Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN NY. N


DENGAN DIAGNOSA MEDIS PPOK
DI RUANG BOUGENVILLE RSUD WATES

Oleh

TRI AYU WIDIYANTI 2520142516


ULI NUHA FATMAYA 2520142517

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan ini dibuat untuk memenuhi tugas Praktik Klinik


Keperawatan (PKK) Kebutuhan Medikal Bedah (KMB) I Semester IV

Wates, 18 Mei 2016

Mahasiswa

( Tri Ayu Widiyanti ) (Uli Nuha Fatmaya)


2520142516 2520142517

Mengetahui,

Pembimbing Klinik Rumah Sakit Pembimbing Klinik Akademik

( ) ( )
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya
oleh perorangan, tetapi juga oeh kelompok dan bahkan oleh masyarakat.
Sehat adalah suatu keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Status kesehatan dipengruhi oleh faktor biologik, lingkungan dan pelayanan
kesehatan. Faktor biologik merupakan faktor yang berasal dari dalam
individu atau faktor keturunan misalnya pada penyakit alergi (Mansjoer,
2000).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas
karena bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat
progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible.
Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai
pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu
tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan
anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran
udara (Mansjoer, 2000).

B. Tujuan
1. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
2. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
3. Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
4. Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru
kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas
yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya
respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD,
2009).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah sejumlah gangguan yang
mempengaruhi pergerakan udara dari dan ke luar paru. Gangguan yang
penting adalah bronkitis obstruktif, efisema, dan asma bronkial. (Muttaqin,
2008)
PPOK adalah merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan
dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar
udara paru-paru (Bruner & Suddarth, 2002).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Penyakit
Paru Obstruksi Kronik merupakan penyakit obstruksi jalan nafas karena
bronkitis kronis, bronkietaksis dan emfisema, obstruksi tersebut bersifat
progresif disertai hiperaktif aktivitas bronkus.

B. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK) adalah :
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi udara
3. Paparan debu,asap,dan gas-gas kimiawi akibat kerja
4. Riwayat infeksi saluran nafas
C. Patofisiologi
Pada bronkitis kronik terjadi penyempitan saluran nafas. Penyempitan ini
dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Pada
bronkitis kronik, saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm
menjadi lebih sempit. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel goblet.
Saluran nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar
mukus. Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh
berkurangnya elastisitas paru-paru. (Mansjoer, 2001)
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan nafas yaitu:
inflamasi dan pembengkakan bronki, produksi lendir yang berlebihan,
kehilangan rekoil elastik jalan nafas, dan kolaps bronkiolus serta redistribusi
udara ke alveoli yang berfungsi. Karena dinding alveoli mengalami
kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler
paru secara kontinu berkurang mengakibatkan kerusakan difusi oksigen.
Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir,
eliminasi karbon dioksida mengalami kerusakan mengakibatkan peningkatan
tekanan karbon dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis
respirastorius individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik kealiran
masuk dan aliran keluar dari paru. Untuk mengalirkan udara ke dalam dan
keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan
positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama
ekspirasi.(Mansjoer, 2001) (Diane C Baughman, 2000)
D. Maninfestasi klinis
Manifestasi klinis penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah :
1. Batuk
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk
bernafas

E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Doenges (2000) antara lain :
1. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya
diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda
vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler
(bronkhitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk
menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi,
untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek
terapi misalnya bronkodilator.
3. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi
kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
4. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit
kronis misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau
meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada
asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder
terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
5. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi
patogen, pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau
gangguan alergi.
6. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji
derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan atau evaluasi program latihan.

F. Komplikasi
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan
mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada
tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO 2 (hiperkapnia). Tanda yang
muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa.
Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya
dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),
harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi
ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.

G. Pengkajian keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses yang sistematis dalam
mengumpulkan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
Dalam pengkajian ini penulis menggunakan beberapa cara untuk
memperoleh data menurut, yang digunakan sebagai berikut :
1. Wawancara
Pengertian wawancara menurut Nazir (2000) adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab
sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si
penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan
interview guide (panduan wawancara).
Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan metode
wawancara penulis mendapatkan kesulitan karena pasien sulit bicara,
sulit mengeluarkan kata atau kalimat, sehingga penulis tidak hanya
melakukan wawancara terhadap pasien, tetapi juga ke anggota keluarga
pasien seperti ke adik dan kakaknya, dan anggota keluarga kooperatif.
Saat ditanya diperoleh data yaitu keluhan utama saat dilakukan
pengkajian adalah pasien mengeluh sesak nafas. Keluhan tambahan yang
dikeluhkan pasien adalah pasien merasakan dada yang tertekan, pasien
mengatakan riwayat merokok, serta bekerja di pabrik pemotongan kayu,
pasien mengatakan sering mengalami pilek dan batuk setelah terpapar
serbuk kayu.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan
kasus. Menurut teori Doenges (2000) pada pengkajian pernafasan pasien
mengalami rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas, batuk
yang menetap, adanya produksi sputum (hijau, putih, kuning), adanya
penggunaan otot bantu pernafasan seperti meninggikan bahu. Engram
(2000) juga menambahkan pengkajian pada pasien dengan penderita
dengan penyakit paru obstruksi kronis meliputi riwayat merokok produk
tembakau, riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan
eksasebrasi seperti alergen (serbuk).
Pada pola fungsional Gordon pada pola akivitas-latihan pasien
mengatakan letih dan lemah setelah melakukan aktivitas sehari-hari
karena kesulitan bernafas, sesak nafas saat istirahat setelah beraktivitas.
Menurut teori Doenges (2000) pada pengkajian aktivitas atau latihan
pasien mengalami keletihan, kelemahan, ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
Pada pola fungsional Gordon pada pola istirahat-tidur pasien
mengatakan kesulitan untuk tidur karena batuk yang bertambah di malam
hari, pasien mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik.
Dari pengkajian pada pola istirahat-tidur terdapat kesamaan antara
teori dengan kasus. Menurut teori Engram (2000) pasien mengalami
batuk yang menetap dan bertambah saat malam hari, batuk selama waktu
tidur, keluhan ketidakmampuan untuk tidur karena batuk.
2. Observasi
Pengertian observasi menurut Nursalam (2001) adalah mengamati
perilaku dan keadaan pasien untuk memperoleh data tentang masalah
kesehatan dan keperawatan pasien. Kegiatan masalah kesehatan dan
keperawatan pasien, kegiatan tersebut mencangkup aspek fisik mental,
sosial dan spiritual. Pedoman observasi ini penulis mengembangkan dari
pola fungsional Gordon.
Dari hasil observasi pada tanggal 4 Februari 2014 penulis
mendapatkan data yaitu pasien terlihat kesulitan bernafas, batuk yang
disertai dengan sputum, warna sputum putih, pasien terlihat kesulitan
berbicara. Pasien juga terlihat letih, pasien dibantu oleh anggota
keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti untuk ambulasi atau
berpindah tempat, mandi dan toileting.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan
kasus. Menurut teori Doenges (2000) pada pengkajian pernafasan pasien
mengalami batuk dengan produksi sputum (putih, hijau, kuning),
kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus, pada
pengkajian aktivitas atau istirahat pasien mengalami keletihan dan
kelemahan umum.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan penulis menemukan
pasien sering terbangun saat tidur di malam hari, pasien terbangun 4 kali
di malam hari, pasien tidur selama 5 jam sehari. Berdasarkan data
tersebut terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut teori
Engram (2000) pasien mengalami batuk yang menetap selama waktu
tidur.
Dari hasil observasi pada tanggal 4 Februari 2014 penulis juga
mendapatkan data yaitu tidak ditemukannya tanda-tanda anoreksia
seperti mual muntah, , nafsu makan buruk, penurunan berat badan
menetap dan turgor kulit buruk.
Berdasarkan data diatas terdapat kesenjangan antara teori dengan
kasus. Menurut teori Doenges (2000) pasien dapat mengalami penurunan
berat badan, mengeluh gangguan sensasi pengecap dan keengganan
untuk makan atau kurang tertarik pada makanan. Pada saat dilakukan
pengkajian penulis tidak mendapatkan tanda-tanda tersebut karena pasien
mengatakan nafsu makan baik, makan 3 kali sehari, habis 1 porsi, dan
tidak mengalami mual dan muntah, pasien juga diberikan injeksi
ranitidine 30 mg untuk mencegah terjadinya anoreksia.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menurut Nursalam (2001) adalah melakukan
pemeriksaan fisik pasien untuk menentukan masalah kesehatan pasien.
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan menggunakan 4 teknik yaitu :
a. Inspeksi yaitu suatu proses observasi yang dilaksanakan secara
sistematik dilaksanakan dengan menggunakan indera penglihatan,
pendengaran dan penciuman.
Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan
teknik inspeksi penulis mendapatkan data yaitu adanya bentuk dada
seperti tong, terlihat meninggikan bahu untuk bernafas Berdasarkan
data tersebut terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut
teori Doenges (2000) pada inspeksi ditemukan penggunaan otot
bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, dada dapat terlihat
hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (barrel chest) atau
bentuk seperti tong.
b. b. Palpasi yaitu suatu teknik yang menggunakan indera peraba,
tangan dan jari-jari yang merupakan instrumen sensitif. Dari hasil
pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan teknik palpasi
penulis mendapatkan data yaitu tidak ada nyeri tekan pada daerah
dada.
c. Perkusi yaitu pemeriksaan fisik dengan jalan mengetuk untuk
membandingkan kiri kanan pada setiap daerah permukaan tubuh
dengan tujuan menghasilkan suara. Dari hasil pengkajian pada
tanggal 4 Februari 2014 dengan teknik perkusi penulis mendapatkan
data yaitu pada perkusi ditemukan bunyi pekak pada paru.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan
kasus yaitu pada teori Doenges (2000) pada pemeriksaan perkusi :
bunyi pekak pada area paru misalnya cairan, mukosa.
d. Auskultasi adalah pemeriksaan dengan jalan mendengarkan suara
yang dihasilkan oleh tubuh dengan menggunakan stetoskop. Dari
hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan teknik
auskultasi penulis mendapatkan data yaitu terdengar auskultasi :
bunyi nafas mengi, ronkhi pada paru bagian kanan dan wheezing
pada paru bagian kiri.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan
kasus. Menurut teori Doenges (2000) bunyi nafas mungkin redup
dengan ekspirasi mengi, menyebar, lembut atau krekels lembab
kasar, ronkhi, mengi sepanjang area paru pada ekspirasi dan
kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak
adanya bunyi nafas.

H. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif,
kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan akibat sesak,
pengaturan posisi dan pengaruh lingkungan.
4. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.

I. Rencana dan Tindakan Keperawatan


1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif,
kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
a. Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan jalan nafas
kembali efektif
b. Kriteria Hasil :
- Menunjukkan jalan nafas yang paten
- Mampu mengidentifikasi dan mencegah factor yang dapat
menghambat jalan nafas
- Suara nafas bersih, tidah ada sianosis dan dyspneu(mampu
bernafas dengan mudah)
c. Intervensi :
- Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari.
Rasional: Mencegah terjadinya dehidrasi
- Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan
diafragmatik dan batuk.
Rasional : Mengajarkan cara batuk efektif
- Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis
terukur, atau IPPB
Rasional : Mengatasi sesak yang dialami pasien
- Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan
pada dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan
warna sputum, kekentalan sputum, peningkatan napas pendek,
rasa sesak didada, keletihan.
Rasional : Pemberian tindakan pengobatan selanjutnya

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,


bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
a. Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan ketidakefektifan
pola nafas pasien dapat teratasi
b. Kriteria Hasil :
- Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal
- Bunyi nafas terdengar jelas.
c. Intervensi :
- Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan
setiap perubahan yang terjadi.
Rasional : Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman
pernafasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan
kondisi pasien.
- Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi
duduk, dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60 90 derajat.
Rasional : Penurunan diafragma memperluas daerah dada
sehingga ekspansi paru bisa maksimal.
- Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan
respon pasien).
Rasional : Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi
adanya penurunan fungsi paru.
- Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang
efektif.
Rasional : Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas
dalam. Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk
lebih efektif.
- Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-
obatan
Rasional : Pemberian oksigen dapat menurunkan beban
pernafasan dan mencegah terjadinya sianosis akibat hiponia.

3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan akibat sesak


pengaturan posisi dan pengaruh lingkungan.
a. Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan kebutuhan
istirahat dan tidur pasien terpenuhi.
b. Kriteria hasil :
- Pasien tidak sesak nafas
- Pasien dapat tidur dengan nyaman tanpa mengalami gangguan
- Pasien dapat tertidur dengan mudah dalam waktu 30-40 menit
- Pasien beristirahat atau tidur dalam waktu 3-8 jam per hari.
c. Intervensi :
- Beri posisi senyaman mungkin bagi pasien.
Rasional : Posisi semi fowler atau posisi yang menyenangkan
akan memperlancar peredaran O2 dan CO2.
- Tentukan kebiasaan motivasi sebelum tidur malam sesuai
dengan kebiasaan pasien sebelum dirawat.
Rasional : Mengubah pola yang sudah menjadi kebiasaan
sebelum tidur akan mengganggu proses tidur.
- Anjurkan pasien untuk latihan relaksasi sebelum tidur.
Rasional : Relaksasi dapat membantu mengatasi gangguan tidur.
- Observasi gejala kardinal dan keadaan umum pasien.
Rasional : Observasi gejala kardinal guna mengetahui perubahan
terhadap kondisi pasien.

4. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan anoreksia
a. Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan asupan nutrisi
dapat terpenuhi.
b. Kriteria Hasil :
- Peningkatan berat badan
- Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
c. Intervensi :
- Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi.
Rasional : Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh
kesukaannya, kebiasaannya, agama, ekonomi dan
pengetahuannya tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
- Auskultasi suara bising usus.
Rasional : Bising usus yang menurun atau meningkat
menunjukkan adanya gangguan pada fungsi pencernaan.
- Lakukan oral hygiene setiap hari.
Rasional : Bau mulut yang kurang sedap dapat mengurangi
nafsu makan.
- Sajikan makanan semenarik mungkin.
Rasional : Penyajian makanan yang menarik dapat
meningkatkan nafsu makan.
- Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasional : Makanan dalam porsi kecil tidak membutuhkan
energi, banyak selingan memudahkan reflek.
- Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet TKTP.
Rasional : Diet TKTP sangat baik untuk kebutuhan
metabolisme dan pembentukan antibody karena diet TKTP
menyediakan kalori dan semua asam amino esensial.
- Kolaborasi dengan dokter atau konsultasi untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium alabumin dan pemberian vitamin dan
suplemen nutrisi lainnya (zevity, ensure, socal, putmocare) jika
intake diet terus menurun lebih 30 % dari kebutuhan.
Rasional :Peningkatan intake protein, vitamin dan mineral dapat
menambah asam lemak dalam tubuh.
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8
volume 2. Jakarta, EGC.

Carpenito Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta:
EGC

Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni
Made Sumarwati, edisi 3, Jakarta: EGC

NANDA International. 2005. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi


2009-2011. Dialih bahasakan oleh Made Sumarwati. Jakarta : EGC
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN NY. N DENGAN DIAGNOSA MEDIS PPOK
DI RUANG BOUGENVILLE RSUD WATES

Oleh

TRI AYU WIDIYANTI 2520142516


ULI NUHA FATMAYA 2520142517

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Asuhan Keperawatan ini dibuat untuk memenuhi tugas Praktik


Klinik Keperawatan (PKK) Kebutuhan Medikal Bedah (KMB) I Semester IV

Wates, 20 Mei 2016

Mahasiswa

( Tri Ayu Widiyanti ) (Uli Nuha Fatmaya)


2520142516 2520142517

Mengetahui,

Pembimbing Klinik Rumah Sakit Pembimbing Klinik Akademik

( ) ( )

Anda mungkin juga menyukai