Anda di halaman 1dari 36

RTM IMUNOLOGI

ANTIGEN, IMUNOGENITAS DAN IMUNISASI AKTIF

NAMA KELOMPOK:

Ni Kadek Candra Dwidjayanti (19021042)

Ni Kadek Juliani (19021043)

Ni Kadek Putri Ariswari (19021044)

Ni Kadek Ratna Kusumadewi (19021045)

Ni Kadek Weni Diah Gayatri (19021046)

Ni Komang Astu Pujayanti (19021048)

Ni Komang Riska Tri Wahyuni (19021049)

PRODI FARMASI KLINIS

UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

Tulisan ini disusun dalam rangka menempuh mata kuliah Imunologi yang diampu oleh
I Putu Gede Adi Purwa Hita, S.Farm., M.Farm.Apt pada semester ganjil 2019/2020 selaku
dosen pengajar Imunologi yang telah memberi bimbingan kepada penulis.

Rasa terima kasih penulis ucapkan kepada pembimbing yang telah memberikan banyak
masukan serta saran yang sangat bermanfaat dalam proses penyelesaian makalah ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut serta membantu
menyumbangkan pikirannya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Dalam menyusun makalah ini, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
yang sempurna. Penulis mengharapkan masukan, kritik dan saran dari semua pihak agar
makalah ini menjadi lebih sempurna dan juga sifatnya membangun. Akhir kata semoga karya
tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah wawasan kita serta dapat
digunakan sebagaimana mestinya.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 4

1.3 Tujuan ................................................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 5

2.1 Antigen dan Imunogenitas ................................................................................... 5


1. Imunogenitas ................................................................................................... 6
2. Antigenitas ...................................................................................................... 7
3. Derajat Imunogenisitas .................................................................................... 8
4. Hapten ............................................................................................................. 8
5. Ajuvan ........................................................................................................... 10
6. Besar molekul ................................................................................................ 11
7. Rute imunisasi ............................................................................................... 11
8. Sifat pejamu ................................................................................................... 13
9. Dosis .............................................................................................................. 14
10. Antigen sel T dependen dan sel T independen .............................................. 16
11. Superantigen .................................................................................................. 17
12. Epitop ............................................................................................................ 19
13. Antigen heterofil............................................................................................ 20
14. Multivalensi ................................................................................................... 21
2.2 Imunisasi Aktif ................................................................................................... 22
1. Respons primer dan sekunder........................................................................ 25
2. Perbedaan respons imun di berbagai bagian tubuh ....................................... 26

iii
BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 27

3.1 Simpulan ........................................................................................................... 27

3.2 Saran ................................................................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem imun merupakan sistem yang sangat komplek dengan berbagai peran ganda
dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Seperti halnya sistem indokrin, sistem imun
yang bertugas mengatur keseimbangan, menggunakan komponennya yang beredar
diseluruh tubuh, supaya dapat mencapai sasaran yang jauh dari pusat. Untuk melaksanakan
fungsi imunitas, didalam tubuh terdapat suatu sistem yang disebut dengan sistem
limforetikuler. Sistem ini merupakan jaringan atau kumpulan sel yang letaknya tersebar
diseluruh tubuh, misalnya didalam sumsum tulang, kelenjar limfe, limfa, timus, sistem
saluran napas, saluran cerna dan beberapa organ lainnya. Jaringan ini terdiri atas bermacam-
macam sel yang dapat menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat
dan fungsinya masing-masing (Roitt dkk., 1991).
Sistem imun atau sistem pertahanan pada tubuh manusia sangat berguna untuk menjaga
kita agar dapat beraktivitas seperti biasa. Dengan sistem imun kita dapat terhindar dari
berbagai macam penyakit yang berada di sekitar kita. Sistem imun adalah sistem pertahanan
yang ada pada tubuh manusia yang berfungsi untuk menjaga manusia dari benda-benda
yang asing bagi tubuh manusia. Pada sistem imun ada istilah yang disebut Imunitas.
Imunitas sendiri adalah ketahanan tubuh kita atau resistensi tubuh kita terhadap suatu
penyakit. Jadi sistem imun pada tubuh kita mempunyai imunitas terhadap berbagai macam
penyakit yang dapat membahayakan tubuh kita (Baratawidjaja, 2010).
Imunogen adalah bahan yang dapat merangsang sel B atau sel T atau keduanya. Antigen
adalah bahan yang berinteraksi dengan produk respon imunyang dirangsang oleh
imunogen spesifik seperti antibodi dan atau TCR.Antigen lengkap adalah antigen yang
mampu menginduksi baik respons imun maupun bereaksi dengan produknya.Antigen
(imunogen) adalah suatu bila dimasukan kedalam tubuh dapat membangkitkan respons
imun baik respons imun seluler maupun hurmoral. Karakteristik antigen yang sangat
menetukan imunogenitas respomn imun. Antigen inkomplit atau hapten, tidak dapat
dengan sendiri menginduksi respon imun, tetapi dapat bereaksi denganproduknya seperti
antibodi. Hapten dapat dijadikan imunogen melalui ikatan dengan molekul besar yang
disebut molekul atau protein pembawa (carrier) (Abbas dkk, 1991).

1
Secara fungsional, antigen dibagi menjadi immunogen dan hapten.Contoh hapten
adalah dinitrofenol, berbagai golongan antibiotik dan obat lainnya dengan berat molekul
kecil. Imunogenitas dan antigenitas mempunyai hubungan satu dengan yanglain tetapi
berbeda dalam sifat imunologinya yang sering kali membingungkan.Imunogenitas adalah
kemampuan untuk menginduksi respon imun humoralatau seluler.Imunogenitas adalah
molekul besar disebut molekul Pembawa), bagian dari molekul antigen besar yang dikenal
oleh sebuah atigen(oleh reseptor sel-T) atau bagian antigen yang membuat kontak fisik
dengan reseptor antibodi,menginduksi pembentukan antibodi yang dapat diikat dengan
spesifik oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor antibodi. Bisa juga disebut derteminan
antigen atau epitope (Baratawidjaja, 2010).
Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila kedalam tubuh terpapar suatu zat
yang oleh sel atau jaringan tadi dianggap asing. Konfigurasi asing ini dinamakan antigen
atau imunogen dan proses serta fenomena yang menyertainya disebut dengan respons imun
yang menghasilkan suatu zat yang disebut dengan antibodi. Jadi antigen atau imunogen
merupakan potensi dari zat-zat yang dapat menginduksi respons imun tubuh yang dapat
diamati baik secara seluler ataupun humoral. Dalam keadaan tertentu (patologik), sistem
imun tidak dapat membedakan zat asing (non-self) dari zat yang berasal dari tubuhnya
sendiri (self), sehingga sel-sel dalam sistem imun membentuk zat anti terhadap jaringan
tubuhnya sendiri. Kejadian ini disebut dengan Autoantibodi (Roit dkk, 1991).
Bila sistem imun terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka akan terjadi dua jenis
respons imun, yaitu respons imun non spesifik dan respons imun spesifik. Walaupun kedua
respons imun ini prosesnya berbeda, namun telah dibuktikan bahwa kedua jenis respons
imun diatas saling meningkatkan efektivitasnya. Respons imun yang terjadi sebenarnya
merupakan interaksi antara satu komponen dengan komponen lain yang terdapat didalam
system imun. Interaksi tersebut berlangsung bersama-sama sedemikian rupa sehingga
menghasilkan suatu aktivitas biologic yang seirama dan serasi (Goodman, 1996).
Coronavirus adalah salah satu patogen utama yang menyerang sistem pernapasan
manusia. Wabah Coronavirus (CoV) sebelumnya termasuk sindrom pernafasan akut parah
(SARS) -CoV dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) -CoV yang sebelumnya
telah dicirikan sebagai agen yang merupakan ancaman kesehatan masyarakat yang besar.
Pada akhir Desember 2019, sekelompok pasien dirawat di rumah sakit dengan diagnosis
awal pneumonia dengan etiologi yang tidak diketahui. Pasien-pasien ini secara
epidemiologis terkait dengan pasar grosir makanan laut dan hewan basah di Wuhan,
Provinsi Hubei, Cina. Laporan awal memperkirakan timbulnya potensi wabah

2
Coronavirus mengingat perkiraan jumlah reproduksi untuk 2019 Novel (Baru)
Coronavirus (COVID-19, dinamai oleh WHO pada 11 Februari 2020) yang dianggap
secara signifikan lebih besar dari 1 (berkisar dari 2,24 hingga 3,58) (Weiss A, 2020).
Coronavirus adalah kumpulan virus yang bisa menginfeksi sistem pernapasan. Pada
banyak kasus, virus ini hanya menyebabkan infeksi pernapasan ringan, seperti flu. Namun,
virus ini juga bisa menyebabkan infeksi pernapasan berat, seperti infeksi paru-paru
(pneumonia). Virus ini menular melalui percikan dahak (droplet) dari saluran pernapasan,
misalnya ketika berada di ruang tertutup yang ramai dengan sirkulasi udara yang kurang
baik atau kontak langsung dengan droplet. Selain virus SARS-CoV-2 atau virus
Corona, virus yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah virus penyebab Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS) dan virus penyebab Middle-East Respiratory
Syndrome (MERS). Meski disebabkan oleh virus dari kelompok yang sama, yaitu
coronavirus, COVID-19 memiliki beberapa perbedaan dengan SARS dan MERS, antara
lain dalam hal kecepatan penyebaran dan keparahan gejala(Weiss A, 2020).
Data tentang sensitivitas dan spesifisitas Ag-RDT untuk SARS-CoV-2 yang sekarang
ada diambil dari penelitian penelitian yang memiliki desain penelitian dan merek sasaran
evaluasi yang beragam. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa sensitivitas Ag-RDT
terhadap sampel dari saluran pernapasan atas (usap nasal atau nasofaringeal) tampak
banyak berbeda-beda jika dibandingkan NAAT, dengan rentang 0-94% (4-13) tetapi
spesifisitasnya konsisten dilaporkan tinggi (>97%). Meskipun lebih banyak bukti aspek
kinerja dan operasional di lapangan masih diperlukan, Ag-RDT paling mungkin bekerja
dengan baik pada pasien dengan jumlah virus tinggi (nilai Ct ≤25 atau >106 salinan
genomik virus/mL), yang biasanya terjadi pada fase prasimtomatik (1-3 hari sebelum
munculnya gejala) dan fase simtomatik awal (dalam waktu 5-7 hari pertama penyakit)
penyakit ini. Hal ini menjadi kesempatan untuk diagnosis awal dan interupsi transmisi
melalui isolasi terarah dan penentuan kohort kasus-kasus yang paling infeksius dan
kontak-kontak eratnya (Weiss A, 2020).

3
1.2 Rumusan Masalah
Dalam pembuatan karya tulis ini haruslah disusun secara sistematis dan runtut sesuai
dengan ketentuan yang ada. Maka dari itu perlu untuk menyusun suatu rumusan masalah
yang menjadi batu pijakan untuk pembahasan pada makalah ini. Adapun rumusan masalah
tersebut ialah sebagai berikut:
1. Apa saja yang termasuk ke dalam antigen, imunogenitas dan imunisasi aktif ?
2. Bagaimana cara menjaga kesehatan imun dalam kehidupan sehari-hari ?

1.3 Tujuan
1. Agar mengetahui apa saja yang termasuk ke dalam antigen, imunogenitas dan
imunisasi aktif.
2. Agar mengetahui cara menjaga kesehatan imun dalam kehidupan sehari-hari.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antigen dan Imunogenitas


Antigen adalah substansi yang dapat di kenali dan di ikat dengan baik oleh sistem imun.
Antigen dapat berasal dari organisme (bakteri, virus, jamur, dan parasit) atau molekul asing
bagi tubuh. Tidak setiap bagian dari antigen dapat berinteraksi dengan molekul sitem imun.
Bagian dari antigen secara langsung berkaitan dengan molekul reseptor (seperti antibodi)
yang dikenal dengan epitop. Hal ini menandakan bahwa antigen mempunyai beberapa
epitop. Hapten adalah molekul kecil tetapi dapat menginduksi respon imun sendiri. Selain
itu juga dapat menginduksi antibodi dengan titer yang tinggi jika diikatkan dengan carrier
berupa protein yang mempunyai berat molekul tinggi atau polimer sintetik (Husband, 1995).
Imunogenitas adalah kemampuan suatu substansi (seperti antigen atau epitop) dalam
memicu respons imun dari tubuh manusia atau hewan lainnya. Dalam kata
lain, imunogenisitas adalah kemampuan untuk memicu respons imun humoral dan/atau
dimediasi sel. (Husband, 1995).

Gambar 1. Sistemic Disorders & Respiratory Disorders

Contoh pada masa pandemi covid-19 sekarang yaitu dengan tes diagnostik deteksi
antigen dirancang untuk secara langsung mendeteksi protein SARS-CoV-2 yang dihasilkan

5
oleh virus yang bereplikasi di sekresi saluran pernapasan. Tes ini dikembangkan untuk
penggunaan berbasis laboratorium dan dekat pasien dan disebut tes diagnostik cepat, atau
RDT. Lanskap pengembangan tes diagnostik ini bersifat dinamis di mana hampir seratus
perusahaan mengembangkan atau membuat tes cepat untuk deteksi antigen SARS-CoV-2
(Scohy A. Dkk, 2020).

Gambar 2. Struktur virus SARS-CoV-2

 Berikut pemaparan dari antigen dan imunogenitas :


1. Imunogenitas
Imunogenitas merupakan sifat dasar bahan tertentu (imunogen). Imunogen adalah
bahan yang menginduksi respons imun. Respons imun ditandai dengan induksi sel B
untuk memproduksi Ig dan aktivitas sel T yang melepas sitokin. Imunogenitas juga
adalah kemampuan untuk menginduksi respon imun yang dimediasi humoral dan / atau
sel. Kita tahu kapan sel B dan T diaktifkan oleh antigen, itu menghasilkan sel efektor
dan sel memori. Misalnya, jika sel B diaktifkan, ia akan berdiferensiasi menjadi sel
plasma B yang mengeluarkan antibodi Sel B + antigen = Sel B plasma (antibodi rahasia)
+ sel B memori Antigen semacam itu disebut Imunogen lebih tepat. Imunogen ini
adalah molekul besar dengan berat molekul setidaknya> 10.000 D dan itulah sebabnya
mereka dapat menginduksi respon imun (Decker JM, 2000).
Dengan kata lain, imunogenitas adalah kemampuan untuk memicu respons imun
humoral dan atau dimediasi sel. Tedapat perbedaan antara imunogenitas yang
diinginkan dan tidak diinginkan, yakni :

6
1. Imunogenitas yang diinginkan biasanya dihasilkan oleh vaksin COVID 19
tersebut, ketika penyuntikan suatu antigen (dari vaksin) memicu respons
imun terhadap patogen(virus, bakteri) untuk melindungi organisme.
Pengembangan vaksin adalah proses yang rumit, dan imunogenisitas
merupakan unsur utama dalam kemujaraban suatu vaksin.
2. Imunogenitas yang tidak diinginkan merupakan respons imun dari suatu
organisme terhadap untuk terapi (seperti protein rekombinan atau antibodi
monoklonal). Akibatnya, dikeluarkan antibodi anti-obat yang
menghilangkan efek terapi atau malah memicu dampak negatif.
(Huang, Y. 2020).

2. Antigenitas
Antigenitas adalah kemampuan suatu bahan (antigen) untuk menginduksi respons
imun yang dapat bereaksi dengan reseptor imun yang dapat bereaksi dengan reseptor
antigen tersebut yang diproduksi sel B (antibodi) dan reseptor antigen pada permukaan
sel T. Imunogenisitas dan antigenisitas sering digunakan dan diartikan sama.
Antigenitas juga adalah kemampuan untuk bergabung dengan produk akhir dari respon
imun yang dimediasi humoral dan / atau sel. Ini bukan mengaktifkan respon imun
melainkan menggabungkan dengan produk akhir dari respon imun. Sebagai contoh,
seperti yang baru saja kita lihat ketika sel B diaktifkan, rahasia antibodi dan antigen
yang memiliki sifat antigenisitas akan bergabung dengan antibodi ini (Aderson, 1999).

Gambar 3. Antigens

Saat ini telah dikembangkan berbagai macam platform teknologi untuk


mengembangkan virus, namun permasalahannya adalah ketersediaan informasi
mengenai antigen Covid-19 yang masih terbatas. Sebagian besar, informasi yang telah
tersedia digunakan untuk menginduksi antibodi agar dapat meredam protein spike pada

7
virus. Namun, masih diteliti hubungan antar antibodi ini dengan reseptor manusia
ACE2 (Angiotensin-converting Enzyme) pada penyakit ini. Pada kasus beberapa tahun
belakangan dengan virus SARS menunjukkan potensi untuk dieksplor lebih dalam dan
dikembangkan dalam pengujian in-vivo dikarenakan virus Covid-19 dapat dikatakan
sebagai mutase dari virus SARS yang sebelumnya telah ada. Penting untuk dicatat
bahwa ada kesamaan dalam gejala antara COVID-19 dan betacoronavirus sebelumnya
seperti demam, batuk kering, dispnea, dan kekeruhan ground-glass bilateral pada CT
scan dada. Namun, COVID-19 menunjukkan beberapa fitur klinis unik yang mencakup
penargetan jalan napas bagian bawah sebagaimana dibuktikan dengan gejala saluran
pernapasan bagian atas seperti rinorea, bersin, dan sakit tenggorokan [15,16]. Selain
itu, berdasarkan hasil radiografi dada atas (Thanh Le et al, 2020).

3. Derajat Imunogenisitas
Antigen harus merupakan bahan asing untuk penjamu yang derajat antigenisitasnya
tergantung dari jarak filogenetik. Kompleksitas kimia suatu molekul sangat berperan
pada imunogensitas. Keanekaragaman kimia memungkinkan adanya berbagai epitop
(unit untuk rangsangan antibodi). Epitop yang lebih bervariasi lebih besar
kemungkinannya seorang akan memberikan reaksi terhadap satu atau lebih epitope
(Reese. 2000).
Pasien yang menunjukkan presentasi lebih dari 5-7 hari sejak munculnya gejala lebih
mungkin membawa jumlah virus yang lebih rendah, dan kemungkinan hasil negatif
palsu Ag-RDT lebih tinggi. Meskipun kinerjanya diperkirakan mengalami
batasanbatasan ini, jika digunakan dan diinterpretasikan dengan tepat Ag-RDT dapat
memainkan peran penting dalam memandu tatalaksana pasien, pengambilan keputusan
kesehatan masyarakat, dan surveilans COVID-19. Setidaknya, Ag-RDT perlu
mengidentifikasi jauh lebih banyak kasus daripada yang terlewat (sensitivitas ≥80%)
dan memiliki spesifisitas yang sangat tinggi (≥97-100%). Berdasarkan parameter-
parameter kinerja ini, panduan interim ini mengajukan beberapa potensi peran Ag-RDT
dan memberikan rekomendasi-rekomendasi umum untuk pemilihan tes serta
pertimbangan-pertimbangan utama untuk implementasinya(Weiss A, 2020).

4. Hapten
Cara umum untuk meningkatkan jumlah epitop ialah dengan menambahkan bahan
yang disebut hapten ke antigen yang sudah ada. Hapten adalah molekul kecil

8
nonimunogenik yang dapat menambahkan epitop baru (spesifitas baru) bila
dikonjugasikan dengan antigen yang ada. Antibodi terhadap epitop baru akan bereaksi
dengan hapten bebas, tetapi juga dengan tempat hapten-epitop pada antigen yang
dirubah. Beberapa substansi dapat berikatan dengan antibodi spesifik, walaupun
substansi itu sendiri tidak mampu merangsang timbulnya respons imun. Substansi itu
umumnya merupakan molekul berukuran kecil yang disebut dengan hapten. Hapten
berasal dari kata yunani yang berarti mempererat. Beberapa contoh hapten : Sulfonat,
Arsonat dan Carboxylate. Hapten baru akan bersifat imunogenik apabila ia berikatan
dengan protein carrier. Beberapa jenis hapten yang berasil disenyawakan dengan
protein sebagai pengemban sehingga dapat diperoleh antibodi terhadapnya antara lain :
gugusan yang berbentuk cincin aromatik, gugus gula, steroid, peptide, purin, pirimidin,
nukleosid, nukleotida dan obat-obatan seperti penisilin dan zat-zat fluoresens (Tizard,
2004).

Gambar 4. Hapten pada tubuh manusia

Pengikatan reseptor yang diekspresikan oleh sel inang adalah langkah pertama
infeksi virus yang diikuti oleh fusi dengan membran sel. Diperkirakan bahwa sel epitel
paru merupakan target utama virus. Dengan demikian, telah dilaporkan bahwa
penularan SARS-CoV dari manusia ke manusia terjadi oleh pengikatan antara domain
pengikat reseptor dari lonjakan virus dan reseptor seluler yang telah diidentifikasi
sebagai reseptor angio-tensin-converting enzyme 2 (ACE2). Yang penting, urutan
lonjakan domain pengikat reseptor COVID-19 mirip dengan SARS-CoV. Data ini
sangat menyarankan bahwa masuk ke sel inang kemungkinan besar melalui reseptor
ACE2 (H. Wu, et al. 2019).

9
5. Ajuvan
Ajuvan adalah bahan yang berbeda dari antigen yang ditambahkan ke vaksin untuk
meningkatkan respons imun, aktivitas sel T melalui peningkatan akumulasi APC di
tempat pajanan antigen dan ekspresi kostimular dan sitokin oleh APC. Ajuvan diikat
antigen dalam vaksin, menolong antigen tetap di tempat suntikan dan mengantarkan
antigen ke KGB tempat respons imun terjadi. Ajuvan harus memiliki sifat-sifat sebagai
berikut :
 Membuat depot antigen dan melepas antigen sedikit demi sedikit sehingga
memperpanjang pajanan antigen dengan sistem imun.
 Mempertahankan integritas antigen.
 Mempuyai sasaran APC.
 Menginduksi CTL/Tc.
 Memacu respons imun dengan anfinitas tinggi.
 Mmempunyai kapasitas untuk mengintervensi sistem imun yang selektif (sel
B dan sel T).

Berbagai mikroba dan preparat sintetis memiliki sifat ajuvan. Comtoh-contohnya


adalah emulsi air/minyak, produk bakteri, komponen polimer dan detergen yang
digunakan sendiri atau dicampur dengan yang lain. Alum (gara aluminium) dan kalsium
banyak digunakan. Ajuvan yang dewasa ini sering digunakan adalah lipid A yang sudah
diproses untuk menurunkan toksisitasnya. Komponen bakteri lain yang digunakan
adalah muramildipeptida suatu bahan asal tuberkel kuman berupa emulsi minyak/air.
Produk bakteri seperti B pertusis yang dimatikan dalam DPT berfungsi sebagai ajuvan
untuk toksoid di samping sebagai vaksin sendiri. Penggunaan sitokin (IL-1 dan IL-2)
sebagai ajuvan masih dalam eksperimen (Kang sim, 2011).

Antigen pada liposom dari fosfolipid (masih eksperimental) dapat digunakan dalam
sistem penghantaran khusus. Di samping ajuvan, vaksin juga mengandung antibiotik
untuk mencegah kontaminasi bakteri selama produksi, pengawet untuk vial yang
multidose steril setelah dibuka atau stabilisator untuk mempertahankan potensi vaksin
pada suhu yang sedikit kurang dari optimal. Ajuvan Freund in-complete adalah ajuvan
yang mengandung minyak minneral yang dicampur dengan antigen dalam air. Dapat
meningkatkan respons imun humoral tetapi tidak selular. Ajuvan mikrobakterium
menggunakan suspensi mikrobakterium yang mati dan dikeringkan antara lain

10
M.tuberkolosis. Campuran dengan antigen meningkatkan terutama imunitas selular
(Kang sim, 2011).

Ajuvan adalah substansi yang apabila ditambahkan di dalam vaksin akan dapat
meningkatkan respons imun dan meningkatkan efektivitas vaksin serta dapat
melipatgandakan produksi sel-sel imun yang terutama berperan dalam sistem
kekebalan non spesifik. Respons imun humoral, khususnya sel T dapat dirangsang
dengan pemberian antigen yang diberi ajuvan. Sebagian besar ajuvan merupakan
produk dari mikroba. Complete Freund’s Adjuvant berisi antigen Mycobacterium
inaktif yang dapat membantu antigen utama, dalam hal ini vaksin untuk dapat
meningkatkan produksi antibodi. Menurut Ellis (1988), ajuvan adalah bahan kimia
yang memperlambat proses penghancuran antigen dalam tubuh serta merangsang
pembentukan kekebalan, sehingga akan terjadi kontak yang lebih lama dengan
makrofag dan limfosit. Hal ini akan meningkatkan kualitas respons dari kekebalan
spesifik (antibodi) yang dihasilkannya (Ellis, 1988).

6. Besar molekul
Besar molekul penting dalam menentukan kemampuan menginduksi respons imun.
Molekul besar biasanya lebih imunogenik oleh karena memberikan kesempatan
menjadi lebih kompleks (lebih banyak epitop yang beranekaragam). Molekul yang
tidak dapat dipecah seperti partikel polistiren atau asbestos tidak imunogenik oleh
karena tidak dapat diproses oleh fagosit (Parslow G.T, 1997).

7. Rute imunisasi
Pemberian SK atau IM merupakan rute tersering dan terbaik dalam vaksinasi aktif
dan pasif untuk menginduksi respons antibodi. Suntukan IV akan dapat mengurangi
respons imun. Imunoglobulin disuntikkan IV kepada penderita dengan defisiensi imun
humoral seperti hipogamaglobulinemia Bruton. Pemberian oral digunakan untuk
imunisasi polio (Sabin) galur (strain) virus yang dilemahkan yang dapat berkembang
dalam mukosa usus kecil. Subyek yang diimunisasi akan mengeluarkan virus dalam
tinja, yang dapat disebarkan ke orang lain di samping mengimunisasinya. Pemberian
intranasal menginduksi sistem imun yang menyerupai pajanan alamiah terhadap
patogen yang disebarkan melalui udara dan dapat memberikan keuntungan oleh karena
memberikan respons berupa produksi sIgA (Wahab A.S, 2002).

11
Sejak awal pandemi COVID-19, laboratoriumlaboratorium telah terus menggunakan
tes amplifikasi asam nukleat (NAAT) seperti real time reversetranscription polymerase
chain reaction (rRT-PCR) untuk mendeteksi SARS-CoV-2, virus penyebab penyakit
tersebut. Di banyak negara, akses pada bentuk tes ini menjadi tantangan. Tes diagnostik
deteksi antigen spesifik infeksi SARS-CoV-2 yang lebih andal tetapi lebih terjangkau
dan cepat sedang dikembangkan dan dicari. Tes diagnostik deteksi antigen dirancang
untuk secara langsung mendeteksi protein SARS-CoV-2 yang dihasilkan oleh virus
yang bereplikasi di sekresi saluran pernapasan. Tes ini dikembangkan untuk
penggunaan berbasis laboratorium dan dekat pasien dan disebut tes diagnostik cepat,
atau RDT. Lanskap pengembangan tes diagnostik ini bersifat dinamis di mana hampir
seratus perusahaan mengembangkan atau membuat tes cepat untuk deteksi antigen
SARS-CoV-2 (1) (Porte L, 2020).
Sebagian besar Ag-RDT untuk COVID-19 menggunakan metode imunodeteksi
sandwich dengan format tes alur lateral yang mudah digunakan dan umum dipakai
untuk tes HIV, malaria, dan influenza. Ag-RDT biasanya terdiri dari kaset plastik
dengan rongga sampel dan penyangga dan strip matriks nitroselulosa dengan garis tes
dengan antibodi terikat untuk kompleks antigenantibodi terkonjugasi target dan garis
kontrol dengan antibodi terikat untuk antibodi terkonjugasi. Dalam hal RDT SARS-
CoV-2, analit targetnya seringkali protein nukleokapsid virus tersebut yang berjumlah
lebih banyak. Biasanya, semua material yang diperlukan untuk melakukan tes,
termasuk material pengambilan sampel selain penghitung waktu, disediakan di dalam
alat yang dijual di pasaran) (Porte L, 2020).
Setelah spesimen saluran pernapasan diambil dan dioleskan ke strip tes, hasilnya
dibaca oleh operator dalam waktu 10 sampai 30 menit dengan atau tanpa bantuan
instrumen pembaca. Penggunaan pembaca menstandardisasi interpretasi hasil tes
sehingga mengurangi perbedaan interpretasi asai oleh operator yang berbeda, tetapi
memerlukan perlengkapan pendukung. Sebagian besar tes yang saat ini diproduksi
memerlukan sampel usapan nasal atau nasofaringeal, tetapi perusahaan-perusahaan
sedang meneliti kinerja tes mereka jika menggunakan jenis sampel alternatif seperti air
liur, cairan oral, dan sistem-sistem pengambilan sampel untuk dapat memperluas opsi
penggunaan dan untuk memfasilitasi tes yang aman dan efisien. Secara umum,
kemudahan penggunaan dan singkatnya waktu ketersediaan hasil Ag-RDT berpotensi
memperluas akses pada tes dan mengurangi penundaan diagnosis dengan cara bergeser
ke tes pasien dengan gejala awal secara terdesentralisasi. Sisi sebaliknya dari

12
kemudahan pengoperasian Ag-RDT adalah sensitivitas yang lebih rendah dibandingkan
NAAT. Sangat sedikit Ag-RDT SARS-CoV-2 yang sudah menjalani kajian regulasi
ketat. Hanya empat tes yang telah menerima Emergency Use Authorization (EUA/izin
penggunaan darurat) United States Food and Drug Administration (US FDA), dan
hanya dua tes lain yang telah disetujui oleh Pharmaceutical and Medical Devices
Agency Jepang. Hanya tiga perusahaan yang telah menyerahkan dokumen untuk
prosedur Emergency Use Listing (EUL/daftar penggunaan darurat) WHO) (Porte L,
2020).

8. Sifat pejamu
Berbagai faktor mempengaruhi respons terhadap imunisasi seperti faktor endogen
berupa usia, genetik, kesehatan umum dan faktor eksogen berupa infeksi intermiten,
status gizi, dan medikasi. Defisiensi vitamin A dapat mengurangi daya pertahanan
pejamu. Untuk keberhasilan imunisasi, resipien harus ada dalam keadaan
imunokompeten. Mereka yang kurang imunokompeten seperti ada infeksi, defek
herediter atau mendapat pengobatan dengan obat imunosupresif, tidak hanya
menunjukkan respons imun buruk, tetapi juga menunjukkan risiko dari bahan vaksin.
Hal ini dapat terjadi bila digunakan vaksin virus yang dilemahkan (Edgar, 2006).
Faktor virus dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-Co. Efek sitopatik
virus dan kemampuannya mengalahkan respons imun menentukan keparahan infeksi.
Disregulasi sistem imun kemudian berperan dalam kerusakan jaringan pada infeksi
SARS-CoV-2. Respons imun yang tidak adekuat menyebabkan replikasi virus dan
kerusakan jaringan. Di sisi lain, respons imun yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan. COVID-19 mewakili anggota ketujuh dari keluarga virus corona
yang menginfeksi manusia dan telah diklasifikasikan di bawah subfamili
orthocoronavir-inae. COVID-19 membentuk klade dalam subgenus sar- becovirus.
Berdasarkan identitas urutan genetik dan laporan phylo-genetika, COVID-19 cukup
berbeda dari SARS-CoV sehingga dapat dianggap sebagai betacoronavirus baru yang
menginfeksi manusia. COVID-19 kemungkinan besar berkembang dari virus korona
asal kelelawar. Bukti lain yang mendukung COVID-19 berasal dari kelelawar adalah
adanya tingkat homologi yang tinggi dari reseptor ACE2 dari keanekaragaman spesies
hewan, sehingga mengimplikasikan spesies hewan ini sebagai inang perantara yang
mungkin atau model hewan untuk COVID-19. infeksi. Selain itu, virus ini memiliki
satu kerangka pembacaan terbuka utuh pada gen 8, yang merupakan indikator lebih

13
lanjut CoV yang berasal dari kelelawar. Namun, urutan asam amino dari domain
pengikat reseptor tentatif mirip dengan SARS-CoV, menunjukkan bahwa virus ini
mungkin menggunakan reseptor yang sama (Song, et al. 2019).

9. Dosis
Dosis antigen diharapkan tidak mengganggu respons imun. Jumlah berlebihan atau
dosis berulang akan mengganggu respons imun. Hal tersebut terutama terjadi terhadap
polisakarida. dalam dosis yang rendah pada umunya antigen disingkirkan cukup
dengan respon imunitas bawaan yang hanya melibatkan sel-sel fargosit seperti
neutrophil maupun fagosit profesional (sel APC) dan cukup hanya pada tahap aktivitas
makrofag untuk mengeliminasi keberadaan patogen. Dalam paparan berulang-ulang
dengan dosis sangat rendah justru sistem imun lama kelamaan akan mentolerir
keberadaan antigen tersebut sehingga tidak menimbulkan respon imun lagi keadaan ini
disebut toleransi imunologi. Kondisi toleransi imunologi pun dapat terjadi pada paparan
dosis yang sangat besar yang diberikan secara berulang dalam periode waktu yang
lama. Dalam kondisi normal toleransi imunologi ini berguna untuk mempertahankan
homeostatis pengenalan terhadap self-antigen agar tidak menimbulkan reaksi
autoimunitas, dan menjadi salah satu penjelasan mengapa makanan tidak
menimbullkan reaksi autoimunitas, dan menjadi salah satu penjelasan mengapa
makanan tidak menimbulkan efek reaksi imunologi, karena paparan berulang dalam
julah besar. Besarnya dosis, juga dapat menentukan respons imun. Apabila dosis
minimal suatu antigen telah dilampaui, maka makin tinggi dosisnya, respons imunnya
akan meningkat secara sebanding. Akan tetapi pada dosis tertentu akan terjadi
sebaliknya yaitu menurunnya respons imun atau bahkan dapat menghilangkan respons
imun. Keadaan ini disebut dengan toleransi imunogenik (Subowo, 1993).
Walaupun imunogen umumnya merupakan makromolekul, tetapi hanya bagian-
bagian tertentu saja dari molekulnya yang dapat berikatan dengan antigen binding site
antibodi. Daerah tersebut disamping menentukan spesifisitas reaksi antigen- antibody
juga sebagai penentu timbulnya respon imun. Daerah molekul itu disebut dengan
determinan antigen atau epitop. Jumlah epitop dari sebuah molekul antigen tergantung
pada ukuran dan kerumitan struktur molekulnya. Dengan menentukan jumlah
spesifisitas antibody yang bersenyawa dengan setiap molekul antigen, orang dapat
mengira-ngira jumlah epitop dari antigen yang bersangkutan. Dengan cara pendekatan
ini, dapat diperkirakan bahwa albumin telur yang berat molekulnya 42.000 memiliki

14
lima epitop pada setiap molekulnya, sedangkan thyroglobulin yang berat molekulnya
700.000, memiliki sekitar 40 buah epitop pada setiap molekulnya (Subowo, 1993).
Penularan infeksi COVID-19 dari orang ke orang menyebabkan isolasi pasien yang
diberikan berbagai perawatan. Saat ini, tidak ada obat antivirus atau vaksin khusus
untuk melawan infeksi COVID-19 untuk terapi potensial pada manusia. Satu-satunya
pilihan yang tersedia adalah menggunakan obat antivirus spektrum luas seperti analog
nukleosida dan juga inhibitor protease HIV yang dapat mengurangi infeksi virus sampai
antivirus tertentu tersedia. Pengobatan yang sejauh ini telah dicoba menunjukkan
bahwa 75 pasien diberikan obat antivirus yang ada. Kursus pengobatan termasuk dua
kali sehari pemberian oral 75 mg oseltamivir, 500 mg lopinavir, 500 mg ritonavir dan
pemberian intravena 0.25 g gansiklovir selama 3-14 hari. Laporan lain menunjukkan
bahwa obat antiviral spektrum luas dan klorokuin sangat efektif dalam pengendalian
infeksi 2019- nCoV secara in vitro. Senyawa antivirus ini telah digunakan pada pasien
manusia dengan rekam jejak keamanan. Dengan demikian, agen terapeutik ini dapat
dianggap untuk mengobati infeksi COVID-19. Lebih jauh lagi, ada sejumlah senyawa
lain yang sedang dalam pengembangan. Ini termasuk senyawa kandidat klinis EIDD-
2801 yang telah menunjukkan potensi terapeutik yang tinggi terhadap infeksi virus
influenza musiman dan pandemi aganis musiman dan ini merupakan obat potensial lain
untuk dipertimbangkan untuk pengobatan infeksi COVID-19 (H, Lu. 2019)..
Sejalan dengan itu, sampai terapi yang lebih spesifik tersedia, masuk akal untuk
mempertimbangkan antivirus berspektrum lebih luas yang menyediakan pilihan
pengobatan untuk infeksi COVID-19 termasuk Lopinavir / Ritonavir, Penghambat
Neuraminidase, peptida (EK1), penghambat sintesis RNA. Namun jelas, bahwa
diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengidentifikasi obat-obatan terapi
kemoterapi baru untuk mengobati infeksi COVID-19. Untuk mengembangkan
profilaksis pra dan pasca pajanan terhadap COVID-19, ada kebutuhan mendesak untuk
membentuk model hewan untuk meniru penyakit parah yang saat ini diamati pada
manusia. Beberapa kelompok ilmuwan saat ini sedang bekerja keras untuk
mengembangkan model primata bukan manusia untuk mempelajari infeksi COVID-19
untuk membangun terapi baru jalur cepat dan untuk menguji vaksin potensial selain
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang interaksi host virus (H, Lu. 2019).

15
10. Antigen sel T dependen dan sel T independen
Kebanyakan antigen memerlukan bantuan sel T untuk menimbulkan respons imun.
Antigen dengan komponen protein merupakan prototipe antigen yang T dependen
(TD). Hal ini berarti bahwa sel B yang sebenarnya memproduksi Ig tidak akan mampu
berfungsi tanpa bantuan sel T. Bantuan tersebut berupa sitokin yang dilepas sel T
setelah kontak dengan antigen. Sebaliknya, polisakarida dan molekul lain dengan
tempat determinan yang terbatas, dapat merangsang sel B untuk memproduksi Ig tanpa
memerlukan bantuan sel T, jadi T independen (TI) (Bart, 2004)..
Pada umumnya pajanan antigen bersifat tergantung sel T TD=T dependent antigen
yang akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan sel Th T
helper melalui zat yang akan dilepaskan Th aktif. Antigen TD adalah antigen yang
kompleks seperti bakteri, virus, dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen
yang tidak memerlukan sel T TI = T independent antigen untuk menghasilkan antibodi
dengan cara langsung merangsang sel limfosit B misalnya antigen yang strukturnya
sederhana dan berulang–ulang, biasanya merupakan molekul besar dan menghasilkan
IgM, IgG2 dan sel memori yang lemah. Contohnya polisakarida komponen endotoksin
yang terdapat pada dinding sel bakteri Matondang dan Siregar, 2008. Limfosit Th dapat
mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC mayor
histocompatibility complex kelas I dan II yaitu molekul yang terdapat pada membran
sel makrofag. Setelah antigen diproses oleh sel makrofag, antigen akan dipresentasikan
bersama MHC kelas I atau kelas II kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR T
cell receptor (Bart, 2004).
Kemudian Universitas Sumatera Utara akan terjadi diferensiasi menjadi sel Th
efektor, sel Tc efektor, sel Th memori dan sel Tc memori atas pengaruh sitokin berada
di jaringan perifer. Sel Th efektor mengaktivasi makrofag. Peran utama dari Th adalah
membantu sel limfosit B menghasilkan antibodi Matondang dan Siregar, 2008. Bantuan
tersebut berupa sitokin yang dilepas sel T setelah kontak dengan antigen Imunologi
Dasar, 2009. Terdapat dua jenis sel Th yaitu sel Th1 dan sel Th2 yang dapat dibedakan
dengan sitokin yang dihasilkannya dan fungsi efektornya Matondang dan Siregar, 2008.
Sel Th1 memperantarai respon imun seluler sedangkan sel Th2 memperbanyak
produksi antibody. Sel Th1 menghasilkan IL-2 dan interferon gamma dan sel Th2
menghasilkan IL-4, IL-5, dan IL-10 (Bart, 2004).

16
11. Superantigen
Molekul superantigen merupkan mitogen sel T yang sangat poten. Mungkin lebih
tepat kalau disebut supermitogen karena dapat memacu mitosis sel CD4 tanpa bantuan
dari APC. Supermitogen diikat pada regio yang variabel dari rantai-β dari reseptor sel
T dan sekaligus diikat molekul MHC-II. Ikatan silang (cross-linking) itu merupakan
sinyal kuat sekali untuk mitosis oleh karena molekul tersebut dapat bereaksi dengan
berbagai rantai- β dari reseptor sel T (MZ Tay, 2020).
Satu molekul superantigen dapat mengaktifkan sejumlah besar (sampai 20%) dari
semua sel T dalam darah perifer. Contoh superantigen adalah enterotoksin dan toksin
sindrom syok yang diproduksi Stafilokok aureus. Toksin tersebut dapat menginduksi
sel T untuk memproduksi sejumkah besar sitokin seperti IL-I dan TNF yang
menimbulkan patologi jaringan lokal pada infeksi stafilokok. Tidak seperti pada
antigen normal yang harus diproses dan dipresentasikan oleh APC, SA yang tetap utuh
dapat mengikat bagian nonpolimorfik dari molekul protein MHC-II dan rantai- β dari
TCR famili rantai Vs. Beberapa superantigen mengikat molekul adhesi (CAM) dan
rantai- β pada TCR (MZ Tay, 2020).

Gambar 5. Superantigenetik karakter

TSS dapat disebabkan oleh dua jenis superantigen (SAgs): bakterial atau virus.
Bakteri SAgs telah dipelajari secara luas. Mereka termasuk protein yang disekresikan
oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes yang merangsang produksi
besar sitokin inflamasi dan syok toksik. Contoh tipikal adalah TSS toksin 1, dan
stafilokokus enterotoksin B (SEB) dan H (SEH). Mereka adalah aktivator sel T yang
sangat kuat yang dapat mengikat molekul major histocompatibility complex (MHC)

17
kelas II (MHCII) dan / atau reseptor sel T (TCR) dari sel CD4 + dan CD8 + T.
Kemampuan SAgs untuk melewati spesifisitas antigen dari TCRs menghasilkan
aktivasi sel T yang luas dan badai sitokin, yang menyebabkan guncangan toksik.
Khususnya, SAgs tidak mengikat alur pengikat peptida utama (antigenik) dari MHCII,
tetapi malah mengikat daerah lain serta αβTCRs, secara langsung. Sementara studi awal
menunjukkan bahwa bakteri SAgs mengaktifkan sel T dengan mengikat rantai β dari
TCR dimer pada domain variabel mereka (V), studi yang lebih baru mengungkapkan
bahwa mereka dapat mengikat baik α- atau β- rantai, atau keduanya (MZ Tay, 2020).
Sindrom Peradangan Multisistem pada Anak (MIS-C) yang terkait dengan COVID-
19 adalah kondisi yang baru dikenali pada anak-anak dengan infeksi Coronavirus 2
(SARS-CoV-2) sindrom pernapasan akut parah baru-baru ini. Pasien anak-anak dan
orang dewasa dengan hiperinflamasi parah ini hadir dengan kumpulan gejala yang
sangat mirip dengan sindrom syok toksik, peningkatan respons imun adaptif sitotoksik
yang dipicu oleh pengikatan superantigen patogen ke reseptor sel T (TCR) dan / atau
kelas kompleks histokompatibilitas utama. Molekul II (MHCII). Di sini, dengan
menggunakan model komputasi berbasis struktur, kami menunjukkan bahwa
glikoprotein SARS-CoV-2 spike (S) menunjukkan motif afinitas tinggi untuk mengikat
TCR, dan dapat membentuk kompleks terner dengan MHCII.Epitop pengikat pada S
memiliki motif sekuens yang unik untuk SARS-CoV-2 (tidak terdapat pada virus
korona terkait SARS lainnya), yang sangat mirip baik dalam urutan maupun strukturnya
dengan enterotoksin stafilokokus superantigen bakteri B (MZ Tay, 2020).
Interaksi antara virus dan sel T manusia dapat diperkuat oleh mutasi langka (D839Y
/ N / E) dari jenis SARS-CoV-2 Eropa. Lebih lanjut, wilayah antarmuka mencakup
residu yang dipilih dari motif mirip molekul adhesi antar sel (ICAM) yang dibagi antara
virus SARS dari pandemi 2003 dan 2019. Motif urutan mirip neurotoksin pada domain
pengikat reseptor juga menunjukkan kecenderungan tinggi untuk mengikat TCR.
Analisis repertoar TCR pada pasien COVID-19 dewasa menunjukkan bahwa mereka
dengan penyakit hiperinflamasi parah menunjukkan kemiringan TCR yang konsisten
dengan aktivasi superantigen.Data ini menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 S dapat
bertindak sebagai superantigen untuk memicu perkembangan MIS-C serta badai sitokin
pada pasien COVID-19 dewasa, dengan implikasi penting untuk pengembangan
pendekatan terapeutik (MZ Tay, 2020).

18
12. Epitop
Imunogen dan antigen memiliki gerombol unik dari golongan kimia yang berperan
untuk merangsang sel B atau T. Determinan antigenik tersebut disebut epitop. Epitop
terdiri atas 4-5 asam amino dari protein atau liposakarida dengan ukuran yang sama.
Epitop adalah bagian antigen yang dapat diikat antibodi. Epitop dapat linier atau
konformasional dan menentukan spesifisitas molekul antigen. Antigen-antigen yang
memiliki satu atau lebih epitop yang sama disebut antigen dengan reaksi silang.
Efektivitas merangsang respons imun berbagai epitop antigen tidak sama. Epitop
imunodominan adalah epitop yang mendominasi respons Ig (R. Kogay dan C.
Schönbach, 2018).
Berdasarkan penelitian pada SARS-Cov, diketahui bahwa sel T menyerang secara
dominan pada protein S dan N. Oleh karena itu, makalah ini fokus untuk menganalisis
epitope sel T pada protein S dan N. Bioinformatika memadukan ilmu biologi molekuler,
matematika, dan informatika. Pendekatan dengan ilmu bioinformatika berperan untuk
mengurangi waktu penelitian pada laboratorium basah biologi. Salah satu topik yang
berperan dalam bidang bioinformatika adalah analisis sekuen. Analisis sekuen SARS-
Cov2 sangat penting mengingat virus corona dari subfamili betacoronavirus pernah
menyebabkan wabah global dengan tingkat kematian yang cukup tinggi. Makalah ini
mengkaji hubungan antara karakter epitope SARS-Cov dengan SARS-Cov2 dengan
memanfaatkan tool bioinformatika yang dapat diakses publik di internet. Prediksi
sekuen protein yang menjadi epitope sel T SARSCov2 diperoleh dari Immune Epitope
Database (IEDB). IEDB merupakan website yang menyediakan tool untuk
memprediksi epitope dengan metode komputasi. Dari tool ini dapat diprediksi epitope
SARS-Cov2 dari epitope SARS-Cov berdasarkan kemiripannya. Informasi yang
terkumpul terkait SARS-Cov2 masih sangat sedikit dan data epitope juga belum
tersedia. Meskipun demikian, informasi umum terkait virus corona seperti SARSCov
dan MERS-Cov dapat diperoleh. t jumlah epitope sel T yang tersedia pada situs IEDB
(R. Kogay dan C. Schönbach, 2018).

19
Gambar 6. Struktur kristal CR3022 dalam kompleks dengan SARS-CoV-2 RBD

Selain memiliki tingkat kemiripan yang tinggi dengan SARS-Cov2, ternyata SARS-
Cov juga memiliki data epitope yang terbanyak. Hal ini sangat mendukung untuk
memprediksi epitope SARS-Cov2 dengan pemetaan sekuen pada lokasi yang sama.
Letak epitope pada masing-masing protein SARS-Cov. Pemetaan epitope SARS-Cov
pada SARS-Cov2 sebagai tahap awal pembuatan desain vaksin dapat dipertimbangkan,
karena adanya relasi yang kuat antara karakter physicochemical SARS-Cov dan SARS-
Cov2. Adanya perubahan asam amino akibat mutasi tidak berdampak signifikan pada
epitope penelitian kali ini. Dari karakter yang telah diteliti ternyata indeks alifatik tidak
memberikan perbedaan yang signifikan, sehingga karakter tersebut dapat dihilangkan
pada penelitian selanjutnya. Penelitian selanjutnya dapat membandingkan lokasi
epitope SARS-Cov dengan SARS-Cov2 yang khusus berasal dari Indonesia dengan
bantuan mesin pembelajaran karena keberagaman genom yang sangat tinggi (R. Kogay
dan C. Schönbach, 2018).

13. Antigen heterofil


Antigen heterofil kadang diartikan sinonim dengan antigen heterogenetik yang
ditemukan secara luas di banyak pohon filogenetik. Antigen tersebut berperan pada
reaksi silang. Antibodi terhadap suatu antigen dapat menunjukkan reaksi terhadap
antigen lain yang tidak berhubungan. Hal itu dapat terjadi bila kedua antigen memiliki
epitop yang sama.

20
Heterofil merupakan komponen penting dari sistem kekebalan tubuh bawaan,
bekerja cepat mendeteksi dan membunuh patogen serta mengarahkan sinyal menuju
mekanisme respon imun yang lain. Heterofil melakukan fungsi penting pada awal
infeksi, dengan aktivasi cepat melalui proses kemotaksis memungkinkan heterofil
untuk membunuh patogen. Deteksi molekul bakteri melalui reseptor yang kemudian
menstimulasi heterofil untuk melakukan fagositosis serta menginduksi ekspresi sitokin.
Heterofil mengandung zat antimikroba yang dapat dilepaskan melalui degranulasi
untuk membunuh bakteri melalui proses fagositosis (Redmond et al., 2011).
Mekanisme pertahanan heterofil merupakan lini pertahanan pertama yang diaktifkan
selama respon inflamasi sehingga memiliki peranan penting pada ketahanan unggas
terhadap penyakit (Harmon, 1998). Heterofil mampu merespon patogen dalam waktu
30 menit selama fase inflamasi awal. Peningkatan respon imun bawaan tersebut akan
mengurangi terjadinya penyakit sehingga meningkatkan produktivitas (Farnell et al.,
2006). Heterofil, sebagai sel pertama yang bermigrasi ke tempat infeksi, merupakan
komponen selluler penting dari respon imun bawaan karena dapat menjadi penanda
yang lebih efektif saat memilih unggas yang lebih tahan terhadap penyakit (Ferro et al.,
2004)

14. Multivalensi
Antigen multivalensi yaitu molekul antigen yang mengandung sejumlah epitop
yang berbeda. Setiap molekul antibodi bereaksi dengan satu epitop. Pengembangan
berkelanjutan dari nanomaterial multivalen telah memberikan peluang untuk kemajuan
imunoterapi antigen spesifik. Wawasan baru muncul ketika mempertimbangkan latar
belakang desain vaksin, yang telah lama menggunakan presentasi antigen multivalen
untuk lebih terlibat dan meningkatkan respons imunogenik. Selain itu, vaksin secara
tradisional mengirimkan antigen dengan bahan pembantu untuk memperkuat respons
spesifik antigen yang kuat. Nanomaterial multivalen telah berevolusi untuk aplikasi di
mana toleransi kekebalan diinginkan, seperti penyakit autoimun atau alergi. Secara
khusus, polimer linier yang dapat larut dapat disesuaikan dengan imunogenisitas atau
toleransi spesifik antigen langsung dengan memodulasi panjang polimer, valensi ligan
(angka), dan kepadatan ligan, selain memasukkan sinyal sekunder. Pengiriman kode
dari sinyal sekunder dapat mengarahkan,memperkuat, atau menekan respons terhadap
antigen tertentu (Omi K, Takeda Y, Mori M. 2020).

21
Meskipun kemampuan nanomaterial multivalen untuk memberlakukan respon imun
melalui mekanisme molekuler telah ditetapkan, mekanisme transportasi untuk
biodistribusi juga harus dipertimbangkan. Kedua mekanisme tersebut dipengaruhi oleh
tampilan ligan dan sifat fisik material nano lainnya. Ulasan ini menyoroti tampilan ligan
multivalen pada polimer linier, interaksi kompleks parameter fisik dalam desain
multivalen, dan kemampuan untuk mengarahkan respons imun dengan mekanisme
molekuler dan transportasi.Kedua mekanisme tersebut dipengaruhi oleh tampilan ligan
dan sifat fisik material nano lainnya. Ulasan ini menyoroti tampilan ligan multivalen
pada polimer linier, interaksi kompleks parameter fisik dalam desain multivalen, dan
kemampuan untuk mengarahkan respons imun dengan mekanisme molekuler dan
transportasi.Kedua mekanisme tersebut dipengaruhi oleh tampilan ligan dan sifat fisik
material nano lainnya. Ulasan ini menyoroti tampilan ligan multivalen pada polimer
linier, interaksi kompleks parameter fisik dalam desain multivalen, dan kemampuan
untuk mengarahkan respons imun dengan mekanisme molekuler dan transportasi (Omi
K, Takeda Y, Mori M. 2020).

2.2 Imunisasi Aktif


Dalam imunisasi aktif untuk mendapatkan proteksi dapat diberikan vaksin
hidup/dilemahkan atau yang dimatikan. Vaksin yang baik harus mudah diperoleh, murah,
stabil dalam cuaca ekstrim dan nonpatogenik. Efeknya harus tahan lama dan mudah
direaktivasi dengan suntikan booster antigen. Baik sel B maupun sel T diaktifkan oleh
imunisasi. Keuntungan dari pemberian vaksin hidup/dilemahkan ialah terjadinya replikasi
mikroba sehingga menimbulkan pajanan dengan dosis lebih besar dan respons imun di
tempat infeksi alamiah. Vaksin yang dilemahkan diproduksi dengan mengubah kondisi
biakan mikroorganisme dan dapat merupakan pembawa gen dari mikroorganisme lain yang
sulit untuk dilemahkan. BCG merupakan pembawa yang baik untuk antigen yang
memerlukan imunitas sel CD4 dan salmonela sehingga dapat memberikan imunitas melalui
pemberian oral. Imunisasi intranasal telah mendapat popularitas. Risiko vaksin yang
dilemahkan ialah oleh karena dapat menjadi virulen kembalu dan merupakan hal yang
berbahaya untuk subyek imunokompromais (Achmad Yurianto. 2020).

22
Gambar 7. Immunity

Masa pandemi COVID-19 yang telah menjangkiti sebagian besar negara pun
hendaknya tidak menyurutkan semangat tenaga kesehatan untuk tetap menggaungkan
pentingnya imunisasi dan melakukan langkah-langkah penting untuk memastikan setiap
anak yang merupakan kelompok rentan terlindungi dari penyakit-penyakit berbahaya
dengan imunisasi. Dalam masa pandemi COVID-19 ini, imunisasi tetap harus diupayakan
lengkap sesuai jadwal untuk melindungi anak dari PD3I. Pelayanan imunisasi pada masa
pandemi COVID-19 dilaksanakan sesuai kebijakan pemerintah daerah setempat,
berdasarkan analisis situasi epidemiologi penyebaran COVID-19, cakupan imunisasi rutin,
dan situasi epidemiologi PD3I. Pelayanan imunisasi dilaksanakan sesuai prinsip
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) dan menjaga jarak aman 1 – 2 meter. Dinas
kesehatan harus berkoordinasi dan melakukan advokasi kepada pemerintah daerah setempat
dalam pelayanan imunisasi pada masa pandemi COVID-19. Selain itu, petugas kesehatan
diharapkan dapat memantau status imunisasi setiap sasaran yang ada di wilayah kerjanya
(Achmad Yurianto. 2020).
Pada masa pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini, hendaknya pelayanan imunisasi
sebagai salah satu pelayanan pelayanan kesehatan esensial tetap menjadi prioritas untuk
dilaksanakan. Perlu dilakukan langkah-langkah penting untuk memastikan setiap sasaran
imunisasi, yaitu anak yang merupakan kelompok rentan menderita PD3I, terlindungi dari
penyakit-penyakit berbahaya dengan imunisasi. Adapun, prinsip – prinsip yang menjadi
acuan dalam melaksanakan program imunisasi pada masa pandemi COVID-19 yaitu: 1)
imunisasi dasar dan lanjutan tetap diupayakan lengkap dan dilaksanakan sesuai jadwal
untuk melindungi anak dari PD3I; 2) secara operasional, pelayanan imunisasi baik di

23
posyandu, puskesmas, puskesmas keliling maupun fasilitas kesehatan lainnya yang
memberikan layanan imunisasi mengikuti kebijakan pemerintah daerah setempat; 3)
kegiatan surveilans PD3I harus dioptimalkan termasuk pelaporannya; serta 4) menerapkan
prinsip PPI dan menjaga jarak aman 1 – 2 meter. Keberlangsungan pelayanan imunisasi
ditentukan berdasarkan pertimbangan risiko dan manfaat dengan langkah sebagai berikut:
1. Dinas kesehatan dan puskesmas melakukan penilaian dan pemetaan risiko
berdasarkan analisis epidemiologi transmisi lokal COVID-19, cakupan imunisasi
rutin setempat, dan situasi PD3I;
2. Dinas kesehatan dan puskesmas membuat rekomendasi keberlangsungan
pelaksanaan pelayanan imunisasi di wilayah kerjanya;
3. Dinas kesehatan dan puskesmas melakukan advokasi kepada pemerintah daerah
setempat untuk memperoleh dukungan dari pimpinan daerah beserta jajarannya
baik dari segi kebijakan maupun operasional agar pelayanan imunisasi dapat
berjalan untuk memberikan perlindungan optimal kepada anak;
4. Dinas kesehatan dan puskesmas melakukan monitoring intensif terhadap cakupan
imunisasi dan surveilans PD3I untuk mendapatkan gambaran tingkat perlindungan
di masyarakat dan untuk mengindentifikasi kelompok masyarakat yang berisiko
tinggi terjadinya KLB untuk menjadi prioritas dalam kegiatan catch up imunisasi
sesudah masa pandemi COVID-19 selesai.
(Achmad Yurianto. 2020).

Gambar 8. Respon pada imunisasi

24
 Berikut pemaparan dari respons primer dan sekunder serta perbedaan respons imun di
berbagai bagian tubuh :
1. Respons primer dan sekunder
Kontak pertama dengan antigen eksogen menimbulkan respons humoral primer yang
ditandai dengan sel plasma yang memproduksi antibodi dan sel B memori. Respons
primer ditandai dengan lag phase yang diperlukan sel naif untuk menjalani seleksi klon,
ekspansi klon dan diferensiasi menjadi sel memori dan sel plasma. Kemampuan untuk
memberikan respons humoral sekunder tergantung dari adanya sel B memori dan sel T
memori. Aktivitasi kedua sel memori menimbulkan respons antibodi sekunder yang
dapat dibedakan dari respons primer (Goldsby et al., 2005).
Pemberian imunisasi setelah pengambilan darah pre-imun hanya memberikan hasil
peningkatan skor rata-rata dengan nilai 2,5 pada bleeding kedua. Hasil ini sesuai dengan
pernyataan Abbas dan Litchman (2005) bahwa respon imun primer mengakibatkan
aktivasi pada sel B sedangkan respon imun sekunder menstimulasi peningkatan jumlah
sel B memori. Oleh karena itu respon imun sekunder memiliki kandungan antibodi yang
diproduksi lebih tinggi daripada respon imun primer. Menurut Abbas dan Litchman
(2005), antigen merupakan molekul yang dapat berkombinasi dengan antibodi spesifik.
Walaupun demikian tidak semua antigen bersifat imunogenik. Imunogenisitas dan
antigenisitas memiliki hubungan yang terkait, akan tetapi keduanya memiliki definisi
yang berbeda. Imunogenisitas dinyatakan sebagai kemampuan antigen untuk
menginduksi respon imun humoral ataupun cell mediated sedangkan antigenisitas
dinyatakan sebagai kemampuan substansi asing untuk berkombinasi secara spesifik
dengan antibodi ataupun reseptor pada permukaan sel (Goldsby et al., 2005).

Gambar 9. Respons primer dan sekunder

25
2. Perbedaan respons imun di berbagai bagian tubuh
Ada perbedaan kadar antibodi dalam intra dan ekstra-vaskuler. sIgA diproduksi
setempat di lamina propria di bawah memberan mukosa saluran napas dan cerna yang
sering merupakan tempat kuman masuk. sIgA merupakan Ig utama dalam sekresi
hidung, bronkus, intestinal, saluran kemih,saliva, kolostrum, dan empedu. Pemberian
vaksin polio oral (Sabin) memacu produksi antipolio (sIgA) dan ditemukan di dalam
sekresi nasal dan duodenum, sedang pemberian vaksin mati parenteral (Salk) tidak. Jelas
bahwa sIgA memberikan keuntungan dan dapat mencegah virus di tempat rusak masuk
tubuh. Sintesis antibodi sekretori lokal terbatas pada lokasi-lokasi anatomis tertentu
yang dirangsang langsung melalui kontak dengan antigen (Pajno, 2007).
IgG dan IgM dapat ditemukan dalam sekresi setempat. Hal ini berarti bahwa Ig
serum dapat pula berperan pada imunitas ekstravaskuler. IgG dan IgM telah ditemukan
pula dalam eksudat. Antibodi dalam cairan serebrospinal dibentuk di jaringan susunan
saraf pusat oleh rangsangan infeksi. Mekanisme yang menimbulkan perbedaan-
perbedaan kadar Ig di berbagai tempat di tubuh belum dapat diterangkan. IgG4
merupakan 3,5% dari IgG dalam plasma tetapi merupakan 15% dari IgG dalam plasma
tetapi merupakan 15% dari IgG kolostrum (Maggini. Dkk, 2007).

26
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Antigen adalah substansi yang dapat di kenali dan di ikat dengan baik oleh
sistem imun. Antigen dapat berasal dari organisme (bakteri, virus, jamur, dan
parasit) atau molekul asing bagi tubuh. Tidak setiap bagian dari antigen dapat
berinteraksi dengan molekul sitem imun. Bagian dari antigen secara langsung
berkaitan dengan molekul reseptor (seperti antibodi) yang dikenal dengan
epitop. Hal ini menandakan bahwa antigen mempunyai beberapa epitop.
Hapten adalah molekul kecil tetapi dapat menginduksi respon imun sendiri.
Selain itu juga dapat menginduksi antibodi dengan titer yang tinggi jika
diikatkan dengan carrier berupa protein yang mempunyai berat molekul
tinggi atau polimer sintetik.
2. Coronavirus adalah kumpulan virus yang bisa menginfeksi sistem
pernapasan. Pada banyak kasus, virus ini hanya menyebabkan infeksi
pernapasan ringan, seperti flu. Namun, virus ini juga bisa menyebabkan
infeksi pernapasan berat, seperti infeksi paru-paru (pneumonia). Virus ini
menular melalui percikan dahak (droplet) dari saluran pernapasan, misalnya
ketika berada di ruang tertutup yang ramai dengan sirkulasi udara yang
kurang baik atau kontak langsung dengan droplet. Selain virus SARS-CoV-
2 atau virus Corona, virus yang juga termasuk dalam kelompok ini
adalah virus penyebab Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan virus
penyebab Middle-East Respiratory Syndrome (MERS).
3. Imunogenitas adalah kemampuan suatu substansi (seperti antigen atau
epitop) dalam memicu respons imun dari tubuh manusia atau hewan lainnya.
Dalam kata lain, imunogenisitas adalah kemampuan untuk memicu respons
imun humoral dan/atau dimediasi sel.
4. Dalam imunisasi aktif untuk mendapatkan proteksi dapat diberikan vaksin
hidup/dilemahkan atau yang dimatikan. Vaksin yang baik harus mudah
diperoleh, murah, stabil dalam cuaca ekstrim dan nonpatogenik. Efeknya
harus tahan lama dan mudah direaktivasi dengan suntikan booster antigen.
Baik sel B maupun sel T diaktifkan oleh imunisasi. hal yang berbahaya untuk
subyek imunokompromais.

27
3.2 Saran
Setelah mengetahui teori dasar tentang imunologi, kita diharapkan mampu
meningkatkan, menjaga kesehatan kita agar imunitas kita dapat berjalan dengan
baik ataupun mempertahankan kekebalan tubuh kita dengan menjalankan gaya
hidup yang sehat agar terhindar dari berbagai macam infeksi.

28
Daftar Pustaka

Abbas, A. K., A. H. Lichtmen dan Y. S. Pober. 1991. Cellular and Molecular

Immunology. W. B. Sounders Company. Philadephia London Toronto

Monteral Sydney Tokyo. Pp. 4-6, 38-45, 309-310.

Abbas, A.K. and A.H.Litchman. 2005. Cellular and Molecular Immunology. Elsevier

Saunder. Philadelphia.

Aderson WL. 1999. Immunology. Madison: Fence Creek Publishing.

Baratawidjaja K, Rengganis I. 2010. Imunologi Dasar, Edisi Kedelapan. Jakarta : Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.

Bart, Smet. 2004. Psikologi kesehatan. Jakarta: PT. Grasindo.

Decker JM. 2000. Introduction to Immunology. Oxford: Blackwell Science.

Dr. Achmad Yurianto. 2020. Petunjuk Teknis Pelayanan Imunisasi pada Masa Pandemi

COVID-19. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Edgar JDM. Master Medicine: Immunology. New York: Elsevier Churchill

Livingstone.

Ellis, A.E. 1988. General principles of fish vaccination. Academic Press, London, p. 1-

19.

Farnell MB,Donoghue AM, Solis de los Santos F, Blore PJ, Hargis BM, Tellez G,

Donoghue DJ, 2006. Upregulation of Oxidative Burst and Degranulation in

Chicken Heterophils Stimulated with Probiotic Bacteria. Poult.

Sci.85(11):1900-1906.

Ferro PJ, Swaggerty CL, Kaiser P, Pevzner IY, Kogut, 2004. Heterophils Isolated from

Chickens Resistant to Extra-Intestinal Salmonella Enteritidis Infection

Express Higher Levels of Pro-Inflammatory Cytokine mRNA Following

29
Infection than Heterophils from Susceptible Chickens. Epidemiol. Infect.

132: 1029–1037.

Goodman dan Gilman. (1996). The Pharmacologycal Basis of Therapeutics. 8th ed.

TheMcGraw Hill Companies Inc., USA, pp 670-671.

Goldsby, R.A., T.J. Kindt and A Osborne. 2000. Immunology. W.H. Freeman and

Company. California.

Harmon BG, 1998. Avian Heterophils in Inflammation and Disease Resistance. 1998.

Poult. Sci. 77:972–977.

Husband, A. J. 1995. The Immune System and Integrated Homeostatis. Immunology

and Cell Biologi, 73:377-382.

Huang, Y. Wang, X. Li, L. Ren, J. Zhao, Y. Hu, et al., 2020. Clinical features of patients

infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China, Lancet 395 (10223)

497–506.

H, Lu. 2019. Drug treatment options for the 2019-new coronavirus (2019-nCoV). Biosci.

Trends.

Kang Sim, Kian Hui Yioung, et all. 2011. Adjunctive mood stabilizer treatment for

hopspitalized schizophrenia patients: Asia psychotropic prescription study

(2001-2008). International journal of Neuropshicopharmacology. Page 1157-

1164.

Maggini S, Wintergerst ES, Beeridge S, Hornig DH. 2007. Selected vitamins and trace

elements support immune fuction by strengthening epithelial barriers and

cellular and humeral immune responses. British Journal of Nutrition, 98,

Suppl. 1, S29-S35.

MZ Tay , CM Poh ,L. Rénia ,PA MacAry ,LFP Ng. 2020. Trinitas COVID-19:

Kekebalan, peradangan dan intervensi . Nat. Pdt. Immunol. 20 , 363 – 374.

30
N. Zhu, D. Zhang, W. Wang, X. Li, B. Yang, J. Song, et al. 2019. A novel coronavirus from

patients with pneumonia in China. N. Engl. J. Med. 382.727–733.

Omi K, Takeda Y, Mori M. 2020. SARS-CoV-2 qRT-PCR Ct value distribution in

Japan and possible utility of rapid antigen testing kit.

medRxiv.06.16.20131243.

Pajno GB. 2007. Sublingual Imunotherappy: The optimism and the issues. J Allergy

Clin Immunol 119 (4). 796-801.

Parslow G.T. , Stites D.P., Terr A.I. 1997. Medical Immunology. New Jersey: Prentice

Hall.

Porte L, Legarraga P, Vollrath V, Aguilera X, Munita JM, Araos R, et al.

2020.Evaluation of novel antigen-based rapid detection test for the diagnosis

of SARS-CoV-2 in respiratory samples. Int J Infect Dis.

Reese, Nair, Brownell. 2000. Microbiology and Immunology. Review Questions,

USA.

Redmond SB, Chuammitri P, Andreasen CB, Palić D, Lamont SJ, 2011. Genetic control

of chicken heterophil function in advanced intercross lines: associations with

novel and with known Salmonella resistance loci and a likely mechanism for

cell death in extracellular trap production. Immunogenetics. 63:449–458.

Roitt, I.M. 1991. Essential Immunology, 7nd ed. Blackwell Scientific Publication.

London.

R. Lu, X. Zhao, J. Li, P. Niu, B. Yang, H. Wu, et al. 2019. Genomic characterisation and

epidemiology novel coronavirus: implications for virus origins and receptor

binding. Lancet 395 (10224) (2020) 565–574.

R. Kogay dan C. Schönbach. 2018. Epitope Predictions. Encycl. Bioinforma. Comput.

Biol.: ABC Bioinforma., Vol. 2, No. 1, hal. 952–971.

31
Scohy A, Anantharajah A, Bodéus M, Kabamba- Mukadi B, Verroken A, Rodriguez

Villalobos H. 2020. Low performance of rapid antigen detection test as

frontline testing for COVID-19 diagnosis. J Clin Virol. 129:104455.

Subowo. 1993. Imunobiologi. Penerbit Angkasa. Bandung . 233p.

Thanh Le, T., Zacharias A., Arun K., Raul G. R., Stig T., Melanie S., dan Stephen M.

2020. The COVID-19 Vaccine Development Landscape. Nature Reviews:

Drug Discovery, 10, 305-306.

Tizard. 2004. Veterinary Immunology. An Introduction. 6th ed. WB Saundres

Company. Philadelpia.

Wahab A S, Madarina Julia. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, dan Penyakit Imun. Jakarta:

Penerbit Widya Medika.

Weiss A, Jellings. M, Sommer MOA. 2020. Spatial and temporal dynamics of SARS-

CoV-2 in COVID-19 patients: A systematic review and meta-analysis.

EBioMedicine ;58.

32

Anda mungkin juga menyukai