Anda di halaman 1dari 17

Referat SubBagian Bedah Onkologi

Penyusun : Andi Djaja Pratama


Pembimbing : Dimyati A, dr, Sp. B(K)Onk

IMMUNOTERAPI

1. PENDAHULUAN

Immunoterapi yang disebut juga sebagai terapi biologik atau bioterapi, merupakan
suatu terapi yang menggunakan bagian dari sistem imun untuk memerangi penyakit, seperti
kanker. Hal ini dapat terjadi melalui 2 cara, yaitu :

- Menstimulasi sistem imun untuk bekerja lebih keras untuk memerangi sel kanker
- Memberikan komponen sistem imun, seperti protein sistem imun buatan

Sudah diketahui sejak lama bahwa sistem imun mempunyai peranan dalam
mengobati sel kanker, bahkan sebelum kita mengerti betul apa itu sistem imun. William
Coley, MD, seorang dokter bedah New York, pertama kali mengetahui bahwa memberikan
suatu infeksi pada sel kanker dapat membantu penyembuhan. Di akhir tahun 1800, beliau
mulai memberikan infeksi bakteri tertentu pada pasien kanker, yang dikenal sebagai Coley
toxins, ternyata dapat meregresi sarcoma yang ada.
Sejak saat itu, para dokter telah meneliti lebih dalam mengenai sistem imun. Hal ini
membuat sistem imun banyak diteliti untuk pengobatan kanker. Dalam beberapa dekade
terakhir, hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem imun memiliki peranan penting dalam
terapi sel kanker.
Immunoterapi mempunyai berbagai macam pengobatan yang bekerja melalui jalan
yang berbeda. Ada yang menstimulasi sistem imun, ada pula yang ‘mengajarkan’ sistem
imun untuk melawan sel kanker secara spesifik. Kemudian terdapat immunoterapi yang
dapat bekerja sendiri untuk melawan sel kanker, namun ada juga immunoterapi yang lebih
baik digunakkan bersamaan dengan terapi lainnya.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan yang mendalam mengenai
sistem imun, para peneliti saat ini sudah dapat menghasilkan pengobatan sistem imun ini
yang lebih baik dan lebih spesifik untuk jenis kanker tertentu.

1
2. APA YANG DILAKUKAN SISTEM IMUN ?

Sistem imun terdiri dari kumpulan dari beberapa organ, sel-sel tertentu dan
substansi-substansi yang dapat mencegah terjadinya infeksi dan penyakit-penyakit tertentu.
Sel-sel sistem imun ber’patroli’ di dalam tubuh untuk memerangi semua kuman yang dapat
menyebabkan terjadinya penyakit. Mereka juga membantu dalam pencegahan terjadinya
kanker.
Sistem imun pada dasarnya menjaga tubuh kita agar dapat berfungsi secara normal.
Semua benda yang tidak dikenali oleh sistem imun, akan dianggap sebagai benda asing
dan akan membuat sistem imun melawan benda asing tersebut. Benda asing yang
menyebabkan imun sistem menjadi ‘marah’ disebut sebagai antigen. Sistem imun dapat
menghancurkan semua benda yang mengandung antigen tersebut, termasuk di dalamnya
adalah kuman dan sel kanker. Kuman seperti virus, bakteri dan parasit memiliki antigen di
bagian luarnya, seperti protein-protein tertentu, yang pada keadaan normal tidak ditemukan
pada tubuh manusia.
Sel kanker juga berbeda dari sel-sel normal yang ada di dalam tubuh. Sel kanker
biasanya memiliki substansi asing pada bagian luarnya yang berperan sebagai antigen.
Namun sistem imun lebih baik mengenali antigen dari kuman daripada sel kanker. Hal ini
disebabkan karena sel normal dan sel kanker hanya memiliki sedikit perbedaan saja,
dibandingkan dengan kuman yang sudah pasti memiliki perbedaan yang sangat jelas
dengan tubuh manusia. Oleh karena itu, sistem imun kadang gagal untuk mengenali adanya
antigen pada sel kanker. Dapat juga dianalogikan sebagai berikut, kuman dianggap sebagai
musuh, sedangkan sel kanker dianggap sebagai pengkhianat.
Maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan sistem imun untuk melawan sel kanker
sangat terbatas. Hal ini dikarenakan:

- Sistem imun tidak mengenali sel kanker sebagai antigen


- Sistem imun dapat mengenali sel kanker, namun respons nya tidak adekuat untuk
menghancurkan sel kanker.
- Sel kanker tertentu mengeluarkan substansi yang dapat menekan sistem imun.

Untuk mengatasi hal ini, para peneliti telah mencari jalan agar sistem imun dapat
memiliki kemampuan untuk mengenali dan menghancurkan sel kanker tersebut.

2
3. IMMUNOLOGI

Imunologi yaitu suatu ilmu yang mempelajari mengenai reaksi kekebalan tubuh
terhadap benda asing atau kuman penyakit pada makhluk hidup, termasuk manusia.
Kepekaan terhadap penyakit berkaitan dengan gen yang erat hubungan dengan komplek
histokompatibilitas utama, terutama daerah “antigen pencangkokan” atau
“ histokompatibilitas (HLA)”, yang terdapat pada kromosom 6 pada manusia. Hal tersebut
merupakan reaksi imun terhadap pengaruh genetik. Secara sederhana kekebalan tubuh itu
ada dua bentuk yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif.

Kekebalan pasif adalah suatu keadaan dimana kekebalan terhadap penyakit terjadi
relatif sementara, disebabkan oleh pemberian antibodi(ab) terhadap penyakit penyakit
tersebut, dimana ab tersebut dibuat oleh hospes lain dan bukan dari hospes yang
bersangkutan. Karena molekul ab berkurang secara teratur dan tidak dibuat ab yang baru,
maka perlindungan pasif berlangsung tidak terlalu lama (hanya beberapa minggu saja).
Tetapi dilain pihak mekanisme perlindungan segera bekerja setelah pemberian ab, tidak ada
masa menunggu (untuk membentuk ab), seperti pada proses pembentukan kekebalan aktif.
Antibodi tersebut perannya terbatas pada infeksi kuman yang invasive, dimana imunisasi
pasif jarang berguna pada jenis penyakit ini. Dilain pihak bila suatu penyakit yang agennya
memproduksi toksin (seperti: difteri, tetanus, botulinum), pemeberian antitoksin secara pasif
sangat berguna, karena sejumlah besar antitoksin dapat segera tersedia untuk menetralisisr
toksin yang bersangkutan. Pada infeksi virus tertentu seperti campak dan hepatitis A,
antibody khusus yang diberikan ialah “globulin gamma” yang diambil dari manusia normal
(globulin imun usp), dapat diberikan pada penderita selama masa inkubasi sehingga
menghasilkan pembatasan replikasi virus dan mencegah atau dapat meringankan gejala
klinis. Kekebalan pasif yang dipindahkan dari ibu kepada janin yang dikandungnya,
melindungi bayi yang baru dilahirkan selama bulan-bulan pertama masa hidupnya terhadap
infeksi penyakit yang ada. Kekebalan tersebut dapat diperkuat oleh ab yang disalurkan
melalui air susu ibu (kolostrum: 1-14 hari setelah melahirkan), akan tetapi kekebalan ini
berangsur menghilang pada usia 4-6 bulan.
Kekebalan aktif adalah keadaan imunitas yang terjadi dalam tubuh seseorang
setelah kontak secara efektif dengan antigen asing (misalnya kuman, produk kuman, protein
asing). Kontak efektif tersebut dapat berupa infeksi (klinis/subklinis), penyuntikan kuman
yang dimatikan vaksin mati), kuman hidup yang dilemahkan (vaksin hidup), produk kuman
(toksin atau toksoid). Dalam kondisi tersebut, tubuh secara aktif menghasilkan ab, juga sel-
sel tubuh secara aktif belajar bereaksi terhadap benda asing. Kekebalan aktif ini terbentuk
secara lambat dan akan melindungi terhadap penyakit yang bersangkutan selama berbulan-

3
bulan atau bahkan bertahun-tahun. Ada beberapa mekanisme proses terbentuknya
kekebalan yang telah banyak dipelajari yaitu: Kekebalan humoral dan kekebalan seluler.

Kekebalan humoral
Pembentukan ab secara aktif terhadap antigen kuman ataupun produk yang
dihasilkan dapat menimbulkan resistensi karena:
i. Menetralisr toksin atau hasil-hasil sel
ii. Memiliki efek bakterisidal langsung ataupun efek litik dengan komplemen
iii. Menahan kemampuan infektif kuman atau virus
iv. Mengaglutinasi kuman, sehingga mudah difagosit oleh makrofag
v. Mengkompromisasi kuman yaitu: menggabungkan dengan antigen
permukaan yang biasanya mengganggu fagositose, sehingga membantu
mencerna kuman.

Kekebalan seluler
Walaupun ab yang terbentuk sebagai respon terhadap antigen asing, tetapi banyak
kejadian ab tersebut berperan sangat kecil dalam pertahanan tubuh terhadap serangan sel.
Sehingga dalam hal ini pertahanan tubuh dipegang oleh respon kekebalan yang diatur oleh
sel dan sangat komplek, dimana terjadi penggabungan segi imunologik khusus dan tidak
khusus. Sel limfoid yang tergantung pada thymus (sel T) dan sel yang sedang beredar,
mengenali benda asing dan memulai suatu rangkaian respon yang meliputi reaksi
peradagan mononuclear, perusakan sitosolik sel yang menyerang (kuman, sel transplantasi
atau sel tumor). Pada proses tersebut terjadi “pengaktifan sel makrofag” yang bersifat
fagositik yang merusak sel kuman dalam sel tersebut, sehingga terjadi reaksi
hipersensitifitas yang lambat dalam jaringan. Dalam proses tersebut sel kuman/sel asing
ditahan pada lokasi masuknya sehingga menahan untuk menyebar (TB). Kemampuan sel
fagosit tersebut (inti polymorf, makrofag, retikuloendothelial) ditingkatkan, sehingga sel yang
sudah dimakan (difagosit) kemudian dimatikan, terutama pada makrofag yang aktif.
Disamping itu kondisi lingkungan biokimiawi dalam jaringan dibuat tidak menguntungkan
bagi perkembang biakan dan penyebaran kuman.

4. RESPONS IMUN
Sel-sel utama yang berperan pada respons imun yaitu makrofag, sel T dan sel B.
Sel-sel tersebut berinteraksi satu dengan yang lain secara langsung atau melalui interleukin
(IL).

4
Selain itu diikutsertakan pula komplemen, sel NK dan sel K. Mikroorganisme yang
menembus pertahanan mekanik norispesifik masih dapat dieliminir oleh elemen-elemen dari
sistim imun nonspesifik lainnya. Enzim lisozom yang ditemukan dalam banyak sekresi
mampu menghancurkan dinding banyak bakteri. Komplemen dapat diaktifkan secara
alternatif oleh berbagai bakteri. Aktivasi tersebut akan mengeliminir bakteri melalui lisis atau
peningkatan fagositosis (melalui faktor kemotaktik, opsonin dan reseptor untuk komplemen
pada permukaan fagosit). Acute phase protein meningkat dan salah satu dari protein
tersebut adalah C Reactive Protein (CRP) dan disebut demikian oleh karena mengikat
protein C dari pneumokok. Ikatan antara CRP dan protein C tadi akan mengaktifkan
komplemen secara alternative. Yang berperanan pada imunitas virus adalah sel NK dan
interferon (IFN). IFN mengaktifkan sel NK dan meningkatkan resistensi sel normal terhadap
infeksi virus, IFN alfa dan beta dibentuk leukosit dan sel yang diinfektir virus.Bila pertahanan
sistim imun nonspesifik tidak dapat mengeliminir kuman, sistim imun spesifik akan
dikerahkan. Sistim ini bekerja spesifik dan menggunakan rnemori. Antigen akan
mencetuskan serentetan reaksi yang menghasilkan aktivasi limfosit, produksi antibodi dan
limfosit efektor yang spesifik untuk imunogen.Pada pertahanan spesifik ini, antigen mula-
mula ditangkap oleh APC dan dipresentasikan ke sel T. Pada waktu yang bersamaan sel
APC melepas IL-1 yang mengaktifkan sel T. Sel T yang diaktifkan melepas berbagai
interleukin. Dalam respons terhadap kebanyakan antigen (kecuali antigen sel T independen)
antigen perlu diproses dahulu oleh sel APC. Hal ini disebabkan oleh karena sel T yang
merupakan regulator dari respons imun, hanya mengenal antigen melalui molekul MHC
kelas II (MHC restricted). Sel-sel yang memiliki permukaan MHC kelas II dan berfungsi
sebagai APC adalah makrofag, sel dendritik, sel Langerhans di kulit, sel Kupffer di hati, sel
mikroglia di susunan saraf pusat, sel B dan sekitar 1% dari semua sel monosit perifer.
Sebagai regulator respons imun, sel Th mengaktifkan limfosit lainnya dari sistim imun
seperti sel B, sel Te dan sel Tdh. Aktivasi sel Th tersebut memerlukan 2 signal, yang
pertama berasal dari ikatan antara reseptor antigen pada permukaan sel T dengan
kompleks antigen MHC kelas II pada sel APC dan yang kedua berasal dari interleukin-1
(protein larut yang diproduksi sel APC). Kedua signal bersama-sama akan meningkatkan
reseptor/ ekspresi permukaan untuk limfokin lain, IL-2 serta produksi faktor pertumbuhan
dan diferensiasi (growth and differentiation factor) antara lain untuk sel B dan makrofag. IL-2
meningkatkan pertumbuhan sel yang memiliki ekspresi IL-2 (reseptor untuk IL-2) termasuk
sel Th sendiri (efek autokrin) dan sel Tc. Jadi fungsi utama dari IL-2 ialah meningkatkan
respons imun. Sel Th akan mengaktifkan pula sel Tc yang fungsi utamanya membunuh
semua sel yang non-self. Sel Tc dapat dibedakan dari sel Th oleh karena memiliki antigen
CD8 dan dapat mengenal antigen asing dengan profil MHC kelas I. Protein CD4 mengikat
molekul MHC kelas II dan CD8 mengikat molekul MHC kelas I pada APC. Jadi baik sel CD4

5
maupun CD8 berpartisipasi dalam pengenalan kompleks antigen-MHC. Aktivasi sel Tc juga
memerlukan 2 signal; yang pertama berasal dari interaksi antara reseptor pada sel T dengan
kompleks asing molekul MHC kelas I pada sel sasaran (yang dapat berupa sel yang
diinfektir virus, sel tumor atau sel transplan). Signal kedua berasal dari IL-2 yang diproduksi
sel Th yang diaktifkan. Sel Tc yang diaktifkan memproduksi sitokin yang dapat
menghancurkan sel.
Sel B menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Di samping aktivasi sel Th
seperti digambarkan di atas, sel B yang relevan juga mengikat antigen melalui reseptornya
(berupa antibodi yang diikat pada permukaan selnya dan sama dengan jenis ntibodi yang
akan disekresinya kemudian). Ikatan tersebut merupakan signal aktivasi awal. Untuk aktivasi
lengkap dari sel B masih diperlukan signal dari sel Th berupa B Cell Growth Factor (BCGF)
dan B Cell Differentiating Factor (BCDF). Sebetulnya sel B dapat pula berfungsi sebagai sel
APC, mengolah antigen. Kompleks antigen MHC kelas II dapat mengaktifkan sel T
(kurang poten dibanding dengan APC) atau membentuk sel T memori. BCGF merangsang
proliferasi sel B dan BCDF merangsang sel B untuk diferensiasi menjadi sel plasma dan
membentuk antibodi. Jadi proses lengkap aktivasi dan diferensiasi sel B memerlukan
sedikitnya 3 signal, satu dari antigen dan 2 dari sel Th. Sebagian sel B yang diaktifkan
berproliferasi tetapi tidak berdiferensiasi menjadi sel plasma. Mungkin hal tersebut
disebabkan oleh karena tidak mendapat cukup BCDF. Sel tersebut menjadi sel memori yang
hidup lama. Sel Ts dapat menekan baik fungsi sel Th maupun sel B. Sel Ts memiliki
petanda permukaan CD8 seperti sel Tc, tetapi sel Ts tidak memiliki efek sitotoksik.
Bekerjanya diduga melalui pelepasan mediator yang menekan fungsi sel Th dan sel B.

6
5. TIPE-TIPE IMMUNOTERAPI
Banyak sekali pengobatan sel kanker yang dapat disebut sebagai immunoterapi.
Beberapa terapi melalui stimulasi dari sistem imun tubuh untuk melawan sel kanker. Hal ini
dapat dicapai dengan memberikan boosting sistem imun atau melatih sistem imun untuk
melawan bagian-bagian spesifik dari sel kanker.
Beberapa pengobatan lainnya dengan memberikan komponen dari sistem imun
(misalnya pemberian antibodi) yang dibuat di laboratorium. Beberapa antibodi ini
meningkatkan sistem imun setelah dimasukkan ke dalam tubuh. Adapula antibodi yang tidak
memberikan pengaruh yang banyak terhadap sistem imun, namun mereka menyerang
langsung bagian-bagian spesifik dari sel kanker tersebut, membuat mereka berhenti
berkembang atau menghancurkan mereka.
Tipe-tipe immunoterapi yang digunakan sekarang dalam melawan sel kanker
adalah :

- Antibodi monoklonal : antibodi ini dibuat oleh manusia yang menyerupai antibodi
dalam tubuh. Antibodi ini berperan penting dalam pengobatan sel kanker karena
antibodi ini dapat menyerang bagian-bagian spesifik dari sel kanker.
- Immunoterapi non spesifik : pengobatan ini menstimulasi sistem imun secara umum,
namun terapi ini juga dapat memberikan peningkatan sistem imun dalam melawan
sel kanker.
- Vaksinasi : vaksin adalah substansi yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia
untuk menstimulasi sistem imun terhadap penyakit tertentu. Kita biasanya
memberikan vaksin pada orang yang sehat untuk mencegah terjadinya penyakit.
Namun ternyata vaksin dapat mengobati penyakit kanker.

Saat ini obat-obat immunoterapi sudah banyak digunakan untuk terapi kanker,
misalnya kanker buli-buli, payudara, kolon, ginjal, paru, prostat, leukemia, limfoma, multiple
mieloma, dan melanoma.

7
6. ANTIBODI MONOKLONAL

Antibodi atau immunoglobulin merupakan komponen penting dari sistem imun, yang
bersirkulasi di dalam darah dan sistem limfatik, dan berfungsi untuk mengikat antigen dari
benda asing. Setelah terikat, benda asing tersebut akan ‘ditandai’ untuk dihancurkan oleh
makrofag dan komplemen. Dalam konteks immunoterapi pada pengobatan kanker,
monoklonal antibodi dapat mengikat antigen sel-sel tumor yang biasanya tidak dapat
dikenali. Keuntungan lainnya adalah antibodi monoklonal ini dapat dirancang sedemikian
rupa sehingga dapat mempengaruhi tipe-tipe sel dan molekul lain yang berperan untuk
pertumbuhan tumor. Sebagai contoh, antibodi yang dapat menetralisir dari faktor-faktor
pertumbuhan akan menyebabkan sel tumor tidak dapat bertambah besar.
Antibodi monoklonal dibuat dengan memasukkan sel kanker manusia atau protein
sel kanker kepada tikus, sehingga sistem imun tikus dapat membuat antibodi. Sel-sel murin
tikus yang memproduksi antibodi akan dipisahkan dan disatukan dengan sel-sel manusia
untuk membuat hibridoma. Hibridoma inilah yang akan membuat antibodi secara besar-
besaran, yang nantinya akan diambil sebagai antibodi monoklonal.

6.1 PERKEMBANGAN ANTIBODI MONOKLONAL

Antibodi monoklonal memiliki beberapa peran dalam terapi kanker, yaitu untuk
diagnosis, monitoring dan pengobatan penyakit kanker. Untuk diagnosis misalnya pada
penggunaan flow cytometry untuk identifikasi beberapa tipe dari limfoma non Hodgkin.
Dalam monitoring, antibodi monoklonal dapat digunakan untuk memantau kadar antigen
carcinoembryonic pada kasus kanker kolon. Khusus untuk pengobatan, antibodi monoklonal
dapat bereaksi terhadap antigen spesifik yang terdapat pada sel kanker dan dapat
memperkuat respon sistem imun tubuh. Antibodi monoklonal juga dapat diprogram untuk
melawan faktor-faktor pertumbuhan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan sel tumor.
Kita juga dapat menggabungkan antibodi monoklonal dengan obat-obat anti kanker,
radioisotop, dan substansi lainnya.
Banyak sekali pertimbangan yang harus dipikirkan pada pemberian antibodi
monoklonal sebagai terapi kanker. Pertama, kita harus menentukan target antigen dari
antibodi tersebut. Hal ini penting karena antigen yang ada pada sel kanker tidak terdapat
pada jaringan normal. Immunogensitas dari antibodi monoklonal tersebut merupakan faktor
yang perlu dipertimbangkan. Hal ini dikarenakan banyak antibodi berasal bukan dari
manusia, sehingga perlu dipikirkan apakah antibodi ini dapat membantu sistem imun pada
tubuh manusia atau tidak. Faktor lainnya adalah waktu paruh. Apakah waktu paruhnya
cukup lama supaya dapat menimbulkan efek yang diinginkan? Kemudian ada juga faktor

8
logistik seperti harga dan kemudahan untuk mendapatkan antibodi monoklonal ini. Dan yang
terakhir adalah, keputusan apakah perlu antibodi monoklonal ini digabung dengan
pengobatan lainnya atau cukup sendiri saja dalam terapi kanker, supaya dapat memberikan
efek yang memuaskan.

6.2 MEKANISME KERJA ANTIBODI MONOKLONAL

Antibodi monoklonal memberikan efek terapeutik melalui berbagai mekanisme.


Mereka dapat memberikan efek langsung pada sel kanker, yang menyebabkan terjadinya
apoptosis dan kematian sel. Mereka juga dapat menghambat faktor-faktor pertumbuhan
sehingga sel kanker tidak dapat bertambah besar.
Efek tidak langsung yang dapat timbul adalah ‘merekrut’ sel yang memiliki sifat
sitotoksik, seperti monosit dan makrofag. Antibodi ini dikenal sebagai antibody-dependent
cell mediated cytotoxicity (ADCC). Antibodi monoklonal juga dapat mengikat komplemen,
yang dapat menyebabkan terjadinya kematian sel tumor, dikenal dengan nama complement
dependent cytotoxicity (CDC).

6.3 TERAPI ANTIBODI

Terapi antibodi dapat digunakan dalam berbagai cara untuk mengobati kanker.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, mereka dapat bekerja melalui ADCC atau CDC. Cara
yang lain adalah dengan mengkonjugasikan antibodi monoklonal dengan toksin, agen
sitotoksik, atau radioisotop. Antibodi monoklonal yang dikonjugasi dengan toksin, akan
membawa toksin pada sel kanker ketika antibodi monoklonal tersebut berikatan dengan sel
kanker. Bila yang dikonjugasikan adalah radioisotop seperti Iodium-131 akan memberikan
pengaruh radioterapi langsung pada sel kanker, namun akan mencegah efek radioterapi
pada jaringan yang normal. Dan bila dikonjugasikan dengan obat-obat kemoterapi, obat
kemoterapi tersebut akan dibawa langsung pada sel kanker, dan tidak akan diabsorpsi
secara sistemik

9
6.4 HAMBATAN TERAPI ANTIBODI MONOKLONAL

Ada beberapa hambatan untuk keberhasilan dari terapi antibodi monoklonal.


Distribusi antigen dari sel-sel kanker sangat heterogen, sehingga tidak semua sel tumor
memiliki antigen yang sama. Konsentrasi antigen juga dapat beragam, sehingga jika
konsentrasi antigennya rendah maka sel tumor tersebut tidak dapat dikenali oleh antibodi
monoklonal. Kemudian jika aliran darah pada sel tumor tersebut tidak adekuat, maka
antibodi monoklonal yang harus diberikan melalui darah akan sulit untuk memberikan terapi
yang maksimal.
Tekanan interstitial yang tinggi dari sel kanker dapat mencegah antibodi monoklonal
pasif untuk berikatan dengan sel tumor. Dan kadang antigen sel kanker tersebut terlepas ke
dalam aliran darah, sehingga antibodi monoklonal akan berikatan dengan antigen yang
bebas tersebut tanpa menghancurkan sel kankernya sendiri. Dan karena antibodi
monoklonal ini kebanyakan berasal dari tikus, maka respon imun dari pemberian antibodi
monoklonal dapat berkurang, dan bahkan tidak dapat memberikan efek apapun pada sel
tumor.
Walaupun banyak hambatan yang mungkin dapat mengurangi efektivitas
pengobatan antibodi monoklonal ini, sampai saat ini telah banyak sekali sel kanker yang
dapat dihancurkan, seperti misalnya pada keganasan hematologik dan tumor padat.

7. IMMUNOTERAPI NON SPESIFIK

Sitokin merupakan suatu messenger dalam sistem imun. Sitokin adalah suatu
substansi, baik itu protein maupun glikoprotein, yang dikeluarkan oleh sistem imun. Mereka
memiliki fungsi autokrin dan parakrin, sehingga mereka dapat berfungsi secara lokal
maupun sistemik untuk meningkatkan atau menekan immunitas tubuh. Dalam terapi kanker,
sitokin digunakan untuk meningkatkan kekebalan tubuh manusia.
Sitokin mengatur natural killer cell (sel NK), makrofag dan neutrofil. Mereka juga
mengatur dari sistem imun adaptif, yaitu respon sel T dan sel B. Dalam sistem imun,
terdapat sitokin bekerja secara bertahap dan bersamaan dengan sitokin-sitokin lainnya
dalam ‘perang’ melawan kanker. Oleh karena itu, penelitian mengenai satu macam sitokin
tidak dapat memberikan hasil yang maksimal. Misalnya saja penelitian mengenai interleukin
1 beta (IL-1 beta), yang berperan membantu interleukin 2 (IL-2) dalam menghancurkan sel
kanker, tidak efektif dalam pengobatan sel kanker. Tumor necrosis factor (TNF), sepertinya
sangat menjanjikan dalam pengobatan sel kanker, namun TNF ini dapat menyebabkan
terjadinya hipotensi yang berat jika digunakan secara sistemik. Interleukin 4 (IL-4)
menunjukkan aktifitas minimal anti kanker dan toksik. Interleukin 6 (IL-6) memiliki beberapa

10
aktivitas dalam melawan sel kanker, namun ternyata berperan sebagai faktor pertumbuhan
pada sel-sel mieloma.
Jadi sitokin manakah yang berperan dalam pengobatan kanker? Menurut FDA, ada
dua sitokin yang disetujui dalam pengobatan kanker. Yang pertama adalah IL-2 dan
interferon-alfa 2b. IL-2 telah menunjukkan aktifitas yang baik melawan sel kanker ginjal,
melanoma, limfoma, dan leukemia. Interferon memiliki aktifitas yang sama dengan IL-2,
namun memiliki aktifitas yang baik pula pada sarkoma Kaposi, leukemia mielogenik kronik,
dan hairy cell leukemia. Secara keseluruhan, sitokin adalah suatu substansi yang dapat
memiliki efek terapeutik pada keganasan di bidang hematologik atau immunologik. Di bawah
ini akan disampaikan mengenai IL-2, interferon alfa, dan GM-CSF.

7.1 INTERLEUKIN

Interleukin adalah suatu grup dari sitokin yang berfungsi sebagai sinyal kimia antara
sel-sel darah putih.
IL-2 membantu sistem imun untuk berkembang dan membelah dengan cepat. Sejak
FDA menyetujui pengobatan kanker ginjal dengan IL-2 pada tahun 1992, IL-2 sudah
menjadi immunoterapi pertama yang dapat digunakan sendiri tanpa terapi lainnya.
Kemudian diketahui pula bahwa IL-2 dapat digunakan pada pasien dengan metastatic
melanoma.
IL-2 dapat digunakan sebagai terapi tunggal untuk jenis kanker tersebut, atau dapat
juga dikombinasikan dengan sitokin lainnya seperti interferon-alfa (saat ini sedang diteliti
penggunaannya sebagai adjuvan dan juga kombinasinya dengan beberapa vaksin).
Penggunaan Il-2 dengan pengobatan tersebut mungkin dapat membantu meningkatkan
efektifitas terhadap jenis kanker tertentu, namun jangan lupa bahwa terjadi juga peningkatan
efek samping.
Efek samping dari IL-2 meliputi, gejala-gejala flu, seperti demam, menggigil, lelah,
dan confusion. Kebanyakan orang akan bertambah berat badannya, beberapa juga
mengeluhkan adanya mual, muntah atau diare. Efek samping lainnya adalah rendahnya
tekanan darah, yang dapat diterapi dengan obat-obatan. Efek yang paling berbahaya
meskipun jarang adalah denyut nadi yang tidak teratur, nyeri dada, dan masalah jantung
lainnya. Oleh karena efek samping ini, maka pasien harus dirawat jika akan memberikan IL-
2 dalam dosis tinggi.
Interleukin lainnya, seperti IL-7, IL-12 dan IL-21, pada saat ini sedang dalam
penelitian untuk menilai efek anti kanker sebagai terapi adjuvan maupun terapi tunggal.

11
7.2 INTERFERON

Sitokin ini pertama kali ditemukan pada akhir tahun 1950 an, yang berfungsi untuk
membantu tubuh melawan infeksi yang disebabkan oleh virus dan kanker. Nama dari tipe-
tipe interferon (alfa, beta, gamma) diberikan berdasarkan 3 huruf pertama dalam abjad
Yunani.
Hanya interferon alfa yang digunakan pada terapi kanker, yang berperan melalui
beberapa sel imun untuk menyerang sel kanker. Interferon alfa juga memiliki efek
menghambat pertumbuhan sel kanker dan juga pembentukan dari pembuluh darah yang
dibutuhkan tumor untuk bertambah luas.
FDA telah menyetujui penggunaan interferon alfa pada kasus kanker :

- Hairy cell leukemia


- Chronic myelogenous leukemia
- Follicular non-Hodgkin lymphoma
- Cutaneous (skin) T-cell lymphoma
- Kanker ginjal
- Melanoma
- Sarkoma Kaposi

Efek samping dari interferon dapat menyerupai gejala flu (seperti demam, menggigil,
sakit kepala, lemah, kehilangan nafsu makan, mual, dan muntah), leukopeni (yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya infeksi), kemerahan pada kulit, dan rambut rontok. Efek
samping ini dapat sangat berat dan membuat pengobatan interferon sulit ditoleransi oleh
kebanyakan orang. Sebagian besar dari efek samping tidak akan berlanjut lama setelah
pengobatan dihentikan, namun rasa lelah dapat berlangsung lama. Efek samping lainnya
adalah kerusakan pada saraf, termasuk di dalamnya adalah kerusakan pada otak dan
susunan saraf tulang belakang.

12
7.3 GRANULOCYTE-MACROPHAGE COLONY-STIMULATING FACTOR (GM-CSF)

GM-CSF adalah suatu sitokin yang menyebabkan sumsum tulang untuk membuat
sel-sel imun dan sel-sel darah tertentu. GM-CSF yang dibuat oleh manusia (dikenal sebagai
sargramostim atau Leukine) sering digunakan untuk meningkatkan jumlah sel darah putih
setelah kemoterapi.
GM-CSF juga pada saat ini sedang diteliti efektivitasnya melawan sel kanker sebagai
adjuvan dan sebagai terapi tunggal. Diyakini bahwa GM-CSF ini memiliki efek anti kanker
yang baik terhadap melanoma. Pada saat ini sedang diteliti efektivitasnya terhadap berbagai
jenis kanker.
Efek samping yang sering timbul adalah gejala-gejala menyerupai flu (demam, sakit
kepala, pegal-pegal), rash, kemerahan pada wajah dan nyeri pada tulang.

8. VAKSIN

Kebanyakan dari kita sudah mengetahui bahwa vaksin biasanya diberikan pada
orang yang sehat untuk mencegah terjadinya infeksi, seperti vaksin cacar dan polio. Vaksin-
vaksin ini menggunakan kuman yang telah dilemahkan atau kuman yang sudah mati untuk
memicu sistem imun di dalam tubuh manusia. Dengan harapan sistem imun tubuh kita
dapat berfungsi secara maksimal jika tubuh kita terkena dari kuman (bakteri atau virus)
tersebut.
Kebanyakan vaksin kanker memiliki fungsi yang sama, bedanya bahwa pada
penyakit kanker, vaksin yang diberikan dapat meningkatkan sistem imun sampai maksimal
supaya dapat melawan sel-sel kanker yang ada di dalam tubuh. Tujuannya adalah untuk
membantu dalam membunuh sel kanker atau mencegah sel kanker kembali setelah
dilakukan pengobatan dengan modalitas lain. Namun saat ini sudah terdapat beberapa
vaksin yang dapat mencegah terjadinya jenis kanker tertentu.

8.1 VAKSIN YANG MENCEGAH TERJADINYA KANKER

Kebanyakan orang mungkin tidak menyadari bahwa ada beberapa jenis kanker yang
disebabkan oleh virus. Vaksin digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi oleh virus ini
secara tidak langsung akan memiliki efek pencegahan terhadap terjadinya sel kanker.

Beberapa jenis dari Human Papilloma Virus (HPV) telah dikenal sebagai virus yang
menyebabkan terjadinya keganasan pada cervix uteri, anus, tenggorokan dan beberapa

13
kanker lainnya. Vaksin terhadap virus HPV dapat juga mencegah terjadinya kanker-kanker
ini.

Orang yang terkena infeksi hepatitis B kronik (HBV) merupakan pasien dengan
resiko tinggi terjadinya kanker hati. Dengan pemberian vaksinasi terhadap virus HBV ini
dapat menurunkan resiko terjadinya kanker hati.

Oleh karena itu, vaksin jenis ini hanya dapat digunakan pada jenis kanker yang
disebabkan oleh infeksi virus. Namun sebagian besar kanker yang ada, seperti kanker
kolorektal, paru, prostat dan payudara, bukan disebabkan oleh infeksi virus. Para dokter
belum sepenuhnya yakin bahwa akan ada vaksin untuk mencegah terjadinya jenis kanker
tersebut. Saat ini ada beberapa peneliti yang mencoba untuk membuat vaksin supaya dapat
mencegah terjadinya jenis kanker tersebut.

8.2 VAKSIN YANG MEMBANTU DALAM TERAPI KANKER

Vaksin yang membantu terapi kanker berbeda dari vaksin yang efektif terhadap virus.
Vaksin-vaksin ini berusaha untuk meningkatkan sistem imun agar dapat melawan sel-sel
kanker di dalam tubuh. Sifat vaksin ini bukan mencegah namun mengobati penyakit yang
sudah ada di dalam tubuh.

Vaksin yang digunakan dalam terapi kanker ini menggunakan sel-sel kanker, bagian
dari sel atau antigen murni yang digunakan untuk meningkatkan respon sistem imun
terhadap sel kanker yang sudah ada di dalam tubuh. Vaksin-vaksin ini biasanya
dikombinasikan dengan substansi-substansi lain atau sel yang disebut sebagai adjuvan,
yang berfungsi untuk meningkatkan respon sistem imun lebih jauh lagi.

Vaksin ini tidak hanya meningkatkan sistem imun secara umum, namun mereka
memberikan perintah pada sistem imun untuk menyerang sel-sel tertentu atau antigen yang
spesifik. Dan oleh karena sistem imun memiliki sel memori, maka diharapkan bahwa vaksin
ini membantu tubuh untuk mencegah terjadinya rekurensi.

Pada saat ini hanya ada satu vaksin yang disetujui oleh FDA dalam terapi kanker.
Vaksin yang digunakan untuk terapi kanker prostat lanjut yang sudah tidak diterapi dengan
terapi hormon, yaitu Provenge.

14
8.3 TIPE VAKSIN YANG SEDANG DITELITI
a. VAKSIN SEL TUMOR : Vaksin ini dibuat dari sel kanker asli yang diambil pada
saat pembedahan. Sel-sel ini diradiasi di laboratorium, sehingga mereka tidak
dapat membelah diri. Para peneliti juga kadang menambahkan beberapa
modifikasi pada sel tersebut, dengan menambahkan bahan-bahan kimia atau
gen-gen baru, untuk membuat mereka berbeda dengan sel induknya, sehingga
dapat dikenali oleh tubuh sebagai antigen. Setelah itu, sel-sel tersebut
dimasukkan ke dalam tubuh pasien. Sistem imun akan mengenali sel-sel ini
sebagai antigen, sehingga sistem imun akan mencari antigen lain yang
menyerupai vaksin ini di dalam tubuh manusia. Kebanyakan vaksin sel tumor
adalah autologous, yang berarti vaksin dibuat dari sel tumor dari orang yang
sama. Ada juga jenis vaksin yang allogenic, yang berarti vaksin dibuat dari sel
tumor dari orang yang berbeda. Sampai saat ini, masih belum jelas mana yang
lebih baik antara kedua jenis vaksin ini.
b. Vaksin antigen : vaksin jenis ini meningkatkan sistem imun hanya dengan
menggunakan satu jenis atau beberapa antigen tertentu, dan bukan dari sel
tumor secara keseluruhan. Antigen biasanya berupa protein atau peptida. Vaksin
antigen mungkin spesifik untuk jenis kanker tertentu, namun vaksin itu tidak
dibuat untuk pasien tertentu (seperti vaksin autologous) Para peneliti kadang-
kadang menggabungkan beberapa antigen tertentu untuk memberikan respon
imun yang lebih kuat.
c. Vaksin sel dendritik : sel dendritik adalah sel imun spesial di dalam tubuh yang
membantu sistem imun mengenali sel-sel kanker. Mereka menghancurkan sel
kanker sampai antigennya, kemudian akan mengikat antigen ini sehingga sel
imun lainnya, yaitu sel T, dapat menghancurkan mereka. Hal ini akan
mempermudah sistem imun untuk mengenali dan menyerang sel kanker. Vaksin
sel dendritik termasuk jenis autologus dan harus dibuat untuk masing-masing
pasien. Provenge merupakan salah satu contoh dari vaksin sel dendritik.
d. Vaksin DNA : ketika vaksin sel tumor atau antigen diinjeksikan ke dalam tubuh
seseorang, pada awalnya mereka akan memberikan efek sistem imun yang baik,
namun seiring dengan berjalannya waktu mereka akan menurun efektifitasnya.
Hal ini diakibatkan karena sistem imun mengenali mereka sebagai benda asing
dan dengan cepat akan menghancurkan mereka. Tanpa adanya stimulasi lebih
lanjut, sistem imun akan kembali ke kondisi semula (sebelum diberikan vaksin).
Untuk mengatasi hal ini, para ilmuwan mencari cara untuk memberikan stimulasi
yang dapat berlangsung lama. DNA merupakan substansi dalam sel yang berisi
kode genetik untuk protein yang dibuat sel tersebut. Vektor dapat diberikan DNA

15
ini, sehingga ketika dimasukkan ke dalam tubuh, vektor tersebut dapat membuat
protein seperti antigen sel kanker, sehingga akan menimbulkan stimulasi yang
berguna bagi sistem imun yang berkepanjangan.
e. Vaksin dengan menggunakan vektor : vaksin ini menggunakan sistem dellivery
spesial untuk membuat mereka lebih efektif. Sebenarnya mereka bukan
merupakan bagian dari vaksin, sebagai contoh, vaksin antigen atau DNA dengan
menggunakan vektor. Vektor yang digunakan disini adalah virus, bakteri, ragi,
atau struktur lain yang bisa menghantarkan antigen atau DNA ke dalam tubuh.
Vektor-vektor ini sudah dimodifikasi sehingga kuman-kuman ini tidak akan
menyebabkan suatu penyakit.

9. CARA LAIN UNTUK MENINGKATKAN SISTEM IMUN

Pada saat ini telah diteliti beberapa bentuk immunoterapi untuk meningkatkan sistem
imun tertentu. Pengobatan dengan cara ini memberikan harapan baru dalam terapi kanker,
namun sampai saat ini pengobatannya sangat komplek dan pengobatannya hanya terbatas
pada rumah sakit tertentu saja.

a. Lymphokine-activated killer cell therapy

Para ilmuwan dapat membuat sel T yang dapat melawan sel kanker dalam jumlah
besar di laboratorium. Setelah itu , sel T yang telah dimodifikasi ini diinjeksikan ke
dalam aliran darah yang disebut sebagai lymphokine-activated killer cells (sel LAK),
yang lebih efektif dalam melawan sel kanker. Pengobatan dengan sel LAK ini
memiliki harapan yang baik, karena pada percobaan dengan binatang memberikan
hasil yang memuaskan. Walaupun percobaan pada manusia belum memberikan
hasil yang cukup signifikan, para peneliti sedang berupaya untuk meningkatkan
efektifitas sel LAK pada manusia.

b. Tumor-infiltrating lymphocyte vaccine with interleukin-2


Para peneliti telah menemukan sel sistem imun di dalam sel tumor dan memberi
nama sel ini sebagai tumor-infiltrating lymphocytes (TILs). Sel-sel ini dapat
dipisahkan dari sel tumor yang diambil dari pasien dan diperbanyak di laboratorium
dengan bantuan IL-2. Ketika sel ini kembali diinjeksikan kepada pasien, sel-sel ini
dapat memberikan efek anti kanker. Pada penelitian awal mengenai sel ini, telah
diberitakan bahwa hasil yang didapat cukup menggembirakan, namun kesulitannya

16
adalah para dokter belum tentu dapat mengekstraksi sel ini karena letaknya yang
jauh di dalam sel tumor.

10. KESIMPULAN
Immunoterapi mungkin merupakan cahaya baru dalam pengobatan kanker.
Meskipun antibodi monoklonal, sitokin, dan vaksin secara tunggal dapat memberikan efek
yang menjanjikan, namun strategi terbaik kita adalah memberikan semuanya untuk melawan
sel kanker. Sudah jelas, bahwa strategi yang berbeda dapat memberikan keuntungan pada
populasi pasien tertentu. Mungkin hasil yang terbaik didapat dari vaksin yang
dikombinasikan dengan berbagai macam antigen, atau kombinasi dari vaksin dan antibodi.
Kombinasi dari immunoterapi nonspesifik dan spesifik dapat juga digunakan sebagai lini
pengobatan kanker. Dengan banyaknya penelitian yang sudah berjalan ini, tujuan utama
kita adalah mencari cara untuk membangkitkan sistem imun sehingga responnya dapat
adekuat terhadap sel kanker dan bertahan seumur hidup.

REFERENSI

1. Immunotherapy, American Cancer Society, last revised : 9 Mei 2012, [cited from
www.cancer.org 7 juni 2012].
2. Kauffman Howard, Immunotherapy for cancer, cited on 07 June 2012,
http://www.meds.com/immunotherapy
3. Vanneman Matthew, Dranoff Glenn, Combining Immunotherapy and Targeted
Therapies in Cancer Treatment. Nature Reviews Cancer 12, 237-251 (April 2012)
| doi:10.1038

17

Anda mungkin juga menyukai