Anda di halaman 1dari 8

276 Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, Laporan Kasus

No,2
Diabetes Mellitus dengan Penyulit Kronis
1 2
Endah Purnamasari , Bambang Poerwantoro

Abstract
*Bagian Pat ologi Klinik The term diabetes mellitus describes a metabolic disorder of multiple aetiology
Fakultas Kedokteran Universit as
characterized by chronic hyperglycaemia resulting from defects in insulin secretion,
Yarsi, Jl. Letjen Suprapto
Cempaka Putih Jakart a Pusat insulin action, or both. Diabetes mellitus cause a longterm damage, dysfunction
10510 and failure of various organs. The longterm effects of diabetes mellitus include
macroangiopathy and microangiopathy complications, such as progressive
Correspondence retinopathy with potential blindness, nephropathy that may lead to renal failure, and
dr. Endah Purnam asari, SpPK increased risk of cardiovascular, peripheral vascular and cerebrovascular disease.
Bagian Patologi Klinik Fakult This is a report of a case diabetes mellitus with macroangiopathy and
as Kedokteran Universit as Yarsi,
microangiopathy complications.
Jl. Letjen Suprapto Cempaka
Putih Jakart a Pusat 10510
Keywords : Diabetes mellitus, macroangiopathy,
microangiopathy

Pendahuluan Kesan : Hiperglikemia, hipoalbuminemia,


Diabetes melitus (DM) adalah suatu peningkatan kreatinin serum, proteinuria
kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan dan glukosuria.
keadaan hiperglikemia (Powers, 2001). Diabetes
mellitus bisa disebabkan oleh destruksi sel beta Saran:

pankreas karena proses autoimun atau idiopatik 1. Pemeriksaan HbA1C: perkiraan kadar
yang umumnya menjurus ke defisiensi insulin glukosa rata-rata selama 3 bulan.
absolut, resistensi insulin, defek genetik fungsi 2. Protein urin kuantitatif dan CCT: untuk
sel memastikan diagnosis nefropati.
beta, defek genetik kerja insulin, penyakit 3. Profil lipid (kolesterol total, k-HDL, k-LDL,
eksokrin pankreas, endokrinopati, pengaruh obat trigliserida): sebagai penyaring faktor risiko
atau zat kimia, infeksi, dan sindrom genetik penyulit makroangiopati.
lain. Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi
penyulit akut dan menahun. Penyulit akut yaitu Pada pemeriksaan laboratorium lanjutan dengan
ketoasidosis diabetik (DKA), keadaan hasil sebagai berikut:
hiperosmolar non ketotik (NKH) atau
hipoglikemia. Penyulit menahun dapat berupa
makroangiopati yaitu peningkatan risiko
penyakit arteri koroner, serta mikroangiopati
yaitu nefropati, retinopati, dan neuropati (Perkeni,
2006). Laporan Kasus:
Seorang pria (59 tahun), dirujuk tanpa diagnosis ke
laboratorium Patologi Klinik RSCM untuk
pemeriksaan kimia dan urinalisis.
Hasil laboratorium laboratorium Patologi Klinik
RSCM diperoleh :
Laporan Kasus Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, 277
No,1
Pasien juga menjalani pemeriksaan EKG dan konsul mensupresi produksi dan aktifitas EPO pada stem
ke bagian mata dengan hasil sebagai berikut: cell, sehingga turut berperan dalam menyebabkan
terjadinya anemia normositik normokrom pada
EKG : poor R V1-3 pasien. Selain itu, adanya hematuria kemungkinan
CAD anteroseptal juga menjadi penyebab terjadinya anemia,
Konsul bagian mata : retinopati walaupun hematuria yang terjadi masih dalam
proliferatif
tahap rendah (+1 pada carik celup dan 1-2/LPB).
Terdapat korelasi positif antara beratnya anemia
Diagnosis Kerja: dengan derajat peningkatan ureum, walaupun
1. DM tipe 2
hubungan ini tidak sepenuhnya linear. Bila CCT
2. Nefropati DM
turun di bawah 20 ml/menit, maka biasanya
3. Dislipidemia
4. CAD hematokrit kurang dari
5. Retinopati proliferatif 30%. Hal ini sering terjadi pada ginjal yang
fungsinya sudah menurun.
LED (laju endap darah) yang meningkat
Pembahasan antara lain disebabkan oleh anemia, tingginya kadar
protein plasma terutama fibrinogen dan
Bahan pemeriksaan serum dan urin dari globulin
pasien pria 59 tahun sebelum mendapat data serta dipengaruhi oleh faktor teknis seperti tegak
tambahan dikirim ke laboratorium Patologi Klinik lurusnya tabung westergreen yang digunakan untuk
RSCM tanpa diagnosis klinis untuk pemeriksaan mengukur LED. Pada anemia terjadi penurunan
kimia dan urinalisis. Hasil pemeriksaan didapatkan jumlah eritrosit sehingga merubah rasio eritrosit
urin yang keruh, proteinuria +2, glukosuria +1, plasma, hal ini mempermudah terbentuknya
protein total dan albumin yang rendah, kreatinin rouleaux yang akhirnya mempercepat LED. Jumlah
darah tinggi, serta kadar glukosa darah (puasa dan leukosit yang tinggi biasanya berkaitan dengan
2 jam PP) tinggi. Dari hasil ini diperkirakan proses inflamasi atau infeksi. Walaupun pada
pasien menderita diabetes melitus dengan pasien ini tidak dijumpai adanya tanda inflamasi
komplikasi nefropati diabetik. seperti peningkatan suhu, kemungkinan sudah
Setelah mendapat data tambahan dari terjadi inflamasi pada membran glomerulus.
laboratorium didapatkan Hb rendah, LED Pada pasien ini, semua kriteria untuk
meningkat, jumlah lekosit tinggi, glukosa darah menegakkan diagnosis nefropati diabetik sudah
puasa dan 2 jam PP tinggi, A1C tinggi, ureum terpenuhi, yaitu proteinuri kuantitatif >0,5 g/24 jam,
dan kreatinin darah tinggi, protein total dan albumin DM, retinopati diabetik, dan proteinuri dalam 2 kali
rendah, protein kuantitatif urin meningkat, kadar pemeriksaan dengan interval 2 minggu (tanggal 3
profil lipid yang abnormal (tinggi), dan Creatinine dan 12 september 2007). Pada pasien ini kadar
Clearance Test (CCT) yang rendah. Data tersebut ureum dan kreatinin serum yang meningkat serta
memastikan diagnosis DM tipe 2 dengan CCT yang menurun (28,38 ml/mnt) menandakan
komplikasi nefropati diabetik dan hiperlipidemia manifestasi klinis sudah sampai pada derajat 4 yaitu
yang terkait DM. Keluhan penglihatan berkurang komplikasi berat. Tahapan nefropati diabetik pasien
yang membuat pasien datang berobat ke RSCM ini juga sudah sampai pada tahap 4.
kemungkinan besar merupakan komplikasi Protein total dan albumin darah yang rendah
mikroangiopati dari DM yang dideritanya. disebabkan peningkatan ekskresi protein
Kadar glukosa darah puasa dan 2 jam PP melalui
pasien ini pada 2 kali pemeriksaan yaitu pada urin, terutama albumin. Pada orang normal, ekskresi
tanggal 31 Agustus dan 3 september 2007 protein lewat urin < 150 mg/hari, dan albumin hanya
memastikan diagnosis diabetes melitus, yaitu < 30 mg/hari. Pada pasien ini, ekskresi protein
glukosa puasa 240 dan 287mg/dL ( 126 mg/dL) lewat urin sangat tinggi, yaitu 9555 mg/24 jam,
serta glukosa darah 2 jam PP 258 dan 263mg/dL sehingga
( mengakibatkan berkurangnya kadar protein total
200 mg/dL). Berdasarkan kadar GDP, GDPP, dan
dan albumin darah. Hipoalbuminemia menyebabkan
HbA1C pasien ini, maka kriteria pengendalian DM menurunnya tekanan onkotik plasma, sehingga
termasuk kategori cairan berpindah dari kapiler dan sel ke ruang
buruk. interstitial Hal ini didukung data pemeriksaan fisik
Kadar Hb yang rendah (12,3 g/dL - 11,6 g/dL) yang menyebutkan adanya edema pada kedua
kemungkinan disebabkan karena berkurangnya ekstremitas. Proteinuria > 3500 mg/hari
produksi Eritropoietin (EPO), suatu hormon menunjukkan kerusakan membran basalis
penstimulasi eritropoiesis yang dihasilkan oleh glomerulus yang sudah cukup luas. Keadaan ini
ginjal. EPO dihasilkan oleh fibroblast peritubuler dapat menyebabkan terjadinya hematuria karena sel
korteks ginjal. Pada nefropati diabetik, kerusakan darah dapat lolos melalui barier membran
tidak hanya terjadi pada glomerulus tetapi juga glomerulus yang rusak. Pada pasien ini didapatkan
pada adanya hematuri +1 dari pemeriksaan carik celup
fibroblast peritubuler sehingga produksi EPO dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskopis
terganggu. Pasien ini juga mempunyai obesitas urin yang menunjukkan data adanya eritrosit 1-
sentral dimana jaringan adiposa mengeluarkan 2/LPB.
sitokin misalnya TNF- dan IL-6. Sitokin ini bersifat
278 Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, Laporan Kasus
No,1
Penyulit mikroangiopati yang merupakan (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait
keluhan utama pasien ini dan mendorongnya dengan resistensi
berobat ke rumah sakit adalah retinopati diabetik
yang sering terjadi pada pasien yang menderita DM
lebih dari lima tahun. Konsul dari bagian mata
menyebutkan adanya retinopati diabetik proliferatif.
Kriteria pengendalian DM dari PERKENI
menyebutkan bahwa DM terkendali dengan baik
jika
kolesterol total < 200 mg/dL, k-LDL < 100 mg/dL, k-
HDL > 40 mg/dL, dan trigliserida < 150 mg/dL,
sedang jika kolesterol total 200-239 mg/dL, k-
LDL
100-129 mg/dL, k-HDL 35-45 mg/dL, dan trigliserida
150-199 mg/dL, serta buruk jika kolesterol total
240 mg/dL, k-LDL 130 mg/dL, k-HDL <35 mg/dL,
dan trigliserida 200 mg/dL Pada pasien ini
didapatkan kadar kolesterol total 285 mg/dL,
trigliserida 198
mg/dL, kolesterol HDL 76 mg/dL, dan kolesterol
LDL
158 mg/dL. Pola lipid ini menggambarkan adanya
hiperlipidemia tanpa penurunan HDL dan masuk ke
dalam kriteria pengendalian DM yang buruk. Perlu
disarankan pemeriksaan sdLDL untuk
mendiagnosis adanya dislipidemia. Adanya riwayat
hipertensi dan data EKG yang menunjukkan
kelainan makin mendukung diagnosis penyulit
makroangiopati
berupa Coronary Artery Disease
(CAD).
Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok
penyakit metabolik yang ditandai dengan keadaan
hiperglikemia (Powers, 2001). Menurut PERKENI,
DM dapat diklasifikasikan menjadi 4 tipe yaitu DM
tipe 1, tipe 2, tipe lain dan gestasional. DM tipe 1
disebabkan oleh destruksi sel beta pankreas
sehingga umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut. Destruksi sel beta bisa terjadi karena
proses autoimun atau idiopatik. DM tipe 2 bervariasi
mulai yang terutama dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
terutama defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin. DM tipe lain bisa disebabkan karena defek
genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pancreas, endokrinopati,
pengaruh obat atau zat kimia, infeksi, sebab
imunologi yang jarang, dan sindrom genetik lain
yang berkaitan dengan DM. DM gestasional adalah
intoleransi glukosa yang timbul selama kehamilan
(Perkeni, 2006).
Menurut Perkeni (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia), orang dengan faktor risiko DM dibawah
ini memerlukan pemeriksaan penyaring DM:
1. Usia > 45 tahun.
2. Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23
2
kg/m , yang disertai dengan:
kebiasaan fisik tidak aktif, turunan pertama dari
orang tua dengan DM, riwayat melahirkan bayi
dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau riwayat
DM- gestasional, hipertensi (> 140/90 mmHg),
kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida >
250 mg/dl, menderita polycystic ovarial syndrome
278
insulin, adanya riwayat Majalah Kesehatan
toleransi PharmaMedika
glukosa yang , 2011 gangguan
terjadi Vol,3, pada proses lain yangLaporan Kasus
tergantung
No,1
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa insulin seperti mitogenesis, sintesis protein, dan
terganggu (GDPT) sebelumnya dan memiliki pembentukan trigliserida pada sel lemak
riwayat penyakit kardiovaskular (Perkeni, 2006). (Kidson,
DM tipe 2 adalah suatu keadaan hiperglikemi 2002).
kronik dengan etiologi yang kompleks, yang Pada awalnya sekresi insulin meningkat
timbul sebagai respons terhadap pengaruh genetik sebagai respon terhadap resistensi insulin untuk
dan lingkungan. Kelainan yang karakteristik pada menjaga toleransi glukosa yang normal. Selanjutnya
DM tipe terjadi gangguan sekresi sehingga jumlah insulin
2 adalah resistensi insulin perifer, gangguan sekresi menjadi lebih rendah dibanding orang normal pada
insulin, dan peningkatan produksi glukosa konsentrasi glukosa plasma yang sama.
hepatik. Obesitas, khususnya obesitas sentral
Penyebab terjadinya gangguan sekresi insulin
atau visceral merupakan keadaan yang umum
dijumpai pada DM tipe 2 (Powers, 2001). masih belum
Resistensi insulin adalah penurunan respon jelas, tapi diduga ada pengaruh dari faktor genetik.
jaringan terhadap efek insulin pada Hiperglikemia kronik dikatakan dapat mengganggu
metabolisme fungsi sel beta pankreas dengan cara memicu
glukosa, yaitu berupa penurunan ambilan apoptosis sel beta melalui mekanisme
glukosa glukotoksisitas, dimana glukotoksisitas dapat
pada jaringan otot dan lemak, penurunan meningkatkan reactive oxygen species (ROS)
pembentukan glikogen hati, dan peningkatan sebagai konsekuensi dari meningkatnya
produksi glukosa hati. (Powers, 2001). Mekanisme metabolisme glukosa pada sel beta, meningkatkan
molekuler resistensi insulin secara detail masih kalsium intraseluler sampai konsentrasi yang
belum diketahui jelas, tapi kemungkinan mekanisme sitotoksik, dan mengakibatkan peningkatan sintesis
post-reseptor insulin mempunyai peran yang granul protein pada sel beta termasuk pro- insulin
dominan. Polimorfisme pada insulin receptor dan pro-islet amyloid associated peptide (proIAPP)
substrate-1 (IRS- yang dapat memicu stres retikulum endoplasma.
1) dihubungkan dengan intoleransi glukosa.
Pada DM tipe 2 terjadi penurunan progresif jumlah
Defek
sel beta sebagai akibat meningkatnya apoptosis
pada jalur phosphotidyl inositol-3 kinase (PI-3
sel beta yang melebihi proses replikasi dan
kinase) juga diduga sebagai salah satu faktor yang
neogenesis sel beta. Pada kondisi normal sekitar
menyebabkan penurunan translokasi GLUT4 ke
0,5% sel beta mengalami apoptosis tetapi diimbangi
membran plasma, sehingga terjadi gangguan
dengan replikasi dan neogenesis. Seiring dengan
pada ambilan glukosa ke dalam sel tetapi tidak
pertambahan usia,
Laporan Kasus Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, 279
No,1
jumlah sel beta juga akan menurun karena proses 8% atau lebih, sedangkan glukosa darah terkontrol
apoptosis melebihi replikasi dan neogenesis. Hal ini bila HbA1c kurang dari 7% menurut American
menjelaskan mengapa orang tua lebih rentan Diabetes Association (ADA) atau kurang dari 6,5%
terhadap kejadian DM tipe 2 (Rhodes, 2005). menurut American Association of Clinical
Gejala klasik DM adalah poliuria, polidipsia, Endocrinologist (AACE) (Mathur, 2004). Sedangkan
polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak menurut Perkeni, kriteria pengendalian DM adalah
dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat baik jika glukosa darah puasa 80-109 mg/dL,
berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, glukosa 2 jam PP 110-159 mg/dL, dan HbA1c 4-
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae 5,9%, sedang jika glukosa darah puasa 110-139
pada mg/dL, glukosa 2 jam PP 160-199 mg/dL, dan
wanita (Perkeni, 2006). Pemeriksaan glukosa HbA1c 6-8%, serta buruk jika glukosa darah puasa
plasma puasa merupakan pemeriksaaan yang
paling tepat dan dapat dipercaya untuk 140 mg/dL, glukosa 2 jam PP 200 mg/dL, dan
mendiagnosis DM pada individu yang HbA1c >8% (Perkeni,
asimptomatik. Sedangkan pemeriksaan glukosa 2006).
plasma sewaktu dapat digunakan untuk Ureum dan kreatinin merupakan dua petanda
mendiagnosis DM pada penderita yang yang umum digunakan untuk memperkirakan
mempunyai gejala klasik (polifagi, polidipsi, Glomerulus Filtration Rate (GFR), tetapi
poliuri, dan penurunan berat badan). pemeriksaan ureum kurang tepat karena beberapa
Pemeriksaan toleransi glukosa oral tidak alasan, diantaranya adalah karena kadar ureum
direkomendasikan untuk tes rutin walaupun tidak hanya dipengaruhi oleh fungsi ginjal tetapi
merupakan mekanisme yang valid untuk juga oleh produksinya yang berasal dari asupan
mendiagnosis DM (Powers, 2004). Tes Toleransi protein dan ureum direabsorbsi oleh tubulus.
Glukosa Oral (TTGO) dilakukan bila pasien Kreatinin serum menjadi petanda yang paling
mempunyai gejala klasik serta pada pemeriksaan banyak digunakan karena kreatinin merupakan zat
glukosa darah puasa yang kedua kali endogen yang dihasilkan secara konstan, disaring
menunjukkan hasil < 126 mg/dL dan glukosa darah dengan bebas di glomerulus dan tidak direabsorbsi
sewaktu yang kedua < 200 mg/dL. TTGO juga oleh tubulus. Perhitungan GFR yaitu berbanding
dilakukan bila pasien tidak mempunyai gejala lurus dengan ekskresi kreatinin urin dan berbanding
klasik serta hasil glukosa darah puasa 110-125 terbalik dengan kreatinin serum, sehingga GFR
mg/dL dan glukosa darah sewaktu 110-199 mg/dL akan turun secara proporsional dengan peningkatan
(Powers, 2001). Kriteria diagnosis DM menurut kreatinin serum (Powers, 2004). Bersihan suatu zat
WHO dan Perkeni adalah: (Powers, 2004;Perkeni, adalah volum plasma yang sudah dibersihkan
2006). dari zat tersebut yang sebanding dengan
1. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah ekskresinya di urin. Nilai rujukan bersihan
sewaktu >200 mg/dL (11,1 mmol/L), atau kreatinin (Creatinine
2
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah Clearance Test = CCT) adalah 97 ml/mnt/1,73 m
2 2
puasa >126 mg/dL (7,0 mmol/L), atau 137 ml/mnt/1,73m pada2 pria dan 88 ml/mnt/1,73m
3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO 128 ml/mnt/1,73m pada wanita. Secara
>200 mg/dL (11,1 mmol/L) laboratorium, CCT menggambarkan GFR. Menurut
Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI),
Pada pasien yang mempunyai gejala klasik DM, terdapat 5 manifestasi klinis berdasarkan GFR,
bila hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 yaitu derajat 1 dengan GFR 90 ml/mnt
mg/dL atau glukosa darah puasa >126 mg/dL, maka menggambarkan
diagnosis DM bisa langsung ditegakkan (hanya kerusakan awal beberapa kelainan ginjal misalnya
memerlukan 1 kali pemeriksaan), tetapi bila tidak nefrotik sindrom dan tubular sindrom, derajat 2
ada gejala klasik, glukosa darah sewaktu >200 dengan GFR 60-89 ml/mnt menggambarkan adanya
mg/dL atau glukosa darah puasa >126 mg/dL, maka komplikasi ringan, derajat 3 GFR 30-59 ml/mnt
pemeriksaan ini harus diulang sekali lagi. Bila hasil menggambarkan komplikasi sedang, derajat 4 GFR
pemeriksaan glukosa darah sewaktu tetap 15-29 ml/mnt menggambarkan komplikasi berat,
menunjukkan >200 mg/dL atau glukosa darah puasa derajat 5 GFR < 15 ml/mnt menggambarkan sudah
>126 mg/dL, barulah diagnosis DM dapat terjadinya uremia dan penyakit
kardiovaskular
ditegakkan. Jadi, pasien yang tidak mempunyai
(K/DOQI, 2002).
gejala klasik memerlukan minimal 2 kali
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi
pemeriksaan untuk didiagnosis DM (Powers, 2001).
penyulit akut dan menahun. Penyulit akut yaitu
HbA1c merupakan pengukuran kadar glukosa darah
ketoasidosis diabetik (DKA), keadaan hiperosmolar
yang terikat pada Hb secara kuat dan beredar
non ketotik (NKH) atau hipoglikemia. Penyulit
bersama eritrosit selama masa hidup eritrosit (120
menahun dapat berupa makroangiopati,
hari). Keuntungan dari pengukuran HbA1c adalah
mikroangiopati dan neuropati (Perkeni, 2006).
didapatkannya perkiraan kadar glukosa darah rata-
Nefropati diabetik didefinisikan sebagai
rata selama 3 bulan, karena disimpulkan terdapat
peningkatan
korelasi langsung antara kadar HbA1c dan kadar
ekskresi albumin urin yang tidak disebabkan oleh
glukosa darah rata-rata selama 3 bulan. Glukosa penyakit ginjal lain atau secara klasik ditandai
darah tidak terkontrol bila HbA1c mencapai dengan adanya protein urin >0,5 g/24 jam (Gross,
2005). Pada orang normal, ekskresi protein
lewat urin < 150 mg/hari, dan albumin
280 Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, Laporan Kasus
No,1
hanya < 30 mg/hari (Powers, 2004). Batasan lain yang mengalami mikroalbuminuria tapi
dari nefropati diabetik didasarkan pada pengukuran filtrasi
ekskresi protein total yang melebihi 0,5 g/24 jam
dalam 3 periode pengukuran. Bila ada ekskresi
protein melebihi 0,5 g/24 jam, besar kemungkinan
DM sudah berlangsung 8-10 tahun. Menurut Pusat
Diabetes dan Nutrisi Surabaya, diagnosis nefropati
diabetik dapat ditegakkan dengan kriteria: adanya
DM, retinopati diabetik, dan proteinuria dalam 2 kali
pemeriksaan dengan interval 2 minggu (Soewanto,
1994). Nefropati diabetik terjadi pada 30
40%
pasien DM, dan diabetes merupakan penyebab
utama terjadinya end-stage renal disease (ESRD).
Meskipun dahulu risiko komplikasi ginjal pada
pasien DM tipe 2 dianggap lebih kecil daripada DM
tipe 1, tetapi saat ini terdapat begitu banyak bukti
bahwa
risiko nefropati yang mengarah ke penyakit
ginjal stadium akhir pada DM tipe 2 sama dengan
DM tipe
1. Risiko nefropati sangat kuat kemungkinan
ditentukan oleh genetik, yang dikaitkan dengan
tempat kromosom tertentu. Gen yang terlibat belum
dapat diidentifikasi (Ritz,
1999).
Onset dan perkembangan penyakit ginjal yang
disebabkan DM sangat bervariasi. Sebelum
timbul
gejala klinik dari nefropati diabetik, ginjal penderita
DM mengalami perubahan fungsional maupun
morfologis. Kelainan morfologi ginjal timbul
sesudah
2-5 tahun sejak diagnosis DM ditegakkan.
Perubahan fungsional awalnya meliputi peningkatan
GFR dan ekskresi protein. Kerusakan pada
pembuluh darah kecil di ginjal menyebabkan
terjadinya kebocoran protein lewat urin. GFR pada
mulanya meningkat di atas 20-30% dari normal, dan
ekskresi protein yang intermitten makin lama
menetap dan bertambah berat. GFR akhirnya akan
turun dan penderita jatuh dalam gagal ginjal tahap
akhir. Ginjal kehilangan kemampuannya untuk
membersihkan dan menyaring darah sehingga
akhirnya pasien seringkali harus menjalani dialisis
untuk membuang produk buangan toksik dari darah
(Mathur, 2004). Gagal ginjal timbul sekitar lebih
dari
5 tahun sejak timbulnya proteinuria (Soewanto,
1994).
Akhir-akhir ini sudah diketahui adanya
kemampuan prediksi dari ekskresi albumin di urin
yang seringkali tanpa disertai proteinuria yang
disebut mikroalbuminuria (MAu) dalam meramal
timbulnya nefropati diabetik.
Batasan
mikroalbuminuria adalah bila laju ekskresi albumin
urin 20-200 g/mnt atau 30 300 mg/24 jam pada 2
dari 3 pemeriksaan (Soewanto, 1994; Ritz, 1999),
Hasil tes ini tidak dapat diinterpretasikan
dengan tepat bila ada faktor pengganggu, misalnya
infeksi saluran kemih, demam, hiperglikemia yang
tidak terkontrol, hipertensi, dan gagal jantung
kongestif. Untuk konfirmasi maka harus
diperiksa
laju ekskresi albumin dalam urin kumpulan
semalam. Hasil yang mengarah ke nefropati
diabetik bila albumin urin >20 g/menit. Pasien DM
280
glomerulusnya Majalah Kesehatan
belum terganggu PharmaMedika,ditemukan
tetap mempunyai Laporan Kasus
2011 Vol,3, adanya hipertrofi dan hiperfungsi ginjal
risiko tinggi No,1
terhadap penyulit ginjal. dengan GFR yang meningkat. Tahap 2 didapatkan
Makroalbuminuria adalah ekskresi albumin urin lesi glomerulus dan GFR yang meningkat tapi
200 g/menit atau 300 mg/24 jam. (Ritz, masih asimtomatik. Tahap 3 (nefropati diabetik
1999). awal/insipien) dengan kelainan utama adanya
Penyaring adanya mikroalbuminuria pada mikroalbuminuria dan GFR menurun. Tahap 4
pasien DM tipe 2 harus dilakukan pada saat (nefropati diabetik klinik) ditandai dengan
diagnosis ditegakkan dan dilanjutkan setiap tahun. makroalbuminuria atau bila ada ekskresi
Meskipun mikroalbuminuria diyakini sebagai faktor proteinuria lebih dari 0,5 g/24 jam, dan terdapat
risiko untuk makroalbuminuria, tetapi dengan penurunan GFR. Biasanya nefropati diabetik
kontrol tekanan darah dan kadar glukosa darah klinik ini akan
yang baik, pasien dapat menunjukkan perbaikan terjadi setelah menderita DM 10-15 tahun. Tahap 5
menjadi normoalbuminuria. Pengukuran albumin adalah GGK dengan GFR <25 ml/menit.
urin dilakukan dengan menggunakan sampel urin Peningkatan albuminuria dan penurunan GFR
sewaktu atau urin pertama pagi hari. Nilai abnormal pada nefropati diabetik awal bersifat reversibel,
harus dikonfirmasi dalam 2 3 kali pengukuran sedangkan pada nefropati diabetik klinik bersifat
selama 3 6 bulan (Gross, 2005). irreversibel (Harun, 2003).
Walaupun mikroalbuminuria merupakan Penyulit mikroangiopati lainnya adalah
landasan pertama untuk mendiagnosis nefropati retinopati diabetik yang sering terjadi pada
diabetik, tetapi penelitian dari National Health and pasien
Nutrition Examination Survey III (NHANES III) yang menderita DM lebih dari lima tahun.
menyebutkan bahwa 30% pasien DM tipe 2 Kerusakan pembuluh darah kecil di belakang mata
2
mempunyai GFR yang rendah (< 60 ml/mnt/1,73m ) menyebabkan kebocoran protein dan darah di
tanpa mikro atau makroalbuminuria. Hal ini retina. Kerusakan pembuluh darah kecil juga
mungkin berhubungan dengan adanya kelainan seringkali menyebabkan terbentuknya
parenkim ginjal selain glomerulosklerosis diabetik mikroaneurisma dan neovaskularisasi yang rapuh.
klasik. Oleh karena itu, GFR dan mikroalbuminuria Perdarahan spontan pada pembuluh darah baru
harus rutin diperiksa untuk menyaring nefropati yang rapuh tersebut menyebabkan jaringan parut
diabetik secara tepat (Gross, 2005). dan pelepasan retina sehingga akhirnya terjadi
Peneliti lain menyebutkan ada 5 tahap
gangguan penglihatan (Mathur, 2004).
perkembangan nefropati diabetik. Tahap 1
Laporan Kasus Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, 281
No,1
Coronary Artery Disease (CAD) atau penyakit Flier JS. 2001. Obesity. Di dalam: Braunwald E, Fauci A,
jantung koroner yang diderita pasien ini merupakan editor. Harrison's principles of internal
penyulit makroangiopati. Terjadinya CAD sangat medicine. Edisi ke-15. New York: McGraw-Hill.
erat kaitannya dengan masalah dislipidemia yang hlm. 2152 -
menempati urutan teratas diantara faktor risiko CAD. 80.
(Suhadi, 1994). Pada DM tipe 2 karena resistensi Gross JL, Canani LH, Caramori ML. 2005. Diabetic
insulin akan terjadi dislipidemia yaitu Nephropathy: Diagnosis, Prevention,
and
peningkatan kolesterol LDL, peningkatan Treatment. Diabetes Care. 28:164 -
trigliserida, penurunan kolesterol HDL, dan. adanya 75.
small dense LDL yang bersifat lebih aterogenik, Harun A, Immanuel S. 2003. Tinjauan Laboratorik
sehingga pasien akan berisiko terkena penyakit Kasus
kardiovaskular karena aterosklerosis (Flier, 2001). Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Komplikasi.
Pada keadaan resistensi insulin, enzim hormon Jakarta: Departemen patologi Klinik Fakultas
sensitive lipase akan bekerja lebih aktif sehingga Kedokteran Universitas Indonesia
Kidson W. 2002. Insulin Resistance: Is testing
terjadi lipolisis trigliserida intraseluler yang berakibat worthwhile? Commonsense pathology.11:1-
terbentuknya asam lemak yang berlebihan. Asam 5
lemak bebas yang banyak ini akan memasuki Mathur R. 2004. Diabetes Mellitus.
sirkulasi darah, sebagian akan digunakan sebagai http:// www.diabetesmellit us.org
sumber energi dan sebagian lagi akan dibawa ke NKF K/DOQI Guidelines. 2002. K/DOQI Clinical Practice
hati sebagai bahan baku pembentukan trigliserida Guidelines for Chronic Kidney Disease:
hati dan menjadi bagian dari VLDL. Oleh karena Evaluation, Classification, and
itu, VLDL yang terbentuk pada keadaan resistensi Stratification.
insulin akan sangat kaya dengan trigliserida http:// www.kidne y.org/professionals/kdoqi/guide l
i nes_ckd/toc.htm
sehingga disebut VLDL kaya trigliserida atau VLDL Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2006. Konsensus
besar (enriched triglyseride VLDL = large VLDL). Di Pengelolaan dan Pencegahan diabetes melitus
dalam sirkulasi, trigliserida pada VLDL besar akan tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB. Perkeni. hlm.
dilipolisis oleh enzim lipoprotein lipase sehingga 4-
menghasilkan LDL yang kaya trigliserida tetapi 11
kurang kolesterol (cholesterol ester depleted LDL). Powers A. 2001. Diabetes Mellitus. Di dalam: Braunwald
Trigliserida pada LDL akan dihidrolisis oleh enzim E, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Longo D,
hepatic lipase yang juga meningkat pada keadaan Jameson J, editor. Harrison's principles
resistensi insulin sehingga menghasilkan LDL yang of internal medicine. Edisi ke-15. New York:
McGraw-Hill. hlm. 2109 - 37.
kecil-padat (small dense LDL). Partikel sdLDL ini Powers AC. 2004. Diabetes Mellitus. Di dalam:
mudah teroksidasi sehingga sangat aterogenik Braunwald E, Fauci A, editor. Harrison's
(Budiono, 2006). principles of internal medicine. Edisi ke-16.
New York: McGraw-Hill. hlm. 2152 - 80.
Simpulan Rhodes CJ.
Pasien yang dirujuk ke laboratorium Patologi 2005. Type 2 diabetes - a matter of beta cell
Klinik RSCM tanpa diagnosis menunjukkan hasil life
laboratorium yang mengarah ke diabetes melitus and death? Science. 307:380-
dengan kecurigaan adanya penyulit nefropati 3
diabetik. Setelah didapat data tambahan, baik Ritz E, Orth SR. 1999. Nephropathy in Patients with Type
2 Diabetes Mellitus. Massachusetts
berupa anamnesis, pemeriksaan fisik maupun hasil Medical
pemeriksaan laboratorium lainnya, disimpulkan Society 341:1127 - 32.
bahwa pasien menderita diabetes mellitus tipe 2 Soewanto. 1994. Nefropati Diabetik: Patogenesis,
yang tidak terkontrol dengan penyulit mikroangiopati Klasifikasi, dan Terapi. Di dalam:
berupa nefropati diabetik tahap 4 dan retinopati Tjokroprawiro A, Hendromartono, Sutjahjo A,
diabetik serta penyulit makroangiopati berupa Tandra J, editor. Naskah Lengkap Simposium
Coronary Artery Disease (CAD). Nasional Diabetes dan Lipid. Surabaya: Pusat
Diabetes dan Nutrisi RSUD Dr. Sutomo FK
Daftar Pustaka Unair. hlm 73-81
Suhadi FB. 1994. Di dalam: Dislipidemia Klasifikasi dan
Diagnosis. Di dalam: Tjokroprawiro A,
Budiono B. 2006. Sindroma metabolik dan penyakit
Hendromartono, Sutjahjo A, Tandra J, editor.
kardiovaskuler. Di dalam: Adam JMF, editor.
Naskah Lengkap Simposium Nasional Diabetes
Obesitas dan sindroma metabolik. Bandung;.
dan Lipid. Surabaya: Pusat Diabetes dan
hlm.
Nutrisi RSUD Dr. Sutomo FK Unair. hlm 223-42
118-29
Elghetany MT, Banki K. 2007. Erythrocytic Disorder.
Di dalam: Abraham NZ, Bluth MH, editor.
Henry's clinical Diagnosis and Management by
Laboratory Methods. Edisi ke-21. Philadelphia:
Saunders Elseviers. hlm. 504-42.

Anda mungkin juga menyukai