Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN KASUS

DOKTER INTERNSHIP

SEORANG WANITA UMUR 37 tahun DENGAN KRISIS HIPERGLIKEMIA SUSP


KAD dan ISK, AKI serta HIPOKALEMI

Disusun oleh:
Nama : dr. Muhamad Dacil K P
Wahana : RSUD Ambarawa
Tanggal : 15 Agustus 2018

Dokter Staf Ahli Bagian Penyakit Dalam


Dr. Alex Santana, Sp.PD

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA


KABUPATEN SEMARANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Nama: dr. Muhamad Dacil K P


Judul: SEORANG WANITA UMUR 37 tahun DENGAN KRISIS HIPERGLIKEMIA SUSP
KAD dan ISK, AKI, serta HIPOKALEMI

Topik : Penyakit dalam

Ambarawa, Agustus 2018


Dokter pembimbing I Dokter pembimbing II

dr. Kemalasari dr. Pratiknyo


Mengetahui,
Dokter Staf Ahli Penyakit Dalam

dr. Alex Santana, Sp.PD

2
BERITA ACARA PRESENTASI LAPORAN KASUS
Pada tanggal 15 Agustus 2018 telah dipresentasikan laporan kasus oleh:
Nama : dr. Muhamad Dacil K P
Judul : SEORANG WANITA UMUR 37 tahun DENGAN KRISIS
HIPERGLIKEMIA SUSP KAD dan ISK, AKI serta HIPOKALEMI
Topik : Penyakit dalam
Wahana : RSUD AMBARAWA
No Nama Tanda Tangan
1 dr. Alex Santana, Sp.PD
2 dr. Kemalasari
3 dr. Pratiknyo
4 dr. Dwi Lestari
5 dr. Atika Widya Syariati
6 dr. Muhammad Dacil Kurniawan Prabawa
7 dr. Nariswari Putri Wiyandhini
8 dr. Winda Wahyu Ikaputri
9 dr. Ayu
10 dr. Ajeng
11 dr. Stela
12 dr. Septi
13 dr. Iga
14 dr. Chusna
15 dr. Chelia
16
17
18

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Glukosa adalah sumber energi utama yang digunakan sel-sel tubuh untuk
menghasilkan ATP. Gangguan keseimbangan glukosa akan sangat berpengaruh
terhadap enegi yang dihasilkan. Pada tahap berikutnya, hal tersebut akan
mengganggu fungsional sel-sel tubuh. Jenis sel tertentu, seperti sel otak bahkan
sangat tergantung terhadap ketersediaan glukosa. Kegagalan metabolisme sel-sel
otak akibat gangguan keseimbangan glukosa ini dapat menyebabkan kerusakan
yang permanen hingga kerusakan yang mengancam jiwa.
Kondisi hipoglikemia atau hiperglikemia keduanya sama-sama berbahaya,
hanya saja tubuh lebih bisa mentoleransi keadaan hiperglikemia daripada
hipoglikemia. Meskipun demikian, kadar glukosa yang terlalu tinggi yang disertai
dengan gagalnya kompensasi tubuh dapat pula bersifat lethal. Ketoasidosis diabetik
(KAD) adalah komplikasi akut diabetes mellitus yang berbahaya. Prevalensi KAD
di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 4,6-8 per 1000 penderita diabetes, dengan
mortalitas <5% atau sekitar 2-5%. Menurut data Riskesdas 2013, sebanyak 29,9 %
penduduk Indonesia mengalami gula darah toleransi glukosa darah terganggu
(TGDT), dimana mayoritas penderita lebih banyak dialami penduduk pedesaan
daripada perkotaan dan sebanyak 6,9 % penduduk Indonesia mengalami DM
(Riskesdas, 2013). Angka tersebut dapat lebih besar karena faktanya lebih dari
50% penderita DM di Indoensia masih underdiagnosis (Perkeni, 2015). Hal
tersebut menunjukan bahwa potensi kejadian KAD di Indonesia juga akan
sebanding dengan jumlah penderita DM, terlebih masih banyak penderita DM yang
masih belum terdiagnosis.
Oleh karena itu, penguasaan kasus KAD sangat diperlukan tidak hanya di
level spesialistik, namun juga ditahap generalis agar dapat melakukan tatalaksana
awal yang akan sangat bermakna dalam menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas pada pasien KAD.
.

4
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memperoleh informasi tentang manajemen pasien dengan krisis hiperglikemi
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui penegakan diagnosis krisis hiperglikemi
b. Mengetahui penatalaksanaan kegawatdaruratan krisis hiperglikemi di Instalasi
Gawat Darurat
c. Mengetahui penatalaksanaan lebih lanjut pasien dengan krisis hiperglikemia.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ketoasidosis Diabetik
1. Definisi
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah kondisi dekompensasi metabolik
akibat defisiensi insulin absolut atau relatif yang merupakan komplikasi akut
diabetes dan merupakan kegawatdaruratan yang berpotensial mengancam jiwa.
Secara klinis KAD didefinisikan apabila gula darah > 250 mg/dL, bikarbonat < 15
mEq/L, pH < 7.35, ketonemia dan peningkatan anion gap (Dods, 2013).
2. Regulasi Fisiologis Keseimbangan Glukosa

Insulin dan glukagon adalah dua hormon utama yang berperan dalam
regulasi glukosa dalam darah. Insulin berperan penting dalam metabolisme
karbohidrat, protein dan lipid. Insulin menurunkan kadar glukosa, asam amino, dan
asam lemak dalam darah dengan cara meningkatkan ambilan seluler dan konversi
menjadi bentuk cadangan energi seperti glikogen, protein, dan trigliserid (Sheerwood
L, 2016)
a. Efek insulin terhadap karbohidrat
Produk akhir pemecahan karbohidrat adalah molekul
glukosa. Intake karbohidrat akan menaikan cepat kadar glukosa
dalam darah. Insulin yang disekresikan akan menurunkan kadar
gula dalam darah melalui 4 mekanisme utama :
 Insulin memfasilitasi transportasi glukosa kedalam sel

 Memacu proses glikogenesis

 Menghambat proses glikogenolisis

 Menghambat proses glukoneogenesis

b. Efek insulin terhadap lemak
 Meningkatkan ambilan asam lemak kedalam sel adiposa

 Meningkatkan reseptor GLUT4 di sel adiposa. Setelah
simpanan glikogen di liver cukup (5-6%), sisa glukosa
dalam hepar akan dialokasikan untuk pembentukan asam
lemak. Glukosa terlebih dahulu dirubah menjadi piruvat
oleh piruvat kinase, selanjutnya berturut-turut akan diubah

6
menjadi asetil KoA dan malonil KoA. Malonil KoA adalah
molekul utama untuk tahap awal pembentukan asam lemak.
c. Efek insulin terhadap protein
 Insulin membantu meningkatkan ambilan asam amino
menuju jaringan otot dan jaringan-jaringan lain

 Menstimulasi sel untuk menghasilkan protein

 Menghambat degradasi protein.
(Sheerwood L, 2016 ; Hall J, 2011)
3. Patofisiologi KAD

KAD disebabkan oleh kondisi tubuh yang mengalami defisiensi insulin


relatif atau absolut dan tubuh memberikan respon kontraregulator berupa
pengeluaran hormon-hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan IGF (Dan
Longo et al, 2011). Keempat hormon tersebut bersifat antagonistik terhadap insulin.
Glukagon dihasilkan oleh sel alfa pancreas yang berfungsi meningkatkan proteolisis,
mentransportasi asam amino yang dihasilkan menuju hepar, dan mengubah asam
amino menjadi precursor glukosa saat proses gluconeogenesis. Sementara insulin
bekerja dengan memasukan asam amino kedalam sel dan mencegah pemecahan
protein (Guven et al, 2009). Katekolamin dihasilkan oleh sel adrenal sebagai respon
terhadap stress. Katekolamin bekerja dengan menstimulasi lipolisis dijaringan
adiposa, menurunkan sekresi insulin, dan meningkatkan glikogenolisis dan
gluconeogenesis . Kortisol bekerja antagonis dengan insulin dengan cara memacu
gen transkripsi enzim katabolic pada sel-sel ekstrahepatal. Kortisol juga
menstimulasi gluconeogenesis di hepar (Michal, 2012). GH berperan dalam
memobilisasi asam lemak untuk digunakan sebagai bahan bakar dan menghambat
ambilan glukosa oleh insulin di sel-sel perifer (Guven et al, 2009) .
Untuk terjadi KAD, harus terdapat defisiensi insulin dan peningkatan
tajam glukagon. Penurunan rasio insulin terhadap glukagon meningkatkan
glukoneogenesis, glikogenolisis, dan pembentukan badan keton di hepar. Kondisi
tersebut juga disertai dengan peningkatan pengiriman substrat (asam lemak bebas
dan asam amino) dari jaringan lemak dan otot menuju hepar (Dan Longo et al,
2011).
Insulin defisiensi dan hiperglikemia menurunkan kadar fructose-2,6-
biphosphatase di hepar, yang mana akan merubah aktivitas enzim
phosphofructokinase dan fructose-1,6-biphosphatase. Kelebihan glukagon
menurunkan aktivitas enzim pyruvate kinase, sementara insulin defisiensi
meningkatkan aktivitas phosphoenolpyruvate carboxykinase. Pergeseran perubahan
7
ini menyebabkan piruvat lebih banyak melakukan sintesis glukosa dan menekan
glikolisis. Peningkatan kadar glukagon dan katekolamin yang disertai dengan kadar
insulin yang rendah mendorong proses glikogenolisis. Defisiensi insulin juga
menurunkan kadar transpoter glukosa GLUT 4. Hal tersebut akan mengganggu
ambilan glukosa ke otot skelet dan lemak serta menurunkan metabolism intraseluler.
Ketosis dihasilkan dari peningkatan asam lemak bebas yang lepaskan dari
sel adiposit sehingga menyebabkan pergerseran menuju dominan pembentukan
badan keton di hepar. Penurunan kadar insulin dengan kombinasi peningkatan
katekolamin dan hormon pertumbuhan, meningkatkan lipolisis dan pelepasan asam
lemak bebas. Dalam kondisi normal, asam lemak bebas ini akan dirubah menjadi
trigliserid atau VLDL di liver. Namun demikian, pada kondisi KAD,
hiperglukagonemia merubah metabolisme hepatik menjadi lebih kearah
pembentukan badan keton melalui aktivasi enzim carnitine palmitoyl transferase I
(CPT1). Pada keadaan kadar insulin normal, enzim ini akan dihambat. Acetyl CoA
akan diubah menjadi malonyl CoA dalam keadaan insulin cukup. Malonyl CoA akan
menghambat kerja CPT1. Enzim CPT1 ini penting dalam meregulasi transpor asam
lemak menuju mitokondria sel hepar untuk dioksidasi. Hasil oksidasi asam lemak di
mitokondria sel hepar adalah asetil-KoA. Karena insulin mengalami defisiensi,
asetil-KoA akan mengalami konsendasi menjadi asam asetoasetat. Asam asetoasetat
ini selanjutnya akan memasuki sirkulasi dan dapat digunaakn oleh sel-sel perifer
(kecuali otak) untuk bahan metabolism dengan cara mengubahnya kembali menjadi
asetil-KoA (Mumme L, 2015). Namun disaat yang sama, terjadi efek paradoks yakni
penurunan insulin akan menyebabkan penurunan penggunaan asam aseoasetat oleh
sel-sel perifer. Akibatnya kadarnya dalam darah meningkat tajam (Gambar 1).

8
Gambar 1. Peningkatan tajam asam asetoasetat dalam darah setelah pengambilan
pankreas (tubuh tidak memproduksi insulin) (Hall J, 2011)
Asam asetoasetat yang terlalu banyak dalam darah sebagian akan
dikonversi menjadi betahidroksibutirat dan aseton (Gambar 2). Ketiganya ini disebut
dengan badan keton. Keton dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif sel-sel
yang tidak memiliki mitokondria maupun sel otak (Harvey, 2010), namun sekali lagi
dalam keadaan defisiensi insulin, penggunaan keton oleh jaringan perifer menurun
sementara pembentukan meningkat. Ketidak seimbangan ini menyebabkan ketosis.

Gambar 2. Konversi asam asetoasetat menjadi betahidroksibutirat dan aseton


Ketosis akan menyebabkan asidosis metabolik karena kadar asam keton
yang terlalu banyak melampui kapatias bikarbonat dalam darah. Pada tahap ketosis
ini, asam beta-hidroksibutirat dan asetoasetat dieliminasi tubuh melalui ginjal
bersama dengan natrium dan kalium serta meninggalkan hidrogen tetap dalam
sirkulasi sehingga konsentrasinya meningkat dan terjadi asidosis (Harvey, 2010).

9
Gambar 3. Mekanisme ketoasidosis secara skematis

10
Pada pH fisiologis, badan keton berbentuk asam keton yang akan
dinetralkan oleh bikarbonat. Ketika cadangan bikarbonat menurun, asidosis
metabolic terjadi. Peningkatan produksi laktat juga berperan terhadap asidosis.
Peningkatan asam lemak bebas meningkatkan trigliserid dan produksi VLDL.
VLDL klirens menurun karena aktivitas lipoprotein lipase sensitif insulin di otot
dan lemak menurun (Dan Longo, 2011).
Pasien dengan diabetes (terutapa DM tipe 1) akan mengalami diuresis
osmotik yang juga akan berdampak terhadap konsentrasi elektrolit dalam plasma.
Ketonemia menyebabkan ketonuria, kalium dan natrium juga akan dikeluarkan
lewat urin bersama keton karena keduanya adalah ion counter-nya. Namun kadar
kalium ini bisa saja masih normal karena peningkatan lipolIsis dan proteolIsis
sehingga kalium intraseluler keluar (Dods, 2013).
4. Manifestasi Klinis

Gejala yang paling sering pada pasien dengan ketoasidosis diabetik adalah
polidipsi dan poliuri. Beberapa gejala yang dapat ditemui pada ketoasidosis
diabetik adalah (Soewondo, 2009):
 Malaise
 Mual dan muntah, dapat disertai nyeri perut
 Sesak napas
 Perubahan kesadaran pasien

11

5. Terapi Cairan IV

Terapi cairan

Tentukan status
hidrasi

Syok
Hipovolemi Berat Hipovolemi Kardiogenik
RIngan

Berikan 0.9% Evaluasi serum Monitor


NaCl (1.0 L/jam) Na+ hemodinamik

Serum Na-
+
Serum Na rendah
normal

0.45% NaCl (250- 0.9% NaCl


500 ml/jam) (250-
tergantung status 500ml/jam)
hidrasi tergantung

Serum glukosa mencapai 200 mg/dL (KAD) atau


300 mg/dL
(SHH) ganti menjadi 5% dextrose dengan 0.45%
NaCl 150-250 ml/jam

12
Insulin
Insulin merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD. Pemberian
insulin intravena kontinyu lebih disukai karena waktu paruhnya pendek dan
mudah dititrasi. Dari beberapa studi prospektif dengan randomisasi didapatkan
bahwa pemberian insulin regular dosis rendah intravena merupakan cara efektif
dan terpilih. Jika dosis insulin intravena yang diberikan sekitar 0,1-1,15
unit/jam, maka sebenarnya tidak diperlukan insulin bolus di awal. Dengan
pemberian insuin intravena dosis rendah diharapkan terjadi penurunan glukosa
plasma dengan kecepatan 50-100mg/dl setiap jam sampai glukosa turun ke
sekitar 200 mg/dl, lalu kecepatan insulin diturunkan menjadi 0,02-0,05
unit/kgBB/jam. Jika glukosa sudah berada sekitar 150-200 mg/dl maka
pemberian infus dekstrose dianjurkan untuk mencegah hipoglikemia (Kitabchi,
2009).
Transisi insulin ke subkutan
Setelah krisis hiperglikemia teratasi dengan pemberian insulin intravena
dosis rendah, maka langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa KAD sudah
memasuki fase resolusi dengan kriteria gula darah kurang dari 200 mg/dl dan
dua dari keadaan berikut ; serum bikarbonat lebih atau sama dengan 15 mEq/l,
pH vena >7,3, dan anion gap hitung kurang atau sama dengan 12 mEq/l.
Agar tidak terjadi hiperglikemia atau KAD berulang maka sebaiknya
penghentian insulin intravena dilakuakan 2 jam setelah suntikan subkutan
pertama. Asupan nutrisi merupakan pertimbangan penting saat transisi ke
subkutan, jika pasien masih puasa karena sesuatu hal atau asupan masih sangat
kurang maka lebih baik insulin intravena diteruskan. Jika pasien sudah
terkontrol regimen insulin tertentu sebelum mengalami KAD, maka pemberian
insulin dapat diberikan ke regimen awal dengan tetap mempertimbangkan
kebutuhan insulin pada keadaan terkahir. Pada pasien yang belum pernah
mendapatkan insulin, maka pemberian injeksi subkutan terbagi lebih
dianjurkan. Jika kebutuhan insulin masih tinggi maka regimen basal bolus akan
lebih menyerupai insulin fisiologis dengan risiko hipoglikemia lebih rendah.

13
insulin

Rute IV (KAD dan SHH)


()

0,1 U/kgbb 0,15 U/kgbb/


Bolus IV jam/IV drip insulin

0,1 U/kgbb/ jam/IV


drip insulin

Jika glukosa serum tidak turun 10%


dalam 1 jam pertama berikan 0,14
u/kg bolus IV, lanjut dengan Rx
sebelumnya

KAD SHH

Jika serum glukosa Jika serum glukosa


mencapai 200 mencapai 300
mg/dl kurangi infus mg/dl kurangi infus
menjadi 0,02-0,05 insulin menjad
U/kg/jam IV atau 0,02- 0,05 U/kg/jam
berikan rapid acting IV. Jaga serum
insulin 0,1 U/kg SC glukosa diantara
tiap 2 jam. Jaga 200-300 mg/dL
serum gluksa sampai pasien sadar
diantara 150/200
mg/dl sampai
reaolusi KAD

Periksa elektrolit, pH darah, kreatinin dan glukosa tiap 2-4 jam


sampai stabil. Setelah resolusi KAD atau SHH dan pasien dapat
makan, berikan multidosis SC insulin regimen. Untuk transfer
dari IV ke SC, lanjutkan infus insulin IV selama 1-2 jam setelah
insulin SC mencapai level insulin plasma yang adekuat.

14
Kalium
Sejatinya pasien KAD akan mengalami hiperkalemia melalui
mekanisme asidemia, defisiensi insulin, dan hipertonisitas. Jika saat masuk
kalium pasien normal atau rendah, maka sesungguhnya terdapat defisiensi
kalium yang berat di tubuh pasien sehingga butuh pemberian kalium yang
adekuat karena terapi insulin akan menurunkan kalium lebih lanjut. Monitoring
jantung perlu dilakukan pada keadaan tersebut agar tidak terjadi aritmia. Untuk
mencegah hypokalemia maka pemberian kalium sudah dimulai saat kadar
kalium di sekitar batas atas nilai normal (Kitabchi, 2009).

Kalium

Fungsi Ginjal
adekuat (urin output
50ml/jam)

K < 3 mEq/L K >5 mEq/L

K+ = 3-5 mEq/L

Berikan 20-30 mEq K+ tiap liter cairan IV untuk menjag K+ serum antara 4-5 mEq/L

Bikarbonat
Jika asidosis memang murni karena KAD, maka koreksi bikarbonat
tidak direkomendasikan diberikan rutin, kecuali jika pH darah kurang dari 6,9.
Hanya saja pada keadaan dengan ganguan fungsi ginjal yang signifikan
seringkali sulit membedakan apakah asidosisnya karena KAD atau karena
gagal ginjalnya. Efek buruk dari koreksi bikarbonat yang tidak pada tempatnya
adalah meningkatnya risiko hypokalemia, menurunnya asupan oksigen

15
jaringan, edema serebri, dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal (Kitabchi,
2009).

Bikarbonat

pH ≥ 6,9 pH < 6,9

Tidak 100 mmol dlm 400 ml H2O


HCO3 + 20 mEq KCL infus selama
2 jam

Ulangi tiap 2 jam sampai pH ≥ 7.


Monitoring serum K tiap 2 jam

Fosfat
Meskipun sering terjadi hipofosfatemia pada KAD, serum fosfat sering
ditemukan dalam keadan normal atau meningkat saat awal. Kadar fosfat akan
menurun dengan pemberian insulin. Dari beberapa studi tidak ditemukan
manfaat yang bermakna pemberian fosfat pada KAD, bahkan pemberian fosfat
yang berlebihan akan mencetuskan hipokalsemia berat. Pada keadaan
konsentrasi serum fosfat kurang dari 1mg/dl dan disertai dengan disfungsi
kardiak, anemia, atau depresi napas akibat kelemahan otot, maka kondisi fosfat
menjadi pertimbangan penting (Soewondo, 2009).
6. Komplikasi

Komplikasi tersering adalah hipoglikemia, hipokalemia, dan hiperglikemia


berulang. Hiperkloremia juga sering didapatkan hanya saja tidak membutuhkan
terapi khusus. Komplikasi yang lain yang juga harus menjadi perhatian adalah
kelebihan cairan, termasuk edema paru, sehingga pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal dan gagal jantung, pemberian cairan dimodifikasi sesuai dengan
risiko terjadinya kelebihan cairan. Hal lain yang jarang mendapatkan pengawasan
adalah komplikasi edema cerebri, walaupun jarang dapatkan pada usia dewasa.
Keadaan ini tetap harus menjadi perhatian jika mendapatkan pasien KAD yang

16
tidak membaik dengan terapi standar bahkan memburuk. Pada keadaan ini
evaluasi neurologis mutlak diperlukan (Soewondo, 2009).
7. Pencegahan

Edukasi merupakan hal utama pada pencegahan KAD, karena untuk


sampai ke keadaan KAD tentu melalui proses dekompensasi metabolik yang
berkepanjangan dan membutuhkan waktu. Ketosis merupakan keadaan sebelum
terjadinya KAD sehingga jika kita menemukan di fase ketosis biasanya keadaan
klinisnya lebih ringan dan pengelolaannya lebih mudah. Beberapa strategi
pencegahan KAD seperti(Soewondo,2009) :
 Edukasi tentang diabetes pada pasien dan keluarga
 Monitoring gula darah secara terstruktur
 Memantau keton dan beta-hidroksibutirat
 Suplementasi insulin kerja singkat saat perlu
 Mengurangi, tetapi bukan menghentikan insulin, saat pasien tidak makan.

8. Prognosis
Umumnya pasien membaik setelah diberikan insulin dan terapi standar
lainnya, jika komorbid tidak terlalu berat. Biasanya kematian pada pasien KAD
adalah karena penyakit penyerta berat yang datang pada fase lanjut. Kematian
meningkat seiring dengan meningkatnya usia dan beratnya penyakit penyerta
(Soewondo, 2009).

B. Infeksi Saluran Kemih


1. Definisi
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah yang digunakan untuk
menunjukkan bakteriuria patogen dengan colony forming units per mL CFU/ ml
urin > 105, dan lekositouria >10 per lapangan pandang besar, disertai manifestasi
klinik
2. Epidemologi dan Etiologi
Menurut penelitian, hampir 25-35% perempuan dewasa pernah mengalami
ISK selama hidupnya. Prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih sering ditemukan
pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah (School girls) 1% meningkat

17
menjadi 5 % selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik
meningkat mencapai 30% pada laki-laki dan perempuan jika disertai faktor
predisposis.
Pada umumnya ISK disebabkan oleh mikroorganisme (MO) tunggal seperti:
 Eschericia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien
dengan ISK simtomatik maupun asimtomatik
 Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33%
ISK anak laki-laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp dan Stafilokokus
dengan koagulase negatif
 Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus jarang dijumpai,
kecuali pasca kateterisasi
3. Klasifikasi
Berdasarkan letak anatomi, ISK digolongkan menjadi:
 Infeksi Saluran Kemih Atas
Infeksi saluran kemih atas terdiri dari pielonefritis dan pielitis.
Pielonefritis terbagi menjadi pielonefritis akut (PNA) dan pielonefritis kronik
(PNK). Istilah pielonefritis lebih sering dipakai dari pada pielitis, karena
infeksi pielum (pielitis) yang berdiri sendiri tidak pernah ditemukan di klinik.
Pielonefritis akut (PNA) adalah radang akut dari ginjal, ditandai primer
oleh radang jaringan interstitial sekunder mengenai tubulus dan akhirnya
dapat mengenai kapiler glomerulus, disertai manifestasi klinik dan bakteriuria
tanpa ditemukan kelainan radiologik. PNA ditemukan pada semua umur dan
jenis kelamin walaupun lebih sering ditemukan pada wanita dan anak-anak.
Pada laki-laki usia lanjut, PNA biasanya disertai hipertrofi prostat.
Pielonefritis Kronik (PNK) adalah kelainan jaringan interstitial (primer)
dan sekunder mengenai tubulus dan glomerulus, mempunyai hubungan
dengan infeksi bakteri (immediate atau late effect) dengan atau tanpa
bakteriuria dan selalu disertai kelainan-kelainan radiologi. PNK yang tidak
disertai bakteriuria disebut PNK fase inaktif. Bakteriuria yang ditemukan
pada seorang penderita mungkin berasal dari pielonefritis kronik fase aktif
atau bakteriuria tersebut bukan penyebab dari pielonefritis tetapi berasal dari
saluran kemih bagian bawah yang sebenarnya tidak memberikan keluhan atau

18
bakteriuria asimtomatik. Jadi diagnosis PNK harus mempunyai dua kriteria
yakni telah terbukti mempunyai kelainan-kelainan faal dan anatomi serta
kelainan-kelainan tersebut mempunyai hubungan dengan infeksi bakteri. Dari
semua faktor predisposisi ISK, nefrolithiasis dan refluks vesiko ureter lebih
memegang peranan penting dalam patogenesis PNK. Pielonefritis kronik
mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan tau infeksi sejak
masa kecil. Pada PNK juga sering ditemukan pembentukan jaringan ikat
parenkim.
 Infeksi Saluran Kemih Bawah
Infeksi saluran kemih bawah terdiri dari sistitis, prostatitis dan epidimitis,
uretritis, serta sindrom uretra. Presentasi klinis ISKB tergantung dari gender.
Pada perempuan biasanya berupa sistitis dan sindrom uretra akut, sedangkan
pada laki-laki berupa sistitis, prostatitis, epidimitis, dan uretritis.
Sistitis terbagi menjadi sistitis akut dan sistitis kronik. Sistitis akut adalah
radang selaput mukosa kandung kemih (vesika urinaria) yang timbulnya
mendadak, biasanya ringan dan sembuh spontan (self-limited disease) atau
berat disertai penyulit ISKA (pielonefritis akut). Sistitis akut termasuk ISK
tipe sederhana (uncomplicated type). Sebaliknya sistitis akut yang sering
kambuh (recurrent urinary tract infection) termasuk ISK tipe berkomplikasi
(complicated type), ISK jenis ini perlu perhatian khusus dalam
pengelolaannya.
Sistitis kronik adalah radang kandung kemih yang menyerang berulang-
ulang (recurrent attact of cystitis) dan dapat menyebabkan kelainan-kelainan
atau penyulit dari saluran kemih bagian atas dan ginjal. Sistitis kronik
merupakan ISKB tipe berkomplikas, dan memerlukan pemeriksaan lanjutan
untuk mencari faktor predisposisi.
Sindrom uretra akut (SUA) adalah presentasi klinis sistitis tanpa
ditemukan mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis abakterialis
karena tidak dapat diisolasi mikroorganisme penyebabnya. Penelitian terkini
menunjukkan bahwa SUA disebabkan oleh MO anaerobik.

19
4. Manifestasi klinis
Pada pielonefritis akut (PNA), sering ditemukan panas tinggi (39.5°C-
40,5°C), disertai menggigil dan sakit pinggang. Pada pemeriksaan fisik diagnostik
tampak sakit berat, panas intermiten disertai menggigil dan takikardia. Frekuensi
nadi pada infeksi E.coli biasanya 90 kali per menit, sedangkan infeksi oleh kuman
staphylococcus dan streptococcus dapat menyebabkan takikardia lebih dari 140
kali per menit. Ginjal sulit teraba karena spasme otot-otot. Distensi abdomen
sangat nyata dan rebound tenderness mungkin juga ditemukan, hal ini
menunjukkan adanya proses dalam perut, intra peritoneal. Pada PNA tipe
sederhana (uncomplicated) lebih sering pada wanita usia subur dengan riwayat
ISKB kronik disertai nyeri pinggang (flank pain), panas menggigil, mual, dan
muntah. Pada ISKA akut (PNA akut) tipe complicated seperti obastruksi, refluks
vesiko ureter, sisa urin banyak sering disertai komplikasi bakteriemia dan syok,
kesadaran menurun, gelisah, hipotensi hiperventilasi oleh karena alkalosis
respiratorik kadang-kadang asidosis metabolik.
Pada pielonefritis kronik (PNK), manifestasi kliniknya bervariasi dari
keluhan-keluhan ringan atau tanpa keluhan dan ditemukan kebetulan pada
pemeriksaan urin rutin. Presentasi klinik PNK dapat berupa proteinuria
asimtomatik, infeksi eksaserbasi akut, hipertensi, dan gagal ginjal kronik (GGK).
Manifestasi klinik pada sistitis akut dapat berupa keluhan-keluhan klasik
seperti polakisuria, nokturia, disuria, nyeri suprapubik, stranguria dan tidak jarang
dengan hematuria. Keluhan sistemik seperti panas menggigil jarang ditemukan,
kecuali bila disertai penyulit PNA. Pada wanita, keluhan biasanya terjadi 36-48
jam setelah melakukan senggama, dinamakan honeymoon cystitis. Pada laki-laki,
prostatitis yang terselubung setelah senggama atau minum alkohol dapat
menyebabkan sistitis sekunder.
Pada sistitis kronik, biasanya tanpa keluhan atau keluhan ringan karena
rangsangan yang berulang-ulang dan menetap. Pada pemeriksaan fisik mungkin
ditemukan nyeri tekan di daerah pinggang, atau teraba suatu massa tumor dari
hidronefrosis dan distensi vesika urinaria.
Manifestasi klinis sindrom uretra akut (SUA) sulit dibedakan dengan
sistitis. Gejalanya sangat miskin, biasanya hanya disuri dan sering kencing.

20
5. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis
 Analisis urin rutin
Pemeriksaan analisa urin rutin terdiri dari pH urin, proteinuria
(albuminuria), dan pemeriksaan mikroskopik urin.
Urin normal mempunyai pH bervariasi antara 4,3-8,0. Bila bahan urin
masih segar dan pH >8 (alkalis) selalu menunjukkan adanya infeksi saluran
kemih yang berhubungan dengan mikroorganisme pemecah urea (ureasplitting
organism). Albuminuria hanya ditemukan ISK. Sifatnya ringan dan kurang dari
1 gram per 24 jam.
Pemeriksaan mikroskopik urin terdiri dari sedimen urin tanpa putar
(100 x) dan sedimen urin dengan putar 2500 x/menit selama 5 menit.
Pemeriksaan mikroskopik dengan pembesaran 400x ditemukan bakteriuria
>105 CFU per ml. Lekosituria (piuria) 10/LPB hanya ditemukan pada 60-85%
dari pasien-pasien dengan bakteriuria bermakna (CFU per ml >105). Kadang-
kadang masih ditemukan 25% pasien tanpa bakteriuria. Hanya 40% pasien-
pasien dengan piuria mempunyai bakteriuria dengan CFU per ml >105. Analisa
ini menunjukkan bahwa piuria mempunyai nilai lemah untuk prediksi ISK.
Tes dipstick pada piuria untuk deteksi sel darah putih. Sensitivitas
100% untuk >50 leukosit per HPF, 90% untuk 21-50 leukosit, 60% untuk 12-
20 leukosit, 44 % untuk 6-12 leukosit. Selain itu pada pemeriksaan urin yang
tidak disentrifuge dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopik secara langsung
untuk melihat bakteri gram negatif dan gram positif. Sensitivitas sebesar 85 %
dan spesifisitas sebesar 60 % untuk 1 PMN atau mikroorganisme per HPF.
Namun pemeriksaan ini juga dapat mendapatkan hasil positif palsu sebesar
10%.
 Uji Biokimia
Uji biokimia didasari oleh pemakaian glukosa dan reduksi nitrat
menjadi nitrit dari bakteriuria terutama golongan Enterobacteriaceae. Uji
biokimia ini hanya sebagai uji saring (skrinning) karena tidak sensitif, tidak
spesifik dan tidak dapat menentukan tipe bakteriuria.

21
 Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yaitu dengan Colony Forming Unit (CFU)
ml urin. Indikasi CFU per ml antara lain pasien-pasien dengan gejala ISK,
tindak lanjut selama pemberian antimikroba untuk ISK, pasca kateterisasi, uji
saring bakteriuria asimtomatik selama kehamilan, dan instrumentasi. Bahan
contoh urin harus dibiakan lurang dari 2 jam pada suhu kamar atau disimpan
pada lemari pendingin. Bahan contoh urin dapat berupa urin tengah kencing
(UTK), aspirasi suprapubik selektif.
Interpretasi sesuai dengan kriteria bakteriura patogen yakni CFU per
ml >105 (2x) berturut-turut dari UTK, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai
lekositouria > 10 per ml tanpa putar, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai
gejala klinis ISK, atau CFU per ml >105 dari aspirasi supra pubik. Menurut
kriteria Kunin yakni CFU per ml >105 (3x) berturut-turut dari UTK..
 Renal Imaging Procedures
Renal imaging procedures digunakan untuk mengidentifikasi faktor
predisposisi ISK, yang biasa digunakan adalah USG, foto polos abdomen,
pielografi intravena, micturating cystogram dan isotop scanning. Investigasi
lanjutan tidak boleh rutin tetapi harus sesuai indikasi antara lain ISK kambuh,
pasien laki-laki, gejala urologik (kolik ginjal, piuria, hematuria), hematuria
persisten, mikroorganisme jarang (Pseudomonas spp dan Proteus spp), serta
ISK berulang dengan interval ≤6 minggu.

6. Terapi
 Infeksi saluran kemih atas (ISKA)
Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut (PNA) memerlukan rawat
inap untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotik parenteral minimal 48
jam. Indikasi rawat inap pada PNA antara lain kegagalan dalam
mempertahankan hidrasi normal atau toleransi terhadap antibiotik oral, pasien
sakit berat, kegagalan terapi antibiotik saat rawat jalan, diperlukan investigasi
lanjutan, faktor predisposisi ISK berkomplikasi, serta komorbiditas seperti
kehamilan, diabetes mellitus dan usia lanjut.

22
The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga
alternative terapi antibiotic IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam, sebelum
adanya hasil kepekaan biakan yakni fluorokuinolon, amiglikosida dengan atau
tanpa ampisilin dan sefalosporin spektrum luas dengan atau tanpa
aminoglikosida.
 Infeksi saluran kemih bawah (ISKB)
Prinsip manajemen ISKB adalah dengan meningkatkan intake cairan,
pemberian antibiotik yang adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatik untuk
alkanisasi urin dengan natrium bikarbonat 16-20 gram per hari.
Pada sistitis akut, antibiotika pilihan pertama antara lain nitrofurantoin,
ampisilin, penisilin G, asam nalidiksik dan tetrasiklin. Golongan sulfonamid
cukup efektif tetapi tidak ekspansif. Pada sistitis kronik dapat diberikan
nitrofurantoin dan sulfonamid sebagai pengobatan permulaan sebelum diketahui
hasil bakteriogram.

C. Acute Kidney Injury (AKI)

1. Definisi
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga
minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel,
diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/
tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Acute Dialysis Quality Initia-
tive (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada
tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah
renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam,
sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat
menggambarkan patologi gangguan ginjal (Markum, 2009).
Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut (AKI)
harus mencakup: 1) sebuah assessment penyebab yang berkontribusi dalam cedera
ginjal, 2) penilaian terhadap perjalanan klinis termasuk komorbiditas, 3) penilaian
yang cermat pada status volume, dan 4) langkah-langkah terapi yang tepat yang
dirancang untuk mengatasi atau mencegah memburuknya fungsional atau

23
struktural abnormali ginjal. Penilaian awal pasien dengan AKI klasik termasuk
perbedaan antara prerenal, renal, dan penyebab pasca-renal.
2. Klasifikasi Etiologi dan Pathofisiologi
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang
terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan
LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal
dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal.

Tabel 1. Perbandingan antara kriteria diagnosis RIFLE dan AKIN.

RIFLE GFR Criteria Urine output criteria


Criteria
Class

R-Risk Creatinin increa x 1,5 or GFR loss > 25% 0,5 < ml/kg/hour > 6
hours

I-Injury Creatinin increa x 2 or GFR loss > 50% 0,5 < ml/kg/hour > 12
hours

F-Failure Creatinin increase x 3 or GFR loss > 75% 0,5 < ml/kg/hour > 12
Creatinin increase x 4 mg/dl (acute increase >0,5 hours
mg/dl)

L-Loss Persistent loss of kidney function >4weeks

E-ESKD ESKD > 3 months

AKIN Serum Creatinin Criteria Urine Output criteria


Ceriteria
Stage

1 Creatinin increase x 1,5 or creatinine 0,5 < mg/kg/hour x >6 hours


increase > 0,3 mg/dl

2 Creatinine increase x 2 0,5 < mg/kg/hour x >12 hours

24
3 Creatinin increase x 3 or creatinine 0,5 < mg/kg/hour x >24 hours
increase > 4 mg/dl (acute increase > 0,5 or Anuria > 12 hours
mg/dl

Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis


AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa
menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2)
penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal
(AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi
saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat
tergantung dari tempat terjadinya AKI.

Patogenesis AKI adalah kompleks. Iskemia dan toxin merupakan faktor


utama yang memicu cedera, dan meskipun kejadian awal mungkin berbeda,
respon cedera berikutnya kemungkinan melibatkan jalur yang sama. Sebagai
contoh, AKI oleh karena iskemia disebabkan oleh penurunan aliran darah
ginjal dibawah batas autoregulasi aliran darah. Berbagai tanggapan molekul
yang "maladaptif" dan stereotip kemudian terjadi. Respon ini menyebabkan
cedera sel endotel dan epitel setelah timbulnya reperfusi. Faktor-faktor
patogen seperti vasokonstriksi, leukostasis, vascular congestion , apoptosis,
dan kelainan pada modulator kekebalan tubuh dan faktor pertumbuhan telah
membentuk dasar rasional terapi intervensi (Brenner, 2000)
Patofisiologi

GGA dapat dibagi menjadi 3 bagian besar, antara lain :


1. GGA pre-renal.
Penyebab GGA pre-renal adalah hipoperfusi ginjal. Hipoperfusi
ginjal dapat disebabkan karena hipovolemia atau menurunnya volume
sirkulasi yang efektif. Pada GGa pre-renal integritas jaringan ginjal masih
terpelihara sehingga prognosis dapat lebih baik apabila factor penyebab
dapat dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi ginjal tidak berhasil

25
maka akan timbul GGA renal berupa nekrosis Tubular Akut (NTA) karena
iskemik. Keadaan ini dapat timbul akibat bermacam-macam penyakit. Pada
kondisi ini fungsi otoregulasi ginjal akan berupaya mempertahankan
tekanan perfusi, melalui mekanisme vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan
normal, aliran darah gunjal dan LFG relative konstan, diatur oleh suatu
mekanisme yang disebut otoregulasi.
GGA pre-renal disebabkan oleh hipovolemia, penurunan volume
efektif intravaskuler seperti pada sepsis dan gagal jantung serta disebabkan
oleh gangguan hemodinamik intra renal seperti pada pemakaian anti
inflamasi non steroid, obat yang menghambat angiotensin dan pada tekanan
darah yang akan mengaktifasi baroreseptor kardiovaskuler yang selanjutnya
mengaktifasi system saraf simpatis, system rennin-angiotensin serta
merangsang pelepasan vasopressin dan endhotelin -1 (ET1), yang
merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan
curah jantung serta perfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme
otoregulasi mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus.
Dengan vasodilatasi arteriol aferen yang di pengaruhi oleh reflex miogenik
serta prostaglandin dan nitric oxide., serta vasokontriksi arteriol afferent
yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin –II (A-II) dan ET-1.
Mekanisme ini bertujuan untuk mempertahankan homeostasis intrarenal.
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata <70 mmHg) serta
berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka mekanisme otoregulasi
tersebut akan terganggu, dimana arteroid aferen mengalami vasokontriksi ,
terjadi kontraksi mesangial dan peningkatan reabsorpsi Na+ dan air.
Keadaan ini disebut pre-renal atau GGA fungsional, dimana belum terjadi
kerusakan structural dari ginjal. Penanganan terhadap penyebab hipoperfusi
ini akan memperbaiki homeostasis intra-renal menjadi normal kembali.
Otoregulasi ginjal bisa di pengaruhi beberapa obat seperti ACE/ARB,
NSAID, terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar
serum kreatinin mg/dl sehingga dapat terjadi GGA pre-renal. Proses ini
lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotesis penggunaan
diuretic, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu di ingat pada pasien berusia

26
lanjut dapat timbul keadaan-keadaan yang merupakan resiko GGA pre-
renalseperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskular)
penyakit ginjal polikistik dan nefrosklerosis internal.
2. GGA Renal
GGA Renal yang disebabkan oleh kelainan vascular seperti
vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus nefritis akut, nefritis interstitial
akut akan dibicarakan tersendiri pada bab lain. Nekrosis tubular akut dapat
disebabkan oleh berbagai sebab seperti penyakit tropic, gigitan ular, trauma
(crushing injury/bencana alam, peperangan), toksin lingkungan dan zat-zat
nefrotoksik. Di rumah sakit(35-50% di ICU) NTA terutama disebabkan oleh
sepsis. Selain itu pasca operasi dapat terjadi NTA pada 20-25% hal ini
disebabkan adanya penyakit-penyakit seperti hipertensi, penyakit jantung,
penyakit pembuluh darah, diabetes mellitus, ikterus dan usia lanjut, jenis
operasi yang berat seperti transplantasi hati, , transplantasi jantung. Dari zat-
zat nefrotoksik perlu dipikirkan nefropati karena zat radio kontras, obat-
obatan seperti anti jamur, anti virus dan anti neoplastik. Meluasnya
pemakaian narkoba juga meningkatkan kemungkinan NTA.
Kelainan yang terjadi pad NTA melibatkan komponen vaskuler
dan tubuler, misalnya :
 Kelainan vaskuler
Pada NTA terjadi
i. Peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriole afferent
glomerulus yang menyebabkan peningkatan sensifitas
terhadap substansi-substansi vasokontriktor dan gangguan
otoregulasi.
ii. Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan
kerusakan endotel vaskuler ginjal, yang mengakibatkan
peningkatan A-II dan Et-I serta penurunan prostaglandin
dan ketersediaan NO yang berasal dari endhotelial NO
Systhase ( eNOS)
iii. Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor neksrosis
factor dan interleukin yang selanjutnya akan meningkatkan

27
ekspresi dari intercellular adhesion molecule – 1 ( ICAM-I)
dan P- selectin dari sel endotel, sehingga terjadi
peningkatan perlengketan dari sel-sel radang terutama sel
neutrofil.
 Kelainan tubuler
Pada NTA terjadi
i. Peningkatan Ca2+ intrasel yang menyebabkan peningkatan
calpain cystolic phospholipase A2, serta kerusakan Actin,
yang akan menyebabkan cystokeleton. Keadaan ini kan
menyebakan penurunan basolaterala Na+/K-ATPase yang
selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorpsi Na+ di
tubulus proksimalis, sehingga terjadi peningkatan pelepasan
NAC1 ke macula densa. Hal tersebut mengakibatkan
umpan balik tubulogloneruler.
ii. Peningkatan NO yang berasal dari inducible NO systhase
(iNOS), caspase dan mettaloproteinase serta defisiensi heat
shock protein, akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis
sel.
iii. Obstruksi tubulus. Mikrovilli tubulus proksimalis yang
terlepas bersama debriss seluler akan membentuk substrat
yang akan menyumbat tubulus, di tubulus, dalam hal ini
pada thick ascending limb diproduksi Tamm-Horsfall
Protein (THP)yang disekresikan ke dalam tubukus kedalam
bentuk monomer yang kemudian berubah menjadi bentuk
polimer yang akan membentuk materi berupa gel dengan
adanya Na+ yang konsentrasinya meningkat pada tubulus
distal.
iv. Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali
(backleak) dari cairan intratubuler masuk kedalam sirkulasi
peritubuler. Keseluruhan proses-proses tersebut di ata
secara bersama-sama akan menyebabkan penurunan laju
filtrasi glomerulus. Di duga juga proses iskemia dan

28
paparan bahan/obatnefrotoksik dapat merusak glomerulus
secara langsung. Pada NTA terdapat kerusakan glomerulus
dan juga tubulus. Kerusakan tubulus dikenal juga dengan
nama nekrosis tubular akut (NTA).
3. GGA post-renal
GGA post renal merupakan 10% dari keselurahan GGA. GGA post
renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstra renal posisi Kristal (
urat,oxalate, sulfonamide) dan protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi
ekstra renal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor,
batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan
retroperitoneal,fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi /
keganasan prostat) dan urethra (striktura). GGA post renal terjadi bila
obstruksi akut terjadi pada urethra, buli-buli dan ureter bilateral atau
obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada
fase awal dari obstruksi total ureter yang akut, terjadi peningkatan aliran
darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal diman hal ini disebabkan
oleh prostaglandin E2. Pada fase kedua setelah 1,5-2 jam terjadi penurunan
aliran darah ginjal di bawah normal akibat pengaruh tromboxane A2 (TxA2)
dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai
meningkat. Fase ketiga atau fase kronik di tandai oleh aliran darah ke ginjal
yang makin menurun atau penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam
beberapa minggu. Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari
normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini mulai
terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan factor-faktor pertumbuhan yang
akan mennyebabkan febriosis interstisial ginjal (Wilson, 2005).
3. Diagnosis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakkan GGA pre-renal,
GGA renal dan GGA post renal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut
perlu di periksa :
1. Anamnesis
Anamnesis yang baik, serta pemeriksaan jasmani yang teliti di tujukkan
untuk mencari sebab gangguan ginjal akut seperti misalnya operasi

29
kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi ( infeksi kulit, infeksi
tenggorokan, infeksi saluran kemih) riwayat bengkak, riwayat kencing
batu.
2. Membedakan ganguan ginjal akut (GGA) dengan gangguan ginjal kronik
(GGK) misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil menunjukkan gagal
ginjal kronis.
3. Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal
yaitu kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien yang
di rawat selalu di periksa asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk
memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada
gangguan ginjal akut yang berat dengan berkurangnya fungsi ginjal
ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan edema
bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Eksresi
asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolic dengan
kompensasi pernapasan kussumall. Umumnya manifestasi GGA lebih di
dominasi oleh factor-faktor ppresipitasi atau penyakit utamanya.
4. Penilaian pasien GGA
a) Kadar kreatinin serum
Pada gangguan ginjal akut faal ginjal di nilai dengan memeriksa
berulang kali kadar serum kreatinin . kadar serum kreatinin tidak
dapat mengukur secara tepat laju filtrasi glomerulus karena
tergantung dari produksi (otot) distribusi dalam cairan tubuh,
ekskresi oleh ginjal.
b) Kadar cystatin C serum
Walaupun belum diakui secara umum nilai serum cystatin C dapat
menjadi indicator gangguan ginjal akut tahap awal yang cukup
dapat di percaya.
c) Volume urin
Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator yang spesifik
untuk gangguan ginajal akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan
nilai-nilai biokimia darah. Walaupun demikian volume urin pada
GGA bisa bermacam-macam. GGA pre-renal biasanya hampir

30
selalu disertai oliguruia (<400 ml/hari), walaupun kadang-kadang
tidak dijumpai oliguria. GGA post renal dan GGA renal dapat
ditandai baik oleh anuria maupun poliuria.
d) Petanda biologis ( Biomarkers)
Syarat petanda biologis GGA adalah mampu dideteksi sebelum
kenaikan kadar kreatinin disertai dengan kemudahan teknik
pemeriksaannya. Petanda biologis diperlukan untuk secepatnya
mendiagnosis GGA. Berdasarkan criteria RIFLE/AKIN maka perlu
dicari pertanda untuk membuat diagnosis seawal mungkin.
Beberapa petanda biologis mungkin bisa dikembangkan.
Petanda biologis ini adalah zat-zat yang dikeluarkan oleh tubulus
ginjal yang rusak, seperti interleukin 18, enzim tubular, N-acetyl-b-
glucosamidase, alanine aminopeptidase, kidney injury molekul I.
dalam satu penelitian pada anak-anak pasca bedah jantung terbuka
gelatinase associated lipocalin (NGAL) terbukti dapat di deteksi 2
jam setelah pembedahan, 24 jam lebih awal dari kenaikan kadar
kreatinin. Dalam masa akan datang kemungkinan di perlukan
kombinasi dari pertanda biologis (Markum, 2009).
4. Pengelolaan

Tujuan pengelolaan adalah mencegah kerusakan ginjal , mempertahankan


homestasis, melakuka resusitasi, mencegah komplikasi metabolic dan infeksi serta
mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan.
Prinsip pengelolaannya sesuai dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA(
sebagai tindak pencegahan) mengatasi penyakit penyebab GGA, mempertahankan
homeostasis, mempertahankan eopolemia, keseimbangan cairan dan elektrolit,
mencegah komplikasi seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfospatemia, mengevaluasi
status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan seklalu mengevaluasi obat-obatan
yang di pakai.
Terapi khusus Acute Kidney Injury Bila GGA sudah terjadi di perlukan
pengobatan khusus, umumnya dalam ruang lingkip perawatan intensif sebab berapa
penyakit primernya yang berat seperti sepsis, gagal jantung dan usia lanjut untuk

31
inisiasi dialysis dini. Dialisisi bermanfaat untuk mengkoreksi akibat dari metabolic
dari GGA. Dengan dialysis dapat diberikan cairan /nutrisi dan obat-obatan lain yang
diperlukan seperti antibiotika. GGA post renal memerlukan tindakan cepatbersama
dengan ahli urologi misalnya pembuatan nefrostomi, mengatasi infeksi saluran
kemih dan menghilangkan sumbatan yang dapat disebabkan oleh batu, setriktur
uretra atau pembesaran prostat.
Prioritas tatalaksana pasien dengan GGA
 Cari dan perbaiki factor pre dan pasca renal
 Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan
 Optimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal
 Perbaiki atau tingkatkan aliran urin
 Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan dan timbang badan
tiap hari
 Cari dan obati komplikasi akut ( hiperka;emia, hipernatremia,
asidosis, hiperfosfatemia, edema paru)
 Asupan nutrisi yang adekuat sejak dini
 Cari focus infeksi dan atasi infeksi secara agresif
 Penyerawatan menyeluruh yang baik (kateter,kulit, psikologis)
 Segera memulai terapi dialysis sebelum timbul komplikasi
 Berikan obat-obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas bersihan
ginjal.

5. Pencegahan
GGA dapat dicegah dengan pada beberapa penggunaan zat kontras yang
dapat menyebabkan nefropati kontras. Pencegahan nefropati akibat zat kontras
adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-asetylcystein serta pemakaian
furosemide pada penyakit tropic perlu diwaspadai kemungkinan GGA dan
gastroenteritis akut, malaria dan demam berdarah.
Pemberian kometerapi dapat menyebabkan ekskresi asam urat yang
tinggi sehingga menyebabkan GGA. Pada table ini dapat dilihat dari beberapa upaya
pencegahan GGA (Markum, 2009
BAB III

32
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. E
Tanggal Lahir / Umur : 8 Febuari 1981/37 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Asinan, Bawen, Kab. Semarang
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 18 April 2018
No. RM : 142XXX-20XX

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Penurunan Kesadaran
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien perempuan, 37 tahun, datang dengan penurunan
kesadaran kurang lebih 30 menit SMRS. Keluhan penurunan kesadaran
terjadi setelah pasien mengalami kejang. Pasien mengalami kejang secara
tiba – tiba saat pasien sedang beraktivitas mau ke kamar mandi. Kejang
terjadi pada seluruh tubuh <5 menit. Saat dan setelah kejang pasien tidak
sadar. Keluhan demam (-), nyeri kepala (-), mual (-), muntah (-). Pasien
semapat mengeluhkan lemas. Terdapat keluhan rasa tidak nyaman pada
perut bagian bawah terutama saat pasien BAK sejak 1 bulan SMRS. BAB
lancar, tidak ada keluhan.
3. Riwayat Penyaklit Dahulu
- R. Keluhan serupa (-)
- R. Hipertensi (-)
- R. Diabetes Melitus (+) sejak tahun 2013, tidak rutin kontrol dan
minum obat
- R. Jantung (-)
- R. Kejang atau epilepsi (-)

33
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- R. Keluhan serupa (-)
- R. Hipertensi (-)
- R. Diabetes Melitus (+)
- R. Jantung (-)
- R. Kejang atau epilepsi (-)
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tidak merokok maupun meminum alkohol. Pasien tinggal di
rumah dengan ibu, bapak, dan kedua anaknya. Pasien mengaku jarang
berolahraga. Pasien berobat menggunakan jaminan BPJS. Pasien bekerja
sehari – hari sebagai karyawan toko.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Lemah, tampak sakit sedang
Kesadaran / GCS : somnolen / GCS 13 (E3V4M6)
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 106 / 77 mmHg
Nadi : 123 kali / menit
Frekuensi Nafas : 22 kali / menit
Suhu : 36,7 ºC
Saturasi Oksigen : 98 % dengan O2 3 lpm
Status generalis :
 Kulit : turgor menurun
 Kepala : mesochepal, simetris, tidak ada kelainan
 Mata : edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil Ø 3 mm / 3 mm, reflek cahaya +/+, isokor
 Hidung : nafas cuping hidung (-/-), epistaksis (-/-), discharge (-/-),
septum deviasi (-)
 Telinga : discharge (-/-), hiperemis (-/-)
 Mulut : Mencucu (-) sianosis (-), ulkus (-), stomatitis (-)
 Leher :Kaku kuduk (-),pembesaran kelenjar thyroid (-),
pembesaran kelenjar limfoid (-), JVP tidak meningkat
 Thorax :

34
o Paru
Inspeksi : dinding dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi (-)
Palpasi : SF paru kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
o Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tampak di SIC V 1 jari medial LMCS
Palpasi : Iktus cordis teraba di SIC V 1 jari medial LMCS
Kuat angkat (-)
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC V 1 jari medial
LMCS
Auskultasi : bunyi jantung reguler, gallop (-), murmur (-)
 Abdomen :
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak alih (-), pekak sisi(-)
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (+) suprapubik, Hepar (+) 2 cm
di bawah arcus costa, lien tidak teraba
 Genitalia : tidak ada kelainan / dalam batas normal
 Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-/-/-)

35
D. Pemeriksaan Penunjang
 GDS : high
 EKG :

Sinus takikardi 123 bpm, normoaxis


 Darah dan urin rutin (18 April 2018)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Darah lengkap
Hemoglobin 12,4 13,2-17,3 g/dl
Leukosit 27,2* 3,6-10,6 ribu
Eritrosit 4,72 4,4-5,9 juta
Hematokrit 46,1 40-52 %
Trombosit 369 150-400 Ribu
MCV 83,2 82-96 fL
MCH 28,3 27-32 pg
MCHC 33,8 32-37 g/dl
RDW 12,29 10-16 %
MPV 5,64 7-11 Mikro m3
Limfosit 0,751 1-4,5 103/mikro
Monosit 1,46 0,2-1 103/mikro
Eosinofil 0,00 0,04-0,8 103/mikro
Basofil 0,079 0-0,2 103/mikro
Neutrofil 24,9 1,8-7,5 103/mikro
PCT 0,098 0,2-0,5 %
Gol darah O

Kimia Klinik
GDS HI(>600 mg/dl)* 74-106 Mg/dl
Ureum 71,5* 10-50 Mg/dl

36
Kreatinin 2,55* 0,6-1,1 Mg/dl
HDL 54 34-82 Mg/dl
LDL 96,4 <150 Mg/dl
Cholesterol 179 <200 Mg/dl
Trigliserid 143* 70-140 g/dl
Na 165* 136-146 mmol/L
K 3,2* 3,5-5,1 mmol/L
Cl 127* 98-106 mmol/L

Urine lengkap
Warna Kuning
Kekeruhan Keruh*
Protein urine 1+0,13 Negatif
Glukosa urine 2+250 Negatif
pH 6,0 5-9 g/L
Bilirubin urine Negatif Negatif mmol/L
Urobilinogen Negatif Negatif -
Berat jenis urine 1,026 1,000-1,030 Umol/L
Keton urine 1+15 Negatif Umol/L
Leukosit 2+125 Negatif -
Eritrosit 3+200 Negatif Mmol/L
Nitrit Negatif Negatif Sel/ml
Sedimen Sel/ml
Eritrosit 775,2 < 8,7 Ul
Leukosit 20076,8 < 7,4 Ul
Epitel 592,8 < 12,8 Ul
Silinder 4,18 < 0,47 Ul
Bakteri 7917,5 < 23 Ul
Kristal 0,5 Negatif -
Yeast 5716,8 Negatif -
Epitel tubulus 1,5 Negatif -
Silinder patologis 4,18 Negatif -

37
Mucus 0,00 Negatif -
Sperma 0,0 Negatif -
konduktivity 3,3 Negatif -

E. Diagnosis
Krisis Hiperglikemia susp KAD dengan ISK, AKI, dan Hipokalemi

F. Terapi
 Oksigen Nasal kanul 3 LPM
 Loading NaCl 0,9 % 500 cc
 Inj. Novorapid 10 IU SC, 10 IU IV
 Pasang DC
Konsul Dokter Spesialis Penyakit Dalam, advis :
 Cek ulang GDS per pagi-sore
 Infus 2 jalur NaCl 0,9% 20 tpm , NaCl 0,9 % + KCL 1 flash
 Inj Novorapid 3 x 20 IU
 Inj Lantus 1 x 20 IU
 Inj Ceftriaxon 2 x 1 gr
 Inj. Ranitidin 2 x 1
G. Planning
 Cek Darah Rutin
 Cek Urin Rutin
 Cek Kimia Darah
 Cek Fungsi Ginjal
 Cek Na, K, Cl
 GDS per pagi, sore

38
RESUME
Seorang pasien perempuan, 37 tahun, datang dengan penurunan
kesadaran kurang lebih 30 menit SMRS. Keluhan penurunan kesadaran
terjadi setelah pasien mengalami kejang. Pasien mengalami kejang secara
tiba – tiba saat pasien sedang beraktivitas mau ke kamar mandi. Kejang
terjadi pada seluruh tubuh <5 menit. Saat dan setelah kejang pasien tidak
sadar. Pasien semapat mengeluhkan lemas. Terdapat keluhan rasa tidak
nyaman pada perut bagian bawah terutama saat pasien BAK sejak 1 bulan
SMRS. Pasien memiliki riwayat DM sejak tahun 2013 tidak rutin kjontrol
dan minum obat. Terdapat riwayat DM di keluarga.
Dari hasil pemeriksaan fisik diperoleh keadaan umum pasien
lemah, GCS : somnolen / GCS 13 (E3V4M6). Tekanan darah 106/77
mmHg, Nadi: 123x/menit reguler, RR: 22x/menit, Suhu: 36,5oC per axilla
SpO2: 98 %. Turgor kulit menurun (+), nyeri tekan pada regio suprapubik.
AL : 27,2ribu/ul; GDS : High; Ureum: 71,5; Creatinin: 2,55; K: 3,2 ;
Keton urin : 1+15; Bakteri: 7917,5.

PENEGAKAN DIAGNOSIS, ASSESMENT, PLANNING


Temuan Assesment Planning Planning Planning
Abnormal diagnosis terapi monitoring
-penurunan Krisis -GDS -inf NaCl -GDS / 6
0,9 % jam
kesadaran Hiperglikemi -Keton urin
loading 1-2 - Keton Urin
- turgor susp KAD -Analisa gas liter -Analisa gas
-inj darah
menurun darah
Novorapid - Klinis
-GDS : High 20 iU
-Po. KSR 1
-Ketonurin
x1
(+)

39
-Nyeri perut ISK  Lab darah -inf NaCl -Lab darah
(+) rutin 0,9 20 tpm rutin
suprapubik  Lab Urin -inj - Kab Urin
-leukosit rutin Ceftriaxon rutin
27,2 ribu  Kultur 1 gr/12
- bakteri urin urin jam
7917,5 Inj
Ketoralac
3x1 amp
- Ureum: AKI  Lab -Infus - Lab Kimia
71,5 Kimia NaCl 20 Darah
- Creatinin: darah tpm
2,55 -po Pro
renal 3 x 1
- diet
rendah
protein
 K : 3,2 Hipokalemia  Lab -inf KCL -Lab
Elektrolit 1 flash Elektrolit

40
H. Follow Up
Follow Up Pasien
18 April 2018

S Pasien mengeluh lemas, pusing(+), mual (+) , muntah sebanyak 3x (+),


BAK nyeri dan panas
O KU: CM, lemah
VS: TD : 137/94
HR : 115x/menit
RR : 28x/menit
S : 37,10 C
GDS 426 mg/dL
A Krisis Hiperglikemia
P  Infus 2 jalur NaCl 0,9% 20 tpm , NaCl 0,9 % + KCL 1 flash
 Inj Novorapid 3 x 20 IU
 Inj Lantus 1 x 20 IU
 Inj Ceftriaxon 2 x 1 gr
 Inj. Ranitidin 2 x 1
 PO KSR 1x1
 GDS per pagi

Follow Up Pasien
19 April 2018

S Pasien mengeluh demam (+), pusing (+), mual (+), muntah (+)
O KU: CM, lemah
VS: TD : 111/62
HR : 80x/menit
RR : 22x/menit
S : 38,80 C
GDS : 54 mg/dL

41
A Hipoglikemia,KAD, Hipokalemia, Urosepsis
P  Cek ulang GDS per pagi
 Infus 2 jalur NaCl 0,9% 20 tpm , NaCl 0,9 % + KCL 1 flash
 Inj Novorapid 3 x 20 IU
 Inj Lantus 1 x 20 IU
 Inj Ceftriaxon 2 x 1 gr
 Inj. Ranitidin 2 x 1
 Inj D40% 1 flakon
 PO Pct 3 x 500 mg
 PO KSR 1 x 1

Follow Up Pasien
20 April 2018

S Pasien mengeluh demam (+), pusing (+), mual (+), muntah (+), BAK (N)
O KU: CM
VS: TD : 130/90
HR : 100x/menit
RR : 26x/menit
t : 38,10 C
GDS : 310
A Krisi Hiperglikemia KAD, Urosepsis, AKI
P  Cek ulang GDS per pagi
 Infus Kaen 3 B 20 tpm
 Inj Novorapid 3 x 20 IU
 Inj Lantus 1 x 20 IU
 Inj Levofloksasin 1 x 500 mg
 Inj. Ranitidin 2 x 1
 Inj Ondancentron 3 x1
 Inj Mecobalamin 1 x 1
 PO Pct 3 x 500 mg

42
 PO KSR 1 x 1
 PO Prorenal 3 x1

Follow Up Pasien
21 April 2018

S Pasien mengeluh demam (+), pusing (+), mual (+), muntah (+), BAK (N)
O KU: CM
VS: TD : 130/90
HR : 100x/menit
RR : 26x/menit
t : 38,10 C
GDS : 477
A Krisi Hiperglikemia KAD, Urosepsis, AKI
P  Cek ulang GDS per pagi
 Infus Kaen 3 B 20 tpm
 Inj Novorapid 3 x 24 IU
 Inj Lantus 1 x 20 IU
 Inj Levofloksasin 1 x 500 mg
 Inj. Ranitidin 2 x 1
 Inj Ondancentron 3 x1
 Inj Mecobalamin 1 x 1
 PO Pct 3 x 500 mg
 PO KSR 1 x 1
 PO Prorenal 3 x1
 Cek ulang Na/K/Cl
 Cek ulang Darah rutin
 Cek ulang urin rutin

43
Follow Up Pasien
22 April 2018

S Pasien mengeluh demam (+), pusing (+), mual (+), muntah (-), BAK (n)
O KU: CM
VS: TD : 120/86
HR : 80x/menit
RR : 20x/menit
t : 370 C
GDS : 366
 Lab darah :
Hemoglobin 11,0
Leukosit  9,4
Trombosit  114
 Lab urin :
Glukosa urun 0,15
Protein urin  1 + 100
Keton urin  negative
Bakteri 79,3
 Na/K/Cl :
Na  151
K  3,5
Cl  127
A Krisi Hiperglikemia KAD, Urosepsis, AKI
P  Cek ulang GDS per pagi
 Infus Kaen 3 B 20 tpm
 Inj Novorapid 3 x 24 IU
 Inj Lantus 1 x 20 IU
 Inj Levofloksasin 1 x 500 mg
 Inj. Ranitidin 2 x 1
 Inj Ondancentron 3 x1

44
 PO gabapentin 1 x300 mg
 PO Pct 3 x 500 mg
 PO KSR 1 x 1
 PO Prorenal 3 x1
 PO Sulcrafat 3 x 1

Follow Up Pasien
23 April 2018

S Pasien mengeluh demam (-), pusing (+), mual (+), muntah (+), BAK (n)
O KU: CM, lemah
VS: TD : 90/60
HR : 80x/menit
RR : 20x/menit
t : 36,10 C
GDS 263
A Krisi Hiperglikemia KAD, Urosepsis, AKI
P  Cek ulang GDS per pagi
 Infus NaCl 20 tpm
 Inj Novorapid 3 x 20 IU
 Inj Lantus 1 x 20 IU
 Inj Levofloksasin 1 x 500 mg
 Inj. Ranitidin 2 x 1
 Inj Ondancentron 3 x1
 Inj Mecobalamin 1 x1
 PO gabapentin 1 x300 mg
 PO Pct 3 x 500 mg
 PO KSR 1 x 1
 PO Prorenal 3 x1
 PO Sulcrafat 3 x 1

45
Follow Up Pasien
24 April 2018

S Pasien mengeluh demam (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), BAK (n),
Diare (+) setelah minum sulcrafat > 10 kali
O KU: CM, lemah
VS: TD : 90/60
HR : 80x/menit
RR : 20x/menit
t : 36,10 C
GDS: 424

A Krisi Hiperglikemia KAD, Urosepsis, AKI


P  Cek ulang GDS per pagi
 Infus NaCl 20 tpm
 Inj Novorapid 3 x 24 IU
 Inj Lantus 1 x 20 IU
 Inj Levofloksasin 1 x 500 mg
 Inj. Omeprazol 1 x 1
 Inj Mecobalamin 1 x1
 PO gabapentin 1 x300 mg
 PO Pct 3 x 500 mg (k/p)
 PO KSR 1 x 1
 PO Prorenal 3 x1
 PO Oralit 3 x 1

46
Follow Up Pasien
25 April 2018

S Pasien mengeluh demam (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), BAK (n),
Diare (+) > 10 kali
O KU: CM, lemah
VS: TD : 90/60
HR : 80x/menit
RR : 20x/menit
t : 36,10 C
GDS: 424
A Krisi Hiperglikemia KAD, Urosepsis, AKI
P  Cek ulang GDS per pagi
 Infus NaCl 20 tpm
 Inj Novorapid 3 x 28 IU
 Inj Lantus 1 x 20 IU
 Inj Levofloksasin 1 x 500 mg
 Inj. Omeprazol 1 x 1
 Inj Mecobalamin 1 x1
 PO gabapentin 1 x300 mg
 PO Pct 3 x 500 mg (k/p)
 PO KSR 1 x 1
 PO Prorenal 3 x1
 PO Oralit 3 x 1
 PO Cobazim 3 x 1000

47
Follow Up Pasien
26 April 2018

S Pasien mengeluh demam (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), BAK (n),
Diare (+) > 9 kali
O KU: CM, lemah
VS: TD : 100/67
HR : 80x/menit
RR : 20x/menit
t : 36,10 C
GDS: 297

A Krisi Hiperglikemia KAD, Urosepsis, AKI


P  Cek ulang GDS per pagi
 Infus NaCl 20 tpm
 Inj Novorapid 3 x 28 IU
 Inj Lantus 1 x 20 IU
 Inj Levofloksasin 1 x 500 mg
 Inj. Omeprazol 1 x 1
 Inj Mecobalamin 1 x1
 PO gabapentin 1 x300 mg
 PO Pct 3 x 500 mg (k/p)
 PO KSR 1 x 1
 PO Prorenal 3 x1
 PO Oralit 3 x 1
 PO Cobazim 3 x 1000
 Cek Feses

48
Follow Up Pasien
27 April 2018

S Pasien mengeluh demam (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), BAK (n),
Diare (+) 1 kali
O KU: CM
VS: TD : 90/60
HR : 80x/menit
RR : 20x/menit
t : 36,10 C
GDS: 173

A Krisi Hiperglikemia KAD, Urosepsis, AKI


P  Cek ulang GDS per pagi
 Infus NaCl 20 tpm
 Inj Novorapid 3 x 24 IU
 Inj Lantus 1 x 20 IU
 Inj. Omeprazol 1 x 1
 Inj Ondancentron 2 x1
 Inj Mecobalamin 1 x1
 PO gabapentin 1 x300 mg
 PO KSR 1 x 1
 PO Prorenal 3 x1
 PO Oralit 3 x 1
 PO Cobazim 3 x 1000

49
Follow Up Pasien
28 April 2018

S Pasien mengeluh demam (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), BAK (n),
Diare (-)
O KU: CM
VS: TD : 120/70
HR : 80x/menit
RR : 20x/menit
t : 36,10 C
GDS: 310
Lab Feses : dbn
A Krisi Hiperglikemia KAD, Urosepsis, AKI
P  Cek ulang GDS per pagi
 Infus NaCl 20 tpm
 Inj Novorapid 3 x 28 IU
 Inj Lantus 1 x 20 IU
 Inj. Omeprazol 1 x 1
 Inj Ondancentron 2 x1
 Inj Mecobalamin 1 x1
 PO gabapentin 1 x300 mg
 PO KSR 1 x 1
 PO Prorenal 3 x1
 PO Oralit 3 x 1
 PO Cobazim 3 x 1000

50
Follow Up Pasien
29 April 2018

S Pasien mengeluh demam (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), BAK (n),
Diare (-)
O KU: CM
VS: TD : 120/70
HR : 80x/menit
RR : 20x/menit
t : 36,10 C
GDS: 278
A Krisi Hiperglikemia KAD, Urosepsis, AKI
P  Cek ulang GDS per pagi
 Infus NaCl 20 tpm
 Inj Novorapid 3 x 28 IU
 Inj Lantus 1 x 20 IU
 Inj. Omeprazol 1 x 1
 Inj Ondancentron 2 x1
 Inj Mecobalamin 1 x1
 PO gabapentin 1 x300 mg
 PO KSR 1 x 1
 PO Prorenal 3 x1
 PO Oralit 3 x 1
 PO Cobazim 3 x 1000

51
Follow Up Pasien
30 April 2018

S Pasien mengeluh demam (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), BAK (n),
Diare (-)
O KU: CM,
VS: TD : 120/70
HR : 80x/menit
RR : 20x/menit
t : 36,10 C
GDS: 278
A Krisi Hiperglikemia KAD, Urosepsis, AKI
P  Pasien boleh pulang
 Inj Novorapid 3 x 24 IU
 Inj Lantus 1 x 20 IU
 PO KSR 1 x 1
 PO Prorenal 3 x1
 PO Ranitidin 2 x1
 PO Ondancentron 1x1

52
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Krisis Hiperglikemi Susp KAD


Pasien adalah seorang wanita umur 37 tahun. Dari keterangan
ibu pasien, pasien telah terdiagnosis DM sejak tahun 2013 tetapi tidak
melakukan kontrol rutin, pada pasien KAD 80 % sudah diketahui DM dan
memiliki beberapa pencetus diantaranya faktor infeksi dan tidak menjalani
pengobatan DM secara rutin.
. Dari pemeriksaan fisik didapatkan penurunan kesadaran dan
turgor kulit menurun. Keluhan dan hasil pemeriksaan tersebut
menunjukkan adanya gejala dehidrasi pada pasien .Hal tersebut dapat
terjadi karena adanya masalah dalam metabolisme glukosa a) peningkatan
glukosa dalam darah akibat defisiensi absolut ataupun relatif dan
meningkatnya hormon kontra insulin b) ketika glukosa meningkat dalam
darah akan teregulasi melewati urin dan terbuang melewati urin, ketika
glukosa dibuang melewati urin cairan, elektrolit akan terbuang juga akibat
proses osmolaritas diurin c) karena glukosa dalam darah tidak bisa di
gunakan sebagai sumber energi maka tubuh memecah cadangan lemak
dalam tubuh menjadi keton sebagai sumber energi .
Dari hasil laboratorium didapatkan adanya peningkatan gula
darah sewaktu dan ditemukan ketonuria. Oleh karena itu pasien dapat
didiagnosi Krisis Hiperglikemi susp KAD.
Planning diagnosa pada pasien ini adalah :
1) Pemeriksaan laboratorium gula darah sewaktu. Bertujuan terutama
untuk memonitoring dan mengevalusai kadar glukosa dalam darah
selama terapi diberikan.
2) Pemeriksaan laboratorium analisa gas darah. Bertujuan untuk
memonitoring keasaman darah dalam darah selama terapi
diberikan.

53
3) Pemeriksaan laboratorium keton serum ataupun urin. Bertujuan
untuk memonitoring jumlah keton dalam darah selama terapi
diberikan dan mengevaluasi metabolisme tubuh.
Planning terapi pada pasien ini adalah :
Krisis Hiperglikemia Susp KAD
Planning Terapi Keterangan
-Tirah baring Tujuan :
--O2 3L/mnt via kanul nasal -Terapi suportif pada
penurunan kesadaran
-Loding NaCl 1-2 liter Tujuan :
-Merehidrasi pasien

-KSR 1x1 Tujuan :


- Menanggulangi hipokalemi
akibat penggunaan Insulin
Novorapid 20 IU Tujuan :
- menurunkan kadar gula
dalam darah
- menurunkan kadar hormon
kontra insulin

Planning monitoring pada pasien ini adalah :


Pemeriksaan lab gula darah, analisa gas darah, ketonuri ataupun keton
darah untuk mengetahui keberhasilan terapi, ditunjukkan dengan
menurunnya hasil gula darah, keton, dan perbaikan hasil AGD dari
sebelumnya.
.
B. ISK
Pasien adalah seorang wanita umur 37 tahun, menurut data
epidemiologis, prevalensi terjadinya ISK meningkat pada wanita.
Dari anamnesis, pasien mengeluhkan tidak nyaman pada perut bagian
bawah dan terutama dirasa saat pasien BAK. Dari pemeriksaan fisik

54
didapatkan nyeri tekan regio suprapubik. Pasien merupakan penderita DM
sehingga hal ini merupakan faktor predisposisi ISK.
Planning diagnosa pada pasien ini adalah : lab darah rutin , lab urin
rutin, kultur urin
Planning terapi pada pasien ini yaitu memberikan obat antinyeri inj
ketorolac , dan inj ceftriaxon 2 x 1 gr sebagai obat kausatifnya karena
bersifat brood spectrum.
Planning monitoring pada pasien ini adalah lab darah rutin, urin rutin.
Dari hasil laboratorium didapatkan adanya peningkatan leukosit 27, 2
ribu dan bakteri urin 7917,9 oleh karena itu pasien dapat diagnosis ISK
C. AKI
Pada pasien didapatkan hasil fungsi ginjal yaitu ureum 71,5 dan
Kreatinin 2,55 dengan pemeriksaan menunjukan pasien mengalami acute
kidney injury , dikarenakan adanya infeksi saluran kencing maupun DM
dimana DM dapat meningkan proses inflamasi pada ginjal pasien:
 Planning diagnosa pada pasien ini adalah : Uji faal ginjal melewati
urium creatinin
 Planning terapi pada pasien ini yaitu memberikan suplemen ginjal
dan mengobati penyakit utamanya
 Planning monitoring pada pasien ini adalah lab fungsi ginjal ureum
dan creatinin
D. Hipokalemia
Pada pasien didapatkan hasil elektrolit kalium 3,2 dengan
pemeriksaan menunjukan pasien dalam keadaan hipokalemia, dikarenakan
kerusakan ginjal maupun dula yng mengakibatkan kalium yg terbuang
melewati urin.
 Planning diagnosa pada pasien ini adalah : lap elektrolit
 Planning terapi pada pasien ini adalah : inf KCL 1 flash
 Planning monitoring pada pasien ini adalah lab elektrolit.

55
DAFTAR PUSTAKA
Chris, Tanto et al.2014.Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Edisi
IV.Jakarta:Media Aesculapius. Hal 796-798
Dan Longo et al. 2011. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 18.
USA :McGraw-Hill Company
Markum H.M.S, , Gangguan Ginjal Akut, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Ed 2, edi-tor, Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrta MK
Setiati S, Interna Publishing, Jakarta: 2009. Vol II: 1041-1058
Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe
2 di Indonesia. Jakarta : PB Perkeni
Rahardjo, J.Pudji. Kegawatan pada Gagal Ginjal. Penatalaksanaan
Kedaruratan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat infomasi dan
Penerbitan FKUI. Jakarta. 2000. Hal 236-239
Sheerwood L. 2016. Human Physiology from Cells to Systems. Edisi 9.
Boston :Cengage.
Soewondo, P et al.2009. Buku Ilmu Ajar Penyakit Dalam. Edisi
IV.Jakarta:Interna Publishing. Hal 1906-1911
Sukandar, E. Infeksi Saluran Kemih. In Sudoyo A.W, et all.ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal Publishing.
2009:1008-1014.

56

Anda mungkin juga menyukai