Anda di halaman 1dari 35

LEMBAR KERJA

FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI II

OLEH

KELOMPOK : V
KELAS : FARMASI A
DOSEN : Hj. Gemy Nastity Handayany, S.Si., M.Si., Apt.

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

SAMATA – GOWA
2015
PENDAHULUAN

Seiring dengan makin berkembangnya pemahaman mengenai respon imun

tubuh dalam menghadapi infeksi maupun penyakit lain, makin berkembang pula

penelitian mengenai komponen yang dapat mempengaruhi respon imun tersebut.

Adanya pengetahuan mengenai bagaimana sel berkomunikasi (berinteraksi)

memungkinkan kita untuk mengembangkan cara memanipulasi jalur komunikasi

tersebut.

Bahan-bahan yang dapat memodulasi sistem imun tubuh dikenal sebagai

imunomodulator. Secara klinis imunomodulator digunakan pada pasien dengan

gangguan imunitas, antara lain pada kasus keganasan, HIV/AIDS, malnutrisi,

alergi, dan lain-lain.

Saat ini kita mengenal berbagai bahan yang dinyatakan dapat

meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit yang disebut sebagai

imunostimulator. Bahan-bahan herbal yang digunakan sebagai imunostimulator

antara lain Morinda citrifolia, Centella asiatica, jamur Maitake, Echinacea dan

Phyllanthus sp. Bahan-bahan tersebut dipercaya memiliki berbagai khasiat yang

menguntungkan bagi kesehatan. Ekstrak Echinacea dinyatakan memiliki efek

stimulasi sistim imun, antiinflamasi dan antiinfeksi, Phyllanthus sp. dipercaya

memiliki efek antivirus, antiinflamasi, analgetik dan masih banyak lagi.

sedangkan jamur Maitake sejak dahulu dipercaya sebagai bahan makanan yang

bernilai gizi sangat tinggi dan dapat mencegah dan menyembuhkan berbagai

penyakit.
LEMBAR KERJA

1. Klarifikasi Kata Sulit dan Kata-Kata Kunci

Imunomodulator : obat yang dapat mengembalikan dan memperbaiki sistem

imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang

fungsinya berlebihan.

Imunostimulator : disebut juga imunopotensiasi adalah cara memperbaiki

fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang

merangsang sistem tersebut.

Imunosupresor : suatu tindakan untuk menekan respons imun.

Imunorestorasi : suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang

terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem

imun.

Imunitas : atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang

melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan

mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor.

Autoimun : respon kekebalan salah sasaran yang terjadi ketika sistem

kekebalan tubuh kacau dan menyerang tubuh sendiri.

Sistem imun : atau sistem kekebalan tubuh adalah mekanisme pertahanan

tubuh yang bertugas merespon atau menanggapi ''serangan''

dari luar tubuh.

Mikroorganisme : atau mikroba adalah organisme yang berukuran sangat

kecil sehingga untuk mengamatinya diperlukan alat

bantuan.
Kecacingan : infeksi cacing (Soil Transmitted Helminthes) yang disebabkan

oleh cacing gelang, cacing cambuk,cacing tambang, bersifat

parasit, dan merugikan.

2. Kata/Problem Kunci

Imunomodulator

Sistem imun

Autoimun

Imunitas

Mikroorganisme

3. Pertanyaan-Pertanyaan Penting

a. Jelaskan definisi dari sistem imun!

b. Jelaskan penyakit-penyakit yang dapat menurunkan sistem kekebalan

tubuh!

c. Jelaskan fungsi sistem imun bagi tubuh!

d. Jelaskan definisi dari imunomodulator!

e. Jelaskan jenis-jenis imunomodulator dan fungsinya!

a. Jelaskan definisi dari infeksi kecacingan!

b. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penularan infeksi STH!

c. Jelaskan jenis cacing yang dapat menyebabkan kecacingan!

d. Bagaimanakah cara pencegahan penyakit kecacingan?


4. Jawaban

a. Definisi Sistem Imun

Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah mekanisme pertahanan tubuh

yang bertugas merespon atau menanggapi ''serangan'' dari luar tubuh kita. Dikatakan

pula bahwa imunomodulator terutama dibutuhkan untuk kondisi dimana status

sistem imun akan mempengaruhi kondisi pasien dan penyebaran penyakit, seperti

pada kasus terapi adjuvan yang melibatkan infeksi bakteri, fungi atau virus

(Tjandrawinata et al., 2005).

Saat terjadi serangan, biasanya antigen pada tubuh akan mulai bertugas.

Antigen bertugas menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Kelak, mekanisme inilah

yang akan melindungi tubuh dari serangan berbagai mikroorganisme seperti

bakteri, virus, jamur, dan berbagai kuman penyebab penyakit. Ketika sistem imun

tidak bekerja optimal, tubuh akan rentan terha-dap penyakit. Beberapa hal dapat

mempengaruhi daya tahan tubuh. Misalnya saja karena faktor lingkungan,

makanan, gaya hidup sehari-hari, stres, umur, dan hormon. Untuk itu sebelum

jatuh sakit, penting kiranya setiap orang menjaga gaya hidup yang sehat dan baik.

Caranya dengan mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, hidup yang sehat

dan higienis, tidur cukup selama delapan jam sehari, minum air putih dua liter per

hari, olahraga teratur dan menjaga berat badan yang ideal (Haryadi, 2006).

Sistem imun dibagi atas dua jenis, yaitu sistem imun kongenital atau non

spesifik dan sistem imun didapat atau adaptive atau spesifik. Mekanisme

pertahanan tubuh oleh sistem imun kongenital bersifat spontan, tidak spesifik, dan

tidak berubah baik secara kualitas maupun kuantitas bahkan setelah paparan
berulang dengan patogen yang sama. Sedangkan sistem imun didapat muncul

setelah proses mengenal oleh limfosit (clonal selection), yang tergantung pada

paparan terhadap patogen sebelumnya. Adanya sistem imun kongenital

memungkinkan respon imun dini untuk melindungi tubuh selama 4-5 hari, yang

merupakan waktu yang diperlukan untuk mengaktivasi limfosit (imunitas

didapat). Mekanisme pertahanan tubuh ini dibagi atas 3 fase: (Flachsmann, 2001)

1) Immediate phase, ditandai oleh terdapatnya komponen sistem imun

kongenital (makrofag dan neutrofil), yang beraksi langsung terhadap

patogen tanpa diinduksi. Jika mikroorganisme (m.o) memiliki molekul

permukaan yang dikenali oleh fagosit (makrofag dan neutrofil) sebagai

benda asing, akan diserang atau dihancurkan secara langsung. Bila m.o

dikenali sebagai antibodi, maka protein komplemen yang sesuai yang

berada diplasma akan berikatan dengan m.o, kompleks ini kemudian

dikenal sebagai benda asing oleh fagosit dan kemudian diserang atau

dihancurkan.

2) Acute-phase proteins atau early phase, muncul beberapa jam

kemudian, diinduksi, tetapi masih bersifat non spesifik, timbul bila

fagosit gagal mengenal m.o melalui jalur diatas. Mikroorganisme akan

terpapar terhadap acute-phase proteins (APPs) yang diproduksi oleh

hepatosit dan kemudian dikenali oleh protein komplemen. Kompleks

m.o, APPs, dan protein komplemen kemudian dikenali oleh fagosit dan

diserang serta dihancurkan.

3) Late phase, merupakan respon imun didapat yang timbul 4 hari setelah
infeksi pertama, ditandai oleh clonal selection limfosit spesifik. Pada

fase ini dibentuk molekul dan sel efektor pertama.

b. Penyakit-Penyakit Yang Dapat Menurunkan Sistem Kekebalan Tubuh

Menurut Djauzi (2003) penyakit yang dapat menurunkan kekebalan tubuh

diantaranya adalah: (1). Infeksi virus, pada umumnya infeksi virus menurunkan

imunitas. Penurunan kekebalan tubuh dapat bersifat sementara misalnya pada SARS,

influenza, herpes, morbili, juga common cold (batuk pilek), tetapi dapat pula

menurunkan kekebalan tubuh secara lama dan progresif misalnya HIV. (2). Kanker,

pada penyakit kanker juga terjadi penurunan kekebalan tubuh dan pada kanker lanjut

penurunan kekebalan tubuh menjadi lebih nyata. (3). Penyakit kronik, beberapa

penyakit seperti diabetes melitus, sirosis hati, gagal ginjal kronik, tuberkolosis, lepra,

juga menurunkan imunitas (Djauzi, 2003).

c. Fungsi Sistem Imun Bagi Tubuh

Respons imun diperlukan untuk 3 hal, yaitu pertahanan tubuh terhadap

infeksi mikroorganisme, homeostasis terhadap eliminasi komponen-komponen

tubuh yang sudah tua, dan pengawasan terhadap penghancuran sel-sel yang

bermutasi terutama yang mejadi ganas. Dengan kata lain, respons imun dapat

diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat mempertahankan keseimbangan

antara lingkungan di luar dan di dalam tubuh (Bratawidjaja, 2002).

d. Definisi Imunomodulator

Imunomodulator merupakan zat ataupun obat yang dapat mengembalikan

ketidak-seimbangan sistem kekebalan yang terganggu dengan cara merangsang

dan memperbaiki fungsi sistem kekebalan (Bratawidjaja, 2002).


Imunomodulator adalah berbagai agen yang berefek meningkatkan jalur

Th1 (fagositosis), menghambat jalur Th2, agen yang berefek antiinflamasi,

antihistamin, menghambat migrasi eosinofil ke daerah lesi, mencegah degranulasi

sel mast dan basofil, memblokade Fc reseptor, menginhibisi IL-1, IL-2, IL-3, IL-

4, dan IL-5, mengurangi secara selektif sel-sel imun yang aktif berlebihan,

menginhibisi aktivasi sistem komplemen, menekan fungsi limfosit T dan B (Lai,

2002).

Tumbuhan obat yang bekerja pada sistem imunitas bukan hanya bekerja

sebagai efektor yang langsung menghadapi penyebab penyakitnya, melainkan

bekerja melalui pengaturan imunitas. Bahan-bahan yang bekerja demikian

digolongkan sebagai imunomodulator. Jadi, apabila kita mengobati penyakit yang

disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dengan imunomodulator, maka

imunomodulator tersebut tidak akan menghadapi secara langsung

mikroorganismenya, melainkan sistem imunitas akan didorong untuk menghadapi

melalui efektor sistem imunitas (Subowo, 1996).

e. Fungsi Imunomodulator

Fungsi imunomodulator adalah memperbaiki sistem imun yaitu dengan cara

stimulasi (imunostimulan) atau menekan/menormalkan reaksi imun yang abnormal

(imunosupresan). Dikenal dua golongan imunostimulan yaitu imunostimulan biologi

dan sintetik. Dikenal dua golongan imunostimulan yaitu imunostimulan biologi dan

sintetik. Beberapa contoh imunostimulan biologi adalah sitokin, antibodi monoklonal,

jamur, dan tanaman obat (herbal). Sedangkan imunostimulan sintetik yaitu levamisol,

isoprinosin dan muramil peptidase (Djauzi, 2003).


f. Jenis-Jenis Imunomodulator

Imunomodulator dibagi menjadi 3 kelompok: i) imunostimulator,

berfungsi untuk meningkatkan fungsi dan aktivitas sistem imun, ii)

imunoregulator atau imunorestorasi, artinya dapat meregulasi sistem imun, dan

iii) imunosupresor, yang dapat menghambat atau menekan aktivitas sistem imun.

Kebanyakan tanaman obat yang telah diteliti membuktikan adanya kerja

imunostimulator, sedangkan untuk imunosupresor masih jarang dijumpai.

Pemakaian tanaman obat sebagai imunostimulator dengan maksud menekan atau

mengurangi infeksi virus dan bakteri intraseluler, untuk mengatasi

imunodefisiensi atau sebagai perangsang pertumbuhan sel-sel pertahanan tubuh

dalam sistem imunitas (Block dan Mead, 2003). Bahan yang dapat menstimulasi

sistem imun berperan mengendalikan respon imun baik pada sistem imunitas

seluler maupun humoral (Tizard, 2000).

1) Imunorestorasi (Bratawidjaja, 2002)

Ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu

dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti: immunoglobulin

dalam bentuk Immune Serum Globulin (ISG), Hyperimmune Serum Globulin

(HSG), plasma, plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi sumsum tulang, hati

dan timus.

a) ISG dan HSG

Diberikan untuk memperbaiki fungsi sistem imun pada penderita dengan

defisiensi imun humoral, baik primer maupun sekunder. ISG dapat diberikan

secara intravena dengan aman. Defisiensi imunoglobulin sekunder dapat terjadi


bila tubuh kehilangan Ig dalam jumlah besar, misalnya pada sindrom nefrotik,

limfangiektasi intestinal, dermatitis eksfoliatif dan luka bakar.

b) Plasma

Infus plasma segar telah diberikan sejak tahun 1960 dalam usaha

memperbaiki sistem imun. Keuntungan pemberian plasma adalah semua jenis

imunoglobulin dapat diberikan dalam jumlah besar tanpa menimbulkan rasa sakit.

c) Plasmapheresis

Plasmapheresis (pemisahan sel darah dari plasma) digunakan untuk

memisahkan plasma yang mengandung banyak antibodi yang merusak jaringan

atau sel, seperti pada penyakit: miastenia gravis, sindroma goodpasture, dan

anemia hemolitik autoimun.

d) Leukopheresis

Pemisahan leukosit secara selektif dari penderita telah dilakukan dalam

usaha terapi artritis reumatoid yang tidak baik dengan cara-cara yang sudah ada.

2) Imunostimulasi (Bratawidjaja, 2002)

Imunostimulasi yang disebut juga imunopotensiasi adalah cara

memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang

sistem tersebut. Biological Response Modifier (BRM) adalah bahan-bahan yang

dapat merubah respons imun, biasanya meningkatkan.


Bahan yang disebut imunostimulator itu dapat dibagi sebagai berikut:

1. Biologik

a. Hormon timus

Sel epitel timus memproduksi beberapa jenis homon yang berfungsi dalam

pematangan sel T dan modulasi fungsi sel T yang sudah matang. Ada 4 jenis

hormon timus, yaitu timosin alfa, timolin, timopoietin dan faktor humoral timus.

Semuanya berfungsi untuk memperbaiki gangguan fungsi imun (imunostimulasi

non-spesifik) pada usia lanjut, kanker, autoimunitas dan pada defek sistem imun

(imunosupresi) akibat pengobatan. Pemberian bahan-bahan tersebut jelas

menunjukkan peningkatan jumlah, fungsi dan reseptor sel T dan beberapa aspek

imunitas seluler. Efek sampingnya berupa reaksi alergi lokal atau sistemik.

b. Limfokin

Disebut juga interleukin atau sitokin yang diproduksi oleh limfosit yang

diaktifkan. Contohnya ialah Macrophage Activating Factor (MAF), Macrophage

Growth Factor (MGF), T-cell Growth Factor atau Interleukin-2 (IL-2), Colony

Stimulating Factor (CSF) dan interferon gama (IFN-γ). Gangguan sintetis IL-2

ditemukan pada kanker, penderita AIDS, usia lanjut dan autoimunitas.

c. Interferon

Ada tiga jenis interferon yaitu alfa, beta dan gama. INF-α dibentuk oleh

leukosit, INF-β dibentuk oleh sel fibroblas yang bukan limfosit dan IFN-γ

dibentuk oleh sel T yang diaktifkan. Semua interferon dapat menghambat

replikasi virus DNA dan RNA, sel normal dan sel ganas serta memodulasi sistem

imun.
d. Antibodi monoklonal

Diperoleh dari fusi dua sel yaitu sel yang dapat membentuk antibodi dan

sel yang dapat hidup terus menerus dalam biakan sehingga antibodi tersebut dapat

dihasilkan dalam jumlah yang besar. Antibodi tersebut dapat mengikat

komplemen, membunuh sel tumor manusia dan tikus in vivo.

e. Transfer factor/ekstrak leukosit

Ekstrak leukosit seperti Dialysed Leucocyte Extract dan Transfer Factor

(TF) telah digunakan dalam imunoterapi. Imunostimulasi yang diperlihatkan oleh

TF yang spesifik asal leukosit terlihat pada penyakit seperti candidiasis

mukokutan kronik, koksidiomikosis, lepra lepromatosa, tuberkulosis, dan vaksinia

gangrenosa.

f. Lymphokin-Activated Killer (LAK) Cells

Adalah sel T sitotoksik singeneik yang ditimbulkan in vitro dengan

menambahkan sitokin seperti IL-2 ke sel-sel seseorang yag kemudian diinfuskan

kembali. Prosedur ini merupakan imunoterapi terhadap keganasan.

g. Bahan asal bakteri

1) BCG (Bacillus Calmette Guerin), memperbaiki produksi limfokin dan

mengaktifkan sel NK dan telah dicoba pada penanggulangan keganasan

(imuno-stimulan non-spesifik).

2) Corynebacterium parvum (C. parvum) digunakan sebagai

imunostimulasi non spesifik pada keganasan.

3) Klebsiella dan Brucella, diduga memiliki efek yang sama dengan BCG.
4) Bordetella pertusis, memproduksi Lymphocytosis Promoting Factor

(LPF) yang merupakan mitogen untuk sel T dan imunostimulan.

5) Endotoksin, dapat merangsang proliferasi sel B dan sel T serta

mengaktifkan makrofag.

h. Bahan asal jamur

Berbagai bahan telah dihasilkan dari jamur seperti lentinan, krestin dan

schizophyllan. Bahan-bahatersebut merupakan polisakarida dalam bentuk beta-

glukan yang dapat meningkatkan fungsi makrofag dan telah banyak digunakan

dalam pengobatan kanker sebagai imunostimulan nonspesifik. Penelitian terbaru

menemukan jamur Maitake (Grifola frondosa) yang mengandung betaglukan

yang lebih poten sebagai imunostimulan pada pasien dengan HIV-AIDS,

keganasan, hipertensi dan kerusakan hati (liver ailments).

2. Sintetik

a. Levamisol

Merupakan derivat tetramizol yang dapat meningkatkan proliferasi dan

sitotoksisitas sel T serta mengembalikan anergi pada beberapa penderita dengan

kanker (imunostimulasi nonspesifik). Telah digunakan dalam penanggulangan

artritis reumatoid, penyakit virus dan lupus eritematosus sistemik.

b. Isoprinosin

Disebut juga isosiplex (ISO), adalah bahan sintetis yang mempunyai sifat

antivirus dan meningkatkan proliferasi dan toksisitas sel T. Diduga juga

membantu produksi limfokin (IL-2) yang berperan pada diferensiasi limfosit,

makrofag dan peningkatan fungsi sel NK.


c. Muramil Dipeptida (MDP)

Merupakan komponen aktif terkecil dari dinding sel mycobacterium. Pada

pemberian oral dapat meningkatkan sekresi enzim dan monokin. Bila diberikan

bersama minyak dan antigen, MDP dapat meningkatkan baik respons seluler dan

humoral.

d. Bahan-bahan lain

Berbagai bahan yang telah digunakan secara eksperimental di klinik

adalah:

- Azimexon dan ciamexon: diberikan secara oral dan dapat meningkatkan respons

imun seluler.

- Bestatin: diberikan secara oral dan dapat meningkatkan respons imun seluler dan

humoral.

- Tuftsin: diberikan secara parenteral dan dapat meningkatkan fungsi makrofag,

sel NK dan granulosit.

- Maleic anhydride, divynil ether copolymer: diberikan secara parenteral dan

dapat meningkatkan fungsi makrofag dan sel NK.

- 6-phenil-pyrimidol: diberikan secara oral dan dapat meningkatkan fungsi

makrofag dan sel NK.

3) Imunosupresi (Bratawidjaja, 2002)

Merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya di

klinik terutama pada transplantasi untuk mencegah reaksi penolakan dan pada

berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik,

seperti autoimun atau auto-inflamasi.


a) Steroid

Steroid seperti glukokortikoid atau kortikosteroid (KS) menunjukkan efek

anti-inflamasi yang luas dan imunosupresi. Efek ini nampak dalam berbagai

tingkat terhadap produksi, pengerahan, aktivasi dan fungsi sel efektor. Efek

antiinflamasi dan efek imunosupresi KS sulit dibedakan karena banyak sel, jalur

dan mekanisme yang sama terlibat dalam kedua proses tersebut. KS efektif

terhadap penyakit autoimun yang sel T dependen seperti tiroiditis Hashimoto,

berbagai kelainan kulit, polymiositis, beberapa penyakit reumatik, hepatitis aktif

dan inflammatory bowel disease.

b) Cyclophosphamide atau cytoxan dan chlorambucil

Merupakan alkylating agent yang dewasa ini banyak digunakan dalam

pengobatan imun, sebagai kemoterapi kanker dan pada transplantasi sumsum

tulang. Oleh karena efek toksiknya, hanya digunakan pada penyakit berat.

c) Anatagonis purin: Azathioprine dan Mycophenolate Mofetil

Azathioprine (AT) digunakan di klinik sebagai transplantasi, artritis

reumatoid, LES, inflamatory bowel disease, penyakit saraf dan penyakit autoimun

lainnya. Mycophenolate Mofetil (MM) adalah inhibitor iosine monophosphate

dehydrogenase, yang berperan pada sintetis guanosin. Digunakan pada

transplantasi (ginjal, jantung, hati), artritis reumatoid dan kondisi lain seperti

psoriasis.

d) Cyclosporine-A, Tacrolimus (FK506) dan Rapamycin

Ketiga obat di atas digunakan untuk mencegah reaksi penolakan pada

transplantasi antara lain: sumsum tulang dan hati.


e) Methotrexate (MTX)

Merupakan antagonis asam folat yang digunakan sebagai anti kanker dan

dalam dosis yang lebih kecil digunakan pada pengobatan artritis reumatoid,

juvenile artritis reumatoid, polymyositis yang steroid resisten dan dermomyositis,

sindrom Felty, sindrom Reiter, asma yang steroid dependen dan penyakit

autoimun lain.

f) Imunosupresan lain

Radiasi, drainase duktus torasikus dan pemberian interferon dosis tinggi

telah digunakan secara eksperimental dalam klinik sebagai imunosupresan. Di

masa mendatang sudah dipikirkan penggunaan prostaglandin, prokarbazin,

miridazol dan antibodi anti sel T.

g) Antibodi monoklonal

Antibodi dapat merupakan suatu imunosupresan yang aktif baik untuk sel

B maupun sel T. Berbagai antibodi monoklonal seperti terhadap Leucocyte

Differentiation Antigen dapat menekan imunitas spesifik dan non-spesifik seperti

CD3 dan CD8. Dengan diketahuinya peranan sitokin dan ditemukannya reseptor

terhadap sitokin yang larut, telah dipikirkan pula untuk menggunakan mekanisme

ini untuk mempengaruhi respons imun.

5. Tujuan Pembelajaran

a. Untuk mengetahui definisi dari sistem imun.

b. Untuk mengetahui penyakit-penyakit yang dapat menurunkan sistem

kekebalan tubuh.

c. Untuk mengetahui fungsi sistem imun bagi tubuh.


d. Untuk mengetahui definisi dari imunomodulator.

e. Untuk mengetahui jenis-jenis imunomodulator dan fungsinya.

a. Untuk mengetahui definisi dari infeksi kecacingan.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penularan infeksi

STH.

c. Untuk mengetahui jenis cacing yang dapat menyebabkan kecacingan.

d. Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit kecacingan.


6. Informasi Tambahan

Levamisol Hormon timus


Bahan2 lain
Bahan asal
Bahan asal
jamur
bakteri
Isoprinosin
LAK Cells

MDP Antibodi DLE/TF


monoklonal
Interferon

Limfokin

Sintetik Biologik

Imunostimulator

Imunomodulator

Imunosupresor Imunoregulator

MTX Cyclophosphamide Plasma

ISG dan HSG

Anatagonis purin

Steroid Plasmapheresis

Leukopheresis
Imunosupresan lain Antibodi monoklonal
7. Klarifikasi Informasi

a. Definisi Infeksi Kecacingan

Infeksi Kecacingan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat

di Indonesia yang masih tinggi prevalensinya terutama pada kelompok umur

balita dan anak usia sekolah dasar terutama di daerah pedesaan dan daerah kumuh

perkotaan (Mardiana dan Djarismawati, 2008). Definisi infeksi kecacingan

menurut WHO (2011) adalah sebagai infestasi satu atau lebih cacing parasit usus

yang terdiri dari golongan nematoda usus. Diantara nematoda usus ada sejumlah

spesies yang penularannya melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis

STH yaitu A. lumbricoides, N. americanus, T. trichuira dan A. duodenale

(Gandahusada, 2006).

Kecacingan ini umumnya ditemukan di daerah tropis dan subtropis dan

beriklim basah dimana hygiene dan sanitasinya buruk. Penyakit ini merupakan

penyakit infeksi paling umum menyerang kelompok masyarakat ekonomi lemah

dan ditemukan pada berbagai golongan usia (WHO, 2011). Penyakit ini tidak

selalu menyebabkan kematian atau bahkan penyakit yang berat, namun dalam

keadaan yang bersifat kronis pada penderitanya dapat menyebabkan gangguan

absorbsi dan metabolisme zat-zat gizi yang berujung pada kekurangan gizi dan

menurunnya daya tahan tubuh.

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penularan Infeksi STH

Menurut Hotes (2003) mengemukakan bahwa faktor-faktor risiko yang

dapat mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang penyebarannya melalui

tanah antara lain:


1. Lingkungan

Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh terutama di

daerah kota atau daerah pinggiran (Hotes, 2003). Sedangkan menurut Phiri (2000)

yang dikutip Hotes (2003) bahwa jumlah prevalensi Ascaris lumbricoides banyak

ditemukan di daerah perkotaan. Sedangkan menurut Albonico yang dikutip Hotes

(2003) bahwa jumlah prevalensi tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau

pedesaan yang masyarakat sebagian besar masih hidup dalam kekurangan.

2. Tanah

Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah

dengan tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam

tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu optimal ± 30ºC (Depkes R.I, 2004:

18). Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar antara 25ºC-

30ºC sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai

menjadi bentuk infektif (Srisasi Gandahusada, 2000: 11). Sedangkan untuk

pertumbuhan larva Necator americanus yaitu memerlukan suhu optimum 28 ºC-

32 ºC dan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma

duodenale lebih rendah yaitu 23ºC-25ºC tetapi umumnya lebih kuat

(Gandahusada, 2000).

3. Iklim

Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di daerah

tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan untuk Necator

americanus dan Ancylostoma duodenale penyebaran ini paling banyak di daerah

panas dan lembab. Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu
dan kelembapan yang tinggi terutama di daerah perkebunan dan pertambangan

(Onggowaluyo, 2002).

4. Perilaku

Perilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacingan yaitu yang ditularkan

lewat tanah (Peter J. Hotes, 2003: 21). Anak-anak paling sering terserang penyakit

cacingan karena biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut,

atau makan nasi tanpa cuci tangan (Oswari, 1991).

5. Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan menurut Tshikuka

(1995) dikutip Hotes (2003) yaitu faktor sanitasi yang buruk berhubungan dengan

sosial ekonomi yang rendah.

6. Status Gizi

Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif),

penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara keseluruhan

(kumulatif), infeksi cacingan dapat menimbulkan kekurangan zat gizi berupa

kalori dan dapat menyebabkan kekurangan protein serta kehilangan darah. Selain

dapat menghambat perkembangan fisik,anemia, kecerdasan dan produktifitas

kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga

mudah terkena penyakit lainnya (Depkes R.I, 2006).

c. Jenis Cacing yang dapat Menyebabkan Kecacingan

1) Ascaris lumbricoides

a) Morfologi dan Daur Hidup


Manusia merupakan hospes definitif cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-

30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus,

cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur

yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi.

Di tanah, dalam lingkungan yang sesuai telur yang dibuahi tumbuh menjadi

bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan

manusia akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding

usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa kemudian di alirkan ke jantung lalu

mengikuti aliran darah ke paru-paru. Setelah itu melalui dinding alveolus masuk ke

rongga alveolus, lalu naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea

larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan

masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa.

Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai

menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 2000: 10).

b) Patofisiologi

Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Dapat

berupa gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan

konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan

penyerapan makanan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing

menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus

obstructive).

Selain itu menurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan Menteri

Kesehatan (2006) gangguan juga dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke
paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang

disebut Sindroma Loeffler.

c) Gejala Klinis dan Diagnosis

Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Pada

permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Anak yang menderita

cacingan biasanya lesu, tidak bergairah dan kurang konsentrasi belajar. Pada

anak-anak yang menderita Ascariasis lumbricoides perutnya tampak buncit, perut

sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang. Biasanya anak masih dapat

beraktivitas walau sudah mengalami penuruanan kemampuan belajar dan

produktivitas. Pemeriksaan tinja sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis

yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur

juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi (Menteri

Kesehatan, 2006).

d) Epidemiologi

Telur A. lumbricoides keluar bersama tinja, pada tanah yang lembab dan

tidak terkena sinar matahari langsung telur tersebut berkembang menjadi bentuk

infektif. Infeksi A. lumbricoides terjadi bila telur yang infektif masuk melalui

mulut bersama makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor

(Menteri Kesehatan,2006).

e) Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat.

Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat

piperasin, pyrantel pamoate, albendazole atau mebendazole. Pemilihan obat


anticacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:

mudah diterima di masyarakat, mempunyai efek samping yang minimum, bersifat

polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing, harganya

murah (terjangkau) (Menteri Kesehatan, 2006).

2) Ancylostoma (cacing tambang)

a) Morfologi dan Daur Hidup

Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies

cacing tambang yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus.

Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina

mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa

berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi.

Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan

keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas

menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi

larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu

di tanah.

Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60 x 40 mikron, berbentuk

bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva

rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filriform

panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran

darah ke jantung terus ke paru-paru.

Di paru larvanya menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke

trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus
dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit

atau ikut tertelan bersama makanan (Menteri Kesehatan , 2006).

b) Patofisiologi

Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain menghisap darah,

cacing tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat

isapan.

Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara

perlahan-lahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia)

akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas.

Kekurangan darah akibat cacingan sering terlupakan karena adanya penyebab lain

yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006).

c) Gejala Klinik dan Diagnosis

Lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap

penyakit, prestasi kerja menurun, dan anemia merupakan manifestasi klinis yang

sering terjadi. Di samping itu juga terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006).

d) Epidemiologi

Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada penduduk

yang bertempat tinggal di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap

darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung

lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat.

Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk

kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada,

2000).
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir,

humus) dengan suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat

dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah.

3) Trichuris trichiura

a) Morfologi dan Daur Hidup

Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang jantan

sekitar 4 cm. Hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam

mukosa usus.

Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar

3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti

tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur

bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur

yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang dalam

waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah

telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.

Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia

(hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus

halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke

kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi

cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2000).

b) Patofisiologi

Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga

ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak
cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada

mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu

defekasi.

Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi

trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat

pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Di samping itu cacing ini juga

mengisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Menteri

Kesehatan, 2006).

c) Gejala Klinik dan Diagnosis

Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak memberikan gejala

klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi berat dan

menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia,

berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi

Trichuris trichiura yang berat juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya

atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja

(Gandahusada, 2000).

d) Epidemiologi

Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan

tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum

kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun

merupakan sumber infeksi.

Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan

di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang sangat


endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis,

pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan

perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik

sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negera-negera yang

memakai tinja sebagai pupuk (Gandahusada, 2000).

Dahulu infeksi Trichuris trichiura sulit sekali diobati. Antihelminthik

seperti tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris

trichiura adalah Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate (Gandahusada,

2000).

d. Cara Pencegahan Penyakit Kecacingan

Upaya pencegahan cacingan dapat dilakukan melalui upaya kebersihan

perorangan ataupun kebersihan lingkungan. Kegiatan tersebut dapat dirinci

sebagai berikut. (Hadidjaja, 1994)

1. Menjaga Kebersihan Perorangan

a. Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar dengan

menggunakan air dan sabun.

b. Menggunakan air bersih untuk keperluan makan, minum, dan mandi.

c. Memasak air untuk minum.

d. Mencuci dan memasak makanan dan minuman sebelum dimakan.

e. Mandi dan membersihkan badan paling sedikit dua kali sehari.

f. Memotong dan membersihkan kuku.

g. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah, dan memakai sarung tangan bila
melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan tanah.

h. Menutup makanan dengan tutup saji untuk mencegah debu dan lalat

mencemari makanan tersebut.

2. Menjaga Kebersihan Lingkungan

a. Membuang tinja di jamban agar tidak mengotori lingkungan.

b. Jangan membuang tinja, sampah atau kotoran di sungai.

c. Mengusahakan pengaturan pembuangan air kotor.

d. Membuang sampah pada tempatnya untuk menghindari lalat dan lipas.

e. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan.


8. Mind Mapping
DAFTAR PUSTAKA

Block, K.I. And M.N. Mead. Immune System Effects of Echinacea, Ginseng and
Astragalus: A Review. Integrative Cancer Therapies. 2003.

Bratawidjaja, KG. Imunologi Dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. 2002.

DepKes RI. Sistem Kesehatan Nasional 2004. Jakarta. 2004

Djauzi, S. Perkembangan Imunomodulator. Simposium Peranan Echinacea


sebagai Imunomodulator dalam Infeksi Virus dan Bakteri. 2003.

Flachsmann. Echinacea purpurea Nonclonal Immuno Strategies and its


Modulations. Phyto Novum. 2001.

Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: FK


UI. 2000.

Gandahusada S. Ilahude H, Herry D dan Pribadi W. Parasitologi Kedokteran.


Jakarta: FK UI. 2006.

Hadidjaja P. Masalah Penyakit Kecacingan di Indonesia dan


Penanggulangannya. Jakarta: Majalah Kedokteran Indonesia. 1994.

Haryadi, P. Pangan Fungsional Indonesia. Food Review Indonesia. 2006.

Hotes P, Hookworm and Poverty, Department of Microbiology. Immunology and


Tropical Medicine. Washington D.C, USA : The George Washington
University. 2003.

Lai, JH., Immunomodulatory Effects and Mechanisms of Plant Alkaloid


Tetrandrine in Autoimmune Diseases. Acta Pharmacol Sin. 2002.

Mardiana dan Djarismawati. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar
Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan
Daerah Kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol. 7
No. 2. 2008.

Mayell M. Maitake Extracts their Therapeutic Potential A Review. Altern Med


Rev. 2001.

Onggowaluyo, J. Parasitologi Medik I (Helmintologi). Jakarta: Program Studi


Biomedik Kekhususan Parasitologi Universitas Indonesia. 2002.
Subowo. Efek Imunomodulator dari Tumbuhan Obat. Warta Tumbuhan Obat
Indonesia. 1996.

Tizard, I.R. Immunology: An Introduction. 6th Ed. New York: Saunders College
Publishing. 2004.

Tjandrawinata, R.R., S. Maat dan D. Noviarny. Effect of Standardized


Phyllanthus niruri Extract on Changes in Immunologic Parameters:
Correlation Between Preclinical and Clinical Studies. Medika XXXI.
2005.
Skenario

Seorang Ibu bersama dengan anaknya bernama DD, berusia 8 tahun, BB

15 kg, dan TB 120 cm datang ke Rumah Sakit Sejahtera. Si Ibu bercerita kepada

sang Dokter bahwa seminggu yang lalu anaknya menderita batuk, cepat lelah, dan

kurang konsentrasi saat belajar. Dengan saran dari seorang teman dan melihat

iklan di TV, maka Ibu tersebut memberikan obat Konidin dan Sangobion syrup

masing-masing 3 x sehari kepada si anak, namun belum juga sembuh. Dan 2 hari

yang lalu perut anaknya menjadi buncit dan sering sakit, diare, dan anorexia.

Berdasarkan pemeriksaan laboratorium bahwa pada feses: positif (+)

ditemukan telur cacing Ascariasis lumbricoides, kadar Hb < 10 gr/dl. Setelah

ditelusuri, ternyata pasien bertempat tinggal di daerah perkebunan, sering tidak

memakai alas kaki, dan suka bermain tanah. Dokter meresepkan obat oralit,

Curcuma Plus syrup, dan Levamisol 50 mg 2 x sehari. Apa saran Anda sebagai

seorang farmasis?

Penyelesaian

Keluhan: batuk, cepat lelah, kurang konsentrasi, perut buncit dan sering sakit,

diare, anorexia.

Objective:

1. Feses: positif (+) ditemukan telur cacing

2. Kadar Hb < 10 gr/dl

3. Konidin sebagai obat batuk

4. Sangobion untuk mengatasi lesu karena anemia

5. Oralit, Curcuma Plus, dan Levamisol 50 mg 2 x sehari


Assesment:

Kecacingan

Plan:

Terapi farmakologi

1. Konidin mengandung Guaifenesin 100 mg, Dextromethorphan HBr 5 mg,

Chlopheniramine Maleate 2 mg. Konidin diindikasikan untuk batuk karena

alergi, flu, pilek atau sisa-sisa bronchitis. Jadi, konidin tidak tepat untuk

diberikan sebagai obat batuk untuk pasien karena batuk yang dialami

pasien adalah batuk yang timbul dari gejala kecacingan.

2. Sangobion syrup sebagai obat anemia sudah betul karena sangobion

mengandung besi, sementara anemia yang diderita pasien adalah anemia

defisiensi besi. Dosisnya 1 cth per hari.

3. Pada penderita diare tanpa dehidrasi (Terapi A) diberikan cairan (air tajin, larutan

gula garam, oralit) sebanyak yang diinginkan hingga diare stop, sebagai petunjuk

berikan setiap habis BAB dengan dosis 200 – 300 ml.

4. Curcuma Plus syrup mengandung: Kurkuminoid (zat aktif temulawak) 2

mg, Vitamin B1 3 mg, Vitamin B2 2 mg, Vitamin B6 5 mg, Vitamin B12 5

mcg, Beta Karoten 10 % 4 mg, Dekspantenol 3 mg, Lysine HCl 200 mg.

Curcuma Plus Syrup digunakan untuk penambah nafsu makan dan

stamina. Dosisnya 2 kali sehari 1 sendok teh dan diberikan setelah makan.

5. Levamisol 50 mg 2 x sehari digunakan sebagai antelmintik. Hal tersebut

sudah sesuai karena Levamisol sangat efektif sebagai antelmintik yang

disebabkan oleh cacing Ascariasis lumbricoides. Namun, dosisnya perlu

ditingkatkan menjadi 50 mg 3 kali sehari.


Terapi non farmakologi

1. Menjaga kebersihan lingkungan.

2. Menggunakan alas kaki (sandal atau sepatu) saat keluar rumah.

3. Mencuci tangan sebelum makan.

4. Memotong kuku.

5. Mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah.

6. Makan makanan yang bergizi dan sehat.

Anda mungkin juga menyukai