Oleh
Mahasiswa
Mengetahui,
( ) ( )
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya
oleh perorangan, tetapi juga oeh kelompok dan bahkan oleh masyarakat.
Sehat adalah suatu keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Status kesehatan dipengruhi oleh faktor biologik, lingkungan dan pelayanan
kesehatan. Faktor biologik merupakan faktor yang berasal dari dalam
individu atau faktor keturunan misalnya pada penyakit alergi (Mansjoer,
2000).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas
karena bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat
progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible.
Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai
pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu
tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan
anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran
udara (Mansjoer, 2000).
B. Tujuan
1. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
2. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis.
3. Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
4. Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru
kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas
yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya
respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD,
2009).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah sejumlah gangguan yang
mempengaruhi pergerakan udara dari dan ke luar paru. Gangguan yang
penting adalah bronkitis obstruktif, efisema, dan asma bronkial. (Muttaqin,
2008)
PPOK adalah merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan
dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar
udara paru-paru (Bruner & Suddarth, 2002).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Penyakit
Paru Obstruksi Kronik merupakan penyakit obstruksi jalan nafas karena
bronkitis kronis, bronkietaksis dan emfisema, obstruksi tersebut bersifat
progresif disertai hiperaktif aktivitas bronkus.
B. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK) adalah :
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi udara
3. Paparan debu,asap,dan gas-gas kimiawi akibat kerja
4. Riwayat infeksi saluran nafas
C. Patofisiologi
Pada bronkitis kronik terjadi penyempitan saluran nafas. Penyempitan ini
dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Pada
bronkitis kronik, saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm
menjadi lebih sempit. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel goblet.
Saluran nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar
mukus. Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh
berkurangnya elastisitas paru-paru. (Mansjoer, 2001)
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan nafas yaitu:
inflamasi dan pembengkakan bronki, produksi lendir yang berlebihan,
kehilangan rekoil elastik jalan nafas, dan kolaps bronkiolus serta redistribusi
udara ke alveoli yang berfungsi. Karena dinding alveoli mengalami
kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler
paru secara kontinu berkurang mengakibatkan kerusakan difusi oksigen.
Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir,
eliminasi karbon dioksida mengalami kerusakan mengakibatkan peningkatan
tekanan karbon dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis
respirastorius individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik kealiran
masuk dan aliran keluar dari paru. Untuk mengalirkan udara ke dalam dan
keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan
positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama
ekspirasi.(Mansjoer, 2001) (Diane C Baughman, 2000)
D. Maninfestasi klinis
Manifestasi klinis penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah :
1. Batuk
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk
bernafas
E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Doenges (2000) antara lain :
1. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya
diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda
vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler
(bronkhitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk
menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi,
untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek
terapi misalnya bronkodilator.
3. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi
kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
4. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit
kronis misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau
meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada
asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder
terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
5. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi
patogen, pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau
gangguan alergi.
6. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji
derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan atau evaluasi program latihan.
F. Komplikasi
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan
mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada
tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO 2 (hiperkapnia). Tanda yang
muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa.
Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya
dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),
harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi
ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.
G. Pengkajian keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses yang sistematis dalam
mengumpulkan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
Dalam pengkajian ini penulis menggunakan beberapa cara untuk
memperoleh data menurut, yang digunakan sebagai berikut :
1. Wawancara
Pengertian wawancara menurut Nazir (2000) adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab
sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si
penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan
interview guide (panduan wawancara).
Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan metode
wawancara penulis mendapatkan kesulitan karena pasien sulit bicara,
sulit mengeluarkan kata atau kalimat, sehingga penulis tidak hanya
melakukan wawancara terhadap pasien, tetapi juga ke anggota keluarga
pasien seperti ke adik dan kakaknya, dan anggota keluarga kooperatif.
Saat ditanya diperoleh data yaitu keluhan utama saat dilakukan
pengkajian adalah pasien mengeluh sesak nafas. Keluhan tambahan yang
dikeluhkan pasien adalah pasien merasakan dada yang tertekan, pasien
mengatakan riwayat merokok, serta bekerja di pabrik pemotongan kayu,
pasien mengatakan sering mengalami pilek dan batuk setelah terpapar
serbuk kayu.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan
kasus. Menurut teori Doenges (2000) pada pengkajian pernafasan pasien
mengalami rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas, batuk
yang menetap, adanya produksi sputum (hijau, putih, kuning), adanya
penggunaan otot bantu pernafasan seperti meninggikan bahu. Engram
(2000) juga menambahkan pengkajian pada pasien dengan penderita
dengan penyakit paru obstruksi kronis meliputi riwayat merokok produk
tembakau, riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan
eksasebrasi seperti alergen (serbuk).
Pada pola fungsional Gordon pada pola akivitas-latihan pasien
mengatakan letih dan lemah setelah melakukan aktivitas sehari-hari
karena kesulitan bernafas, sesak nafas saat istirahat setelah beraktivitas.
Menurut teori Doenges (2000) pada pengkajian aktivitas atau latihan
pasien mengalami keletihan, kelemahan, ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
Pada pola fungsional Gordon pada pola istirahat-tidur pasien
mengatakan kesulitan untuk tidur karena batuk yang bertambah di malam
hari, pasien mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik.
Dari pengkajian pada pola istirahat-tidur terdapat kesamaan antara
teori dengan kasus. Menurut teori Engram (2000) pasien mengalami
batuk yang menetap dan bertambah saat malam hari, batuk selama waktu
tidur, keluhan ketidakmampuan untuk tidur karena batuk.
2. Observasi
Pengertian observasi menurut Nursalam (2001) adalah mengamati
perilaku dan keadaan pasien untuk memperoleh data tentang masalah
kesehatan dan keperawatan pasien. Kegiatan masalah kesehatan dan
keperawatan pasien, kegiatan tersebut mencangkup aspek fisik mental,
sosial dan spiritual. Pedoman observasi ini penulis mengembangkan dari
pola fungsional Gordon.
Dari hasil observasi pada tanggal 4 Februari 2014 penulis
mendapatkan data yaitu pasien terlihat kesulitan bernafas, batuk yang
disertai dengan sputum, warna sputum putih, pasien terlihat kesulitan
berbicara. Pasien juga terlihat letih, pasien dibantu oleh anggota
keluarganya untuk melakukan aktivitas seperti untuk ambulasi atau
berpindah tempat, mandi dan toileting.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan
kasus. Menurut teori Doenges (2000) pada pengkajian pernafasan pasien
mengalami batuk dengan produksi sputum (putih, hijau, kuning),
kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus, pada
pengkajian aktivitas atau istirahat pasien mengalami keletihan dan
kelemahan umum.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan penulis menemukan
pasien sering terbangun saat tidur di malam hari, pasien terbangun 4 kali
di malam hari, pasien tidur selama 5 jam sehari. Berdasarkan data
tersebut terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut teori
Engram (2000) pasien mengalami batuk yang menetap selama waktu
tidur.
Dari hasil observasi pada tanggal 4 Februari 2014 penulis juga
mendapatkan data yaitu tidak ditemukannya tanda-tanda anoreksia
seperti mual muntah, , nafsu makan buruk, penurunan berat badan
menetap dan turgor kulit buruk.
Berdasarkan data diatas terdapat kesenjangan antara teori dengan
kasus. Menurut teori Doenges (2000) pasien dapat mengalami penurunan
berat badan, mengeluh gangguan sensasi pengecap dan keengganan
untuk makan atau kurang tertarik pada makanan. Pada saat dilakukan
pengkajian penulis tidak mendapatkan tanda-tanda tersebut karena pasien
mengatakan nafsu makan baik, makan 3 kali sehari, habis 1 porsi, dan
tidak mengalami mual dan muntah, pasien juga diberikan injeksi
ranitidine 30 mg untuk mencegah terjadinya anoreksia.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menurut Nursalam (2001) adalah melakukan
pemeriksaan fisik pasien untuk menentukan masalah kesehatan pasien.
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan menggunakan 4 teknik yaitu :
a. Inspeksi yaitu suatu proses observasi yang dilaksanakan secara
sistematik dilaksanakan dengan menggunakan indera penglihatan,
pendengaran dan penciuman.
Dari hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan
teknik inspeksi penulis mendapatkan data yaitu adanya bentuk dada
seperti tong, terlihat meninggikan bahu untuk bernafas Berdasarkan
data tersebut terdapat kesamaan antara teori dengan kasus. Menurut
teori Doenges (2000) pada inspeksi ditemukan penggunaan otot
bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, dada dapat terlihat
hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (barrel chest) atau
bentuk seperti tong.
b. b. Palpasi yaitu suatu teknik yang menggunakan indera peraba,
tangan dan jari-jari yang merupakan instrumen sensitif. Dari hasil
pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan teknik palpasi
penulis mendapatkan data yaitu tidak ada nyeri tekan pada daerah
dada.
c. Perkusi yaitu pemeriksaan fisik dengan jalan mengetuk untuk
membandingkan kiri kanan pada setiap daerah permukaan tubuh
dengan tujuan menghasilkan suara. Dari hasil pengkajian pada
tanggal 4 Februari 2014 dengan teknik perkusi penulis mendapatkan
data yaitu pada perkusi ditemukan bunyi pekak pada paru.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan
kasus yaitu pada teori Doenges (2000) pada pemeriksaan perkusi :
bunyi pekak pada area paru misalnya cairan, mukosa.
d. Auskultasi adalah pemeriksaan dengan jalan mendengarkan suara
yang dihasilkan oleh tubuh dengan menggunakan stetoskop. Dari
hasil pengkajian pada tanggal 4 Februari 2014 dengan teknik
auskultasi penulis mendapatkan data yaitu terdengar auskultasi :
bunyi nafas mengi, ronkhi pada paru bagian kanan dan wheezing
pada paru bagian kiri.
Berdasarkan data diatas terdapat kesamaan antara teori dengan
kasus. Menurut teori Doenges (2000) bunyi nafas mungkin redup
dengan ekspirasi mengi, menyebar, lembut atau krekels lembab
kasar, ronkhi, mengi sepanjang area paru pada ekspirasi dan
kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak
adanya bunyi nafas.
H. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif,
kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan akibat sesak,
pengaturan posisi dan pengaruh lingkungan.
4. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC
Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8
volume 2. Jakarta, EGC.
Carpenito Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta:
EGC
Oleh
Mahasiswa
Mengetahui,
( ) ( )