PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur mikroba
patogen, misalnya bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasit yang dapat
menyebabkan infeksi pada manusia. Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas
enzim dan menggunakan makanan yang banyak mengandung gizi yang
diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel pejamu dan berkembang biak
intraseluler dengan menggunakan sumber energi sel pejamu. Baik mikroba
ekstraseluler maupun intraseluler dapat menginfeksi subyek lain, menimbulkan
penyakit dan kematian, tetapi banyak juga yang tidak berbahaya bahkan berguna
untuk pejamu.
Infeksi yang terjadi pada manusia normal umumnya singkat dan jarang
meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia memiliki
suatu sistem yaitu sistem imun yang melindungi tubuh terhadap unsur-unsur
patogen. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas,
melindungi tubuh dari infeksi bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasit serta
menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel yang sehat
dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Sistem imun yang sehat
adalah jika dalam tubuh bisa membedakan antara diri sendiri dan benda asing
yang masuk ke dalam tubuh. Biasanya ketika ada benda asing yang memicu
respons imun masuk ke dalam tubuh (antigen) dikenali maka terjadilah proses
pertahanan diri.
Sistem imun dapat dibagi menjadi menjadi dua yaitu sistem imun nonspesifik dan sistem imun spesifik. Mekanisme imunitas spesifik timbul atau
bekerja lebih lambat dibanding imunitas non spesifik. Pembagian sistem imun
dalam sistem imun spesifik dan non-spesifik hanya dimaksudkan untuk
mempermudah pengertian saja. Sebenarnya antara kedua sistem imun tersebut
terjadi kerja sama yang erat, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Pada
makalah ini akan dijelaskan tentang sistem imun spesifik dan sistem imun nonspesifik, pembagian serta mekanisme kerja masing-masing secara ringkas.
B. TUJUAN
Untuk mengetahui sistem imun pada tubuh, yaitu sistem imun non-spesifik
maupun sistem imun spesifik, mekanisme kerja masing-masing sistem imun serta
interaksi antar kedua sistem imun tersebut.
BAB II
SISTEM IMUN SPESIFIK DAN SISTEM IMUN
NON-SPESIFIK
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Sementara
sistem imun itu sendiri adalah sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam
resistensi terhadap infeksi. Reaksi yang dikoordinasi sistem imun tersebut
terhadap mikroba disebut respons imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk
mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang ditimbulkan berbagai bahan
dalam lingkungan hidup (Bratawidjaja dan Rengganis, 2009).
Sistem imun berdasarkan fungsinya terdiri dari 2 tipe, yaitu respon imun
alamiah atau non-spesifik (innate immunity) dan respon imun adaptif atau spesifik
(acquired immunity). Respon imun non-spesifik dan spesifik pada kenyataannya
tidak terjadi secara terpisah, tetapi terjadi dengan saling melengkapi dan
mempengaruhi satu sama lain (Darwin, 2005).
Sistem Imun
Non-spesifik
Fisik
Spesifik
Selular
Larut
Selular
Kulit
Biokimia
- Fagosit
Selaput lendir
- Lisozim
> Mononuklear
- IgG
- Th1
Silia
- Sekresisebaseus
> Polimormouklear
- IgA
- Th2
Batuk
- Asam lambung
- Sel NK
- IgM
- Th3/Ts
- Laktoferin
- Sel Mast
- IgE
- Tdth
- Asam neuraminik
- Basofil
- IgD
- CLT/Tc
- Eosinofil
Humoral
-SD
Sel B
Sitokin
Selular
Sel T
- NKT
- Th17
- Komplemen
- APP
- Mediator asal lipid
- Sitokin
tersebut berasal dari sel asal multipoten. Pada unggas sel asal tersebut akan
berdiferensiasi menjadi sel B di dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang
terletak dekat kloaka. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, maka sel tersebut
akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk
zat antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi
utama antibodi ini ialah untuk pertahanan terhadap infeksi virus, bakteri
(ekstraselular), dan dapat menetralkan toksinnya.
Sel B merupakan asal dari sel plasma yang membentuk imunoglobulin
(Ig) yang terdiri atas IgG, IgM, IgA, IgE dan IgD. IgD berfungsi sebagai opsonin,
dapat
mengaglutinasikan
kuman/virus,
menetralisir
toksin
dan
virus,
sel
di bawah pengaruh timus (Thymus), sehingga diberi nama sel T. Cabang efektor
imunitas spesifik ini dilaksanakan langsung oleh limfosit yang tersensitisasi
spesifik atau oleh produk-produk sel spesifik yang dibentuk pada interaksi antara
imunogen dengan limfosit-limfosit tersensitisasi spesifik. Produk-produk sel
spesifikasi ini ialah limfokin-limfokin termasuk penghambat migrasi (migration
inhibition factor = MIF), sitotoksin, interferon dan lain sebagainya yang menjadi
efektor molekul-molekul dari imunitas seluler (Delves and Ivan, 2000).
Sel T merupakan 65-80% dari semua limfosit dalam sirkulasi. Kebanyakan
sel T mempunyai 3 glikoprotein permukaan yang dapat diketahui dengan antibodi
monoklonal T11, T1 dan T3 (singkatan T berasal dari Ortho yang membuat
antibodi tersebut) (Delves and Ivan, 2000). Fungsi sel T umumnya ialah:
a. Membantu sel B dalam memproduksi antibodi
b. Mengenal dan menghancurkan sel yang diinfeksi virus
c. Mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
infeksius,
dimana
mikroorganisme
patogen
akan
dihancurkan
sebelum
dengan agen infeksius yang sama tidak akan menimbulkan penyakit (Darwin,
2005).
Sistem kekebalan tubuh non-spesifik menyediakan sinyal, yang bersamasama dengan proliferasi antigen spesifik dan aktivasi limfosit T dan B,
menyebabkan sinyal dari sistem imun non-spesifik meningkatkan dan memodulasi
respon imun spesifik. Sistem kekebalan tubuh non-spesifik memainkan peran
sebagai adjuvant pada aktivasi sistem kekebalan tubuh spesifik (Engelhardt,
2009).
Pertahanan Fisik/Mekanik
Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik ini, kulit, selaput lendir, silia
saluran napas, batuk dan bersin akan mencegah masuknya berbagai kuman
patogen ke dalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput
lendir yang rusak oleh asap rokok akan meninggikan risiko infeksi (Baratawidjaja
dan Rengganis, 2009).
Menurut Baratawidjaja dan Rengganis (2010), mekanisme imunitas
non-spesifik terhadap bakteri pada tingkat sawar fisik seperti kulit atau permukaan
mukosa:
a. Bakteri yang bersifat simbiotik atau komensal yang ditemukan pada kulit
menempati daerah terbatas pada kulit dan menggunakan hanya sedikit
nutrient, sehingga kolonisasi kolonisasi oleh mikroorganisme patogen sulit
terjadi.
b. Kulit merupakan sawar fisik efektif dan pertumbuhan bakteri dihambat
sehingga agen patogen yang menempel akan dihambat oleh pH rendah dari
asam laktat yang terkandung dalam sebum yang dilepas kelenjar keringat.
Gambar 2.
Pertahanan Biokimiawi
Pertahanan biokimiawi adalah seperti asam hidroklorida dalam lambung,
enzim proteolitik dalam usus, serta lisozim dalam keringat, air mata, dan air susu
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2009). Lisozim dalam keringat, ludah, air mata dan
10
air susu ibu, melindungi tubuh terhadap berbagai kuman postif-Gram oleh karena
dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan dinding bakteri. Air susu ibu juga
mengandung laktooksidase dan asam neuraminik yang mempunyai sifat
antibakterial terhafap E.koli dan stafilokokus (Baratawidjaja dan Rengganis,
2010).
3.
Pertahanan Humoral
a. Komplemen
Sistem komplemen tersusun lebih dari 20 protein plasma. Sistem
ini mempunyai fungsi antimikroba non-spesifik dan merupakan sistem
aplikasi yang efektif untuk memperkuat mekanisme pertahanan nonspesifik dan spesifik (Wahab dan Julia, 2002). Berbagai bahan seperti
antigen dan kompleks imun dapat mengaktivsi komplemen sehingga
menghasilkan berbagai mediator yang mempunyai sifat biologi yang aktif,
yang menyebabkan lisis bakteri atau sel, memproduksi mediator proinflamasi yang dapat memperkuat proses dan solubilisasi kompleks
antigen-antibodi. Komplemen memiliki 3 jalur, yaitu jalur klasik, alternatif
dan membrane attack pathway. (Darwin, 2005).
Gambar 3. Jalur aktivasi komplemen (Abbas et al., 2000 dalam
Engelhardt, 2009).
11
b. Interferon
Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi
makrofag yang diaktifkan, sel NK dan berbagai sel tubuh yang
mengandung nukleus dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus.
IFN mempunya sifat antivirus dan dapat menginduksi sel-sel sekitar sel
yang terinfeksi virus menjadi resisten terhadap virus. Di samping itu,IFN
juga adapat mengaktifkan sel NK. Sel yang diinfeksi virus atau menjadi
ganas akan menunjukkan perubahan pada permukaannya yang akan
dikenal dan dihancurkan sel NK. Dengan demikian penyebaran virus dapat
dicegah (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).
c. C-Reactive Protein
CRP merupakan salah satu protein fase akut, termasuk golongan
protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai
respons imunitas non-spesifik. CRP mengikat berbagai mikroorganisme
yang membentuk kompleks dam mengaktifkan komplemen jalur klasik.
Pengukuran CRP berguna untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP
dapat meningkat 100x atau lebih dan berperan pada imunitas non-spesifik
yang dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul antara lain
fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri/jamur dan dapat
mengaktifkan komplemen (jalur klasik). CRP juga mengikat protein C dari
pneumokok dan berupa opsonin. Peningkatan sintesis CRP akan
meningkatkam viskositas plasma sehingga laju endap darah juga akan
meningkat. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukan infeksi yang
persisten (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).
4.
Pertahanan Seluler
a. Fagosit
Sel utama yang berperan dalam pertahanan nons-pesifik adalah sel
mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear atau
granulosit. Sel-sel ini berperan sebagai sel yang menangkap antigen,
12
13
hematologik. Respon
14
arah obyek
(kemotaksis), perlekatan,
intraseluler
oleh
mekanisme
penelanan (ingestion)
mikroba-mikroba.
Banyak
15