Anda di halaman 1dari 12

Tugas Imunnologi

PERAN RESPON HUMORAL TERHADAP PENYAKIT VIRUS POLIO

Oleh : EKA ADI WARSITA 060810119

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2012

I. PENDAHULUAN Pada dasarnya sistem imun mengacu pada semua mekanisme pertahanan diri yang dapat dimobilisasi tubuh untuk memerangi ancaman invasi organismeasing (bakteri, virus, dan berbagai jenis mikroba lainnya). Sistem imun bekerja secara spesifik, respon-respon tersebut sebagian besar di perantai oleh sel darah putih terutama Limfosit (Limfosit-T dan limfosit-B). Sel Limfosit tersebut berasal dari sel-sel limfositik di sumsum tulang. Secara garis besar, respon Imun dibedakan menjadi dua, yaitu pertama Respons Imun yang Diperantarai sel (Cell-mediated response) dan respons Humoral. Kedua jenis respons imun tersebut, entitas penyerangannya dikenali melalui antigen-nya. Organisme atau racun memiliki senyawa-senyawa kimiawi khusus, yang tidak ditemukan pada entitas-entitas lainnya; senyawa-senyawa itu yang nantinya disebut dengan antigen. Pada dasarnya antigen tersusun atas protein-protein khusus, polisakarida-polisakarida besar, atau lipoprotein. Antigen seringkali ditemukan di permukaan organisme selular. Di dalam tubuh, terdapat antibody spesifik yang nyaris ada bagi semua jenis antigen. Repons Diperantarai Sel Respons yang diperantai oleh sel sepenuhnya dilakukan oleh sel Limfosit T dan bukan senyawa kimiawi seperti Imunoglobulin dalam respons humoral. Serangkaian antigen yang berasosiasi erat dengan glikokaliks (bagian karbohidrat dari membran sel) memainkan peran peran penting dalam pengenalan sel-sel sebagai diri (member) dan dalam interaksi sel-sel tubuh yang terinfeksi dengan Limfosit-limfosit T dalam renspons imun yang diperantarai sel. Kelompok kedua

antigen tersebut hanya terdapat pada sel-sel yang merupakan bagian dari pertahanan imun; kelompok tersebut mendorong kerja sama dan asosiasi erat yang menjadi ciri sistem imun. Antigen-antigen tersebut adalah glikoprotein dan menyusun kompleks histokompabilitas mayor (Major Histocompability

Complex; MHC). Antigen-antigen tersebut dikodekan oleh kira-kira dua lusin gen. Masing-masing dari gen tersebut terdapat dalam bentuk alelik, sehingga kombinasi genetic berbeda mampu menghasilkan kompleks-kompleks antigen yang khas dan dalam jumlah yang hampir tidak terbatas. Penghancuran organisme penyerbu dalam respons yang diperantarai sel ini dilakukan dengan beberapa cara. Sel-sel Limfosit T terspesialisasi yang dikenal dengan sel-sel T sistolik menyerang organisme penyerbu secara langsung. Seperti halnya antibody, sel T disentralisasi oleh antigen spesifik yang diserangnya. Ketika sel T menemukan antigen tersebut, sel T melepaskan enzim-enzim sitotoksik dan digesif, yang mampu melisiskan sel atau organisme asing. Sel-sel T juga melepaskan faktor-faktor pelepas yang menarik makrofag, meningkatkan aktivitasnya dan mempertahankan keberadaannya di daerah yang terinfeksi dimana makrofag dapat menelan organisme asing. Respons Humoral Respon humoral dikendalikan oleh sel Limfosit-B yang menghasilkan protein-protein globular yang disebut antibodi dan selanjutnya lebih dikenal dengan imonoglobulin (Ig). Antibodi tersusun atas empat rantai polipeptida ditentukan oleh gen-gen yang spesifik. Dua rantai pertama merupakan rantai berat (heavy chain) keduanya biasanya identik dan berukuran sangat panjang.

Dua rantai yang lain dikenal dengan rantai ringan (light chain) yang berukuran pendek serta identik satu sama lain dalam hal struktur. Masing-masing rantai tersebut terikat satu sama lain oleh ikatan S-S. Setiap antibody memiliki satu pasang situs pengikatan bagi antigen. Setiap situs perlekatan antigen tersebut dibentuk dari asosiasi antara rantai ringan dan rantai berat. Antibodi memiliki konfirmasi-konfirmasi unik yang dihasilkan sekuens-sekuens yang ada diujung kepala situs pengikatan antigen. Sebuah antigen (yang bersifat kompleks) mampu bereaksi dengan lebih dari satu antibody, meskipun hal ini tak umum (jarang terjadi). Disamping hal tersebut, antigen yang bereaksi dengan antibody yang menghasilkan proliferasi limfosit di awal reaksi harus berupa molekul besar. Nantinya, cukup determinan antigenic saja yang berperan dalam meneruskan respons imun. Ada lima jenis antibody (imunoglobulin) yang dimiliki oleh manusia, yaitu IgG, IgM, IgA, IgD dan IgE. Berikut penjelasannya: a. Imunoglobulin Gamma (IgG) adalah kelompok imunoglobulin pertama yang lebih sering ditemukan dan jumlah yang paling melimpah dalam sistem sirkulasi. Imunoglobulin-G mampu melewati dinding pembuluh darah dan memasuki cairan jaringan, disamping itu IgG mampu untuk menembus plasenta yang pada akhirnya akan memberikan kekebalan pasif dari ibu ke janin (bayi). IgG memberikan perlindungan terhadap invasi bakteri, virus, dan toksin yang beredar dalam darah dan limfa serta memicu kerja sistem komplemen.

b. Imunoglobulin-M (IgM) adalah antibody pertama yang ditemukan ketika terjadi serangan infeksi (paparan awal suatu antigen). Antibodi jenis ini memiliki pergiliran yang tinggi dan tidak bertahan lama dalam kadar yang tinggi. IgM terdiri dari lima monomer situs pengikatan antigen yang setiap monomer berbentuk Y dan tersusun dalam struktur pentamer. Tempat pengikatan antigen yang banyak tersebut membuatnya menjadi sangat efektif dalam mengaglutinasi atau menggumpalkan antigen dan dalam reaksi yang melibatkan komplemen. Namun, IgM terlalu besar untuk dapat menembus plasenta dan tidak memberikan kekebalan maternal. c. Imunoglobulin-A (IgA) merupakan antibody yang dihasilkan dalam bentuk dua monomer Y oleh sel-sel yang terdapat melimpah dalam membrane mukosa. Fungsi utama IgA adalah untuk mencegah pertautan virus dan bakteri kepermukaan epithelium. IgA ditemukan dalam sebagian besar sekresi tubuh, misalnya ludah, keringat, air mata, bahkan air susu. Kehadirannya dalam kolustrum membantu melindungi bayi dari infeksi saluran

gastrointestinal. d. Imunoglobulin-E (IgE) merupakan antibody berukuran sedikit lebih besar daripada molekul IgG dan hanya mewakili sebagian kecil dari total antibody dalam darah. Daerah ekor berikatan dengan reseptor pada sel mast dan basofil, ketika dipicu oleh antigen, menyebabkan sel-sel tersebut

membebaskan histamin dan bahan kimia lain yang menyebabkan alergi.

Serangan antibody terhadap antigen dapat menyebabkan teraglutinasinya antigen tersebut, atau membuat antigen menjadi tidak aktif atau rusak secara komposisi kimiawinya. Setiap antibody memiliki dua situs pengikatan antigen, maka antibody secara langsung mampu mengikat dua organisme antigenic (misalnya: bakteri). Pengikatan tersebut menyebabkan agen-agen invasif itu mengalami penurunan mobilitas dan membuat agen-agen invasif tersebut lebih rentan terhadap fagositosis (suatu proses penelanan dan pencernaan organime atau zat asing oleh leukosit). Selain menurunkan mobilitas agen-agen invasif (sel yang diserang, dalam hal ini bakteri atau protozoa), antibodi-antibodi tertentu mampu melisiskan sel-sel yang diserang tersebut atau menetralisir toksik yang dihasilkan antigen secara efektif. Ketika antibody membentuk kompleks perlekatan dengan situs antigen spesifiknya, antibody juga mengaktivasi sistem komplemen yang berupa sekelompok prekusor enzim yang jumlahnya kurang lebih 12 jenis. Prekusor tersebut ditemukan dalam plasma dan cairan-cairan tubuh lainnya. Enzim-enzim yang teraktivasi dari sistem tersebut melubangi membran sel organisme penyerbu dan pada akhirnya mengakibatkan pecahnya sel tersebut. Komplemen juga membuat permukaan sel menjadi lebih rentan terhadap fagositosis dan memberikan efek kemotaksis yang menarik neutrofil dan makrofag menuju organisme penyerbu, selain hal tersebut komplemen juga mampu mengakibatkan virus menjadi tidak virulen dengan menyerang struktur molekul dan menginduksi aglutinasi komponen proteinnya.

II. PERMASALAHAN

Virus polio adalah virus yang termasuk dalam famili Picornaviridae dan merupakan penyebab penyakit poliomielitis. Virus ini memiliki diameter ~30 nm, tahan pada keadaan asam (pH 3 atau lebih rendah), dan berbentuk ekosahedral. Virion (partikel penyusun) virus polio terdiri dari empat protein kapsid yang berbeda, disebut VP1, VP2, VP3, dan VP4. Genom (materi genetik) dari virus polio terdiri dari RNA utas tunggal positif (+) yang berukuran 7441 nukleotida. Virus polio diklasifikasikan menjadi tiga golongan berdasarkan sifat antigenik dari struktur protein penyusunnya. Virus ini menyebar melalui kontaminasi tinja pada makanan ataupun pasokan air. Untuk bereplikasi, genom virus akan masuk ke dalam sel inang melalui endositosis sementara partikel virus lainnya dibuang. Reseptor untuk pengikatan virus ini terletak pada epitelium usus manusia. Apabila virus ini telah berhasil menginfeksi usus maka dapat terjadi kerusakan jaringan dan mengakibatkan diare. Gejala klinis Masa inkubasi virus polio biasanya berkisar 3-35 hari. Gejala umum serangannya adalah pengidap mendadak lumpuh pada salah satu anggota gerak setelah demam selama 2-5 hari. Berikut fase-fase infeksi virus tersebut: * stadium akut Yaitu fase sejak adanya gejala klinis hingga 2 minggu. Ditandai dengan suhu tubuh yang meningkat. Kadang disertai sakit kepala dan muntah-muntah.

Kelumpuhan terjadi akibat kerusakan sel-sel motor neuron di bagian tulang belakang (medula spinalis) lantaran invasi virus. Kelumpuhan ini bersifat asimetris sehingga cenderung menimbulkan gangguan bentuk tubuh (deformitas) yang menetap atau bahkan menjadi lebih berat. Kelumpuhan yang terjadi sebagian besar pada tungkai kaki (78,6%), sedangkan 41,4% pada lengan. Kelumpuhan ini berlangsung bertahap sampai sekitar 2 bulan sejak awal sakit. * stadium subakut Yaitu fase 20 minggu sampai 2 bulan. Ditandai dengan menghilangnya demam dalam waktu 24 jam. Kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan. Terjadi kelumpuhan anggota gerak yang layuh dan biasanya salah satu sisi saja. * stadium konvalescent Yaitu fase pada 2 bulan sampai dengan 2 tahun. Ditandai dengan pulihnya kekuatan otot yang sebelumnya lemah. Sekitar 50-70 persen fungsi otot pulih dalam waktu 6-9 bulan setelah fase akut. Selanjutnya setelah 2 tahun diperkirakan tidak terjadi lagi pemulihan kekuatan otot. * stadium kronik Yaitu lebih dari 2 tahun. Kelumpuhan otot yang terjadi sudah bersifat permanen.

Respon imun/kekebalan alami memegang peranan penting dalam penentuan trofisme jaringan dan patogenitas virus polio. Pada tikus transgenik CD155, jaringan non syaraf yang tidak menjadi target replikasi untuk virus polio menunjukkan peningkatan aktivitas gen yang distimulasi oleh interferon dan respon interferonnya lebih cepat dibandingkan jaringan syaraf. Hal ini

menimbulkan dugaan adanya peran penting interferon dalam melindungi jaringan non syaraf tersebut. Ketika tikus transgenik CD155 tersebut di-knock out interferon alfa-beta-nya, titer virus polio di jaringan non syaraf meningkat dan terjadi peningkatan frekuensi paralisis dibandingkan dengan tikus transgenik CD155 liar. Respon sistem kekebalan humoral berperan penting dalam perlindungan dan kekebalan jangka panjang. Antibodi yang dihasilkan setelah infeksi polio virus liar, atau setelah vaksinasi dengan vaksin polio oral (OPV/oral poliovirus vaccine. Ada yang menyebutnya vaksin polio hidup) atau IPV (inactivated polio vaccine, atau ada yang menyebutnya vaksin polio mati) dapat mencegah terjadinya poliomielitis karena mencegah terjadinya viremia, sehingga mencegah infeksi pada sistem syaraf pusat. Dibandingkan IPV, infeksi virus polio liar atau vaksin polio oral akan menghasilkan produksi IgG sirkulasi yang lebih banyak dan juga sekresi IgA di usus halus. Akibatnya dosis yang dibutuhkan oleh virus polio untuk melakukan re-infeksi akan mengalami peningkatan. Selain itu, jika terjadi re-infeksi, jumlah dan durasi pengeluaran virus polio di tinja akan menurun. Jumlah dan durasi pengeluaran virus polio di tinja ini berperan besar dalam proses penyebaran virus polio. Makin banyak dan makin lama virus polio dikeluarkan via tinja oleh si penderita, maka resiko penyebarannya akan semakin besar. Selain respon sistem kekebalan humoral, sistem kekebalan seluler mungkin juga berperan besar dalam menghadapi infeksi virus polio. Secara teoritik, sel T CD4+ membantu sel B dalam respon kekebalan humoral. Sel T

sitolitik mungkin mempunyai peranan dalam proses pembersihan virus secara langsung dengan cara melisiskan sel yang terinfeksi virus. Sel T gamma atau delta dan sel NK (yang merupakan bagian dari respon kekebalan alami) mungkin berperan dalam respon kekebalan adaptif sel T.

III. PENUTUP Ada beberapa langkah upaya pencegahan penyebaran penyakit polio ini, di antaranya adalah: * Eradikasi Polio Dalam World Health Assembly tahun 1988 yang diikuti oleh sebagian besar negara di seluruh penjuru dunia dibuat kesepakatan untuk melakukan Eradikasi Polio (ERAPO) tahun 2000, artinya dunia bebas polio tahun 2000. Program ERAPO yang pertama dilakukan adalah dengan melakukan cakupan imunisasi yang menyeluruh. * PIN (Pekan Imunisasi Nasional) Selanjutnya, pemerintah mengadakan PIN pada tahun 1995, 1996 dan 1997. Imunisasi polio yang harus diberikan sesuai dengan rekomendasi WHO yaitu diberikan sejak lahir sebanyak 4 kali dengan interval 6-8 minggu. Kemudian diulang pada saat usia 1,5 tahun; 5 tahun; dan usia 15 tahun. Upaya imunisasi yang berulang ini tentu takkan menimbulkan dampak negatif. Bahkan merupakan satu-satunya program yang efisien dan efektif dalam pencegahan penyakit polio.

* Survailance Acute Flaccid Paralysis Yaitu mencari penderita yang dicurigai lumpuh layuh pada usia di bawah 15 tahun. Mereka harus diperiksa tinjanya untuk memastikan apakah karena polio atau bukan. Berbagai kasus yang diduga infeksi polio harus benar-benar diperiksa di laboratorium karena bisa saja kelumpuhan yang terjadi bukan karena polio. * Mopping Up Artinya tindakan vaksinasi massal terhadap anak usia di bawah 5 tahun di daerah ditemukannya penderita polio tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya. Tampaknya di era globalisasi dimana mobilitas penduduk antarnegara sangat tinggi dan cepat, muncul kesulitan dalam mengendalikan penyebaran virus ini. Selain pencegahan dengan vaksinasi polio tentu harus disertai dengan peningkatan sanitasi lingkungan dan sanitasi perorangan. Penggunaan jamban keluarga, air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan, serta memelihara kebersihan makanan merupakan upaya pencegahan dan mengurangi risiko penularan virus polio yang kembali mengkhawatirkan ini. Menjadi salah satu keprihatinan dunia bahwa kecacatan akibat polio menetap tak bisa disembuhkan. Penyembuhan yang bisa dilakukan sedikit sekali alias tidak ada obat untuk menyembuhkan polio. Namun, sebenarnya orang tua tak perlu panik jika bayi dan anaknya telah memperoleh vaksinasi polio lengkap.

DAFTAR PUSTAKA Dowdle W, van der Avoort H, de Gourville E, Delpeyroux F, Desphande J, Hovi T, Martin J, Pallansch, Kew O, Wolff C. 2006. Containment of poliovirus after eradication and OPV cessation: characterizing risks to improve management. Risk Analysis. 26:1449-1469. Ginanjar. 2011. Sistem Imun Pada Manusia.http://wismabioku.blogspot.com /2011/08/sistem-imun-pada-manusia.html. Surakarta. Hilmansyah. 2008. Cegah Virus Polio dengan Vaksinasi. http://anakuya.wordpress.com /2008/02/04/ cegah-virus- polio-denganvaksinasi/. Jakarta. Pallansch M and Roos R. 2007. Polioviruses, Coxsackieviruses, Echoviruses, and Newer Enteroviruses. In: Knipe, DM and Howley, PM (eds). Fields Virology, 5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai