Anda di halaman 1dari 47

PRESENTASI KASUS MEDIK

SEORANG PEREMPUAN 45 TAHUN DENGAN DRUG REACTION


WITH EOSINOPHILIA AND SYSTEMIC SYMPTOMS (DRESS)

Pembimbing
dr. Hiendarto, Sp. KK

Pendamping
dr. Pratiknyo

Disusun Oleh
dr. Astrid Astari Aulia

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

DEPARTEMEN KESEHATAN KABUPATEN SEMARANG

RSUD AMBARAWA
2019

1
LAPORAN KASUS DRUG REACTION WITH EOSINOPHILIA AND
SYSTEMIC SYMPTOMS (DRESS)

Topik : Medik
Kasus : Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS)
Oleh : dr. Astrid Astari Aulia
Pendamping : dr. Pratiknyo
Objektif : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Deskripsi : Seorang perempuan 45 tahun dengan keluhan ruam merah gatal dan
panas pada wajah, lengan, perut, serta kaki.
Tujuan : Mampu mengidentifikasi dan melakukan pengelolaan pada kasus
Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS)
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka dan Kasus
Cara Membahas : Diskusi

Ambarawa, 13 Februari 2019


Pembimbing Pendamping

dr. Hiendarto, Sp.KK dr. Pratiknyo

2
BAB I
PENDAHULUAN

Kemajuan dalam bidang farmasi dan meningkatnya penggunaan obat-


obatan, menyebabkan semakin banyaknya kejadian efek samping obat. Adverse
Drug Reaction (ADR) merupakan suatu kondisi terjadinya efek obat yang tidak
diharapkan. Efek samping obat dapat berupa gangguan fungsi organ atau
perubahan pada kulit. Perubahan pada kulit dikenal sebagai erupsi obat atau drug
eruption.1 Reaksi obat dapat disebabkan antara lain oleh farmakodinamik zat
aktif, reaksi alergi terhadap bahan-bahan dari sediaan obat, atau reaksi
idiosinkratik yang sama sekali tidak dapat diprediksi. Hipersensitivitas terhadap
obat-obatan dapat mempengaruhi organ apapun, dengan antara 5-15% dari semua
reaksi dapat termanifestasi pada kulit. Reaksi erupsi obat yang sudah umum
diantaranya adalah: urtikaria dengan angioedema, erupsi obat makulopapular,
vaskulitis leukoklastik, sindroma Stevens-Johnson (SJS), dan nekrolisis epidermal
toksik (TEN). DRESS adalah salah satu reaksi erupsi obat yang kurang dikenal,
namun yang paling umum dilaporkan setelah pemberian antikonvulsan.2
DRESS pertama kali dideskripsikan oleh Saltzstein dan Ackerman (1959)
sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap fenitoin dan antiepilepsi lainnya. Bocquet
dan rekannya (1996) juga mengusulkan nama itu untuk menyederhanakan
nomenklatur sindrom hipersensitivitas obat. Kemudian, Descamps dan kawan-
kawan serta Japanese Research Committee on Severe Cutaneous Adverse
Reaction (J-SCAR) (1998) melaporkan adanya hubungan antara reaksi obat ini
dengan reaktivasi human herpes virus 6 (HHV-6). Selanjutnya, kelompok J-
SCAR menciptakan istilah DIHS untuk mencerminkan hubungan reaksi erupsi
obat tersebut dengan HHV-6. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam temuan
klinis pasien yang telah dilaporkan memiliki DRESS atau DIHS.3
Pada awalnya DRESS dianggap sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap
antikonvulsan saja akan tetapi gejala serupa juga pernah terlihat setelah
penggunaan Allopurinol, Sefalosporin, obat antiinflamasi, Sulfonamid, dan
sediaan lainnya. Oleh karena itu istilah lain mulai digunakan seperti DIHS (drug

3
induced hypersensitivity syndrome), HSS (hypersensitivity syndrome), HSR
(Hypersensitivity Syndrome Reaction), sindrom dapson, sindroma
hipersensitivitas antikonvulsan (Anticonvulsant Hypersensitivity Syndrome),
sindroma hipersensitivitas allopurinol (Allopurinol Hypersensitivity Syndrome)
dan banyak lainnya. Saat ini, nama yang paling banyak digunakan adalah DRESS
yang ditetapkan oleh RegiSCAR - sebuah kelompok penganalisis reaksi obat.1,2
Sindroma DRESS mempunyai potensi mengancam jiwa terutama apabila
terlambat dalam terapi. Angka mortalitas sebesar 10%, terutama disebabkan
kerusakan hati dan komplikasi lainnya seperti eritrodermi dan sepsis. Insidensi
sindroma DRESS diperkirakan 1 per 1.000 sampai 1 per 10.000 paparan.
Manifestasi klinis sindroma DRESS menyerupai manifestasi klinis pada erupsi
obat lainnya, sehingga sulit untuk mengenali secara dini.1

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
DRESS adalah kumpulan gejala dan merupakan reaksi idiosinkratik
yang terjadi pada pemberian obat dalam dosis terapi, yang ditandai adanya
erupsi eritematous, demam, kelainan hematologi terutama adanya eosinofilia
dan adanya keterlibatan organ dalam seperti: limfadenopati, hepatitis,
pneumonitis, miokarditis, nefritis. Istilah sindroma DRESS lebih sering
digunakan karena dinilai dapat lebih menggambarkan apa yang terjadi pada
penderita.1
Sindrom ini tampak dengan berbagai presentasi klinis. Ada tiga
kelompok gejala utama yang mendefinisikan DRESS yaitu lesi kulit, kelainan
hematologis dan keterlibatan organ internal. Lesi kulit yang khas untuk
manifestasi DRESS adalah ruam konfluen eritematosa atau hemoragik akut
yang sering disertai dengan wajah bengkak. Lesi eksfoliatif dapat ditemukan
pada fase penyembuhan. Lesi kulit yang khas ditemukan pada reaksi
hipersensitivitas kulit seperti: urtikaria, target-like lesions pada eritema
multiforme, SJS, papula, pustula atau bahkan lesi lichenoid mungkin juga
dapat tampak pada presentasi klinis DRESS. Kelompok gejala lain yang
paling khas untuk DRESS adalah kelainan hematologis seperti eosinofilia dan
limfosit atipikal. Di samping dari gejala hematologis yang khas mungkin juga
terjadi leukositosis, monositosis, dan neutrofilia. Keterlibatan organ internal
melengkapi gambaran klinis penyakit DRESS. Organ yang paling sering
terkena antara lain hati, ginjal, paru, muskuloskeletal, pankreas, saluran
pencernaan dan lien. Keterlibatan organ didiagnosis berdasarkan peningkatan
parameter laboratorium yang menunjukkan bukti peradangan di dalam organ
dan adanya gejala khas tertentu dari sistem organ yang terlibat.2

5
B. Epidemiologi
DRESS adalah kondisi yang jarang terjadi dengan kejadian
diperkirakan 1/1.000 hingga 1/10.000 di antara orang-orang yang
mengkonsumsi obat-obatan, namun dengan tingkat mortalitas tinggi hingga
mencapai 10%.2 Sindrom ini muncul mulai dari 2 - 6 minggu setelah inisiasi
spesifik terapi obat.3 Dilaporkan bahwa anak-anak lebih sedikit terpengaruh
daripada orang dewasa.4 Data menunjukkan bahwa DRESS terjadi dengan
frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan tidak terkait dengan usia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien paling banyak terpapar pada
dekade kelima kehidupan.2
Masih banyak kekurangan data statistik epidemiologi di Eropa tentang
reaksi erupsi obat dengan mortalitas tinggi dan yang memerlukan
hospitalisasi. Di Cina, penelitian telah dilakukan pada kelompok obat yang
menginduksi reaksi hipersensitivitas yang membutuhkan hospitalisasi dan
ditemukan bahwa daftar penyebab paling umum dari reaksi hipersensitivitas
meliputi: allopurinol, amoksisilin, sefalosporin, antiepilepsi, dan obat
antiinflamasi non-steroid. Di antara obat tersebut, antikonvulsan berada di
urutan pertama. Menurut sumber lain, psikotropika juga dapat menimbulkan
reaksi erupsi obat pada sekitar 2-5% pasien.2

C. Etiologi
Penyebab utama sindroma DRESS adalah obat seperti sulfonamid,
trimetropim, metronidazol, minosiklin, allopurinol, dapson, abakavir dan juga
karena reaksi silang obat, di antaranya adalah obat antikonvulsan (fenitoin,
karbamazepin, fenobarbital), dan obat anti-inflamasi non steroid (piroksikam,
teniksikam). Pasien yang mengalami hipersensitivitas pada salah satu dari ke-
3 obat ini, mempunyai kemungkinan sebesar 75% untuk bereaksi terhadap
obat yang lainnya. Selain itu, diduga adanya keterlibatan ko-infeksi virus
yakni reaktivasi dari HHV6 juga mendasari sindroma ini. Faktor genetik
diduga merupakan faktor predisposisi. Sindroma DRESS dilaporkan pada

6
kembar identik yang diterapi dengan karbamazepin. Mekanisme dasar dari
predisposisi genetik ini dilaporkan oleh Gennis dan kawan-kawan. HLA-5701,
HLA-DR 27, HLA-DQ3 berperan pada terjadinya sindroma DRESS yang
disebabkan karena pemberian terapi dengan abacavir, HLA-DR3 berperan
pada pemberian karbamazepin.1
Banyak obat telah dilaporkan sebagai agen penyebab DRESS. Namun,
hanya sejumlah kecil obat yang sering dijumpai sebagai penyebab (Tabel 1),
termasuk anti-kejang, agen anti-mikroba, agen anti-virus, agen antipiretik, dan
lain-lain. Gambaran paling khas dari penyebab ini adalah periode laten yang
panjang, yang berkisar antara 3 hingga 8 minggu setelah dimulainya obat.

Selain itu, beberapa obat yang baru dikembangkan juga telah


dilaporkan sebagai penyebab sindrom DRESS. Termasuk agen anti-virus
hepatitis C (boceprevir dan telaprevir), terapi penyakit onkologis (sorafenib
vismodegib, dan vemurafenib, anti-koagulan baru (rivaroxaban), dan agen
penurun asam urat baru (fubuxostat). Meskipun agen-agen tersebut tidak
umum menyebabkan sindrom DRESS namun, laporan tersebut mencerminkan
fakta bahwa dengan semakin banyaknya obat baru, daftar obat penyebab
sindrom DRESS juga akan terus bertambah.5

7
D. Gambaran Klinis
DRESS memiliki periode laten yang panjang mulai dari pengenalan
obat baru hingga terjadinya reaksi hipersensitivitas. Ruam makulopapular,
demam, limfadenopati, keterlibatan organ (ginjal, hati) dan eosinofilia terjadi
dalam 1-8 minggu (dalam penelitian umumnya 3-4 minggu) setelah pemberian
obat. Demam dan gejala kulit tampak pada 80% pasien DRESS, yang
berkorelasi dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian. Edema wajah dan
lesi eritematosa konfluens merupakan ciri khas DRESS. Purpura, lepuh atau
pustula juga sering muncul. Terkadang eksfoliasi dapat terjadi jika melibatkan
mukosa. Pasien umumnya mengalami limfadenopati generalisata dan
keterlibatan organ dalam (hepatitis, pneumonia, miokarditis, perikarditis, dan
nefritis). Selain itu, seperti yang disarankan oleh Sutton et al., diasumsikan
bahwa fenotipe lesi kulit pada pasien dengan DRESS dapat berkorelasi dengan
tingkat kerusakan hepar, yang memungkinkan evaluasi prognosis pasien
DRESS. Pada kerusakan hepar yang disebabkan oleh obat-obatan dapat terjadi
nekrosis sel hepar yang mungkin dapat merefleksikan kerusakan pada
epidermis.5
Presentasi klinis dari sindrom DRESS ditandai oleh demam, lesi kulit
yang meluas, keterlibatan organ dalam, periode laten yang lama setelah
asupan obat, perjalanan klinis yang berkepanjangan dan berlarut-larut, serta
kemungkinan berhubungan dengan reaktivasi HHV (Human Herpes Virus).5
1. Manifestasi Kulit
Lesi kulit adalah yang paling umum tetapi tidak selalu terjadi pada
kasus DRESS. Lesi kulit tampak pada 73-100% dari pasien DRESS. Lesi
kulit pada pasien dengan sindrom DRESS umumnya tidak spesifik tetapi
memiliki beberapa gambaran umum. Biasanya akan tampak ruam kulit
yang melibatkan lebih dari setengah area permukaan tubuh dan bahkan
dapat berkembang menjadi eritroderma. Lesi tersebut biasanya berupa
papula dan plak infiltratif dengan perubahan purpura yang nyata. Lesi kulit
biasanya polimorfik atau singkatnya dapat didiskripsikasn sebagai lesi
makulopapular, lesi urtikaria, eksfoliatif, likenoid, pustular, bulosa, target-

8
like lession, atau seperti eksema. Edema wajah adalah khas dan dapat
ditemukan pada 76% pasien DRESS. Kemudian, deskuamasi akan tampak
pada tahap resolusi.5

Gambar (a) Papula dan plak purpura yang menyebar luas pada batang
tubuh dan tungkai; (B) lesi infiltratif pada batang tubuh; (c) Edema wajah
peri-orbital; (D) Erosi di bibir; (e) deskuamasi pada tahap resolusi.
Ruam kulit infiltratif dan purpura dapat terjadi akibat infiltrasi sel
inflamasi melalui lesi kulit dan karena adanya kerusakan pada dinding
pembuluh darah. Mekanisme yang mendasari edema wajah masih belum
diketahui, tetapi mungkin terkait dengan keterlibatan jalur vascular
endothelial growth factor (VEGF). Lesi mukosa sering dilaporkan dan
dapat ditemukan pada lebih dari 50% kasus DRESS, dengan mulut dan
bibir menjadi area yang paling sering terkena.5

9
2. Kelainan Hematologis
Dalam hal perubahan hematologis, eosinofilia adalah hal yang paling
umum dijumpai, karena muncul pada 66-95% pasien DRESS. Selain
eosinofilia, infiltrasi eosinofil ke jaringan juga dapat muncul dikaitkan
dengan kerusakan pada organ dalam. Mirip dengan eosinofil, limfosit
atipikal juga akan tampak dalam darah dan jaringan. Limfositosis atipikal
di darah tepi dapat diidentifikasi pada 27-67% pasien. Selain itu,
limfadenopati dapat ditemukan pada 54% pasien dengan pemeriksaan
fisik. Di luar hasil pemeriksaan rutin, beberapa penelitian telah
mengungkapkan penurunan jumlah limfosit B dengan hipoglobulinemia
pada pasien dalam fase awal sindrom DRESS. 5
3. Keterlibatan Organ Dalam
Beberapa organ dalam dapat rusak selama sindrom DRESS. Cedera
hepar adalah jenis kerusakan organ yang paling umum dan telah
ditemukan pada 75-94% pasien. Kerusakan tersebut dapat terjadi sebelum
timbulnya lesi kulit dan mungkin terkait dengan keberadaan limfosit
atipikal dalam darah. Dibandingkan dengan yang terlihat pada reaksi
erupsi obat lainnya, cedera hepar yang terlihat pada sindrom DRESS
cenderung lebih parah dan bertahan lebih lama. Menurut International
Consensus Meeting Criteria, berbagai jenis cedera hepar dapat dibagi lagi
menjadi tiga pola berdasarkan nilai alanine aminotransferase (ALT) dan
alkaline phosphatase (ALP) pada presentasi awal. Ketiga tipe tersebut
adalah tipe kolestatik, tipe hepatoseluler, dan tipe campuran. Singkatnya,
penentuan jenis cedera hepar didasarkan pada nilai rasio R, yang
merupakan rasio hasil ALT serum terhadap hasil ALP sehubungan dengan
batas atas kisaran normal (ULNs) [R = (serum ALT / ULNs dari ALT) /
(ALP serum / ULNs dari ALP)]. Cedera hepar didefinisikan sebagai tipe
kolestatik ketika rasio R kurang dari 2, tipe hepatoselular ketika rasio R
lebih besar dari 5, dan tipe campuran ketika rasio R lebih besar dari 2
tetapi kurang dari 5. Di antara pasien DRESS dengan cedera hepar, tipe
kolestatik adalah yang paling umum dan dapat ditemukan pada 44%

10
pasien, diikuti oleh tipe campuran (33%) dan kemudian tipe hepatoseluler
(23%). Selain itu, cedera hepar tipe kolestatik terkait dengan usia pasien
yang lebih tua. Tingkat keparahan cedera hepar pada pasien DRESS tidak
berhubungan dengan obat penyebab atau tatalaksana DRESS. 5
Keterlibatan ginjal juga umum terjadi dengan insidensi sekitar 12-40%
dari pasien DRESS. Faktor risiko cedera ginjal pada pasien DRESS
meliputi usia yang lebih tua dan penyakit ginjal atau kardiovaskular yang
mendasari. Di antara obat penyebab yang terkait dengan keterlibatan
ginjal, allopurinol adalah yang paling terkenal. Reaksi erupsi obat yang
diinduksi allopurinol secara signifikan terkait dengan antigen leukosit
manusia (HLA)-B*58, dan lebih mungkin berkembang pada pasien
dengan riwayat gangguan ginjal dikarenakan pembersihan metabolit
allopurinol yaitu oxypurinol, yang lama. Keterlibatan ginjal pada pasien
dengan DRESS biasanya ringan dan akan pulih tanpa gejala sisa yang
jelas. Namun, dalam beberapa kasus dapat pula terjadi, nefritis interstitial
berat, nekrosis tubular akut, atau vaskulitis yang berakhir pada gagal ginjal
atau bahkan kematian. Oleh karena itu, hemodialisia jangka pendek atau
jangka panjang mungkin diperlukan dalam kasus-kasus tersebut.5
Keterlibatan organ paru adalah jenis keterlibatan organ ketiga yang
paling umum terlihat pada DRESS, terjadi pada sekitar sepertiga pasien
DRESS. Keterlibatan paru dapat berupa gangguan fungsi paru,
pneumonitis interstitial, pleuritis, dan sindrom gangguan pernapasan akut
(ARDS). Sebagian besar kasus dengan keterlibatan paru pulih dengan
sendirinya, namun pengecualian pada beberapa kasus DRESS dengan
sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), maka ventilasi mekanik
biasanya diperlukan. Dalam kasus seperti itu, minocycline dan acabavir
adalah obat utama yang menyebabkan keterlibatan paru yang parah.
Keterlibatan jantung telah dilaporkan pada 4-27% dari pasien DRESS
dan mungkin dapat sangat fatal ketika itu terjadi. Pasien dengan
keterlibatan jantung biasanya datang dengan disfungsi ventrikel kiri dan
dapat terjadi abnormalitas pada pemeriksaan elektrokardiografi. Beberapa

11
obat yang sering dilaporkan menimbulkan keterlibatan jantung antara lain
minocycline, ampicillin, dan sulfonamide. Pasien DRESS dengan
keterlibatan organ jantung mungkin menunjukkan nyeri dada, dispnea,
takikardia, dan hipotensi. Keterlibatan jantung meliputi dua bentuk reaksi:
miokarditis hipersensitivitas dan miokarditis eosinofilik nekrotikans akut.
Miokarditis hipersensitivitas biasanya ringan dan sembuh sendiri setelah
penghentian obat penyebab sehingga umumnya under-diagnosed.
Miokarditis eosinofilik akut nekrotikans adalah bentuk hipersensitivitas
yang lebih parah dan mengakibatkan deteriorasi yang cepat dengan tingkat
kematian tinggi lebih dari 50%. Identifikasi segera dengan perawatan yang
memadai adalah wajib untuk pasien dengan keterlibatan jantung.5
Manifestasi neurologis pada pasien DRESS dapat meliputi sakit
kepala, kejang, koma, dan gangguan fungsi motorik. Hal Ini mungkin hasil
akibat dari adanya meningitis atau ensefalitis. Keterlibatan organ lain
kadang-kadang ditemukan, termasuk organ pankreas, saluran pencernaan,
dan lien.5

E. Patofisiologi
Patomekanisme DRESS sangat kompleks dan sebagian besar masih
belum diketahui. Bukti saat ini menunjukkan bahwa sindrom DRESS
cenderung terjadi pada orang yang memiliki faktor keturunan genetik. Selain
hipersensitivitas obat, reaktivasi HHV dan subsequent anti-viral immune
responses juga dapat berkontribusi pada tingkat keparahan DRESS yang lebih
tinggi dan periode DRESS yang lebih panjang.5
1. Faktor Genetik
Bukti yang muncul menunjukkan bahwa faktor genetik memainkan
berbagai peran dalam berbagai aspek patomekanisme sindrom DRESS.
Salah satu faktor tersebut adalah polimorfisme pada gen yang mengkode
enzim metabolisme untuk obat, seperti enzim cytochrome P(CYP) 450 dan
N-acetyltransferase. Berkurangnya aktivitas enzim metabolisme ini
menyebabkan akumulasi obat atau metabolit aktifnya, yang kemudian

12
dapat berinteraksi dengan protein seluler atau peptida, yang pada akhirnya
membangkitkan respons imun. Penelitian baru-baru ini menunjukkan
bahwa 16 polimorfisme nukleotida tunggal pada gen CYP2C dikaitkan
dengan reaksi erupsi obat fenitoin. Di antara polimorfisme ini, CYP2C9*3
menunjukkan hubungan yang paling signifikan, dengan odds ratio
keseluruhan 11 pada populasi Asia. Selain itu, keterlambatan pembersihan
metabolit fenitoin dalam darah juga ditemukan pada pasien dengan reaksi
erupsi obat fenitoin, terutama mereka yang membawa CYP2C9*3.5
Selain reaksi erupsi obat yang berhubungan dengan fenitoin, beberapa
antikonvulsan juga ditemukan berhubungan dengan enzim metabolisme
ini. Antikonvulsan dikonversi oleh sistem CYP450 menjadi metabolit
arene oksida, yang kemudian dimetabolisme lebih lanjut oleh hidroksilase
epoksida atau glutathione transferase. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa mutasi pada hidroksilase epoksida menghasilkan
akumulasi metabolit toksik dan kemudian menimbulkan reaksi
hipersensitivitas. Kasus yang sama juga ditemukan pada DRESS akibat
sulfonamide. Kapasitas metabolisme yang lambat dalam sistem CYP450
menghasilkan akumulasi metabolit hidroksilamin toksik, yang dapat
menjelaskan faktor predisposisi hipersensitivitas. Aspek lain dari
patomekanisme sindrom DRESS yang dapat dipengaruhi oleh faktor
genetik adalah respon imun, terutama yang berkaitan dengan pengaruh
polimorfisme pada gen yang mengkode molekul HLA. Sejumlah
penelitian telah mengungkapkan adanya hubungan antara polimorfisme
pada alel HLA dengan terjadinya DRESS. Alel HLA menentukan struktur
(MHC) dan terlibat dalam presentasi antigen dan dalam pembentukan
sinapsis imunologis. Oleh karena itu, polimorfisme alel HLA
memengaruhi jenis antigen yang disajikan dan memengaruhi respons
limfosit T berikutnya.5
Polimorfisme alel HLA sebagian besar menjelaskan adanya
kecenderungan genetik pada pasien DRESS. Dalam kebanyakan kasus,
alel HLA dapat juga berhubungan pada reaksi erupsi obat selain DRESS.

13
Sebagai contoh, orang dengan HLA-B*58:01 meningkatkan risiko DRESS
yang diinduksi allopurinol dan SJS/TEN. Selain itu, HLA-A*31:01
meningkatkan risiko DRESS yang diinduksi carbamazepine tetapi juga
meningkatkan risiko SJS/TEN pada individu keturunan Jepang dan Eropa.
Kecenderungan genetik untuk pasien dengan sindrom DRESS masih
belum dapat diidentifikasi.5
2. Reaktivasi Virus
Reaktivasi virus, terutama reaktivasi HHV-6 adalah hal penting dan
khas pada pasien DRESS. Sel monomyeloid adalah salah satu reservoir
infeksi HHV-6 laten pada manusia. Studi sebelumnya telah menunjukkan
bahwa kadar sel prekursor monomyeloid CD11b + CD13 + CD14−CD16
umumnya tinggi pada pasien DRESS. Prekursor monomyeloid yang
bersirkulasi ini kemudian menginfiltrasi kulit. Pada akhirnya sel-sel
prekursor monomyeloid yang menginfiltrasi kulit ini kemudian dapat
mentransmisikan HHV-6 ke sel-sel T CD4 + kulit yang residen. Sel T
CD4 + dalam fase akut DRESS mengekspresikan kadar CD134 yang lebih
tinggi dibandingkan sel yang berada di SJS, dimana merupakan reseptor
seluler untuk HHV-6.5
Oleh karena itu, kulit mungkin menjadi target utama terjadinya
reaktivasi HHV-6. Namun, mekanisme untuk reaktivasi HHV-6 masih
belum diketahui. Dari catatan, seperti yang disebutkan di atas, reaktivasi
HHV-6 dapat ditemukan pada 43-100% pasien dengan DRESS artinya,
reaktivasi HHV-6 bukanlah kejadian utama yang menyebabkan DRESS
tetapi mungkin merupakan faktor yang memperburuk dan dapat
mengakibatkan perjalanan penyakit yang berlarut-larut dan berfluktuasi.5
3. Kerusakan dalam metabolisme obat
Dipercayai bahwa gangguan metabolisme obat diakibatkan oleh
adanya defisit kuantitatif dan kualitatif enzim adalah faktor patogenetik
penting terjadinya DRESS. Enzim yang paling sering terkena adalah
epoksida hidroksilase, yaitu enzim yang berperan penting dalam
metabolisme obat yang mengandung kelompok aromatik, seperti

14
carbamazepine, lamotrigine dimetabolisme oleh sitokrom hati.
Antikonvulsan aromatik seperti carbamazepine, fenitoin dan fenobarbital
dimetabolisme oleh sitokrom hati CYP450 lalu diubah menjadi oksida
arene beracun, kemudian diubah secara enzimatis menjadi metabolit tidak
beracun oleh epoksida hidroksilase atau glutatione transferase. Dalam
kasus kekurangan epoksida hidroksilase, arene oksida beracun dapat
menumpuk dan menyebabkan toksisitas seluler langsung atau
mengaktifkan respon imun. Infeksi bersamaan, seperti CMV, virus
Epstein-Barr, HIV, atau virus hepatotropik juga dapat memengaruhi
terjadinya reaksi alergi. Lesi kulit pada pasien DRESS juga diyakini
berhubungan dengan reaktivasi infeksi virus laten seperti HHV6 (Human
Herpesvirus 6), HHV7 (Human Herpesvirus 7), EBV (virus Epstein-Barr),
dan CMV.5

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk membedakan DRESS
dengan reaksi alergi obat lainnya dan juga untuk mengidentifikasi
keterlibatan organ dalam yang bersifat asimtomatik. Pada pemeriksaan
laboratorium darah, ditemukan kelainan hematologi berupa eosinofilia
(90%), limfosit atipik dan terkadang leukositosis. Eosinofilia biasanya
lebih dari 1,5×109/L. Pada pemeriksaan fungsi hati umumnya ditemukan
nilai AST ≥ 2× normal. Pada pemeriksaan fungsi ginjal, urinalisis dan
serum kreatinin ditemukan adanya sel darah merah dan sel darah putih
pada urin.1
2. Histopatologi :
Pemeriksaan biopsi kulit biasanya didapatkan gambaran yang tidak
spesifik. Pada pemeriksaan terlihat adanya infiltrat limfosit non-spesifik
pada papilla dermis yang mungkin mengandung eosinofil dan pada
umumnya terlihat lebih tebal dibandingkan dengan reaksi alergi obat
lainnya.3 Pada pemeriksaan mikroskopik dari biopsi kulit, pada seorang

15
penderita sindroma Hipersensitivitas dapson, terlihat adanya infiltrasi sel
inflamasi terutama sel mononuklear, terutama di perivaskular, interstisial
dan area periadneksal dari dermis. Sel inflamasi ini banyak mengandung
limfosit dan eosinofil. Pada epidermis terlihat adanya akantosis fokal dan
iregular, spongiosis sedang, parakeratosis fokal dan perubahan vakuolar
fokal pada lapisan basal. Pada lapisan dermis terlihat adanya kongesti
kapiler dan ekstravasasi eritrosit. Biopsi pada ginjal dilakukan untuk
melihat adanya nefritis intertisial.1

. Pola histopatologis pada lesi kulit pasien dengan sindrom DRESS. (a)
Spongiosis dengan pustula subkorneal fokal; (B) Dermatitis yang mirip
Erythema multiforme: perubahan vakuolar basal dan beberapa keratinosit
apoptosis tersebar di epidermis; (c) Dermatitis Lichenoid: infiltrasi sel
yang menonjol pada dermis atas dan perubahan vakuolar basal; (d)
Kerusakan pembuluh darah: infiltrasi perivaskular dengan sel-sel endotel
yang menonjol, ekstravasasi sel darah merah, dan beberapa tingkat
kerusakan dinding pembuluh darah, menyerupai fitur vaskulitis limfositik;
(e) Vaskulitis leukositoklastik: nekrosis fibrinoid, leukositoklasia, dan
ekstravasasi sel darah merah; dan (f) dermatitis perivaskular superfisial.5

16
G. Diagnosis
Diagnosis sindrom DRESS membutuhkan ketelitian, pengamatan
klinis yang cermat, dan pemeriksaan laboratorium menyeluruh. Diagnosis
banding banyak yang gejalanya serupa DRESS dengan presentasi yang sangat
umum termasuk infeksi mononukleosis, sindrom anti-retroviral, systemic
lupus erythematosus, dan sebagainya. Oleh karena itu, DRESS mungkin sulit
didiagnosa karena onsetnya yang lambat setelah paparan obat. Gejala dapat
timbul sampai 8 minggu hingga 3 bulan setelah pemberian obat. Pasien
biasanya datang dengan gejala erupsi makulopapular disertai demam,
limfadenopati, eosinofilia dan keterlibatan organ. Diagnosis DRESS paling
sering menggunakan kriteria dari RegiSCAR atau dengan kriteria diagnosis
untuk DiHS, yang dibuat oleh kelompok konsensus Jepang. Kriterianya
meliputi 7 hal dan mirip dengan kriteria RegiSCAR. Perbedaan paling penting
adalah reaktivasi HHV-6 dimasukan dalam kriteria diagnosis. Perbedaan ini
tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi
penyakit yang berbeda.7
Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk DRESS. Diagnosis
ditegakkan dari pemeriksaan klinis dan laboratorium. Skor yang dibuat oleh
kelompok studi RegiSCAR mengubah kriteria diagnosis yang sebelumnya
diajukan oleh Bocquet dkk. Diagnosis DRESS menurut kriteria RegiSCAR
paling tidak mencakup 3 kriteria: (1) bercak kulit akut; (2) demam (> 38 °C);
(3) limfadenopati minimal pada 2 lokasi; (4) keterlibatan minimal satu organ
dalam; (5) limfositosis atau limfositopenia; (6) eosinofilia dan (7)
trombositopenia. Gejala kulit pada DRESS yang paling sering berupa urtikaria
dan erupsi makulopapular. Edema wajah merupakan karakteristik DRESS.6,7

17
H. Diagnosis Banding
1. Reaksi Erupsi Obat Lainnya
Termasuk SJS / TEN dan AGEP. Tanda-tanda klinis TEN / SJS,
AGEP dan DRESS / HSS biasanya cukup berbeda, kadang-kadang erupsi
dapat menghadirkan setidaknya dua dari tiga jenis ini. Pembentukan dan
evaluasi kriteria diagnosis untuk reaksi obat masih terbatas.8

18
2. Angio-Immunoblastic Lymphadenopathy
Penyakit ini, yang dianggap sebagai subtipe limfoma sel T perifer,
paling sering terjadi pada pasien usia lanjut dan berhubungan dengan
demam, keringat malam, penurunan berat badan, limfadenopati
menyeluruh, ruam makulopapular. Kelainan hematologi umum lainnya
adalah hiperleukositosis dengan eosinofilia, imunoblas dan limfopenia.8
Diagnosis ditegaskan dengan pemeriksaan histopatologis spesimen
biopsi kelenjar getah bening. Keterlibatan sistemik sumsum tulang, hepar,
limpa, dan paru-paru sering terjadi. Keterlibatan kulit biasanya merupakan
erupsi makulopapular generalisata, pruritus, nodul subkutan, dan plak
angiomatosa. Pada lebih dari sepertiga kasus, penggunaan narkoba telah
diidentifikasi sebagai penyebab erupsi pada awal penyakit. Prognosis
buruk dengan rata-rata kelangsungan hidup 11-30 bulan. Kematian
biasanya sekunder akibat infeksi karena defisiensi imun dan transformasi
menjadi limfoma agresif. Angio-Immunoblastic Lymphadenopathy
biasanya diobati dengan kortikosteroid, baik diberikan sendiri atau dengan
agen sitotoksik. Oleh karena itu, Angio-Immunoblastic Lymphadenopathy
dan HSS mungkin memiliki pola klinis yang serupa, tetapi memiliki pola
histologis dan evolusi kelenjar getah bening yang berbeda.8
3. Eritroderma
Eritroderma yang berkembang sebagai eksim primer atau berhubungan
dengan limfoma seringkali timbul secara tiba-tiba dan dapat menyebar
dengan cepat menjadi generalisata dalam 12-48 jam. Sisik muncul setelah
beberapa hari, sering kali muncul pertama pada fleksura. Sisik mungkin
besar, atau halus dan basah. Iritasi, sensasi dingin dan sesak adalah ciri
khas eritroderma. Namun demikian, eksim, limfoma, psoriasis dan reaksi
obat kulit dengan eritroderma lainnya sering tidak dapat dibedakan.
Beberapa tanda klinis mungkin bermanfaat untuk mengarahkan diagnosis.8
4. Psoriasis
Batas antara psoriasis spontan dan psoriasis yang diinduksi obat tidak
selalu jelas. Kasus-kasus ini sebagian besar terjadi pada pasien dengan

19
riwayat psoriasis. Obat-obatan yang dicurigai termasuk lithium, antagonis
β-adrenergik, agen antimalaria dan NSAID, dan tetrasiklin. Beberapa obat,
seperti terbinafine berhubungan dengan reaksi obat yang parah, paling
sering adalah erupsi pustular dan eritroderma.8
5. Vaskulitis
Diagnosis banding dari erupsi kulit yang terkait dengan keterlibatan
multi-organ (paru, ginjal, hepatitik, neurologis) dengan eosinofilia
termasuk diantaranya vaskulitis dan terutama sindrom Churg-Strauss. Lesi
kulit spesifik terjadi pada sekitar dua pertiga pasien dengan sindrom
Churg-Strauss dan dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori:
makulopapula eritematosa yg terkadang menyerupai Eritema Multiforme;
lesi hemoragik mulai dari petechie hingga ekimosis yang luas, dan nodul
kulit dan subkutan.8
6. Infeksi Virus Akut
a) Infeksi HIV primer
Infeksi HIV primer dikaitkan dengan tanda-tanda klinis yang
menunjukkan manifestasi pada sekitar 45-85% kasus. Manifestasi
utamanya adalah sindrom mononukleosik yang berhubungan dengan
demam, artralgia, mialgia, sakit kepala, dan penurunan berat badan,
yang terjadi 20-30 hari setelah kontaminasi. Keterlibatan mukosa dan
kulit ada pada sekitar 70% pasien. Erupsi makulopapular nonspesifik
pada batang tubuh dengan erosi bukal atau eritema dan ulserasi genital
merupakan indikasi erupsi kulit yang terkait dengan infeksi HIV.8
b) Human Herpes Virus 6
Pada orang dewasa, infeksi primer atau reaktivasi HHV-6 dapat
memunculkan klinis seperti mononukleosis dan mungkin lebih parah
seperti ensefalitis namun jarang. Manifestasi ini mirip dengan DRESS.
Selain infeksi primer, HHV-6 dapat menyebabkan penyakit klinis
selama reaktivasi, terutama pada orang dengan sistem imun
compromised.8

20
c) Virus Epstein Barr
Erupsi makulopapular nonspesifik terkait secara klasik dengan infeksi
primer Virus Epstein Barr. Sekitar 4-13% erupsi terkait terutama
dengan eksantema, dan ruam vesikular. Pemberian ampisilin atau
amoksisilin meningkatkan tingkat erupsi hingga 30-70%. Hal Ini
menggambarkan interaksi antara obat dan infeksi virus pada reaksi
hipersensitivitas.8

I. Tatalaksana
Saat ini, tidak ada pedoman pengobatan khusus untuk DRESS. Unsur
paling penting adalah menghentikan obat penyebab yang mungkin. Steroid
merupakan terapi yang diterima secara luas dan diresepkan untuk pasien
DRESS. Pada 2015, Funck-Brentano et al. menerbitkan sebuah karya di mana
mereka merekomendasikan untuk menggunakan steroid topikal dalam kasus-
kasus ringan dan pengobatan sistemik dalam kasus DRESS yang parah, karena
terapi steroid lokal dikaitkan dengan risiko komplikasi yang lebih rendah.
Menurut konsepsi tentang etiologi DRESS, terkait dengan reaktivasi infeksi
virus, diusulkan untuk mengobati DRESS dengan obat antivirus, seperti
valgansiklovir. Perawatan juga harus melibatkan N-asetilsistein dan
prednison.5
Sejauh ini, kortikosteroid sistemik adalah pengobatan andalan untuk
pasien DRESS. Dosis awal prednisolon atau yang setara dengannya
disarankan mulai dari 0,5-1,0 mg/kg/hari dengan pengurangan bertahap
selama 2-3 bulan. Penurunan dosis bertahap dalam durasi yang lebih lama ini
dapat mengurangi kemungkinan kekambuhan penyakit dan mengurangi
perkembangan gejala autoimun sisa jangka panjang. Namun, kortikosteroid
sistemik dapat dikaitkan dengan tingkat infeksi oportunistik yang lebih tinggi
dan dengan kemungkinan banyak komplikasi.5
Dengan demikian, penyesuaian individu diperlukan untuk setiap kasus
berdasarkan keparahan penyakit dan komorbiditas yang mendasarinya.
Perawatan suportif juga menjadi pilihan dalam pengobatan pasien DRESS.

21
Uhara et al. melaporkan dari 12 pasien DRESS yang menerima hidrasi dengan
atau tanpa steroid topikal, kesemuanya pulih dengan baik tanpa komplikasi
infeksi dalam jangka waktu 7 hingga 37 hari setelah penghentian obat yang
penyebab. Serangkaian kasus dilaporkan oleh Ushigome et al. juga termasuk
17 kasus DRESS diobati dengan hanya perawatan suportif kesemuanya pulih
tanpa komplikasi yang signifikan akan tetapi pada pasien-pasien tersebut
ditemukan kadar autoantibodi yang lebih tinggi dan tingkat kejadian gejala
autoimun sisa tinggi setelah pemulihan. Selain itu, Funck-Brentano et al.
melaporkan sebuah studi retrospektif yang melibatkan 50 pasien DRESS. Di
antara mereka, 38 pasien dengan sindrom DRESS yang probable atau definite
dibagi lebih lanjut menjadi kelompok steroid topikal dan kelompok steroid
sistemik. Steroid sistemik hanya digunakan pada pasien yang mengalami
setidaknya satu kegagalan organ yang mengancam jiwa. Para peneliti
menemukan tingkat infeksi yang lebih tinggi, septikemia, dan perlunya
perawatan intensif pada pasien dalam kelompok steroid sistemik, dan
menyimpulkan, lebih lanjut, bahwa steroid sistemik mungkin tidak diperlukan
untuk pengobatan bentuk ringan sindrom DRESS dan diresepkan pada pasien
DRESS yang parah. Namun demikian, masih ada kurangnya konsensus
tentang tingkat keparahan apa yang harus dimulai kortikosteroid sistemik.5
Kelompok masyarakat Dermatologi Prancis telah merekomendasikan
untuk menggunakan kortikosteroid sistemik hanya ketika ada peningkatan 5
kali lipat kadar serum transaminase, atau jika terdapat keterlibatan salah satu
organ lain, seperti ginjal, paru-paru, dan jantung. Imunoglobulin intravena
(IVIG) adalah pilihan pengobatan lain yang menghasilkan hasil yang
bertentangan. Beberapa penelitian sebelumnya telah melaporkan keberhasilan
pengobatan kasus DRESS dengan IVIG. Namun, dalam satu penelitian
terbaru, Poly et al. melaporkan bahwa pada 6 pasien sindrom DRESS yang
menerima IVIG, 5 di antara mereka menderita efek samping yang parah,
dengan 4 pasien membutuhkan kortikosteroid sistemik karena efek samping
IVIG atau penyakit yang tidak terkontrol. Dengan demikian IVIG tidak boleh
digunakan sebagai monoterapi dalam mengobati sindrom DRESS.5

22
Beberapa agen imunosupresif selain kortikosteroid telah dilaporkan
menunjukkan efektivitas pengobatan, termasuk siklosporin, siklofosfamid,
mikofenolat mofetil, dan rituximab. Namun, karena hanya sejumlah kecil
pasien yang menerima agen ini, studi lebih lanjut diperlukan untuk memeriksa
manfaat imunosupresan ini. Selain itu, pengobatan anti-virus seperti
valganciclovir telah diusulkan oleh beberapa dokter selain kortikosteroid
sistemik atau IVIG untuk digunakan pada pasien dengan konfirmasi reaktivasi
virus yang parah.5

J. Prognosis
Sindrom DRESS adalah penyakit yang mengancam jiwa dengan
tingkat kematian sekitar 10%. Pasien juga dapat menderita morbiditas akibat
kerusakan organ terkait sindrom DRESS atau karena komplikasi terkait
pengobatan. Kerusakan organ bisa sangat parah pada pasien dengan sindrom
DRESS, yang mengarah ke gangguan fungsional permanen organ internal
yang terkena. Transplantasi hepar pernah dilaporkan pada pasien dengan
kerusakan hepar yang parah. Pasien DRESS dengan riwayat penyakit ginjal
kronis cenderung mengalami kerusakan fungsi ginjal permanen dan mungkin
memerlukan hemodialisis seumur hidup. Infeksi adalah salah satu komplikasi
utama akibat pengobatan DRESS, termasuk herpes labialis, herpes zoster,
pneumonia, dan abses jaringan lunak. Tingkat keparahan infeksi bahkan dapat
berpotensi menyebabkan syok septik atau kematian. Infeksi ini lebih mungkin
berkembang pada pasien yang menerima kortikosteroid sistemik daripada
yang menerima perawatan suportif.5

23
BAB III
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
1. Nama : Ny. P
2. Umur : 45 Tahun
3. Agama : Islam
4. Alamat : Sukorejo 02/03 Pakopen
5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
6. Pendidikan Terakhir : SMA
7. Status : Menikah
8. No RM : 106XXX-2016
9. Tanggal Masuk RS : 30 Desember 2018

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di IGD RSUD Ambarawa
pada tanggal 30 Desember 2018 pukul 12.27 WIB.
1. Keluhan Utama
Timbul ruam merah yang gatal dan terasa panas pada wajah, lengan,
perut, punggung dan kaki.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Lokasi : wajah, leher, ekstremitas atas, perut, ekstremitas
bawah, punggung.
b. Onset : 4 hari SMRS
3. Kronologis :
Pada bulan Agustus 2018 pasien menjalani operasi Abses femur
dekstra di RSUD Ambarawa. Obat kontrol yang dikonsumsi rutin
setelah operasi adalah Cefadroxil dan multivitamin (pasien tidak
ingat). Pasien rutin kontrol ke poli bedah untuk dilakukan rawat luka
setiap 1 hari sekali hingga bulan Desember dikarenakan luka bekas

24
operasi abses femur mengalami gagal sembuh. Pasien masih rutin
mengkonsumsi obat kontrol.
Empat hari SMRS pasien mengeluhkan mulai muncul ruam
kemerahan di bagian dada yang terasa gatal. Ruam kemudian meluas
hingga ke bagian perut, punggung, tangan, dan sebagian kaki, serta di
wajah yang dirasakan juga sedikit membengkak. Kemudian dua hari
SMRS Pasien kembali kontrol ke poli bedah untuk rawat luka dan
diberikan obat kontrol Cefadroxil dan Cetirizine, pasien hanya
mengkonsumsi obat Cetirizine saja. Selanjutnya pasien merasa keluhan
gatal bertambah parah sehingga pasien berobat ke dokter umum BPJS.
Kemudian diresepkan obat Amoxicillin, Ketoconazole, Asam Salisilat
zalf, Gentamicin zalf. Setelah mengkonsumsi obat tersebut pasien
merasa keluhan gatal berkurang sedikit.
Pada tanggal 30 Desember 2018 pasien datang ke IGD RSUD
Ambarawa dengan keluhan ruam merah di seluruh tubuh yang terasa
gatal dan panas. Pasien juga mengeluhkan saat ini mulai muncul bintil-
bintil putih di beberapa bagian tubuh. Pasien juga merasakan demam
dan lidah terasa kebas sehingga nafsu makan menurun. Wajah
dirasakan bengkak dan pasein merasa sedikit sesak saat bernafas. BAB
dan BAK tidak ada keluhan.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat Penyakit yang sama : Disangkal
b. Riwayat tekanan darah tinggi : Disangkal
c. Riwayat gula darah tinggi : Disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
e. Riwayat penyakit asma : Disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
g. Riwayat alergi : Disangkal
h. Riwayat Rawat Inap : (+) OP abses femur di RSUD
Ambarawa (Agustus 2018)

25
i. Riwayat penyakit lain : (+) HNP 2 tahun lalu, kontrol ke
poli saraf RSUD Ambarawa

5. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat sakit serupa : Disangkal
b. Riwayat tekanan darah tinggi : Disangkal
c. Riwayat gula darah tinggi : Disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
e. Riwayat sakit liver : Disangkal
f. Riwayat sakit ginjal : Disangkal
g. Riwayat penyakit asma : Disangkal
h. Riwayat alergi : Tidak diketahui

6. Riwayat Pribadi
a. Makan :
Pasien mengaku makan 3 kali sehari dengan nasi, lauk-pauk, dan
sayur. Nafsu makan pasien berkurang saat sakit.
b. Kebiasaan Merokok : Disangkal
c. Kebiasaaan minum alkohol : Disangkal
d. Kebiasaan olahraga : Jarang
e. Riwayat minum obat-obatan : Disangkal
f. Riwayat aktifitas berat : Disangkal

7. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien saat ini merupakan ibu rumah tangga. Dahulu pasien pernah
bekerja sebagai karyawan di PT. Nissin dan berhenti karena penyakit
abses femur. Pasien tinggal bersama suami dan anaknya di rumah.
Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS NON PBI.

26
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 30 Desember 2018 dengan hasil
sebagai berikut :
1. Keadaan umum : Sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis (GCS E4M6V5)
3. Status gizi : Kesan gizi (cukup)
4. Vital sign :
a. TD : 112/73 mmHg
b. Nadi : 162 x/menit
c. RR : 22 x/menit
d. Suhu : 38,70C
e. SPO2 : 99 %
f. VAS :-

5. Pemeriksaan Generalisata
a) Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), konjungtiva suffusion (-/-), pupil
isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek
cahaya (+/+), edema palpebra (+/+), strabismus (-/-)
b) Hidung : Nafas cuping (-), deformitas (-), sekret (-), darah (-)
c) Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
d) Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-), luka
pada sudut bibir (-), oral thrush (-)
e) Leher : JVP R+2 cm, trakea ditengah,simetris,pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening leher
(-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)

f) Cor
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi : Ictus kordis tidak teraba, tidak kuat angkat

27
3) Perkusi :
a. Batas jantung kanan atas :SIC II linea sternalis dextra

b. Batas jantung kanan bawah :SIC IV linea parasternalis dekstra

c. Batas jantung kiri atas :SIC II linea sternalis sinistra

d. Batas jantung kiri bawah :SIC VI linea mediaclavicularis

sinistra

4) Auskultasi
Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-),
gallop (-).

g) Thorax – Pulmo
ANTERIOR POSTERIOR
Inspeksi
Statis Normochest, simetris Normochest, simetris
Dinamis Hemithorax dex = sin Hemithorax dex = sin
ICS tidak melebar / ICS tidak melebar /
menyempit menyempit
Palpasi Gerakan dada Gerakan dada simetris
simetris Nyeri tekan (-)
Nyeri tekan (-) Taktil Fremitus
Taktil Fremitus simetris
simetris
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler Vesikuler

28
h) Abdomen
1) Inspeksi
Dinding perut sejajar dengan dinding dada, ascites (-), venektasi (-
), striae (-), sikatrik (-), caput medusae (-), ikterik (-)
2) Auskultasi
Bising usus (+) 12 x / menit, bruit hepar (-), bising epigastrium (-)
3) Perkusi
Timpani (+), pekak alih (-), undulasi (-), area traube pekak (-)
4) Palpasi
Distended (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans muskuler (-),
hepar dan lien tidak teraba, hemoroid (-), nyeri ketok
costovertebrae (-/-).

i) Ekstremitas
Ekstremitas Ekstremitas Inferior
Superior
Kekuatan 5/5 5/5
Gerakan Bebas / Bebas Bebas / Bebas
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Capillary reffil < 2 detik < 2 detik
time

6.Status Dermatovenerologi (STDV)


I. Lokasi : Regio facialis et colli
UKK : Tampak makula eritema sebagian dengan pustul, berbatas
tegas, tepi irreguler, konfluens.

29
II. Lokasi : Regio truncus anterior
UKK : Tampak makula eritem, berbatas tidak tegas, tepi ireguler,
konfluens, dengan milia sebagian tampak pustul.

III. Lokasi : Regio femur et cruris dextra et sinistra


UKK : Tampak makula eritem berbatas tidak tegas, tepi irreguler,
konfluens, dengan petechie, ekimosis, dan purpura
tersebar

30
D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

DARAH RUTIN

Hemoglobin 15.5 g/dl 11.7 - 15.5

Hematokrit 46.8 % 35 - 47

Leukosit 26.8 H ribu/ul 3.6 - 11.0

Trombosit 263 ribu/ul 150 - 400

Eritrosit 5.50 H juta/ul 3.8 - 5.2

INDEX ERITROSIT

MCV 85.3 IL 82 - 98

MCH 28.3 Pg 27 - 32

MCHC 33.2 g/dl 32 - 37

RDW 14.7 % 10 - 15

MPV 9.7 Mikro m3 7 - 11

PDW 11.2 % 10 -18

HITUNG JENIS

Eosinofil 1.06 H 10^3/mikro 0.04 - 0.8

Basofil 0.16 10^3/mikro 0.00 - 0.2

Neutrofil 20.14 10^3/mikro 1.8 – 7.5

Eosinofil % 3.9 % 2-4

Basofil % 0.6 % 0-1

Neutrofil % 75.2 H % 50 - 70

31
HEMOSTASIS
PT 16.9 H Detik 9.3– 11.4

APTT 36.5 H Detik 24.5 – 32.8

LED 1D mm/jam D – 2D

INR 1.65 Detik

KIMIA KLINIK
GDS 156 H Mg/dl 74 -106

SGOT 26 U/L 0 - 35

SGPT 55 H IU/L 0 - 35

Creatinine 2.54 H mg/dl 0.45 - 0.75

Ureum 50.1 H mg/dl 10 - 50

HEPATITIS
HbsAg Rapid Non reactive Nonreactive

EKG
Kesimpulan : Sinus takikardia

32
E. Assesment
Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS)

F. Initial Plan
Diagnosis Kerja : Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic
Symptoms (DRESS)
1) Differential Diagnosis : DRESS, Sindrom Steven-Johnson (SSJ),
nekrolisis epidermal toksis (TEN), Erupsi obat makulopapular-
morbiliformis,
2) Terapi :
a) Rawat inap
b) Monitoring keadaan umum serta tanda-tanda vital
c) Infus RL 20 tpm
d) Inj. Methyl Prednisolone 2 X 62.5 amp
e) Inj. Ranitidine 2 X 1 ampul

3) Edukasi :
a) Memberikan penjelasan kondisi pasien serta obat-obatan yang
diduga menjadi penyebab.
b) Mengedukasi pada pasien untuk mencegah konsumsi ulang obat
penyebab serta memberikan tanda alergi bagi pasien
c) Istirahat yang cukup

G. Prognosis
1. Quo ad vitam : dubia ad boman
2. Quo ad sanam : dubia ad bonam
3. Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

33
H. SKOR REGISCAR2

Pasien pada kasus ini termasuk pada probable case DRESS dengan skor 4

34
I. Admission

Pemeriksaan
TGL S O A P Foto Klinis
Penunjang
• Pasien datang ke IGD  KU : Tampak sakit sedang, Darah rutin DRESS  Dx :
RSUD Ambarawa dengan  Kes. : E4V5M6 (30/12/2018) o Konsul Sp,Pd untuk
keluhan ruam merah di  TD : 112/73 mmHg sinus takikardi dan
seluruh tubuh, gatal dan  RR : 22 kali /menit AL 26.8 (H) kenaikan UR, CR,
panas (+). Saat ini mulai  Nadi : 162 kali /menit AE 5.50 (H) SGPT
muncul bintil-bintil putih di  Suhu : 38,7° C Eosinofil 1.06 (H) o Konsul Sp. B untuk
beberapa bagian tubuh, Neutrofil 75.2 % rawat luka abses
 VAS : -
demam (+), lidah terasa (H) femur
 STDV :
kebas sehingga nafsu makan PT 16.9 s (H)
oRegio facialis et colli
menurun. Wajah bengkak
Tampak makula eritema
APTT 36.5 s (H)  Tx:
(+), sesak saat bernafas (+).
sebagian dengan pustul,
SGPT 26 (H) o Rawat inap
30
BAB dan BAK tidak ada
berbatas tegas, tepi irreguler,
UR 50.1 (H) o Monitoring
keluhan. CR 2.54 (H) keadaan umum
konfluens.
• Sejak bulan Agustus hingga serta tanda-tanda
D o Regio truncus anterior
Desember 2018 pasien rutin vital
E Tampak makula eritem,
S mengkonsumsi obat
berbatas tidak tegas, tepi o Infus RL 20 tpm
E
Cefadroxil dan multivitamin
ireguler, konfluens, dengan o Inj. Methyl
dari dokter bedah. Prednisolone 2 X
M milia sebagian tampak pustul.
• 2 hari SMRS pasien 62.5 mg
B o Regio femur et cruris dextra
E
mengkonsumsi obat
et sinistra: Tampak makula o Inj. Ranitidine 2 X
R Amoxicillin, Ketoconazole, 1 ampul
eritem berbatas tidak tegas,
Asam Salisilat zalf,
tepi irreguler, konfluens,
Gentamicin zalf dari dokter
2018 dengan petechie, ekimosis,
BPJS.
dan purpura tersebar

35
J. Follow Up

Pemeriksaan
TGL S O A P Foto Klinis
Penunjang
• Saat ini ruam merah masih  KU : Tampak sakit sedang, DRESS  Tx:
ada, gatal berkurang,  Kes. : E4V5M6 o Monitoring
demam (-), lidah terasa  TD : 110/70 mmHg keadaan umum
kebas berkurang, nafsu  RR : 20 kali /menit serta tanda-tanda
makan membaik. Wajah  Nadi : 95 kali /menit vital
bengkak berkurang, sesak  Suhu : 36,9° C o Infus RL 20 tpm
saat bernafas (-). BAB dan
 VAS : - o Inj. Methyl
BAK tidak ada keluhan. Prednisolone 2 X
 STDV :
125 mg
oRegio facialis et colli
o Inj. Cefotaxime 2 X
Tampak makula eritema,
1 gram
berbatas tegas, tepi irreguler,
o Inj. Ranitidine 2 X
31 konfluens.
1 ampul
o Regio truncus anterior
Tampak makula eritem, o Hidrocortison cr 10
D dicampur dengan
E berbatas tidak tegas, tepi
atopiclair lotio 40
S ireguler, konfluens
(oles pagi dan sore)
E o Regio femur et cruris dextra
o Loratadin 1 X 1
M et sinistra: Tampak makula
tablet (sore)
B eritem berbatas tidak tegas,
o Asetil Sistein 3 X 1
E tepi irreguler, konfluens,
tablet
R dengan petechie, ekimosis,
dan purpura tersebar
 Jawaban Konsul :
2018
dr. Hary Unggul Sp.B :
Luka mengalami
penyembuhan dan
perbaikan, mulai
tanggal 31/12/18
debridement luka tiap
2 hari sekali.

36
Pemeriksaan
TGL S O A P Foto Klinis
Penunjang
• Saat ini ruam merah masih  KU : Tampak sakit sedang, DRESS  Tx:
ada, gatal berkurang,  Kes. : E4V5M6 o Monitoring
demam (-), lidah terasa  TD : 110/70 mmHg keadaan umum
kebas berkurang, nafsu  RR : 20 kali /menit serta tanda-tanda
makan membaik. Wajah  Nadi : 95 kali /menit vital
bengkak berkurang, sesak  Suhu : 36,9° C o Infus RL 20 tpm
saat bernafas (-). BAB dan
 VAS : - o Inj. Methyl
BAK tidak ada keluhan. Prednisolone 2 X
 STDV :
125 mg
oRegio facialis et colli
o Inj. Cefotaxime 2 X
Tampak makula eritema,
1 gram
berbatas tegas, tepi irreguler,
o Inj. Ranitidine 2 X
konfluens.
1 ampul
1 o Regio truncus anterior
Tampak makula eritem, o Hidrocortison cr 10
J dicampur dengan
berbatas tidak tegas, tepi
A atopiclair lotio 40
ireguler, konfluens
(oles pagi dan sore)
N o Regio femur et cruris dextra
U o Loratadin 1 X 1
et sinistra: Tampak makula
A tablet (sore)
eritem berbatas tidak tegas,
R tepi irreguler, konfluens, o Asetil Sistein 3 X 1
I tablet
dengan petechie, ekimosis,
dan purpura tersebar
2019  Jawaban Konsul
dr. Alex Sp.Pd :
Rehidrasi 2 kolf RL
kemudian cek ulang
UR, CR post rehidrasi
Konsul dr.Novi Sp, KJ
karena pasien bicara
meracau

37
Pemeriksaan
TGL S O A P Foto Klinis
Penunjang
• Saat ini ruam merah masih  KU : Tampak sakit sedang, DRESS  Tx:
ada, gatal (-), demam (-),  Kes. : E4V5M6 UR : 41.7 o Monitoring
lidah terasa kebas (-), nafsu  TD : 111/80 mmHg CR : 0.82 (H) keadaan umum
makan pulih. Wajah  RR : 17 kali /menit serta tanda-tanda
bengkak berkurang, sesak  Nadi : 88 kali /menit vital
saat bernafas (-). BAB dan  Suhu : 36,7° C o Infus RL 20 tpm
BAK tidak ada keluhan.
 VAS : - o Inj. Methyl
• Pasien bicara meracau dan Prednisolone 2 X
 STDV :
terdapat halusinasi 125 mg
oRegio facialis et colli
o Inj. Cefotaxime 2 X
Tampak makula eritema,
1 gram
berbatas tegas, tepi irreguler,
o Inj. Ranitidine 2 X
konfluens.
1 ampul
2 o Regio truncus anterior
o Hidrocortison cr 10
Tampak petechie tersebar
sebagian konfluens dicampur dengan
J
atopiclair lotio 40
A o Regio femur et cruris dextra
(oles pagi dan sore)
N et sinistra: Tampak makula
o Loratadin 1 X 1
U eritem berbatas tidak tegas,
tablet (sore)
A tepi irreguler, konfluens,
o Asetil Sistein 3 X 1
R dengan petechie, ekimosis,
dan purpura tersebar tablet
I
 Jawaban Konsul
2019
dr. Novi Sp.Kj :
diagnosa pasien
Halusinasi organik
dengan krisis percaya
diri. Terapi :
o Fluoxetine 1mg-0-0
o Haloperidol 2,5mg
 ½-0-½
o Merlopam 0-0-
0,5mg

38
Pemeriksaan
TGL S O A P Foto Klinis
Penunjang
• Saat ini ruam merah masih  KU : Tampak sakit sedang, DRESS  Tx:
ada sebagian sudah  Kes. : E4V5M6 Darah rutin o Monitoring
berkurang , gatal (-), demam  TD : 110/80 mmHg (3/1/2019) keadaan umum
(-), lidah terasa kebas (-),  RR : 18 kali /menit serta tanda-tanda
nafsu makan pulih. Wajah  Nadi : 86 kali /menit Hb 11.3 (L) vital
bengkak (-), sesak saat  Suhu : 36,5° C AL 14.6 (H) o Infus RL 20 tpm
bernafas (-). BAB dan BAK
 VAS : -
HCT 34.5 (H) o Inj. Methyl
tidak ada keluhan. Basofil 0.24 (H) Prednisolone
 STDV :
• Halusinasi (-), bicara Neutrofil 9.44 (H) 125mg -0-62.5mg
oRegio facialis et colli
meracau (-) PDW19.4 (H) o Inj. Cefotaxime 2 X
Tampak makula eritema
SGOT 47 (H) 1 gram
sebagian tertutup squama,
SGPT 64 (H) o Inj. Ranitidine 2 X
berbatas tidak tegas, tepi
3 1 ampul
irreguler, konfluens.
o Regio femur et cruris dextra o Hidrocortison cr 10
J dicampur dengan
et sinistra: Tampak makula
A atopiclair lotio 40
eritem berbatas tidak tegas,
N (oles pagi dan sore)
tepi irreguler, konfluens,
U o Loratadin 1 X 1
dengan petechie, ekimosis,
A tablet (sore)
dan purpura tersebar
R o Asetil Sistein 3 X 1
I tablet

2019

39
Pemeriksaan
TGL S O A P Foto Klinis
Penunjang
• Saat ini ruam merah sudah  KU : Tampak sakit sedang, DRESS  Tx:
berkurang, gatal (-), demam  Kes. : E4V5M6 o Monitoring
(-), Wajah bengkak (-),  TD : 115/75 mmHg keadaan umum
sesak saat bernafas (-). BAB  RR : 16 kali /menit serta tanda-tanda
dan BAK tidak ada keluhan.  Nadi : 72 kali /menit vital
Makan minum baik.  Suhu : 36,6° C o Infus RL 20 tpm
 VAS : - o Inj. Methyl
Prednisolone
 STDV :
125mg -0-0
oRegio facialis et colli
o Inj. Cefotaxime 2 X
Tampak makula eritema
1 gram
sebagian tertutup squama,
o Inj. Ranitidine 2 X
berbatas tidak tegas, tepi
4 1 ampul
irreguler, konfluens.
o Regio femur et cruris dextra o Hidrocortison cr 10
J dicampur dengan
et sinistra: Tampak makula
A atopiclair lotio 40
eritem berbatas tidak tegas,
N (oles pagi dan sore)
tepi irreguler, konfluens,
U o Loratadin 1 X 1
dengan petechie, ekimosis,
A tablet (sore)
dan purpura tersebar
R o Asetil Sistein 3 X 1
I tablet

2019

40
Pemeriksaan
TGL S O A P Foto Klinis
Penunjang
• Saat ini ruam merah sudah  KU : Tampak sakit sedang, DRESS  Dx :
sangat berkurang, gatal (-),  Kes. : E4V5M6 Konsul Sp.Pd untuk
demam (-), Wajah bengkak  TD : 115/75 mmHg kenaikan faal hepar
(-), sesak saat bernafas (-).  RR : 16 kali /menit  usul rawat
BAB dan BAK tidak ada  Nadi : 72 kali /menit bersama
keluhan. Makan minum  Suhu : 36,6° C
baik.
 VAS : -  Tx:
 STDV : o Monitoring
oRegio facialis et colli keadaan umum
Tampak makula eritema serta tanda-tanda
sebagian tertutup squama, vital
berbatas tidak tegas, tepi o Infus RL 20 tpm
5 irreguler, konfluens. o Inj. Methyl
o Regio femur et cruris dextra Prednisolone
J et sinistra: Tampak makula 125mg -0-0
A eritem berbatas tidak tegas, o Inj. Cefotaxime 2 X
N tepi irreguler, konfluens, 1 gram
U dengan petechie, ekimosis, o Inj. Ranitidine 2 X
A dan purpura tersebar 1 ampul
R o Hidrocortison cr 10
I dicampur dengan
atopiclair lotio 40
2019 (oles pagi dan sore)
o Loratadin 1 X 1
tablet (sore)
o Asetil Sistein 3 X 1
tablet

41
Pemeriksaan
TGL S O A P Foto Klinis
Penunjang
• Saat ini ruam merah sudah  KU : Tampak sakit sedang, DRESS  Tx:
berkurang, gatal (-), demam  Kes. : E4V5M6 o Monitoring
(-), Wajah bengkak (-),  TD : 112/70 mmHg keadaan umum
sesak saat bernafas (-). BAB  RR : 18 kali /menit serta tanda-tanda
dan BAK tidak ada keluhan.  Nadi : 80 kali /menit vital
Makan minum baik.  Suhu : 36,3° C o Infus RL 20 tpm
 VAS : - o Inj. Methyl
Prednisolone
 STDV :
62.5mg -0-0
oRegio facialis et colli
o Inj. Cefotaxime 2 X
Tampak makula eritema
sebagian tertutup squama, 1 gram
o Inj. Ranitidine 2 X
berbatas tidak tegas, tepi
6 1 ampul
irreguler, konfluens.
o Hidrocortison cr 10
o Regio femur et cruris dextra
J dicampur dengan
et sinistra: Tampak makula
A atopiclair lotio 40
eritem berbatas tidak tegas,
N tepi irreguler, konfluens, (oles pagi dan sore)
U o Loratadin 1 X 1
dengan petechie, ekimosis,
A tablet (sore)
dan purpura tersebar
R o Asetil Sistein 3 X 1
I tablet

2019  Jawaban Konsul


dr. Alex Sp.Pd :
Merupakan proses
inflamasi
Infuse RL kemudian
cek ulang DR,UR, CR
hari minggu

42
Pemeriksaan
TGL S O A P Foto Klinis
Penunjang
• Saat ini ruam merah sudah  KU : Tampak sakit sedang, DRESS  Tx:
hilang hampir tidak ada,  Kes. : E4V5M6 o Monitoring keadaan
gatal (-), demam (-), Wajah  TD : 115/75 mmHg umum serta tanda-
bengkak (-), sesak saat  RR : 16 kali /menit tanda vital
bernafas (-). BAB dan BAK  Nadi : 72 kali /menit o Infus RL 20 tpm
tidak ada keluhan. Makan  Suhu : 36,6° C o Inj. Methyl
minum baik. Prednisolone
 VAS : -
 STDV : 31.25mg -0-0
o Inj. Cefotaxime 2 X
oRegio facialis et colli Tidak
1 gram
tampak makula eritema
o Inj. Ranitidine 2 X 1
minimal, berbatas tidak tegas,
ampul
tepi irreguler
o Hidrocortison cr 10
o Regio femur et cruris dextra
7 et sinistra: Tampak petechie dicampur dengan
atopiclair lotio 40
dan purpura tersebar minimal
J (oles pagi dan sore)
A o Loratadin 1 X 1
N tablet (sore)
U o Asetil Sistein 3 X 1
A tablet
R o BLPL dengan obat
I pulang :
o Cefixime 2x100 mg
2019 o MP 4 mg :
- 8-9/1/19 : 4tab-0-0
- 10-11/1/19 : 3tab-0-0
- 12-13/1/19 : 2tab-0-0
o Ranitidine tab1x1
(pagi)
o Loratadin tab 1x1
(sore)
o Asetil sistein 3x1 tab
o Hidrocortison cr 10
dicampur dengan
atopiclair lotio 40
(oles pagi dan sore)

43
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien didiagnosis sebagai Drug Reaction with


Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS), hal ini di karenakan pasien
mengeluhkan muncul ruam merah pada kulitnya yang dimulai dari dada, lengan,
dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh disertai pembengkakan pada wajah dan
demam. Ruam tersebut dirasakan panas dan gatal. Pada pemeriksaan fisik di regio
wajah, ekstremitas dan batang tubuh dijumpai makula eritem sebagian dengan
petechie, ekimosis, dan purpura tersebar. Dari data laboratorium didapatkan
kenaikan nilai faal ginjal dan hepar disertai eosinofilia. Pasien menyangkal
adanya riwayat sakit ginjal, liver, dan keluhan serupa sebelumnya. Gejala yang
dialami pasien menurut kriteria DRESS yaitu Skor Regiscar menunjukan
termasuk pada probable case DRESS dengan skor 4. Menurut Mehrholz (2017)
ada tiga kelompok gejala utama yang mendefinisikan DRESS yaitu lesi kulit,
kelainan hematologis dan keterlibatan organ internal.
Sebelumnya sejak kurang lebih 4 bulan SMRS pasien rutin mengkonsumsi
obat antibiotik cefadroxil sebagai terapi post pembedahan abses yang tidak
menyembuh. Pasien baru pertama kali itu mengkonsumsi cefadroxil dengan dosis
terapi. Suswardana et al (2007) dalam penelitiannya mengemukakan kasus
sindrom DRESS karena cefadroxil yang dikonfirmasi oleh uji tempel positif.
Selain itu penelitian telah dilakukan pada kelompok obat yang menginduksi reaksi
hipersensitivitas yang membutuhkan hospitalisasi dan ditemukan bahwa daftar
penyebab paling umum dari reaksi hipersensitivitas meliputi: allopurinol,
amoksisilin, sefalosporin, antiepilepsi, dan obat antiinflamasi non-steroid.
Mehrholz (2017). Cefadroxil merupakan golongan sefalosporin generasi I.
Berdasarkan hal tersebut ada kemungkinan bahwa obat penyebab DRESS pada
kasus ini adalah cefadroxil.
Diagnosis Banding Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) atau Stevens-
Johnson Syndrome (SJS) disingkirkan karena keduanya adalah bentuk penyakit
mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang dari ringan sampai berat

44
berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai makula,vesikel, bula
dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, serta diiringi adanya
epidermolisis dan keterlibatan mukosa. Pada pasien ini lesi kulit tidak mencakup
lesi target, bula, vesikel yang berat dan tidak terjadi pengelupasan epidermis
maupun adanya keterlibatan mukosa baik orifisium mulut, faring, traktus
respiratorius, esofagus, ataupun genital. Menurut onsetnya yang cenderung
memakan waktu lama yaitu sekitar 4 bulan, maka kasus ini tidak dapat
dikategorikan sebagai Acute Generalized Erythematous Pustulosis (AGEP) yang
biasanya tampak dalam 48 jam hingga kurang dari 1 minggu setelah penggunaan
obat.
Terapi pada pasien ini adalah memberikan penjelasan kondisi pasien serta
obat yang diduga menjadi penyebab dan menghentikan konsumsi obat tersebut.
Tak lupa memberikan tanda alergi pada pasien. Pasien di rawat inapkan serta
diberikan terapi Infus RL 20 tpm, Inj. Methyl Prednisolone 2 X 62.5 mg, Inj.
Cefotaxime 2 X 1 gram, Inj. Ranitidine 2 X 1 ampul, Hidrocortison cr 10
dicampur dengan atopiclair lotio 40 (oles pagi dan sore), Loratadin 1 X 1 tablet
(sore), dan Asetil Sistein 3 X 1 tablet. Kortikosteroid sistemik adalah pengobatan
andalan untuk pasien DRESS. Dosis awal prednisolon atau yang setara dengannya
disarankan mulai dari 0,5-1,0 mg/kg/hari. Dengan dosis kortikosteroid yang
tinggi, maka imunitas pasien mungkin akan berkurang, oleh karena itu pemberian
antibiotik diperlukan untuk mencegah infeksi oportunistik. Menurut konsepsi
tentang etiologi DRESS, terkait dengan reaktivasi infeksi virus, diusulkan untuk
mengobati DRESS dengan obat antivirus, seperti valgansiklovir. Perawatan juga
harus melibatkan N-asetilsistein menurut Tsu Cho, Y. et al. (2017). N-asetilsistein
untuk menetralkan metabolit reaktif dan mengurangi stress oksidatif, dan
valgansiklovir digunakan untuk mengurangi efek reaktivasi HHV-6.

45
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic


Symptoms (DRESS) pada seorang perempuan usia 45 tahun. Pada anamnesis
didapatkan pasien mengeluh timbul ruam merah yang gatal dan panas pada dada,
tangan, leher, wajah, dan kaki disertai demam dan wajah bengkak setelah
mengkonsumsi obat cefadroxil jangka panjang. Pasien baru pertama kali
mengkonsumsi obat tersebut. Pada pemeriksaan fisik di wajah, tangan, dan batang
tubuh serta kaki didapatkan UKK : tampak makula eritem berbatas tidak tegas,
tepi irreguler, konfluens, dengan petechie, ekimosis, dan purpura tersebar. Pada
hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil AL 26.8 (H), AE 5.50 (H),
Eosinofil 1.06 (H), Neutrofil 75.2 % (H), PT 16.9 s (H), APTT 36.5 s (H), SGPT
26 (H), UR 50.1 (H). Pada kasus ini pasien diberikan terapi Infus RL 20 tpm, Inj.
Methyl Prednisolone 2 X 62.5 mg, Inj. Cefotaxime 2 X 1 gram, Inj. Ranitidine 2
X 1 ampul, Hidrocortison cr 10 dicampur dengan atopiclair lotio 40 (oles pagi dan
sore), Loratadin 1 X 1 tablet (sore), dan Asetil Sistein 3 X 1 tablet. Prognosis pada
pasien ini adalah dubia ad bonam.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Vanini, A; Hutomo, M. 1990. Manifestasi Klinis Sindroma DRESS (Drug


Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptom). Departemen/Staf
Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Soetomo: Surabaya.
2. Mehrholz, D. et al. 2017. A retrospective study of DRESS – drug reaction
with eosinophilia and systemic symptoms. Psychiatr. Pol. 51(6): 1079–
1093.
3. Kano, Y. 2010. Visceral Involvements and Long-term Sequelae in Drug-
induced Hypersensitivity Syndromes. Med Clin N Am 94,743–759.
4. Nikkhah, A. 2016. Drug-Induced Hypersensitivity Syndrome (DRESS) by
Phenobarbital-Case Report and Literature Review. J Pediatr Rev. July;
4(2):e5677.
5. Tsu Cho, Y. et al. 2017. Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic
Symptoms (DRESS): An Interplay among Drugs,Viruses, and Immune
System. Department of Dermatology, National Taiwan University
Hospital and National Taiwan University College of Medicine, Taipei:
Taiwan.
6. Choudhary, S. 2013. Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic
Symptoms (DRESS) Syndrome. Department of Dermatology and
Cutaneous Surgery, University of Miami Miller School of Medicine,
Miami: Florida.
7. Kawilarang, MR. 2018. Penatalaksanaan Erupsi Obat Berat. Departemen
Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP
Sanglah: Denpasar.
8. Bachot, N.; Roujeau, JC.2003. Differential Diagnosis of Severe Cutaneous
Drug Eruptions. Department of Dermatology, Hopital Henri Mondor,
Universite Paris XII, Cr´eteil: France.

47

Anda mungkin juga menyukai