Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemia kronis akibat defek sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.
Kondisi hiperglikemia kronis mengakibatkan kerusakan, disfungsi dan kegagalan
organ-organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.1
Studi epidemiologi menunjukkan terjadi peningkatan insiden dan prevalensi
diabetes melitus di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan
terdapat 150 juta individu menderita diabetes melitus di seluruh dunia dan angka ini
dapat meningkat dua kali lipat pada tahun 2025. Kebanyakan penderita diabetes
melitus terdapat di negara berkembang dengan kelompok usia 45-64 tahun. 2 WHO
memprediksi diabetes melitus menjadi penyebab ke-7 terbanyak kematian di tahun
2030. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskerdas) tahun 2007 diperoleh proporsi
penyebab kematian akibat DM pada usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki
peringkat ke-2 yaitu sebesar 14,7% sedangkan di daerah pedesaan menduduki
peringkat ke-6 sebesar 5,8%.3
Penatalaksanaan diabetes melitus bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
penderita diabetes. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu pengelolaan secara holistik
berupa edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.
Insulin merupakan salah satu intervensi farmakologis yang ditujukan untuk
melakukan koreksi terhadap defisiensi insulin yang dialami penderita diabetes.1
Semakin meningkatnya prevalensi DM serta seringnya penggunaan insulin maka
penulis terdorong untuk membahas lebih lanjut mengenai penggunaan insulin pada
penderita diabetes melitus.

1.2. Tujuan
- Mengetahui definisi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis diabetes
melitus
- Mengetahui terapi insulin pada penderita diabetes melitus

BAB II
1
PEMBAHASAN

2.1. Diabetes Melitus


2.1.1. Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan
hiperglikemia kronis akibat defek sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.
Kondisi hiperglikemia kronis mengakibatkan kerusakan, disfungsi dan kegagalan
organ-organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.4
2.1.2 Klasifikasi

a. Diabetes melitus tipe 1

Pada diabetes melitus tipe 1 terjadi destruksi sel beta pankreas sehingga
menyebabkan defisiensi total insulin.

b. Diabetes melitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin, sekresi insulin yang
terganggu, dan peningkatan produksi glukosa. Diabetes melitus tipe 2 diawali
dengan Impaired Fasting Glucose (IFG) atau Impaired Glucose Tolerance (IGT).
Disebut IFG apabila glukosa darah puasa 110-125 mg/dL, IGT apabila kadar
glukosa 2 jam setelah makan 140-200 mg/dL.

c. Diabetes melitus tipe lain

Etiologi lain DM yaitu defek genetik spesifik pada sekresi insulin, kelainan
metabolik yang mengganggu sekresi insulin, kelainan mitokondria. Maturity-
onset diabetes of the young (MODY) merupakan subtipe DM yang diturunkan
secara autosomal dominan dan ditandai dengan timbulnya hiperglikemia
(biasanya penderita berusia <25 tahun) dan gangguan sekresi insulin. Selain itu,
DM juga dapat disebabkan oleh penyakit eksokrin pankreas yang menyebabkan
kerusakan islet pankreas. Hormon yang mengantagonis kerja insulin juga dapat
menyebabkan DM dengan gambaran endokrinopati, seperti akromegali dan
Cushing’s disease.

2
d. Diabetes melitus gestasional

DM gestasional adalah keadaan intoleransi glukosa yang muncul selama


kehamilan. Perubahan metabolisme pada akhir kehamilan menyebabkan resistensi
insulin dan peningkatan kebutuhan insulin sehingga dapat menimbulkan IGT atau
diabetes. DM gestasional terjadi pada 2-10% kehamilan di Unites States.
Sebagian besar penderita DM gestasional memiliki toleransi glukosa normal
setelah melahirkan, namun beresiko 35-60% untuk mengalami DM pada 10-20
tahun berikutnya.4

Tabel 2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus4

I. DM tipe 1 (destruksi sel beta pankreas, umumnya berlanjut menjadi


defisiensi insulin absolut)
A. Mediasi imun
B. Idiopatik
II. DM tipe 2 (bervariasi dari dominasi resistensi insulin dengan defisiensi
insulin relatif hingga dominasi kelainan sekresi insulin dengan resistensi
insulin)
III. DM tipe lain
A. Defek genetik pada fungsi sel beta akibat mutasi dari:
B. Defek genetik kerja insulin
C. Gangguan pada eksokrin pankreas: pankreatitis, pankreatomi,
neoplasma, cystic fibrosis, hemokromatosis, fibrokalkulus
pankreopati, mutasi karboksil ester lipase
D. Endokrinopati: akromegali, sindroma cushing, glukagonoma,
hipertiroid, aldosteronoma
E. Efek obat dan bahan kimia: glukokortikoid, epinefrin, protease
inhibitor, antipsikosis, asam nikotinik, agonis beta adrenergic
F. Infeksi: rubella kongenital, cytomegalovirus, coxsakie virus
G. Immune-mediated diabetes
H. Sindrom genetik lain yang berhubungan dengan diabetes: Sindrom
Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, porfiria, ataksia
Friedreich, korea Huntington
IV. DM Gestasional
2.1.3. Patofisiologi
DM tipe 1

3
DM tipe 1 terjadi akibat efek sinergis faktor genetik, lingkungan, dan imunologi
yang menyebabkan kerusakan sel beta pankreas. Individu dengan predisposisi genetik
memiliki massa beta sel yang normal saat lahir tetapi mulai mengalami kerusakan sel
beta akibat autoimun yang terjadi beberapa bulan hingga tahunan (gambar 1.1).
Proses autoimun dapat dipicu oleh infeksi dan stimulus lingkungan. Penurunan massa
sel beta menyebabkan terganggunya sekresi insulin meskipun toleransi glukosa masih
dapat dipertahankan normal. Gambaran klinis diabetes akan terlihat jika 80% sel beta
rusak. Pada keadaan ini, sel beta yang mampu berfungsi masih ada namun tidak
mampu untuk mempertahankan toleransi glukosa. Transisi dari intoleransi glukosa ke
diabetes biasanya dikaitkan dengan infeksi atau pubertas yang membutuhkan insulin
yang lebih banyak. Setelah gambaran klinis awal, penderita masuk ke fase
“honeymoon” yaitu fase remisi sementara dimana hanya sedikit sedikit insulin yang
dibutuhkan untuk mengontrol gula darah, bahkan insulin tidak dibutuhkan pada fase
ini. Kemudian, proses autoimun akan merusak sel beta yang tersisa dan individu akan
mengalami defisiensi insulin total.

Meskipun
Gambar tipe sel isletDM
1.1. Perkembangan laintipe
seperti
1.4 sel alfa, sel delta, atau sel polipeptida pankreas
memiliki kemiripan fungsi dan embriologi serta mengekspresikan banyak protein
yang sama seperti sel beta, namun sel-sel ini tidak mengalami destruksi autoimun.
Limfosit menginfiltrasi islet pankreas. Hal ini mengakibatkan semua sel beta rusak
dan islet menjadi atrofi. Mekanisme kerusakan sel beta masih belum diketahui namun
diduga melibatkan pembentukan metabolit nitric oxide, apoptosis dan sel T CD8+
yang bersifat sitotoksik. Teori terbaru menyatakan awalnya proses autoimun
menyerang satu molekul sel beta lalu menyebar ke molekul islet lainnya sehingga
menyebabkan autoantigen sekunder.4

4
DM tipe 2
Penyakit DM bersifat multifaktorial karena dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan (misalnya: obesitas, nutrisi, dan aktivitas fisik). Persentase terjadinya DM
tipe 2 pada kembar identik sekitar 70-90%. Individu yang memiliki kedua orangtua
dengan DM tipe 2 beresiko 40% terkena DM. Resistensi insulin yang ditandai dengan
penurunan pemakaian glukosa pada otot rangka banyak ditemui pada individu first-
degree relatives dengan DM tipe 2.
Gen yang mempengaruhi DM tipe 2 belum sepenuhnya diketahui. Namun faktor
transkripsi 7-gen 2 dikaitkan dengan DM tipe 2 dan toleransi glukosa yang terganggu
pada beberapa populasi. Polimorfisme genetik yang berhubungan dengan DM tipe 2
juga ditemukan pada gen yang mengkode peroxisome proliferators–activated
receptor gamma, inward rectifying potassium channel, zinc transporter, IRS, dan
calpain 10. Gangguan gen-gen ini diduga mempengaruhi fungsi islet dan sekresi
insulin.
DM tipe 2 ditandai dengan sekresi insulin yang terganggu, resistensi insulin,
produksi glukosa hepar yang berlebihan, dan metabolisme lemak yang abnormal.
Pada stadium awal kelainan, toleransi glukosa tetap normal meskipun telah terjadi
insulin resistensi. Hal ini dikarenakan sel beta pankreas mengkompensasi dengan
meningkatkan pengeluaran insulin. Seiring terjadinya resistensi insulin dan
kompensasi hiperinsulinemia, maka terjadi gangguan toleransi glukosa yang ditandai
dengan hiperglikemia saat puasa. Sekresi insulin yang terus menurun dan peningkatan
glukosa oleh hepar akan menyebabkan terjadinya DM tipe 2 yang akhirnya akan
menyebabkan kegagalan sel beta pankreas. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
gangguan metabolisme otot dan lemak pada jaringan sensitif insulin, seperti otot, hati,
dan lemak; gangguan sekresi insulin, serta peningkatan produksi glukosa dan lipid
oleh hepar.

Pada dasarnya mekanisme terjadinya resistensi insulin pada DM tipe 2 belum


diketahui pasti. Ada beberapa mekanisme yang mungkin terjadi, yaitu adanya defek
pada proses fosforilasi atau defosforilasi insulin, misalnya defek PI-3 kinase yang
dapat mengurangi translokasi GLUT4 ke membran plasma. Hal ini menyebabkan
akumulasi lipid pada sel otot sehingga mengganggu fosforilasi oksidatif mitokondria
dan mengurangi produksi ATP akibat produksi insulin yang kurang. Terganggunya
oksidasi asam lemak serta akumulasi lipid dalam sel otot mengakibatkan terbentuknya

5
senyawa oksigen reaktif, seperti lipid peroxide. Akibatnya, atherosklerosis dapat
terjadi pada keadaan diabetes.
Sensitivitas insulin diatur oleh adipokin. Peningkatan asam lemak bebas dan
adipokin dapat menyebabkan resistensi insulin pada otot rangka dan hati. Asam
lemak bebas mengganggu penggunaan glukosa di otot rangka, meningkatkan produksi
glukosa oleh hati, dan mengganggu fungsi sel beta. Adipokin juga mengakibatkan
keadaan inflamasi dan hal ini menyebabkan munculnya marker inflamasi seperti IL-6
dan C-reactive protein pada orang DM tipe 2.

Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada hati menunjukkan bahwa


hiperinsulinemia gagal menekan glukoneogenesis sehingga menyebabkan
hiperglikemia saat puasa dan penurunan cadangan glikogen pada hati pada keadaan
postprandial. Resistensi insulin pada jaringan adiposa mengakibatkan peningkatan
lipolisis dan asam lemak bebas dari adiposa sehingga memicu peningkatan sintesis
lipid very low density lipoprotein (VLDL) dan trigliserida di hepar yang memicu
perlemakan hati non alkoholik dan fungsi tes hati yang abnormal. Hal inilah yang
menyebabkan dislipidemia pada orang DM tipe 2 berupa peningkatan trigliserida,
penurunan HDL, peningkatan LDL.4
2.1.4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis akut memiliki gejala khas, berupa: poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan. Poliuria yang diakibatkan diuresis osmotik
karena kadar glukosa darah melebihi kemampuan ginjal. Hal ini mengakibatkan
terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit sehingga merangsang penderita untuk
banyak minum. Selain itu, penurunan cairan dan pemecahan lemak dan otot
menyebabkan terjadinya penurunan berat badan.
Gambaran klinis subakut muncul beberapa bulan hingga beberapa tahun, terutama
pada pasien berusia tua. Pasien dapat mengeluh kekurangan tenaga, mata kabur,
pruritus pada vulva atau balanitis akibat infeksi candida. Pada DM juga dapat muncul
gambaran klinis akibat komplikasi, misalnya: infeksi kulit staphylococcus, retinopati,
polineuropati yang menyebabkan rasa kesemutan dan baal di kaki, disfungsi ereksi,
penyakit arteri yang dapat menyebabkan infark myocard dan gangren.1,4

2.1.5. Diagnosa
Toleransi glukosa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu: homeostasis
glukosa normal, diabetes melitus dan homeostasis glukosa terganggu. Toleransi
glukosa dapat dinilai menggunakan gula darah puasa, Tes Toleransi Glukosa Oral

6
(TTGO), atau hemoglobin A1C. Tes toleransi glukosa oral dilakukan dengan memberi
glukosa yang ekuivalen dengan 75 gram glukosa anhydrous yang larut dalam air.
Toleransi glukosa normal apabila gula darah puasa <100 mg/dL, glukosa darah
<140 mg/dL pada TTGO, dan HbA1C <5.6%.
Diagnosis DM ditegakkan apabila:

 Terdapat gejala diabetes (poliuria, polidipsia, penurunan berat badan) disertai gula
darah sewaktu ≥ 200 mg/dL,
atau
 Gula darah puasa ≥126 mg/dL,
atau
 HbA1C > 6.5%,
atau
 Gula darah dua jam setelah tes toleransi glukosa oral ≥200 mg/dL.

Homeostasis glukosa terganggu didefinisikan apabila gula darah puasa 110-125


mg/dL (disebut Impaired Fasting Glucose), glukosa darah 140-199 mg/dL pada
TTGO (disebut Impaired Glucose Tolerance), atau HbA1C 5.7-6.4%
Kriteria diagnosis DM terbaru menekankan bahwa HbA1C atau gula darah puasa
terpercaya untuk mengidentifikasi DM pada individu asimptomatik. Tes toleransi
glukosa oral meskipun tetap valid untuk mendiagnosa DM, namun jarang digunakan
dalam pelayanan kesehatan.4

2.2. Insulin

2.2.1. Terapi Insulin

Pada keadaan puasa atau sebelum makan, sel beta mensekresi insulin pada kadar
tertentu yang hampir sama sepanjang waktu puasa dan sebelum makan yang disebut
insulin basal. Tujuan dari insulin ini adalah untuk mempertahankan kadar glukosa
darah puasa atau sebelum makan selalu dalam batas normal (dibawah 100 mg/dl).
Pada setiap kali makan, ketika glukosa darah naik akibat asupan dari luar,
dibutuhkan sejumlah insulin yang disekresikan secara cepat oleh sel beta dalam kadar
yang lebih tinggi untuk menekan kadar glukosa darah setelah makan agar tetap dalam
batas normal (tidak lebih dari 140 mg/dl). Konsep ini disebut sebagai insulin prandial
(setelah makan) yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah setelah
makan tetap dalam batas normal.6
Pada penderita diabetes melitus, terjadi kekurangan insulin, baik insulin basal
maupun insulin prandial endogen. Berdasarkan konsep ini, sediaan insulin eksogen

7
disesuaikan dengan kebutuhan seperti halnya pada orang normal, yaitu insulin basal
(yang bekerja menengah atau panjang) dan insulin prandial (yang bekerja
pendek/cepat). Insulin basal eksogen umumnya diberikan sebanyak 1 sampai 2 kali
sehari, sedangkan insulin prandial eksogen diberikan setiap kali sebelum makan.
Kelemahan dari regimen insulin eksogen adalah bahwa setelah insulin
disuntikkan, insulin segera memasuki sirkulasi sistemik, sedangkan insulin endogen
disekresikan ke dalam sistem vena portal. Tidak ada regimen insulin yang
mereproduksi pola sekresi insulin tepat seperti islet pankreas. Namun, regimen yang
paling fisiologis memerlukan suntikan insulin lebih sering, lebih tergantung pada
insulin kerja jangka pendek, dan pengukuran glukosa plasma kapiler lebih sering.4

2.2.2. Indikasi Pemberian Terapi Insulin


Terapi insulin secara klasik diindikasikan pada kondisi-kondisi seperti DM
tipe 1, hiperglikemia pada critically ill, infeksi, berat badan kurang, DM gestasional
dan kendali glukosa darah buruk. Tulisan ini selanjutnya membahas tentang
penggunaan insulin pada kondisi glukosa darah yang tidak terkendali dengan
modifikasi gaya hidup dan obat-obat oral atau pada kasus dengan kendali glukosa
darah sangat buruk.
Menurut panduan pengobatan DM tipe 2 dari American Diabetes Association,
terapi insulin merupakan salah satu opsi tambahan bila langkah pertama pengobatan
dengan kombinasi modifikasi gaya hidup dan metformin gagal mencapai target
HbA1C yang diinginkan, yaitu < 7%. Insulin pertama yang digunakan adalah insulin
basal kerja menengah yang diberikan sebelum tidur malam atau insulin basal kerja
panjang pagi atau sebelum tidur malam, dengan dosis inisial 10 unit atau 0,2
unit/kgBB. Dosis dapat ditingkatkan 2-4 unit setiap 3-4 hari bila glukosa darah puasa
belum mencapai target yang dinginkan (70-130 mg/dL). Bila terjadi hipoglikemia
atau kadar glukosa darah <70mg/dL, dosis insulin basal malam dikurangi 4 unit atau
lebih kurang 10% dari dosis sebelumnya.13
Bila target HbA1C tercapai (<7%) setelah terapi selama 3 bulan maka terapi
dapat diteruskan dan HbA1C sebaiknya diperiksa setiap 3 bulan. Namun sebaliknya,
bila target HbA1C tidak tercapai (>7%) setelah terapi selama 3 bulan maka perlu
dilakukan beberapa langkah sebagai berikut. Jika glukosa darah puasa dalam kisaran
target (70-130 mg/dL), maka harus dilakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum
makan siang, sebelum makan malam dan sebelum tidur malam. Jika glukosa darah
sebelum makan siang, makan malam dan tidur malam di luar kisaran target maka

8
perlu ditambahkan insulin kerja cepat masing-masing pada saat makan pagi, makan
siang dan makan malam, biasanya dapat dimulai dengan dosis 4 unit dan dapat
dinaikkan sebesar 2 unit tiap 3 hari hingga target glukosa darah tercapai. Jika dalam
waktu 3 bulan target tercapai (HbA1C <7%) maka terapi dapat dilanjutkan dan
HbA1C diperiksa tiap 3 bulan. Namun jika dalam waktu 3 bulan target tetap tidak
tercapai, maka glukosa darah sebelum makan (pre-meal) perlu dicek kembali dan jika
hasilnya tetap di luar kisaran target maka diperlukan injeksi tambahan. Jika target
HbA1C tetap tidak tercapai maka periksa glukosa darah 2 jam post-prandial dan dosis
insulin pre-prandial dapat dinaikkan.13
Inisiasi insulin juga dapat langsung diberikan pada penyandang DM tipe 2
dengan kadar HbA1C >9% dengan gejala dekompensasi metabolik yang nyata.
Menurut American Association of Clinical Endocrinologist, pada kondisi ini dapat
langsung diberikan insulin prandial dengan atau tanpa obat lain seperti pramlintide.
Pada saat pemberian insulin prandial dosis multipel ini maka obat-obat oral berupa
insulin secretagogue harus dihentikan.13

Insulin diperlukan pada keadaan:12


 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Ketoasidosis diabetik
 Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
 Hiperglikemia dengan asidosis laktat
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
 Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

2.2.3 Farmokokinetik Insulin

Saat ini tersedia berbagai jenis insulin, mulai dari human insulin
sampai insulin analog. Memahami farmakokinetik berbagai jenis insulin menjadi
landasan dalam penggunaan insulin sehingga pemakaiannya dapat disesuaikan dengan

9
kebutuhan tubuh. Sebagai contoh, pada kebutuhan insulin basal dan prandial/setelah
makan terdapat perbedaan jenis insulin yang digunakan. Dengan demikian akan
tercapai kendali kadar glukosa darah sesuai sasaran terapi.14
Seperti telah diketahui, untuk memenuhi kebutuhan insulin basal dapat
digunakan insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) atau kerja panjang
(long-acting insulin); sementara untuk memenuhi kebutuhan insulin prandial (setelah
makan) digunakan insulin kerja cepat (insulin reguler/short-acting insulin) atau
insulin kerja sangat cepat (rapid- atau ultra-rapid acting insulin). Di pasaran, selain
tersedia insulin dengan komposisi tersendiri, juga ada sediaan yang sudah dalam
bentuk campuran antara insulin kerja cepat atau sangat cepat dengan insulin kerja
menengah (premixed insulin) 14

Insulin or insulin analog Nama/pabrik Profil kerja (jam)


Awal Puncak
Kerja sangat cepat (ultra-rapid acting)
Insulin lispro (Humalog) Eli Lilly 0,2 – 0,5 0,5 – 2
Insulin aspart (Novorapid) Novo Nordisk 0,2 – 0,5 0,5 – 2
Insulin glulisin (Apidra)
Aventis Pharmaceuticals, 0,2 – 0,5 0,5 – 2
Inc
Kerja pendek (short acting)
Reguler (Human) Humulin R/ Eli Lilly/Novo Nordisk 0,5 – 1 2–3
Actrapid
Kerja Menengah (intermediate acting)
NPH (Human) Humulin N/ Insulatard Eli Lilly/Novo Nordisk 1,5 – 4 4 – 10

10
Kerja Panjang (long acting)
Insulin glargine (Lantus) Aventis Pharmaceuticals, 1 – 3 Tanpa puncak
Insulin detemir (Levemir) Inc 1–3 Tanpa puncak
Novo Nordisk
Campuran (mixtures, manusia)
70/30 Humulin/Mixtard (70% NPH. Eli Lilly/Novo Nordisk 0,5 – 1 3 – 12
30% Reguler)
50/50 Humulin
Eli Lilly/Novo Nordisk 0,5 – 1 3 – 12
(50% NPH, 50% Reguler)

Campuran (mixtures, insulin analog)


75/25 Humalog (75% NPL, 25%
lispro)
Eli Lilly 0,2 – 0,5 1–4

50/50 Humalog (50% NPL, 50% Eli Lilly 0,2 – 0,5 1–4
lispro) Novo Nordisk 0,2 – 0,5 1–4
70/30 Novomix 30 (70% protamine
aspart, 30% aspart) Novo Nordisk 0,2 – 0,5 1–4
50/50 Novomix (50% protamin aspart,
50% aspart)
Tabel Farmakokinetik sediaan insulin

Profil farmakokinetik insulin manusia dan insulin analog. Terlihat lama kerja relatif berbagai
jenis insulin. Lama kerjanya bervariasi antar perorangan.

2.2.4 Manfaat Terapi Insulin

11
Berdasarkan berbagai penelitian klinis, terbukti bahwa terapi insulin
pada pasien hiperglikemia memperbaiki luaran klinis. Insulin, selain dapat
memperbaiki status metabolik dengan cepat, terutama kadar glukosa darah, juga
memiliki efek lain yang bermanfaat, antara lain perbaikan inflamasi.14
Infus insulin (glucose-insulin-potassium [GIK]) terbukti dapat memperbaiki
luaran pada pasien gawat darurat yang dirawat di ruang intensif akibat kelainan
jantung atau stroke. Terapi insulin intensif pada pasien gawat darurat yang dirawat di
ruang intensif terbukti dapat menurunkan angka kematian. Hal tersebut terutama
disebabkan oleh penurunan angka kejadian kegagalan organ multipel akibat sepsis.
Selain itu, penggunaan infus insulin juga dapat menurunkan mortalitas di rumah sakit
secara keseluruhan, sepsis, gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis atau
hemofiltrasi, jumlah transfusi darah sel darah merah, polineuropati, dan penurunan
penggunaan ventilasi mekanis yang berkepanjangan serta lama perawatan di ruang
intensif. Penggunaan infus insulin-glukosa secara intensif pada pasien infark miokard
akut juga memperbaiki angka kematian jangka panjang. Hal serupa ditemukan pada
pasien stroke. Pasien stroke dengan hiperglikemia ringan sampai sedang yang
mendapatkan infus insulin (GIK) memiliki angka kematian yang lebih kecil
dibandingkan pasien tanpa pemberian infus insulin GIK.14
Sementara itu, perbaikan luaran klinis pada pasien mungkin disebabkan oleh
efek insulin terhadap perbaikan stres oksidatif dan pelepasan berbagai molekul
proinflamasi yang dikeluarkan saat terjadi hiperglikemia akut

12
Mekanisme langsung dan tidak langsung insulin dalam memperbaiki struktur

2.2.5 Jenis-Jenis Insulin

Ditinjau dari asalnya, terdapat jenis insulin manusia dan insulin analog (insulin
yang sudah direkayasa dengan kerja yang lebih baik). Sedangkan bila ditinjau dari
segi kerjanya terdapat insulin kerja pendek (insulin manusia) atau cepat (insulin
analog), kerja menengah (insulin manusia), dan kerja panjang (insulin analog). Bila
ditinjau dari cara penggunaannya, terdapat insulin injeksi dan insulin inhaler.

Insulin Injeksi

Insulin mempunyai molekul yang besar dan hidrofilik sehingga cara terbaik
diserap oleh tubuh adalah melalui suntikan. Berdasarkan cara kerjanya, terdapat
insulin kerja pendek, kerja cepat, kerja menengah, kerja panjang dan juga yang
bersifat campuran. Insulin kerja pendek atau cepat seringkali disebut insulin prandial
karena digunakan untuk menurunkan gula darah setelah makan. Walaupun sebenarnya

13
jika diberikan secara drip intravena dapat digunakan sebagai insulin basal. Sedangkan
insulin kerja menengah dan panjang sering disebut insulin basal karena digunakan
untuk menekan produksi glukosa hati sehingga menurunkan glukosa darah puasa dan
sebelum makan.6
Salah satu contoh insulin kerja cepat yaitu Lispro, Aspart dan Glulisin. Lispro
merupakan insulin analog dari asam amino ke 28 dan 29 (lysine dan proline) dari
rantai B insulin yang telah direkayasa oleh teknologi rekombinan DNA. Sedangkan,
insulin aspart dan insulin glulisin merupakan modifikasi insulin analog dengan sifat
yang serupa dengan lispro. Insulin analog ini memiliki aktivitas biologi secara penuh
namun cenderung untuk self-aggregation, sehingga absorbsi lebih cepat dan onset
kerja serta durasi yang lebih singkat. Semakin pendek durasi kerja juga menurunkan
kejadian hipoglikemik, terutama karena penurunan kerja insulin seiring dengan
penurunan glukosa plasma setelah makan. Jadi, insulin aspart, lispro, ataupun glulisin
lebih disukai daripada insulin reguler. Contoh dari insulin kerja panjang yaitu insulin
glargine merupakan insulin biosintesis manusia kerja jangka panjang, dibandingkan
NPH, insulin glargine memiliki durasi kerja yang lebih lama (24 jam).4
Selain itu, ada juga yang disebut insulin campuran yang berisi campuran antara
insulin kerja pendek dan kerja menengah (insulin manusia) atau insulin kerja cepat
dan kerja menengah (insulin analog) dengan perbandingan antara insulin kerja pendek
atau cepat dan kerja menengah yaitu 25% : 75%.

 Insulin kerja-cepat:
• Digunakan pada waktu makan
• Mulai bekerja dalam 15 menit
• Bekerja maksimal dalam sekitar 1 jam
• Efeknya bertahan hingga 4 jam
• Contoh : glulisine, lispro dan aspart

14
 Insulin reguler atau short-acting :
• Digunakan pada waktu makan
• Mulai bekerja dalam waktu 30 menit
• Bekerja maksimal dalam 2 hingga 3 jam hari, insulin dengan konsentrasi
tinggi (U500) tersedia di pasaran. 3
• Insulin Neutral Protamine Hagedorn (NPH) harus di-resuspensi
(mengaduknya perlahan dengan memutar pen) sebelum digunakan
• Contoh : Humulin R; Novolin R; dan, untuk pompa insulin Velosulin

 Insulin kerja-sedang :
• Digunakan sehari sekali
• Bekerja maksimal 4 hingga 8 jam setelah injeksi
• Efeknya bertahan hingga 18 jam
• Jika diinjeksikan sebelum tidur, insulin akan bekerja maksimal pada dini
hari, yaitu saat insulin paling dibutuhkan
• Contoh : Humulin N dan Novolin N

15
 Insulin kerja-panjang :
• Menurunkan kadar glukosa secara bertahap
• Efeknya dapatbertahan hingga 24 jam
• Contoh : detemir (Levemir) dan glargine (Lantus)

• Ultralong-acting insulin :
o Digunakan sehari sekali
o Efeknya dapat bertahan lebih dari 24 jam
o Contoh : degludec (Tresiba),belum tersedia di Indonesia

 Premixed insulin memiliki kombinasi insulin kerja-sedang dan kerja-cepat


dalam jumlah yang spesifik dalam 1 botol atau pen insulin. Produk ini, seperti
Humulin 70/30, Novolin 70/30, Novolog 70/30, Humulin 50/50, Humalog Mix

16
75/25 dan NovoMix30. Umumnya digunakan 2 atau 3 kali sehari sebelum waktu
makan

Insulin Inhalan

Saat ini ditemukan penyampaian cara terbaru penggunaan insulin yaitu secara
inhalan dan bekerja langsung melalui paru-paru. Karena paru-paru adalah organ
mikrovaskular terbesar, molekul dapat menjangkau alveoli. Distribusi yang efektif
memerlukan partikel yang berdiameter 1µm sampai dengan 5µm.

Interval waktu antara pemberian insulin dan puncak kerjanya menurunkan gula
darah lebih cepat 10 – 20 menit dibandingkan dengan pemberian insulin reguler
secara subkutan dan sama seperti interval pada insulin analog, seperti aspart, glusine
dan lispro. Sehingga insulin inhaler sesuai untuk diberikan secara preprandial.8

Pada September 2006, insulin inhalasi yang disetujui oleh FDA (Food and Drug
Administratio) adalah alat penyemprot yang berisikan bubuk kering yang
diformulasikan dari insulin manusia dengan teknologi rekombinan DNA, contohnya
Exubera. Setiap satu dosis dari insulin yang dihirup dan masuk ke paru-paru, kira-kira
40% dari dosis mencapai paru-paru dalam dan hanya 10% dari dosis yang diserap
oleh tubuh. Hal ini menyebabkan insulin terkonsentrasi pada jaringan alveolus dan
bronkiolus.

Pada suatu penelitian pada tikus, insulin inhalan dapat menginduksi peningkatan
mitosis. Dan pada tahun 2008, FDA menyatakan bahwa Exubera berkaitan dengan
kejadian toksisitas dan keganasan paru-paru.9,10 Besar absorbsi insulin inhalan pada

17
setiap orang dapat berbeda bergantung pada fungsi paru. Sehingga saat ini insulin
inhalan jarang digunakan lagi.

Penggunaan Klinis

Insulin inhalasi mempunyai cara kerja yang cepat, sehingga sangat cocok
digunakan pada saat sebelum makan (bolus) dan tidak cocok digunakan dalam
keadaan basal. Insulin inhalasi sangat cocok digunakan untuk pasien yang mengalami
phobia jarum dan suntikan. Merokok merupakan kontraindikasi dari penggunaan
insulin inhalasi karena pada perokok aktif, absorbsi insulin meningkat. Sebaliknya
pada perokok pasif, absorbsi insulin menurun. Pada pasien dengan PPOK (Penyakit
Paru Obstruksi Kronis), penggunaan insulin inhaler tidak dianjurkan karena absorbi
insulin tidak dapat diprediksi.

Pasien diabetes yang menggunakan insulin inhaler harus memeriksakan kadar


gula darahnya sebelum makan dan melakukan pengukuran kapasitas pernafasan pada
paru (spirometry). Terapi ini tidak bisa dilakukan bila kapasitas volume pernafasan
dalam 1 detik dibawah 70% dari batas normal.

Takaran dosis yang digunakan yaitu 0,05 mg per kilogram berat badan. Insulin
inhalasi mempunyai 2 dosis yaitu 1 mg dan 3 mg, kira-kira sama dengan dosis insulin
injeksi 3 unit dan 8 unit. Satu blister hanya dapat digunakan untuk satu kali inhalasi.
Inhalasi dapat dilakukan berkali-kali jika dosis yang dibutuhkan lebih dari 1 dan 3
mg. Penggunaan dosis 1 mg berbeda dengan 3 mg. Inhalasi yang dilakukan berkali-
kali menggunakan tiga blister yang masing – masing dosisnya 1 mg, lebih cepat
penyerapannya 30% - 40% dibandingkan dengan 1 blister berisi dosis 3 mg. Pasien
tidak dianjurkan mengganti dosis 3 mg dengan tiga buah blister 1 mg.

Cara penggunaan insulin inhaler, yaitu pertama kita membuka alat inhalasi yang dalam keadaan tertutup dengan
memperpanjang chamber, setelah dosis ditentukan kita tepat satu blister yang berisikan bubuk insulin di celah
yang ada di bagian depan alat. Bubuk ini kemudian akan masuk ke dalam chamber, dari luar relihat berwarna
keruh seperti mengembun. Kemudian pasien mencipatakan tekanan udara dengan menekan handle, Ketika alt
aktif, bubuk dilepaskan berbentuk suspnsi menjadi molekul yang kesil, insuin dapat dihirup. Insulin sampai di
paru-paru 5 detik setelah dihirup.

18

Gambar 2.2. Insulin Inhaler


2.2.6. Alur Pemberian Terapi Insulin
2.2.6.1. Diabetes Melitus Tipe 1
Pada pasien ini, ditemukan kekurangan insulin secara mutlak (baik basal
maupun prandial), maka kebutuhan insulin tubuh harus diganti dari luar. Agar
pemberian insulin sesuai dengan pola sekresi insulin endogen, maka pemberian
insulin wajib diberikan multipel yaitu untuk menurunkan kadar glukosa setelah
makan digunakan insulin prandial dan untuk mempertahankan kadar glukosa puasa
atau sebelum makan, diberikan insulin basal.
Berdasarkan Joslin’s Diabetes Mellitus, dosis insulin yang diberikan pada pasien
baru adalah 0.5 unit/kgBB/hari. Kemudian dosis insulin harian total berdasarkan
perhitungan ini, dibagi menjadi 60% yang diberikan dalam bentuk insulin prandial
(selanjutnya dibagi tiga, diberikan sebelum makan pagi, makan siang dan makan
malam) dan 40% bagian diberikan dalam bentuk insulin basal. Insulin basal yang
bekerja intermediet dapat diberikan satu kali pada malam hari atau dua kali yaitu
pada pagi dan malam hari. Sedangkan untuk insulin basal yang bekerja panjang

19
(mendekati 24 jam) dapat diberikan pagi hari. Berikut ini adalah contoh
penghitungan pemberian untuk berat badan 60 kg dari Joslin’s Diabetes Mellitus:11

Hitung Insulin Harian Total (IHT)


0,5 unit x berat badan (kg)
Misalnya, berat badan 60 kg, IHT = 30 unit

Insulin Prandial Total (IPT) Insulin Basal Total


(lispro, aspart, glulisine, reguler) (NPH, glargine)
= 60% dari IHT = 40% dari IHT
(60% x 30 unit = 18 unit) (40% x 30 unit = 12 unit)

Dosis makan pagi Dosis makan siang Dosis makan malam


= 1/3 dari IPT = 1/3 dari IPT = 1/3 dari IPT
(1/3 x 18 unit = 6 unit) (1/3 x 18 unit = 6 unit) (1/3 x 18 unit = 6 unit)

2.2.6.2. Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2)


Tidak semua pasien dengan DMT2 membutuhkan insulin. Hal ini sangat
tergantung derajat glikemik dan kepatuhan pasien dalam melaksanakan prinsip
pengelolaan diet (perbaikan pola hidup disamping konsumsi obat). Berikut adalah
algoritma pengelolaan DM tipe 2 menurut Nathan DM et al:
- Langkah 1 : terapi pola hidup + metformin
- Langkah 2 : pola hidup + metformin + insulin basal
- Langkah 3 : pola hidup + metformin + insulin intensif (basal-plus atau basal-bolus)

Berikut ini akan dibahas mengenai insulin basal, insulin prandial, insulin basal-plus dan
basal-bolus dan insulin premixed.

(i) Insulin basal


Pada keadaan puasa atau sebelum makan, sel beta mensekresi insulin pada
kadar tertentu yang hampir sama sepanjang waktu puasa dan sebelum makan yang

20
disebut insulin basal. Tujuan dari insulin ini adalah untuk mempertahankan kadar
glukosa darah puasa atau sebelum makan selalu dalam batas normal (dibawah 100
mg/dl). Insulin yang dapat digunakan sebagai insulin basal yaitu:
- Insulin NPH manusia (kerja menengah atau intermediet)
- Insulin analog glargine dan determir (kerja panjang)
Berdasarkan Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2011, dosis insulin
basal pada awal pemberiannya adalah 10 unit per hari, yang dapat diberikan saat sebelum
tidur (kerja menengah dan panjang) atau pagi hari (kerja panjang). Cara praktis untuk
penyesuaian dosis insulin basal yaitu:

Kadar glukosa darah puasa Dosis insulin basal


(mg/dl)
< 70 Turunkan dosis 2 unit
70 – 130 Pertahankan dosis
> 130 Naikkan dosis 2 unit setiap 3 hari
> 180 Naikkan dosis 4 unit setiap 3 hari

(ii) Insulin prandial


Pada setiap kali makan, ketika glukosa darah naik akibat asupan dari luar,
dibutuhkan sejumlah insulin yang disekresikan secara cepat oleh sel beta dalam kadar
yang lebih tinggi untuk menekan kadar glukosa darah setelah makan agar tetap dalam
batas normal (tidak lebih dari 140 mg/dl). Konsep ini disebut sebagai insulin prandial
(setelah makan) yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah setelah
makan tetap dalam batas normal.6

(iii) Insulin basal-plus dan basal-bolus


Seperti telah disebutkan diatas, jika sasaran glikemik belum tercapai dalam waktu
2-3 bulan, maka diberikan terapi insulin intensif. Dalam pemahaman ini, insulin
tambahan diberikan untuk memperbaiki kendali glikemik dengan pemberian insulin
prandial. Kondisi ini dikenal dengan nama basal-plus dan basal-bolus.
Yang dimaksud dengan basal-plus adalah penambahan insulin prandial untuk
menurunkan glukosa darah setelah makan ketika pemberian insulin basal dan obat oral
gagal mencapai sasaran glikemik. Insulin prandial dapat diberikan satu, dua atau tiga kali
mengikuti pola makan. Pemberian satu kali insulin prandial, diberikan untuk

21
menurunkan glukosa darah dua jam sesudah makan pada porsi makan yang menaikkan
glukosa darah prandial tertinggi. Dalam praktek sehari-hari, jika kadar glukosa darah
tidak dapat diukur setiap saat, maka insulin prandial ini bisa diberikan pada saat makan
dengan jumlah makanan terbanyak. Jika ada dua kadar glukosa darah setelah makan
yang belum mencapai sasaran, maka insulin prandial dapat diberikan dua kali. Jika
diperlukan pemberian terapi insulin prandial sebanyak tiga kali dalam sehari maka ini
disebut dengan konsep basal-bolus (insulin basal + tiga prandial).
Berdasarkan Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2011, insulin
prandial diberikan dimulai dengan dosis 4 unit dalam 1 hari dan dapat disesuaikan
( dinaikkan dosisnya sebanyak 2 unit) setiap 3 hari jika sasaran glukosa darah setelah
makan belum tercapai. Penggunaan konsep basal bolus ini harus disertai dengan
perencanaan makan yang tepat dan pemantauan glukosa darah yang ketat. Basal bolus
dapat juga digunakan lebih awal pada keadaan tertentu seperti DM tipe 1, kontrol
glukosa darah yang buruk, dimana dibutuhkan penurunan kadar glukosa darah secara
cepat. Berikut akan dijabarkan mengenai langkah-langkah pendekatan terapi pasien
dengan DM tipe 2 dengan konsep insulin basal, basal-plus dan basal-bolus:
1. Terapi pola hidup + obat oral tunggal / kombinasi
2. Insulin basal satu kali dalam satu hari dengan obat oral tetap dilanjutkan
3. Insulin basal + satu kali insulin prandial untuk menurunkan glukosa darah
tertinggi
4. Insulin basal + dua kali insulin prandial untuk menurunkan glukosa darah
tertinggi
5. Insulin basal + tiga kali insulin prandial

(iv) Insulin premixed


Saat ini tersedia beberapa sediaan insulin premixed (insulin campuran antara
insulin kerja pendek/cepat dan kerja menengah; insulin manusia dan analog). Insulin ini
kurang dianjurkan diberikan pada penderita DM tipe 1 karena adanya kesulitan dalam
pengendalian glukosa darah dan kurang fleksibel dalam pengaturan dosis insulin basal
dan prandial sesuai dengan kebutuhan. Hal ini berbeda dengan penderita DM tipe 2 yang
masih memiliki insulin endogen (bukan kekurangan mutlak). Menurut Unnikrishnan et
al, pemberian insulin premixed dapat diberikan pada penderita DM tipe 2 yang gagal
dengan obat oral atau dengan insulin basal.6

22
BAB III

KESIMPULAN

Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan


hiperglikemia akibat defek sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Diabetes melitus
diklasifikasikan menjadi 4 yaitu diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, diabetes
melitus tipe lainnya, dan diabetes melitus gestasional.

Penatalaksanaan diabetes melitus bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup


penderita diabetes. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu pengelolaan secara holistik dengan
edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Insulin merupakan
salah satu intervensi farmakologis yang ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi insulin yang dialami penderita diabetes.1

Pada penderita diabetes melitus, terjadi kekurangan insulin, baik insulin basal maupun
insulin prandial endogen. Berdasarkan konsep ini, sediaan insulin eksogen disesuaikan
dengan kebutuhan seperti halnya pada orang normal, yaitu insulin basal (yang bekerja
menengah atau panjang) dan insulin prandial (yang bekerja pendek/cepat). Insulin basal
eksogen umumnya diberikan sebanyak 1 sampai 2 kali sehari, sedangkan insulin prandial
eksogen diberikan setiap kali sebelum makan.

Ditinjau dari asalnya, terdapat jenis insulin manusia dan insulin analog (insulin yang
sudah direkayasa dengan kerja yang lebih baik). Sedangkan bila ditinjau dari segi kerjanya
terdapat insulin kerja pendek (insulin manusia) atau cepat (insulin analog), kerja menengah
(insulin manusia), dan kerja panjang (insulin analog). Bila ditinjau dari cara penggunaannya,
terdapat insulin oral, insulin injeksi dan insulin inhaler.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan


Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta:2011
2. [WHO] World Health Organization. Diabetes. WHO; 2013. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs138/en/
3. [RISKERDAS] Riset Kesehatan dasar. Kemenkes: Diabetes. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Riskerdas; 2012. Available from:
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/414-tahun-2030-prevalensi-
diabetes-melitus-di-indonesia-mencapai-213-juta-orang.html
4. Powers AC. Diabetes Mellitus. Dalam: Fauci AS., et al, editor. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. Vol 2. 18th Ed. Philadelphia: McGraw Hill. 2012
5. Williams G. Dalam: Warrell DA, Cox TM, Firth JD, Benz EJ editor. Oxford Textbook
of Medicine 4th Ed. Oxford: Oxford. 2003
6. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Melitus.
Jakarta:2011
7. Hirsch IB. Drug Therapy Insulin Analogue. New England Journal of Medicine.
2005;352:174-83
8. McMahon GT, Arky RA. Inhaled Insulin for Diabetes Mellitus. New England Journal
of Medicine. 2007;356(5):497–502.
9. Inhaled Insulin for Diabetes Mellitus. New England Journal of Medicine.
2007;356(20):2106–8.
10. Johnson, Kimball. Inhaled Insulin (August 27, 2012). Available from :
http://diabetes.webmd.com/guide/inhaled-insulin
11. Cheng AYY, Zinman B, Khan CR, et al. (Eds). Joslin’s Diabetes Mellitus. Fourth
Edition. Lipincott Williams & Wilkins. Philadelphia, 2005.
12. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006.
http://penyakitdalam.files.wordpress.com/2014/01/konsensus-pengelolaan-dan
pencegahan-diabetes-melitus-tipe-2-di-indonesia-2006.pdf

24
13. Kusnadi, Y. 2010. Inisiasi dini dan Intensifikasi Terapi Insulin dalam Manajemen
Diabetes Melitus Tipe 2. Subbagian Endokrin Metabolik Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Muhammad Hoesin
Palembang.
14. Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes Melitus. Perkeni. 2011

25

Anda mungkin juga menyukai