Anda di halaman 1dari 20

FARMAKOTERAPI TERAPAN

Imunodefisiensi dan 4 Kondisi Patologis yang Terkait dengan


Sistem atau Respon Imun

Dosen Pengampu: Prof. Dr. apt. Ros Sumarny, M.S.

Disusun Oleh:

Kelas / Kelompok: B/3

Nadiah Putri Shafira 2020001155 (11)


Noor Ramadhanty 2020001156 (12)
Novia Avianti 2020001157 (13)
Noviani Ester 2020001158 (14)
Novinska Pujilestari 2020001159 (15)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2021
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sistem imun merupakan sistem yang sangat komplek dengan berbagai peran ganda
dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Seperti halnya sistem indokrin, sistem
imun yang bertugas mengatur keseimbangan, menggunakan komponennya yang
beredar diseluruh tubuh, supaya dapat mencapai sasaran yang jauh dari pusat. Untuk
melaksanakan fungsi imunitas, didalam tubuh terdapat suatu sistem yang disebut
dengan sistem limforetikuler. Sistem ini merupakan jaringan atau kumpulan sel yang
letaknya tersebar diseluruh tubuh, misalnya didalam sumsum tulang, kelenjar
limfe, limfa, timus, sistem saluran napas, saluran cerna dan beberapa organ lainnya.
Jaringan ini terdiri atas bermacam-macam sel yang dapat menunjukkan respons
terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat dan fungsinya masing-masing.

Dengan kemajuan imunologi yang telah dicapai sekarang ini, maka konsep
imunitas dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang bersifat faali yang
melengkapi manusia dan binatang dengan suatu kemampuan untuk mengenal suatu
zat sebagai asing terhadap dirinya, yang selanjutnya tubuh akan mengadakan
tindakan dalam bentuk netralisasi, melenyapkan atau memasukkan dalam proses
metabolisme yang dapat menguntungkan dirinya atau menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh sendiri. Konsep imunitas tersebut, bahwa yang pertama-tama
menentukan ada tidaknya tindakan oleh tubuh (respons imun), adalah kemampuan
sistem limforetikuler untuk mengenali bahan itu asing atau tidak.

Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila kedalam tubuh terpapar


suatu zat yang oleh sel atau jaringan tadi dianggap asing. Konfigurasi asing ini
dinamakan antigen atau imunogen dan proses serta fenomena yang menyertainya
disebut dengan respons imun yang menghasilkan suatu zat yang disebut dengan
antibodi. Jadi antigen atau imunogen merupakan potensi dari zat-zat yang dapat
menginduksi respons imun tubuh yang dapat diamati baik secara seluler ataupun
humoral. Dalam keadaan tertentu (patologik), sistem imun tidak dapat membedakan
zat asing (non-self) dari zat yang berasal dari tubuhnya sendiri (self), sehingga sel-sel
dalam sistem imun membentuk zat anti terhadap jaringan tubuhnya sendiri. Kejadian
ini disebut dengan Autoantibodi.

Bila sistem imun terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka akan terjadi
dua jenis respons imun, yaitu respons imun non spesifik dan respons imun spesifik.
Walaupun kedua respons imun ini prosesnya berbeda, namun telah dibuktikan bahwa
kedua jenis respons imun diatas saling meningkatkan efektivitasnya. Respons imun
yang terjadi sebenarnya merupakan interaksi antara satu komponen dengan
komponen lain yang terdapat didalam system imun. Interaksi tersebut berlangsung
bersama-sama sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologic yang
seirama dan serasi.

Kondisi patologis sistem imun yaitu autoimun, hipersensitivitas, isoimunitas dan


imunodefisiensi. Autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri
yang disebabkan kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk
mempertahankan self tolerance sel B, sel T atau keduanya. Hipersensitivitas adalah
suatu respon antigenik yang berlebihan, yang terjadi pada individu yang sebelumnya
telah mengalami suatu sensitisasi dengan antigen atau alergen tertentu. Isoimunitas
adalah keadaan dimana tubuh mendapatkan kekebalan dari individu lain yang
melawan sel tubuhnya sendiri. Imunodefisiensi (IDs) adalah sekelompok penyakit
yang disebabkan oleh perubahan kuantitatif dan / atau fungsional dalam mekanisme
berbeda yang terlibat dalam respon imun bawaan dan adaptif. Pada individu normal
sebagian besar infeksi berlangsung dalam jangka waktu terbatas dan menyebabkan
sedikit sekali kerusakan permanen karena sistem imun melawan agen infeksi dengan
mengendalikan atau menghancurkannya. Kondisi lingkungan dan gaya hidup saat ini
dipenuhi oleh stres, cuaca yang tidak menentu, pola makan yang tidak sehat, kurang
berolahraga dan polusi menyebabkan penurunan imunitas tubuh atau gagalnya
respon immun bereaksi.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Apa saja itu imunodefisiensi
2. Apa saja bentuk – bentuk imunodefisiensi
3. Apa saja 4 kondisi patologi sistem/ respon imun

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui imunidefisiensi pada manusia
2. Mengetahui bentuk- bentuk imunodefisiensi
3. Menjelaskan penyebab dan mekanisme imunodefisiensi dan 4
kondisi patologi sistem/respon imun
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. SISTEM IMUN
Sistem imun merupakan suatu jejaring yang didesain untuk homeostasis molekul
yang besar (oligomer) dan sel berdasarkan pada proses pengenalan yang spesifik.
Pengenalan dari struktur suatu oligomer oleh reseptor sel imun merupakan
komponen penting dari kekhususan sistem imun. Sistem imun terbentuk dari
jejaring kompleks sel imun, sitokin, jaringan limfoid, dan organ, yang bekerja
sama dalam mengeliminasi bahan infeksius dan antigen lain. Antigen yang
merupakan substansi yang menimbulkan respons imun (misalnya bakteri, serbuk
sari, jaringan transplantasi), mempunyai beberapa komponen yang dinamakan
epitop. Tiap-tiap epitop menimbulkan pembentukan antibodi spesifik atau
menstimulasi sel limfosit T spesifik. Antigen merupakan generator antibodi. (1)
Sistem imun bekerja setiap saat dengan beribu cara yang berbeda, tetapi tidak
terlihat. Suatu hal yang menyebabkan tubuh benar-benar menyadari kerja sistem
imun adalah di saat sistem imun gagal karena beberapa hal. Tubuh juga
menyadari saat sistem imun bekerja dengan menimbulkan efek samping yang
dapat dilihat atau dirasakan. Contohnya, saat bagian tubuh ada yang terluka,
bakteri dan virus memasuki tubuh melalui luka. Sistem imun mengadakan
respons dan menghilangkan agen penyerang sementara bagian tubuh yang terluka
menjadi sembuh. Sebagai suatu organ kompleks yang disusun oleh sel-sel
spesifik, sistem imun juga merupakan suatu sistem sirkulasi yang terpisah dari
pembuluh darah yang kesemuanya bekerja sama untuk menghilangkan infeksi
dari tubuh. Organ sistem imun terletak di seluruh tubuh, dan disebut organ
limfoid. (1)
B. RESPONS IMUN
Respons imun dikategorikan menjadi respons imun innate (alami/nonspesiFIk)
dan respons imun adaptif (spesifik). Contoh komponen imunitas innate adalah sel
fagosit (sel monosit, makrofag, neutrofil) yang secara herediter mempunyai
sejumlah peptida antimikrobial dan protein yang mampu membunuh bermacam-
macam bahan patogen, bukan hanya satu bahan patogen yang spesiFIk.
Sebaliknya, respons imun adaptif akan meningkat sesudah terpapar oleh suatu
bahan patogen. Pada respons imun adaptif spesifik, sel limfosit (sel T dan sel B)
merupakan komponen dasar yang berperan penting, mengindikasikan adanya
respons imun yang spesifik. Kemampuan sel T dan sel B untuk mengenali
struktur spesifik oligomer pada suatu bahan patogen dan membentuk progeni
juga merupakan struktur yang dikenali, dan membuat sistem imun mampu
merespons lebih cepat dan efektif ketika terpapar kembali dengan bahan patogen
tersebut. (1)
1. Respon Imun Non-Spesifik
Respons imun innate atau respons imun non-spesifik atau respons imun alami
sudah ada sejak lahir dan merupakan komponen normal yang selalu
ditemukan pada tubuh sehat. Respons ini meliputi: pertahanan fisik/mekanik,
pertahanan biokimia, pertahanan humoral, dan pertahanan selular.
Dinamakan non-spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu,
telah ada, dan siap berfungsi sejak lahir. Respons ini merupakan pertahanan
terdepan dalam menghadapi serangan mikroba dan dapat memberikan
respons langsung, siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat
menyingkirkannya. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi, misal sel
leukosit meningkat selama fase akut penyakit. (1)
Sebagai contoh dapat dijelaskan sebagai berikut: salah satu upaya
tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya antigen misalnya,
bakteri, adalah dengan cara menghancurkan bakteri tersebut dengan cara
nonspesifik melalui proses fagositosis. Dalam hal ini makrofag, neutrofil dan
monosit memegang peranan yang sangat penting. Supaya dapat terjadi
fagositosis, sel-sel fagositosis tersebut harus berada dalam jarak yang dekat
dengan partikel bakteri, atau lebih tepat lagi bahwa partikel tersebut harus
melekat pada permukaan fagosit. Untuk mencapai hal ini maka fagosit harus
bergerak menuju sasaran. Hal ini dapat terjadi karena dilepaskannya zat atau
mediator tertentu yang disebut dengan factor leukotaktik atau kemotaktik
yang berasal dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh neutrofil, makrofag
atau komplemen yang telah berada dilokasi bakteri. (2)
Selain fagositosis diatas, manifestasi lain dari respons imun
nonspesifik adalah reaksi inflamasi. Reaksi ini terjadi akibat dilepaskannya
mediator-mediator tertentu oleh beberapa jenis sel, misalnya histamine yang
dilepaskan oleh basofil dan mastosit, Vasoactive amine yang dilepaskan oleh
trombosit, serta anafilatoksin yang berasal dari komponen – komponen
komplemen, sebagai reaksi umpan balik dari mastosit dan basofil.
Mediatormediator ini akan merangsang bergeraknya sel-sel polymorfonuklear
(PMN) menuju lokasi masuknya antigen serta meningkatkan permiabilitas
dinding vaskuler yang mengakibatkan eksudasi protein plasma dan cairan.
Gejala inilah yang disebut dengan respons inflamasi akut. (2)

2. Respon Imun Spesifik


Merupakan respon imun yang didapat (acquired), yang timbul akibat dari
rangsangan antigen tertentu, sebagai akibat tubuh pernah terpapar
sebelumnya. Respons imun spesifik dimulai dengan adanya aktifitas
makrofag atau antigen precenting cell (APC) yang memproses antigen
sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan interaksi dengan sel-sel imun.
Dengan rangsangan antigen yang telah diproses tadi, sel-sel system imun
berploriferasi dan berdiferensiasi sehingga menjadi sel yang memiliki
kompetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen. (2)
Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenali benda
yang dianggap asing. Benda asing yang pertama kali muncul akan segera
dikenali dan terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang
sama, bila terpajan ulang akan dikenal lebih cepat dan kemudian
dihancurkan.1 Respon sistem imun spesifik lebih lambat karena dibutuhkan
sensitisasi oleh antigen namun memiliki perlindungan lebih baik terhadap
antigen yang sama. Sistem imun ini diperankan oleh Limfosit B dan Limfosit
T yang berasal dari sel progenitor limfoid. (3)

a. Respon Imun Spesifik Humoral


Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral yang
akan menghasilkan antibodi. Antibodi dapat ditemukan di serum darah,
berasal dari sel B yang mengalami proliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel plasma. Fungsi utama antibodi sebagai pertahanan terhadap infeksi
ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisasi toksinnya. (3)

b. Respon Imun Spesifik Selular


Telah banyak diketahui bahwa mikroorganisme yang hidup dan
berkembang biak secara intra seluler, antara lain didalam makrofag
sehingga sulit untuk dijangkau oleh antibody. Untuk melawan
mikroorganisme intraseluler tersebut diperlukan respons imun seluler,
yang diperankan oleh limfosit T. Subpopulasi sel T yang disebut dengan
sel T penolong (T-helper) akan mengenali mikroorganisme atau antigen
bersangkutan melalui major histocompatibility complex (MHC) kelas II
yang terdapat pada permukaan sel makrofag. Sinyal ini menyulut limfosit
untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya
interferon, yang dapat membantu makrofag untuk menghancurkan
mikroorganisme tersebut. (2)
Sub populasi limfosit T lain yang disebut dengan sel T-sitotoksik (T-
cytotoxic), juga berfungsi untuk menghancurkan mikroorganisme
intraseluler yang disajikan melalui MHC kelas I secara langsung (cell to
cell). Selain menghancurkan mikroorganisme secara langsung, sel T-
sitotoksik, juga menghasilkan gamma interferon yang mencegah
penyebaran mikroorganisme kedalam sel lainnya. Persentase sel T yang
matang dan meninggalkan timus untuk ke sirkulasi hanya 5-10%. Fungsi
utama sistem imun spesifik selular adalah pertahanan terhadap bakteri
intraselular, virus, jamur, parasit dan keganasan. (2, 3)
C. AUTOIMUN
1. Definisi Autoimun
Autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk
mempertahankan self tolerance sel B, sel T atau keduanya. Potensi autoimun
ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat mengeskpresikan
reseptor spesifik untuk banyak self-antigen. (4)

2. Penyebab Autoimun
Patogenesis autoimun terdiri atas gangguan aktivitas selular dan protein
regulator. Gangguan aktivitas selular dapat terjadi apabila tubuh gagal
mempertahankan toleransi akan self-antigen dan terjadi aktivasi autoreaktif
sel imun terhadap self-antigen tersebut. Mekanisme kegagalan toleransi
tersebut diperankan oleh sel T perifer dalam berbagai proses. (5)
Tabel II.1 Mekanisme Toleransi Sel T Perifer (5)

Toleransi sel T Perifer Kegagalan Toleransi


Mengeluarkan self-antigen
Ekspresi yang menyimpang pada MHC
kelas II
Ketidaktahuan Imun Meningkatnya ekspresi dari
autoantigen/MHC kelas II
Mimikri molekuler
Penyerabaran Epitop
Melepaskan mediator inflamasi
Anergy Meningkatnya ekspresi atau fungsi dari
molekul costimulatory
Sel T Regulator Melepaskan mediator inflamasi
Berkurangnya sinyal apoptosis
Apoptosis
Menghambat apoptosis virus

3. Contoh Penyakit Autoimun


1) Rheumatoid arthritis (RA)
Rheumatoid arthritis (RA) adalah gangguan kronis inflamasi sistemik
yang dapat mempengaruhi banyak jaringan dan organ, tetapi terutama
menyerang sendi fleksibel (sinovial). Penyakit ini di Indonesia sering juga
disebut rematik saja. Penyakit RA mengenai sendi pergelangan tangan,
lutut, bahu, metakarpal-phalangeal. Penyakit ini merupakan penyakit
progresif, biasanya mempunyai potensi untuk menyebabkan kerusakan
sendi dan kecacatan fungsional. Penyakit ini telah lama dikenal dan
tersebar luas di seluruh dunia dan lebih sering dijumpai pada wanita
daripada pria. (4)
Ditemukan antibodi yang khas disebut rheumatoid faktor yang
bereaksi dengan antigen membentuk kompleks imun yang ditemukan
pada synovial dan cairan pleura. Ada kecenderungan timbulnya penyakit
RA ini dapat diwariskan secara genetik. Ada dugaan infeksi tertentu atau
lingkungan dapat memicu pengaktifan sistem kekebalan tubuh pada
individu yang rentan. Serangan RA sering terjadi pada umur 25 sampai 35
tahun; prevalensi tertinggi antara umur 35 sampai 55 tahun. Penyakit ini
dapat mengakibatkan ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari
seutuhnya. (4)

2) Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi
kronik yang idiopatik, dengan manifestasi klinik yang kompeks mengenai
kulit, sendi, ginjal, paruparu, membrana serosa, sistem saraf, hati dan
berbagai organ tubuh yang lain. Kelainan ini dapat menyebabkan
kematian. Gejala yang paling sering ditemukan adalah kelelahan, demam,
penurunan berat badan, myalgia dan arthralgia juga merupakan gejala
yang sering ditemukan. (4)
Penyakit SLE dapat menyebabkan lesi pada kulit, glomerulus ginjal,
dinding pembuluh darah, dan tempat-tempat yang lain. Hal ini ditandai
dengan terbentuknya auto-antibodi yang dikenal dengan antinuclear
antibody, yang bereaksi dengan berbagai bahan kandungan inti termasuk
DNA. Antibodi ini tidak sitotoksik, dan mungkin tidak merusak sel
normal. Akan tetapi apabila mengalami kehancuran, antigen nukleus akan
dilepaskan dan akan membentuk kompleks imun dengan auto antibody.
(4)

D. HIPERSENSITIVITAS
1. Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah suatu respon antigenik yang berlebihan, yang
terjadi pada individu yang sebelumnya telah mengalami suatu sensitisasi
dengan antigen atau alergen tertentu. Mekanisme dimana sistem
kekebalan melindungi tubuh dan mekanisme dimana reaksi
hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama. Karena itu reaksi alergi
juga melibatkan antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya yang merupakan
komponen dalam system imun yang berfungsi sebagai pelindung yang
normal pada sistem kekebalan. (6, 7)

2. Penyebab Hipersensitivitas
Istilah reaksi alergi digunakan untuk menunjukkan adanya reaksi yang
melibatkan antibodi IgE (immunoglobulin E). Ig E terikat pada sel
khusus, termasuk basofil yang berada di dalam sirkulasi darah dan juga
sel mast yang ditemukan di dalam jaringan. Jika antibodi IgE yang terikat
dengan sel-sel tersebut berhadapan dengan antigen (dalam hal ini disebut
alergen), maka sel-sel tersebut didorong untuk melepaskan zat-zat atau
mediator kimia yang dapat merusak atau melukai jaringan di sekitarnya.
Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman, obat atau makanan,
yang bertindak sebagai antigen yang merangsang terajdinya respon
kekebalan. (7)

3. Gejala Hipersensitivitas
Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Kebanyakan reaksi terdiri
dari mata berair, mata terasa gatal dan kadang bersin. Pada reaksi yang
esktrim bisa terjadi gangguan pernafasan, kelainan fungsi jantung dan
tekanan darah yang sangat rendah, yang menyebabkan syok. Reaksi jenis
ini disebut anafilaksis, yang bisa terjadi pada orang-orang yang sangat
sensitif, misalnya segera setelah makan makanan atau obatobatan tertentu
atau setelah disengat lebah, dengan segera menimbulkan gejala. (7)
4. Tipe-Tipe Hipersensitivitas
1) Hipersensitivitas Tipe I (Reaksi Anafilaktik)
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh
di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara
imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik
(antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik.
Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap
lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan
berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak
bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas
tersebut disebut allergen. Mekanisme umum dari reaksi ini sebagai
berikut: Alergen berikatan silang dengan IgE. Sel mast dan basofil
mengeluarkan amina vasoaktif dan mediator kimiawi lainnya. Timbul
manifestasi berupa anafilaksis, urtikaria, asma bronkial atau dermatitis
atopi. Adapun penyakit-penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi
tipe I adalah : konjungtivitis, asma, rhinitis, dan syok anafilaksis. (6,
7)
2) Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi Sitotoksik)
Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan
pada sel tubuh oleh karena antibodi melawan/menyerang secara
langsung antigen yang berada pada permukaan sel. Reaksi ini terdiri
dari 3 jenis mekanisme, yaitu reaksi yang bergantung pada
komplemen, reaksi yang bergantung pada Antibody dependent
cellular cytotoxicity (ADCC) dan disfungsi sel yang diperantarai oleh
antibody. Mekanisme singkat dari reaksi tipe II ini sebagai berikut:
IgG dan IgM berikatan dengan antigen di permukaan sel. Fagositosis
sel target atau lisis sel target oleh komplemen, ADCC dan atau
antibody. Pengeluaran mediator kimiawi. Timbul manifestasi berupa
anemia hemolitik autoimun, eritroblastosis fetalis, sindrom Good
Pasture, atau pemvigus vulgaris. (6, 7)
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa
imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan
antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan
akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang secara
langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya,
antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel
akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Contoh penyakit-penyakit: Goodpasture (perdarahan paru, anemia),
Myasthenia gravis (MG), Immune hemolytic (anemia Hemolitik),
Immune thrombocytopenia purpura, Thyrotoxicosis (Graves' disease)
(6,7)

3) Hipersensitivitas Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)


Merupakan reaksi alegi yang dapat terjadi karena deposit yang berasal
dari kompleks antigen antibody berada di jaringan. Reaksi
hipersensitivitas tipe 3 terjadi karena pengendapan kompleks imun
(antigen-antibodi) yang susah difagosit sehingga akan mengaktivasi
komplemen dan mengakumulasi leukosit polimorfonuklear di
jaringan. Mekanisme reaksi ini secara umum sebagai berikut:
Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang sulit difagosit.
Mengaktifkan komplemen. Menarik perhatian Neutrofil. Pelepasan
enzim lisosom. Pengeluaran mediator kimiawi. Timbul manifestasi
berupa reaksi Arthus, serum sickness, LES, AR, glomerulonefritis,
dan pneumonitis. Contoh penyakit: Systemic lupus erythematosus
(SLE), “Farmer's Lung” (batuk, sesak nafas). (6, 7)
4) Hipersensitivitas Tipe IV (Reaksi Tipe Lambat)
Hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat) atau yang dipengaruhi oleh sel
merupakan salah satu aspek imunitas yang dipengaruhi oleh sel.
Antigen akan mengaktifkan makrofag yang khas dan membuat
limfosit T menjadi peka sehingga mengakibatkan terjadinya
pengeluaran limfokin. Reaksi lokal ditandai dengan infiltrasi sel-sel
berinti tunggal. Mekanisme reaksi ini secara umum sebagai berikut :
Limfosit T tersensitasi. Pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau
sitotoksik yang diperantarai oleh sel T langsung. Timbul manifestasi
berupa tuberkulosis, dermatitis kontak dan reaksi penolakan
transplant. (6)

E. ISOIMUNITAS
1. Definisi Isoimunitas
Isoimunitas adalah keadaan dimana tubuh mendapatkan kekebalan dari
individu lain yang melawan sel tubuhnya sendiri. Isoimunitas dapat
muncul akibat transfuse darah atau karena cangkok organ dari orang lain.
(8)
2. Penyebab Isoimunitas
Sistem kekebalan mengenali dan menyerang apapun syang secara normal
berbeda dari unsur yang ada di dalam tubuh seseorang, bahkan unsur
yang hanya sedikit berbeda, seperti organ dan jaringan yang
dicangkokkan. (8)

F. IMUNODEFISIENSI
Imunodefisiensi (IDs) adalah sekelompok penyakit yang disebabkan oleh
perubahan kuantitatif dan / atau fungsional dalam mekanisme berbeda yang
terlibat dalam respon imun bawaan dan adaptif. Imunodefisiensi sendiri bisa
dibagi menjadi dua macam, yaitu imunodefisiensi primer dan imunodefisiensi
sekunder. (9)
1. Imunodefisiensi Primer
a. Pengertian Imunodefisiensi Primer
Imunodefisiensi primer adalah kondisi imunodefisien yang dibawa
sejak lahir atau disebabkan karena factor genetic, bukan dipengaruhi
oleh lingkungan. (10)
b. Penyebab Imonodefisiensi Primer
Imunodefisiensi primer terjadi karena adanya mutase gen-gen yang
berperan dalam respon imun. Mutasi ini biasanya akan diturunkan
dari orang tua ke anaknya. Imunodefisiensi primer ini bisa terjadi
pada respon non-spesifik, limfosit T dan B. (10)
c. Contoh Kasus Imunodefisiensi Primer
Contoh penyakit imunodefisiensi pada limfosit T adalah penyakit
SCID (Severe Combined Immunodeficiency Syndrome) dan
DiGeorge’s Syndrome, pada limfosit B adalah penyakit X-
Agammaglobulinemia, dan pada sistem imun non-spesifik terdapat
severe congenital neutropenia. (10)

2. Imunodefisiensi Sekunder
a. Pengertian Imunodefisiensi Sekunder
Imunodefisiensi sekunder adalah kondisi imunodefisien yang
disebabkan karena factor dari luar tubuh, seperti infeksi virus,
malnutrisi, dll. (10)
b. Penyebab Imunodefisiensi Sekunder
Imunodefisiensi sekunder disebabkan oleh factor-faktor dari luar
tubuh, seperti infeksi virus, malnutrisi, kemoterapi, dll. (10)
c. Contoh Penyakit Imunodefisiensi Sekunder
Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan salah satu
jenis imunodefisiensi sekunder. Virus ini menyerang sel limfosit T
CD4+. Virus HIV spesifik menyerang sel ini karena virus HIV
menggunakan molekuk CD4 sebagai reseptornya dan membantunya
masuk ke dalam sel. Sel yang tidak memiliki molekul CD4 tidak
dapat diinfeksi oleh HIV. Virus HIV akan berkembang biak di dalam
sel limfosit T CD4+. (10)
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudiono J. Sistem Kekebalan Tubuh. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2014. 1–


86 p.

2. Suardana IBK. Diktat Imunologi Dasar Sistem Imun [Internet].


Http://Simdos.Unud.Ac.Id. 2017. 1–36 p. Available from: Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana Denpasar

3. Gunawan JR. PENGARUH PEMBERIAN GABUNGAN EKSTRAK Phaleria


macrocarpa DAN Phyllanthus niruri TERHADAP PERSENTASE LIMFOBLAS
LIMPA PADA MENCIT BALB/C. Fac Med Diponegoro Univ. 2013;7–19.

4. Purwaningsih E. Disfungsi Telomer Pada Penyakit Autoimun Telomere


Dysfunction in Autoimmune Diseases. J Kedokt Yars. 2013;21(1):41–9.

5. Khasanah YC. Potensi Koekspresi Chimeric Antigen Receptor (Car) Dan Gen
Foxp3 Pada Sel T Regulators Sebagai Modalitas Terapi Penatalaksanaan
Autoimun. Essence Sci Med J. 2015;26.

6. Riwayanti. Reaksi Hipersensitivitas Atau Alergi. J Kel Sehat Sejah.


2015;13(26):22–7.

7. Hikmah N, Dewanti IDAR. Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi). Somat


(JKG Unej ). 2010;7(2):108–19.

8. Ballow M. Primary Immunodeficiency Diseases. Goldman’s Cecil Medicine 24th


ed. 2011
9. Sánchez-Ramón S, Bermúdez A, González-Granado LI, Rodríguez-Gallego C,
Sastre A, Soler-Palacín P, et al. Primary and secondary immunodeficiency
diseases in oncohaematology: Warning signs, diagnosis, and management. Front
Immunol. 2019;10(MAR).

10. Saraswati H. Modul Imunologi [Internet]. 2017. 97 p. Available from:


https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Course-9833-7_00253.pdf

Anda mungkin juga menyukai