Anda di halaman 1dari 13

Perlunya Peningkatan Sistem Imun pada

Pandemi COVID-19

DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD ARIF FADHILLAH

SMAN 3 DUMAI
BIOLOGI
TAHUN AJARAN 2020/2021
Farmasi UGM – Awal tahun 2020 dunia digegerkan dengan berita
mewabahnya penyakit yang disebut corona virus disease 19 (COVID-19) yang
mulai merebak di Wuhan, Cina. Tidak disangka, dalam waktu 4 bulan wabah
yang disebabkan oleh virus SARS-CoV2 ini sudah menjangkau seluruh dunia
(213 negara, area, atau teritori), termasuk Indonesia (data per April 2020).Di
seluruh dunia penyakit ini sudah menginfeksi sekitar hampir 2 juta orang
dengan kematian mencapai lebih dari 100 ribu kasus. Bila dilihat, kematian
akibat  lebih banyak terjadi pada pasien lanjut usia. Selain itu, keparahan
COVID-19 juga lebih banyak dijumpai pada individu-individu yang sedang atau
pernah memiliki riwayat penyakit diabetes, jantung dan penyakit kronis
lainnya.Yang menarik, tidak semua pasien COVID-19 menunjukkan gejala,
atau hanya menunjukkan gejala yang ringan saja. Hal ini diduga akibat
perbedaan kekuatan sistem imun tubuh, dimana pada usia dewasa muda,
sistem imun lebih kuat daripada pasien usia lanjut.

Penyakit akibat virus memang pada umumnya merupakan ‘self-limiting


disease’ yang mengandalkan kekuatan pertahanan tubuh. Karena itu telah
banyak dikampanyekan untuk meningkatkan daya tahan tubuh untuk
mencegah tertularnya infeksi virus, dan kalaupun tertular, tubuh akan kuat
melawannya. Seperti apa sebenarnya sistem pertahanan tubuh manusia itu
dan bagaimana ia bekerja?. Kajian ini akan membahas bagaimana sistem
imun/pertahanan tubuh kita bekerja pada kondisi normal dan kondisi terserang
virus, faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imun, serta makanan, minuman
atau obat-obatan yang dapat digunakan untuk meningkatkannya.

Pengertian sistem imun dan respon imun terhadap infeksi virus

1. Apakah sistem imun itu?

Sistem imun adalah sistem daya tahan tubuh terhadap serangan substansi


asing yang terpapar ke tubuh kita. Substansi asing tersebut bisa berasal dari
luar maupun dalam tubuh sendiri.Contoh subtansi asing yang berasal dari luar
tubuh (eksogen) misalnya bakteri, virus, parasit, jamur, debu, dan serbuk
sari.Sedangkan substansi asing dari dalam tubuh dapat berupa sel-sel mati
atau sel-sel yang berubah bentuk dan fungsinya.Substansi-substansi asing
tersebut disebut imunogen atau antigen (2).

Apabila imunogen terpapar ke tubuh kita, maka tubuh kita akan meresponnya
dengan membentuk respon imun dari sistem imun. Sistem imun secara
harfiah merupakan sistem pertahanan diri yang menguntungkan, tetapi dalam
kondisi tertentu dapat menimbulkan keadaan yang merugikan.

Respon imun terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase respon imun alami (innate


imunity) dan fase respon imun adaptif (adaptive immunity). Respon imun
alami akan terjadi pada awal terpaparnya imunogen ke tubuh kita. Apabila
sistem imun alami ini bisa mempertahankan tubuh dari serangan imunogen,
maka kita tidak akan menderita sakit (fase pertama). Sebaliknya, apabila
sistem imun alami tidak bisa mempertahankan terhadap serangan imunogen,
maka kita akan sakit/terinfeksi (fase kedua).
Sel-sel tubuh yang bertugas dalam sistem imun (sel-sel sistem imun) adalah
kelompok sel-sel darah putih (leukosit). Dalam menjalankan tugasnya sel-sel 
leukosit ini terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama berperan dalam
sistem imun alami, antara lain sel makrofag, sel neutrofil, sel eosinofil, dan sel
dendritik; yang disebut sel APC (antigen presenting cells). Sel-sel APC
merupakan sel yang bertugas mengenali dan mengolah imunogen, yang
nantinya akan diserahkan ke sel-sel yang berperan dalam respon imun adaptif.
Selain sel APC, ada sel NK (natural killer) yang berperan dalam respon imun
alami.Kelompok sel kedua merupakan sel-sel yang berperan dalam respon
imun adaptif, yaitu sel limfosit B (yang menghasilkan antibodi)
dan sel limfosit T yang berperan menghasilkan sitokin. Sitokin ini akan
mengaktifkan sel-sel yang berperan dalam sistem imun untuk lebih aktif dalam
mempertahankan tubuh terhadap serangan mikroba yang sifat infektifnya
tinggi, seperti bakteri gram negatif, bakteri gram positif, dan virus[2].

2. Bagaimana respon imun terhadap infeksi virus?

Ketika virus menginfeksi seseorang (inang), artinya virus tersebut menyerang


sel-sel pada tubuh inang sehingga virus tersebut bertahan ‘hidup’ dan
memperbanyak diri (bereplikasi) di dalam sel inang[3]. Secara umum, ada 3
mekanisme respon imun untuk mengeliminasi infeksi virus, yang akan
dijabarkan sebagai berikut.

 Melalui antibodi. Sebelum masuk menginfeksi ke dalam sel inang, virus dapat


disingkirkan oleh antibodi. Antibodi adalah suatu protein yang secara spesifik
mengenali antigen, termasuk virus, dan akan berikatan dengannya. Ikatan
antibodi dengan virus akan membasmi virus dengan cara: (a)
antibodi menetralisasi virus sehingga virus tidak lagi bisa menginfeksi sel
inang; (b) beberapa antibodi dapat bekerja sekaligus bersamaan sehingga
partikel virus berlekatan menjadi agregat (proses ini disebut aglutinasi) dan
menjadi target yang jauh lebih mudah dikenali oleh sel-sel dalam sistem imun;
(c) kompleks antibodi-virus akan berikatan pada reseptor permukaan sel
sehinga mengaktivasi proses fagositosis, yaitu proses “penelanan” dan
perusakan virus oleh sel fagosit (misalnya makrofag); dan (d)
mengaktivasi sistem komplemen, yang pada akhirnya akan mengopsonisasi
dan memfagositosis virus (3).
 Mekanisme sitotoksik. Jika virus sudah masuk mengineksi ke dalam sel
inang, sel-sel sistem imun tidak dapat “melihat” atau mendeteksi keberadaan
virus tersebut sehingga tubuh tidak tahu jika sel inang telah terinfeksi. Untuk
mengatasi hal tersebut, sistem imun memiliki suatu metode yang mampu
memperlihatkan apa yang ada di dalam suatu sel dengan menggunakan suatu
molekul protein yang dinamakan MHC kelas I (class I major histocompatibility
complex). MHC kelas I ini bertugas mempresentasikan potongan protein
(peptide) hasil produksi virus di dalam sel ke permukaan sel.Salah satu jenis
sel limfosit T, yaitu sel T sitotoksik, mampu mengenali MHC pada sel yang
telah terinfeksi virus. Proses interaksi sel T dengan MHC ini akan memicu sel T
memproduksi senyawa yang akan membunuh sel yang terinfeksi virus
tersebut[3].Namun demikian, virus memiliki kemampuan beradaptasi yang
sangat tinggi, sehingga akhirnya juga dapat meloloskan diri dari deteksi oleh
sel T, misalnya dengan cara menekan molekul MHC. Di sisi lain, sistem imun
juga memiliki sel NK yang dapat mendeteksi sel yang memiliki jumlah molekul
MHC jauh lebih sedikit dari ‘normal’. Sel NK ini juga akan mentarget sel
tersebut yang terinfeksi virus tersebut dengan cara yang mirip dengan sel T
sitotoksik[3].
 Melalui interferon. Selain dengan mekanisme sitotoksik, sel inang yang
terinfeksi virus tersebut akan memproduksi dan melepaskan molekul protein
yang disebut Interferon menghambat replikasi virus di dalam sel inang. Selain
itu, interferon juga berperan sebagai molekul sinyal yang akan
“memperingatkan” sel-sel sehat di sekitar sel yang terinfeksi akan keberadaan
virus. Sel-sel di sekitar sel yang terinfeksi ini akan “bersiaga” dengan
meningkatkan jumlah MHC kelas I pada permukaannya, sehingga dapat
diidentifikasi oleh sel T yang akan mentarget sel tersebut yang terinfeksi virus
tersebut dengan cara yang mirip dengan sel T sitotoksik[3].

Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imun

1. Lingkungan lebih dominan dibandingkan genetik

Fungsi tubuh secara umum dapat dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu


informasi genetik yang diturunkan dari kedua orang tua dan faktor
lingkungan.Beberapa aktivitas sistem imun dipengaruhi oleh faktor
genetik.Termasuk didalamnya adalah aktivitas pertama untuk eliminasi bakteri,
jamur, dan virus.Komponen sistem imun yang dipengaruhi oleh keturunan ini
bertanggung jawab terhadap pengenalan pertama yang terjadi segera saat
bakteri, virus, atau jamur masuk ke dalam tubuh.Faktor kedua yang dapat
mempengaruhi fungsi tubuh, termasuk fungsi pertahanan sistem imun adalah
faktor lingkungan.Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa faktor
lingkungan berperan sangat penting dalam perkembangan komponen sistem
imun, terutama komponen yang bertanggung jawab terhadap pertahan tubuh
dalam jangka yang panjang. Orang kembar yang memiliki komponen tubuh
yang seharusnya bekerja identik pun akan memiliki kemampuan pertahanan
tubuh yang berbeda bila lokasi tinggalnya berbeda. Komponen sistem imun
yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan ini bereaksi lebih lambat dalam
menghadapi mikroba, bakteri, jamur, virus.Tetapi kemampuannya dalam
mengeliminasi lebih spesifik, dan lebih bertahan lama (4).

2. Makanan

Makanan sehari-hari merupakan komponen yang paling utama yang


membentuk diri kita.Hal ini tidak terkecuali untuk sistem imun tubuh.Sistem
imun sangat dipengaruhi oleh makanan. Makanan yang kaya akan lemak dan
gula atau biasa disebut western diet/makanan barat (seperti pada makanan
cepat saji) cenderung menyebabkan stress pada sistem imun kita, sehingga
mudah mengalami kerusakan dan menginisiasi penyakit. Makanan jenis ini
akan meningkatkan produksi protein-protein yang menyebabkan kondisi stres
tubuh.  Pola makanan barat akan menyebabkan kita rentan terhadap penyakit
degeneratif/metabolik seperti jantung, kolesterol, dan diabetes. Banyak
makanan yang baik dikonsumsi sehari-hari, untuk meningkatkan atau
setidaknya menjaga agar kondisi tubuh kita tetap baik seperti yoghurt, acar
(produk fermentasi), dan makanan kaya serat. (5)

3. Usia
Usia sangat berpengaruh pada kemapuan sistem imun. Seperti sel-sel lain,
pada umumnya sel-sel imun juga berada pada aktivitas puncaknya saat
individu sudah dewasa.  Setelah itu semakin tua usia sel-sel ini akan menurun
aktivitasnya, termasuk dalam memproduksi protein yang berfungsi untuk
melawan infeksi virus, yaitu interferon. Fungsi organ tubuh kita juga mulai
menurun dengan meningkatnya usia.

4. Kondisi kesehatan

Orang yang memiliki penyakit lebih rentan terhadap serangan infeksi


virus.Tidak semua penyakit yang meningkatkan kemungkinan individu untuk
terinfeksi virus.Penyakit kronis (yang sudah diderita lama) seperti diabetes,
hipertensi, jantung, atau kolesterol dan radang hati dapat meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi. Kondisi stress (pikiran) juga cenderung
meningkatkan kemungkinan individu untuk terkena penyakit infeksi.

5. Konsumsi obat-obatan

Terdapat beberapa golongan obat-obatan yang diketahui dapat menurunkan


kemampuan sistem imun kita untuk mempertahankan diri, salah satunya
golongan kortikosteroid serperti kortison, hidrokortison.Penggunaan obat-obat
ini terutama dalam jangka waktu yang lama sangat mungkin menurunkan
kekebalan tubuh kita.

Hal lain yang perlu diketahui adalah bakteri, virus akan menyebabkan infeksi
bila bakteri dan virus tersebut melakukan kontak tubuh, misalnya melalui kulit,
mata, saluran pencernaan maupun saluran kemih. Bila kulit dalam kondisi baik
bakteri maupun virus akan sulit masuk, tetapi bila ada luka terbuka kan lebih
mudah untuk masuk dan menginfeksi. Penggunaan masker untuk menutup
saluran nafas (mulut dan hidung) akan membantu mencegah infeksi virus yang
datang melalui udara.

Bagaimana cara meningkatkan sistem imun?

Sistem imun dapat ditingkatkan atau ditekan, salah satunya dengan


pemberian imunomodulator.Imunomodulator adalah senyawa yang mampu
berinteraksi dengan sistem imun sehingga dapat menaikkan
(imunostimulator) atau menekan (imunosupresan) respon imun. Pengaruh
senyawa tertentu untuk menaikkan maupun menekan respon imun dapat
tergantung pada, antara lain dosis atau waktu pemberian (6)

Pada kondisi tertentu, misalnya penerima organ transplantasi dibutuhkan


imunosupresan, misalnya steroid dan siklosporin, untuk menekan sistem
imunnya agar tidak terjadi reaksi penolakan pada organ tersebut.Sebaliknya,
pada keadaan dengan risiko tinggi terjadinya infeksi seperti pandemic Covid-
19 ini, diperlukan imunostimulan untuk meningkatkan kemampuan tubuh
menangkal infeksi virus.Pada dewasa ini banyak senyawa-senyawa baik
vitamin maupun herbal dari alam yang tersedia secara komersial diklaim
memiliki efek imunostimulan.Contoh-contoh senyawa yang dapat digunakan
sebagai imunostimulan dibahas di bawah ini.
Macam-macam bahan/senyawa untuk meningkatkan system imun

2. Vitamin C

Studi pada pasien sehat, pemberian vitamin C memperbaiki beberapa


komponen dari parameter imunitas manusia, seperti aktivitas antimikroba dan
sel NK dan perbanyakan sel limfosit (7). Vitamin C membantu sel-sel imun
untuk berpindah menuju tempat infeksi untuk membunuh mikroba. Pada saat
yang sama vitamin C juga menjaga jaringan inang dari kerusakan yang
berlebihan akibat meningkatnya matinya sel-sel imun neutrofil dan aktivitas
makrofag. Jadi, vitamin C diperlukan untuk meningkatkan system kekebalan
tubuh dan mempertahankan respon yang memadai terhadap patogen serta
menghindari kerusakan yang berlebihan pada inang .

Dosis vitamin C per hari yang direkomendasikan untuk dewasa yaitu 75-90 mg
dan pada perokok ditambah 35 mg. Pada dosis yang cukup, suplemen viamin
C dapat dikatakan aman. Namun, terdapat beberapa efek samping yang
mungkin muncul, seperti mual, muntah, insomnia, dan sakit kepala.Pada
beberapa orang juga ditemukan bahwa vitamin C dapat menyebabkan batu
ginjal.Penggunaan dalam jangka panjang dengan dosis 2 gram/hari dapat
meningkatkan efek samping.

3. Vitamin D

Vitamin D berperan dalam mengatur perbanyakan sel T, mengontrol proses


dan fungsi sel limfosit. Singkatnya, vitamin D mendukung aktivasi imunitas
antibakteri dan antivirus. Pada kasus kekurangan vitamin D, kadar sitokin pro
peradangan meningkat dan mengurangi efektivitas respon imun terhadap
infeksi secara signifikan (9).

Dosis yang direkomendasikan untuk vitamin D per hari adalah 15 mcg (600 IU)
pada kelompok umur 18-70 tahun dan untuk >71 tahun adalah 20 mcg (800
IU).Dosis terbesar yang dapat dikonsumsi adalah 100 mcg (4000 IU) per
hari.Beberapa efek samping yang mungkin muncul pada penggunaan vitamin
D adalah batuk, kesulitan menelan, dan pusing.

4. Vitamin E

Vitamin E bersifat sebagai antioksidan yang mampu menetralkan molekul yang


tidak stabil yang dapat merusak sel. Vitamin E dapat melindungi vitamin A dan
beberapa lipid dari kerusakan.Vitamin E dapat meningkatkan pembentukan sel
linfosit T naif dan mengawali sinyal aktivasi sel T, serta memodulasi
keseimbangan Th1/Th2 (10). Menurut penelitian Hussain et al. (2019), kadar
immunoglobulin (IgG dan IgM) dan sel T (CD4+ dan CD8+) pada pasien yang
menerima vitamin E meningkat secara signifikan dibandingkan dengan pasien
yang menerima regimen anti-tuberkulosis dan meningkatkan imunitas pasien
tuberkulosis (11).

Dosis vitamin E yang direkomendasikan adalah 15 mg/hari (22 IU dari vitamin


E alami atau 33 IU dari vitamin E sintesis). Dosis tertinggi yang dapat
dikonsumsi per hari adalah 1000 mg (1500 IU dari vitamin E alami atau 2200
IU dari vitamin E sintesis). Efek samping penggunaan vitamin E dengan dosis
>400 IU/hari jangka panjang adalah diare, pusing, sakit kepala, mual, dan
kram perut.

5. Zinc

Zinc membantu banyak enzim, protein, dan membentuk sel baru. Zinc juga
melepaskan vitamin A dari penyimpanan di hati. Bila diminum dengan
antioksidan, zinc dapat menghambat progresi degenerasi karena penuaan.
Zinc diperlukan sebagai ion katalitik, strukrural, dan pengatur untuk enzim,
protein, dan faktor transkripsi. Oleh karena itu, zinc merupakan elemen yang
utama dalam beberapa mekanisme homeostatis tubuh, termasuk respon imun
(12). Zinc juga dapat menginduksi perlekatan sel myelomonositik ke
endothelium. Defisiensi zinc tidak hanya mempengaruhi rekruitmen neutrofil,
tetapi juga menurunkan kemotaksis dari neutrofil. Dalam kondisi ini juga dapat
mengganggu aktivitas sel NK serta fagositosis makrofag dan neutrofil (13).

Dosis zinc yang direkomendasikan adalah 8-11 mg/hari dengan dosis tertinggi
yang dapat ditoleransi sebesar 40 mg/hari. Pada dosis besar, zinc sulfat dapat
menyebabkan diare, kram perut, dan muntah setalah 3-10 jam dari pemakaian.
Gejala akan hilang setelah pengehentian konsumsi.

6. Selenium

Selenium bersifat sebagai antioksidan yang mampu menteralkan molekul yang


tidak stabil yang dapat merusak sel. Selenium juga dapat meregulasi aktivitas
hormon tiroid. Sebagai selenoprotein, selenium dibutuhkan untuk membantu
fungsi neutrofil, makrofag, sel NK, sel limfosit T, dan mekanisme imun yang
lain. Asupan selenium yang meningkat dapat dikaitkan dengan pengurangan
risiko kanker dan dapat meringkankan kondisi patologis yang lain, termasuk
stres oksidatif dan peradangan (12). Kekurangan selenium menyebabkan
meningkatnya peradangan yang mungkin disebabkan oleh kenaikan stres
oksidatif.

Dosis selenium per hari yang direkomendasikan adalah 55 mcg dengan batas
tertinggi yaitu 400 mcg.Gejala efek samping pada overdosis selenium adalah
diare, bau mulut dan keringat seperti bawang putih, kerontokan rambut, mual,
dan muntah.

7. Herbal Echinacea

Secara tradisional, tumbuhan genus Echinacea sudah digunakan masyarakat


Amerika Utara jauh sebelum sampai ke Eropa dan benua lain. Tumbuhan ini
secara tradisional digunakan untuk pengobatan dan pencegahan terhadap
berbagai penyakit, termasuk infeksi saluran pernapasan, flu, bronchitis, sakit
gigi, radang tenggorokan, infeksi virus herpes, dan beberapa gangguan kulit
(kulit gatal-gatal, luka, digigit serangga, alergi dan infeksi lain). Yang paling
banyak digunakan adalah Echinacea purpurea.Bahan yang digunakan untuk
pengobatan tradisional maupun studi ilmiah berupa “jus perasan” berair atau
ekstrak etanol dari bagian diatas tanah tanaman kering atau akarnya
(14).Produk yang mengandung ekstrak Echinacea ini juga ada di Indonesia
dengan klaim peningkat sistem imun (imunostimulan).
Banyak hasil uji praklinik yang menunjukkan bahwa Echinacea memiliki
aktivitas immunostimulan pada level praklinik.Namun hasil uji
klinik Echinacea sebagai imunostimulan masih menunjukkan hasil yang
beragam.Beberapa uji klinik menunjukkan efektivitas ekstrak EP pada pasien
dewasa dengan gejala pilek akibat influenza (15).

Memang ada variabilitas dalah hasil uji klinik Echinacea. Adanya perbedaan


hasil uji dapat dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah karena
perbedaan metode preparasi produk, dan perbedaan sumber
tumbuhan Echinacea yang digunakan sebagai bahan baku produk. Untuk itu
penggunaan produk suplemen atau obat yang berbasis Echinacea perlu
melihat efikasi hasil uji klinik produk.Kandungan kimia aktif
dalam Echinacea yang diduga memiliki aktivitas imunostimulan diataranya
adalah senyawa polisakarida seperti frauktan, senyawa alkilamin dan senyawa
fenolik seperti asam kafeat dan asam khorikat (16). Kandungan senyawa-
senyawa tersebut dan juga senyawa-senyawa lain bisa berbeda antar produk
akibat perbedaan metode pembuatan ekstrak dan perbedaan bahan baku. Hal
inilah yang menyulitkan interpretasi klinik menjadi semakin sulit (14).

Ada banyak mekanisme imunostimulan yang diaktivasi dengan


pemberian Echinacea.Salah satu yang berkaitan dengan penyakit Covid-19
adalah kemampuan menurunkan sitokin IL-6.IL-6 merupakan salah satu sitokin
yang merugikan dalam patogenisitas infeksi virus SARS-Cov-2. Walaupun
efeknya spesifik pada infeksi virus tersebut belum jelas, namun dari penelitian-
penelitian sebelumnya secara umum Echinacea mampu menekan ekspresi IL-
6 dalam beberapa model Penelitian (17). Walaupun ada juga penelitian yang
menunjukkan Echinacea menginduksi IL-6 (18), namun penelitian yang
menunjukkan Echinacea menurunkan level IL-6 jauh lebih dominan.Hal ini
menunjukkan potensi Echinacea dalam mencegah infeksi SARS-Cov-
2.Efektivitas tersebut perlu dipastikan dengan uji klinik pada kasus Covid-19.

8. Propolis

Propolis merupakan produk dari lebah madu yang sering disebut sebagai lem
lebah karena digunakan oleh lebah dalam pembuatan sarang.Propolis
merupakan kombinasi lilin lebah dan air liur yang merupakan sistem pertahan
yang dibangun oleh lebah.Hingga saat ini, propolis telah banyak diteliti
manfaatnya untuk kesehatan, salah satunya untuk meningkatkan kekebalan
tubuh (immunostimulan) (19).Banyak senyawa bioaktif yang berhasil
diidentifikasi dari propolis.Umumnya, senyawa yang ada dalam propolis berupa
senyawa asam fenolik, flavonoid, terpenoid, lignan, senyawa aromatic, asam
amino, asam lemak, vitamin dan mineral.Namun diantara banyak senyawa
tersebut, penelitian tentang aktivitas biologis dari propolis lebih mengarah
kepada kandungan senyawa flavonoid dan fenolik yang cukup tinggi
(20).Senyawa flavonoid dan fenolik yang umumnya ada dalam propolis berupa
krisin, galangin, pinostrobin, pinobanksin, dan pinocembrin (kandungan utama)
(21).  Kandungan utama senyawa dalam propolis sangat bervariasi karena
dipengaruhi faktor asal sarang lebah, lokasi, dan musim.Propolis yang bersal
dari daerah yang berbeda memiliki kandungan kimia yang berbeda yang
salahsatunya terlihat dari warnanya yang berbeda antara satu dengan yang
lain (hijau, merah atau coklat).Variasi inilah yang menyebabkan sulitnya
mengekstrapolasikan klaim manfaat kesehatan dari propolis (22).

Berkaitan dengan potensi propolis dalam mencegah infeksi SARS-Cov-2,


maka propolis memiliki beberapa aktivitas yang relavan. Pertama, adalah
aktivitas imunostimulan.Aktivitas imunostimulan dari propolis sudah banyak
diteliti dan dipublikasikan (23) di banyak jurnal.Aktivasi sistem imun oleh
propolis diharapkan mampu melindungi seseorang dari infeksi virus atau
meningkatkan sistem kekebalan tubuh seseorang sehingga tidak mudah sakit
atau menderita keparahan ketika infeksi datang. Kedua, propolis juga memiliki
aktivitas antivirus dengan mencegah replikasi beberapa virus, termasuk virus
tipe korona seperti virus influenza (24).Bahkan propolis memiliki aktivitas
virusidal dengan merusak “amplop” virus HSV dan VSV (25).Ketiga aktivitas
propolis sebagai agen antiiflamasi.Walaupun ada penelitian yang menunjukkan
bahwa propolis ada kecenderungan meningkatkan ekspresi mediator inflamasi
IL-6 (26), namun mayoritas hasil penelitian menunjukkan bahwa propolis
memiliki efek antiinflamasi dengan menurunkan ekspresi sitokin IL-6 dan
sitokin proinflamasi yang lain (27).IL-6 merupakan sitokin yang terlibat dalam
badai sitokin pada infeksi SARS-Cov-2, sehingga hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa propolis memiliki potensi untuk digunakan dalam
pencegahan infeksi SARS-Covid-2.  Selain itu, uji klinik dari propolis yang
dikombinasikan dengan Echinacea dan vitamin C mampu mempercepat
kesembuhan pada anak-anak yang mengalami infeksi saluran pernapasan
(28).Namun demikian, efektivitasnya sebagai immunostimulan masih perlu
dibuktikan pada uji klinik dengan pasien Covid-19.

9. Empon-empon (Kurkumin)

Indonesia kaya akan tumbuhan obat, terutama empon-empon (tumbuhan


keluarga Zingiberaceae) yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan
kekebalan tubuh. Beberapa empon-empon yang paling umum digunakan
dalam pengobatan tradisional di Indonesia dan mudah untuk diperoleh yaitu
Kunyit, Temulawak, dan Jahe.Kunyit (Curcuma longa) dan Temulawak
(Curcuma zanthorrhiza) merupakan contoh empon-empon yang sudah banyak
diteliti sebagai imunostimulan. Secara empiris, kunyit dan temulawak sudah
digunakan dalam pengobatan tradisional untuk berbagai penyakit baik di
Indonesia maupun di negara lain. Kandungan kimia utama kedua tanaman
tersebut adalah kurkuminoid (kurkumin sebagai senyawa mayor) yang juga
merupakan salah satu senyawa yang paling banyak diteliti di dunia.

Beberapa data praklinis dan klinis menunjukkan efektivitas kurkumin dalam


pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit termasuk kanker,
kardiovaskular, inflamasi, metabolisme, neurologis, dan penyakit kulit (29).
Kemampuan imunomodulator dari kurkumin timbul dari interaksinya dengan
berbagai mekanisme yang terlibat dalam modulasi sistem imun, bukan hanya
komponen seluler (seperti sel dendritik, makrofag, dan limfosit B maupun T),
tetapi juga komponen molekuler yang terlibat dalam proses inflamasi, seperti
sitokin dan berbagai faktor transkripsi (30). Hal ini menunjukkan besarnya
potensi kurkumin sebagai immunostimulan.Namun, yang paling menonjol dan
paling banyak dipelajari dari kurkumin adalah profil aktivitas antiinflamasinya
(31).Efektivitas kurkumin sebagai agen antiinflamasi sudah banyak dilakukan
hingga uji klinik pada manusia (32).Salahsatu mediator inflamasi penting dalam
Covid-19 adalah IL-6.Kurkumin merupakan senyawa yang mampu
menghambat ekspresi IL-6 (33), sehingga menjadikan kurkumin sebagai agen
yang perlu dipertimbangkan dalam modulasi sitokin proinflamasi dalam Covid-
19 dimana terjadi badai sitokin proinflamasi di alveoli.Kurkumin juga mampu
menghambat infeksi virus influenza secara in vitro (34).Walaupun belum ada
uji klinik efek kurkumin pada kassus Covid-19, namun penggunaan tradisional
(kunyit dan temulawak) dan banyaknya hasil penelitian sebelumnya yang
menunjukkan aktivitas imunomodulator dan mediator sitokin proinflamasi dari
kurkumin, menjadikan kurkumin sebagai suplemen atau adjuvant untuk
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi Covid-19.  Salahsatu hal
penting yang perlu diperhatikan dalam penggunaan kurkumin pada manusia
adalah ketersediaan hayatinya yang rendah, sehingga perlu studi penyesuaian
dosis untuk mencapai dosis yang tepat (32).

10. Meniran

Meniran (Phyllantus niruri) merupakan tanaman yang banyak tumbuh di


Indonesia dan sudah lama dimanfaatkan dalam pongobatan tradisional di
Indonesia (Jamu), maupun di negara lain, seperti India (Ayurveda).Secara
empiris, meniran digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk membantu
pengobatan penyakit hati (hepatoprotektor), sedangkan di Malaysia digunakan
untuk pengobatan diare, penyakit ginjal, dan batuk.Tanaman ini banyak
tumbuh liar di kebun, pekarangan, ladang, dan hutan, umumnya ditempat yang
relatif lembab.Kandungan kimia meniran adalah korilagin, geraniin, asam galat,
filantin, hipofilantin, asam elagat, filtetralin, niranthin, katekin, kuersetin,
astragalin, dan asam sebulagat.Adapun kandungan senyawa utamanya adalah
filantin (35). Di Indonesia, ada beberapa produk yang menggunakan meniran
sebagai bahan baku obat tradisional dengan klaim imunostimulan.

Beberapa penelitian menunjukkan efek imunostimulan dari meniran baik


spesifik maupun non spesifik (36). Selain meningkatkan respon imun humoral
dan seluler, ekstrak dan senyawa filantin dalam meniran mampu menghambat
migrasi leukosit yang penting untuk meredakan proses inflamasi (37). Efikasi
meniran sebagai imunostimulan juga sudah dibuktikan pada uji klinis dalam
konteks penyakit hepatitis B kronis, TBC paru-paru, vaginitis, dan juga pada
cacar air (38). Bagaimanapun efikasi dan mekanisme terkait efek
immunostimulan dari meniran masih memerlukan penelitian lebih lanjut,
terutama pada level klinik dalam konteks Covid-19.

Senyawa utama dalam meniran (Filantin dan hipofilantin) mampu menurunkan


ekspresi beberapa sitokin pro-inflamasi, seperti IL-6, IL-1β, dan IL-4, serta
faktor transkripsi inflamasi seperti TNF-α.Hal ini menunjang pengembangan
meniran sebagai agen imunostimulan sekaligus antiinflamasi yang berpotensi
untuk dikembangkan sebagai agen adjuvant dalam terapi Covid-19 (39). Selain
aktivitas immunostimulan dan antiinflamasi, Meniran juga memiliki aktivitas
antivirus pada virus hepatitis B (HBV), hepatitis C (HCV), HIV, dan virus
Herpes simplex (HSV) (40).

Rekomendasi

1. Virus Covid-19 dapat menginfeksi siapa saja, tanpa memandang usia, jenis
kelamin, status sosial, ataupun status kesehatan.
2. Karena penyakit akibat virus biasanya merupakan “self limiting disease”, maka
daya tahan tubuh menjadi sangat penting untuk menangkal virus dan
mencegah perburukan gejala penyakit
3. Daya tahan tubuh dapat dipengaruhi oleh faktor makanan, lingkungan, dan
dapat ditingkatkan dengan makanan yang bergizi dan mengandung vitamin
dan mineral, utamanya adalah Vitamin C, D, E, zinc dan selenium.
4. Beberapa bahan alam memiliki potensi untuk meningkatkan sistim imun,
walaupun uji-uji yang menjadi dasarnya sebagian besar berupa uji preklinik.
Sediaan herbal yang berpotensi dapat meningkatkan system imun antara lain
adalah Echinaceae, Phylantus niruri (meniran), madu/propolis, dan empon-
empon yang mengandung curcumin.
5. Dari kajian terhadap aktivitasnya, tidak terdapat hal-hal yang membahayakan
pemakaiannya untuk menghadapi Covid-19. Respon seseorang mungkin
bervariasi terhadap sediaan herbal ini, sehingga jika dirasakan manfaatnya,
maka dapat diteruskan penggunaannya.

Daftar Pustaka:

1. [online] (https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-
2019), diakses 11 April 2020.
2. Abbas, A. et al., 2018, Cellular and molecular immunology, 9 , Saunders
th

Elsevier.
3. Laing, K., Immune responses to viruses, Bitesized Immunology. British
Society for Immunology, [online] (https://www.immunology.org/public-
information/bitesized-immunology/pathogens-and-disease/immune-
responses-viruses), diakses 10 April 2020.
4. Science, 2016, 352(6285): 535-853)
5. Sasmito, E., 2017, Imunomodulator Bahan Alami, Penerbit Andi.
6. Sasmito, E., Sahid, M.N.A., dan Ikawati, M. (editor), 2020, Buku Petunjuk
Praktikum Imunologi Farmasi, Fakultas Farmasi UGM.
7. Anonim, 2017, Vitamin C, https://www.mayoclinic.org/drugs-supplements-
vitamin-c/art-20363932, diakses pada 13 April 2020.
8. Carr, A.C., Maggini, S., 2017, Vitamin C and Immune Function, Nutrients,
9, 1211.
9. Iruretagoyena, M., Hirigoyen, D., Naves, R., Burgos, P.I., 2015, Immune
Response Modulation by Vitamin D: Role in Systemic Lupus
Erythematosus, Frontiers in Immunology, 6, 513.
10. Lee, G.Y., Han, S.N., 2018, The Role of Vitamin E in Immunity, Nutrients,
10, 1614.
11. Hussain, M.I., Ahmed, W., Nasir, M., Mushtaq M.H., Sheikh, A.A.,
Shaheen, A.Y., Mahmood, A., 2019, Immune boosting role of vitamin E
against pulmonary tuberculosis, Pak J Pharm Sci, 32(1 supplementary),
269-276.
12. Ferenčík, M., Ebringer, L., 2003, Modulatory effect of selenium and zinc on
the immune system, Folia Microbiologica, 48, 417.
13. Rink, L., Gabriel, P., 2000, Zinc and the immune system, Proceedings of the
Nutrition Society, 59, 541-552.
14. Hudson, J. B. (2012). Applications of the phytomedicine Echinacea
purpurea (Purple Coneflower) in infectious diseases. J Biomed Biotechnol,
2012, 769896.
15. Manayi, A., Vazirian, M., & Saeidnia, S. (2015). Echinacea purpurea:
Pharmacology, phytochemistry and analysis methods. Pharmacognosy
Reviews, 9(17), 63-72.
16. Dobrange, E., Peshev, D., Loedolff, B., & Van den Ende, W. (2019).
Fructans as Immunomodulatory and Antiviral Agents: The Case of
Echinacea. Biomolecules, 9(10).
17. Park, S., Lee, M. S., Jung, S., Lee, S., Kwon, O., Kreuter, M. H., . . . Kim,
Y. (2018). Echinacea purpurea Protects Against Restraint Stress-Induced
Immunosuppression in BALB/c Mice. J Med Food, 21(3), 261-268.
18. Burger, R. A., Torres, A. R., Warren, R. P., Caldwell, V. D., & Hughes, B.
G. (1997). Echinacea-induced cytokine production by human
macrophages. International Journal of Immunopharmacology, 19(7), 371-
379.
19. Braakhuis, A. (2019). Evidence on the Health Benefits of Supplemental
Propolis. Nutrients, 11(11), 2705
20. Moreno, M. I., Isla, M. I., Sampietro, A. R., & Vattuone, M. A. (2000).
Comparison of the free radical-scavenging activity of propolis from several
regions of Argentina. J Ethnopharmacol, 71(1-2), 109-114.
21. Markham, K. R., Mitchell, K. A., Wilkins, A. L., Daldy, J. A., & Lu, Y.
(1996). HPLC and GC-MS identification of the major organic constituents
in New Zeland propolis. Phytochemistry, 42(1), 205-211.
22. Anjum, S. I., Ullah, A., Khan, K. A., Attaullah, M., Khan, H., Ali, H., Dash,
C. K. (2019). Composition and functional properties of propolis (bee glue):
A review. Saudi J Biol Sci, 26(7), 1695-1703.
23. Sforcin, J. M. (2007). Propolis and the immune system: a review. J
Ethnopharmacol, 113(1), 1-14.
24. Serkedjieva, J., Manolova, N., & Bankova, V. (1992). Anti-influenza virus
effect of some propolis constituents and their analogues (esters of
substituted cinnamic acids). J Nat Prod, 55(3), 294-302
25. Amoros, M., Sauvager, F., Girre, L., & Cormier, M. J. A. (1992). In vitro
antiviral activity of propolis. 23(3), 231-240.
26. Bueno-Silva, B., Kawamoto, D., Ando-Suguimoto, E. S., Alencar, S. M.,
Rosalen, P. L., & Mayer, M. P. (2015). Brazilian Red Propolis Attenuates
Inflammatory Signaling Cascade in LPS-Activated Macrophages. PLoS
One, 10(12), e0144954.
27. Alqarni, A. M., Niwasabutra, K., Sahlan, M., Fearnley, H., Fearnley, J.,
Ferro, V. A., & Watson, D. G. (2019). Propolis Exerts an Anti-
Inflammatory Effect on PMA-Differentiated THP-1 Cells via Inhibition of
Purine Nucleoside Phosphorylase. Metabolites, 9(4), 75.
28. Cohen, H. A., Varsano, I., Kahan, E., Sarrell, E. M., & Uziel, Y. (2004).
Effectiveness of an Herbal Preparation Containing Echinacea, Propolis, and
Vitamin C in Preventing Respiratory Tract Infections in Children: A
Randomized, Double-blind, Placebo-Controlled, Multicenter
Study. Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine, 158(3), 217-221.
29. Kunnumakkara, A. B., Bordoloi, D., Padmavathi, G., Monisha, J., Roy, N.
K., Prasad, S., & Aggarwal, B. B. (2017). Curcumin, the golden
nutraceutical: multitargeting for multiple chronic diseases. Br J Pharmacol,
174(11), 1325-1348.
30. Momtazi-Borojeni, A. A., Haftcheshmeh, S. M., Esmaeili, S. A., Johnston,
T. P., Abdollahi, E., & Sahebkar, A. (2018). Curcumin: A natural modulator
of immune cells in systemic lupus erythematosus. Autoimmun Rev, 17(2),
125-135.
31. Shimizu, K., Funamoto, M., Sunagawa, Y., Shimizu, S., Katanasaka, Y.,
Miyazaki, Y., Morimoto, T. (2019). Anti-inflammatory Action of Curcumin
and Its Use in the Treatment of Lifestyle-related Diseases. European
cardiology, 14(2), 117-122.
32. Hsu, C.-H., & Cheng, A.-L. (2007). Clinical Studies With Curcumin. In B.
B. Aggarwal, Y.-J. Surh, & S. Shishodia (Eds.), The Molecular Targets and
Therapeutic Uses of Curcumin in Health and Disease (pp. 471-480).
Boston, MA: Springer US.
33. Devi, Y. S., DeVine, M., DeKuiper, J., Ferguson, S., & Fazleabas, A. T.
(2015). Inhibition of IL-6 Signaling Pathway by Curcumin in Uterine
Decidual Cells. PLoS One, 10(5), e0125627.
34. Chen, D.-Y., Shien, J.-H., Tiley, L., Chiou, S.-S., Wang, S.-Y., Chang, T.-J.,
. . . Hsu, W.-L. (2010). Curcumin inhibits influenza virus infection and
haemagglutination activity. Food Chemistry, 119(4), 1346-1351.
35. Jantan, I., Haque, M. A., Ilangkovan, M., & Arshad, L. (2019). An Insight
Into the Modulatory Effects and Mechanisms of Action of Phyllanthus
Species and Their Bioactive Metabolites on the Immune System. Front
Pharmacol, 10, 878.
36. Muthulakshmi, M., Subramani, P. A., & Michael, R. D. (2016).
Immunostimulatory effect of the aqueous leaf extract of Phyllanthus niruri
on the specific and nonspecific immune responses of Oreochromis
mossambicus Peters. Iranian journal of veterinary research, 17(3), 200-202.
37. Sarisetyaningtyas, P., Hadinegoro, S., & Munasir, Z. (2016). Randomized
controlled trial of Phyllanthus niruri Linn extract. Paediatrica Indonesiana,
46(2), 77-81.
38. Raymond Rubianto, T., Liana Wijaya, S., &Dwi, N. (2017). The use of
Phyllanthus niruri L. as an immunomodulator for the treatment of infectious
diseases in clinical settings. Asian Pacific Journal of Tropical Disease, 7(3),
132-140.
39. Wu, W., Li, Y., Jiao, Z., Zhang, L., Wang, X., & Qin, R. (2019).
Phyllanthin and hypophyllanthin from Phyllanthus amarus ameliorates
immune-inflammatory response in ovalbumin-induced asthma: role of IgE,
Nrf2, iNOs, TNF-α, and IL’s. Immunopharmacol Immunotoxicol, 41(1), 55-
67.
40. Tan, W. C., Jaganath, I. B., Manikam, R., & Sekaran, S. D. (2013).
Evaluation of antiviral activities of four local Malaysian Phyllanthus species
against herpes simplex viruses and possible antiviral target. International
journal of medical sciences, 10(13), 1817-1829.

Kontributor:

Prof. Dr. Ediati Sasmito, SE., Apt.; Dr. Muthi’ Ikawati, M.Sc., Apt.,; M.
Novrizal A. Sahid, M.Eng., Apt., Ph.D.; Dr. Nanang Fakhrudin, MSc, Apt,;
Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt.; Drh Retno Murwanti, MP, PhD

Anda mungkin juga menyukai