Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA Tn. M PASIEN DENGAN


HIV (human immunodeficeincy Virus)
DIRUANG PERAWATAN IC LANTAI 3
RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

DISUSUN OLEH:
ANDI USWATUN KHASANA
NIM 12.04.003

CI INSTITUSI CI LAHAN

(……………….....………..) (…..……….....……………)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pendahuluan
Sistem imun merupakan sistem yang berfungsi untuk mencegah terjadinya
kerusakan tubuh atau timbulnya penyakit. Sistem imun yang berfungsi baik
dan mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia (Baratawidjaja,
2009). Tubuh manusia mengembangkan mekanisme yang kompleks untuk
menghadapi patogen yang memiliki kemampuan untuk masuk kedalam tubuh
dan mengganggu keseimbangan tubuh (Subowo, 1993).
Imunologi adalah suatu ilmu yang mempelajari antigen, antibodi,
dan fungsi pertahanan tubuh penjamu yang diperantarai oleh sel, terutama
berhubungan imunitas terhadap penyakit, reaksi biologis hipersensitif, alergi
dan penolakan jaringan.Sistem imun adalah system pertahanan manusia
sebagai perlindungan terhadap
infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk
virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam
perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain seperti yg terjadi
pada autoimunitas dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor.

Sistem imunitas tubuh yang optimal diperlukan untuk melindungi diri dari
invasi mikroorganisme patogen. Melalui sistem imunitas yang optimal tubuh
tidak rentan terkena invasi mikroorganisme patogen. Mikroorganisme yang
berpotensi untuk menginvasi tubuh terdapat dilingkungan kehidupan manusia
seperti protozoa, jamur virus dan bakteri.
Sistem imunitas tubuh sangat berperan dan memiliki tanggung jawab
dalam melindungi tubuh serta mempertahankan diri terhadap invasi
mikroorganisme patogen tersebut melalui mekanisme non spesifik dan
spesifik (Yusuf, 2016). Respon imun manusia sangat bergantung pada
kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul asing atau antigen yang
terdapat pada permukaan unsur patogen dan kemampuannya dalam
memberikan reaksi yang tepat untuk mengenal, menetralkan, metabolisme
dan menyingkirkan tanpa menimbulkan kerusakan pada jaringan sendiri.
Mekanisme reaksi tersebut ditentukan oleh komponen sistem imun yang
terorganisasi dalam bentuk sel-sel dan jaringan limfoid (Darwin, 2006).
Sistem imun terdiri atas dua yaitu sistem imun spesifik dan sistem imun
non spesifik. Sistem imun nonspesifik eksternal merupakan pertahanan terluar
yang berupa kulit, membran mukosa, sekresi dari kulit, dan mukosa.
Sedangkan sistem imun nonspesifik internal berupa fagositosis oleh sel darah
putih, protein antimikroba dan respon peradangan (Hamidin, 2014).
2. Anatomi dan Fisiologi HIV
1. Sistem imun Sistem pertahanan internal tubuh yang berperan dalam
mengenali dan menghancurkan bahan yang bukan “normal self” (bahan
asing atau abnormal cells)
2. Imunitas atu respon imun Kemampuan tubuh manusia untuk melawan
organisme atau toksin yang berbahaya
Ada 2 macam RI, yaitu :
 RI Spesifik : deskriminasi self dan non self, memori,
spesifisitas.
 RI non Spesifik : efektif untuk semua mikroorganisme
Sel-sel yang berperan dalam respon Imun
a. Sel B
Sel B adalah antigen spesifik yang berproliferasi untuk merespons
antigen tertentu. Sel B merupakan nama bursa fabrisius, yaitu jaringan
limfoid yang ditemukan pada ayam. Jaringan sejenis yang ada pada
mamalia yaitu sumsum tulang, jaringan limfe usus, dan limpa. Sel B
matur bermigrasi ke organ-organ limfe perifer seperti limpa, nodus
limfe, bercak Peyer pada saluran pencernaan, dan amandel. Sel B matur
membawa molekul immunoglobulin permukaan yang terikat dengan
membran selnya. Saat diaktifasi oleh antigen tertentu dan dengan
bantuan limfosit T, sel B akan derdiferensiasi melalui dua cara, yaitu :
 Sel plasma adalah: Sel ini mampu menyintesis dan mensekresi
antibodi untuk menghancurkan antigen tertentu.
 Sel memori B adalah Sel memori menetap dalam jaringan limfoid
dan siap merespons antigen perangsang yang muncul
b. Sel T
Sel T juga menunjukan spesifisitas antigen dan akan berploriferasi jika ada
antigen, tetapi sel ini tidak memproduksi antibodi. Sel T mengenali dan
berinteraksi dengan antigen melalui reseptor sel T, yaitu protein permukaan
sel yang terikat membran dan analog dengan antibodi. Sel T memproduksi
zat aktif secara imulogis yang disebut limfokin. Sub type limfosit T
berfungsi untuk membantu limfosit B merespons antigen, membunuh sel-sel
asing tertentu, dan mengatur respons imun. Respons sel T adalah :Sel T,
seperti sel B berasal dari sel batang prekusor dalam sumsum tulang. Pada
periode akhir perkembangan janin atau segeradalam pajanan selanjutnya
dengan respons imun sekunder yang lebih cepat dan lebih besar setelah lahir,
sel prekusor bermigrasi menuju kelenjar timus, tempatnya berproliferasi,
berdiferensiasi dan mendapatkan kemampuan untuk mengenali diri. Setelah
mengalami diferensiasi dan maturasi, sel T bermigrasi menuju organ limfoid
seperti limpa atau nodus limfe. Sel ini dikhususkan untuk melawan sel yang
mengandung organisme intraselular.
a. Sel T efektor :
 Sel T sitotoksik (sel T pembunuh) Mengenali dan menghancurkan sel yang
memperlihatkan antigen asing pada permukaannya
 Sel T pembantu Tidak berperan langsung dalam pembunuhan sel. Setelah
aktivasi oleh makrofag antigen, sel T pembantu diperlukan untuk sistesis antibodi
normal, untuk pngenalan benda asing sel T pembantu melepas interleukin-2 yang
menginduksi proliferasi sel T sitotoksik, menolong sel T lain untuk merespons
antigen dan sel T pembantu dpt memproduksi zat (limfokin) yang penting dalam
reaksi alergi (hipersensitivitas).
b. Sel T supresor Setelah diaktifasi
sel T pembantu akan menekan respon sel B dan sel T.
c. Makrofag
Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui denaturasi atau
mencerna sebagian antigen untuk menghasilkan fragmen yang 10
mengandung determinan antigenic. Makrofag akan meletakkan fragmen
antigen pada permukaan selnya sehingga terpapar untuk limfosit T tertentu.
3. Definisi/pengertian
Infeksi human immunodeficeincy Virus (HIV) dan Acquireed
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan salah satu penyakit
mematikan didunia yang menjadi wabah internasional sejak pertama
kehadirannya (Arriza , Dewi, Dkk, 2011). Penyakit ini disebabkasn oleh virus
Human Immunodefiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan
tubuh ( Kemenkes, 2015).
AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan atau
kerusakan daya tahan tubuh yang diakibat oleh faktor luar (bukan dibawa
sejak lahir) dan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari
kelainan ringan dalam respon imun tanpa dan gejala yang nyata hingga
keadaaan imunosupresi dan berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat
membawa kematian (Padila, 2012).
Penyakit HIV dan AIDS menyebabkan penderita mengalami
penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai
macam penyakit lain (Kemenkes, 2015). Meskipun ada kemajuan dalam
pengobatannya, namun infeksi HIV dan AIDS masih merupakan masalah
kesehatan yang penting (Smeltzer dan Bare 2015).
4. Klasifikasi
a. Fase 1
Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah terpapar dan
terinfeksi. Tetapi ciri – ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan tes
darah. Pada fase ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja
terlihat/mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan
sembuh sendiri).
b. Fase 2
Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini individu
sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat
menularkan pada orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan,
seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).
c. Fase 3 Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut gejala AIDS.
Gejala – gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu
malam, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang
tidak sembuh – sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah,
serta berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh
mulai berkurang.
d. Fase 4
Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan tubuh
sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Timbul penyakit tertentu yang
disebut dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru – paru yang
menyebabkan radang paru – paru dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya
sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi usus yang menyebabkan
diare parah berminggu – minggu, dan infeksi otak yang menyebabkan
kekacauan mental dan sakit kepala (Hasdianah & Dewi, 2014).
e. Etiologi
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) diesbabkan oleh
Human immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang
termnasuk dalam keluarga lentivirus (termasuk pula virus imunodefisiensi
pada kucing, virus pada imunodefisiensi pada kera, virus visna virus pada
domba, virus anemia infeksiosa pada kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda
secara genetik, tetapi berhubungan secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2
yang telah berhasil diisolasi dari pendrita AIDS. Sebagian retrovirus, viron
HIV-1 berbentuk sferis dan mengandung inti berbentuk bkerucut yang padat
elektron dan dikelilingi selubung lipid yang berasal dari membran sel
penjamu. Inti virus tersebut mengandung kapsid utama protein p24,
nukleukapsid protein p7 atau p9, dua sirina genom, dan ketiga enzim virus
(protease, reserve, ytranscriptase dan integrase). Selain ketiga gen retrovirus
yang baku ini HIV ini mengandung beberapa gen lain (diberi nama misalnya
tat, rev, nef, vpr dan vpu) yang mengatur sintesi serta perakitan partikel virus
yang ineksius. (Robbins dkk, 2011).
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui enam
cara penularan, yaitu :
a. Hubungan seksual dengan penderita HIV AIDS
Hubungan seksual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV
tanpa perlindungan bisa menu;arkan HIV. Selama hubungan seksual
berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah yang dapat mengenai
selaput lendir, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat
dalam cairan tersebut masauk kedalam aliran darah (Nursalam 2007).
Selama berhubungan bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur,
dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk asuk kedalam aliran darah
pasangan seksual.
b. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan CDC Amerika, prevelensi dari ibu ke bayi 0,01% sampai
dengan 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV belum ada gejala AIDS,
kemungkinan bayi terinfeksi 20% sampai 30%, sedangkan gejala AIDS
sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50% (PELKESI , 1995
ddalam Nursalam 2007). Penularan juga terjadi selama proses persalinan
melalui transfusi fetomaternal atatu kontak kulit atau membran mukosa
bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. ( Lili V 2004
dalam Nursalam 2007). Transmisi lain terjadi selama periode post partum
melalui ASI dari Ibu yang positif sekitar 10%.
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menular HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh
darah dan menyebar keseluruh tubuh.
d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak streril
Alat pemeriksaan kandungan sperti spekulum, tenakulum, dan alat- alat
lainnya yang menyentuh dara, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi
HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV
bisa menularkan HIV.
e. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan oleh parah pengguna narkoba (Injekting
Drug User - IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarum
suntik para pengguna IDU secara bersam- sama menggunakan tempat
penyampur, pengaduk dan gelsa pengoplos obat, sehingga berpotensi
tinggi menularkan HIV.
HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu
tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigtan nyamuk, dan
hubungan sosial yang lainnya.

f. Patofisiologi
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS
sejalan dengan dengan penurunan imunitas pasien. Penularan HIV paling
efisien melalui darah, HIV juga dapat ditularkan ditularkan melalui ASI (Air
Susu Ibu) dan sekresi vagina atau serviks. Virus ini matang melalui bentuk
hampir bulat. Selubung luar atau kapsul viral terdiri dari lemak lapis ganda
yang mengandung banyak duri atau tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari
dua glikoprotein: gll20 dan gp41. Gp210 merupakan selubung permukaan
ekstrnal duri dan gp41 merupakan bagian trasmembran.
Terdapat suatu protein matriks yang disebut p17 yang mengelilingi
segmen bagian dalam membrane virus. Bagian inti di kelilingi oleh protein
kapsid yang disebut p24. Di dalam kapsid terdapat dua untai RNA identic dan
molekul pneformed reverse trascriptase, integrase dan protease yang sudah
berbentuk. Materi genetic HIV berada dalam bentuk RNA. Reverse
trascriptase adalah enzim yang mentraskripsikan RNA virus menjadi DNA
setelah virus masuk ke sel sasaran.
HIV mengidentifikasi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran
yang memiliki molekul respon membrane CD4. Sasaran yang disukai oleh
HIV adalah limfusit T penolong positif-CD4 atau sel T4 (limfosit CD4+). Sel
sel lain yang rentan terhadap HIV mencangkup minosit danmakrofag. HIV
bersifat politrofit dan dapat mengidentifikasi beragam sel manusia infeksi
monosit dan makrofag berlangsung secara persisten dan tidak mengakibatkan
kematian sel yang bermakna tetapi sel-sel ini menjadi serservoir bagi HIV
sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari system imundan terangkat ke
seluruh tubuh. Ketika system imun terstimulasi, replikasi virus akan terjadi
dan virus tersebut menyebar ke dalam plasma darah yang mengakibatkan
infeksi berikutnya pada sel-sel CD4+ yang lain (Smeltzer, 2014).
Menurut Robbins, Dkk (2011) perjalanan HIV paling baik dipahami
dengan menggunakan kaidah saling mempengaruhi antara HIV dan sistem
imun. Ada tiga tahap yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi
antara virus dan penjamu. (1) fase akut pada tahap awal; (2) fase kronis pada
tahap menengah; dan (3) fase kritis pada tahap akhir.
Fase akut menggambarkan respon awal seseorang deawas yang
imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yanmg khas
merupakan penyakit yang sembuh sendiri yang terjadi pada 50% hingga 70%
dari orang dewasa selama 3-6 minggu setelah infeksi; fase ini ditandai dengan
gejalah nonspesifik yaitu nyeri tenggorokan, nilagioa, demam, ruam, dan
kadang-kadang meningitis aseptik. Fase ini juga ditandai dengan prooduksi
virus dalam jumlah besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan
limfoid perifer, yang secara khas disertai dengtan berkurangnya sel T CD4+
kembali mendekati jumlah normal. Namun segera setelah hali itu terjadi, akan
muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui
serokonversi ( biasanya dalam rentang waktu 3 hingg 17 minggu setelah
pejanan) dan munculnya sel T sitoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus.
Setelah viremia meredah, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal.
Namun berkurangnya virus dalam plasma bukan merupakan penanda
berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berkanjut didalam magkrofak dan
sel T CD4+ jaringan.
Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukan tahap penahanan
relatif virus. Pada fase ini, sebagaian besar sistem imun masih utuh, tetapi
replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun. Pada pasien tiudak
menunjukan gejala ataupn limfadenopati persisten, dsan banyak penderita
yang mengalami infeksi oportunistik ”ringan” seperti sariawan (candida) atau
herpes zoster selama fase ini replikasi virus dalam jaringan limfoid terus
berlanjut. Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan sel
CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi imun besar, sel
CD4+ akan tergantikan dengan juumlah yang besar. Oleh karena itu penuruna
sel CD4+ dalam darah perifer hanyalah hal yang sederhana. Setelah melewati
periode yang panjang dan beragam, pertahanan mulai berkkurang, jumlah
CD4+ mulai menurun, dan jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV
semakin meningkat. Linfadenopati persisten yang disertai dengan
kemunculan gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah
lelah) mencerminkan onset adanya deokompesasi sistem imun, peningkatan
replikasi virus, dan onset fase “kritis”.
Tahap akhir, fase kritis , ditandai dengan kehancuran pertahanna
penjamu yang sangat merugikan viremia yang nyata, srerta penyakit kinis.
Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari satu bulan, mudah
lelah, penurunan berat badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah
500 sel/µ L. Setelah adanya interval yang berubah- ubah, para pasien
mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder, dan atau
manifestasi neurologis (disebut kondisi yang menentukan AIDS), dan pasien
yang bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS yang sesungguhnya.
Bahkan jikakondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman
CDC yanng digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang teerinfeksi HIV
dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sma dengan 200/µ L sebagai pengidap
AIDS.
PATHWAY

Transmisi HIV kedalam tubuh melalui darah,


cairan vagina/sperma/ASI/cairan tubuh yang terenfeksi

Pasien terenfeksi HIV

Firus menybar didalam darah atau jaringan mukosa

Menginfeksi sel yang mempunyai molekul CO4

Masuk kedalam sel target dan mereplikasi diri

Sel yang teinfeksi mengalami apoptosis/mati

Imunitas tubuh menurun

Tubuh rentang terhadap infeksi

Infeksi pada system pencernaaan

Infeksi jamur

Asam lambung naik

Mual dan muntah

Peradangan pada mulut

BB menurungp penurunan massa


otot dan energi
DEVISIT NUTRISI
Ekstrimitas bawah perubahan status
Tidak mampu menopan Kesehatan
tubuh bagian atas

INTOLERANSI KELETIHAN
AKTIVITAS
g. Tanda dan gejala
Merati (dalam Abiodin, 2015) menyatakan gejala AIDS dibagi
menjadi dua kelompok yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor
(tidak umum terjadi) antara lain:
Gejala mayor
1. Berat badan menurut lebih dari 10 % dalam 1 bulan
2. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
4. Penururnan kesadaran dan gangguan neurologis
5. Tuberculosis (TBC)
Gejala minor
1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2. Dermatis generalisata
3. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster bertulang
4. Kandidiasis orofaringeal
5. Herpes simpleks kronis progresif
6. Limfadenopati generalisata
7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.

h. Pemeriksaan Penunjang
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV dibagi
dalam dua kelompok yaitu :
1. Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan
digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau
enzyme linked immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat
(rapid test).
a. Uji Western blot atau indirect immunofluorescence assay (IFA)
digunakan untuk memperkuat hasil reaktif dari test krining Uji yang
menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan
persentase CD4+ dan CD8+
b. T-limfosit absolute
Uji ini sekarang tidak digunakan untuk diagnose HIV tetapi
digunakan untuk evaluasi.
c. Deteksi antibodi HIV
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi
HIV. ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan
sampel darah yang sama, dan hasilnya dikonfirmasikan dengan
Western Blot atau IFA (Indirect Immunofluorescence Assays).
Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes konfirmasi
lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela
(window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji
virologi pada tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi
pada orang-orang yang terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan
antibodi melawan HIV-1 (yaitu, dalam 6 (enam) minggu pertama dari
infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik dan gejala dari sindrom
retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada individu yang
telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan transfer
maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu
yang terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif ELISA pada
seorang anak usia kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi melalui uji
virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1.
d. Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi
terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel,
imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA
tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan
semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot
atau IFA.
e. Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi
rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot
menemukan keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1
spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot dilakukan hanya
sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid
tes). Hasil negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif
ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien
tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif
menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia
lebih dari 18 bulan.
f. Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)
Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih
sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig
dilabel dengan penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada
antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide menunjukkan
fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang
menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.
g. Penurunan sistem imun
Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit,
sebagian besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan
CD4 telah terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan
penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap selama
perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu
rata-rata 100 sel/tahun.
2. Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test
untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1
dan test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus
(antigen p24)). Kultur HIV HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi,
titer virus lebih tinggi dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS.
Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji cairan supernatan biakan
setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptase virus atau untuk
antigen spesifik virus. NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test)
Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk
diagnosis pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena asam nuklet virus
mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam sampel.
Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR, menggunakan
metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV-1. Level RNA HIV
merupakan petanda prediktif penting dari progresi penyakit dan menjadi
alat bantu yang bernilai untuk memantau efektivitas terapi antivirus.
a. Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24
atau dalam keadaan bebas dalam aliran darah individu yang terinfeksi
HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding
teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif.
Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang
digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi anti-p24
(Read, 2007).

i. Penatalaksanaan
Menurut Brunner dan Suddarth (2013) upaya penanganan medis meliputi
beberapa cara pendekatan yang mencakup penanganan infeksi yang
berhubungan dengan HIV serta malignasi, penghentian replikasi virus HIV
lewat preparat antivirus, dan penguatan serta pemulihan sistem imun
melaluui penggunaan preparat immunomodulator. Perawatan suportif
merupakan tindakan yang penting karena efek infeksi HIV dan penyakit
AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum pasien; efek tersebut
mencakup malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan dan imobilisasi dan
perubahan status mental. Penatalaksanaan HIV AIDS sebagai berikut :
1) Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan infeksi HIV.
Infeksi umum trimetroprime-sulfametosoksazol, yang disebut pula TMP-
SMZ (bactrim, septra), merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi
berbagai mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV
kepada psien-pasien dengan gastrointestinal yang normal tidak
memberikan keuntungan apapun. Penderita AIDS yang diobati dengan
TMP- SMZ dapat mengalami efek yang merugikan dengan insidenm
tinggi yang tidak lazim terjadi, sepeerti demam, ruam, leukopenia,
trombositopenia dengan gangguan fungsi renal.
a. Pentamidin, suatu obat anti protozoa , digunakan sebagai preparat
alternatif untuk melawan PCP. Jika terjadi efek yang merugikan atau
jika pasien tidak memperlihatkan perbaikan klinis ketika diobati
dengan TMP-SMZ, petugas kesehatan dapat meromendasikan
pentamidin.
b. Meningitis, terapi untuk meningitis kriptokokus adalah amfoteisin B
IV dengan atau tanpa flusitosin atau flukonazol (diflukcan). Keadaan
pasien harus dipantau untuk mendeteksi efek yanga potensial
merugikan dan seirus dari amfoterisin B yang mencakup reaksi
anafiklasik, gangguan renal serta hepar,gangguan kesiembangan
eletrolit, anemia, panas danb menggigil.
c. Retinitis sitomegalovirus, retinitis yang disebabkan oleh
sitomegalovirus (CMV; cyto megalovirus) merupak penyebab utama
kebutaan pada penderita penyakit AIDS.
d. Froskarmet (foscavir), yaitu preparat lain yang digunakan mengobati
retinitis CMV, disuntikan secara IV setiap 8 jam sekali selam 2
hingga 3 minggu. Reaksi merugikan yang lazim pada pemberiam
foskarnet adalah nefrotoksisitas yang mencakup gagal ginjal akut dan
gangguan keseimbangan elektrolit yang mencakup hipokalasemia,
hiperfosvatemia, serta hipomagnesemia. Semua keadaan ini dapat
memabawa kematian. Efek merugikan lainnya yang lazim dijumpai
adalah serangan kejang-kejang gangguan gastrointerstinal, anemia,
flebitis, pada tempat infus dan nyeri punggung bawah.
2) Penatalaksanaan diare kronik
Terapi dengan okterotid asetat (sandostain), yaitu suatu analog sisntesis
somatostatin, ternyata efektif untuk mengattasi diare yang berat dan
kronik. Konsentraasi reseptor somaytosin yang tinggi ditemukan dalam
traktus gastrointestinal maupun jaringan lainnya. Somatosytain akan
mengahambat banayk fungsi fisiologis yang mencakup motalisis
gastrointerstinal dan sekresi – interstinal air serta elekltrolit.
3) Penalaksanaan sindrom pelisutan
Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencakup penanganan penyebab yang
mendasari infeksi oportunistik sistematis maupun gastrointerstinal.
Mallnutirisi sendriri akan memperbersar resiko infeksi dan dapat pula
meningkatkan insiden infeksi oportunistik. Terapi nutrisi dapat dilakukan
mulai dari diet oral dan pemberian makan lewat sonde (terapi nutriasi
enternal) hingga dukungan nutrisi parenteral jika diperlukan.
4) Penanganan keganasan
Penalaksanaan sarkoma kaposi biasanya sulit karena beragamnya gejala
dan sistem organ yang terkena. Tujuan terapinya adalah untuk mengurangi
gejala dengan memperkecil ukuran lesi pada kulit, mengurangi gangguan
rasa nyaman yang berkaitan dengan edma serta ulserasi, dan
mengendalikan gejala yang berhubungan dengan lesi mukosa serta organ
viseral. Hingga saat ini, kemoterapi yang paling efektif tampaknya berupa
ABV (adriamisin, bleomisin, dan vinkristin)
5) Terapi antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat yang sudah disetujui oleh FDA untuk
pengobatan HIV, keempat preparat tersebut adalah;
zidovudin,dideoksinosin, dideoksisitidin dan stavudin. Semua obat ini
menghambat kerja enzim reserve trancriptase virus dan mencegah virus
reproduksi HIV dengan cara meniru salah satu substansi molekuler yang
dugunakan virus tersebut untuk membangun DNA bagi partikel-partikel
virus baru. Dengan mengubah komponen struktural rantaii DNA, produksi
virus yang baru akan dihambat.

6) Inhibitor protase
Inhibitor protase merupakan obat yang menghanbat kerja enzim protase,
yaitu enzim yang digunakan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion
yang menular. Inhibisi protase HIV-1 akan menghasilkan partikel virus
noninfeksius dengan penurunan aktivitas enzim reserve transcriptase.
7) Perawatan Pendukung
Pasien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurun
sebagai akibat dari sakit kronik yang berkaitan dengan HIV memerlukan
banyak macam perawatan suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan
tindakan sederhana seperti membantu pasien dalam mendapatkan atau
mempersiapkan makanan. Untuk pasien dengan gangguan nutrisi yang
lanjut karena penurunn asupan makanan, sindrom perlisutan, atau
malabsorbsi saluran cerna yang berkaitan dengan diare, mungkin
diperlukan dalam pemberian makan lewat pembuluh darah seperti nutrisi
parenteral total. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadi
akibat mual, vomitus dan diare kerap kali memrlukan terapi pengganti
yang berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi pada kulit yang berkaitan
dengan sarkoma caposi, ekskoriasi kulit periana dan imobilisasi ditangani
dengan perawatan kulit yang seksama dan rajin; Perawatan ini mencakup
tindakan mengembalikan tubuh pasien secara teratur, membersihkan dan
mengoleskan salab obat serta menutup lesi dengan kasah steril.
8) Terapi nutrisi
Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan
pasien HIV AIDS untuk mempertahankan kekuatan,nebingkatkan fungsi
sistim imun, meningkatkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi
dan menjaga orang yang hidup dengan infeksi HIV AIDS tetap aktif dan
produktif. Defisiensi vitamin dan mineral bisa dijumpai pada orang dengan
HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak stadium dini walaupun pada
ODHA mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, defisiensi terjadi
karena HIV menyebabka hilangnya nafsu makan dan gangguan absorbsi
zat gizi. Untuk mengatasi masalh nutrisi pada pasien HIV AIDS, mereka
harus diberi makanan tinggi kalori, tinggi protein, kaya vitamin dan
mineral serta cukup air.
9) Manfaat konseling dan VCT pada pasien HIV
Menurut Nursalam (2011) kionseling HIV/AIDS merupakan dialog antara
seseorang (klien) dengan pelayanan kesehatan (konselor )yang bersifat
rahasia, sehingga memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan
atau mengadaptasi diri denga stres dan sanggup membuat keputusan
bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS. Konseling HIV berbeda dengan
konseling lainnya, walaupun keterampilan dasar yang dibutuhkan adalah
sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik karena :
a. Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular seksual
(IMS) dan HIV/ AIDS Membutuhkan menganai praktik seks yang
bersifat pribadi
b. Membutuhkan pembahasan tentang kematian atau proses kematian
c. Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan dan
pendapat dan nilai yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai
yang dianut oleh konselor itu sendiri
d. Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV positif
e. Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasnagan
maupun anggota keluarga klien

Menurut nursalam (2011) tujuan konseling HIV yaitu :

a. Mencegah penularan HIV dengan cara mengubah perilaku. Untuk


merubah perilaku ODHA (orang dengan HIV/AIDS) tidak hanya
membutuhkan informaasi belaka, tetapi jauh lebih pentung adalah
pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka,
misalnya dala m perilaku seks aman, tidak berganti-ganti jarum
suntik, dan lain-lain.
b. Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis,
psikologis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini konseling bertujuan
memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu hidup secara
positif.
c. Voluntary conseling tetsting atau VCT adalah suatu pembinaan dua
arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dengan
kliennya bertujuan mencegah penularan HIV, memberikan dukungan
moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga,
dan lingkungannya (Nursalam, 2011).
d. Tujuan VCT yaitu sebagai upaya pencegahan HIV
AIDS, upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan presepsi/
pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang
terinfeksi HIV, dan upaya pengembangan perubahan perilaku,
sehingga secara dini mengarahkan menuju ke program pelayanan dan
dukunga termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu
mengurangi stikma dalam masyarakat (Nursalam, 2011).

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit HIV AIDS merupakan
tantangan yang besar bagi perawat karena setiap sistem organ berpotensi
untuk menjadi sasran infeksi ataupun kanker. Disamping itu, penyakit ini
akan dipersulit oleh komplikasi masalah emosional, sosial dan etika. Rencana
keperawatan bagi penderita AIDS harus disusun secara individual untuk
memenuhi kebutuhan masing-masing pasien (Brunner dan suddarth, 2013).

Pengkajian pada pasien HIV AIDS meliputi:

a. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR.

b. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori
ditemui keluahn utama sesak nafas. Keluahn utama lainnya dirtemui pada
pasien penyakit HIV AIDS, yaitu demam yang berkepanjangan (lebih
dari 3 bulan), diare kronis lebih dari 1 bulan berulang maupun terus
menerus, penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis lebih dari 1
bulan, infeksi mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur candida
albikans,pembekakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh, munculnya
herpes zooster berulang dan bercak-0bercak gatal diesluruh tubuh.
c. Riwayat kesehatan sekarang.
Dapat ditemukan keluhan yang baisanuya disampaikan pasien HIV AIDS
adalah: pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien
yang memiliki manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyreri dada, dan
demam, pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat
badan drastis.

d. Riwayat kesehatan dahulu


Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya
riwayat penggunaan narkoba suntik, hubungan seks bebas atau
berhubungan seks dengan penderita HIV/AIDS terkena cairan tubuh
penderita HIV/AIDS.

e. Riwayat kesehatan keluarga


Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang
menderita penyakit HIV/ AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua
yang terinfeksi HIV. Pengakajian lebih lanjut juga dilakukan pada
riwayat pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja ditempat hiburan
malam, bekerja sebagai PSK (pekerja seks komersial).

f. Pola aktifitas sehari-hari (ADL) meliputi :


1) Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat.
Biasanya pada pasien HIV/ AIDS akan mengalami perubahan atau
gangguan pada personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti
pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien
kesulitan melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya cenderung
dibantu oleh keluarga atau perawat.

2) Pola nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV / AIDS mengalami penurunan nafsu makan,
mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami
penurunan berat badan yang cukup drastis dalam jangka waktu singkat
(terkadang lebih dari 10% BB).

3) Pola eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, feses encer, disertai mucus berdarah

4) Pola istirahat dan tidur


Biasanya pasien dengan HIV/ AIDS pola istrirahat dan tidur mengalami
gangguan karena adanya gejala seperti demam daan keringat pada malam
hari yang berulang. Selain itu juga didukung oleh perasaan cemas dan
depresi terhadap penyakit.

5) Pola aktifitas dan latihan


Biasanya pada pasien HIV/ AIDS aktifitas dan latihan mengalami
perubahan. Ada beberapa orang tidak dapat melakukan aktifitasnya
seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka menarik diri dari lingkungan
masyarakat maupun lingkungan kerja, karena depresi terkait penyakitnya
ataupun karena kondisi tubuh yang lemah.

6) Pola prespsi dan kosep diri


Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan mara, cemas,
depresi dan stres.
7) Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan dan
gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya
ingat, kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal. Gangguan
kognitif lain yang terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.

8) Pola hubungan peran


Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang
dapat mengganggu hubungan interpesonal yaitu pasien merasa malu atau
harga diri rendah.

9) Pola penanggulangan stres


Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas, gelisa
dan depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu perawtan,
perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak berdaya karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa
marah, marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain-lain, dapat
menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping
yang konstruktif dan adaptif.

10) Pola reproduksi skesual


Pada pasien HIV AIDS pola reproduksi seksualitasnya terganggu karean
penyebab utama penularan penyakit adalah melalui hubungan seksual.

11) Pola tata nilai dan kepercayaan


Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awalnya akan
berubah, karena mereka menganggap hal yang menimpa mereka sebagai
balasan perbuatan mereka. Adanya status perubahan kesehatan dan
penurunan fungsi tubuh mempengaruhi nilai kepercayaan pasien dalam
kehidupan mereka dan agama merupakan hal penting dalam hidup
pasien.

g. Pemeriksaan fisik
1) Gambaran umum : ditemukan pasien tampak lemah
Kesadaran : composmentis kooperatif, sampai terjadi penurunan tingkat
kesadaran, apatis, somnolen, stupor bahkan koma.

2) Vital sign : TD; biasanya ditemukan dalam batas normal, nadi; terkadang
ditemukan frekuensi nadi meningkat, pernapasan : biasanya ditemukn
frekuensi pernapasan meningkat, suhu; suhu biasanya ditemukan
meningkat krena demam, BB ; biasanya mengalami penurunan(bahkan
hingga 10% BB), TB; Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi
badan tetap).
3) Kepala : biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis
seboreika
4) Mata : biasnay konjungtifa anemis , sce;era tidak ikterik, pupil
isokor,refleks pupil terganggu
5) Hidung : biasanya ditemukan adanya pernapasan cuping hidung
6) Leher: kaku kuduk (penyebab kelainan neurologic karena infeksi jamur
criptococus neofarmns)
7) Gigi dan mulut : biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak- bercak
putih seperti krim yang menunjukan kandidiasis
8) Jantung: Biasanya tidak ditemukan kelainan
9) Paru-paru : Biasanya terdapat nyeri dada pada pasien AIDS yang disertai
dengan TB napas pendek (cusmaul)
10) Abdomen : Biasanya bising usus yang hiperaktif
11) Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda- tanda
lesi (lesi sarkoma kaposi)
12) Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus oto menurun, akral
dingin

2. Diagnosa Keperawatan
1) Defisit Nutrisi
2) Keletihan
3) Devisit ansietas
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosi Intervensi Rasional
Defisit Nutrisi Manajemen nutrisi Manajemen nutrisi
Observasi Terapeutik
1. Identifikasi status
Untuk mengetahui
nutrisi terjadinya penurunan
2. Identifikasi alergi dan berat badan pada pasien
intoleransi makanan Edukasi

3. Identifikasi makanan Menentukan status gizi


yang disukai pasien dan kemampuan
pasien untuk memenuhi
4. Identifikasi kebutuhan kebutuhan gizi
kalori dan jenis Menentukan jumlah
nutrient kalori dan jenis nutrisi
yang dibutuhkan untuk
5. Identifikasi perlunya memenuhi persyaratan
gizi
penggunaan selang
nasogastrik Melakukan atau
membantu pasien agar
6. Monitor asupan terkait dengan perawatan
makanan mulut sebelum makan

Kolaborasi
Terapeutik
Menginstrusikan
mengenai kebutuhan
1) Lakukan oral hygiene
nutrisi
sebelum makan, jika
Mengajurkan pasien
perlu
terkait dengan kebutuhan
2) Fasilitasi menentukan makanan
pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
3) Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
4) Berikan makan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
5) Berikan suplemen
makanan , jika perlu

Edukasi
1) Ajarkan diet yang
diprogramkan

Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
(mis. Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
2) Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu

Keletihan Manajemen energi Manajemen energi

Observasi
1) Identifikasi gangguan 1. Untuk mengetahu
fungsi tubuh yang gangguan fungsi
mengakibatkan kelelahan tubuh yang di
2) Monitor kelelahan fisik alami pasien
dan emosional akibat kelelahan
Terapeutik Terapeutik
1) Lakukan latihan rentang 1. Untuk
gerak pasif dan/atau aktif memberikan rasa
2) Berikan aktivitas distraksi nyaman bagi
yang menenangkan pasien
Edukasi 2. Untuk
1) Anjurkan tirah baring mengahlikan rasa
2) Anjurkan melakukan ketidaknyamanan
aktivitas secara bertahap yang dialami
Kolaborasi pasien
1) Kolaborasi dengan ahli Edukasi
gizi tentang cara 1. Untuk
meningkatkan asupan memberikan
makanan kenyaman pasien
saat istirahat
Kolaborasi
1. Kolaborasi
dengan ahli gizi
supaya pasien
tahu makanan
yang sehat
Diare Observasi Observasi
1) Identifikasi penyebab 1. Untuk
diare mengetahui
2) Identifikasi riwayat penyebab
pemebrian makanan terjadinya diare
3) Identifikasi gejala 2. Penurunan
invaginasi volume cairan dan
4) Monitor warna, elektrolit
volume, frekuensi dan menyebabkan
konsistensi tinja dehidrasi jaringan
5) Monitor tanda dan Terapeutik
gejala hypovolemia 1. Untuk
6) Monitor iritasi dan mengetahui pola
ulserasi kulit didaerah makan kesukaan
perianal pasien
7) Monitor jumlah Edukasi
pengeluaran diare 1. Asupan makan
8) Monitor keamanan yang baik dapat
penyiapan makanan memenuhi
Terapeutik kebutuhan tubuh
1) Berikan asupan cairan
oral Kolaborasi
2) Pasang jalur intravena 1. Menentukan
3) Berikan cairan intravena pemberian obat
4) Ambil sample darah secara cepat
untuk pemeriksaan
darah lengkap dan
elektrolit
Ambil sampel feses
untuk kultur, jika perlu
Edukasi
1) Anjurkan makanan
porsi kecil dan sering
secara bertahap
2) Anjurkan menghindari
makanan pembentuk
gas, pedas dan
mengandung laktosa
3) Anjurkan melanjutkan
pemberian ASI
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian
obat antimotilitas
2) Kolaborasi pemberian
obat
antispasmodic/spasmoli
tik
3) Kolaborasi pemebrian
obat pengeras feses
Ansietas Reduksi ansietas Reduksi ansietas

Observasi Observasi

1. Identifikasi saat 2. Untuk mengetahui


tingkat ansietas perubahan pada
berubah misalnya tingkat ansietas
kondisi, waktu,
klien
stressor
2. Monitor tanda tanda Terapeutik
ansietas 1. Untuk dapat
Terapeutik menumbuhkan

3. Ciptakan sesuana kepercayaan klien


terapeutik untuk pada perawat
menumbuhkan 2. Untuk dapat
kepercayaan
mengetahui situasi
4. Temani pasien untuk
mengurangi yang menyebabkan
kecemasan ansietas
5. Dengarkan dengan
penuh keperhatian 3. Untuk dapat
Edukasi mengetahui keluhan
dari klien
6. Anjurkan keluarga
untuk tetap Bersama 4. Untuk dapat
pasien memberikan
7. Anjurkan
kepercayaan pada
mengungkapkan
perasaan dan persepsi klien
5. Untuk dapat
Kolaborasi :
mengetahui situasi
apa saja yang
1. kolaborasi pemberian
menyebabkan atau
obat
memicu ansietas
Edukasi
6. Untuk dapat
memberitahukan
kepada klien
mengenai diagnosos
dan pengobatannya
7. Agar perawat dapat
mengetahui
perasaan klien
8. Kolaborasi
1. Untuk dapat
meringankan
gejala yang
diderita klien

4. Implementasi
Implementasi merupakan langkah keempat dari proses keperawatan yang
telah direncanakan oleh perawat untuk dikerjakan dalam rangka membantu
klien untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan dampak atau respons
yang ditimbulkan oleh masalah keperawatan dan kesehatan.(Zaidin Ali,2014).
Implementasi keperawatan adalah kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan (Gordon, 1994, dalam Potter & Perry, 2011).
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan proses kontinu yang terjadi saat perawat
melakukan kontak dengan pasien. Setelah melakukan intervensi,
kumpulan data subjektif dan objektif dari klien, keluarga. Selain itu tinjau
ulang pengetahuan tentang status terbari dari kondisi, terapi, sumber daya,
pemulihan dan hasil yang diharapkan. Jika hasil telah terpenuhi,
bandingkan perilaku dan respon klien sebelum dan setelah dilakukan
asuhan keperawatan (Perry & Potter, 2009)
DAFTAR PUSTAKA
Abiodun, O. A, Bola, A. O, Olorunfemi, O, Adeola, O. A, Bamidele F.O, &
Ibiyemi, F, 2010. Relation ship between Depression and Quality of Life in
Persons with HIV Infection in Nigeria. http://baywood.metapress.com.
Diakses pada tanggal 15 Juli 2015

Ditjen P2P Kementrian Kesehatan RI, (2016). Laporan Perkembangan HIV AIDS
triwulan 1 Tahun 2016. Jakarta.

Jakarta:Sekretaris Jenderal Kumar,Cotran,Robbins.(2011). Buku Ajar Patologi


Jakarta: EGC

Kementrian Kesehatan RI. (2015).Profil Kesehatan Indonesia


2014.

Nurasalam. (2011). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV AIDS,


Jakarta : Salemba Medika

Nursalam dan Kurniawati,Ninuk Dian. 2011. Asuhan Keperawatan Pada Pasien


Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI). Jakarta


PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Jakarta
PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SLKI). Jakarta

Smeltzerth dan Bare (2013) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol.3.
jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai