalkan hasil dan meminimalkan bahaya yang
mungkin dapat terjadi. Pada pasien SLE, aktivitas fisik yang berlebihan akan
menyebabkan kelelahan yang akan dapat memicu terjadinya kekambuhan (Abu et al,
2006; Fonsenca 2014). Aktivitas fisik pada penderita SLE dihitung dari aktivitas fisik
berat (vigorous activity), aktivitas fisik sedang (moderate activity), aktivitas berjalan
kaki (walking activity) dan aktivitas duduk (sitting activity) pada seseorang dalam
satu minggu terakhir (Stephen et al, 2006; Oates et el, 2013). Aktivitas fisik berat
seperti senam, menggali, dan lainnya. Aktivitas fisik sedang seperti bersepeda dan
olah raga tenis. Aktivitas ringan seperti berjalan untuk melakukan perjalanan dari
tempat ke tempat lain dan waktu yang dihabiskan untuk duduk di rumah atau duduk
berbaring untuk menonton televisi (Ader, 2000; Mok dan Lau, 2007)
SUMBER : Reza, Andri. 2022. Mengenal Penyakit Lupus/SLE. Kementrian
Kesehatan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan.
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1423/mengenal-penyakit-lupussle [diakses
pada 22 Februari 2023]
aku baru bahas SLE, RA belum
manik
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya
inflamasi sistemik kronik dan progresif, yang sendi merupakan target utama dari
penyakit ini (Arfianda et al., 2022). Peradangan sendi pada penyakit rheumatoid
arthritis terjadi saat sistem kekebalan tubuh sendiri menyerang jaringan yang
membentuk sendi, yaitu lapisan penghasil minyak sendi, jaringan penghubung antar
tulang (ligamen), jaringan penghubung tulang dengan sendi (tendon), dan tulang
rawan. Penyakit ini dapat membuat sendi kehilangan bentuk dan akhirnya hancur.
Faktor aktivitas dengan beban pekerja berat seperti bertani, buruh bangunan dan
buruh kasar lainnya, dapat memperberat sendi dalam jangka waktu yang lama
(Karmiati, 2023).

Arfianda, A., Tharida, M. and Masthura, S., 2022. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Terjadinya Penyakit Rheumatoid Arthritis Pada Lansia di Gampong Piyeung Manee
Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar. JOURNAL OF HEALTHCARE
TECHNOLOGY AND MEDICINE, 8(2), pp.992-1002.
Kamiati, K., 2023. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA
PENYAKIT REUMATOID ATRITIS (RA) PADA LANSIA DI KLINIK
PRATAMA PANJI HUSADA ROKAN HULU TAHUN 2021. Jurkessutra: Jurnal
Kesehatan Surya Nusantara, 11(1).
IIK ( aku buat kesimpulannya aja ya )
Penyakit Lupus atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan salah satu
penyakit autoimun reumatik, yang bersifat sistemik. Penyakit autoimun merupakan
penyakit yang disebabkan oleh gangguan sistem pertahanan tubuh akibat sistem imun
seseorang tidak berfungsi dengan normal sehingga menyerang sel-sel tubuhnya
sendiri dan menyebabkan kerusakan organ tubuh. orang dengan lupus (odapus) sebisa
mungkin menghindari agar tidak kelelahan, tidak stres, dan tidak melakukan aktivitas
berjemur matahari. Dengan begitu, diharapkan penyakit ini tidak mudah kambuh.
SUMBER : Ika. 2020. Stres Bisa Picu Kekambuhan Lupus. terdapat pada :
https://www.ugm.ac.id/id/berita/19403-stres-bisa-picu-kekambuhan-lupus
Rheumatoid artritis merupakan penyakit autoimun yang menyerang sendi.
Penyakit ini menyebabkan peradangan pada sendi, jaringan di sekitar sendi,
dan dapat mengenai organ lain di dalam tubuh seperti kulit dan paru.Penyakit
ini dapat membuat sendi kehilangan bentuk dan akhirnya hancur. Kondisi di
mana sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh justru
berbalik menyerang tubuh sendiri dinamakan autoimun. Penyebab timbulnya
penyakit autoimun sendiri belum diketahui secara pasti, namun diduga terkait
dengan faktor genetik.
SUMBER : Soeradji Tirtonegoro. 2022. Rheumatoid Artritis. Kementrian
Kesehatan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. terdapat pada :
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/470/rematoid-arthritis
4. Jelaskan bagaimana proses terjadinya Steven Jhonson Syndrome akibat alergi obat
sehingga memiliki kaitan terhadap hipersensitivitas tipe II (cytolysis)?
Mala
Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi
komples imun, yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi, dan keganasan. Proses
terjadinya Stevens Johnson Syndrome akibat alergi obat terhadap hipersensitivitas
tipe II (cytolysis) dengan Reaksi tipe II ini merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi
oleh kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM atau IgG. Yang dimana
reaksi ini terjadi sebagai respons terhadap obat yang mengubah membran permukaan
sel. Penjelasan secara rincinya yaitu dimana reaksi tipe II (sitotoksik) diperantarai
oleh IgG (immunoglobulin) atau IgM (immonoglobulin) yang dimana antibodi IgM
atau IgG spesifik terhadap sel (sel-sel yang terbungkus) Hapten-Obat. Dengan
manifestasi klinisnya yg dapat menyebabkan terjadinya Anemia hemolitik,
neutroponi, dan trombositoponi dengan waktu yang bervariasi. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan pada tipe II ini yaitu dengan Coombs Test.
ARISTA
Steven Johnson Syndrome (SJS) adalah suatu reaksi hipersensitivitas berat
yang disebabkan oleh infeksi virus, penyakit sistemik, makanan, agen tertentu, dan
obat-obatan. Beberapa jenis obat yang menyebabkan timbulnya reaksi alergi adalah
antibakterial golongan sulfanamid, nonsteroidal anti-inflammatory drug. Salah satu
contoh obat jenis ini yang sering beredar yaitu paracetamol (salah satu jenis
analgetik).
Sindrom Stevens-Johnson disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II
Coombs dan Gel. Reaksi tersebut melibatkan kompleks antigen-antibodi yang
terfiksasi pada sel sasaran. Untuk kasus SSJ, antigen diperankan oleh obat, diikat oleh
antibodi IgG dan IgM dipermukaan sel sasaran, yaitu keratinosit. kompleks antigen-
antibodi pada keratinosit akan menyebabkan efek sitolitik dengan memanggil
neutrofil dan makrofag untuk berikatan secara langsung atau mengaktifkan kemudian
berikatan dengan komplemen, membentuk kompleks antigen-antibodikomplemen dan
menyebabkan efek sitolitik yang diperantai komplemen.
Sumber:
1) Sinaga, D. (2014). Penangan terkini Penyakit Sindroma Steven Johnson (SSJ).
2) Yulisna, Y., & Arti, N. S. (2018). Paracetamol Menyebabkan Steven Johnson
Syndrome pada Wanita Berusia 24 Tahun. Jurnal Kedokteran Universitas
Lampung, 2(1), 59-62.
5. Jelaskan bagaimana proses HIV masuk ke tubuh manusia dan melakukan
perkembangbiakan virus didalam tubuh dan menularkan ke tubuh manusia lainnya?
Selanjutnya, jelaskan bagaimana proses HIV bisa menjadi AIDS dari stadium I hingga
ke stadium IV?
manik
HIV dapat ditularkan melalui pertukaran berbagai cairan tubuh dari orang yang
terinfeksi, seperti darah, ASI (Air Susu Ibu), semen dan cairan vagina. HIV juga dapat
ditularkan dari seorang ibu ke anaknya selama kehamilan dan persalinan. Orang tidak
dapat terinfeksi melalui kontak sehari-hari seperti mencium, berpelukan, berjabat
tangan, atau berbagi benda pribadi, makanan, atau air. (WHO, 2019). HIV masuk ke
dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara vertikal, horizontal dan
transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan
diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara
tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak seperti yang terjadi pada
kontak seksual. Begitu mencapai tau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak
paparan pertama HIV dapat dideteksi di dalam darah. Dalam tubuh ODHA, partikel
virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV,
seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah
terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar
getah bening, ram, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tapa gejala). Masa tapa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10
tahun. Tetapi ada sekelompok orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, sekitar
2 tahun, dan ada pula yang lambat (non-progressor). Seiring dengan semakin
memburuknya kekebalan tubuh, ODHIV mulai menampakkan gejala-gejala akibat
infeksi oportunistik seperti brat badan menurun, demam lama, rasa lemah,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan
akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk dalam
tahap AIDS (Sertiarto et al., 2021)
proses HIV bisa menjadi AIDS dari stadium I hingga ke stadium IV aku belum yaa

Setiarto, R.H.B., Karo, M.B., Keb, S.T., SKM, M.K. and Tambaip, T., 2021.
Penanganan Virus HIV/AIDS. Deepublish.
ARISTA
6. Sebutkan jenis-jenis antiretroviral (ARV) dan fungsinya dan jelaskan bagaimana
manajemen lini pengaturan minum obat ARV pada pasien yang terinfeksi HIV?
HENY
Jenis-jenis antiretroviral (ARV)
a) NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)
NRTI bekerja dengan menghambat enzim reverse transkriptase selama proses
transkripsi RNA virus pada DNA pejamu. Analog NRTI akan mengalami
fosforilasi menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian secara kompetitif
mengganggu transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai DNA virus akan
mengalami terminasi. Jenis ARV yang termasuk golongan NRTI adalah
sebagai berikut:
- 3TC (lamivudine)
- Abacavir (ABC)
- AZT (ZDV, zidovudine)
- d4T (stavudine)
- ddI (didanosine)
- Emtricitabine (FTC)
- Tenofovir (TDF; analog nukleotida)
b) NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)
NNRTI bekerja dengan cara berikatan dengan enzim reverse transcriptase
sehingga dapat memperlambat kecepatan sintesis DNA HIV atau menghambat
replikasi (penggandaan) virus. Jenis ARV yang termasuk golongan NNRTI
adalah sebagai berikut:
- Efavirenz (EFV)
- Nevirapine (NVP)
- Rilpivirin (RPV)
c) PI (Protease Inhibitor)
PI bekerja dengan cara menghambat protease HIV. Setelah sintesis mRNA
dan poliprotein HIV, protease HIV akan memecah poliprotein HIV menjadi
sejumlah protein fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan
perlekatan dengan sel pejamu masih terjadi, namun virus gagal berfungsi dan
tidak infeksius terhadap sel. Jenis ARV yang termasuk golongan protease
inhibitor adalah sebagai berikut:
- Lopinavir/ritonavir (LPV/r)
- Saquinavir (SQV)
- Indinavir (IDV)
- Nelfinafir (NFV)
anyka
ARV dapat mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi
oportunistik, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus
(viral load) dalam darah sampai tidak terdeteksi. Juli, 2018 WHO telah merekomendasikan
dolutegravir/ obat dari golongan kelas penghambat integrase atau Integrase Inhibitor (INIs)
sebagai alternatif pada terapi yang menggunakan efavirenz untuk pengobatan HIV.
Dolutegravir bekerja dengan menghambat integrase, enzim yang dibutuhkan oleh HIV untuk
memasukkan virus ke dalam DNA dari sel T CD4 pejamu. Saat HIV menulari sebuah sel
dalam tubuh manusia DNA (kode genetik) HIV dipadukan dalam DNA sel induk. Pemaduan
ini dibantu oleh enzim integrase. Dolutegravir menghambat pekerjaan enzim ini, dengan
akibat DNA HIV tidak dipadukan pada DNA sel induk. HIV menulari sel tersebut, tetapi
tidak mampu menggandakan diri. Dosis pemberian Dolutegravir pada pasien HIV yaitu :
- 50mg sekali sehari untuk pasien dewasa dan remaja di atas usia 12 tahun dengan berat
badan 40kg atau lebih, belum pernah menggunakan ARV sebelumnya atau sudah
pernah menggunakan ARV lainnya selain penghambat integrase.
- 50mg dua kali sehari untuk pasien yang sudah pernah menggunakan penghambat
integrase sebelumnya dan pasien yang memiliki atau diduga memiliki resistensi
terhadap penghambat integrase lainnya.
- 50mg dua kali sehari untuk mereka yang menggunakan obat-obat berikut tanpa
mempertimbangkan paparan terhadap penghambat integrase sebelumnya: efavirenz,
rifampin, fosamprenavir/ritonavir, tipranavir/ritonavir.

Efek samping penggunaan dolutegravir adalah seperti sakit kepala, mual dan diare. Tetapi
proporsi dengan reaksi parah hanya 1%. Jika dibandingkan dengan efavirenz dan rejimen
berbasis golongan PI, dolutegravir jarang menyebabkan penghentian pengobatan karena efek
samping. Di Indonesia saat ini dolutegravir sudah tersedia baik dalam bentuk tunggal
(dolutegravir 50mg tablet) maupun dalam bentuk kombinasi tetap atau fixed doses
combination (FDC) yang terdiri dari tenofovir 300mg, lamivudin 300mg dan dolutegravir
50mg yang disebut dengan FDC TLD. Dolutegravir sudah direkomendasikan sebagai pilihan
utama bagi pengobatan HIV karena terbukti memiliki efek supresi virus yang tinggi dengan
reaksi efek samping yang lebih ringan serta memiliki interaksi obat yang lebih sedikit.
Dengan demikian harapan angka kesakitan dan kematian akibat HIV-AIDS dapat dicegah
melalui pengobatan yang maksimal.

Sumber :
Anggriani, A., Lisni, I., & Liku, O. S. (2019). Pola penggunaan obat antiretroviral (ARV)
pada resep pasien rawat jalan dari Klinik HIV/AIDS salah satu Rumah Sakit Swasta Di Kota
Bandung. Jurnal Riset Kefarmasian Indonesia, 1(1), 64-81.
Surahman, Hafiz. 2022. Mengenal Dolutegravir Obat Antiretroviral Yang Menjadi Pilihan
Utama Pengobatan Pasien HIV Saat Ini. Kementrian Kesehatan Direktorat Jenderal
Pelayanan Kesehatan. https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/87/mengenal-dolutegravir-
obat-antiretroviral-yang-menjadi-pilihan-utama-pengobatan-pasien-hiv-saat-ini [diakses pada
22 Februari 2023]
IIK
1. NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), seperti: Zidovudin, Lamivudin,
Abacavir, Tenofovir, Didanosine dan Emtricitabine,memiliki fungsi dalam
menghalangi transkripsi RNA virus HIV untuk masuk dalam DNA individu. Virus
HIV membutuhkan transkripsi RNA ke DNA individu untuk dapat mereplikasi diri
dalam tubuh inangnya, sehingga dengan menggunakan jenis obat Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor ini, tahap replikasi tersebut akan terhambat.

2. NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), seperti: Evafirenz,


Nevirapin dan Rilpivirin,memiliki peran yang sama dengan NRTI yakni untuk
menghambat langkah replikasi virus HIV pada tubuh inangnya, namun memiliki
tahap yang berbeda dari Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor, yakni dengan
menghilangkan protein dalam virus yang berfungsi dalam mereplikasi diri dalam
tubuh inangnya.

3. PI (Protease Inhibitor), seperti : Lopinavir/Ritonavir, merupakan obat yang


menghambat aksi dari protein HIV-1 dalam menumbuhkan virus, taraf infeksi dan
replikasi. Obat tersebut bekerja dengan menjadi penghambat aksi dengan mengikat
pada enzim protease (digunakan dalam memecah protein menjadi fragmen yang lebih
kecil) dari virus HIV sehingga menghambat virus tersebut untuk menginfeksi, tumbuh
dan mereplikasi diri.

7. Jelaskan bagaimana alur konseling seseorang yang akan melakukan tes HIV?
Selanjutnya jelaskan bagaimana etik dan peran perawat terhadap isu stigma dan
diskriminasi orang dengan HIV (ODHIV)?

ASTRIT
Secara garis besar ada tiga langkah proses konseling ODHA yaitu persiapan, tahap action
(pelaksanaan), dan tahap akhir yaitu terminasi. Langkah-langkah tersebut dirinci menjadi
lima tahap sebagai berikut:
Tahap satu – merupakan tahap persiapan, yang meliputi:
● Penentuan jadwal konseling
● Penentuan tempat konseling
● Kesiapan konselor dan klien melaksanakan konseling.

Tahap dua – membangun hubungan baik dan terapeutik


● Meyakinkan kerahasiaan
● Mendiskusikan asas kesukarelaan
● Menggali masalah, meminta klien menceritakan kisah mereka Menjelaskan apa yang
dapat konselor tawarkan dan cara kerjanya.
● Konselor menjelaskan komitmen untuk bekerja bersama dengan klien.
● Konselor minta keterbukaan klien. Jika masih ada yang ditutup- tutupi maka
konseling kurang bermanfaat.
Tahap Tiga – Definisi dan pemahaman peran konselor dan klien
● Mengemukakan peran dan batas dari hubungan dalam konseling.
● Mengklarifikasi tujuan dan kebutuhan klien.
● Membantu mengurutkan prioritas tujuan dan kebutuhan klien.
● Menjelaskan peran masing-masing (konselor-klien).
● Menggali keyakinan, sikap, pengetahuan, persepsi dan motivasi klien untuk
memecahkan masalahnya.

Tahap Empat – proses konseling pada fase eksplorasi dan tindak lanjut
● Memfasilitasi ekspresi pikiran dan perasaan klien
● Mengenali berbagai alternatif pemecahan dan adaptasi.
● Mengenali keterampilan penyesuaian diri yang sudah ada dan yang akan
dikembangkan.
● Mengevaluasi alternatif pemecahan masalah dan risiko yang mungkin timbul.
● Mengarahkan perubahan perilaku.
● Memonitor perubahan tingkah laku menuju tujuan konseling.
● Menjajaki makna hidup bagi klien.
● Tindakan alternatif yang dibutuhkan.
● Rencana rujukan sesuai kebutuhan klien.

Tahap Lima – menutup atau mengakhiri konseling. Tahap akhir merupakan tahap terminasi
yang terdiri dari:
● Konselor memfasilitasi klien untuk mengungkapkan hasil konseling yang sudah ada
dilakukan.
● Klien menatalaksana dan menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari.
● Konselor menjelaskan hasil-hasil konseling yang sudah dicapai.
● Klien menegaskan kembali sistem dukungan yang tersedia yang dapat diakses.
● Klien dapat mendeskripsikan strategi untuk memelihara perubahan yang sudah terjadi.
● Klien mendeskripsikan rencana kegiatan kehidupan yang lebih berkualitas.
● Mendorong klien agar tetap berkomunikasi dengan konselor, bila diperbolehkan.

MALA
Peran perawat terhadap isu stigma dan diskriminasi terhadap ODHA yaitu dengan merubah
stigma dan diskriminasi orang dengan HIV(ODHIV) karena stigma dan diskriminasi terhadap
ODHA merupakan permasalahan yang menjadi beban dalam penanganan pengentasan infeksi
HIV/AIDS. Apalagi, jika stigma atau diskriminasi tersebut berasal dari perawat, maka akan
mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien dengan HIV/AIDS. Seperti yang
diungkapkan oleh Wilandika (2019) bahwa stigma yang ditujukan kepada ODHA dari
petugas kesehatan atau perawat dapat menimbulkan dampak negatif dan mengganggu proses
pemberian pelayanan kesehatan atau keperawatan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi stigma perawat terhadap pasien dengan
HIV/AIDS dapat dilakukan dengan :
1. Mengkaji dan meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap HIV pada seluruh
tenaga kesehatan
Informasi yang keliru dan sikap menghakimi pada petugas kesehatan dapat
menimbulkan stigma, ketakutam dan perawatan yang berbeda pada penderita dengan
HIV. Dalam studi ditemukan bahwa sering tenaga kesehatan senior tidak memiliki
pemahaman yang cukup terhadap transmisi dan pencegahan HIV. Sehingga sangatlah
penting untuk diadakannya pelatihan agar dapat meningkatkan pengetahuan sehingga
staf dapat memiliki kepedulian, memenuhi kebutuhan dan memberikan hak-hak
pasien HIV.
2. Menciptakan suasana kerja yang aman bagi pekerja kesehatan
Melakukan pengkajian dan menggali ketakutan dan resiko pada petugas kesehatan,
kemudian mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan yang menjamin
keamanan pekerja dan memperhatikan hak-hak pekerja kesehatan. Kebijakan
dibutuhkan untuk memfasilitasi kebutuhan penting (misal sarung tangan), yang
berguna untuk kontrol infeksi secara optimal sehingga tidak hanya sebagai proteksi
terhadap pekerja kesehatan, namun juga bagi pencegahan terhdap pemaparan infeksi
ke pasien
3. Menggunakan pendekatan partisipasi dan partnership untuk mengurangi stigma dan
diskriminasi dalam lingkungan kesehatan
Dari laporan hasil penelitian pada sikap pekerja kesehatan dan pratik dan dalam
kebijakan RS mendukung karakteristik pendekatan melalui identifikasi partisipasi
problem dan pemecahan masalah, dan adanya kesesuaian pada semua level staf dalam
melakukan aktivitas intervensi, dari ward staff sampai dengan pejabat RS. Kelompok
dan organisasi diharapkan bekerja dalam seting perawatan kesehatan juga mampu
untuk memposisikan diri mereka sebagai rekan/ patnert dibandingkan sebagai
pengamat atau pelengkap jika tujuan mereka adalah untuk meningkatkan perawatan
kesehatan lingkungan bagi penderita HIV. Pendidikan HIV/AIDS bagi pembuat
kebijakan di seluruh level harus difokuskan pada penghapusan ketidakpedulian pada
kebutuhan untuk mengalokasikan sumber daya yang cukup guna mendukung
penanggulangan HIV-AIDS.
4. Meningkatkan layanan tes sukarela dan rahasia (VCT).
Masalah kerahasiaan dan ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi masih
menghalangi upaya-upaya untuk meningkatkan cakupan dan pemahaman tentang tes
HIV/AIDS disamping peningkatan program-program perlindungan dan bantuan sosial
perlu lebih sensitif terhadap masalah HIV (Unicef Indonesia, 2012).
5. Melakukan riset.
Jumlah penderita HIV yang semakin meningkat perlu didukung dengan adanya
penelitian untuk mendapatkan penilaian balik tentang intervensi dari pasien dengan
HIV positif. Selain itu pada riset yang akan datang harus dapat mengukur tentang
peran dan peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam pemberian terapi
antiretroviral pada ODHA dan penelitian mendalam tentang stigma dan diskriminasi
pada area perawatan kesehatan.
MITA
Menurut ditjen P2P tahun 2017, Alur Pemeriksaan HIV adalah sebagai berikut :
Sesi KIE Kelompok (pilihan):
• Alasan menawarkan tes HIV dan konseling
• Keuntungan dari aspek klinis dan pencegahan
• Layanan yang tersedia baik bagi yang hasilnya negatif maupun yang positif termasuk terapi
antiretroviral
• Informasi tentang konfidensialitas
• Informasi tentang hak untuk menolak menjalan tes HIV tanpa mempengaruhi akses pasien
pada layanan yang dibutuhkan
• Informasi perlunya untuk mengungkapkan status HIV kepada orang lain yang dipercaya
atau keluarga
• Kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada petugas kesehatan
1. Tatap muka dengan petugas secara individual untuk mendapatkan layanan Informasi
HIV, informasi pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium termasuk tes HIV
2. Klien menolak untuk tes HIV, Petugas mengulang tawaran tes HIV dan memberikan
informasi HIV pada kunjungan berikutnya atau merujuk ke konselor bila telah
berulang kali menolak untuk untuk mendapatkan konseling pra tes lebih lanjut (setiap
penolakan wajib dicatat dan ditandatangani oleh pasien dan petugas)
3. Klien memberikan persetujuan untuk tes HIV, Ambil darah untuk pemeriksaan lab
Tes cepat HIV bersama dengan pemeriksaan lain dan dapatkan hasilnya, Petugas
memberikan hasil tes HIV Secara individual.
Pasien dengan pemeriksaan negatif:
● Petugas menyampaikan hasil tes HIV negatif
● Berikan pesan pencegahan secara singkat –rujuk ke konselor terlatih bila diperlukan
● Anjurkan pasangan untuk menjalani pemeriksaan HIV juga
● Tes ulang bila pasien atau pasangan berisiko
Pasien dengan pemeriksaan positif:
● Petugas menyampaikan hasil tes HIV positif
● Berikan dukungan kepada pasien
● Informasi pentingnya perawatan dan pengobatan, tentukan stadium klinis
● Skrining TB dengan menayakan 3 gejala dan 2 tanda
● Lakukan pemeriksaan CD4 ditempat atau dirujuk
● Siapkan pasien untuk pengobatan ARV
● Anjurkan pasangan untuk menjalani pemeriksaan HIV
● Rujuk ke konselor terlatih untuk konseling pencegahan dan konseling lanjutan

Etik dan peran perawat terhadap isu diskriminasi ODHIV :


ETIK
1. Beneficence, prinsip untuk melakukan hal baik sesuai ilmu dan kiat keperawatan,
salah satunya terhadap pasien ODHIV. Dengan adanya isu diskriminasi, justru
seorang perawat harus menguatkan ODHIV selama pengobatannya dan tidak ikut
dalam penyebaran isu yang tidak benar.
2. Justice, berkaitan dengan keadilan. Dengan isu diskriminasi yang ada, jangan sampai
sebagai seorang perawat ikut terjerumus ke dalam isu tersebut sehingga
memperlakukan ODHIV dengan tidak adil.
3. Fidelity, komitmen dalam menepati janji, secara tidak langsung dengan ditugaskannya
kita sebagai perawat untuk merawat pasien ODHIV, komitmen tersebut tentu sudah
ada. Dengan begitu isu diskriminasi tidak akan menggoyahkan semangat dan tugas
sebagai perawat.
4. Confidentiality, menjaga kerahasiaan klien. Dengan berkembangnya isu diskriminasi,
tidak membuat kita menjadi membocorkan apa yang pasien ODHIV yamg kita rawat
selama ini. Etik kerahasiaan harus tetap terjaga.
PERAN
1. Pelindung dan Advokat Klien, perawat berperan dan memiliki tanggung jawab dalam
melindungi klien termasuk isu diskriminasi kepada pasien ODHIV jika itu terjadi.
2. Rehabilitator, sabar tekun dan telaten dalam mendampingi pasien ODHIV ditengah
adanya isu yang berkemungkinan akan menyakiti hati para ODHIV adalah salah satu
peran perawat juga.
3. Pemberi Kenyamanan, dengan adanya isu diskriminasi kepada pasien ODHIV, kerap
kali membuat pasien ODHIV mengurung diri dan kurang mau terbuka akan hal yang
ia rasakan, padahal hal tersebut penting sebagai upaya pendataan dan bagi
perkembangan mereka. Oleh karena itu, disanalah peran perawat sebagai pemberi
kenyamanan agar pasien ODHIV mempunyai rasa keterbukaan karena merasa aman
dan nyaman jika didampingi.
4. Komunikator, peran yang berkaitan lainnya adalah komunikator. Isu diskriminasi
terhadap pasien ODHIV membuat perawat harus sigap untuk memberikan informasi
atau edukasi yang bersifat meluruskan isu tidak benar tersebut. Selain itu, pentimg
juga untuk mengomunikasikan kepada pasien ODHIV bahwa tidak perlu takut karena
mereka tidak sendiri, ada perawat dan banyak orang peduli lainnya yang berada
disamping mereka untuk memberi semangat hidup.

8. Lakukan analisis kasus, tentukan diagnosa keperawatan secara prioritas, dan tentukan
luaran-intervensi dari 2 diagnosa keperawatan prioritas tersebut! Kasus sesuai dengan
pembagian kelompok SGD

Kasus 3. Steven Johnson Syndrome (SGD 3A dan 3B)


Seorang perempuan berusia 20 tahun didiagnosa mengalami SJS-autoimun setelah diketahui
mengonsumsi Carbamazepine. Pasien mengeluh nyeri pada area yang terdapat lesi (macular
erythema) pada area mulut sehingga kesulitan untuk menelan dan berbicara. Lesi juga
terdapat pada area sekitar wajah dan mata berupa coalesce, bullae, slough. Pasien merasa
malu dan tidak mau dikunjungi oleh teman dan kerabat dekat, kecuali orang tuanya saja. TD
110/90 mmHg; N 90x/mnt; RR 22x/mnt; S 38,7o C; WBC 16,88 x 103 /µL

a. Analisis Data
No. Analisis Data Penyebab/Interpretasi Masalah

1. DS : Alergi obat-obatan, infeksi Gangguan


Pasien mengeluh nyeri pada virus, keganasan Integritas Kulit
area yang terdapat lesi (macular ↓
erythema). Kelainan hipersensitivitas

DO : Hipersensitivitas tipe III
- Lesi (macular erythema) ↓
pada area mulut.
Terbentuk kompleks
- Lesi pada area sekitar
antigen dan antibodi
wajah dan mata berupa
coalesce, bullae, slough. ↓
Mengendap dalam
pembuluh darah

Terperangkap dalam
jaringan kapiler

Mengaktifkan sistem
komplemen dan degranulasi
sel mast

Kerusakan jaringan kapiler

Akumulasi neutrofil

Lisozim terlepas

Kerusakan organ target

Kelainan kulit dan eritema

Inflamasi dermal dan
epidermal

Gangguan Integritas Kulit

2. DS : Alergi obat-obatan, infeksi Ketidakseimbang


pasien mengeluh nyeri pada virus, keganasan an nutrisi kurang
area yang terdapat lesi (macular ↓ dari kebutuhan
erythema) pada area mulut Kelainan hipersensitivitas tubuh
sehingga kesulitan untuk ↓
menelan dan berbicara. Hipersensitivitas tipe III

DO : Terbentuk kompleks
antigen dan antibodi
TD 110/90 mmHg; N 90x/mnt;

RR 22x/mnt; S 38,7o C; WBC
Mengendap dalam
16,88 x 103 /µL pembuluh darah

Terperangkap dalam
jaringan kapiler

Mengaktifkan sistem
komplemen dan degranulasi
sel mast

Kerusakan jaringan kapiler

Akumulasi neutrofil

Lisozim terlepas

Kerusakan organ target

Kerusakan submukosa

Gangguan menelan

Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh

3. DS : Alergi obat-obatan, infeksi Gangguan Citra


Pasien mengatakan merasa malu virus, keganasan Tubuh
dan tidak mau dikunjungi oleh ↓
teman dan kerabat dekat, Kelainan hipersensitivitas
kecuali orang tuanya saja. ↓
Kelainan kulit dan eritema
DO : ↓
Pasien didiagnosa SJS- Lesi berupa coalesce,
AutoImun, Lesi pada area bullae, slough pada area
sekitar wajah dan mata berupa wajah dan mata
coalesce, bullae, slough. ↓
Ketidakmampuan
pengungkapan masalah
tentang penyakit

Perasaan malu akibat
penyakit yang diderita

Gangguan Citra Tubuh
b. Diagnosis Keperawatan Berdasarkan Prioritas
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal dan
epidermal ditandai dengan adanya kerusakan jaringan atau lesi pada area
mulut, mata, dan sekitar wajah.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan adanya cedera rongga mulut ditandai dengan pasien sulit menelan
dan berbicara.
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dalam penampilan
sekunder ditandai dengan rasa malu dan tidak mau dikunjungi oleh teman
dan kerabat dekat, kecuali orang tua.

c. Perencanaan Asuhan Keperawatan

No. Diagnosis Rencana Keperawatan


Keperawatan Tujuan dan Intervensi Rasional
Kriteria Hasil

1. Gangguan Setelah dilakukan SIKI SIKI


integritas kulit tindakan Perawatan Integritas Perawatan
berhubungan keperawatan Kulit (I.11353) Integritas Kulit
dengan inflamasi selama x 24 jam - Identifikasi (I.11353)
dermal dan diharapkan penyebab - Untuk
epidermal inflamasi dermal gangguan mengetahui
ditandai dengan dan epidermal klien integritas kulit penyebab dari
adanya kerusakan dapat berkurang seperti perubahan gangguan
jaringan atau lesi dengan kriteria status nutrisi dan integritas kulit
pada area mulut, hasil: penurunan - Untuk
mata, dan sekitar SLKI kelembaban menganalisis
wajah Integritas Kulit - Kaji kerusakan kerusakan pada
dan Jaringan jaringan kulit jaringan kulit
a) Integritas kulit - Gunakan produk - Untuk mencegah
yang baik berbahan kulit menjadi
dapat petroleum atau kering dan
dipertahankan minyak pada kulit menimbulkan
(sensasi, kering luka baru
elastisitas, - Evaluasi - Untuk
temperatur, kerusakan mengetahui
hidrasi, jaringan, apakah
pigmentasi) perkembangan, - untuk
b) Tidak ada lesi dan pertumbuhan mempertahankan
baru pada kulit jaringan tingkat energi
dan membran - Anjurkan klien pada tubuh
mukosa untuk pasien
c) Lesi lama meningkatkan - untuk memenuhi
mengalami asupan nutrisi kebutuhan cairan
involusi - Anjurkan klien pasien
d) Tidak ada untuk minum air
tanda-tanda yang cukup
infeksi - Kolaborasi
pemberian
kortikosteroid dan
antibiotik

SIKI SIKI
Pemberian Obat Pemberian Obat
Topikal (I.14533) Topikal (I.14533)
- Identifikasi - Penerapan
kemungkinan prinsip kehati-
alergi, hatian dan
interaksi, dan ketelitian
kontradiksi sebelum
obat memberikan
- Jelaskan jenis obat agar
obat, alasan perawat
pemberian, mengetahui
tindakan yang apakah
diharapkan, terdapat
dan efek kemungkinan
samping alergi,
sebelum interaksi, dan
pemberian kontradiksi
- Monitor efek obat
lokal, efek - Agar pasien
sistemik dan mengetahui
efek samping jenis obat,
obat alasan
- Lakukan pemberian,
prinsip enam tindakan yang
benar (pasien, diharapkan,
obat, dosis, dan efek
waktu, rute, samping obat
dokumentasi) tersebut
- Cuci tangan - Analisis
dan pasang mengenai efek
sarung tangan lokal, efek
- Bersihkan kulit sistemik dan
- Oleskan obat efek samping
topikal pada obat
kulit - Penerapan
kode etik
keperawatan
dan
memastikan
ketepatan
pemberian
obat
- Penerapan
prinsip aseptik
- Agar kulit
bersih dari
mikroorganis
me dan siap
diberikan obat
- Memberikan
tahap
intervensi obat
pada
permukaan
kulit yang
terdapat lesi
dengan resep
dokter

2. Ketidakseimbang Setelah dilakukan NIC Label NIC Label


an nutrisi kurang tindakan Manajemen Nutrisi Manajemen Nutrisi
dari kebutuhan keperawatan - Tentukan status - Untuk
tubuh selama x 24 jam gizi klien dan menunjukkan
berhubungan diharapkan kemampuan klien seberapa besar
dengan adanya kebutuhan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan
cedera rongga pasien dapat kebutuhan gizi fisiologis
mulut ditandai terpenuhi dengan - Identifikasi individu
dengan pasien kriteria hasil: adanya alergi atau tersebut telah
sulit menelan dan NOC Label intoleransi terpenuhi
berbicara Status Nutrisi: makanan - Untuk
a) Pemasukan - Tentukan jumlah mengetahui
nutrisi yang kalori dan jenis adanya alergi
adekuat nutrisi yang makanan pada
b) Jumlah cairan dibutuhkan untuk pasien
dan makanan memenuhi - Untuk
yang diterima persyaratan gizi memenuhi
sesuai dengan - Berikan makanan kebutuhan
kebutuhan dalam porsi asupan
tubuh sedikit tapi sering makanan
c) Membran pasien
mukosa dan - Untuk
konjungtiva menjaga
tidak pucat asupan
makanan yang
dibutuhkan
tubuh

3. Gangguan citra Setelah dilakukan NIC Label NIC Label


tubuh tindakan Peningkatan Citra Peningkatan Citra
berhubungan keperawatan
dengan perubahan selama 1 x 24 jam Tubuh Tubuh
dalam penampilan diharapkan klien - Bantu pasien - untuk
sekunder ditandai menunjukkan untuk mengetahui
dengan rasa malu respon positif mendiskusikan seberapa
dan tidak mau tentang tubuhnya perubahan- perubahan
dikunjungi oleh dengan kriteria perubahan penyakit yang
teman dan kerabat hasil: disebabkan dialami pasien
dekat, kecuali NOC Label adanya - untuk
orang tua. Citra Tubuh penyakit atau mengetahui
a) Gambaran pembedahan
internal diri dengan cara
positif yang tepat
b) Menunjukan - Bantu pasien
penyesuaian untuk
terhadap mengidentifika
perubahan si bagian dari
tampilan fisik tubuhnya yang
c) Mempertahank memiliki
an interaksi persepsi positif
sosial terkait dengan
tubuhnya
- Identifikasi
kelompok
pendukung
yang tersedia
bagi pasien

SIKI
Dukungan
Pengungkapan
Perasaan (I.

Sumber:
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/898-3487-1-PB.pdf
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/492-Article%20Text-1094-1-10-20220501.pdf

Anda mungkin juga menyukai