Anda di halaman 1dari 4

Pengkajian dan Perencaan terhadap Diagnosis Hambatan Komunikasi Verbal

pada ABK

Kezia Arihta, 1906400646, FG 3, Kep. Jiwa Psikiatri-C

Seorang anak dengan inisial S berusia tujuh setengah tahun didiagnosa memiliki autisme.
Orang tua pasien mengalami bingung dan kewalahan karena anak tersebut hiperaktif, sering
marah dan mengamuk tanpa alasan, menangis tiba-tiba, belum mampu berkomunikasi dengan
tepat, dan belum mampu mengungkapkan perasaan yang Ia rasakan. Anak S juga masih perlu
dibantu dalam membersihkan diri, makan dan minum, hingga toileting. Maka dari itu, perawat
perlu memberikan asuhan keperawatan untuk menangani permasalahan yang dialami oleh
keluarga tersebut. Sebelum melakukan asuhan keperawatan, pengkajian dan perencanaan perlu
dilakukan terlebih dahulu agar asuhan keperawatan yang diberikan dapat dilaksanakan dengan
baik. Lembar ini akan menjabarkan pengkajian dan perencanaan terhadap diagnosis hambatan
komunikasi verbal yang dialami oleh anak S.

Hambatan komunikasi verbal yang dialami oleh anak S dapat dilihat dari
ketidakmampuan anak untuk berkomunikasi secara tepat dan belum dapat mengungkapkan
perasaan yang Ia rasakan. Terhambatnya komunikasi verbal berhubungan erat dengan diagnosa
autisme yang dimiliki klien. Menurut NIH (2020), anak yang memiliki autism spectrum disorder
(ASD) cenderung memiliki egoisme yang tinggi dan berada di dunianya sendiri sehingga
memiliki kemampuan yang terbatas untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.
Pola komunikasi verbal anak yang memiliki autisme adalah bahasa yang berulang-ulang atau
kaku dan perkembangan bahasa yang tidak merata.

Pada kasus ini, perawat perlu mengkaji tanda dan gejala mayor dan minor yang dimiliki
oleh anak. Klien tidak memiliki tanda dan subyektif dikarenakan klien memiliki masalah dalam
mengungkapkan sesuatu secara verbal. Tanda dan gejala mayor yang dapat dikaji perawat secara
obyektif adalah ketidakmampuan klien dalam berbicara, menunjukkan respons yang tidak sesuai
(inkoheren), dan ketidakmauan klien untuk berbicara sama sekali. Untuk tanda gejala minor
dapat dilihat dari tidak adanya kontak mata atau tidak mau menatap lawan bicara, sulit
memahami dan mempertahankan komunikasi, kurang mampu menggunakan ekspresi wajah dan
tubuh, disorientasi orang, tempat, dan waktu, menggunakan kata-kata yang berarti simbolik
untuk individu tersebut (neologisme), menggunakan kata-kata yang tidak memiliki arti dan tidak
berhubungan, menggunakan kata-kata bersajak dengan bentuk tidak umum (asosiasi gema),
mengulang kata-kata yang didengar (ekolalia), menggunakan kata-kata yang tidak sesuai dengan
apa yang ditanyakan orang lain, ketidakmampuan berpikir abstrak, berbicara berbelit-belit, dan
pada saat bicara, secara tiba-tiba berhenti dan meneruskan bicara kembali namun tidak ada
hubungannya dengan pembicaraan awal atau blocking (Keliat, et al., 2019).

Perencanaan tindakan yang dapat dilakukan oleh perawat untuk asuhan keperawatan
terhadap hambatan komunikasi verbal yang dialami oleh klien menurut Keliat (2019) bertujuan
dalam membantu tiga aspek pada diri klien, yaitu aspek kognitif, psikomotor, dan afektif. Pada
aspek kognitif, klien diharapkan mampu mengenali lawan bicara dan memahami
ketidakmampuannya berkomunikasi. Pada aspek psikomotor, klien mampu untuk
menginterpretasikan pesan orang lain dengan tepatm berinteraksi dengan bahasa verbal dan
nonverbal. Sedangkan pada aspek afektif, perencanaan tindakan keperawatan mampu memenuhi
klien agar dapat mengekspresikan perasaan senang dan tidak senang saat berkomunikasi secara
nonverbal. Perawat dapat menerapkan terapi bicara pada klien. Terapi berbicara dan bahasa
dapat membantu klien untuk meningkatkan kemampuan komunikasinya dan orang tua klien
dapat melakukan terapi ini di rumah (Videbeck, 2017).

Menurut Paul (2008) dalam Wijayapatri (2015), terdapat tiga pendekatan intervensi yang
dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi penyandang autisme, yaitu
didaktik, naturalistik, dan developmental-pragmatik. Pendekatan didaktik merupakan pendekatan
intervensi yang efektif untuk meningkatkan konsentrasi, membangun pemahaman klien terhadap
bahasa, dan mendorong klien untuk berbicara. Pendekatan ini sifatnya terstruktur dan terdiri dari
prosedur-prosedur berupa shaping, prompting, prompt fading, dan reinforcement. Contohnya
adalah metode Applied Behavior Analysis (ABA). Pendekatan naturalistik merupakan
pendekatan yang memanfaatkan lingkungan alamiah serta interaksi-interaksi sosial untuk
menstimulasi komunikasi klien, contohnya adalah terapi Mileu. Pendekatan developmental-
pragmatik merupakan pendekatan dalam mengembangkan komunikasi fungsional dari aspek
bahasa tubuh, kontak mata, suara, dan menjadi modalitas dalam berkomunikasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hambatan komunikasi verbal memang
berhubungan dengan penyandang autisme dan hal ini perlu diperhatikan, maka dari itu dilakukan
pengkajian dan perencanaan serta intervensi oleh perawat agar hambatan komunikasi verbal
yang dialami oleh anak S dapat terminimalisasikan. Pengkajian dapat dilihat secara objektif oleh
perawat karena klien tidak mampu bicara dengan baik, kemudian perencanaan yang paling
penting adalah tetap memperhatikan aspek kognitif, psikomotor, dan afektif pasien. Pendekatan
intervensi juga penting untuk diperhatikan. Terapi bicara dari simpel ke kompleks dengan
instrumen seperti ABA dapat membantu hambatan komunikasi verbal yang klien alami.
Referensi

Autism Spectrum Disorder: Communication Problems in Children. (2020, December 14).


Retrieved March 14, 2021, from https://www.nidcd.nih.gov/health/autism-spectrum-
disorder-communication-problems-children#3

Keliat, B. A., et al. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta, Indonesia: EGC.

Videbeck, S. L. (2017). Psychiatric Mental Health Nursing (8th ed.). Wolters Kluwer.

Wijayapatri, N. P. (2015). Studi Kasus. Hambatan Komunikasi Pada Penyandang Autisme


Remaja, 2(1).

Anda mungkin juga menyukai