Anda di halaman 1dari 14

GINJAL

1. Problem medik : Vertigo Sentral


Subyektif : Pusing berputar, mual muntah
Obyektif :-
Terapi :
A. Flunarizine 2x5 mg po
Analisis:
penggunaan flunarizine 2x5mg atau 10 mg/hari terbukti efektif untuk terapi vertigo sentral
(Amini et al., 2015).
Pada pasien elderly dengan CKD tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis karena profil
farmakokinetik obat sama dengan pasien yang masih muda, dan obat hanya sedikit
diekskresikan di urin sehingga tidak mengganggu kerja ginjal pasien (Reuters, 2012),
sehingga terapi sudah tepat dosis.obat ini memiliki mekanisme mengurangi aktivitas
eksitatori SSP dengan menekan pelepasan glutamat dan bekerja sbg depresor labirin
(Nurimaba, 2009).
Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat kanal kalsium di dalam sistem
vestibuler, sehingga akan mengurangi jumlah ion kalsium intrasel. Penghambat kanal
kalsium ini berfungsi sebagai supresan vestibuler. Flunarizin dan sinarizin merupakan
penghambat kanal kalsium yang diindikasikan untuk penatalaksanaan vertigo; kedua obat ini
juga digunakan sebagai obat migren. Selain sebagai penghambat kanal kalsium, ternyata
flunarizin dan sinarizin mempunyai efek sedatif, antidopaminergik, serta antihistamin-1.
Flunarizin dan sinarizin dikonsumsi per oral. Efek samping jangka pendek dari penggunaan
obat ini terutama adalah efek sedasi dan peningkatan berat badan. Efek jangka panjang yang
pernah dilaporkan ialah depresi dan gejala parkinsonisme, tetapi efek samping ini lebih
banyak terjadi pada pasien lanjut usia (Wahyudi, 2015).
Karena pasien sudah lanjut usia jadi harus dilakukan monitoring gejala parkinsone dan
depresi. Jika pasien mengalami efek samping, maka obat segera dihentikan (Amstrong et al.,
2008).

DRP : -
Rekomendasi : Terapi dilanjutkan
Monitoring: Efektivitas (pusing berkurang); ESO (depresi, parkinson, sedasi dan penurunan
berat badan)

B. Citicholine inj 2x500 mg iv


Analisis : Penggunaan Citicoline iv 1000mg/hari direkomendasikan untuk terapi vertigo
sentral (Petrova, 2012). Sehingga Citicoline tepat indikasi, tepat obat. Tidak perlu ada
penyesuaian dosis untuk pasien dengan gangguan ginjal, sehingga terapi tepat dosis.

Menurut Grieb (2014), penggunaan Citicoline pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
dapat menyebabkan hiperfosfatemia. Tetapi pada kasus ini, pasien sudah mendapatkan terapi
CaCO3 yang dapat mengatasi hiperfosfatemia. Sehingga terapi tepat pasien karena tidak
kontraindikasi dengan kondisi pasien.

DRP : -
Rekomendasi : Terapi dilanjutkan
Monitoring : Efektivitas (pusing berkurang); ESO (hiperfosfatemia)

2. Problem medik : Dyspepsia Tope Mixed


Subyektif : Mual, nyeri ulu hati
Obyektif :-
Terapi :
A. Inj Ranitidin 2 x 1 A iv
Analisis : Pada pasien Tn T diberikan injeksi ranitidine sebagai terapi untuk dyspepsia.
Dyspepsia sendiri merupakan keluhan umum mulai dari gejala yang berasal dari saluran cerna
bagian atas sampai dieksklusinya gejala refluks. Untuk diyspepsia yang belum dinvestigasi tata
laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empiric selama 14 minggu sebelum
hasil investigasi awal, taitu pemeriksaan adanya Hp. Obat yang dapat digunakan dapat berupa
PPI, H2 Receptor Antagonis, prokinetik dan sitoprotektor, dimana pilihan ditentukan
berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Terapi Dyspepsia
tope mixed pada pasien lanjut usia, lebih aman diberikan terapi PPI (proton pump
inhibitor)(Dipiro, 2008 : hal 565).
Pasien mendapatkan NSAID berupa aspilet, aspilet memberikan efek samping GI, ulcer,
pendarahan, dan mual muntah, menurut Fallone,2002 mengatakan bahwa pasien yang
menerima NSAID perlu ditambah dengan PPI.
Pemberian Injeksi Ranitidin kurang tepat karna pada algoritme tatalaksana dyspepsia
fungsional dengan gejala mual yang dirasakan pasien sebaiknya diberikan prokinetik
(domperidone) dengan atau tanpa PPI.Selainitupemberianranitidin yang termasuk dalam H2
reseptor akan menyebabkan efek samping pada sistem saraf pusat, sehingga diganti dengan PPI
yaitu omeprazole dengan dosis 40 mg/hari (Lacy et al. 2009) dikombinasi dengan
domperidone.
(Simadibrata, et al. 2014)
DRP : tidak tepat pasien
Rekomendasi : terapi ranitidin diganti dengan omeprazole dosis 40 mg/
harikombinasidengandomperidone dan dilihat respon setelah 4 atau 8 minggu.
Monitoring : Monitoring efek samping diare dan sakit kepala.
Monitoring mual pasien berkurang.

3. Problem medik : Hipertensi Emergency


Subyektif : memiliki riwayat penyakit terdahulu HT sejak 10 tahun yang lalu
Obyektif : TD MSRS hari pertama 200/130 mmHg (>180 mmHg)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara
mendadak disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera
mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi intravena.
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada
kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral
secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan
darah bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan
darah masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam
awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan
akan mengakibatkan jantung dan pembuluh darah otak mengalami hipoperfusi.
Terapi :
A. Captopril 3x 25 mg p.o
Hipertensi emergensi adalah situasi yang membutuhkan penurunan tekanan darah secara
cepat untuk membatasi progresi atau kerusakan organ lebih lanjut. Hipertensi emergensi
membutuhkan terapi parenteral, dengan goal terapin bukan dibawah 140/90 mmHg, tetapi
lebih pada penurunan rata-rata dari tekanan arteri hingga 25% antara menit hingga jam
adalah target utamanya. Jika kondisi telah stabil, TD dapat diturunkan menjadi 160/11-110
mmHg pada 2-6 jam selanjutnya (Dipiro, 2008; 1980). Nitropusid merupakan drug of
choice pada kondisi hipertensi emergensi, akan tetapi dapat menjadi masalah jika diberikan
ada pasien gagal ginjal (Diprio, 2008;198).
(Diprio, 2008;198)
Fenoldopam dan nicardipin adalah obat baru yang dapat menjadi obat alternatif .
Fenoldopam merupakan agonis dopamin-1. Obat ini dapat meningkatkan aliran darah ke
ginjal dan dapat sangat bermanfaat bagi pasien dengan fungsi ginjal yang menurun.
Nicardipin dapat memvasodilatasi arteri dan dapat mengatasi cardiac iskhemia yang mirip
dengan nitrogliserin, akan tetapi dapat menyediaakan penurunan tekanan darah yang dapat
diprediksi (Dipiro, 2008;199).
Dipiro, 2008;199).
Pada kasus ini dokter meresepkan kaptopril yaitu yang merupakan obat golongan ACEI.
Sebenarnya jika mengacu pada (dipiro, 2008; 198-199) seperti yang telah dijelaskan diatas,
penanganan hipertensi emergensi pada pasien ini kurang tepat. Karena first line terapi
hipertensi emergensi pada CKD adalah nicardipin (Devicaesaria, 2014). Akan tetapi dengan
penggunaan kaptoril oral tersebut kondisi tekanan darah pasien sudah mencapai goal
terapinya pada hari ketiga. Target inisial penurunan tekanan darah 160/110 dalam jam atau
hari dengan konvensional terapi oral (JNC 7, 2004:54). Oleh karena itu, setalah tercapainya
goal terapi tekanan darah diberikan terapi antihipertensi untuk memelihara TD agar tetap
berada pada kondisi range normal.

( Devicaesaria, 2014).
Menurut (Dipiro, 2008; 182) firstline terapi antihipertensi pada pasien CKD adalah ACE
inhitor, sehingga pengobatan kaptorpil pada pasien direkomendasikan untuk dilanjutkan

(Dipiro, 2008; 182)


Menurut dipiro, 2008 halaman 183 dosis kaptorpil adalah 25-150 mg 2-3 x sehari, sedangkan
dokter meresepkan kaptorpil 3 x 25 mg PO sudah tepat dosis

a. tepat indikasi: tidak tepat karena captopril ditunjukkan untuk hipertensi urgensi.
Prinsipnya, hipertensi urgensi dapat ditangani dengan anti-hipertensi oral dengan perawatan
rawat jalan. Namun keadaan ini sulit untuk memonitor tekanan darah setelah pemberian
obat. Obat yang diberikan dimulai dari dosis yang rendah untuk menghindari terjadinya
hipotensi mendadak terutama pada pasien dengan resiko komplikasi hipotensi tinggi seperti
geriatri, penyakit vaskuler perifer dan atherosclerosis cardiovaskuler dan penyakit
intrakranial. Target inisial penurunan tekanan darah 160/110 dalam jam atau hari dengan
konvensional terapi oral (JNC 7, 2004:54).

(JNC 7, 2004:54).
Dalam kasus ini pasien menderita hipertensi emergensi. Prinsip penanganan hipertensi
emergensi ditentukan pada organ mana yang terlibat. Penanganan dilakukan dengan
pemeberian obat-obatan secara parenteral (JNC 7, 2004:54).

Ideal rate penurunan tekanan darah masih belum cukup jelas. Penurunan mean arterial
pressure 10% pada 1 jam awal dan 15% dalam 2 3 jam berikutnya direkomendasikan (JNC
7, 2004:54)
b. tepat pasien: terjadi kontraindikasi dengan kondisi klinis pasien.

DRP: Tidak ada DRP


Rekomendasi: terapi kaptopril 3 x 25 mg PO dilanjutkan
Monitoring:
Keberhasilan terapi
TD 140/90 mmHg (JNC,8)
ESO
Dimonitoring kadar kalium dalam darah harus dimonitoring (Resiko hiperkalemia)
Batuk kering, Rash, Hipotensi, Proteinurea, takikardi (MEDSCAPE)

4. Problem medik : Congestive Heart Failure


Subyektif : sesak, nyeri dada hilang timbul
Obyektif :-
Pasien menderita gagal jantung stage C menurut ACC/AHA dan stage II menurut NYHA,
karena telah terjadi kerusakan struktural pada jantung, tanda kelihatan, dan terdapat batasan
aktivitas ringan (Dipiro 7th: 216).

(Dipiro, hal: 216)

Terapi :
A. Captopril 3x25 mg po
Analisis: Tepat indikasi : Kaptopril merupakan obat golongan ACEI yang diindikasikan
untuk mengobati CHF (DIH: Captopril).

(DIH: Captopril)
Tepat obat : Menurut Dipiro (2008) dan PERKI (2015) pada HF stage C, ACEI merupakan
agen pertama untuk memperlambat keparahan HF.
(Dipiro 7th: 228)
(PERKI, 2015 hal: 22)
Tepat pasien: Kaptopril tidak kontraindikasi dengan keadaan pasien (DIH: Captopril)

(DIH: Captopril)
Tepat dosis : dosis awal kaptopril untuk gagal jantung yaitu 6,25 mg 3 x sehari. Sedangkan
target dosis untuk kaptopril sebagai terapi CHF adalah 50 mg 3 x sehari, sehingga
pemberian kaptopril dengan dosis 25 mg 3 x sehari sudah tepat, namun perlu ditingkatkan
sampai target dosis apabila belum terlihat penurunan gejala dan tanda (Dipiro 7th: 229).

(Dipiro 7th: 229)


Rekomendasi : Terapi dengan kaptopril dilanjutkan
Monitoring efektivitas: berkurangnya keparahan HF.
Monitoring toksisistas:Batuk, hiperkalemia (DIH 17th: Captopril).
B. Amlodipin 0-0-1 po 10 mg
Analisis: CCB seharusnya tidak dipergunakan karena efek yang ditimbulkan adalah
inotropik negative dan dapat menyebabkan perburukan pada gagal jantung. Tetapi golongan
CCB kecuali Amlodipin dan Felodipin. Amlodipin direkomendasikan untuk pasien gagal
jantung dengan komplikasi hipertensi, Amlodipin dapat digunakan untuk terapi tambahan
ketika hipertensi persisten meskipun sudah diterapi dengan ACEI/ARB, dan beta bloker.
Selain itu amlodipin juga memiliki manfaat untuk menghilagkan angina (PERKI, 2015).
Dosis yang direkomendasikan adalah dengan dosis awal 5 mg perhari dan ditingkatkan
menjadi 10 mg untuk mendapatkan efek yang adekuat (DIH 17th: Amlodipin)

DRP : -
Rekomendasi : Terapi dilanjutkan.
Monitoring efektifitas :
Berkurangnya gejala HF
TD normal
Monitoring toksisitas :
Hipotensi
Takikardi

C. Cedocard 8,5 cc/jam secara i.v


Analisis:
Tepat indikasi : Cedocard berisi ISDN tepat indikasi digunakan untuk mengobati CHF
(DIH, isosorbide dinitrate).

Tepat pasien : Cedocard tidak kontraindikasi dengan kondisi patofisiologis pasien (DIH,
isosorbide dinitrate).

Tidak tepat obat : Cedocard (ISDN) termasuk drug of choice pada algoritme
penanganan CHF stage C (dipiro, 2008: 219). Namun, ISDN biasanya dikombinasi
dengan hidralazine dan digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran dengan ACE-I
atau ARB (PERKI, 2015: 21). Dalam kasus ini pasien tidak mengalami intoleran terhadap
ACE-I (captopril) ditunjukkan kondisi klinis pasien tidak mengalami batuk yang
merupakan efek samping ACE-I umumnya/paling sering muncul.
(PERKI, 2015: 21)

(dipiro,
219)
DRP : Tidak tepat obat
Rekomendasi : Cedocard dihentikan (pasien hanya menggunakan cedocard pada hari ke-
1 dan ke-2 saja, penggunaan cedocard telah dihentikan pada hari ke-3).

5. Problem medik : Chronic Kidney Disease


Subyektif : udem, kaki bengkak
Obyektif : GFR = 3,132 CKD Stage 5
BUN 101 4 16 36

Creatinin 20,22 0,99 13,67 7,33

Perhitungan GFR
GFR = (140-usia) x BB / (72x Serum Kreatinin)
= (140-64) x 60 / (72x20,22)
= 3,132
Pasien dikategorikan dalam stage 5

Terapi :
A. Asam folat 3 x 1 p.o (Anemia)
Analisis: Anemia merupakan salah satu komplikasi pada CKD. Penyebab utama anemia pada
pasien CKD adalah penurunan produksi hormon eritropoetin di ginjal (Dipiro,2008 hal 800).
Terapi farmakologi untuk menangani anemia pada pasien CKD adalah terapi dengan ESA
untuk mengkoreksi defisiensi eritropoetin dan suplemen besi untuk mengkoreksi dan mencegah
defisiensi besi karena pendarahan dan meningkatnya iron demans yang berhubungan dengan
terapi inisiasi eritropoetin (Dipiro,2008 hal 806). Oleh karena itu penggunaan asam folat untuk
menangani anemia pada pasien CKD tidak tepat indikasi dan tidak tepat obat. Jadi disarankan
untuk terapi menggunakan darbepoetin alfa 0,45mcg/kg 1 x seminggu. (Dipiro,2008 hal 808).
Darbepoetin alfa memiliki waktu paruh yang lebih panjang dari epoetin alfa, sehingga
frekuensi penggunaan lebih sedikit (Dipiro,2008 hal 811). Untuk suplemen besi dapat diberikan
sediaan garam besi seperti fero sulfat 2x300 mg (DIH,2008)
(Dipiro,2008 hal 800)

(Dipiro,2008 hal 806-807)

(DIH,2008)
(Dipiro,2008 hal 808)

(Dipiro,2008 hal 811)

DRP : tidak tepat obat, tidak tepat indikasi


Rekomendasi : diganti dengan darbepoetin alfa 0,45mcg/kg 1 x seminggu dan fero sulfat 2x300
mg
Monitoring : kadar Hb, kadar besi. ES : demam, sakit kepala mual muntah
.
B. CaCO3 3x1 po (Metabolik Asidosis)
Subyektif : -
Obyektif :
pH 7,45 (Normal)
pCo2 35,6 (Normal)
pO2 85,5 (Normal)
HCO3 24,6 (Normal)
Analisis : Metabolik asidosis merupakan salah satu komplikasi dari CKD. Pada CKD yang
parah bikarbonat yang terfiltrasi diperoleh kembali, sedangkan kemampuan ginjal untuk
mensintesis amonia terganggu. Hal ini menurunkan kemampuan buffer urin sehingga
menurunkan eksresi asam dan menurunkan keseimbangan ion H+ sehingga terjadi
metabolik asidosis (Dipiro,2008 hal 800). Terapi metabolik asidosis pada pasien CKD
adalah bikarbonat untuk mengkoreksi asidemia(Dipiro,2008 hal 803). Tetapi pada pasien
pH, pCO2, pO2, dan HCO3 normal sehingga penggunaan CaCO3 tidak diperlukan.
DRP : ada obat tanpa indikasi
Rekomendasi : terapi dihentikan
(Dipiro,2008 hal 800)

(Dipiro,2008 hal 803)

I. KOMUNIKASI, INFORMASI, DAN EDUKASI PASIEN


Pemakaian obat:
- Flunarizine diminum 2 x 5 mg per hari
- Captopril diminum 3 x 25 mg per hari
- Amlodipin diminum 1 x sehari 10 mg malam hari
- Fero sulfat diminum 2 x 300 mg per hari
Terapi non farmakologi vertigo :
- Latihan vestibuler
- Latihan visual vestibuler
- Latihan berjalan (gait exercise)
Terapi non farmakologi CKD
- Menjaga keseimbangan natrium dan air
- Diet potassium 50-80 mEq/hari
- Menjaga asupan besi 1-2 mg/hari
- Hemodialysis
- Terapi pengganti ginjal
- Diet rendah protein
- Diet rendah gula

Anda mungkin juga menyukai