Anda di halaman 1dari 9

Hipertensi

Pasien CKD dengan hipertensi biasanya memerlukan regimen obat yang mencakup
tiga atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah. Pilihan terapi
pertama untuk pasien CKD dengan hipertensi adalah ACEIs dan/ARB untuk
mengurangi tekanan intraglomerular. Pada pasien CKD dengan proteinuria maka
pilihan terapi yang utama yaitu ACEIs, ARB, dan CCBs nondihidropiridin.
Pemilihan dari ACEIs dibandingkan ARB atau CCBs nondihidropiridin dalam
pengendalian proteinuria dengan penyakit ginjal nondiabetes pada dasarnya
didasarkan pada biaya terapi, toleransi/keadaan pasien, dan preferensi dokter. Jika
terjadi peningkatan kreatinin serum lebih dari 30 % setelah memulai terapi ACEIs
maka terapi harus dihentikan (Dipiro et al, 2008).

Gambar 1. Guideline Terapi Hipertensi (JNC8,2014)


1. ACE Inhibitor
ACEIs atau ARB paling sering digunakan untuk pasien dengan CKD progresif dan
proteinuria. ACEIs menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana
angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron. ACEIs
juga bagus pada pasien dengan ESRD karena manfaat potensi yaitu regresi LVH, penurunan
aktivitas saraf simpatis, perbaikan fungsi endotel, dan mengurangi stress oksidatif.
Penggunaan dengan dosis awal yang lebih rendah karena eliminasi waktu paruh dari senyawa
induk (captopril dan lisinopril) atau metabolit aktif (enalapril, benazepril, dan ramipril) yang
panjang pada pasien ESRD. Hentikan pemberian ACEIs untuk semua pasien dengan
angioedema. Batuk kering yang persisten terlihat pada 20% pasien ACEIs merupakan
kontraindikasi absolut untuk perempuan hamil dan pasien dengan riwayat angioedema. Untuk
pasien dengan nafas yang pendek atau sulit bernafas maka dapat dipilih lisinopril yang
memiliki efek samping batuk lebih kecil dari pada yang lainnya (Dipiro et al, 2008).
Contoh obat (Medscape):
Captopril dosis inisiasi 6,5-12,5 mg PO tiap 8-12 jam/hari; dosis maintenance
25 mg PO tiap 8-12 jam/hari
Enalapril
- ClCr < 30 mL/menit: dosis inisiasi 2,5 mg PO; dititrasi sampai merespon;
tidak lebih dari 40 mg
- Dialisis: dosis 2,5 mg PO saat hari dialisis
- ClCr < 30 mL/menit: dosis inisiasi 0,625 mg IV tiap 6 jam; dititrasi
berdasarkan respon
- ClCr > 30 mL/menit: dosis inisiasi 5 mg/hari PO; dititrasi maksimum 40 mg
- ClCr > 30 mL/menit: dosis 1,25 mg tiap 6 jam IV; dititrasi berdasarkan
respon
Lisinopril:
Hipertensi dan ClCr > 30 mL/menit: inisiasi dosis 10 mg PO/hari; tidak
lebih dari 40 mg/hari
Hipertensi dan ClCr 10-30 mL/menit: inisiasi dosis 5 mg PO /hari; tidak
lebih dari 40 mg/hari
Hipertensi dan ClCr < 10 mL/menit atau hemodialisis: inisiasi dosis 2,5 mg
PO/hari; tidak lebih dari 40 mg/hari
Gagal jantung dan ClCr < 30 mL/menit: inisiasi dosis 2,5 mg PO/hari; tidak
lebih dari 40 mg/hari
ESO potensial: hiperkalemia, hipotensi, batuk
Kontraindikasi : hiperkalemi
Monitoring terapi : Goal BP: 140/90 mmHg, monitor kadar kalium darah
2. ARB
ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang
memediasi efek angiotensinogen II. ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2
(AT2). Efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan
jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB (Dipiro
et al, 2008).
Contoh obat (Medscape):
Losartan : inisiasi dosis 25 mg, maintenance 50 mg 1 kali sehari PO
ESO: lelah (14%), hipoglikemi (14%), anemia(14%), nyeri dada (12%)
Valsartan: 80-160 mg/hari PO; dosis maintenance 80-320 mg/hari PO
ESO: pusing (2-8%), peningkatan BUN (17%), hiperkalemia (4-10%), hipotensi
Candesartan : 16 mg/hari, titrasi hingga 8-32 mg/hari atau dibagi ke dalam dua dosis
Irbesartan: inisiasi dosis 150 mg/hari, dapat ditingkatkan menjadi 300 mg/hari
ESO: Hiperkalemi (19%)
Kontraindikasi : Gangguan fungsi hati
Monitoring terapi : Goal BP: 140/90 mmHg, monitor kadar kalium darah, monitor kadar
BUN, monitor adanya edema
3. Calcium Channel Blocker (CCB)
Calcium channel blockers atau CCBs yang selektif juga efektif dalam pengobatan
hipertensi pada pasien dengan ESRD dan berkaitan dengan penurunan total dan mortalitas
kardiovaskular. CCBs bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang membran sel.
Ada dua tipe voltage gated calcium channel: high voltage channel (tipe L) dan low voltage
channel (tipe T). CCBs yang ada hanya menghambat channel tipe L, yang menyebabkan
vasodilatasi koroner dan perifer. Ada dua subkelas CCBs, dihidropiridin dan
nondihidropiridin. Keduanya sangat berbeda satu sama lain. Efektifitas antihipertensinya
hampir sama, tetapi ada perbedaan pada efek farmakodinamik yang lain. Nondihidropiridin
(verapamil dan diltiazem) menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal
atriventrikular. Untuk pasien CKD lebih dipilih golongan dihidropiridin karena non
dihidropiridin dapat menyebabkan edema (Dipiro et al, 2008).
Contoh obat (Medscape):
Nifedipin (dihidropiridin): dosis inisiasi 10 mg, 20-30 mg PO 1 kali sehari, dapat
ditingkatkan tiap 7-14 hari
ESO: Edema, hipotensi
Kontraindikasi: Cardiogenik shock, Co-administrasi dengan CYP3A4 Inducer
Amlodipin (dihidropiridin): dosis inisiasi 2,5-5 mg/hari, maintenance 5-10
mg/hari
ESO: Edema, hipotensi
Verapamil (Nondihidropiridin): dosis inisiasi 100 mg ketika mau tidur malam
hari; jika ClCr < 10 mL/menit, dosis diturunkan hingga 25-50%
ESO: sakit kepala, gingiva hiperplasia (gusi membengkak) (>10%), konstipasi,
hipotensi, mual, ruam
Kontraindikasi : CHF, cardiogenic shock, hipotensi simptomatik
Diltiazem (Nondihidropiridin): dosis inisiasi 60-120 mg 2dd1, maintenance dose
240-360 mg/hari
ESO: Edema, Sakit Kepala,
Kontraindikasi : MI Akut dan pulmonary congestion
Monitoring terapi : Goal BP: 140/90 mmHg, monitor kadar kalium darah, monitor adanya
edema
4. Beta Blocker
-blocker sangat berguna pada pasien CKD dengan hipertensi setelah infatk
miokard. Akan tetapi dihindari untuk pasien dengan riwayat penyakit asma atau gangguan
pernafasan. Beta bloker memblok betaadrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi
reseptor beta1 dan beta2. Reseptor beta1 terutama terdapat pada jantung sedangkan
reseptor beta2 banyak ditemukan di paruparu, pembuluh darah perifer, dan otot lurik.
Reseptor beta2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta1 juga dapat
dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta
pada otak dan perifer akan memacu pelepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas
sistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta1 pada nodus sinoatrial dan miokardiak
meningkatkan nadi dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan
menyebabkan pelepasan renin, meningkatkan aktivitas sistem renin angiotensinaldosteron.
Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer, dan
peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan beta
blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah
(Dipiro et al, 2008).
Contoh obat (Medscape):
Propranolol (BB non selektif): dosis inisiasi 10 mg PO tiap 12 jam; dosis
maintenance 20-40 mg PO tiap 8-12 jam
ESO: bradikardi, hipotensi, lelah, depresi, insomnia
Kontraindikasi : Bradikardi
Bisoprolol (BB selektif beta1): untuk ClCr < 40 mL/menit dosis inisiasi 2,5
mg/hariPO, titrasi perlahan dan monitoring.
ESO: pusing(1-10%), diare, batuk, mual, muntah
Kontraindikasi : Bradikardi
5. Loop Diuretik (Medscape)
Termasuk dalam kelompok ini adalah asam etakrinat, furosemid, dan bumetanid. Asam
etakrinat termasuk diuretik yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral dengan hasil
yang memuaskan. Furosemid atau asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfomail antranilat masih
tergolong derivat sulfonamid. Loop diuretik bekerja dengan mencegah reabsorpsi natrium,
klorida, dan kalium pada segmen tebal ujung asenden ansa Henle (nefron) melalui inhibisi
pembawa klorida. Obat golongan ini termasuk asam etakrinat, furosemid, dan bumetanid,
digunakan untuk pengobatan hipertensi, edema, serta oliguria yang disebabkan oleh gagal
ginjal. Pengobatan bersamaan dengan kalium diperlukan selama menggunakan obat ini.
Mekanisme kerja
Secara umum dapat dikatakan bahwa loop diuretik mempunyai mula kerja dan lama kerja
yang lebih pendek dari tiazid. Loop diuretik terutama bekerja pada ansa Henle bagian asenden
pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat kotranspor Na+/K+/Cl- dari
membran lumen pada pars ascenden ansa henle, karena itu reabsorpsi Na+/K+/Cl- menurun.
Farmakokinetik
Ketiga obat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan derajat yang agak berbeda-beda.
Bioavaibilitas furosemid 65 % sedangkan bumetanid hampir 100%. Loop diuretik terikat pada
protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi di glomerulus tetapi cepat sekali
disekresi melalui sistem transpor asam organik di tubulus proksimal. Kira-kira 2/3 dari asam
etakrinat yang diberikan secara IV diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam
konjugasi dengan senyawa sulfhidril terutama sistein dan N-asetil sistein. Sebagian lagi
diekskresi melalui hati. Sebagian besar furosemid diekskresi dengan cara yang sama, hanya
sebagian kecil dalam bentuk glukoronid. Kira-kira 50% bumetanid diekskresi dalam bentuk
asal, selebihnya sebagai metabolit.
Dosis
Furosemid. 20-80 mg PO dibagi dalam dua dosis. AKI :1-3g/hari. Hindari penggunaan dalam
kondisi Oliguric
Efek samping
Hipokalemi, Ototoxic, hiperuricemia
Kontraindikasi
Anuria
Monitoring
Goal BP:140/90 mmHg, monitor kadar kalium dan asam urat, monitor volume urin

6. Tiazid (Medscape)
Diuretik tiazid, seperti HCT, bekerja pada bagian awal tubulus distal (nefron). Obat ini
menurunkan reabsorpsi natrium dan klorida, yang meningkatkan ekskresi air, natrium, dan
klorida. Selain itu, kalium hilang dan kalsium ditahan. Obat ini digunakan dalam pengobatan
hipertensi, gagal jantung ringan, edema, dan pada diabetes insipidus nefrogenik.
Farmakodinamika
Efek farmakodinamika tiazid yang utama ialah meningkatkan ekskresi natrium, klorida, dan
sejumlah air. Efek natriuresis dan kloruresis ini disebabkan oleh penghambatan reabsorbsi
elektrolit pada hulu tubuli distal. Pada penderita hipertensi, tiazid menurunkan tekanan darah
bukan saja karena efek diuretiknya, tetapi juga karena efek langsung terhadap arteriol
sehingga terjadi vasodilatasi.
Mekanisme kerja
Bekerja pada tubulus distal untuk menurunkan reabsorpsi Na+ dengan menghambat
kotransporter Na+/Cl- pada membran lumen.
Famakokinetik
Absorbsi tiazid melalui saluran cerna baik sekali. Umumnya efek obat tampak setelah 1 jam.
Didistribusikan ke seluruh ruang ekstrasel dan dapat melewati sawar urin. Dengan proses
aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubulus proksimal ke dalam cairan tubulus. Biasanya dalam
3-6 jam sudah diekskresi dari badan.
Dosis
12,5-50 mg/hari. CrCl <10mL.min hindari penggunaan; tidak efektif pada CrCl <30 mL/min
kecuali dikombinasikan dengan Loop Diuretic
Efek Samping
Peningkatan serum kolesterol dan triglycerida
Kontraindikasi
Anuria
Monitoring
Goal BP:140/90 mmHg, monitor volume urin, monitor profil lipid

7. Hemat Kalium (Medscape)


Diuretik yang mempertahankan kalium menyebabkan diuresis tanpa kehilangan kalium dalam
urine, yang termasuk dalam kelompok ini antara lain aldosteron, traimteren, dan amilorid.
- Antagonis Aldosteron
Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan utama
aldosteron ialah memperbesar reabsorbsi natrium dan klorida di tubulus serta
memperbesar ekskresi kalium. Obat yang merupakan antagonis aldosteron adalah
spironolakton, bersaing dengan reseptor tubularnya yang terletak di nefron sehingga
mengakibatkan retensi kalium dan peningkatan ekskresi air serta natrium. Obat ini juga
meningkatkan kerja tiazid dan loop diuretic. Diuretik hemat kalium lainnya termasuk
amilorida, yang bekerja pada duktus pengumpul untuk menurunkan reabsorpsi natrium
dan ekskresi kalium dengan memblok saluran natrium, tempat aldosteron bekerja.
Diuretik ini digunakan bersamaan dengan diuretik yang menyebabkan kehilangan
kalium serta untuk pengobatan edema pada sirosis hepatis. Efek diuretiknya tidak sekuat
golongan loop diuretik.
Mekanisme kerja
Penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. Bekerja di tubulus renalis rektus untuk
menghambat reabsorpsi Na+, sekresi K+, dan sekresi H+
Famakokinetik
70% spironolakton oral diserap di saluran cerna, mengalami sirkulasi enterohepatik dan
metabolisme lintas pertama. Metabolit utamanya kankrenon. Kankrenon mengalami
interkonversi enzimatik menjadi kakreonat yang tidak aktif.
Sediaan dan dosis
Inisiasi dosis 25-100 mg/hari atau dibagi dalam dua dosis.
CrCl 50 mL/min/1.73 m: 12.5-25 mg/hari; dosis maintenance 25 mg/hari atau dibagi
dalam dua dosis setelah 4 minggu dengan kadar kalium 5 mEq/L
CrCl 30-49 mL/min/1.73 m: 12.5 mg/hari atau setiap dua hari; dosis maintenance 12,5
- 25 mg/hari atau dibagi dalam dua dosis setelah 4 minggu dengan kadar kalium 5
mEq/L
CrCl <30 mL/min/1.73 m: Hindari penggunaan
Efek samping
Hiperkalemi
Kontraindikasi
Anuria
Monitoring
Goal BP:140/90 mmHg, monitor volume urin, monitor kadar kalium

- Triamteren dan Amilorid


Kedua obat ini terutama memperbesar ekskresi natrium dan klorida, sedangkan eksresi
kalium berkurang dan ekskresi bikarbonat tidak mengalami perubahan. Triamteren
menurunkan ekskresi K+ dengan menghambat sekresi kalium di sel tubulus distal.
Dibandingkan dengan triamteren, amilorid jauh lebih mudah larut dalam air sehingga
lebih banyak diteliti. Absorpsi triamteren melalui saluran cerna baik sekali, obat ini
hanya diberikan oral. Efek diuresisnya biasanya mulai tampak setelah 1 jam. Amilorid
dan triamteren per oral diserap kira-kira 50% dan efek diuresisnya terlihat dalam 6 jam
dan berakhir sesudah 24 jam.
Dosis
Triamterene. 100-300 mg/hari 1dd1 atau dibagi dalam dua dosis. CrCl <10 mL/min:
tidak boleh digunakan
Amilorid. 5-10 mg/hari 1dd1 atau dibagi dalam dua dosis. CrCl 10-50 mL/min : 50%
dosis normal. CrCl <10 mL/min: tidak direkomendasikan
Efek samping
Hiperkalemia.
Kontraindikasi
Anuria, gangguan fungsi hati, hiperkalemi
Monitoring
Goal BP:140/90 mmHg, monitor volume urin, monitor kadar kalium

DAPUS:
James PA, Ortiz E, et al. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood
Pressure in Adults: (JNC8). JAMA. 2014 Feb 5; 311(5):507-20
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. 2008.
Pharmacotherapy A Phatophysiologic Approach seventh edition. New York: Mc Graw
Hill.
Medscape online. http://reference.medscape.com/drugs. Dikases pada 30 Januari 2017 pukul
20.50 WIB.

Anda mungkin juga menyukai