Anda di halaman 1dari 8

Tata Laksana Farmakologi dan Nonfarmakologi, Pengkajian Umum, dan

Asuhan Keperawatan Ketidakefektifan Manajemen Kesehatan Diri

Kezia Arihta Sembiring, 1906400646, Kelompok 8, Kep. Dewasa-C

Pada kasus pemicu keempat, diceritakan mengenai seorang pasien laki-laki berusia 50
tahun memiliki keluhan nyeri dada menjalar. Pasien adalah seorang perokok aktif dan telah
mengalami hipertensi selama delapan tahun, pasien juga memiliki riwayat mengkonsumsi
makanan-makanan yang berlemak. Pasien sudah beberapa kali berobat, namun pasien tidak selalu
meminum obat yang diberikan. Setelah mengetahui kondisi pasien berdasarkan kasus, maka tata
laksana farmakologi dan nonfarmakologi untuk klien hipertensi perlu diberikan. Sebelum
diberikan asuhan keperawatan, pengkajian umum akan dilakukan terlebih dahulu kemudian akan
ditetapkan diagnosisnya.

Pembahasan pertama adalah mengenai tata laksana famakologi terlebih dahulu. Terapi
farmakologi diawali dengan pemakaian obat tunggal yang bergantung pada level tekanan darah
awal. Rata-rata, penggunaan pemakaian obat tunggal atau monoterapi dapat menurunkan sistol
sekitar 7—13 mmHg dan diastole sekitar 4—8 mmHg (Kandarini, 2017). Menurut Lewis,
rekomendasi untuk terapi antihipertensi dari 2017 High Blood Pressure Clinical Practice
Guidelines adalah sebagai berikut (Lewis et al., 2017):

1. Pada pasien 65 tahun atau lebih dengan rata-rata tekanan darah sistolik lebih dari 130
mmHg yang sedang menjalani rawat jalan dan tinggal di lingkungan komunitas, daripada
tinggal di fasilitas perawatan, tujuan pengobatan harus mendapatkan tekanan darah sistolik
<130 mmHg.
2. Pada pasien 65 tahun atau lebih dengan rata-rata tekanan darah sistolik lebih dari 130 mm
Hg yang tinggal di fasilitas perawatan, dan / atau memiliki beberapa penyakit penyerta atau
harapan hidup terbatas, pengobatan harus didasarkan pada preferensi pasien, pengalaman
klinis, dan masukan tim.
3. Pada pasien berusia di atas 18 tahun dengan hipertensi, penyakit kardiovaskuler yang
diketahui atau faktor risiko lainnya, TD 130/80 mm Hg adalah tujuan pengobatan.
4. Pada semua pasien lain tanpa penyakit kardiovaskuler atau faktor risiko lain, tekanan darah
kurang dari 130/80 mm Hg mungkin masuk akal.

Obat-obatan untuk mengobati hipertensi yang saat ini tersedia memiliki dua tindakan
utama, yaitu untuk menurunkan volume darah yang bersirkulasi dan mengurangi resistensi
vaskular sistemik. Berikut ini merupakan obat-obatan yang dapat digunakan beserta rasionalnya:

- Agen penghambat adrenergik bekerja dengan mengurangi efek SNS yang meningkatkan
tekanan darah. Inhibitor adrenergik termasuk obat yang bekerja secara terpusat pada pusat
vasomotor dan secara perifer untuk menghambat pelepasan norepinefrin atau untuk
memblokir reseptor adrenergik pada pembuluh darah.
- Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE) mencegah konversi angiotensin I menjadi
angiotensin II dan mengurangi vasokonstriksi yang diperantarai angiotensin II (A-II) serta
retensi natrium dan air.
- Penghambat reseptor A-II (ARB) mencegah angiotensin II mengikat reseptornya di
dinding pembuluh darah.
- Penghambat saluran kalsium (CCB) meningkatkan ekskresi natrium dan menyebabkan
vasodilatasi arteriol dengan mencegah pergerakan kalsium ekstraseluler ke dalam sel.
- Vasodilator langsung menurunkan TD dengan merelaksasi otot polos vaskular dan
mengurangi SVR.
- Diuretik meningkatkan ekskresi natrium dan air, mengurangi volume plasma, dan
mengurangi respons vaskular terhadap katekolamin.

Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang perlu diingat atau diwaspadai pada saat
menggunakan obat doxazosin atau Cardura. Perlu diingat bahwa perawat harus berhati-hati saat
memberikan dosis pertama. Berikan dosis pertama pada waktu tidur untuk mengurangi penurunan
tekanan darah dosis pertama. Kemudian, terkadang sinkop terjadi 30 sampai 90 menit setelah dosis
pertama, peningkatan dosis yang terlalu cepat, atau penambahan agen antihipertensi lain pada
terapi. Ketiga, interaksi obat (tekanan darah rendah yang parah) dapat terjadi pada pasien yang
menggunakan inhibitor fosfodiesterase, seperti sildenafil (Viagra) atau tadalafil (Cialis).

Setelah terapi antihipertensi dijalankan, pasien harus kembali ditindaklanjuti dan


melakukan penyesuaian dosis pada interval bulanan hingga tujuan tekanan darahnya tercapai.
Untuk pasien dengan hipertensi stadium 2 atau dengan penyakit penyerta, kunjungan (follow-up)
perlu dilakukan lebih sering. Setelah tekanan darah mencapai tujuan dan stabil, kunjungan tindak
lanjut biasanya dilakukan pada interval 3—6 bulan. Komorbiditas (misalnya gagal jantung),
penyakit terkait (misalnya diabetes), dan kebutuhan untuk pemantauan berkelanjutan (misalnya
pengujian laboratorium) juga mempengaruhi frekuensi kunjungan (Lewis et al., 2017).

Selain tata laksana farmakologi, tata laksana nonfarmakologi penting untuk diketahui dan
diterapkan kepada pasien dengan diagnosis medis hipertensi. Tata laksana nonfarmakologi terdiri
dari reduksi berat badan, latihan, diet, penghentian rokok, dan terapi relaksasi (Lilly, 2016).
Reduksi berat badan dilakukan mengingat obesitas dan hipertensi sangat berkorelasi. Penurunan
tekanan darah menyebabkan penurunan berat badan pada sebagian besar pasien hipertensi yang
lebih dari 10% di atas berat badan ideal mereka. Setiap 10 kg penurunan berat badan dikaitkan
dengan 5 sampai 20 mmHg semua pada TD sistolik. Pada terapi latihan, latihan aerobik teratur,
seperti berjalan kaki, joging, atau bersepeda, telah terbukti berkontribusi pada penurunan tekanan
darah melebihi dan di atas semua penurunan berat badan yang diakibatkan.

Diet perlu dilakukan penting untuk menurunkan tekanan darah, terdapat diet natirum,
kalium, alkohol, dan lainnya. Diet natrium atau garam dilakukan karena kebanyakan pasien
hipertensi memiliki sensitivitas terhadap kadar natrium. Selain itu, rendahnya garam juga
cenderung meningkatkan keefektifan obat antihipertensi secara umum. Kedua yaitu kalium, di
mana kekurangan kalium akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, penurunan tersebut
terjadi karena kurangnya makan buah dan sayuran, atau mengambil diuretik pembuang kalium.
Selanjutnya diet alkohol, di mana asupan kronisnya dapat menyebabkan tekanan darah tinggi dan
resistensi terhadap obat antihipertensi, tekanan darah terutama sistolik dapat meningkat akut
setelah mengkonsumsi alkohol. Untuk diet lainnya misalnya konsumsi kafein sementara dapat
meningkatkan tekanan darah sebesar 5—15 mmHg, yaitu setelah dua cangkir kopi.

Untuk menetapkan diagnosis keperawatan dan melaksanakan asuhan keperawatan, maka


pengkajian perlu terlebih dahulu dilakukan. Terdapat data subjektif dan objektif yang perlu
dimiliki oleh perawat. Pada data subjektif, hal pertama yang dapat dicatat oleh perawat adalah
informasi kesehatan penting, mencakup riwayat kesehatan masa lalu dan obat-obatan yang sedang
dikonsumsi. Riwayat kesehatan masa lalu terdiri dari durasi yang diketahui dan pemeriksaan
tekanan darah tinggi di masa lalu; adanya penyakit kardiovaskular, serebrovaskular, ginjal, atau
bahkan tiroid; riwayat penyakit diabetes; gangguan hipofisis; obesitas atau kegemukan;
dislipidemia; menopause pada wanita atau status perubahan hormon. Pada obat-obatan, dapat
diperhatikan penggunaan obat atau produk resep apa saja, apakah obat tersebut merupakan obat
berdasarkan resep, obat yang dijual bebas atau tanpa resep, obat rekreasional, atau herbal, serta
penggunaan terapi obat antihipertensi.

Kemudian pada data subjektif, pola kesehatan fungsional juga perlu diperhatikan, yaitu
persepsi kesehatan-manajemen kesehatan, perhatikan riwayat keluarga apakah ada yang hipertensi
atau memiliki penyakit kardiovaskular lainnya, apakah klien merokok dan mengkonsumsi alkohol,
lihat apakah klien termasuk golongan yang memiliki gaya hidup monoton, literasi kesehatan, dan
kesiapan pasien untuk berubah. Lalu, kaji nutrisi-metabolik yaitu asupan garam dan lemak biasa
dan kenaikan atau penurunan berat badan. Eliminasi, misalnya nokturia, juga perlu dicatat.
Aktivitas dan latihan klien juga perlu dikaji, yaitu tingkat kelelahan (apakah mengalami dispnea
saat beraktivitas, palpitasi, atau nyeri dada), klaudikasio intermiten, kram otot, serta pola dan jenis
latihan biasanya. Kemudian, perawat juga dapat mengkaji persepsi kognitif (apakah pusing,
penghilatan kabur, atau parestesia), reproduksi sekskual (disfungsi ereksi dan penurunan libido),
serta koping toleransi tes.

Untuk data objektif, perawat dapat mengkaji kardiovaskular, gastrointestinal, dan


neurologis. Pada kardiovaskular, apabila tekanan darah sistol secara konsisten kurang dari 130 mm
Hg atau tekanan darah diastol lebih dari 80 mm Hg; perubahan ortostatik pada tekanan darah dan
detak jantung; tekanan darah bilateral berbeda secara signifikan; suara jantung yang tidak normal;
nadi apikal yang dipindahkan ke lateral; denyut perifer menurun atau tidak ada; bising karotis,
ginjal, atau femoralis; edema perifer. Untuk gastrointestinal, misalnya temuan berupa obesitas
(BMI 30 kg/m2) dan rasio pinggang-pinggul abnormal. Untuk neurologis, perhatikan status mental
klien. Kemungkinan temuan diagnostiknya adalah Elektrolit serum abnormal (terutama kalium);
menaikkan kadar BUN, kreatinin, glukosa, kolesterol, dan trigliserida; proteinuria, albuminuria,
hematuria mikroskopis; bukti penyakit jantung iskemik dan hipertrofi ventrikel kiri pada EKG;
bukti penyakit jantung struktural dan hipertrofi ventrikel kiri pada ekokardiogram; bukti nicking
arteriovenosa, perdarahan retina, dan papiledema pada pemeriksaan funduskopi.

Berdasarkan kasus, data subjektif yang didapatkan adalah klien mengalami nyeri dada,
nyeri tersebut terasa seperti tertekan dan menjalar ke bahu dan lengan kiri sejak 30 menit sebelum
masuk RS, pasien sudah mengatakan bahwa Ia mengkonsumsi obat nitrogliserin dan nyerinya
berkurang. Klien merupakan seorang perokok dan memiliki hipertensi selama delapan tahun,
selain itu pasien memiliki riwayat makan makanan berlemak. Klien juga sudah beberapa kali
berobat, mendapat obat antihipertensi, namun tidak meminum obat tersebut. Untuk data objektif,
TD 150/90 mmHg. Nadi: 110x/mnt, pernapasan 26x/mnt, suhu afebris. Pasien tampak sangat
cemas. Terdapat peningkatan enzim jantung dan EKG tidak terdapat perubahan ST elevasi.
Apabila dikaitkan dengan kasus dan pengkajian di atas dilakukan semua, maka diagnosis
keperawatan yang dapat diangkat adalah risiko penurunan curah jantung, nyeri akut, dan
ketidakefektifan manajemen kesehatan diri. Risiko penurunan curah jantung dapat dilihat
berdasarkan data objektif dan riwayat pasien yang memiliki hipertensi Kemudian, terdapat
diagnosis nyeri dada dilihat dari keluhan klien yang mengalami nyeri pada bagian dada. Untuk
diagnosis ketidakefektikan manajemen kesehatan diri, dapat dilihat berdasarkan bagaimana klien
tidak meminum obat yang diberikan saat berobat, merokok, dan makan makanan berlemak.

Ketidakefektikan manajemen kesehatan diri merupakan pola pengaturan dan


pengintegrasian ke dalam kehidupan sehari-hari rejimen terapeutik untuk pengobatan penyakit dan
gejala sisa yang tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan kesehatan tertentu (NANDA-I, 2017).
Karakteristik untuk diagnosis ini adalah kesulitan dengan rejimen yang ditentukan, kegagalan
untuk memasukkan rejimen pengobatan dalam kehidupan sehari-hari, kegagalan mengambil
tindakan untuk mengurangi faktor risiko, dan pilihan yang tidak efektif dalam kehidupan sehari-
hari untuk memenuhi tujuan kesehatan. Setelah menetapkan diagnosis, maka perencanaan dan
intervensi dapat dilakukan. Tujuan atau outcome dari perencanaan adalah sebagai berikut (Marion,
2013):

- Mampu melakukan manajemen diri terhadap penyakit yang dimiliki, yaitu hipertensi
- Memiliki pengetahuan mengenai manajemen hipertensi
- Memiliki pengetahuan mengenai manajemen nyeri
- Pengontrolan gejala
- Klien menjadi patuh untuk melakukan diet sehat
- Agar mampu melakukan pengambilan keputusan

Intervensi yang dapat diterapkan beserta rasionalnya adalah sebagai berikut (Doenges,
2019):
1. Temani klien dalam mengidentifikasi faktor risiko yang dapat diubah, seperti obesitas,
diet dengan sodium tinggi, lemak jenuh, dan kolesterol, serta merokok. Rasional:
Faktor risiko tersebut berkontribusi pada hipertensi.
2. Selesaikan masalah bersama klien dalam mengidentifikasi cara mengubah gaya hidup
yang baik. Rasional: Mengubah hal ini akan sulit. Dukungan, arahan, dan empati dapat
meningkatkan kesuksesan klien.
3. Diskusikan pentingnya untuk berhenti merokok dan temani klien membuat
perencanaan berhenti merokok. Rasional: Nikotin meningkatkan pelepasan
catecholamine, yang membuat denyut jantung dan tekanan darah meningkat,
vasokontriksi, dan beban kerja pada miokardial, serta mengurangi oksigenasi jaringan.
4. Berikan penguatan pada pentingnya mengikuti rejimen perawatan dan tetap mengikuti
janji. Rasional: Kurangnya keterikatan dalam rencana perawatan dapat menjadi alasan
gagalnya terapi antihipertensi.
5. Instruksikan klien untuk mengkonsultasikan ke penyedia layanan kesehatan sebelum
meminum obat bebas atau obat tanpa resep. Rasional: Obat apapun yang mengandung
stimulan saraf simpatik dapat meningkatkan TD atau menetralkan efek obat
antihipertensi.
6. Instruksikan klien mengenai meningkatkan masuknya makanan dan cairan yang tinggi
kalium, seperti jeruk, pisang, buah ara, kurma, tomat, kentang, kismis, apricot, jus, dan
makanan yang tinggi kalsium seperti susu rendah lemak, yogurt, atau suplemen
kalsium. Rasional: Beberapa diuretic dapat menguras level kalium.
7. Ulas tanda dan gejala yang yang klien alami, pada kasus ini adalah nyeri bagian dada,
napas pendek, denyut nadi tinggi, dan suhu afebris. Rasional: Deteksi dini dan
melaporkan komplikasi yang berkembang, penurunan efektivitas rejimen obat, atau
ketidakcocokan reaksi intervensi.
8. Jelaskan obat yang telah diresepkan bersamaan dengan rasionalisasinya, dosis, dan hal
yang diharapkan serta efek samping. Rasional: Informasi dan pemahaman yang
adekuat dapat meningkatkan komitmen klien di rencana perawatan.

Setelah menetapkan perencanaan intervensi, langkah selanjutnya adalah dengan


mengimplementasikan perencanaan tersebut. Implementasi keperawatan merupakan serangkaian
kegiatan yang berdasarkan intervensi atau perencanaan yang telah dibuat oleh perawat. Dalam
melakukan implementasi, penting untuk perawat tetap melakukan komunikasi terapeutik kepada
klien. Hal pertama yang dilakukan sebelum mengimplementasikan intervensi keperawatan adalah
mencuci tangan, masuk ke dalam ruangan klien dan memperkenalkan diri serta memastikan
identitas klien sudah sesuai atau belum. Lakukan orientasi berupa salam, evaluasi, validasi, dan
kontrak. Setelah itu, mulai lakukan fase kerja dengan mengkaji keadaan klien kemudian
menetapkan diagnosis, yaitu ketidakefektikan manajemen kesehatan, kemudian tindakan
dilakukan berupa intervensi-intervensi yang telah disusun. Akan tetapi, perlu diingat bahwa
implementasi keperawatan untuk diagnosis ini dilakukan setelah klien sadar karena klien
disebutkan sedang beristirahat total. Setelah itu, perawat melakukan fase terminasi yaitu evaluasi
dan rencana tindak lanjut.

Untuk evaluasi dapat menggunakan format SOAP, yaitu subjektif, objektif, asesmen, dan
perencanaan. Catatan OAP adalah bagian penting dari informasi tentang status kesehatan pasien
serta dokumen komunikasi antara profesional kesehatan (Podder et al., 2021). Untuk subjektifnya
adalah klien mengatakan bahwa sudah beberapa kali diberikan obat namun tidak selalu
meminumnya, aktif merokok, dan makan makanan yang berlemak. Untuk data objektifnya adalah
pasien tampak cemas dan TD 150/90 mmHg. Nadi: 110x/mnt, pernapasan 26x/mnt, suhu afebris.
Data asesmen atau penilaian adalah diagnosis untuk kasus tersebut berupa ketidakefektifan
manajemen kesehatan dan tindakannya adalah dengan melakukan observasi kepada klien,
menanyakan terkait pengetahuan klien dan tindakan yang Ia lakukan dalam mengatasi
penyakitnya, serta melakukan intervensi yang sudah direncakan. Perencanaan yang dibuat oleh
perawat, yaitu mampu melakukan manajemen diri terhadap penyakit yang dimiliki, yaitu
hipertensi, memiliki pengetahuan mengenai manajemen hipertensi, memiliki pengetahuan
mengenai manajemen nyeri, pengontrolan gejala, klien menjadi patuh untuk melakukan diet sehat,
dan agar mampu melakukan pengambilan keputusan.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M. E. M. F. M. house; A. C. M. (2019). Guidelines for Individualizing Client Care


Across the Life Span lOTH EDITION INDEX OF DISEASES / DISORDERS. 569–581.

International, N. (2017). NANDA nursing diagnosis: definitions and classification 2015-2017. In


Journal of Nursing UFPE on line (Vol. 11, Issue 7). https://doi.org/10.5205/1981-8963-
v11i7a23458p2816-2817-2017

Kandarini, Y. (2017). PKB-TRIGONUM SUDEMA-ILMU PENYAKIT DALAM XXV


Tatalaksana Farmakologi Terapi Hipertensi. 13–14.

Lewis, S. L., Bucher, L., Heitkemper, M. M., & Harding, M. M. (2017). Medical-Surgical
Nursing - Assessment and Management of Clinical Problems. 264–265.

Lilly, L. S. (2013). Pathophysiology of heart disease: A collaborative project of medical students


and faculty: Fifth edition. In Pathophysiology of Heart Disease: A Collaborative Project of
Medical Students and Faculty: Fifth Edition.

Marion, J. (2013). Nursing Outcomes Classification. In St Louis Mosby.

Podder V, Lew V, Ghassemzadeh S. SOAP Notes. [Updated 2020 Sep 3]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482263/

Anda mungkin juga menyukai