Anda di halaman 1dari 25

Case Study : Asuhan Keperawatan dengan Kasus Gagal Nafas

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Dosen Pengampu:

Hery wibowo, Ns., M.Kep

Disusun Oleh:

Kelompok 6

Toni wenda 1810913710001


Basid Noor Anugrah 2010913310003
Ernita Yulia Sari 2010913120007
Fiki Rahmatul Ulya 2010913320026
Laksmi Maliha Rahmah 2010913220031

Milawati 2010913220020
Mutiara Khadijah 2010913320006
Nurlina Syifawati 2010913320009
Rahmi 2010913320001
Rizka Ananda Ungang 2010913220028

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

2023
PEMBAHASAN

A. Definisi Gagal Napas


Gagal napas adalah kondisi kegagalan sistem pernafasan dalam
pertukaran gas dimana PaO2 < 60 mmHg dan PaCO2 > 50 mmHg (Sakti
et al., 2021). Gagal napas adalah suatu kondisi ketidakmampuan sistem
pernapasan untuk mengambil oksigen yang cukup dan mengeluarkan
karbon dioksida, yang disebabkan oleh gangguan pada sistem pernapasan
dan sistem lainnya, termasuk gangguan sistem saraf. Keadaan ini
menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, atau bahkan kombinasi keduanya
(Bakhtiar, 2013). Secara keseluruhan, distribusi frekuensi gagal napas
tidak diketahui karena gagal napas merupakan kumpulan gejala suatu
penyakit dari suatu proses penyakit tunggal.

Ada dua macam gagal napas, yaitu gagal napas akut dan gagal kronis yang
masing-masing memiliki definisi yang berbeda. Gagal napas akut adalah
gagal napas yang terjadi pada pasien yang memiliki struktur dan fungsi
paru normal sebelum timbulnya penyakit. Sedangkan gagal kronis adalah
gagal napas yang terjadi pada pasien dengan penyakit kronis seperti
bronkitis kronis, emfisema. Pasien memiliki toleransi terhadap hipoksia
dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap (Sakti et al., 2021).

B. Etiologi Gagal Napas


Beberapa mekanisme timbulnya gagal napas pada beberapa penyakit
adalah sebagai berikut (Arofah & Sudaryanto, 2020):
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan Asma
Kerusakan jaringan paru pada PPOK seperti akses jalan nafas yang
menyempit, fibrosis, destruksi parenkim membuat luas permukaan
alveolus yang kontak langsung dengan kapiler paru terus berkurang
sehingga mengganggu difusi O2 dan eliminasi CO2.
2. Pneumonia
Mikroorganisme pada pneumonia mengeluarkan racun dan memicu
reaksi inflamasi dan mengeluarkan lendir. Lendir membuat luas
permukaan alveolus yang kontak langsung dengan kapiler paru terus
berkurang, mengganggu difusi O2 dan eliminasi CO2.
3. Tuberculosis Pulmonal
Pelepasan besar mikobakteri ke dalam sirkulasi paru menyebabkan
peradangan, endarteritis obliteratif dan kerusakan membran kapiler
alveolar, sehingga mengganggu pertukaran gas.
4. Tumor paru
Tumor paru dapat menyebabkan obstruksi jalan napas sehingga
ventilasi dan perfusi tidak berfungsi secara adekuat.
5. Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah keadaan darurat medis dan terjadi ketika
tekanan intrapleural melebihi tekanan atmosfer. Pada pernapasan
normal, rongga pleura memiliki tekanan negatif. Saat dinding dada
mengembang ke luar, permukaan antara pleura parietal dan visceral
muncul menyebabkan paru-paru mengembang ke luar. Penumpukan
tekanan di ruang pleura akhirnya menyebabkan hipoksemia dan gagal
napas karena kompresi paru-paru.
6. Efusi Pleura
Efusi pleura dapat menyebabkan dispnea karena penurunan
komplians dinding dada, sehingga pertukaran udara tidak adekuat.

C. Epidemiologi Gagal Napas


Gagal napas akut merupakan penyebab gagal organ yang paling sering di
ICU dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Di Skandinavia, tingkat
mortalitas dalam waktu 90% pada acute respiratory distress syndrome
(ARDS) adalah 41% dan acute lung injury (ALI) adalah 42,2%. Gagal
nafas akut sering kali ditemukan dengan kegagalan organ vital lainnya.
Kematian disebabkan karena multiple organ dysfunction syndrome
(MODS). Pada ARDS, kematian akibat gagal napas ireversibel adalah 10-
16%. Sedangkan di Jerman, insiden dengan gagal napas akut, ALI, dan
ARDS adalah 77,6-88,6; 17,9-34; dan 12,6-28 kasus per 100.000 populasi
pertahun dengan tingkat mortalitas 40%.
D. Klasifikasi Gagal Napas
1. Gagal napas akut
Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang
ditandai dengan perubahan hasil analisa gas darah yang mengancam
jiwa. Terjadi peningkatan kadar PaCO2. Gagal napas akut timbul pada
pasien yang keadaan parunya normal secara struktural maupun
fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
2. Gagal napas kronik
Gagal napas kronik terjadi dalam beberapa hari. Biasanya terjadi pada
pasien dengan penyakit paru kronik, seperti bronkhitis kronik dan
emfisema. Pasien akan mengalami toleransi terhadap hipoksia dan
hiperapneu yang memburuk secara bertahap.

E. Patofisiologi Gagal Napas

Menurut Roussos & Koutsoukou (2003) mekanisme patofisiologis yang


menyebabkan kegagalan napas masih belum jelas. Namun, mereka
mengemukakan teori bahwa gagal napas terjadi karena pasien berusaha
sekuat tenaga untuk mempertahankan tekanan karbon dioksida dan
oksigen arteri normal dengan mengorbankan kelelahan dan akhirnya
menjadi lelah atau bernapas dengan ventilasi menit yang lebih rendah,
menghindari dispnea, kelelahan, dan keletihan tetapi pada saat yang sama
yang berakibat berkurangnya ventilasi alveolar. Berdasarkan penelitian
terbaru, gagal napas terjadi karena ada ambang batas beban inspirasi yang
bila terlampaui akan mengakibatkan cedera pada otot, akibatnya respon
adaptif akan timbul untuk mencegah dan/atau mengurangi kerusakan ini.
Ini terdiri dari produksi sitokin, yang pada gilirannya memodulasi
pengontrol pernapasan melalui sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal.
Namun, modulasi pola pernapasan pada akhirnya mengakibatkan
hipoventilasi alveolar dan retensi karbon dioksida.
Mirabile et al (2023) sendiri menjelaskan bahwa mekanisme patofisiologi
gagal napas dibagi berdasarkan tipenya yaitu gagal napas tipe 1 dan gagal
napas tipe 2:
1. Gagal napas tipe 1
Gagal napas tipe 1 paling umum terjadi apabila komposisi gas alveolar
bergantung pada keseimbangan ventilasi alveolar dan aliran darah
kapiler paru yang terjadi pada antarmuka alveolar-kapiler. Ketika
sangat cocok, rasio V/Q sama dengan satu. Ketika ventilasi berlebihan
terhadap perfusi, rasio V/Q lebih besar dari satu; Ventilasi ruang mati
terjadi ketika rasio V/Q mencapai tak terhingga. Ketika perfusi
berlebihan terhadap ventilasi, rasio V/Q kurang dari satu; Shunt
terjadi ketika rasio V/Q mencapai nol. Namun, pada subjek sehat,
rasio V/Q kira-kira 0,8, karena keseimbangan antara ventilasi dan
perfusi berbeda dari puncak hingga dasar paru-paru.
2. Gagal napas tipe 2
Gagal napas tipe 2 atau hiperkapnia terjadi karena peningkatan karbon
dioksida (CO2) (PaCO) arteri > 45 mmHg dengan pH < 7,35 akibat
kegagalan pompa pernapasan dan/atau peningkatan produksi
CO. Secara umum, menurut persamaan ventilasi alveolar yang
dimodifikasi, tingkat PaCO2 berhubungan secara proporsional
dengan laju produksi CO2 (VCO2) dan berbanding terbalik dengan
laju eliminasi CO2 (yaitu, ventilasi alveolar) (PaCO2 =VCO2 /VA).

F. Manifestasi Klinis

Manifestasi atau gejala klinis awal dari pasien gagal napas biasanya
pasien datang dengan gejala pernafasan (misalnya dispnea, batuk,
hemoptisis, produksi sputum, dan mengi); namun, gejala dari sistem
organ lain (yaitu nyeri dada, penurunan nafsu makan, nyeri ulu hati,
demam, dan penurunan berat badan yang signifikan) juga
penting. Hilangnya penciuman dan/atau paparan terhadap orang sakit atau
kontak tanpa pelindung dengan orang yang terinfeksi virus corona
(COVID-19) merupakan hal yang penting dalam mencurigai penyakit
COVID-19 dan kegagalan pernafasan terkait, terutama pada pasien
berisiko tinggi (pasien lanjut usia, pria, dan pasien dengan penyakit tidak
menular) dan obesitas. Untuk populasi tertentu, adanya kondisi
imunokompromais atau penggunaan imunosupresan juga penting dalam
membuat stratifikasi risiko pada pasien yang berisiko mengalami gagal
napas sejak dini Mirabile et al (2023).
Adapun tanda-tanda gagal napas mungkin muncul di seluruh tubuh antara
lain Mirabile et al (2023):
• Inspeksi umum: penggunaan otot tambahan, perubahan status mental,
cachectic, dispnea percakapan, diaforesis, demam, gangguan
pernapasan (saat istirahat atau saat beraktivitas), obesitas, dan
pernapasan berbibir tipis
• Kepala: Cushingoid, sianosis sentral, sindrom Horner, dan
konjungtiva pucat
• Leher: Distensi vena jugularis, limfadenopati, dan deviasi trakea
• Dada/toraks: Ekspansi dada asimetris, bradipnea, bunyi napas
bronkial, pernapasan Cheyne-Stoke, krekel, penurunan suara napas,
tumpul pada perkusi, hiperresonansi pada perkusi, pernapasan
Kussmaul, kyphoscoliosis, P2 keras, pernapasan paradoks, pectus
carinatum, pectus excavatum, gesekan pleura, berkurangnya ekspansi
dada, ronki, stridor, takipnea, fremitus vokal taktil, bunyi napas
vesikular, resonansi vokal, mengi, dan pectoriloquy berbisik
• Perut: Hepatomegali
• Ekstremitas atas: Asteriksis, jari tabuh, sianosis perifer, noda
tembakau, dan tremor
• Ekstremitas bawah: Edema, sianosis perifer, dan pembengkakan
unilateral.
G. Nursing Pathway Gagal Napas

H. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik gagal napas meliputi:
1) Inspeksi
Kesulitan bernapas tampak dalam perubahan irama dan frekuensi
pernapasan. Keadaan normal frekuensi pernapasan 16-20 x/menit dengan
amplitudo yang cukup besar, sehingga menghasilkan volume tidal sebesar
500ml. Jika seseorang bernapas lambat dan dangkal, itu menunjukan
adanya depresi pusat pernapasan. Penyakit akut paru sering menunjukan
frekuensi pernapasan lebih dari 20x/menit atau karena penyakit sistemik
seperti sepsis, perdarahan, syok, dan metabolik seperti diabetes melitus.
Adanya tanda sianosis masih sukar ditentukan, bila saturasi oksigen darah
arteri belum dibawah 80% atau bila tekanan parsial oksigen darah arteri
dibawah 50 mmHg. Sianosis tipe sentral dapat dilihat dari perubahan
warna mukosa yang semula kemerahan menjadi kebiruan terutama pada
mukosa pipi, bawah lidah, dan bibir sebelah dalam. Sianosis tipe perifer
terjadi karena sirkulasi darah buruk serta hasil yang rendah, ditandai
dengan adanya warna kebiruan pada kuku disertai akral dingin.
2) Palpasi
Perawat harus memerhatikan adanya pelebaran ICS dan penurunan taktil
fremitus yang menjadi penyebab utama gagal napas.
3) Perkusi
Perkusi yang dilakukan oleh perawat dengan cermat dan seksama
membuatnya dapat menemukan daerah redup-rendah dengan suara napas
melemah yang disebabkan oleh penebalan pleura, efusi pleura yang cukup
banyak, dan hipersonor, bila didapatkan pnemothoraks atau empisema
paru.
4) Auskultasi
Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah ada bunyi napas tambahan
seperti wheezing dan ronkhi serta untuk menetukan dengan tepat lokasi
yang didapat dari kelainan yang ada.

I. Pemeriksaan Diagnostik atau Penunjang


1. Pemeriksaan gas darah arteri
Hipoksemia
Ringan : 80 mmHg
Sedang : PaO2 <60 mmHg
2. Pemeriksaan rontgen dada Melihat keadaan patologik dan atau
kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui.
3. Pemeriksaan sputum Yang perlu diperhatikan ialah warna, bau dan
kekentalan.
4. EKG
5. Pengukuran fungsi paru

J. Komplikasi
1) Paru
- Komplikasi yang sering terjadi adalah emboli paru, barotraumas,
fibrosis paru, dan komplikasi sekunder akibat alat mekanis yang
digunakan
- Pasien juga rentan terhadap pneumonia nosocomial
- Fibrosis paru dapat terjadi pasca acute lung injury yangterkait acute
respiratory distress syndrome (ARDS)
2) Kardiovaskular
- Komplikasi yang sering terjadi pada gagal napas akut adalah
hipotensi, menurunnya kardiak aoutput, aritmia, perikarditis, dan
infark miokard akut
- Komplikasi ini terkait dengan penyakit yang mendasari, ventilasi
mekanik, atau pemakaian kateter arteri pulmonaris
3) Gastrointestinal
- Komplikasi yang utama pada gastrointestinal akibat gagal napas akut
adalah perdarahan, distensi lambung, ileus, diare, dan
pneumoperitoneum
- Stress ulcer sering terjadi pada gagal napas akut
4) Infeksi
- Infeksi nosokomial sering terjadi, seperti pneumonia, infeksi saluran
kemih, catheter-related sepsis
5) Ginjal
- Acute Renal Failure (ARF) dan abnormalitas elektrolit dan
homeostasis asam basa sering terjadi
- ARF pada gagal napas akut berkaitan dengan buruknya prognosis
dan tingginya mortalitas. ARF ini terjadi akibat hipoperfusi renal dan
penggunaan obat nefrotoksik, termasuk bahan kontras radiologi
6) Nutrisi
- Malnutrisi akibat nutrisi enteral dan parenteral
- Komplikasi akibat nasogastric tubes yaitu distensi lambung dan
diare
- Komplikasi akibat nutrisi parenteral dapat berupa infeksi, ataupun
komplikasi metabolik (hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit)

K. Penatalaksanaan
1. Atasi Hipoksemia: Terapi Oksigen
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan
pada pasienpasien dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus
segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak diberikan akan
menimbulkan cacat tetap dan kematian.
2. Atasi Hiperkapnia: Perbaiki Ventilasi Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian
obat-obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus
dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas.
Pertimbangan untuk insersi jalan napas buatan seperti endotracheal
tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas buatan
dibandingkan jalan napas alami.
3. Fisioterapi dada
Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum.
Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan
pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan
bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan telapak tangan pada
saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga
tepukan-tepukan pada dada, punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan
drainage postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan
seperti mukolitik dan bronkodilator
KASUS

Laki-laki usia 24 tahun dibawa ke RS karena mengalami kecelakaan,


perdarahan dan tidak sadarkan diri. Keluarga mengatakan pasien dibawa ke
IGD RSUD Ulin pada tanggal 18 juli 2023 setelah mengalami KLLD.
Menurut keterangan saksi pasien mengalami kecelakaan tunggal karena
menabrak pohon, saksi mengatakan wajah pasien terbentur keras ke batang
pohon lalu jatuh ke tanah, setelah kejadian pasien langsung tidak sadarkan
diri dan langsung dibawa warga setempat ke IDG RSUD Ulin Banjarmasin
untuk penanganan lebih lanjut. Saat datang di IGD pasien masih tidak
sadarkan diri dengan skor GCS E1V1M1 (koma) serta wajah pasien penuh
darah karena perdarahan dari hidung dan telinga setelah mendapatkan
pertolongan pertama di IGD pasien dibawa ke ruang ICU untuk dilakukan
perawatan intensif.

Keadaan umum: Pasien tidak sadarkan diri dengan skor GCS E1V1M1
(koma), terdapat luka pada kaki sebelah kanan dan luka pada kepala sebelah
kiri. Tanda-tanda vital pasien: Tekanan Darah: 124/72 mmHg, Nadi : 76
kali/menit, Suhu : 36,5, RR (ventilator) 16 kali/menit, RR (spontan) 0/menit,
Spo2 99 % (Dengan ventilator), berat badan 60kg. Hasil inspeksi terdapat
penggunaan otot bantu napas dibantu ventilator, tidak ada batuk, terlihat
cairan keluar dari mulut pasien, terdengar adanya suara gurgling. Terlihat
adanya deformitas pada bentuk wajah, luka pada kaki kanan dan daerah
kepala, ektremitas teraba dingin. Hasil pengkajian risiko jatuh menggunakan
Morse Fall Scale : 35 (Risiko Rendah).

Hasil pemeriksaan penunjang terlihat adanya fraktur pada bagian temporal.


Berdasarkan hasil pengkajian pasien didiagnosa mengalami Cidera Kepala
Berat (CKB) + SAH + Gagal napas on ventilator
ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Tanggal masuk dan jam masuk klien di RS : 18 Juli 2023
Tanggal dan jam masuk klien di ICU/ICCU : 18 Juli 2023
Tanggal dan jam pengkajian : Tidak terkaji

A. Identitas Klien
Nama : Tn. X
Umur : 24 tahun
Tgl Lahir : Tidak terkaji
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Tidak terkaji
Pekerjaan : Tidak terkaji
Alamat : Tidak terkaji
No. Reg. : Tidak terkaji
Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tidak terkaji
Umur : Tidak terkaji
Alamat : Tidak terkaji
Hubungan : Tidak terkaji

B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Pasien pendarahan wajah dan tidak sadarkan diri.
2. Alasan Masuk RS
Pasien mengalami kecelakaan tunggal karena menabrak pohon,
saksi mengatakan wajah pasien terbentur keras ke batang pohon
lalu jatuh ke tanah, setelah kejadian pasien langsung tidak
sadarkan diri dan langsung dibawa warga setempat ke IDG
RSUD Ulin Banjarmasin untuk penanganan lebih lanjut.
3. Riwayat Alergi
Tidak terkaji
4. Riwayat Penyakit Sekarang
pasien masih tidak sadarkan diri dengan skor GCS E1V1M1
(koma) serta wajah pasien penuh darah karena perdarahan dari
hidung dan telinga setelah mendapatkan pertolongan pertama di
IGD pasien dibawa ke ruang ICU untuk dilakukan perawatan
intensif
5. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak terkaji
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terkaji

C. Pengkajian Keperawatan
Data umum:
Tanda-tanda vital
Tekanan darah: 124/72mmHg.
Denyut Jantung: 76x/menit
Kecepatan Pernafasan: 16x/menit
Suhu: 36,50 C
SPO2: 99 % (dengan ventilator)
Berat Badan: 60 Kg
Tinggi Badan: tidak terkaji
Pengkajian Per sistem:
- Sistem Kardiovaskuler
Tidak terkaji
Masalah keperawatan:
- Sistem Respirasi
• Terdapat penggunaan otot bantu napas dibantu ventilator, tidak
ada batuk, terlihat cairan keluar dari mulut pasien, terdengar
adanya suara gurgling
Masalah keperawatan:
- Sistem Neurologis
Tidak terkaji
Masalah keperawatan: -
- Sistem Gastrointestinal
Tidak terkaji
Masalah keperawatan:
- Sistem Urogenital
Tidak terkaji
Masalah keperawatan: -
- Sistem Muskuloskeletal
• Terlihat adanya deformitas pada bentuk wajah, luka pada kaki
kanan dan daerah kepala, ektremitas teraba dingin
• Hasil pemeriksaan penunjang terlihat adanya fraktur pada
bagian temporal..
Masalah keperawatan:
- Sistem Integumen
Pasien terdapat luka pada kaki sebelah kanan dan luka pada kepala
sebelah kiri Masalah keperawatan:
- Sistem Endokrin
Tidak terkaji
Masalah keperawatan: -
- Pengkajian Psikologis
Tidak terkaji
- Pengkajian Sosial
• Keluarga mengatakan pasien dibawa ke IGD RSUD Ulin pada
tanggal 18 juli 2023 setelah mengalami KLLD.
• Pasien dibawa ke IGD RSUD Ulin oleh warga setempat
- Pengkajian Spiritual
Tidak terkaji
- Pengkajian budaya (Kultur)
Tidak terkaji
D. Hasil Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang beserta
interpretasinya
a) Hasil Laboratorium

➢ Hematologi
• Hemoglobin: 11.5 g/dl
• Leukosit: 10,6 ribu/µL
• Eritrosit: 4.07 Juta/µL
• Hematokrit: 38.6%
• Trombosit: 95 riibu/µL
• RDW-C: 14.5%
➢ MCV-MCH-MCHC
• MCV: 94.8 fL
• MCH: 28.3 pg
• MCHC: 29.8%
➢ Hitung Jenis
• Basofil: 0.2 %
• Eosinofil: 2.8%
• Neutrofil: 76.1%
• Limfosit: 12.8 %
• Monosit: 8.1%
• Basophil: 0.02 ribu/µL
• Eosinofil: 0.30 ribu/µL
• Neutrofil: 8.08 ribu/µL
• Limfosit: 1.36 ribu/µL
• Monosit: 0.86 ribu/µL
• HFLC: 90/ µL
• HFLC: 1 %
➢ Hitung Jenis
• Albumin: 3.5 g/dl
• SGOT: 70 U/L
• SGPT: 649 U/L
b) Hasil pemeriksaan penunjang terlihat adanya fraktur pada
bagian temporal.

E. Diagnosa Medis
Cidera Kepala Berat (CKB) + SAH + Gagal napas on ventilator
F. Penatalaksanaan yang telah dilakukan termasuk Medikasi dan
interpretasinya
-Tidak terkaji
ANALISA DATA

No. Data Etiologi Problem

1. DO: Wajah terbentur karena Hambatan Pertukaran


kecelakaan Gas (00030)
- Pasien tidak
sadarkan diri
dengan skor GCS
E1V1M1
- TTV; TD: 124/72
mmHg, RR: Tidak sadar (GCS
16x/menit, nadi: E1V1M1)
76x/menit, suhu:
36,50 C, SPO2:
99% (dengan
ventilator)
- Terdapat Hipoksemia
penggunaan otot
bantu napas
dibantu ventilator

DS: Terpasang ventilator

- Saksi kejadian di
tempat
kecelakaan
mengatakan Hambatan pertukaran
wajah pasien gas
terbentur keras ke
batang pohon

2. DO: Wajah terbentur karena Ketidakefektifan


kecelakaan Bersihan Jalan Napas
- Pasien tidak (00031)
sadarkan diri
dengan skor GCS
E1V1M1.
- Mengalami
perdarahan dari Perdarahan dari hidung
hidung dan dan telinga
telinga
- Menggunakan
otot bantu napas
- Terpasang
ventilator
- Tidak ada batuk Terdapat suara napas
- Keluar cairan dari tambahan (gurgling)
mulut pasien
- Adanya suara
gurgling
- RR: 16x/menit
- Nadi: 76x/menit
- SPO2: 99% Ada cairan yang keluar
(dengan ventilator dari mulut
DS:

- Tidak dapat terkaji


karena pasien
tidak sadar
Terpasang ventilator

Ketidakefektifan
bersihan jalan napas

DO:
3. Kecelakaan dan Risiko ketidakefektifan
- Pasien mengalami benturan pada wajah perfusi jaringan serebral
penurunan (00039)
kesadaran dengan
GCS E1V1M1
(koma)
Cedera kepala
- Darah dan telinga
pasien
mengeluarkan
darah
- Adanya deformitas Deformitas dan fraktur
pada bentuk wajah pada kepala
- Terdapat luka pada
daerah kepala
- Pasien terpasang
ventilasi dengan
SPO2: 99%
- RR: 16x/menit Keluar darah dari
- Terdapat fraktur hidung dan telinga
pada bagian
temporal

DS:
Gangguan aliran darah
- Saksi di tempat
mengatakan wajah dan penurunan O2
pasien terbentur

Risiko ketidakefektifan
perfusi jaringan
serebral

Diagnosa prioritas:

1. Hambatan pertukaran gas b.d. Hipoksemia


2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d. Penggunaan ventilator
3. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d. Cedera kepala
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

No Diagnosa NOC NIC Rasional


Keperawatan

1 Hambatan Status Manajemen ventilasi 1. memberikan


pertukaran gas pernafasan : mekanik : invasif informasi
b.d. Hipoksemia (0415) (3300) kondisi kerja
pernapasan
setelah 1. monitor tekanan pasien
dilakukan ventilator, dengan
tindakan sinkronasi ventilator
keperawatan pasien/ventilator 2. mengetahui
selama 2 x 24 , dan suara keberhasilan
jam diharapkan napas setting
: 2. monitor ventilator
kemajuan pasien yang
- penggunaan yang digunakan
otot bantu menggunakan dapat
nafas dari setting meningkatka
skala 2 ventilator yang n
(berat) digunakan saat pernapasan
menjadi 3 ini dan buat pasien
(cukup) perubahan 3. pemantauan
sesuai efek
kebutuhan yang samping
diinstruksikan karena
3. monitor evek penggunaan
Sam ping ventilasi
ventilasi mekanik
mekanik 4. posisi pasien
4. posisikan untuk dapat
memfasilitasi memberikan
ventilasi/kesesu dampak
aian perfusi menguntung
(good lung kan terhadap
down) sesuai ventilasi
kebutuhan 5. pemantauan
5. monitor efek efek
perubahan pernafasan
ventilator pada jika
pernafasan dilakukan
6. Dokumentasika perubahan
n semua pada
perubahan yang ventilatir
dilakukan pada 6. mencatat
seting ventilator perubahan
pada setting
ventilator
yang dapat
berguna
untuk
tindakan
selanjutnya

Ketidakefektifan Status Manajemen Jalan Nafas 1. Posisi pasien


bersihan jalan Pernafasan: (3140) dapat
napas b.d. Kepatenan memberikan
Penggunaan Jalan Nafas 1. Posisikan pasien dampak
ventilator untuk menguntung
(0410) memaksimalkan kan terhadap
ventilasi ventilasi
Setelah
2. Auskultasi suara 2. Pemantauan
dilakukan
nafas, catat area suara nafas
tindakan
yang pada saat
keperawatan
ventilasinya dipakaikan
selama 1 x 24
menurun atau ventilasi
jam diharapkan
tidak ada dan 3. Posisi pasien
terjadi saluran
adanya suara dapat
trakeobronkial
tambahan memberikan
yang terbuka
3. Posisikan untuk dampak
dan lancar
meringankan membuka
untuk
sesak nafas jalan nafas
pertukarakn
4. Monitor status 4. Catat
udara dengan
pernafasan dan perubahan
hasil :
oksigenasi yang dapat
- Frekuensi berguna
pernafasan untuk
deviasi yang tindakan
cukup berat selanjutnya
dari kisaran
normal (2)
menjadi
deviasi ringan
dari kisaran
normal (4)
- Pengunaan
otot bantu
nafas berat
(2) menjadi
ringan (4)
Risiko Perfusi Monitor tekanan 1. Posisi pasien
ketidakefektifan jaringan: intrakranial (2590) dapat
perfusi jaringan serebral (0406) mengoptima
serebral b.d. 1. sesuaikan lkan perfusi
Cedera kepala setelah kepala tempat serebral
dilakukan tidur untuk 2. Catat
tindakan mengoptimalkan perubahan
keperawatan perfusi serebral tekanan
selama 2 x 24 2. monitor tekanan aliran darah
jam diharapkan aliran darah otak otak pasien
terjadi 3. monitor status 3. Catat
kecukupan neurologis perubahan
aliran darah 4. periksa pasien status
melalui terkait ada neurologis
pembuluh darah tidaknya gejala 4. Pastikan
otak untuk : kaku kuduk pasien tidak
5. monitor tingkat ada gejala
- tekanan CO2 dan kaki kuduk
intrakranial pertahankan 5. Catat
dari skala 2 dalam parameter perubahan
menjadi 4 yang ditentukan CO2 pasien
- penurunan
tingkat
kesadaran
dari skala 1 (
berat)
menjadi 2
(sangat
berat)

keparahan
cedera fisik
(1913)
setalah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 1 x 24
jam
diharapkan
hasil
- perdarahan
dari skala 4
menjadi 5
- fraktur muka
dari skala 3
menjadi
skala 4
- cedera
kepala
tertutup dari
skala 4
menjadi 5
DAFTAR PUSTAKA

Arofah, R. N., & Sudaryanto, A. (2020, August). Literature review


penggunaan High Flow Nasal Cannula (HFNC) pada pasien gagal
nafas akut di unit gawat darurat. In Proceeding Seminar Nasional
Keperawatan (Vol. 6, No. 1, pp. 93-101).

Bakhtiar, B. (2013). Aspek Klinis dan Tatalaksana Gagal Nafas Akut pada
Anak. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 13(3), 173-178.

Mirabile, V, S., Eman, S., Abdulghani, S., & Bracken, B., 2023. Respiratory
Failure. National Library of Mecicine (NIH).

Muttaqin (2021). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dgn Gangguan Sistem


Pernapasan. (n.d.). (n.p.): Penerbit Salemba.

Roussos, C., & A, K., 2003. Respiratory failure. Europe Respiratory Journal,
22(47), pp. 3s-14s

Sakti, M., Ferianto, F., Siswoyo, D. V., Candita, F., & Ifani, R. F. (2021).
Tatalaksana Gagal Nafas Akut Akibat Edem Paru Akut pada Pasien
dengan Hipertensi. Collaborative Medical Journal (CMJ), 4(1), 26-
32.

Sari(2022). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Kardiopulmonal.


Pekalongan: Penerbit NEM.

Anda mungkin juga menyukai