Anda di halaman 1dari 8

I.

PEMBAHASAN
Praktikum kali ini terkait penyakit stable angina dengan tujuan praktikum
antara lain Mengetahui definisi penyakit stable angina, Mengetahui patofisiologi
penyakit stable angina, Mengetahui tatalaksana penyakit stable angina (Farmakologi
& Non-Farmakologi), serta dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit stable angina
secara mandiri dengan menggunakan metode SOAP.
Stable Angina Pektoris (SAP) atau disebut juga angina pektoris yang stabil
yaitu bila nyeri timbul untuk pertama kali, sakit dada yang tiba-tiba terasa pada waktu
istirahat atau aktivitas minimal yang terjadi lebih berat secara mendadak atau bila
angina pectoris sudah ada sebelumnya namun menjadi lebih berat. Angina merupakan
gejala utama yang menandakan iskemia miokardial dan umumnya disebabkan oleh
aterosklerosis. Aterosklerosis ini mengakibatkan penyumbatan arteri koroner
mengurangi aliran darah dan oksigen ke jantung (Khotimah, dkk, 2022).
Angina dapat diklasifikasikan menurut tingkat keparahan gejala, induksi cacat,
atau kegiatan skala tertentu. Terdapat klasifikasi angina sesuai dengan derajatnya :
● Kelas 1 (angina saat aktivitas berat yang lama)
● Kelas 2 (angina saat aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari)
● Kelas 3 (angina saat aktivitas sehari-hari)
● Kelas 4 (angina saat istirahat) (Aughi,2017)
Angina stabil memiliki ciri-ciri yaitu rasa tidak nyaman seperti ditekan,
diremas, ditusuk, terbakar dan tercekik. Tempat terjadinya angin dan stabil ini yaitu
pada dada, di bawah sternum, rahang bawah, gigi, punggung belakang dan
pergelangan tangan. Durasi terjadinya yaitu sangat singkat kurang dari 10 menit,
kurang dari beberapa menit, hilang dengan beristirahat atau pemberian NTG, nitrat
buccal/SL. Penyebab terjadinya yaitu miokardial iskemia : otot jantung kekurangan
oksigen sehingga merilis adenosin yang akan berikatan dengan saraf mengakibatkan
timbulnya rasa nyeri melalui stimulus adenosin 1 (Claudio, 2015).
Pada angina stabil, hubungan antara beban kerja jantung dan iskemia relatif
dapat diprediksi. Penampang vaskuler normal memiliki kemampuan untuk
mengurangi tahanan yang diterimanya. Misal selama aktivitas yang berat (maksimal),
di mana pada saat itu laju dan volume alira daraah koroner dapat meningkat hingga 5-
6 kali lipat. Penurunan luas penampang lumen arteri karena arterosklerosis
mengurangi kemampuan vaskuler untuk menurunkan tahanan yang diterimanya
selama aktivitas. Hal ini mengakibatkan iskemia, dengan tingkat keparahan yang
berbanding lurus dengan derajat obstruksi lumen dan kebutuhan oksigen miokard
(Dipiro. 2011).

Berdasarkan hasil analisis dari kasus Tn. AS diatas yaitu CKD yang dialami
Tn. AS merupakan CKD stage 4 Karena memiliki nilai GFR 18 ml/menit/1,73m2 dan
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik serta ada rasa tidak nyaman pada
saat istirahat. Pada kasus tersebut Tn. AS juga memiliki riwayat penyakit lain yaitu
diantaranya HT, PJK, RA,DM. Pasien juga mengalami konstipasi. Untuk pasien
dengan CKD stadium 5, terapi hemodialisis (HD) merupakan salah satu pilihan utama
yang sering digunakan. Pasien yang menjalani hemodialisis membutuhkan waktu 12-
15 jam setiap minggunya, atau paling sedikit 3-4 jam per kali terapi. Kegiatan ini akan
berlangsung terus-menerus sepanjang hidupnya.
Berdasarkan hasil diagnosis maka harus dilakukan pemilihan obat yang tepat.
Pemilihan obat yang tepat dalam persiapan adalah obat tersebut sesuai dengan
diagnosis dan pedoman terapi. Pasien yang memiliki CKD sangat rentan terhadap
efek samping lainnya dengan agen yang secara rutin digunakan dalam pengelolaan
CKD dan kombinasi komorbid. Contohnya yaitu obat penenang misalnya (kodein dan
diazepam), dan efek hipoglikemik misalnya (glyburide), serta kelainan elektrolit
misalnya (penghambat sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS) (Claudio, 2015).
Tujuan tatalaksana angina pectoris stabil adalah untuk mengurangi gejala, dan
memperbaiki prognosis. Tatalaksana penyakit jantung koroner meliputi modifikasi
pola hidup, kontrol faktor risiko penyakit jantung koroner, dan terapi farmakologis
berdasarkan bukti-bukti yang telah ada, dan edukasi pasien (Dipiro. 2011).
Disarankan pasien untuk mengubah gaya hidupnya agar mengurangi konsumsi
kacang-kacangan berlebih (diet purin) untuk mengurangi hiperurisemia atau uric acid
yang tinggi pada pasien. Selain itu diharapkan pasien untuk tetap rutin menjalankan
aktivitas fisik namun tidak terlalu berat juga karena pasien juga menderita gagal ginjal
dan SCAD
Pada CKD dapat mengontrol tekanan darah dan kontrol parameter elektrode
kreatininin dan trigliserida. Ketosteril pengobatan gangguan ginjal kronik bersama
dengan diet tinggi kalori rendah protein 40 mg/hari atau kurang pada retensi yang
terkompensasi, yaitu umumnya pada penderita dengan laju filtrasi glomerulus antara 5
dan 50 ml/menit.
1. Ketosteril Asam ketoesensial 600 mg : Ketoanalog (ketoanalogues, KA)
adalah prekursor dari asam amino esensial yang dapat diubah menjadi asam amino
melalui reaksi transminasi, yaitu reaksi kimia yang mentransfer gugus amino (bagian
utama toksin uremik) ke KA untuk membentuk asam amino baru. Melalui reaksi ini
penggunaan KA dibuktikan dapat mengurangi kadar toksin uremik pada pasien GGK
sehingga mampu mengurangi beban ginjal (Dinda Nur Afra,dkk. 2019).
 Terapi non farmakologi yang dapat kita berikan pada pasien gangguan ginjal yaitu
berhenti merokok, mengurangi berat badan (Diet), kontrol protein diet, membatasi
asupan alkohol, olahraga dan membatasi asupan garam (Klahr,2018).
 Efektivitas: Disarankan kontrol tekanan darah dan kontrol parameter elektrolit
kreatinin dan trigliserida. Ketosteril pengobatan gangguan ginjal kronik bersama
dengan diet tinggi kalori rendah protein 40 mg/hari atau kurang pada retensi yang
terkompensasi, yaitu umumnya pada penderita dengan laju filtrasi glomerulus antara 5
dan 50 ml/menit (Indiarsa, 2021).
 Efek samping: Efek samping yang mungkin dapat terjadi yaitu hiperkalsemia (Kadar
kalsium yang tinggi) menyebabkan gejala gastrointestinalis, giddiness, dan polyuria
(Indiarsa, 2021).
Pada Hiperurisemia yaitu peningkatan kadar asam urat dalam darah yang
berkaitan dengan timbulnya gout dan batu ginjal. Batas atas normal adalah 6,8 mg/dL.
Peningkatan ini dapat disebabkan oleh peningkatan produksi, penurunan ekskresi,
atau kombinasi dari kedua proses tersebut. Pada hiperisemia diberikan febuxostat
dengan dosis 40 mg 1× sehari. Febuxostat merupakan xanthine oxidase inhibitor yang
memiliki efek menurunkan asam urat lebih kuat dari allopurinol. Febuxostat memiliki
efek antioksidan yang kuat karena febuxostat tidak harus dikonversi ke oxypurinol,
proses yang bisa menghasilkan oksigen reaktif. Febuxostat telah terbukti efektif dan
aman pada pasien dengan gangguan ginjal ringan sampai sedang. Dosis febuxostat
pada hiperluricemia dengan atau tanpa gout adalah 40-120 mg/hari. Febuxostat
dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitif terhadap febuxostat dan
komposisi lain dari sediaan.
 Efek samping febuxostat yaitu infeksi saluran pernapasan atas, diare, sakit
kepala, mual dan muntah. Febuxostat lebih tepat diberikan daripada allopurinol
karena terdapat efek samping pada pasien CKD yang lebih tinggi. Selain terapi
farmakologi adapun terapi non farmakologi yang dapat digunakan untuk
hiperisemia yaitu dengan cara modifikasi terhadap gaya hidup untuk menurunkan
berat badan menghentikan konsumsi alkohol dan Tiens rendah purin banyak
minum air putih minimal 2 liter sehari, menghentikan penggunaan diuretika
golongan tiazid.
 Terapi non farmakologi yang dapat digunakan untuk Hiperurisemia adalah
dengan cara modifikasi terhadap gaya hidup untuk menurunkan berat badan,
menghentikan konsumsi alkohol dan diet rendah purin Banyak minum air putih
(minimal 2 liter sehari), menghindari stress fisik dan mental dan menghentikan
penggunaan diuretika golongan tiazid (Murugaiyah, 2018).
 Efektivitas: Monitoring terapi pada peningkatan kadar asam urat dalam darah
yang melebihi batas normal yaitu diatas 7,0 mg/dl pada pria (Sitanggang,2006)
 Efek samping: Efek samping terkait pengobatan yang paling umum adalah sakit
kepala, radang sendi, sakit perut, mual, peningkatan tes ringan fungsi hati, dan
pusing (Gray dan Walters-Smith, 2016)

Pada hipertensi diberikan terapi kombinasi antara amlodipine dan lisinopril pemberian
terapi dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah berkala untuk melihat respon
penggunaan obat antihipertensi. Tekanan darah target 130/80 mmHg karena pasien
memiliki riwayat penyakit DM dan gagal ginjal. Kontrol optimal tekanan darah pada
pasien dengan angina stabil untuk mengurangi kejadian stroke dan MI. Sasaran tekanan
darah adalah < 140 mmHg untuk sistolik.
1. Lisinopril 5 mg : Lisinopril merupakan sebuah obat yang dapat menghambat
angiotensin-converting enzyme (ACE) pada manusia dan hewan. ACE adalah
sebuah peptide dipeptidase yang mengkatalis perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II. Angiotensin II adalah sebuah substansi vasokonstriktor yang
menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Efek positif dari penggunaan
lisinopril pada penderita hipertensi dan gagal jantung didapatkan dari penekanan
pada sistem renin-angiotensin-aldosteron (Sadat-Ebrahimi, 2018).
2. Amlodipine 5 mg : Amlodipine bekerja dengan menghambat masuknya kalsium
kedalam sel otot polos dan pembuluh darah dan sel-sel miokard, hal ini
menyebabkan penurunan resistensi pembuluh darah perifer. Dosis amlodipine
sebagai obat antihipertensi adalah sebesar 5 mg/hari dengan dosis maksimum
sebesar 10 mg/hari. Edema perifer merupakan efek samping yang sering terjadi
dalam penggunaan amlodipine. Amlodipine dapat digunakan dan direkomendasikan
sebagai terapi inisiasi dan pemeliharaan pengobatan antihipertensi baik monoterapi
maupun kombinasi dengan obat lain (Umi Khairiyah, dkk. 2022).
 Terapi non farmakologi yang dapat kita berikan pada pasien Mengurangi
makanan dengan kandungan garam yang tinggi, tidak merokok, berolahraga
dan mengatur pola makan (Jack, 2015. )
 Efektivitas: Pemberian terapi dilakukan monitoring dengan pemeriksaan
tekanan darah berkala untuk melihat respon penggunaan obat antihipertensi.
Penurunan tekanan darah target 130/80 mmHg karena pasien memiliki riwayat
penyakit DM dan gagal ginjal. Kontrol optimal tekanan darah pada pasien
dengan angina stabil untuk mengurangi kejadian stroke dan MI. Sasaran
tekanan darah adalah <140 mmHg untuk sistolik (Widodo, 2014).
 Efek samping: Pusing, sakit kepala, alopesia, hipotensi, edema perifer,
gangguan tidur, lemas, berdebar, mual muntah.

Pada konstipasi diberikan laxadine dengan dosis 1x1. Pasien mengalami angina
stabil sehingga tidak boleh mengeluarkan tenaga terlalu besar, sehingga diberikan
laxadine untuk mempermudah pasien saat BAB. Senyawa yang merangsang sekresi
cairan dan saraf pada mukosa mengakibatkan kontraksi sehingga terjadi pergerakan
usus peristaltik dalam waktu 6-12 jam atau 15-60 menit. Laxadine bekerja dengan
cara merangsang gerakan peristaltik usus besar, dan menghambat reabsorbsi udara.
1. Laxadine adalah obat yang mengandung phenolphthalein, liquid paraffin, dan
glycerin. Obat ini berfungsi untuk menangani masalah sembelit. Komposisi pada
Laxadine bekerja dengan cara mengalirkan cairan ke usus, sehingga membuat tinja
lebih mudah untuk dikeluarkan
 Terapi farmakologi yang dapat kita berikan kepada pasien menganjurkan untuk
makan makanan yang kaya serat, buah-buahan, sayuran, biji-bijian, dan kacang-
kacangan, minum banyak air, olahraga teratur, jangan menunda buang air besar,
jangan makan makanan memicu sembelit dan minum obat rutin (Jack, 2015).
 Efektivitas: Senyawa yang merangsang sekresi cairan dan saraf pada mukosa
mengakibatkan kontraksi sehingga terjadi pergerakan usus (peristaltik) dalam
waktu 6-12 jam atau 15-60 menit. Laxadine bekerja dengan cara merangsang
gerakan peristaltik usus besar, menghambat reabsorbsi udara (Dewi, 2014).
 Efek samping: Ruam kulit, rasa panas terbakar, kehilangan cairan dan elektrolit
tubuh, pruritis, diare, mual, dan muntah (Sweetman, 2019)

Rheumatoid arthritis (RA) merupakan suatu penyakit peradangan kronis (terjadi


dalam jangka waktu yang panjang) pada sendi. Penyakit ini juga merupakan salah satu
penyakit autoimun yang paling sering terjadi pada sendi. RA paling sering mengenai
sendi kecil di tangan dan kaki, serta beberapa sendi sekaligus. Tidak hanya sendi yang
mengalami peradangan, namun dapat terjadi juga peradangan pada organ-organ tubuh lainnya
seperti mata dan paru-paru. Pada arthritis rheumatoid diberikan terapi novalgin (prn) dan
metamizole Na bila perlu, diberi jika rasa sakit kambuh. Terapi novalgin dapat mengontrol
rasa nyeri atau peradangan yang disebabkan oleh arthritis rheumatoid.
1. Metamizole 500 mg : Mekanisme kerja golongan obat ini adalah sebagai penghambat
enzim siklo-oksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi Prostaglandin
G2 terganggu. Setiap obat menghambat enzim siklo-oksigenase dengan cara yang
berbeda dari segi kekuatan maupun selektivitasnya. Kebanyakan OAINS bersifat
inhibitor nonselektif sehingga akan menghambat kedua isoenzym, COX-1 dan COX-2
(Farida, U., dkk, 2018)
 Terapi non farmakologi RA (Rheumatoid Arthritis) dapat dilakukan dengan
mengenakan pakaian tipis, lebih sering minum, banyak istirahat, mandi dengan air
hangat, serta memberi kompres (Saito, 2013).
 Efektivitas: Mengontrol rasa nyeri atau peradangan yang disebabkan oleh Arthritis
rheumatoid
 Efek samping: Kemerahan pada kulit, gatal, sensasi panas di kulit, mual, dan muntah
(Dewi, 2014)

Pengobatan albuminar 25% pada hipoalbumin dihentikan karena dilihat dari hasil
pemeriksaan terakhir, kadar albumin di dalam darah pasien telah berada pada rentang normal
 Terapi farmakologi yang dapat kita berikan kepada pasien dapat dilakukan dengan
diet sehat tidak mengkonsumsi makanan yang kaya protein, terapi nutrisi, mengurangi
stres olahraga teratur serta istirahat yang cukup (Yulianda D, 2020).
Diabetes militus tipe 2 Suatu kondisi kronis yang mempengaruhi cara tubuh memproses gula
darah (glukosa).Pada diabetes tipe 2, tubuh tidak memproduksi cukup insulin, atau menolak
insulin. Gejala berupa rasa haus meningkat, sering buang air kecil, lapar, lelah, dan
penglihatan kabur. Pada beberapa kasus, tidak ada gejala. Pada diabetes mellitus tipe 2
Diberikan terapi obat golongan biguanid untuk pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan angina
stabil. Yang direkomendasikan pada kasus ini yaitu Metformin. Dengan dosis metformin 500
mg 1x1.Selama penggunaan pasien dapat mengontrol kadar gula di dalam tubuhnya menjadi
200 mg/dL, dengan melakukan test darah rutin
Efek samping: Efek samping tersebut meliputi mual, muntah, diare, perut kembung, dan
hipoglikemia, gangguan gastrointestinal (Depkes RI, 2016)
Terapi non farmakologi yang dapat kita berikan pada pasien diabetes mellitus tipe 2 aktivitas
fisik modifikasi gaya hidup, program penurunan berat badan , diet sehat ,latihan jasmani dan
menghentikan merokok (PERKENI, 2019).
Dislipidemia adalah kondisi di mana kadar kolesterol, yaitu LDL, HDL, dan trigliserida,
tidak normal. Kondisi ini sering kali tidak menimbulkan gejala khusus dan baru disadari
ketika penderita melakukan pemeriksaan darah. Dislipidemia dapat dipicu oleh gaya hidup
yang tidak sehat atau kelainan genetic
SCAD (Diseksi arteri koroner spontan) (Jantung Koroner)
kelainan berbahaya yang jarang terjadi ketika salah satu arteri yang memasok darah ke
jantung robek secara spontan. Kelainan ini dapat menyebabkan serangan jantung pada orang
muda, walau tidak ditemukan faktor risiko.
Pada pasien angina stabil dengan dislipidemia disarankan penggunaan statin dosis tinggi,
seperti Atorvastatin 80 mg berdasarkan NICE guidelines. Diberikan dengan dosis 80 mg 1x
sehari.
● Modifikasi gaya hidup yang berfokus pada penurunan berat badan (jika diperlukan),
dapat juga menerapkan pola makan mediterania atau pendekatan pola makan untuk
menghentikan hipertensi, mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak trans,
meningkatkan asupan asam lemak omega-3, serat, dan tumbuhan stanol/sterol
tumbuhan, dan meningkatkan aktivitas fisik yang bertujuan untuk memperbaiki profil
lipid dan mengurangi resiko penyakit kardiovaskular aterosklerotik pasien
(Wahyuningsih, R. 2013).
● Terapi Non farmakologi yang dapat dilakukan pada SCAD yaitu dengan membatasi
kalori dan asupan garam, lemak, dan kolesterol serta menghentikan merokok, dan
melakukan latihan fisik secara teratur (Saputra, 2014).
● Efektivitas: Dislipidemia disebabkan oleh terganggunya metabolisme lipid
akibat interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan. Dilakukan pengukuran
kadar trigliserida untuk control. Target Kadar trigliserida yang diinginkan adalah
< 150 mg/dL. Panduan ESC/EAS 2016.
Efek samping: Efek samping umum untuk pasien yang memakai atorvastatin termasuk
artralgia, dispepsia, diare, mual, nasofaringitis, insomnia, infeksi saluran kemih, dan nyeri
pada ekstremitas. Miopati terjadi pada pasien yang memakai atorvastatin, termasuk nyeri
otot, nyeri otot, atau kelemahan otot, dengan peningkatan creatine

Anda mungkin juga menyukai