Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di
sekitarnya yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari penyakit reumatik adalah
Rheumatoid Arthritis (Nainggolan,2009). Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit
autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun
dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan
pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai gangguan
pergerakan diikuti dengan kematian prematur (Mclnnes,2011).
Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA bervariasi
berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan dengan susunan genetik.
Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli Amerika, Yakima, Pima, dan suku-suku
Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%. Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan yaitu
berkisar antara 0,5-1% (Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan
pendapatan rendah dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia Tenggara sebesar
0,4%, Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan Amerika sebesar 1,25%.
Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan wanita yaitu 0,75% dan
dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki dan 12,21 juta wanita
menderita RA pada tahun 2000 kemudian meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta
wanita yang menderita RA pada tahun 2010 (Rudan dkk, 2015).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir dari
Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan penderita RA
selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan
sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki
prevalensi penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis
rematik secara detail.
Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun banyak faktor
risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya adalah faktor genetik, usia
lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor hormonal, etnis, dan faktor
lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet, polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga apabila tidak
dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan kerusakan sendi yang
progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut Fuch dan Edward, hanya 15%
pasien RA yang memperoleh pengobatan secara medis yang mengalami remisi atau berfungsi
normal setelah 10 tahun sejak awal onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis
1

RA sendiri dievaluasi dari berbagai parameter seperti level remisi, status fungsional, dan
derajat kerusakan sendi (Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih merupakan
masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik, biologis, ekonomi dan
sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status kesehatannya saat ini. Banyak
penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan
produktifitas masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang
berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi imunologinya
terjadi beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak
terjadi pada lansia namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring
peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan memberikan
pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah satunya dengan
melakukan deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak alat ukur dan kriteria yang
dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya adalah berdasarkan kriteria ARA
(American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR (American
College of Rheumatology) yang direvisi tahun 2010.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2

2.1 Definisi
Artritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan
terdapatnya sinovitis erosive simetrik yang walaupun terutama melibatkan jaringan
persendian, juga melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar pasien menunjukkan gejala
penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya
kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif yang dapat menyebabkan
disabilitas bahkan kematian. (Suarjana, 2009)
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai
penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan
gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering
sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).
2.2 Epidemiologi
Prevalensi AR adalah sekitar 0.8% dari seluruh populasi dunia (0.3-2.1%). Kejadian
pada perempuan adalah tiga kali lebih banyak disbanding laki-laki. Prevalensi AR meningkat
seiring bertambahnya umur. Secara geografis, AR ditemukan hampir diseluruh bagian dunia
dan mengenai seluruh ras. Namun, insiden dan beratnya penyakit ini lebih sedikit ditemukan
pada daerah sub sahara afrika dan karibia. Onset dari penyakit ini 80% terjadi pada usia 3550 tahun. Insiden AR 6 kali lebih besar pada wanita usia 60-64 tahun daripada wanita usia
18-29 tahun. (Rudan dkk, 2015).
2.3 Faktor Resiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA dibedakan menjadi dua
yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
2.3.1

Tidak Dapat Dimodifikasi

1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA. Gen yang
berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen tirosin fosfatase PTPN
22 di kromosom 1. Perbedaan substansial pada faktor genetik RA terdapat diantara
populasi Eropa dan Asia. HLA-DRB1 terdapat di seluruh populasi penelitian,
3

sedangkan polimorfisme PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang


pada populasi Asia. Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam keluarga
dengan kejadian RA pada keturunan selanjutnya.
2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun penyakit ini
juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (Rheumatoid Arthritis Juvenil).
Dari semua faktor risiko untuk timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat.
Prevalensi dan beratnya RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA
hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering
pada usia diatas 60 tahun.
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 3:1.
Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas. Perbedaan
pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.
2.3.2

Dapat Dimodifikasi

1. Gaya hidup
a. Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat kaitan antara
faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan penelitian di Swedia yang
menyatakan terdapat kaitan antara tingkat pendidikan dan perbedaan paparan
saat bekerja dengan risiko RA.
b. Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok tembakau
berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok berhubungan dengan
produksi dari rheumatoid factor(RF) yang akan berkembang setelah 10
hingga 20 tahun. Merokok juga berhubungan dengan gen ACPA-positif RA
dimana perokok menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan
perokok. Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab namun
kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.
c. Diet

Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah makanan yang
mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian Pattison dkk, isu mengenai
faktor diet ini masih banyak ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar
mengenai jenis makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah
dapat meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan
memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan konsumsi
kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas bagaimana
hubungannya.
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr virus (EBV)
karena virus tersebut sering ditemukan dalam jaringan synovial pada pasien
RA. Selain itu juga adanya parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae,
Proteus, Bartonella, dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.
e. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani, pertambangan,
dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun risiko pekerjaan tertinggi
terdapat pada orang yang bekerja dengan paparan silica.
2. Faktor hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada perempuan
dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi ireguler, dan menarche usia
sangat muda.
3. Bentuk tubuh
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa Tubuh
(IMT) lebih dari 30.
2.4 Patogenesis
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblast synovial
setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi.
Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan bekuan kecil atau
sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang ireguler pada jaringan synovial yang mengalami
inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus lalu menginvasi dan merusak rawan
5

sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan
dilepaskan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik. (Suarjana,
2009) ; (McInnes & Schett, 2011)
2.5 Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan. Sering
pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut dapat berupa
keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).
1. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan menurun, peningkatan
panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.
2. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut dan kaki
(sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula,
panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering
berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
3. Kelainan diluar sendi
a. Kulit
: nodul subukutan (nodul rematoid)
b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun 40% pada
autopsi RA didapatkan kelainan perikard
c. Paru
: kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan kelainan pleura
(efusi pleura, nodul subpleura)
d. Saraf
: berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering terjadi berupa
keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop
e. Mata
: terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa kekeringan mata,
skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans
f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali, limpadenopati, anemia,
trombositopeni, dan neutropeni.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) meningkat
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF negatif tidak
menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan dalam diagnosis dini
dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan
antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten
6

2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi,
demineralisasi juxta articular, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.
2.7 Diagnosis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini disebabkan
oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil pemeriksaan fisik juga dapat
berbeda-beda tergantung pada pemeriksa. Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa alat ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism
Association) yang direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang
digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik. Sebagai contoh,
IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan,
2002)
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun
1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1 jam
sebelum perbaikan maksimal.
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah sendi atau
lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu pembengkakan
persendian

tangan

yaitu

PIP

(proximal

interphalangeal),

MCP

(metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.


4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi misalnya PIP
(proximal

interphalangeal),

MCP

(metacarpophalangeal),

atau

MTP

(metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan
ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan atau
pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat
Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas dan kriteria 1
sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain kriteria diatas, dapat pula digunakan
kriteria diagnosis RA berdasarkan skor dari American College of Rheumatology (ACR/Eular)
2010. Jika skor 6, maka pasien pasti menderita RA. Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin

memenuhi kriteria RA secara prospektif (gejala kumulatif) maupun retrospektif (data dari
keempat domain didapatkan dari riwayat penyakit) (Putra dkk,2013).
Tabel 1. Skor American College of Rheumatology (ACR/Eular) 2010
Distribusi Sendi (0-5)
1 sendi besar
2-10 sendi besar
1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)
4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)
>10 sendi kecil
Serologi (0-3)
RF negatif DAN ACPA negatif
Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA
Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA
Durasi Gejala (0-1)
<6 minggu
6 minggu
Acute Phase Reactant (0-1)
CRP normal DAN LED normal
CRP abnormal ATAU LED abnormal

Skor
0
1
2
3
5
0
2
3
0
1
0
1

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan
penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menekan
faktor risiko:
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi risiko
peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang menggunakan
1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah rutin
berjemur di bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi. Gerakan-gerakan
yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki ke belakang pantat,
ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat
dilakukan atau senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih berat
untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan dan olahraga
dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.
8

4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk, bayam,
buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E juga sebagai
antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada sendi juga
terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air dalam jumlah yang
cukup dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi,
sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas
setiap hari. (Candra, 2013)
6. Berdasarkan sejumlah penelitian

sebelumnya,

ditemukan

bahwa

merokok

merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya pencegahan RA
yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif maupun pasif.
(Febriana, 2015).
2.8.2 Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan pembedahan
bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan pengobatan adalah
menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan
mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang
dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak, dan
sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan
tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi oleh
Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin, metotreksat,
sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD dapat diberikan
tunggal maupun kombinasi (Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai
bridge terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek DMARDs
yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya dapat
dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui pemakaian tongkat,

pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai
dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka dapat
dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi,
arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta, 2014)
Tabel 2. DMARD untuk terapi RA
OBAT
Sulfasalazin

ONSET
1-2 bulan

DOSIS
1x500mg/hari/io

Keterangan
Digunakan sebagai lini

ditingkatkan setiap pertama


minggu
Metotreksat

1-2 bulan

hingga

4x500mg/hari
Dosis awal 7,5-10 Diberikan
mg/

pada

kasus

minggu/IV lanjut dan berat. Efek

atau peroral 12,5- samping: rentan infeksi,

Hidroksiklorokui

2-4 bulan

17,5mg/minggu

intoleransi

GIT,

dalam 8-12 minggu

gangguan fungsi hati dan

400 mg/hari

hematologik
Efek samping: penurunan

tajam penglihatan, mual,

Asatioprin

diare, anemia hemolitik


Efek samping: gangguan

2-3 bulan

50-150 mg/hari

hati,
D-penisilamin

3-6 bulan

250-750mg/hari

gejala

GIT,

peningkatan TFH
Efek samping: stomatitis,
proteinuria, rash

2.9 Prognosis
Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari ketaatan pasien
untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga tujuh puluh lima persen
penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun. Selebihnya dengan prognosis yang
lebih buruk. Kejadian mortalitas juga meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan
mereka yang tidak mengalami RA. Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang
berat, kematian dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal nafas, gagal ginjal,
dan gangguan saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami hendaya dalam 10 tahun ke
10

depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala awal menunjukkan
hasil remisi yang lebih baik (Kapita Selekta, 2014). Indikator prognostik buruk berupa
banyak sendi yang terserang, LED dan CRP tinggi, RF (+) tinggi dan anti CCP (+), erosi
sendi pada awal penyakit dan sosial ekonomi rendah.

BAB III
HASIL PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN
3.1 Identitas penderita
Nama

: JE

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 37 tahun

Alamat kunjungan

: Jl. Kresek No . 16C

Bangsa

: Indonesia

Suku

: Bali

Agama

: Kristen

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Status

: Bercerai

Tanggal kunjungan

: 3 Januari 2016

3.2 Riwayat Perjalanan Penyakit Penderita


Keluhan utama: Nyeri pada sendi
Keluhan ini dimulai sejak satu tahun yang lalu. Pasien mengalami keluhan nyeri pada sendi
bagian jari-jari dan pergelangan tangan kanan dan kiri, dan lutut kanan-kiri. Awalnya keluhan
ini didahului dengan nyeri dan bengkak pada bagian lutut kanan dan kiri. Nyeri dirasakan pada
pagi hari saat pasien baru bangun dan berlangsung terus-menerus sepanjang hari. Keluhan
berkurang apabila pasien mengonsumsi obat Pasien mengatakan keluhan nyeri dan bengkak
ini muncul secara tiba-tiba, dan akan memberat apabila pasien memaksan melakukan aktivitas.
Pasien mengatakan setelah mengonsumsi obat, bengkak pada lutut menghilang, namun nyeri
11

yang dirasakan semakin memberat dan diikuti nyeri pada bagian jari-jari tangan. Selain rasa
nyeri, pasien juga merasa jari pergelangan tangannya membengkak. Karena keluhan tersebut,
pasien mencari pengobatan dengan kontrol ke RS swasta dan diberikan obat. Keluhan nyeri
menghilang sementara setelah konsumsi obat, namun keluhan tetap kembali apabila pasien
tidak mengonsumsi obat. Pasien mengatakan keluhan nyeri bertambah saat bangun tidur di
pagi hari. Keluhan yang dirasakan pasien mengganggu aktivitas harian pasien.
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku telah mencari pengobatan dengan kontrol ke RS swasta dan diberikan obat.
Saat di RS tersebut penderita di diagnosis dengan Rhematoid Arthriris. Obat yang diberikan
sebelumnya adalah methylprednisolon, meloxicam dan Metrotexat. Selanjutnya karena
keluhan tidak kunjung membaik, pasien memeriksakan keluhannya tersebut ke Poliklinik
Rematologi RSUP Sanglah.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan yang sama seperti ini sebelumnya. Riwayat
trauma disangkal oleh pasien. Riwayat diabetes mellitus, hipertensi, asma, jantung dan
penyakit sistemik lainnya disangkal oleh pasien.
Riwayat Keluarga
Tidak terdapat keluarga penderita yang menderita hal yang sama seperti pasien. Riwayat
penyakit sistemik lainnya pada keluarga pasien disangkal.
Riwayat Sosial
Pasien sebelumnya bekerja sebagai sales, namun karena keluhan ini pasien tidak dapat bekerja
dan hanya melakukan pekerjaan rumahan saja. Pasien telah menikah, namun dikatakan telah
bercerai dengan suaminya sekitar 2 tahun yang lalu. Pasien memiliki 1 anak. Pasien tidak
memiliki riwayat kebiasaan merokok ataupun minum alkohol.

Pemeriksaan Fisik
Status Present
Kesadaran

: Compos Mentis

Tensi

: 110/70 mmHg

Nadi

: 84 x/menit, kuat, reguler, isi cukup

Respirasi

: 20 x/mt

Temp. Axilla

: 36,50 C

BB

: 48 kg
12

TB

: 153 cm

BMI

: 20,5 kg/m2

Status General
Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor, edema palpebra (-/-)
THT

: dalam batas normal

Leher : pembesaran kelenjar limfe (-)


Thoraks

: simetris

Cor:

Inspeksi

: iktus kordis tidak tampak

Palpasi

: iktus kordis tidak teraba

Perkusi

: batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung parasternal line
dekstra, batas kiri jantung midclavicular line sinistra ICS V

Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)


Pulmo:Inspeksi
Palpasi

: Simetris statis & dinamis


: Vokal fremitus

N|N
N|N
N|N

Perkusi

: sonor | sonor
sonor | sonor
sonor | sonor

Auskultasi : vesikuler +|+,

ronkhi

-|-,

wheezing

-|-

+|+,

-|-,

-|-

+|+,

-|-,

-|-

Abdomen
Inspeksi

: Distensi (-),

Auskultasi : Bising usus (+) normal


Palpasi

: Hepar tidak teraba, lien tidak teraba,

Perkusi

: Timpani

Ekstremitas

: Hangat + / +

edema - / -

+/+

-/-

Status Lokalis :
Regio MCP I-5 manus dextra :
Inspeksi: tampak nodul, tampak edema, tak tampak hiperemi
Palpasi: edema pada digiti 3, nyeri tekan (+), krepitasi (-).
Pergerakan: ROM terbatas fleksi 0/90, ekstensi masih dalam batas normal, abduksi
dalam batas normal, adduksi dalam batas normal, sirkumduksi minimal
13

Regio MCP 1-5 manus sinistra:


Inspeksi: tak tampak nodul, tak tampak edema, tak tampak hiperemi
Palpasi: edema (-), nyeri tekan (+), krepitasi (-).
Pergerakan: ROM terbatas fleksi 0/90, ekstensi dalam batas normal, abduksi dalam
batas normal, adduksi dalam batas normal, sirkumduksi minimal
Regio Wrist joint dextra
Inspeksi: tak tampak edema, tak tampak hiperemi
Palpasi: edema (-), nyeri tekan (+), krepitasi (-)
Pergerakan: ROM terbatas fleksi minimal, ekstensi minimal, sirkumduksi minimal
karena nyeri
Regio Wrist joint sinistra
Inspeksi: tak tampak edema, tak tampak hiperemi
Palpasi: edema (-), nyeri tekan (+), krepitasi (-)
Pergerakan: ROM terbatas fleksi minimal, ekstensi minimal, sirkumduksi minimal
karena nyeri
Regio Genu joint dextra
Inspeksi : tampak edema, tak tampak hiperemi
Palpasi : edema (+), nyeri tekan (+), krepitasi (-)
Pergerakan : ROM terbatas gerakan fleksi terbatas, ekstensi dalam batas normal
Regio Genu joint sinistra
Inspeksi : tampak edema, tak tampak hiperemi
Palpasi : edema (+), nyeri tekan (+), krepitasi (-)
Pergerakan : ROM terbatas gerakan fleksi terbatas, ekstensi dalam batas normal

Riwayat pemeriksaan laboratorium (26/12/2015)


26/12/2015

Nilai Rujukan

WBC

13,80

4,1-11 10e3/uL

RBC

4,26

4-5,2 10e6/uL

HGB

11,9

12-16g/dl

HCT

35,2

36-46 %
14

MCV

82,7

80-100 fl

MCH

28,0

26-34 pg

MCHC

33,8

31-36 g/dL

PLT

537

140-440 10e3/uL

Neutrofil

9,90

2,5-7.5

Lymphosit

2.83

1.0-4.0

Monosit

0.80

0.1-1.20

eosinofil

0.08

0.0-0.55

Basofil

0.02

0.0-0.1

26/12/2015

Nilai Rujukan

BUN

8-23 mg/dL

Creatinin

0,56

0,5-0,9 mg/dL

CRP (kualitatif)

negatif

0,00-5 mg/L

RF (kualitatif)

negatif

<8

Diagnosis:
Rheumatoid Arthritis
Terapi :
Methyl prednisolone 2x8 mg
Methotrexate 10mg/minggu
Meloxicam 1x15 mg

BAB IV
PEMBAHASAN
1

Alur Kunjungan
Kunjungan dilakukan pada tanggal 3 Januari 2016 langsung ke tempat tinggal pasien

berupa rumah sendiri yang berada di lingkungan Jalan Kresek No. 16C. Kami mendapatkan
15

sambutan baik dari pasien dan keluarga. Kami berbincang-bincang dengan pasien.
Selanjutnya kami meminta izin untuk mengabadikan keadaan rumah pasien, namun pasien
menolak karena rumah pasien sedang berantakan. Pasien sendiri mengatakan bahwa kondisi
pasien selama dirumah relatif baik bila mengonsumsi obat. Namun bila tidak mengonsumsi
obat, pasien akan merasakan nyeri dan kaku pada jari dan pergelangan tangannya. Pasien juga
mengeluh mudah lelah bila terlalu banyak melakukan aktivitas. Nafsu makan pasien masih
relatif baik. Pasien tidak bekerja lagi untuk sementara waktu, sehari-harinya hanya istirahat
dan beraktivitas ringan di rumah.
Prinsip-prinsip umum pengelolaan pasien dengan rematoid artritis tidak hanya
terbatas pada terapi farmakologis, namun juga memerlukan terapi non-farmakologis yaitu
pendekatan bio-psiko-sosial. Adapun intervensi yang dilakukan yaitu:
a. Edukasi pasien tentang pengetahuan dan pemahaman pasien beserta keluarganya tentang
penyakit rematoid artritis terutama penyebab, penanganan, serta pencegahannya.
b. Menyadarkan pasien beserta keluarganya akan pentingnya pencegahan penyakit, menjaga
kesehatan jasmani dengan memenuhi kebutuhan nutrisi serta beraktivitas dengan baik,
serta menjaga kesehatan rohani.
2

Daftar Permasalahan
Adapun permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam hal menghadapi

penyakitnya antara lain:


1

Pasien masih kurang paham dengan penyakitnya, komplikasi yang mungkin timbul, dan
penanganannya.

Pasien kesulitan dalam akses ke pelayanan kesehatan karena keterbatasan fisik dan
transportasi.

Kurangnya dukungan dari keluarga karena pasien telah bercerai dengan suaminya, saat ini
hanya tinggal bersama anaknya dan keluarga terdekat pasien tidak tinggal di Bali, sehingga
untuk masalah finansial juga terganggu.
3

Analisis Kebutuhan

1 Kebutuhan Fisik-Biomedis
a. Kecukupan Gizi
Nutrisi Harian Pasien

16

Menurut pengakuan pasien, dalam sehari pasien makan dua sampai tiga kali. Lauk
yang disiapkan sendiri dikatakan tidak selalu sama, namun dapat dibuat gambaran umum
menu untuk masing-masing jadwal makan, sebagai berikut:
-

Makan Pagi : Nasi, telor ayam, sayur, daging ayam


Makan Siang : Nasi, sayur, daging ayam
Makan Malam : Nasi, tempe/tahu, sayur
Pasien mengaku lebih sering mengonsumsi sayur-sayuran dibanding daging. Sayur

yang biasa dikonsumsi seperti sayur hijau, sawi hijau, sawi putih, kol, wortel, bayam.
Secara umum, dari data nutrisi harian keluarga tersebut, sudah cukup untuk memenuhi
kebutuhan energi pasien, hanya perlu ditambahkan buah-buahan setiap harinya sebagai
sumber vitamin dan mineral. Perlu kontrol diet makanan yang baik karena pasien menderita
rheumatoid arthritis. Walaupun sampai saat ini belum ada diet khusus yang terbukti
meningkatkan atau menurunkan risiko, namun beberapa ahli menerangkan bahwa diet berupa
mengonsumsi ikan, buah-buahan dan sayuran, juga dapat mengonsumsi makanan yang
mengandung besi seperti daging tanpa lemak, kacang, telur dan mengonsumsi cukup kalsium
seperti susu rendah lemak, keju mampu memberikan efek yang positif terhadap pasien.
Pasien juga diharapkan untuk mengurangi daging merah, makanan yang digoreng, berlemak,
makanan yang mengandung pengawet dan aditif, minuman berkafein, buah seperti lemon,
jeruk nipis dan jeruk, garam atau gula berlebihan. Yang terpenting dari pengaturan diet untuk
pasien adalah untuk mempertahankan berat badan pasien agar tetap ideal.
b. Kegiatan fisik
Selain terapi gizi klinis, kegiatan fisik yang dapat dilakukan untuk pasien adalah
dengan melakukan peregangan untuk melatih sendi yang kaku. Juga dapat melakukan aerobik
ringan seperti naik turun tangga dan berjalan santai selama 5 sampai 10 menit. Selain itu juga
dapat melakukan kegiatan seperti berenang selama 10 sampai 30 menit. Kegiatan fisik ini
dilakukan untuk mengurangi nyeri dan mencegah kekakuan otot. Bila tidak melakukan
aktivitas, maka sendi dan otot akan semakin lemah. Pasien mengaku jarang melakukan
olahraga semenjak 2 tahun yang lalu. Hal ini disebabkan karena kesibukan pasien menjalani
pekerjaan sebagai sales pada pagi hingga sore hari
c.

Akses pelayanan kesehatan


Pasien tinggal di daerah pegok, Denpasar. Akses pelayanan kesehatan cukup sulit

untuk dijangkau oleh pasien. Pasien biasanya berobat ke RSAD yang merupakan rumah sakit
dengan jaminan kesehatan yang dimiliki oleh pasien apabila mengeluhkan adanya gangguan
17

kesehatan. Jarak rumah pasien dengan pelayan kesehatan + 7 km. Jarak rumah pasien dari
RSUP Sanglah sekitar 20-25 menit perjalanan. Namun pasien mengalami kesulitan apabila
akan ke rumah sakit karena keterbatasan transportasi dan karena keluhan pasien tersebut,
pasien mengatakan kesulitan untuk ke pelayanan kesehatan seorang diri.
d.

Lingkungan
Saat ini pasien tinggal bersama anaknya di rumahnya sendiri di daerah pegok,

Denpasar. Pasien telah tinggal kurang lebih 2 tahun dirumahnya tersebut. Rumah tersebut
memiliki 2 kamar, berukuran 4 x 4 m2, kamar mandi, ruang tamu, dapur, dan ruang makan.
Dalam rumah pasien tampak sedikit berantakan, dengan barang-barang yang bertumpuk.
Ventilasi dan pencahayaan pada kamar tidur pasien tergolong kurang.
Dapur pasien berupa ruangan bertembok, berjendela, dan beratapkan genteng,
berisikan tempat menaruh peralatan dapur, kompor gas, serta wastafel. Dapur berukuran
kecil, sekitar 1,5 x 2 meter dan tampak berantakan.
Kamar mandi letaknya di luar kamarnya sebanyak 1 kamar mandi dan tidak terlihat
rapi serta kurang bersih. Sumber air MCK untuk pasien adalah dari sumur bor sedangkan
sumber air minum adalah air galon isi ulang.
Halaman rumah tidak terlalu luas, halaman ini dipergunakan juga sebagai garasi untuk
memarkirkan kendaraan bermotor dan tempat menjemur pakaian. Pembuangan sampah
menggunakan tempat sampah dan bila sudah terkumpul banyak biasanya langsung dibuang di
TPA yang disediakan dekat rumah pasien untuk kemudian diambil oleh petugas kebersihan.
4.3.2 Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial
a

Lingkungan Biologis
Pasien adalah anak ke 2 dari 2 bersaudara. Pasien memiliki 1 orang anak yang saat ini

sudah masuk sekolah menegah kejurusan. Pasien juga merupakan kepala rumah tangga dalam
rumah tersebut karena pasien telah bercerai dengan suaminya 2 tahun yang lalu. Selama
pasien merasakan keluhannya tersebut, hanya anak pasien yang membantu pasien untuk
kontrol ke pelayanan kesehatan. Apabila pasien merasa kesakitan dan saat anak pasien
bersekolah, pasien mengatakan menahan sakitnya tersebut karena tidak bisa ke pelayanan
kesehatan seorang diri. Sedangkan keluarga terdekat pasien lainnya, tidak tinggal di Bali,
sehingga tidak ada yang membantu pasien. Penyakit ini sangat membutuhkan pengertian dan
dukungan dari keluarga, terutama karena harus minum obat dan kontrol secara teratur. Tidak
banyak aktivitas fisik yang dapat dilakukan pasien saat berada di rumah karena keluhan
18

fisiknya tersebut. Pasien biasanya hanya melakukan pekerjaan ringan seperti memasak,
mencuci piring atau menyapu halaman dalam kesehariannya.
Sebelum sakit, pasien bekerja sebagai sales pada pagi hingga sore hari dengan daerah
kerja yaitu benoa. Untuk waktu istirahat, pasien mengatakan mendapatkan waktu tidur yang
cukup kurang lebih 7-8 jam sehari.
b.

Faktor Psikologis dan Sosial


Pasien mengatakan masih merasa risau dengan penyakit dan pengobatan yang dijalani

pasien. Ditambah juga dengan keadaan pasien yang seorang diri mengurus rumah tangga dan
anaknya. Pasien merasa kurang mendapat dukungan dari keluarga, namun pasien tetap
menerima dengan lapang dada mengenai penyakitnya dan tetap akan menjalani pengobatan
untuk kebaikan penyakitnya. Pasien hanya merasa sedikit sedih karena untuk tidak dapat
bekerja. Kesulitan ekonomi dikatakan ada, ditambah lagi pasien saat ini telah bercerai dan
tidak bekerja. Untuk biaya rawat inap di RSUP Sanglah, pasien menggunakan BPJS.
Sehingga, pasien dan keluarga merasa tidak terbebani oleh pengeluaran selama perawatan.
4

Pemecahan Masalah
Dari beberapa permasalahan yang telah kami jabarkan sebelumnya, kami

mengusulkan penyelesaian masalah sebagai berikut:


1. Pasien masih kurang paham dengan penyakitnya, penanganan dan komplikasi yang
mungkin timbul.
Pasien dijelaskan terkait penyakit rematoid artritis yang merupakan penyakit
peradangan pada sendi yang bersifat autoimun dan kronis. Sebagian besar penyakit
rematoid artritis disebabkan karena autoimun, walaupun dari beberapa sumber yang
mengatakan penyakit ini dapat disebabkan karena infeksi virus. Penyebab dari penyakit
pasien belum dapat ditentukan dengan pasti, namun beberapa faktor resiko yang
mendukung penyakit ini, yaitu pasien merupakan seorang perempuan, pasien sebagai
perokok pasif karena mantan suami pasien merupakan perokok, pasien sering
mengosumsi gorengan saat bekerja sebelumnya, siklus menstruasi ireguler. Untuk
penatalaksanaan rematoid artritis adalah dengan pemberian obat-obatan golongan
NSAID, DMARD, kortikosteroid, rehabilitasi dan pembedahan. Pada pasien saat ini
diberikan terapi berupa meloxicam, metrotexat, dan metilprednisolon.
2. Pasien kesulitan dalam akses ke pelayanan kesehatan karena keterbatasan fisik dan
transportasi.
19

Dalam akses pasien ke pelayanan kesehatan yang saat ini sering mengalami
kesusahan, kami menyarankan agar anak pasien lebih meluangkan waktu untuk pasien
saat jadwal pasien untuk kontrol atau saat pasien merasa keluhan penyakitnya memburuk.
Dan juga kami menyarankan agar anak pasien berlatih menggunakan kendaraan seperti
sepeda motor untuk memudahkan akses pasien ke pelayanan. Karena untuk saat ini pasien
mengaku agak kesulitan mencari transportasi, biasanya pasien menggunakan bemo untuk
menuju ke rumah sakit. Dan untuk mencari bemo, pasien harus berjalan kurang lebih 2
km ke jalan raya utama.
3. Kurangnya dukungan dari keluarga karena pasien telah bercerai dengan suaminya, saat ini
hanya tinggal bersama anaknya dan keluarga terdekat pasien tidak tinggal di Bali.
Dukungan dari anak pasien merupakan satu-satunya dukungan yang didapatkan oleh
pasien saat ini. Ketekunan pasien dalam menjalani pengobatan dan kontrol secara rutin
juga sangat dipengaruhi oleh dukungan anaknya. Selain itu pasien juga dapat membina
hubungan baik dengan tetangga di sekitar rumah atau teman terdekatnya, suatu saat
apabila mengalami kesulitan, pasien dapat meminta pertolongan.
4.4 Saran

KIE kepada pasien untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan YME agar selalu

diberikan kesehatan jasmani rohani.


KIE kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit rematoid artritis yang diderita
agar menyadari perlunya perawatan dan terapi secara teratur untuk keberhasilan

pengobatannya.
KIE kepada pasien agar membiasakan hidup sehat dan mengurangi makanan yang
mengandung banyak garam dan gula, berlemak, gorengan, makanan berpengawet dan
mengandung aditif. Tidak lupa juga tetap melakukan olanhraga ringan untuk

mencegah kekakuan sendi.


KIE kepada pasien agar minum obat secara rutin dan selalu kontrol teratur ke dokter
terhadap penyakitnya apabila obat habis atau apabila ada keluhan.
BAB V
SIMPULAN
Pasien perempuan JE berumur 37 tahun bertempat tingal di Jalan Kresek No. 16C,

Denpasar yang saat ini pasien tidak bekerja, hanya sebagai ibu rumah tangga. Pasien telah
merasakan gejala nyeri pada sendi jari dan pergelangan tangan dan lutut sejak 1 tahun yang
20

lalu. Nyeri dirasakan terus menerus dan memberat sejak beberapa bulan sebelumnya.Pasien
juga mengeluhkan mengalami penurunan berat badan semenjak mengalami keluhan. Awalnya
pasien mengalami nyeri dan bengkak pada lutut, lalu diikuti pada jari dan pergelangan pasien.
Pasien sempat beberapa kali berobat ke rumah sakit dan didiagnosis dengan rematoid artritis.
Saat ini pasien tidak bekerja karena merasa tidak mampu melakukan kegiatan atau aktivitas
berat.
Saat melakukan kunjungan rumah, pasien mengatakan keluhan membaik apabila pasien
terus mengonsumsi obat yang diberikan, namun apabila pasien tidak mengonsumsi obat,
keluhan akan kembali dan terkadang bertambah parah. Permasalahan yang masih menjadi
kendala pasien antara lain pasien masih tidak mengerti tentang penyakitnya, penanganan,
serta pengelolaan aktivitas fisik dan pengaturan diet sesuai dengan kondisinya. Saat
kunjungan, pemeriksa sudah melakukan edukasi mengenai hal tersebut dan pasien diharapkan
sudah mengerti tentang hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The Journal of
Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12
Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan Pasien Non
Koperatif. Academia Edu
21

Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle


Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839
McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J Med,
vol. 365, pp. 2205-19
Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia. Maj
Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594
Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan ACR/EULAR 2010
pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit
Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan
Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN
Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low And MiddleIncome
Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of Global Health, vol.5, no.1,
pp.1-10
Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, FKUI,
Jakarta, pp.2495-508
Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis. Indonesian
Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20
Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. (2013). Keluhan-Keluhan Lanjut
Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di Salah Satu Wilayah Pedesaan di Bali.
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali, pp.42-48
Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment, Geo-Epidemiology, and
Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier, doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019

LAMPIRAN FOTO

22

23

24

Anda mungkin juga menyukai