Anda di halaman 1dari 28

TERAPI OKSIGEN PADA GAGAL NAPAS

dr. Yoni Frista Vendarani


Dr. dr. Muhammad Vitanata Arfijanto, Sp.PD. K-PTI. FINASIM

PENDAHULUAN
Paru dan otot pernapasan merupakan dua komponen utama dalam sistem
pernapasan. Keadaan yang mengganggu kemampuan bernapas sering dikenal
sebagai gagal napas. Gagal napas mempunyai banyak penyebab dan bisa timbul
secara mendadak (gagal napas akut), maupun secara perlahan (gagal napas
kronis). (Maranatha et al., 2022) Gagal napas, terutama gagal napas akut, adalah
salah satu alasan paling sering untuk masuk Intensive Care Unit (ICU). Sekitar
330.000 pasien didiagnosis dengan gagal napas akut setiap tahun di Amerika
Serikat. Lebih dari separuh pasien yang dirawat di ICU selama >48 jam menjadi
gagal napas, dengan tingkat mortalitas ≥34%. (Barjaktarevic et al., 2022; Syahrani
et al., 2017)
Penatalaksanaan pasien gagal napas bergantung pada penyebab yang
mendasarinya dengan tujuan untuk memperbaiki oksigenasi dan atau ventilasi
sehingga keadaan hipoksemia dan hiperkapni dapat diatasi. (Syahrani et al., 2017)
Terapi oksigen digunakan untuk mengatasi kondisi hipoksemia, namun tidak
semua pasien sesak napas harus diberikan terapi oksigen. (O’Driscoll et al.,
2017a)
Tujuan utama terapi gagal napas adalah mengembalikan pertukaran gas
yang adekuat dengan komplikasi sekecil mungkin. Terapi oksigen merupakan
tatalaksana awal yang diberikan pada pasien dengan gagal napas. Pemberian
oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah kerusakan sel baik di
otot maupun organ lainnya. (Syahrani et al., 2017)
Banyak hal yang harus diperhatikan dalam pemberian terapi oksigen.
Tenaga medis yang memberikan terapi oksigen harus mendapatkan pelatihan
terlebih dahulu. Tenaga medis harus mengenali macam-macam alat oksigenasi.
Pemberian oksigen secara berlebihan juga dapat memperburuk kondisi penyakit.
(O’Driscoll et al., 2017a) Oleh karena itu, dalam tinjauan kepustakaan ini akan
dibahas terapi oksigen dalam menangani pasien gagal napas.
Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam
1
FK Unair-RSUD Dr. Soetomo
2023
GAGAL NAPAS
Oksigen dikonsumsi oleh jaringan dan konsumsi oksigen (QO 2)
bergantung pada pertukaran gas di paru. Asupan oksigen rata-rata untuk orang
dewasa adalah sekitar 250 mL/menit, tetapi hal ini tergantung pada banyak faktor.
Sebagian besar oksigen (~98,5%) diangkut ke jaringan perifer melalui
oksihemoglobin. Transportasi total oksigen melalui sistem arteri disebut oxygen
delivery (DO2) dan biasanya beberapa kali lipat lebih besar dari kebutuhan
oksigen jaringan perifer. Namun, penggunaan oksigen (VO2) dalam kondisi
patologis seperti gagal napas bergantung pada DO2. Dalam situasi ini, hubungan
antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen dapat terganggu dengan
berkurangnya suplai oksigen atau meningkatnya kebutuhan oksigen (Gambar 1).
(Barjaktarevic et al., 2022)

Gambar 1. Oksigenasi jaringan perifer yang terganggu dapat merupakan


konsekuensi dari pasokan oksigen yang tidak adekuat atau peningkatan kebutuhan
oksigen (Barjaktarevic et al., 2022)

DO2 bergantung pada curah jantung dan kandungan oksigen arteri (CaO2),
nilai hemoglobin (Hb) dan saturasi oksigen (SaO 2) (Gambar 2). Oksigen
dilepaskan dari oksihemoglobin ketika perfusi yang adekuat dari kapiler di
jaringan perifer. (Barjaktarevic et al., 2022)

2
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
Gambar 2 Prinsip Fick
menetapkan hubungan pengambilan/konsumsi oksigen oleh jaringan perifer, curah
jantung, dan kandungan oksigen dalam arteri dan vena (Barjaktarevic et al., 2022)
(VO2, oxygen uptake; QO2, oxygen consumption rate; DO2, oxygen delivery; CO, cardiac
output; CaO2, arterial oxygen content; SV, stroke volume; HR, heart rate; Hgb, hemoglobin;
SaO2, arterial oxygen saturation; SvO2, mixed venous oxygen saturation)

1. Definisi Gagal Napas


Gagal napas adalah suatu kondisi dimana sistem pernapasan tidak mampu
melakukan pertukaran gas, baik itu oksigenasi dan/atau mengeliminasi
karbondioksida. Gagal napas dapat bersifat akut atau kronis. Manifestasi
klinis pasien dengan gagal napas akut dan kronis biasanya sangat berbeda.
Gagal napas akut ditandai dengan gangguan gas darah arteri dan status asam-
basa yang mengancam jiwa, sedangkan gagal napas kronis lebih lamban dan
mungkin tidak terlihat secara klinis. (Wemple & Swenson, 2023)
2. Klasifikasi Gagal Napas
Gagal napas diklasifikasikan menjadi hiperkapnia atau hipoksemia. Gagal
napas hiperkapnia didefinisikan sebagai tekanan parsial karbondioksida
dalam darah arteri (PaCO2) >45 mmHg. Gagal napas hipoksemia
didefinisikan sebagai tekanan parsial oksigen dalam darah arteri (PaO 2) <60
mmHg. Hiperkapnia dan hipoksemia sering terjadi bersamaan. Penyakit yang
awalnya menyebabkan hipoksemia dapat diperburuk oleh kegagalan pompa
pernapasan dan hiperkapnia. Sebaliknya, penyakit yang menyebabkan
kegagalan pompa pernapasan seringkali diperburuk oleh hipoksemia akibat
proses sekunder di parenkim paru (misalnya pneumonia atau atelektasis) atau

3
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
gangguan vaskular (misalnya emboli paru). Tabel 1 menunjukkan tentang
klasifikasi gagal napas. (Wemple & Swenson, 2023)
Tabel 1. Perbedaan antara Gagal Napas Akut dan Kronik (Wemple &
Swenson, 2023)
Kategori Karakteristik
Gagal Napas Hiperkapni PaCO2 >45mmHg
Akut Terjadi dalam menit hingga
jam
Kronik Terjadi dalam beberapa hari
atau lebih
Gagal napas Hipoksemi PaO2 <60mmHg
Akut Terjadi dalam menit hingga
jam
Kronik Terjadi dalam beberapa hari
atau lebih

a. Gagal Napas Hiperkapni


Gagal napas hiperkapni menunjukkan ketidakmampuan paru untuk
membuang CO2 dalam jumlah yang cukup dan ditandai dengan
penurunan ventilasi menit alveolar. Peningkatan PaCO2 menyebabkan
hipoksemia karena CO2 menggantikan O2, secara efektif menurunkan
tekanan parsial oksigen alveolar (PAO2). Gagal napas hiperkapni ini
sering disebabkan oleh disfungsi neuromuskular akut/kronis atau
ketidakmampuan saluran napas dan paru untuk memastikan ventilasi
dan pertukaran CO2 yang adekuat. (Barjaktarevic et al., 2022)

Gagal napas hiperkapni akut


Ciri khas dari gagal napas hiperkapni akut ditandai dengan
peningkatan pCO2 akibat retensi/akumulasi karbondioksida sehingga
pH menjadi asam <7,35. Ada banyak penyebab, tetapi yang paling
umum adalah PPOK. Diagnosis dapat ditegakkan dengan melihat
pCO2 >50mmHg dengan pH <7,35. Jika pH >7,35, pasien mengalami
gagal napas kronis. Jika baseline pCO2 diketahui, peningkatan
10mmHg atau lebih menunjukkan gagal napas hiperkapni akut.
(Pinson, 2014)

4
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
Gagal napas hiperkapni kronik
Gagal napas kronis sangat umum terjadi pada pasien penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK) berat dan penyakit paru kronis lainnya seperti
kistik fibrosis dan fibrosis paru. Kondisi ini ditandai dengan kombinasi
hipoksemia, peningkatan pCO2, peningkatan kadar bikarbonat, dan pH
normal (7,35-7,45). Indikator terpenting gagal napas kronis adalah
ketergantungan kronis pada terapi oksigen. (Pinson, 2014)
Gagal napas hiperkapni acute-on-chronic
Ketika seorang pasien mengalami eksaserbasi akut atau dekompensasi
gagal napas kronis, ditandai dengan :
» gejala memburuk
» hipoksemia
» Peningkatan pCO2 dengan pH < 7,35 (hiperkapni)
Selama eksaserbasi akut, terjadi retensi CO2 yang menyebabkan
asidosis dengan pH <7,35. (Pinson, 2014)

b. Gagal Napas Hipoksemi


Penting untuk memahami berbagai etiologi dan mekanisme yang
menyebabkan hipoksemia (Tabel 2), karena intervensi dapat bervariasi
dan suplementasi oksigen mungkin memiliki efek yang berbeda dalam
situasi yang berbeda. (Barjaktarevic et al., 2022)
Klasifikasi lain dari gagal napas hipoksemia akut adalah struktural-
anatomi (Gambar 3). Penyebab hipoksemia dapat diklasifikasikan
berdasarkan apakah kelainan terletak di alveoli, interstisium, pembuluh
darah jantung dan paru, saluran pernapasan, atau pleura. (Lee et al.,
2016)
Kelainan primer ada di salah satu dari tiga area: 1) Oksigenasi alveoli
yang inadekuat (karena FiO2 rendah dan/atau kolaps alveolar dan/atau
adanya alveoli terisi cairan, sel, debris, atau darah); 2) gangguan
transisi oksigen dari alveoli ke darah (karena proses interstisial atau
kelainan pembuluh darah paru); atau 3) Gangguan kapasitas oksigenasi

5
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
darah (karena aliran darah terhambat, shunting, konsentrasi Hb rendah,
atau disfungsi Hb). (Barjaktarevic et al., 2022)
Tabel 2 Mekanisme Patofisiologis yang Menyebabkan Hipoksia dan
insufisiensi pernapasan (Barjaktarevic et al., 2022)

6
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
Gambar 3. Skema yang menggambarkan pendekatan struktural-
anatomi untuk diagnosis gagal napas hipoksemia akut. (Lee et al.,
2016)

Diagnosis gagal napas hipoksemia adalah PaO2 <60mmHg pada


analisis gas darah/blood gas analysis (BGA) tanpa suplemen oksigen.
Jika tidak ada BGA, SpO2 yang diukur di udara ruangan menggunakan
oksimetri berfungsi sebagai pengganti PaO2. SpO2 91% setara dengan
60 mmHg pO2. Kriteria ini mungkin tidak berlaku untuk pasien dengan
gagal napas kronis, karena PaO2 udara dalam ruangan sering
<60mmHg (SpO2 <91%). (Pinson, 2014)
Rasio P/F
Rasio tekanan parsial oksigen dan fraksi oksigen inspirasi merupakan
alat bantu objektif yang sangat kuat untuk identifikasi gagal napas akut
saat pasien mendapat suplemen oksigen. pinson
Rasio P/F menunjukkan PaO2 di udara ruangan:
» Rasio P/F < 300 = PaO2 <60mmHg di udara ruangan
» Rasio P/F < 250 = PaO2 <50mmHg di udara ruangan
» Rasio P/F < 200 = PaO2 <40mmHg di udara ruangan
Validasi rasio P/F tidak terbatas pada ARDS. Rasio tersebut secara
sederhana mengekspresikan hubungan fisiologi yang konsisten antara
oksigen inspirasi dan PaO2 tanpa melihat penyebab. (Pinson, 2014)
Saturasi oksigen dapat diterjemahkan menjadi PaO2
PaO2 arteri yang diperiksa dengan BGA adalah metode definitif untuk
menghitung rasio P/F. Namun, jika tidak ada BGA, SpO2 yang diukur
dengan oksimetri nadi dapat digunakan untuk memperkirakan PaO2,
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Perlu diketahui bahwa estimasi
PaO2 dari SpO2 menjadi tidak berlaku bila SpO2 >97%. (Pinson,
2014)

7
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
Tabel 3. Konversi SpO2 ke PaO2 (Pinson, 2014)

TERAPI OKSIGEN PADA GAGAL NAPAS


1. Penilaian Awal Pasien
 Pasien dengan penyakit kritis
Oksigen konsentrasi tinggi harus segera diberikan pada pasien dengan
penyakit kritis dan didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Penyakit-penyakit dengan target pemberian oksigen akan dijelaskan pada
Tabel 4-7.
 Klinisi harus ingat bahwa terapi oksigen diberikan untuk memperbaiki
oksigenasi, bukan untuk mengobati penyebab hipoksemia.
 Saturasi oksigen harus diperiksa dengan pulseoksimetri pada semua pasien
sesak napas “the fifth vital sign” (dilengkapi dengan gas darah jika perlu)
dan konsentrasi oksigen inspirasi dicatat di lembar observasi.
 Pulse oximeters harus tersedia di semua lokasi dimana pemberian oksigen
dilakukan. Penilaian klinis direkomendasikan jika saturasi turun diatas 3%
atau turun dibawah target pasien. (O’Driscoll et al., 2017b)
Tabel 4. Penyakit kritis yang membutuhkan suplemen oksigen tingkat tinggi
(O’Driscoll et al., 2017b)
Terapi oksigen konsentrasi tinggi dari masker reservoir pada 15 L/menit

8
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
direkomendasikan dalam manajemen awal semua pasien kritis sebelum
stabilisasi dan ketersediaan pemeriksaan saturasi. Pasien dengan sirkulasi
stabil dan sudah diperiksa saturasinya, suplemen oksigen kemungkinan bisa
dengan cepat dapat dititrasi dengan mempertahankan target saturasi target
94-98%. Jika oksimeter tidak tersedia, dilanjutkan penggunaan masker
reservoir sampai tatalaksana definitif memungkinkan. Pasien dengan PPOK
dan faktor risiko lain untuk terjadi hiperkapnia yang berkembang menjadi
penyakit kritis harus memiliki target saturasi awal yang sama dengan pasien
sakit kritis lainnya sambil menunggu hasil BGA. Kemudian pasien-pasien
ini kemungkinan memerlukan terapi oksigen dengan target saturasi 88-92%
atau ventilasi mekanik jika terdapat hipoksemia berat dan/atau hiperkapnia
dengan asidosis respiratorik.
Henti jantung atau pasien Mengikuti pedoman resusitasi untuk pilihan
yang memerlukan resusitasi suplemtasi oksigen selama resusitasi aktif.
Berikan konsentrasi oksigen inspirasi setinggi
mungkin selama resusitasi sampai sirkulasi
spontan pulih kembali.
Syok sepsis, trauma mayor, Atasi juga penyebab yang mendasarinya.
tenggelam, anafilaksis,
perdarahan pulmonal,
status epilepticus
Cedera kepala berat Intubasi trakea dini dan ventilasi jika koma.
keracunan Berikan oksigen sebanyak mungkin dengan
karbonmonoksida. menggunakan bag-valve mask atau masker
reservoir. Periksa kadar karboksihemoglobin.
Pembacaan oksimetri normal atau tinggi
harus diabaikan karena monitor saturasi tidak
dapat membedakan antara
karboksihemoglobin dan oksihemoglobin,
karena absorbsinya yang serupa. PaO2 gas
darah juga akan normal pada kasus ini
(walaupun terdapat hipoksia jaringan).

Tabel 5. Penyakit kritis yang membutuhkan suplemen oksigen tingkat sedang


jika pasien hipoksemia (O’Driscoll et al., 2017b)
Terapi oksigen awal adalah kanula hidung 2-6 L/menit atau simple mask 5-
10 L/menit. Untuk pasien yang tidak berisiko gagal napas hiperkapnia yang
memiliki saturasi di bawah 85%, terapi harus dimulai dengan masker
reservoir 15 L/menit dan kisaran target saturasi oksigen awal yang
disarankan adalah 94-98%. Jika oksimetri tidak tersedia, berikan oksigen
seperti diatas sampai hasil oksimetri atau BGA tersedia. Ganti ke reservoir
mask jika saturasi yang diinginkan tidak dapat dicapai dengan kanula
hidung atau simple mask. Jika pasien ini memiliki PPOK atau faktor risiko
lain untuk gagal napas hiperkapnia, target saturasi 88-92% sambil
menunggu hasil BGA, tetapi sesuaikan menjadi 94-98% jika PaCO2 normal
(kecuali jika ada riwayat gagal napas hiperkapnia sebelumnya maka
dibutuhkan NIV atau IMV) dan periksa kembali gas darah setelah 30-60

9
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
menit, lihat tabel 4.
Hipoksemia akut Masker reservoir 15L/menit jika SpO2 awal
<85%, jika tidak, kanula hidung atau simple
mask.
Pasien yang membutuhkan terapi oksigen
dengan masker reservoir membutuhkan
penilaian oleh ahli intensif care.
Asma eksaserbasi akut, Masker reservoir pada 15 L/mnt jika SpO2
Pneumonia, Kanker paru, awal <85%, jika tidak, kanula hidung atau
Perburukan fibrosis paru, simple mask.
Penyakit Paru Interstisial
Pneumotoraks Diperlukan aspirasi/drainase/pemasangan
chest tube. Sebagian besar pasien dengan
pneumotoraks tidak mengalami hipoksemia
dan tidak memerlukan terapi oksigen.
Jika pemasangan chest tube tidak diperlukan
berikan oksigen aliran tinggi menggunakan
masker reservoir 15L/min untuk mengurangi
pneumotoraks
Efusi pleura Kebanyakan pasien dengan efusi pleura tidak
hipoksemia. Jika hipoksemia, tangani dengan
evakuasi efusi serta berikan terapi oksigen.
Emboli paru Sebagian besar pasien dengan emboli paru
minor tidak mengalami hipoksemia dan tidak
memerlukan terapi oksigen.
Gagal jantung akut Pertimbangkan CPAP atau NIV dalam kasus
edema paru.
Anemia berat Masalah utama adalah mengoreksi anemia.
Sebagian besar pasien anemia tidak
memerlukan terapi oksigen.
Sesak napas paska operasi Manajemen tergantung pada penyebab yang
mendasari.
CPAP, continuous positive airway pressure; IMV, invasive mechanical
ventilation; NIV, non-invasive ventilation; PaCO2, arterial or arterialised
carbon dioxide tension; SpO2, arterial oxygen saturation measured by pulse
oximetry.

Tabel 6. Kondisi dimana pasien harus dipantau secara ketat tetapi terapi
oksigen tidak diperlukan kecuali pasien hipoksemia (O’Driscoll et al., 2017b)
Jika hipoksemia, terapi oksigen awal adalah kanula hidung 2-6L/menit atau
simple mask 5-10 L/menit kecuali saturasi di bawah 85% (gunakan masker
reservoir) atau jika berisiko hiperkapnia (lihat di bawah).
Kisaran saturasi target awal yang disarankan, kecuali dinyatakan lain,
adalah 94–98%.
Jika oksimetri tidak tersedia, berikan oksigen seperti di atas sampai hasil
oksimetri atau gas darah tersedia.
Jika pasien mengalami PPOK atau faktor risiko lain untuk gagal napas

10
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
hiperkapnia, bidik saturasi 88-92% sambil menunggu hasil gas darah tetapi
sesuaikan menjadi 94-98% jika PCO2 normal (kecuali jika ada riwayat
gagal napas yang memerlukan NIV atau IMV) dan periksa kembali gas
darah setelah 30-60 menit, lihat tabel 4.
Infark miokard dan Sebagian besar pasien tidak hipoksemia dan
sindrom koroner manfaat/kerugian terapi oksigen tidak diketahui.
akut Penggunaan oksigen konsentrasi tinggi yang tidak
perlu dapat memperluas infark.
Stroke Sebagian besar pasien tidak mengalami hipoksemia.
Terapi oksigen mungkin berbahaya bagi pasien non-
hipoksemia dengan stroke ringan-sedang.
Hiperventilasi atau Singkirkan penyakit organik. Pasien dengan
disfungsi napas hiperventilasi murni karena kecemasan/panik
mungkin tidak memerlukan terapi oksigen.
Keracunan dan Hipoksemia lebih mungkin terjadi pada pemberian
overdosis obat (lihat obat pelemas otot pernapasan, berikan antidotum jika
tabel 1 untuk tersedia, misalnya nalokson untuk keracunan opiat.
keracunan Periksa gas darah untuk menyingkirkan hiperkapnia
karbonmonoksida) jika obat depresan pernapasan telah diminum.
Hindari hiperoksia pada kasus aspirasi asam karena
ada bukti teoritis bahwa oksigen mungkin berbahaya
dalam kondisi ini.
Keracunan paraquat Oksigen tambahan akan semakin memperburuk
atau bleomisin kondisi pada pasien dengan keracunan paraquat atau
bleomycin. Hindari oksigen kecuali pasien
hipoksemia. Target saturasi adalah 85–88%.
Gangguan Sebagian besar tidak membutuhkan oksigen
metabolik dan ginjal (Takipnea mungkin disebabkan oleh asidosis pada
pasien ini)
Kondisi akut dan Pasien ini mungkin memerlukan ventilasi mekanik
subakut neurologis dan monitoring termasuk spirometri. Jika kadar
dan muskular oksigen pasien turun di bawah saturasi target, segera
produksi kelemahan periksa gas darah dan kemungkinan membutuhkan
dukungan ventilasi.
Emergensi dalam Terapi oksigen mungkin berbahaya bagi janin jika
obstetri dan ibu tidak mengalami hipoksemia.
ginekologi

Tabel 7. PPOK dan kondisi lain yang memerlukan kontrol atau terapi oksigen
dosis rendah (O’Driscoll et al., 2017b)
Sebelum ketersediaan gas darah, gunakan masker Venturi 24% pada 2–
3L/menit atau masker Venturi 28% pada 4L/menit atau kanula hidung pada
1–2L/menit dan target saturasi oksigen 88–92% untuk pasien dengan faktor
risiko hiperkapnia tetapi tidak ada riwayat asidosis respiratorik sebelumnya.
Sesuaikan rentang target hingga 94–98% jika PCO2 normal (kecuali ada
riwayat NIV atau IMV sebelumnya) dan periksa kembali gas darah setelah
30–60 menit.

11
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
PPOK dan kondisi lain Mungkin membutuhkan dosis yang lebih
yang menyebabkan rendah jika asidosis atau jika diketahui sangat
obstruksi saluran napas sensitif terhadap terapi oksigen. Idealnya
gunakan “alert card” untuk memandu terapi
berdasarkan hasil gas darah sebelumnya.
Tingkatkan aliran masker Venturi hingga 50%
jika laju pernapasan diatas 30 bpm
Eksaserbasi kistik fibrosis Diskusi dengan Cystic Fibrosis Center.
Idealnya gunakan “alert card” untuk memandu
terapi. Tingkatkan aliran masker Venturi
hingga 50% jika laju pernapasan di atas
30 bpm
Penyakit neuromuscular, Mungkin memerlukan dukungan ventilasi.
kondisi neurologis dan Risiko terjadi gagal napas hiperkapnia.
deformitas dinding dada
pada obesitas

2. Target Peresepan Oksigen


Oksigen harus diberikan dengan target saturasi 94-98% pada sebagian besar
pasien sakit akut, atau 88-92% pada pasien gagal napas hiperkapnia. Panduan
terapi oksigen untuk pasien hipoksemia akut di rumah sakit dijelaskan pada
Gambar 4. (O’Driscoll et al., 2017b)

12
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
Gambar 4. Panduan terapi oksigen untuk pasien hipoksemia akut di rumah
sakit.
COPD, chronic obstructive pulmonary disease; ICU, intensive care unit;
NIV, non-invasive ventilation; PO2, oxygen tension; PCO2, arterial or
arteriolised carbon dioxide tension; SpO2, arterial oxygen saturation
measured by pulse oximetry.
3. Rumus Perhitungan Dosis Oksigen
PAO2 = (FiO2 x [Patm – PH2O]) – (PaCO2/R), atau

13
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
PAO2 = 713 FiO2 – (1.25 x PaCO2), atau
PAO2 = 150–(1,25xPaCO2)
R adalah respiratory quotient (dalam keadaan stabil istirahat normal,
biasanya 0.8, tetapi dapat mendekati 1,0 pada penyakit kritis dan high

sympathetic tone)

(Berend et al., 2014; Wemple & Swenson, 2023)


4. Pemberian Oksigen
Terapi oksigen harus diberikan oleh tenaga terlatih. Petugas harus
menggunakan alat dan aliran yang tepat untuk mencapai target saturasi.
Petugas harus dilatih dalam penggunaan berbagai alat oksigenasi yang
berbeda supaya terapi oksigen berjalan dengan aman. (O’Driscoll et al.,
2017b)
5. Monitoring Pasien Selama Terapi Oksigen
Alat oksigenasi dan aliran harus disesuaikan dalam mencapai target saturasi.
Penilaian klinis segera diperlukan jika terapi oksigen perlu ditingkatkan
karena saturasi menurun. Oksigen harus diresepkan dan diberi tanda tangan.
(O’Driscoll et al., 2017b)
6. Penghentian Terapi Oksigen
Terapi oksigen harus diturunkan jika pasien stabil dengan saturasi oksigen
yang memadai. Pemberian oksigen harus dihentikan segera setelah pasien
mampu mempertahankan saturasi pada target atau diatas target. Namun,

14
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
dengan mempertimbangkan perburukan dan skor tanda perburukan
(EWS/NEWS). (O’Driscoll et al., 2017b)
7. Oxygen Delivery System
a. Sistem Oksigen Aliran Rendah
Sistem aliran rendah dicirikan oleh kemampuan untuk mencapai nilai
FiO2 tinggi dan rendah. Perangkat aliran rendah termasuk kanula hidung,
masker wajah sederhana, masker rebreathing parsial, masker non-
rebreathing, dan masker trakeostomi. Saat perangkat ini digunakan pada
pasien dengan pola ventilasi yang tidak normal atau berubah, FiO2
menjadi tidak dapat diprediksi dan tidak konsisten. Perangkat oksigen
aliran rendah sering digunakan karena sederhana, familiar, ekonomis,
kemudahan penggunaan, ketersediaan dan penerimaan oleh pasien.
(Benumof & Hagberg, 2007)
b. Sistem Oksigen Aliran Tinggi
Perangkat aliran tinggi meliputi masker venturi, Non-invasive ventilation
(NIV), dan High-flow Nasal Cannulae (HFNC). (Benumof & Hagberg,
2007; O’Driscoll et al., 2017b) Keuntungan dari sistem aliran tinggi
adalah kemampuan untuk memberikan FiO2 tinggi dan rendah yang dapat
diprediksi, konsisten, dan terukur terlepas dari pola ventilasi pasien, dan
kemampuan untuk mengontrol kelembapan dan suhu gas yang dialirkan.
Keterbatasannya adalah biaya yang relatif mahal, ukuran yang besar dan
toleransi pasien. Perangkat oksigen aliran tinggi memiliki dua indikasi
utama (Benumof & Hagberg, 2007):
1. Pasien yang membutuhkan FiO2 minimum yang konsisten dan dapat
diprediksi untuk memperbaiki hipoksemia untuk mencegah
hipoventilasi.
2. Pasien dengan ventilasi semenit yang meningkat dan pola pernapasan
abnormal yang membutuhkan FiO2 tinggi yang dapat diprediksi dan
konsisten.

15
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
8. Perangkat Penghantar Oksigen
a. Perangkat Aliran Rendah
i. Nasal Kanul
Nasal kanul dapat digunakan untuk memberikan konsentrasi oksigen
konsentrasi rendah dan konsentrasi sedang. Namun, ada variasi yang
luas dalam pola pernapasan pasien sehingga laju aliran oksigen hidung
yang sama mungkin memiliki efek yang sangat berbeda pada kadar
oksigen darah dan karbon dioksida pada pasien yang berbeda. Maka
dari itu, laju aliran harus disesuaikan berdasarkan pengukuran
oksimetri dan, bila perlu, pengukuran gas darah. (O’Driscoll et al.,
2017b) Kanula diletakkan tepat di bawah nares (Gambar 5).
Pengaturan laju aliran berkisar dari 0,25 hingga 6 L/mnt. Untuk setiap
peningkatan aliran 1 L/menit, FiO2 diasumsikan meningkat 4% (Tabel
8). Pada 6 L/menit atau lebih, pasien mungkin mengalami
ketidaknyamanan, mukosa kering dan epistaksis. Flowmeter harus
disesuaikan dengan aliran liter yang ditentukan untuk mencapai FIO2
yang diinginkan. (Benumof & Hagberg, 2007; Wemple & Swenson,
2023) Keuntungan dari kanula hidung dibandingkan dengan masker
wajah sederhana untuk terapi oksigen konsentrasi sedang (O’Driscoll
et al., 2017b):
- Kenyamanan, baik ketika berbicara maupun makan.
- Tidak ada sensasi sesak.
- Tidak terpengaruh gerakan wajah
- Tidak ada risiko menghirup kembali karbon dioksida.
- Lebih murah.
 Kerugian dari kanula hidung
- Dapat menyebabkan iritasi atau nyeri pada hidung.
- Mungkin tidak berfungsi jika hidung tersumbat.
- Aktual FiO2 tidak dapat
diprediksi

16
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
A. B.
Gambar 5. A. Nasal Kanul (Benumof & Hagberg, 2007) B. Penggunaan Nasal
Kanul (Wemple & Swenson, 2023)

Tabel 8. Perkiraan FiO2 yang diberikan melalui Nasal Kanul (Benumof &
Hagberg, 2007)

ii. Masker Wajah Sederhana


Jenis masker ini menutupi hidung dan mulut, memberikan konsentrasi
oksigen 40% sampai 60% (Gambar 6). (Karras, 2008; O’Driscoll et
al., 2017b) Konsentrasi dapat diubah dengan menambah atau
mengurangi aliran oksigen antara 5 dan 10 L/menit. Aliran <5L/menit
dapat menyebabkan peningkatan resistensi terhadap pernapasan, dan
ada kemungkinan penumpukan karbon dioksida di dalam masker yang
dapat dihirup kembali. Masker ini cocok untuk pasien dengan gagal
napas tanpa hiperkapnia. (O’Driscoll et al., 2017b) Prediksi FiO2 dapat
diperkirakan dari laju aliran oksigen (Tabel 9) (Benumof & Hagberg,
2007) Kekurangan dari masker ini termasuk peningkatan risiko
aspirasi lambung pada pasien yang somnolen. (Karras, 2008)

17
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
A.
B.
Gambar 6. A. Masker Wajah Sederhana (O’Driscoll et al., 2017b) B.
Penggunaan Masker Wajah Sederhana (Wemple & Swenson, 2023)

Tabel 9. Perkiraan FiO2 yang diberikan melalui Masker Wajah


Sederhana (Benumof & Hagberg, 2007)

iii. Masker Rebreathing Parsial


Untuk mengantarkan FiO2 di atas 60% pada sistem aliran rendah,
sistem reservoir oksigen harus diperbesar (Gambar 7). Masker
rebreathing parsial memiliki kantong reservoir tambahan dengan
kapasitas 600-1000 ml. Port samping memungkinkan masuknya udara
ruangan dan keluarnya udara yang dihembuskan. Fitur unik dari
masker ini adalah bahwa 33% pertama dari volume pasien yang
dihembuskan mengisi kantong reservoir. Volume ini berasal dari
anatomic dead space dan mengandung sejumlah kecil karbon
dioksida. Kantong tidak boleh kolaps saat inspirasi. Ketika reservoir
bag dikempiskan, FiO2 berkurang karena sisa udara ruangan. Pada
napas berikutnya, gas yang dihembuskan pertama (yang ada di
kantong reservoir) dan gas yang baru dihirup, itu sebabnya disebut

18
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
partial rebreather. Aliran gas baru harus minimal 8 L/menit dan
kantong reservoir harus tetap mengembang selama siklus ventilasi
untuk memastikan FiO2 dan evakuasi karbon dioksida yang adekuat.
Dengan penggunaan masker yang tepat dan pola ventilasi normal,
masker ini dapat mencapai FiO2 antara 0,60 dan 0,80+ (Tabel 10).
Kelebihan masker ini dapat menghemat oksigen, yang berguna selama
transportasi dimana suplai oksigen terbatas. (Benumof & Hagberg,
2007; Wemple & Swenson, 2023)

Gambar 7. Masker rebreathing parsial (Benumof & Hagberg, 2007)

Tabel 10. Perkiraan FiO2 yang diberikan melalui Masker rebreathing


parsial (Benumof & Hagberg, 2007)

iv. Masker Nonrebreathing

19
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
Masker non-rebreathing (Gambar 8) mirip dengan masker rebreathing
parsial dengan penambahan tiga katup satu arah. Ada katup di kedua
sisi masker untuk mengeluarkan gas yang dihembuskan dan mencegah
masuknya udara ruangan. Katup yang terletak di antara masker dan
kantong reservoir untuk mencegah gas yang dihembuskan masuk ke
dalam kantong. FiO2 biasanya antara 0,80 dan 0,90. Aliran oksigen
sekitar 10-15 l/mnt. FiO2 mendekati 1,0 dapat dicapai jika tercampur
oleh udara ruangan. (O’Driscoll et al., 2017b; Wemple & Swenson,
2023) Aliran gas yang berlebihan dapat menyebabkan perut kembung,
iritasi kulit serta mneyebabkan katup terbuka sehingga udara ruangan
bisa masuk. (Benumof & Hagberg, 2007)

A. B.
Gambar 8. (a) Masker Nonrebreathing (Benumof & Hagberg, 2007) (b) Masker
Nonrebreathing (O’Driscoll et al., 2017b)

Gambar 9. Perbedaan Masker Rebreathing Parsial dan Masker Nonrebreathing


(Wemple & Swenson, 2023)
b. Perangkat aliran tinggi

20
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
Perangkat oksigen aliran tinggi memberikan FiO2 konstan dan mampu
memenuhi kebutuhan inspirasi total pasien. Aliran gas 30-40 L/menit
cukup untuk memenuhi laju aliran inspirasi puncak pada pasien sakit
kritis. Pasien yang diresepkan alat aliran tinggi mungkin mengalami
hipoksemia berat dan harus dipantau secara ketat untuk kemungkinan
kebutuhan ventilasi mekanis noninvasif atau invasif. (Karras, 2008;
Wemple & Swenson, 2023)
i. Masker Venturi
Masker venturi menggunakan prinsip Bernoulli dan pencampuran
tekanan konstan untuk megalirkan udara. Gambar 10 mengilustrasikan
prinsip Venturi. Mengubah lubang gas atau ukuran port entrainment
menyebabkan FiO2 bervariasi. Laju aliran oksigen menentukan
volume total gas yang disediakan oleh perangkat. Ini memberikan
nilai FiO2 yang dapat diprediksi dan dapat diandalkan dari 0,24 hingga
0,50 yang tidak bergantung pada pola pernapasan pasien. (Benumof &
Hagberg, 2007; Karras, 2008)
Jenis masker venturi:
1. Model FiO2 tetap, yang membutuhkan lampiran inspirasi khusus
yang diberi kode warna dan memiliki orifisium jet berlabel yang
menghasilkan FiO2 yang diketahui dengan aliran tertentu.
2. Model FiO2 variabel (Gambar 11), yang memiliki penyesuaian
bertahap port entrainment udara yang dapat diatur dalam variasi FiO2
yang diinginkan. Masker venturi tersedia dalam konsentrasi berikut:
24%, 28%, 31%, 35%, 40% dan 60%.
Masker ini dapat memberikan FiO2 yang tepat dengan FiO2 yang lebih
rendah, menjadikannya ideal untuk pasien dengan penyakit paru
kronis yang memerlukan FiO2 spesifik karena risiko hiperkapnia
akibat hiperoksia. Bahkan, British Thoracic Society
merekomendasikan pemberian oksigen menggunakan masker venturi
untuk memastikan FiO2 yang sesuai saat merawat pasien PPOK di
unit gawat darurat. (Benumof & Hagberg, 2007; O’Driscoll et al.,
2017b)

21
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
Gambar 10. Ilustrasi Prinsip Masker (Benumof & Hagberg, 2007)

A.
B.

Gambar 11. Masker Venturi (O’Driscoll et al., 2017b; Wemple & Swenson,
2023)

ii. Ventilasi noninvasif (NIV)


Ventilasi noninvasif (NIV) mengacu pada pemberian ventilasi tekanan
positif melalui interface secara noninvasif, misalnya, nasal mask, face
mask, atau nasal canule (Gambar 12). NIV dapat digunakan sebagai
support ventilasi pada pasien dengan gagal napas akut maupun kronis.
(Hizy et al., 2023) Indikasi dan kontraindikasi penggunaan NIV tercantum
pada Tabel 11. Pada Gambar 13 menjelaskan tentang algoritma
penggunaan NIV.

22
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
Gambar 12. Berbagai jenis interface noninvasif (Schönhofer et al., 2008)

Tabel 11. Indikasi dan Kontraindikasi penggunaan NIV (Hizy et al., 2023; Masip
& Mas, 2014; Schönhofer et al., 2008)
Indikasi Kontraindikasi
Gagal napas akut Hiperkapni Absolut
Gagal napas akut Hipoksemia  Gasping
Edema paru kardiogenik  Kondisi yang memerlukan intubasi
Fase perioperatif segera (arrest, distress pernapasan
Penyapihan dini dan fase berat, aritmia)
pascaekstubasi Relatif
NIV pada pediatri  Koma, GCS <10
Paliatif (Bern)  Agitasi
 Retensi sputum massif meskipun
sudah dilakukan bronkoskopi
 Hipoksemia berat atau asidosis
(pH< 7,1)
 Ketidakstabilan hemodinamik
(syok kardiogenik, infark miokard)
 Anatomi dan/atau kesulitan
mengakses jalan napas
 Paska operasi gastrointestinal
bagian atas

23
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
Gambar 13. Algoritma penggunaan NIV (Davidson et al., 2016)
iii. High Flow Nasal Cannula
High Flow Nasal Cannula (HFNC) bisa lebih nyaman daripada
masker. (O’Driscoll et al., 2017a; Wemple & Swenson, 2023)
Manfaat fisiologis dari HFNC dibandingkan dengan masker meliputi
menghilangkan deadspace interface, washout karbon dioksida dari
nasofaring, peningkatan sinkronisasi thoracoabdominal dan kerja
pernapasan, dan peningkatan tekanan positif ekspirasi akhir hingga
4cmH2O. (Wemple & Swenson, 2023) Desain pelembab dan pemanas
memungkinkan sistem yang relatif baru ini untuk mengalirkan gas
dengan laju aliran 1 hingga 50 L/menit melalui kanula hidung.
Kelembapannya 99% hingga 100% dengan suhu rata-rata 36 oC-37oC.
Tingkat kelembapan dan suhu memberikan toleransi dan kenyamanan
pasien yang sangat baik. (Karras, 2008) Alat HFNC ditunjukkan
dalam Gambar 14. (O’Driscoll et al., 2017b) Beberapa penelitian telah
dilakukan pada penggunaan HFNC, termasuk untuk gagal napas
hipoksemia, gagal napas hiperkapni, gagal naps pasca operasi,

24
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
preoksigenasi untuk intubasi, dan pencegahan reintubasi setelah
ekstubasi. (Drake, 2018)

Gambar 14. Alat HFNC,


generator, dan sistem pelembab udara (O’Driscoll et al., 2017b)

RINGKASAN
Gagal napas memiliki angka mortalitas yang tinggi. Gagal napas
diklasifikasikan menjadi hiperkapnia atau hipoksemia. Terapi oksigen merupakan
tatalaksana awal yang diberikan pada pasien dengan gagal napas. Pemberian
oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah kerusakan sel baik di
otot maupun organ lainnya.
Langkah yang harus dilakukan sebelum memberikan terapi oksgen adalah
melakukan penilaian awal terhadap pasien, menentukan target saturasi dan
memilih metode pemberian terapi oksigen.
Dosis pemberian oksigen harus tepat, tidak boleh kurang ataupun
berlebihan karena dapat memperburuk kondisi penyakit. Oxygen Delivery System
terdiri dari sistem oksigen aliran rendah dan sistem oksigen aliran tinggi. Alat
suplementasi oksigen harus dipilih sesuai kebutuhan pasien.

25
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
DAFTAR PUSTAKA

Barjaktarevic, I., Cortes-Lopez, R., & Wang, T. (2022). Acute Respiratory

Failure. In Textbook of Critical Care (8th ed., pp. 40–47). Elsevier Inc.

Benumof, J., & Hagberg, C. A. (Eds.). (2007). Benumof’s airway management:

Principles and practice (2nd ed). Mosby.

Berend, K., De Vries, A. P. J., & Gans, R. O. B. (2014). Physiological Approach

to Assessment of Acid–Base Disturbances. New England Journal of

Medicine, 371(15), 1434–1445. https://doi.org/10.1056/NEJMra1003327

Davidson, A. C., Banham, S., Elliott, M., Kennedy, D., Gelder, C., Glossop, A.,

Church, A. C., Creagh-Brown, B., Dodd, J. W., Felton, T., Foëx, B.,

Mansfield, L., McDonnell, L., Parker, R., Patterson, C. M., Sovani, M.,

Thomas, L., & BTS Standards of Care Committee Member, British

Thoracic Society/Intensive Care Society Acute Hypercapnic Respiratory

Failure Guideline Development Group, On behalf of the British Thoracic

Society Standards of Care Committee. (2016). BTS/ICS guideline for the

ventilatory management of acute hypercapnic respiratory failure in adults.

Thorax, 71(Suppl 2), ii1–ii35. https://doi.org/10.1136/thoraxjnl-2015-

208209

Drake, M. G. (2018). High-Flow Nasal Cannula Oxygen in Adults: An Evidence-

based Assessment. Annals of the American Thoracic Society, 15(2), 145–

155. https://doi.org/10.1513/AnnalsATS.201707-548FR

Hizy, R. C., McSparron, J. I., Parson, P. E., & Finlay, G. (2023). Noninvasive

ventilation in adults with acute respiratory failure: Benefits and

26
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
contraindications. https://www.uptodate.com/contents/noninvasive-

ventilation-in-adults-with-acute-respiratory-failure-benefits-and-

contraindications

Karras, G. E. (2008). Oxygen Therapy in Acutely Ill Patients. In Mechanical

Ventilation (pp. 418–427). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-7216-

0186-1.50041-7

Lee, W. L., Slutsky, A. S., & Broaddus, V. C. (Eds.). (2016). ACUTE

HYPOXEMIC RESPIRATORY FAILURE AND ARDS. In Murray and

Nadel´s textbook of respiratory medicine. 2 / Ed.-in-chief: V. Courtney

Broaddus (6. ed, Vol. 1). Elsevier Saunders.

Maranatha, D., Marhana, I. A., Permatasari, A., & Nur Rosyid, A. (2022). Gagal

Napas. In Buku Ajar Paru 2022 (pp. 359–377). Airlangga University

Press.

Masip, J., & Mas, A. (2014). Noninvasive ventilation in acute respiratory failure.

International Journal of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, 837.

https://doi.org/10.2147/COPD.S42664

O’Driscoll, B. R., Howard, L. S., Earis, J., & Mak, V. (2017a). British Thoracic

Society Guideline for oxygen use in adults in healthcare and emergency

settings. BMJ Open Respiratory Research, 4(1), e000170.

https://doi.org/10.1136/bmjresp-2016-000170

O’Driscoll, B. R., Howard, L. S., Earis, J., & Mak, V. (2017b). BTS guideline for

oxygen use in adults in healthcare and emergency settings. Thorax,

72(Suppl 1), ii1–ii90. https://doi.org/10.1136/thoraxjnl-2016-209729

27
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023
Pinson, R. D. (2014). Revisiting respiratory failure.

https://www.pinsonandtang.com/resources/acute-respiratory-failure-know/

Schönhofer, B., Kuhlen, R., Neumann, P., Westhoff, M., Berndt, C., & Sitter, H.

(2008). Non-Invasive Mechanical Ventilation as Treatment of Acute

Respiratory Failure. Deutsches Ärzteblatt International.

https://doi.org/10.3238/arztebl.2008.0424

Syahrani, F., Libianty, N., Derallah, & Rasmin, Menaldi. (2017). Gagal Napas. In

Buku Ajar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi (Vol. 2, pp. 361–382).

UI Publishing.

Wemple, M., & Swenson, E. R. (2023). Oxygen Therapy and Toxicity. In M. A.

Grippi, D. E. Antin-Ozerkis, C. S. Dela Cruz, R. M. Kotloff, C. N. Kotton,

& A. I. Pack (Eds.), Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders, 6e

(Vol. 1–Book, Section). McGraw-Hill Education.

accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?aid=1195017579

28
Tinjauan Kepustakaan – Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2023

Anda mungkin juga menyukai