Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

PRAKTIKUM V
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

Oleh :

KELOMPOK 5/A5D

1. Pande Komang Putri Candranovera 201021114


2. Putu Putri Ari Winandari 201021115
3. Putu Ria Madhuvidya Santika 201021116
4. Putu Widia Sandhya Adiyasa 201021117
5. Radena Watyavasistha Suteja 201021118

Hari,Tanggal Praktikum : Jumat, 16 Desember 2022

Dosen Pengampu : Dewi Puspita Apsari, S. Farm., M. Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

DENPASAR

2022
PRAKTIKUM V
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi PPOK
2. Mengetahui patogenesis dan patologi PPOK
3. Mengetahui klasifikasi PPOK
4. Mengetahui tatalaksana penyakit PPOK (Farmakologi & Non-
Farmakologi)
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait PPOK secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP

II. DASAR TEORI


2.1 Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) adalah suatu penyumbatan menetap pada
saluran pernapasan yang disebabkan oleh emfisema dan bronkitis kronis.
Menurut American College of Chest Physicians/American Society, (2015).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sekolompok penyakit paru
menahun yang berlangsung lama dan disertai dengan peningkatan resistensi
terhadap aliran udara (Padila, 2012). Selompok penyakit paru tersebut
adalah bronkitis kronis, emfisema paru-paru dan asma bronchial (Arikunto,
2002).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang
dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara, bersifat
progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel
atau gas yang beracun / berbahaya (Antariksa B, Djajalaksana S,
Pradjanaparamita, Riyadi J, Yunus F, Suradi, dkk 2011). Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat dicegah dan
dapat ditangani yang memiliki karakteristik gejala pernafasan yang menetap
dan keterbatasan aliran udara. Hal ini dikarenakan abnormalitas saluran
napas dan/atau alveolus yang biasanya disebabkan oleh pajanan gas atau
partikel berbahaya (GOLD, 2009).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merujuk pada beberapa hal
yang menyebabkan terganggunya pergerakan udara masuk dan keluar paru.
Meskipun beberapa jenis seperti, bronkitis obstruktif, emfisema, dan asma
dapat muncul sebagai penyakit tunggal, sebagian besar bertumpangan
dalam manifestasi klinisnya. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dapat
terjadi sebagai hasil dari peningkatan resistensi sekunder terhadap edema
mukosa bronkus atau kontraksi otot polos. Hal tersebut juga dapat
diakibatkan oleh penurunan kelenturan, seperti pada emfisema. Kelenturan
(elastic recoil) adalah kemampuan mengempiskan paru dan
menghembuskan nafas secara apasif, serupa dengan kemampuan karet
kembali ke bentuk semula setelah diregangkan. Penurunan kelenturan dapat
dibayangkan sebagai pita karet yang lemah dan telah diregangkan melebihi
batas kemampuannya, sehingga akan berakibat penurunan kemampuan paru
untuk mengosongkan isinya (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2016).

2.2 Klasifikasi PPOK


Klasifikasi penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yaitu : (Jackson, 2014)
1. Bronkhitis Kronis, merupakan kelainan saluran nafas yang ditandai
oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya.
2. Emfisema, merupakan sebagai suatu kelainan anatomis paru yang
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal
disertai kerusakan dinding alveoli.

PPOK juga dapat diklasifikasikan menjadi gejala ringan, sedang


hingga berat dengan klasifikasi seperti tabel dibawah ini : (Gold, 2009)
2.3 Patofisiologi PPOK
Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan
perubahan fisiologi utama pada PPOK yang disebabkan perubahan saluran
nafas secara anatomi di bagian proksimal, perifer, parenkim dan
vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu proses peradangan atau
inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru (Sudoyo dkk,
2009).
Dalam keadaan normal, radikal bebas dan antioksidan berada dalam
keadaan dan jumlah yang seimbang, sehingga bila terjadi perubahan pada
kondisi dan jumlah ini maka akan menyebabkan kerusakan di paru. Radikal
bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi
dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pajanan terhadap faktor pencetus
PPOK yaitu partikel noxius yang terhirup bersama dengan udara akan
memasuki saluran pernapasan dan mengendap hingga terakumulasi.
Partikel tersebut mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa
bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Akibatnya pergerakan cairan
yang melapisi mukosa berkurang dan menimbulkan iritasi pada sel mukosa
sehingga merangsang kelenjar mukosa, kelenjar mukosa akan melebar dan
terjadi hiperplasia sel goblet sampai produksi mukus berlebih. Produksi
mukus yang berlebihan menimbulkan infeksi serta menghambat proses
penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu siklus yang menyebabkan
terjadinya hipersekresi mukus (Sudoyo dkk, 2009).
Manifestasi klinis yang terjadi adalah batuk kronis yang produktif.
Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa rusaknya
dinding alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus yang
kemudian mengakibatkan bersatunya alveolus satu dan yang lain
membentuk abnormal large airspace. Selain itu terjadinya modifikasi fungsi
anti-protease pada saluran pernapasan yang berfungsi untuk menghambat
neutrofil, menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan interstitial alveolus.
Seiring terus berlangsungnya iritasi di saluran pernafasan maka akan terjadi
erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Akan timbul juga metaplasia
skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa yang menimbulkan stenosis dan
obstruksi ireversibel dari saluran nafas. Walaupun tidak menonjol seperti
pada asma, pada PPOK juga dapat terjadi hipertrofi otot polos dan
hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan gangguan sirkulasi udara (Reilly
et al., 2011).
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan
serta distorsi akibat fibrosis. Pada emfisema ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveolus yang
menyebabkan berkurangnya daya regang elastis paru. Terdapat dua jenis
emfisema yang relevan terhadap PPOK, yaitu emfisema panasinar dan
emfisema sentriasinar. Pada jenis pan-asinar kerusakan asinar bersifat difus
dan dihubungkan dengan proses penuaan serta pengurangan luas permukaan
alveolus. Pada jenis sentri-asinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan
daerah perifer asinar, yang erat hubungannya dengan asap rokok (Reilly et
al., 2011).
2.4 Diagnosis PPOK
a) Anamnesis
Dari anamnesis PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua
pasien berdasarkan tanda dan gejala yang khas. Poin penting yang
dapat ditemukan pada anamnesis pasien diantaranya: (Sudoyo dkk,
2009).
1. Batuk yang sudah berlangsung sejak lama dan berulang, dapat
dengan produksi sputum pada awalnya sedikit dan berwarna
putih kemudian menjadi banyak dan kuning keruh.
2. Adanya riwayat merokok atau dalam lingkungan perokok,
riwayat paparan zat iritan dalam jumlah yang cukup banyak
dan bermakna.
3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga, terdapat faktor
predisposisi pada masa kecil, misalnya berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran pernafasan berulang,
lingkungan dengan asap rokok dan polusi udara.
4. Sesak nafas yang semakin lama semakin memberat terutama
saat melakukan aktivitas berat (terengah-engah), sesak
berlangsung lama, hingga sesak yang tidak pernah hilang sama
sekali dengan atau tanpa bunyi mengi. Perlu dilakukan
anamnesis dengan teliti menggunakan kuisioner untuk
mengakses keparahan sesak napas
Tabel 1. Skala Sesak menurut Modified Medical Research Council
(MMRC Dyspnea Scale)

GRADE KELUHAN SESAK BERDASARKAN AKTIVITAS

0 Sesak napas baru timbul jika melakukan kegiatan berat

1 Sesak nafas timbul bila berjalan cepat pada lantai yang


datar atau jika berjalan di tempat yang sedikit landau

2 Jika berjalan bersama teman seusia di jalan yang datar,


selalu lebih lambat; atau jika berjalan sendirian di jalan
yang datar sering beristirahat untuk mengambil napas

3 Perlu istirahat untuk menarik napas setiap berjalan 100


meter atau setelah berjalan beberapa menit

4 Timbul sesak napas ketika mandi atau berpakaian

b) Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu):
Sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Ini diakibatkan oleh mekanisme
tubuh yang berusaha mengeluarkan CO2 yang tertahan di dalam
paru akibat gagal nafas kronis
- Penggunaan alat bantu napas: Penggunaan otot bantu napas
terlihat dari retraksi dinding dada, hipertrofi otot bantu nafas,
serta pelebaran sela iga
- Barrel chest: merupakan penurunan perbandingan diameter
anteroposterior dan transversal pada rongga dada akibat usaha
memperbesar volume paru. Bila telah terjadi gagal jantung
kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai.
- Pink puffer: adalah gambaran yang khas pada emfisema, yaitu
kulit kemerahan pasien kurus, dan pernafasan pursed-lips
breathing.
- Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronis, yaitu
pasien tampak sianosis sentral serta perifer, gemuk, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru
(Reilly et al., 2011).
2. Palpasi
Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah dan
sela iga melebar. Terutama dijumpai pada pasien dengan
emfisema dominan (Reilly et al., 2011).
3. Perkusi
Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara yang
terperangkap, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah terutama pada emfisema (Reilly et al.,
2011).
4. Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki
dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh (Reilly
et al., 2011).

2.5 Tatalaksana PPOK


Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil adalah untuk
menurunkan gejala, menurunkan frekuensi dan beratnya eksaserbasi, dan
meningkatkan toleransi terhadap 19 aktivitas dan status kesehatan.
Pemilihan pengobatan dari masing-masing kelas, tergantung aviabilitas,
harga, dan perbandingan antara respon klinis dan efek samping. Setiap
pengobatan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu
berdasarkan beratnya gejala, keterbatasan aliran udara, dan beratnya
eksaserbasi (GOLD, 2017):
2.5.1 Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi pada PPOK keadaan stabil berdasarkan
kelompok atau populasi yang sudah ditentukan
a) Populasi A, menggunakan bronkodilator dengan pilihan
pertama SAMA atau SABA (jika diperlukan). Pilihan kedua
digunakan LAMA atau LABA atau SAMA dan SABA.
Sedangkan untuk pilihan alternative digunakan theophylline.
b) Populasi B menggunakan pilihan pertama LAMA atau LABA,
pilihan kedua digunakan LAMA dan LABA, serta pilihan
alternative digunakan SABA dan/atau SAMA dan
theophylline.
c) Populasi C dengan pilihan pertama yaitu ICS+LABA atau
LAMA, pilihan kedua menggunakan LAMA dan LABA,
sedangkan pilihan alternatif dapat menggunakan PDE4-
inhibitor, SABA dan/atau SAMA, serta theophylline.
d) Populasi D dengan pilihan pertama yaitu ICS+LABA atau
LAMA. Pilihan kedua menggunakan beberapa pilihan obat
yaitu ICS dan LAMA atau ICS+LABA dan LAMA atau
ICS+LABA dan PDE4- inhibitor atau LAMA dan LABA atau
LAMA dan PDE4-inhibitor. Sedangkan untuk pilihan
alternatif dapat menggunakan carbocisteine, SABA dan/atau
SAMA, serta theophylline
(GOLD, 2017).
2.5.2 Terapi Non Farmakologi
a) Edukasi dan self management
Tujuannya adalah untuk memotivasi dan membuat pasien
tetap berpikir positif dalam menghadapi penyakitnya. Selain itu,
juga membantu pasien memodifikasi faktor risiko yang dapat
sebagai pencetus eksaserbasi. Pasien juga diharapkan dapat
melakukan penanganan apabila gejala muncul. Berdasarkan
GOLD 2017, Kelompok A,B,C, dan D, dapat memodifikasi faktor
risiko, termasuk merokok, mengatur aktivitas fisik dan mengatur
tidur dan pola hidup sehat. Sedangkan khusus untuk Kelompok B
dan D, harus dapat melakukan penanganan terhadap gejala sesak,
teknik konservasi energi dan management stress. Kelompok C dan
D dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap faktor pemicu,
monitoring dan menangani gejala buruk, dan mempunyai rencana
serta mengatur komunikasi dengan tenaga kesehatan. Kelompok
D harus mulai melakukan diskusi paliatif dengan tenaga
kesehatan.
b) Aktivitas fisik dan program rehabilitasi paru
Pada pasien dengan PPOK, terjadi penurunan aktivitas. Oleh
karena itu perlu memilih aktivitas agar tidak terjadi eksaserbasi
melalui beberapa program.Program rehabilitasi paru, khususnya
pada kelompok B, C, D dapat mencegah proses terjadinya
eksaserbasi. Program rehabilitasi termasuk pelatihan aktivitas
fisik, konseling nutrisi, berhenti merokok, dan edukasi. Program
latihan fisik dapat mengurangi gejala yang muncul saat melakukan
aktivitas berat serta dapat meningkatkan efek kerja obat
LABA/LAMA. Selain itu, aktivitas fisik aerobik dapat
meningkatkan kekuatan dan apabila difokuskan pada ekstremitas
atas, dapat memperkuat otot pernapasan inspirasi. Hal tersebut
tentunya harus disesuaikan dengan terapi nutrisi.
c) Vaksinasi
Vaksinasi pneumococcus, PCV13 dan PPSV23
direkomendasikan pada pasien dengan umur > 65 tahun. PPSV23
juga direkomendasikan pada pasien PPOK umur muda dengan
penyakit komorbid gagal jantung kronik atau penyakit paru
lainnya.
d) Terapi oksigen
Indikasi:
- PaO2 <7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 <88% dengan atau
tanpa hiperkapnia 2 kali dalam 3 minggu atau
- PaO2 7,3 kPa (55 mmHg)- 8,0 kPa (60 mmHg), atau SaO2
88%, jika terdapat hipertensi pulmonal, edema perifer yang
mengarah pada gagal jantung kongestif, atau polisitemia
(HCT>55%). Terapi ini harus dievaluasi 60-90 hari dengan
analisa gas darah
e) Terapi ventilasi
Terapi ini diberikan pada pasien dengan hiperkapnia yang
terjadi setiap hari dan sering hospitalisasi, dimana terapi sistemik
tidak menunjukkan perbaikan.
f) Intervensi bronkoskopi dan operasi
Indikasi dilakukan tindakan ini adalah:
- Pasien dengan emfisema heterogen atau homogen dan
signifikan refrakter hiperventilasi, dimana tindakan
dilakukan untuk menurunkan volume paru.
- Pasien dengan bula yang besar, dapat disarankan operasi
bulektomi.
- Pasien PPOK sangat berat tanpa kontraindikasi, disarankan
melakukan transplantasi paru
(GOLD, 2017).

III. ALAT DAN BAHAN


3.1 Alat
1. Form SOAP & Form Medication Record
2. Catatan minum obat
3. Laptop & internet
3.2 Bahan
1. Text book
2. Data nilai normal
3. Evidence terkait (Journal, systematic review, meta analysis)

IV. KASUS
Tuan T, usia 75 tahun, MRSPasien NMA, MRS 2 oktober 2022 dengan keluhan
batuk berdahak dan sesak disertai perut terasa sakit dan kembung sejak 2 hari yang
lalu. TB pasien 167 cm, BB pasien 75 kg. TD 130/100 mmHg, Nadi 88x/menit,
suhu 36°C, RR 25x/menit, saturasi Oz 86% Dokter mendiagnosa pasien dengan
PPOK dan hipertensi.
Pemeriksaan Penunjang adalah
• EKG: Intervention sinus tachicardi R/S Invasion area vetneem Vs and V6
Abnormal EKG.
• Rontgen Thorax: Bronchitis, Pleural Reaction bilateral, Besar cor normal,
Trachea dan medistinum di tenggah, Tak tampak penebalan hilus, Sistema
tulang tak tampak kelainan.
• Terapi yang diberikan adalah sebagai berikut :
Inf Asering 12 tpm (intravena)
Inj Cefotaxcim 2 x 125 gram (intravena)
Inj Methilprednisolon 2 x 25 gram (intravena)
Inj Lasix 1 x 20 mg (intravena)
Valsatran 1 x 80 mg (tablet)
Vectrine kapsul 3 x 300 mg (kapsul)
Nebul Combivent 2,1/2 ml setiap 8 jam (dihirup)

V. FIR

PERTANYAAN JAWABAN ALASAN

Apakah pasien sudah Sudah, FEV/FVC Untuk menentukan


melakukan pemeriksaan 60%, FEV1 80% terapi yang tepat
faal paru?

Apakah pasien sudah sudah. Untuk menentukan


mengisi kuisioner • Skor mMRC: 1 terapi yang tepat
mMRC dan CAT • Skor CAT : 8

Bagaimana life style • Minum kopi pada Untuk mengetahui


pasien? pagi hari faktor resiko dan
• Tidak merokok
• Tidak menentukan terapi non
mengkonsumsi farmakologi yang tepat
alkohol

Apakah pasien pernah Belum pernah, ini Untuk menentukan


mengalami keluhan yang keluhan pertama terapi yang tepat
sama sebelumnya? pasien

Apakah pasien Tidak ada eksaserbasi Untuk menentukan


mengalami eksaserbasi? terapi yang tepat

Apakah pasien ada alergi Tidak ada Untuk menentukan


obat? terapi yang tepat

Bagaimana kondisi Dahak encer Untuk menentukan


dahak pasien? terapi yang tepat

VI. FORM SOAP


6.1. Subjective
Batuk berdahak dan sesak
6.2. Objective
Pemeriksaan fisik:
● Tekanan Darah : 130/100 mmHg
● Saturasi Oksigen : 86%
● FEV/FVC : 60%
● FEV1 : 80%
● Skor mMRC :1
● Skor CAT :8
Hasil Rontgen Thorax
● Bronchitis
6.3. Assessment
Problem Terapi Dosis DRP Pengobatan
Medik
Bronkitis Nebul Combivent 2,1/2 P1.1 Tidak Kombinasi SABA dan SAMA
COPD ml ada efek terapi lebih unggul dibandingkan dengan
obat meskipun obat tunggal dalam meningkatkan
setiap digunakan FEV1, dan gejala. Kombinasi
8 jam dengan benar. Ipratropium dan salbutamol
memiliki duration of action 6-8 jam
C3.1 Dosis (GOLD, 2020). Dosis combivent
obat terlalu nebulizer solution disarankan 2,5
rendah. mg/0,5 mg atau 3 ml dengan
pemberian setiap 6 jam
(Medscape).
Inj Cefotaxcim 2x 125 P3.1 Terapi cefotaxcim dihentikan.
gram Perawatan Mengingat pertukaran antara
(I.V) obat yang efektivitas, keamanan, dan risiko
tidak perlu. resistensi antibiotik, pemberian
antibiotik profilaksis mungkin
C1.2 Tidak paling baik dilakukan untuk pasien
ada indikasi tertentu, seperti yang sering
untuk obat. mengalami eksaserbasi (Janjua S,
et al. 2021). Pilihan antibiotik
harus didasarkan pada pengobatan
yang efektif dari bakteri patogen
yang paling sering dilaporkan (Lee
RA, et al. 2021).
Vectrine kapsul 3x 300 P2.1 Kejadian
Obat Erdosteine berbasis tiol yang
mg Obat yang
diketahui memiliki sifat
merugikan
antioksidan dan anti-inflamasi
(mungkin)
yang berpotensi penting, dan
terjadi
menunjukkan aktivitas antibakteri.
Erdosteine secara signifikan
C3.2 Dosis
mengurangi kejadian dan
Obat terlalu
keparahan eksaserbasi dan
tinggi
mengurangi jumlah hari absen dari
pekerjaan karena eksaserbasi
dibandingkan dengan plasebo.
Erdosteine diberikan (600 mg/hari)
selama 10 hari pada pasien dengan
PPOK ringan.

(Cazzola et al, 2020)


Inj 2 x 25 P3.1 Terapi metilprednisolon
Metilprednisolon gram Perawatan dihentikan. Terapi yang dapat
I.V obat yang digunakan untuk mengurangi
tidak perlu inflamasi yang terjadi pada pasien
PPOK adalah dengan
C7.2 Pasien
menggunakan antiinflamasi.
menggunakan
Antiinflamasi digunakan bila
obat yang
terjadi eksaserbasi akut dalam
tidak perlu
bentuk oral atau injeksi intravena,
yang berfungsi untuk menekan
inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metilprednisolon atau
prednisone (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2011), yang
merupakan obat golongan
kortikosteroid (Robert, et al.,
2015).
Inf Asering 12 tpm P3.1 Terapi infus asering dihentikan.
(I.V) Perawatan Pemberian infus asering diberikan
obat yang pada pasien yang mengalami
tidak perlu dehidrasi atau gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit
C1.2 Tidak
disertai dengan eksaserbasi
ada indikasi
(Rosfadilla, 2022).
obat
Inj Lasix 1 x P3.1 Terapi lasix dihentikan. Pasien
20mg Perawatan berusia 66 tahun ke atas dengan
(iv) obat yang PPOK yang teridentifikasi kejadian
tidak perlu penerimaan diuretik terjadi pada
51,7%. Jenis diuretik yang paling
C1.2 Tidak
sering diresepkan adalah diuretik
ada indikasi
loop (58,6%). Penerima diuretik
obat
insiden memiliki tingkat rawat inap
yang meningkat secara signifikan
untuk PPOK atau pneumonia. Obat
diuretik diketahui berpotensi
berkontribusi terhadap alkalosis
metabolik dengan konsekuensi
hiperkapnia dan hipokalemia. Jadi
Insiden obat diuretik, dan lebih
khusus loop diuretik, dikaitkan
dengan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas terkait
pernapasan di antara orang dewasa
yang lebih tua dengan PPOK.
Selain itu obat lasix (furosemide)
tidak memiliki efek pengobatan
untuk PPOK. Dimana obat lasix ini
digunakan untuk mencegah
terjadinya cardiomegali.
Sedangkan pada pasien Tn. T tidak
ada indikasi tersebut (Vozaris,
Nicholas T., et al., 2017)
Hipertensi Valsartan 1 x 80 Tidak ada Pengobatan Valsartan dilanjutkan.
mg DRP Pengobatan lini pertama pada
pasien hipertensi berusia diatas 60
tahun, disarankan terapi golongan
ARB (Angiotensin Reseptor
Blocker) seperti valsartan. ARB
efektif menurunkan tekanan
sistolik dan diastolik pasien secara
signifikan (JNC 8, 2014). Valsartan
menunjukkan tolerabilitas dan
keamanan yang baik pada pasien
dengan PPOK dan hipertensi
bersamaan (medscape). Dosis
valsartan diberikan 1 x 80 mg
perhari selama 30 hari.

Evidence Based Medicine


1. Vectrine
P : Pasien PPOK dan/atau Bronkitis
I : Vectrine (600 mg/hari) selama 10 hari
C : Erdostein vs Plasebo
O: Pengobatan dengan erdosteine secara signifikan (P <0,01 hingga P <
0,001) mengurangi risiko keseluruhan eksaserbasi bronkitis kronis/PPOK
dan risiko mengalami setidaknya satu eksaserbasi vs. kontrol
(Cazzola et al,2018)
MONITORING
• Efektivitas
1. Monitoring efektivitas PPOK
Monitoring efektifitas terapi PPOK dengan tujuan mencegah
eksaserbasi, mencegah penurunan faal paru, mencegah dan
mengobati komplikasi, mencegah progresifitas penyakit, dan
meningkatkan status kesehatan pasien. Efektivitas penyakit
dilihat dari derajat sesak yaitu score Modified Medical Research
(mMRC) dan COPD Assessment Test yang diharapkan untuk
score CAT 5 dan 0 untuk score mMRC (GOLD, 2019).
Efektivitas juga dilihat dari peningkatan nilai FEV1 berdasarkan
pemeriksaan spirometri yang menunjukkan rasio FEV1/FVC
lebih besar dari 0,70 dan FEV1 dan FVC di atas 80% dari nilai
prediksi (Stanojevic S, et al. 2022).
2. Monitoring efektivitas Hipertensi
Tujuan terapi hipertensi adalah mencapai dan
mempertahankan target tekanan darah normal. Efektivitas
pengobatan hipertensi dapat dilihat dengan penurunan tekanan
sistolik dan diastolik pada pasien. Target tekanan darah normal
menurut JNC pada pasien hipertensi yaitu ≤ 120 mmHg sistolik
dan ≤80 mmHg diastolik (JNC 8).
• Efek Samping
1. Vectrine : mual (5%), muntah (7%) dan sakit kepala (4%)
(Cazzola et al, 2017)
2. Valsartan : Pusing (17%)
(medscape)
6.4. Plan
1. Terapi Nebul Combivent tetap dilanjutkan namun dosis dinaikan
menjadi 2,5 mg/0,5 mg atau 3 ml dengan pemberian setiap 6 jam.
2. Terapi antibiotik cefotaxim dihentikan.
3. Terapi valsartan dilanjutkan untuk pengobatan hipertensi, dengan
dosis 1 x 80 mg selama 30 hari.
4. Terapi metilprednisolon dihentikan.
5. Terapi infus asering dihentikan.
6. Terapi lasix dihentikan.
7. Terapi Vectrine diberikan 2 x 300 mg/hari selama 10 hari.
Terapi non farmakologi yang dapat disarankan, yaitu :
1. Menghindari faktor yang dapat menyebabkan terjadinya PPOK,
seperti debu, asap rokok,dan polusi udara lainnya.
2. Asupan nutrisi yang ade kuat.
VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini, dibahas mengenai Penyakit Paru Obstruksi Kronis
(PPOK). Tujuan dari dilakukannya praktikum ini, tidak lain agar mahasiswa dapat
mengetahui definisi, patogenesis dan patologi, klasifikasi, hingga tatalaksana terapi
baik secara farmakologi maupun non farmakologi terkait Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) . Selain itu agar mahasiswa dapat menyelesaikan kasus terkait
PPOK menggunakan metode SOAP berdasarkan evidence based medicine yang
tepat.
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan sekelompok penyakit
paru-paru yang ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya dan berlangsung lama. PPOK adalah merupakan
penyakit paru kronik yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial
ditandai oleh adanya hambatan aliran udara di saluran napas (Tana, 2016). PPOK
merupakan penyakit yang umum, dapat dicegah dan diobati yang ditandai dengan
gejala pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh
saluran napas atau kelainan alveolar yang biasanya disebabkan oleh paparan
signifikan terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2017).
Pada praktikum kali ini, dilakukan analisa kesesuaian terapi terkait yang
diberikan dengan kondisi medis pasien dimana kasus pada praktikum kali ini terkait
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK). Diketahui pada kasus pasien atas nama
Tuan T, usia 75 tahun, MRS Pasien NMA, MRS 2 oktober 2022 dengan keluhan
batuk berdahak dan sesak disertai perut terasa sakit dan kembung sejak 2 hari yang
lalu. TB pasien 167 cm, BB pasien 75 kg. TD 130/100 mmHg, Nadi 88x/menit,
suhu 36°C, RR 25x/menit, saturasi Oz 86% Dokter mendiagnosa pasien dengan
PPOK dan hipertensi. Didapati hasil pemeriksaan fisik pasien yaitu tekanan darah
yaitu 130/100 mmHg, saturasi oksigen yaitu 86% , pemeriksaan faal paru yaitu
FEV/FVC 60% dan FEV1 80%, sedangkan hasil kuesioner mMRC dan CAT yang
telah diisi oleh pasien skornya adalah Skor mMRC yaitu 1 dan skor CAT yaitu 8.
Hasil rontgen thorax didapatkan hasil adanya bronchitis. Pada kasus Tuan T, pasien
tidak mengalami eksaserbasi dan ini keluhan pertama pasien.
Terapi yang diberikan oleh dokter adalah sebagai berikut : Inf Asering 12
tpm (intravena), Inj Cefotaxcim 2 x 125 gram (intravena), Inj Methilprednisolon 2
x 25 gram (intravena), Inj Lasix 1 x 20 mg (intravena), Valsartan 1 x 80 mg (tablet),
Vectrine kapsul 3 x 300 mg (kapsul), Nebul Combivent 2,1/2 ml setiap 8 jam
(dihirup).
Berdasarkan analisis SOAP yang telah dilakukan, maka dapat dilakukan
perencanaan penanganan kasus tersebut yaitu dengan melakukan penatalaksanaan
terapi penyakit pada pasien Tuan T secara farmakologi dan non farmakologi.
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil adalah untuk menurunkan gejala,
menurunkan frekuensi dan beratnya eksaserbasi, dan meningkatkan toleransi
terhadap 19 aktivitas dan status kesehatan. Pemilihan pengobatan dari masing-
masing kelas, tergantung aviabilitas, harga, dan perbandingan antara respon klinis
dan efek samping (GOLD, 2017).
Pada terapi PPOK direkomendasi terapi asering 12 tpm (intravena).
Pemberian terapi infus asering dihentikan. Pemberian infus asering diberikan pada
pasien yang mengalami dehidrasi atau gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
disertai dengan eksaserbasi. Pada kasus ini tuan T tidak mengalami dehidrasi atau
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Rosfadilla, 2022).
Pada terapi PPOK juga direkomendasi terapi methilprednisolon 2 x 25 gram
(intravena). Pemberian terapi metilprednisolon dihentikan. Terapi yang dapat
digunakan untuk mengurangi inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK adalah
dengan menggunakan antiinflamasi. Antiinflamasi digunakan bila terjadi
eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, yang berfungsi untuk
menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednisone
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011), yang merupakan obat golongan
kortikosteroid (Robert, et al., 2015).
Pada terapi PPOK direkomendasi terapi lasix 1 x 20 mg (intravena).
Pemberian terapi lasix dihentikan. Pasien berusia 66 tahun ke atas dengan PPOK
yang teridentifikasi kejadian penerimaan diuretik terjadi pada 51,7%. Jenis diuretik
yang paling sering diresepkan adalah diuretik loop (58,6%). Penerima diuretik
insiden memiliki tingkat rawat inap yang meningkat secara signifikan untuk PPOK
atau pneumonia. Obat diuretik diketahui berpotensi berkontribusi terhadap alkalosis
metabolik dengan konsekuensi hiperkapnia dan hipokalemia. Jadi Insiden obat
diuretik, dan lebih khusus loop diuretik, dikaitkan dengan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas terkait pernapasan di antara orang dewasa yang lebih tua
dengan PPOK. Selain itu obat lasix (furosemide) tidak memiliki efek pengobatan
untuk PPOK. Dimana obat lasix ini digunakan untuk mencegah terjadinya
cardiomegali. Sedangkan pada pasien Tn. T tidak ada indikasi tersebut (Vozaris,
Nicholas T., et al., 2017).
Pada terapi PPOK direkomendasi terapi cefotaxcim 2 x 125 gram
(intravena). Terapi cefotaxcim dihentikan. Mengingat pertukaran antara efektivitas,
keamanan, dan risiko resistensi antibiotik, pemberian antibiotik profilaksis
mungkin paling baik dilakukan untuk pasien tertentu, seperti yang sering
mengalami eksaserbasi (Janjua S, et al. 2021). Pilihan antibiotik harus didasarkan
pada pengobatan yang efektif dari bakteri patogen yang paling sering dilaporkan
(Lee RA, et al. 2021).
Pada terapi PPOK direkomendasi terapi vectrine kapsul 2 x 300 mg
(kapsul). Pemberian terapi obat Erdosteine berbasis tiol yang diketahui memiliki
sifat antioksidan dan anti-inflamasi yang berpotensi penting, dan menunjukkan
aktivitas antibakteri. Erdosteine secara signifikan mengurangi kejadian dan
keparahan eksaserbasi dan mengurangi jumlah hari absen dari pekerjaan karena
eksaserbasi dibandingkan dengan placebo. Erdosteine diberikan (600 mg/hari)
selama 10 hari pada pasien dengan PPOK ringan (Cazzola et al, 2020).
Pada terapi PPOK direkomendasi terapi nebul combivent 2,1/2 ml setiap 8
jam (dihirup). Kombinasi SABA dan SAMA lebih unggul dibandingkan dengan
obat tunggal dalam meningkatkan FEV1, dan gejala. Kombinasi Ipratropium dan
salbutamol memiliki duration of action 6-8 jam (GOLD, 2020). Dosis combivent
nebulizer solution disarankan 2,5 mg/0,5 mg atau 3 ml dengan pemberian setiap 6
jam (Medscape).
Pada terapi hipertensi direkomendasi terapi valsatran 1 x 80 mg (tablet)
pengobatan valsartan dilanjutkan. Pengobatan lini pertama pada pasien hipertensi
berusia diatas 60 tahun, disarankan terapi golongan ARB (Angiotensin Reseptor
Blocker) seperti valsartan. ARB efektif menurunkan tekanan sistolik dan diastolik
pasien secara signifikan (JNC 8, 2014). Valsartan menunjukkan tolerabilitas dan
keamanan yang baik pada pasien dengan PPOK dan hipertensi bersamaan
(medscape). Dosis valsartan diberikan 1 x 80 mg per hari selama 30 hari.
Selain pemberian terapi farmakologi diperlukan juga terapi non farmakologi
untuk penyesuaian gaya hidup yang dapat membantu penyembuhan pasien. Terapi
Non-farmakologi yang dapat disarankan, yaitu menghindari faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya PPOK, seperti debu, asap rokok, dan polusi udara lainnya
asupan nutrisi yang adekuat.

VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan :
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan sekelompok
penyakit paru-paru yang ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap
aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya dan
berlangsung lama.
2. Terapi obat yang diberikan yaitu Terapi Nebul Combivent tetap
dilanjutkan namun dosis dinaikan menjadi 2,5 mg/0,5 mg atau 3 ml
dengan pemberian setiap 6 jam. Terapi valsartan dilanjutkan untuk
pengobatan hipertensi, dengan dosis 1 x 80 mg selama 30 hari. Terapi
Vectrine diberikan 2 x 300 mg/hari selama 10 hari.
3. Terapi non farmakologi yang diberikan untuk penyesuaian gaya hidup
yang dapat membantu penyembuhan pasien. Terapi Non-farmakologi
yang dapat disarankan, yaitu menghindari faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya PPOK, seperti debu, asap rokok, dan polusi udara lainnya
asupan nutrisi yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta : FID


IKIP.
Cazzola, M., Calzetta, L., Page, C., Rogliani, P., & Matera, M. G. (2018).
Impact of erdosteine on chronic bronchitis and COPD: A meta-
analysis. Pulmonary Pharmacology & Therapeutics, 48, 185–194.
Cazzola, M., Page, C., Rogliani, P., Calzetta, L., & Matera, M. G. (2020).
Multifaceted beneficial effects of erdosteine: more than a mucolytic
agent. Drugs, 80(17), 1799-1809.

Cazzola, M., Paola, R., Luigino, C., Nicola, A.H., dan Maria, G.M. 2017.
Impact of Mucolytic Agents on COPD Exacerbations: A Pair-wise and
Network Meta-analysis. COPD: Journal of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Volume 14. Nomor 5: 552-563.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2009. Global
Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. USA : Repha Publishing.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)., 2020, Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease, American Journal of COPD.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)., 2019, Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease, American Journal of COPD, 1–99.
GOLD. 2017. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A
Guide for Healthcare Professionals. ed. Sydney: Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease Inc.
Jackson, D. 2014. Keperawatan Medical Bedah. Yogyakarta : Penerbit Gramedia.
James PA, Oparil S, Carter BL, et al. 2014 evidence-based guideline for the
management of high blood pressure in adults: report from the panel
members appointed to the eighth Joint National Committee (JNC 8).
JAMA. doi:10.1001/jama.2013.284427.

Janjua S, et al. Prophylactic antibiotics for adults with chronic obstructive


pulmonary disease: a network meta-analysis. Cochrane Database Syst
Rev. 2021 Jan 15;1(1):CD013198. doi:
10.1002/14651858.CD013198.pub2. PMID: 33448349; PMCID:
PMC8092479.

Lee RA, et al. Appropriate Use of Short-Course Antibiotics in Common


Infections: Best Practice Advice From the American College of
Physicians. Ann Intern Med. 2021 Jun;174(6):822-827. doi:
10.7326/M20-7355. Epub 2021 Apr 6. PMID: 33819054.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2016. Penyakit Krinik (PPOK),


Pedoman, Diagnosa, dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik


(PPOK). Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Reilly, J., Silverman E. K., Shapiro S. D. 2011. Chronic Obstructive Pulmonary


Disease. In: Longo D., Fauci A. S., Kasper D., Hauser S. L., Jameson J. L.,
editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. New York:
McGraw-Hill.

Roberts, N.J., Patel, I.S., Partidge, M.R., 2015. The diagnosis of COPD in
primary care; gender differences and the role of spirometry.
Respiratory Medicine. Elsevier Ltd.

Rosfadilla, Puspa., Ayu Permata Sari Br Tarigan. 2022. Asma Bronkial Eksaserbasi
Ringan-Sedang Pada Pasien Usia 46 tahun. Aceh. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan Malikussaleh Vol.8 No.1
Stanojevic S, Kaminsky DA, Miller MR, Thompson B. Aliverti A, Barjaktarevic I,
Cooper BG, Culver B, Derom E, Hall GL, Hallstrand TS, Leuppi JD,
MacIntyre N, McCormack M. Rosenfeld M, Swenson ER. ERS/ATS
technical standard on interpretive strategies for routine lung function tests.
Eur Respir J. 2022 Jul;60(1)

Sudoyo, A. W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Takahashi K, et al. Saga-naïve COPD Physical Activity Evaluation (SCOPE)
Study Investigator Group. 2020. First-Line Treatment with
Tiotropium/Olodaterol Improves Physical Activity in Patients with
Treatment-Naïve Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Int J Chron
Obstruct Pulmon Dis. 2020 Sep 14;15:2115-2126. doi:
10.2147/COPD.S268905. PMID: 32982204; PMCID: PMC7501469.

Tana, L., Sihombing, M., Muljati, S., Ghani, L., Penelitian, P., & Daya, S. (2016).
Sensitifitas dan Spesifisitas Pertanyaan Gejala Saluran Pernapasan dan
Faktor risiko untuk Kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ). 287–
296.

Vogelmeier CF, et al. 2020. Impact of baseline COPD symptom severity on


the benefit from dual versus mono-bronchodilators: an analysis of the
EMAX randomised controlled trial. Ther Adv Respir Dis. 2020 Jan-
Dec;14:1753466620968500. doi: 10.1177/1753466620968500. PMID:
33167780; PMCID: PMC7659027.

Vozaris, Nicholas T, Wang, Xeusong, Austin, Peter C, O’Donnell, Denis E, Aaron,


Shawn D, To, Teresa M, Gershon, Andrea S. 2017. Incident diuretic drug use
and adverse respiratory events among older adults with COPD. British
Journal of Clinical Pharmacology, (), –. doi:10.1111/bcp.13465

Anda mungkin juga menyukai