Anda di halaman 1dari 8

TELAAH JURNAL OXYGEN THERAPY

Artikel ini meneliti bukti yang mendasari terapi oksigen tambahan selama
eksaserbasi PPOK.
Yang akan dibahas dalam artikel ini adalah:
1. epidemiologi dan patofisiologi gagal napas pada PPOK selama eksaserbasi.
2. Alasan dan bukti yang mendasari terapi oksigen, termasuk risiko jika diberikan tidak
tepat,
3. strategi lebih lanjut untuk bantuan ventilasi.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan global dan
diharapkan menjadi penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia pada tahun 2020. Hal
ini ditandai dengan keterbatasan aliran udara dan episode gejala akut yang memburuk atau
eksaserbasi. Eksaserbasi akut PPOK berkaitan dengan fungsi paru-paru lebih cepat rusak,
memperburuk status kesehatan, dan peningkatan angka kematian
PEMBAHASAN JURNAL
1. Definisi
Terapi oksigen adalah terapi oksigen yang diberikan pada konsentrasi lebih besar
dari udara sekitarnya. Fungsinya sebagai pengobatan untuk kegagalan pernapasan
karena ketidakmampuan dari paru dan pernapasan sistemik untuk mencukupi
oksigenasi dan karbon dioksida.
NilaI normal:

SaO2 untuk dewasa 94% -98% (11,98-14,82 kPa atau 89,3-110,5 mmHg),
SaO2 Usia 64 tahun adalah 9,02-14,76 kPa (67,3-110,1 mmHg).
Hipoksemia jika PaO2 < 8 kPa (60 mmHg), atau SaO2 < 90%
Nilai normal untuk PaCO2 adalah 4,6-6,1 kPa (34-46 mmHg)

2. Prevalensi dan Beban Kegagalan Pernapasan Kronis pada COPD


Prevalensi kegagalan pernafasan pada COPD sulit untuk diukur dan bervariasi
sesuai dengan populasi yang diteliti.
prevalensi penggunaan oksigen adalah 2% -4%
Salah satu pemeriksaan pasien COPD di Inggris melaporkan kegagalan pernafasan
atau cor pulmonale hanya lima dari 397 pasien,
terapi oksigen jangka panjang masih menyumbang pengeluaran perawatan
kesehatan sebesar 2,3 milyar/tahun di Amerika Serikat, sedangkan perkiraan 1,8
miyar biaya rawat inap dan kunjungan darurat juga akan disebabkan sebagian
kebutuhan akut terapi oksigen pada eksaserbasi.
3. Kegagalan Pernafasan pada saat Eksaserbasi Akut COPD

Meskipun sebagian besar pasien dengan COPD mampu bertahan pada kondisi
stabil, namun dekompensasi dan gagal nafas lebih banyak terjadi pada pasien yang

dirawat di rumah sakit dengan eksaserbasi.


Penelitian Kohort di Spanyol dari 2.487 pasien di Unit Gawat Darurat dengan COPD

eksaserbasi akut:
- 50% mengalami hipoksemia (SaO2, 90%)
- 57% memiliki PaCO2>45 mmHg.
Audit Rumah Sakit di UK dari 9.716 pasien dari 232 rumah sakit, 20% mengalami

asidosis.
Terapi oksigen tidak selalu diberikan secara tepat, ada sekitar 24% dari pasien yang

mengalami hipoksemia saat datang di Rumah Sakit.


4. Patofisiologi Kegagalan Nafas pada COPD Eksaserbasi
a. Penyebab yang paling mendasari terjadinya COPD adalah adanya gangguan
ventilasi-perfusi (V/Q ratio) paru-paru yang normal, ini menyebabkan darah yang
menuju atrium kiri rendah oksigen hipoksemia sistemik, sementara alveolus yang
mengalami hipoventilasi dapat menyebabkan rendahnya eliminasi karbondioksida
yang akhirnya dapat menyebabkan hiperkapnea.
b. Nilai V/Q rasio yang optimal untuk pertukaran gas adalah 0,8, meskipun rasio di
bagian atas paru-paru lebih tinggi dibandingkan bagian bawah paru-paru. Perbedaan
proses patologis pada COPD memiliki efek yang berbeda pula pada nilai V/Q rasio.
Misalnya, pada area yang terkena emfisema paru-paru akan terus menerima
ventilasi yang memadai meskipun jaringan kapiler alveoli telah rusak, pada area ini
mencegah setiap manfaat yang signifikan dari V/Q rasio. Sebaliknya, radang saluran
napas kecil dan obstruksi mencegah ventilasi alveolar yang memadai, mengurangi
V/Q rasio dan berpotensi menyebabkan pirau vena-vena kapiler.
c. COPD adalah suatu kondisi paru-paru yang heterogen dan patologis yang
disebabkan oleh berbagai proses mendominasi di lapang paru yang berbeda-beda,
yang intinya membuat darah berbeda-beda oksigen bercampur dan kembali ke
sirkulasi sistemik.
d. Kondisi yang memburuk pada saat eksaserbasi COPD, juga memperburuk V/Q dan
oksigenasi.
- Penyebab eksaserbasi tersering adalah virus dan bakteri.
- Pada saat eksaserbasi terjadi peningkatan inflamasi
-

jalan

nafas,

menyebabkan produksi mucus berlebih, edema mukosa, dan bronkospasme.


Proses ini dapat membuat terbatasnya aliran udara saat ekspirasi,
dikombinasi dengan takipnea, membuat siklus hiperinflasi dan pernafasan

yang abnormal.
Semua proses ini berlangsung bersamaan dengan resistensi pembuluh darah
pulmonal dan peningkatan tekanan arteri pulmonal selama eksaserbasi,
disertai adanya gangguan jantung menyebabkan turunnya aliran darah
kapiler.

Bagan.1
Proses patologis yang mempengaruhi Eksaserbasi COPD
e. Eksaserbasi akut COPD adalah diagnosis klinis, oleh karena itu penting untuk
mengetahui hal lain yang menyebabkan hipoksia dan gagal napas. Misalnya, emboli
paru bisa saja terjadi, dan tercatat 1/5 pasien yang datang ke rumah sakit dengan
eksaserbasi COPD mengalami emboli paru, dan ini dapat memperburuk hipoksemia
f.

dengan menyebabkan gangguan V/Q lebih lanjut.


Kondisi lain menyebabkan asidosis, penurunan perfusi jaringan, atau kebutuhan
oksigen jaringan meningkat, sepsis terutama sistemik atau kardiogenik, syok, juga
dapat memperburuk kegagalan pernafasan pada pasien COPD dan harus diobati
dengan tepat.

5. Terapi Oksigen pada COPD Eksaserbasi Akut


Penambahan oksigen dengan konsentrasi sedang adekuat untuk menghilangkan
hipoksia pada COPD eksaserbasi akut, dengan resiko utama hiperkapnia yang
biasanya lama muncul.
Oksigen aliran rendah sudah menjadi standar dalam menangani pasien distres akut,
dan menjadi terapi dalam penanganan COPD, terutama pada kasus prehospital..
6. Oksigen Menginduksi Hiperkapnia dan Hiperoksia pada COPD Eksaserbasi
Salah satu konsekuensi penting pada pemberian terapi oksigen adalah
memperparah hiperkapnia pada pasien,
Pasien dengan cor pulmonal kronis yang diberikan terapi oksigen dengan
konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan perubahan neurologis, termasuk coma, dan
peningkatan TIK, hipercapnia diperkirakan merupakan dampak dari menurunya VE
(minute ventilation)

yang mengakibatkan menurunya stimulus untuk bernapas.

Meskipun VE menurun sementara, setelah 15 menit kembali terkontrol, meski


demikian, nilai PaCO2 secara signifikan meningkat yang tidak ada hubungannya
dengan perubahan VE, dan hal ini melengkapi terjadinya peningkatan V/Q yang tidak
sesuai dalam paru, kemungkinan karena kembalikan dari hipoksia vasokonstriksi
meningkatkan perufis dari ventilasi yang rendah pada paru.
Defek V/Q intrapulmonal pada 12 pasien yang berkembang menjadi hiperkapnia
dengan pemberian oksigen dibanding yang tidak, meskipun pada pasien dengan
hiperkapnia terjadi peningkatan luas alveolar yang mengalami kematian. Selain itu,
VE juga menurun mencapai 20% pada pasien hiperkapnia. Kelelahan otot respirasi,
juga diperkiraan menjadi faktor, hanya muncul pada tingkat kahir, dan menurunnya
ventilasi mungkin juga berhubungan dengan refleks pola pernafasan yang dangkal.
Mekanisme hiperkapnia karena oksigen akibat perubahan pada CO2-hemoglobin
disosiasi karena peningkatan PaO2. Oksigen hemoglobin memiliki kapasitas ikatan
karbondioksida

rendah

dibanding

deoksigen

hemoglobin,

dan

akibat

dari

peningkatan oksigen hemoglobin terdapat konsekuensi yaitu perubahan pada kurva


CO2-hemoglobin. Hal ini disebut sebagai efek Halldane, dan mengakibatkan
peningkatan PaCO2. Hal ini biasanya teratasi dengan meningkatkan VE, pasien
dengan COPD parah seringnya tidak dapat dilakukan dan hiperkapnia menjadi
semakin parah. Hal ini mungkin menjelaskan 25% dari total PaCO 2 yang
meningkatkan karena pemberian oksigen.
7. Administrasi oksigen terapi
Kunci untuk mencapai level oksigenasi adalah dengan mengkontrol pemberian terapi
oksigen. Hal yang dapat mempengaruhi pencapaian level oksigenasi adalah tingkat
pemberian aliran oksigen, alat yang digunakan untuk pemberian, maupun
penggabungan proporsi pengabungan antara aliran udara dan oksigen selama pasien
bernapas yang disebut fraksi dari inspirasi oksigen (FiO2).
Nasal canule alat yang paling sederhana yang dapat diberikan terhadap pasien
dengan oksigen beraliran rendah hingga sedang. Canule dapat mengalirkan oksigen
sebesar 1-6 L/menit dan memperbaiki FiO2 sebesar 24 - 50%. Nasal canule juga
dapat dipakai selama pemberian nebulizer dengan pasien hiperkapnea atau asidosis.
- Kerugian dari pemberian nasal canule kekeringan atau ketidaknyamanan
-

terutama pada pemberian dengan aliran tinggi.


Nasal canule tidak dapat diberikan pada pasien COPD dengan keadaan yang
tidak baik dengan FiO2 yang kritis. Sehingga nasal canule hanya dapat

diberikan pada pasien yang stabil.


canule merupakan salah satu cara pemberian oksgen terapi yang paling
simple dan dapat meningkatkan saturasi oksigen sesuai target.

Simpel mask merupakan salah satu terapi oksigen yang dapat diberikan dengan
konsentrasi yang lebih tinggi dari nasal canule. Umumnya diberikan pada pasien
dengan FiO2 antara 40%-60%. Tingginya aliran oksigen yang masuk dapat berisiko
menurunkan aliran carbon dioksida. Terlebih lagi, administrasi pemberian oksigen
berbanding terbalik dengan volume permenit. Hal ini dapat menyebabkan pasien
dapat mengalami keracunan oksigen. Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan
masker non-rebrething. Pada COPD ekserbasi akut, pemberian

menggunakan

simpel mask dapat mencapai level saturasi yang diinginkan apabila nilai FiO2
<60% dengan alan tersebut pula simpel mask sangat tidak direkomendasikan
pada pasien dengan gagal napas hipercapnea yang membutuhlan kontrol

oksigen terapi.
Pasien PPOK mampu menyesuaikan diri dengan hipoksia kronis dengan
mempertahankan PaO2 >

50 mmHg (6.7 kPa) sudah cukup untuk mencegah

kematian langsung, batas paling bawah terapi oksigen yang ditargetkan adalah 55
mmHg (7,3) kPa. Dalam prakteknya monitoring PaO 2 tidak mungkin dilaksanakan,
sehingga menggunakan SaO2 untuk monitoring dengan target 88% - 92 % pada

pasien yang hiperkapnea.


Hiperkapnia pada COPD eksaserbasi tidak terjadi pada semua pasien, bahkan
mereka dengan beristirahat mengalami hiperkapnia, beberapa pasien mungkin
menderita hiperkapnia berulang sementara yang lain mungkin hanya pernah telah
mengisolasi hipoksemia. Untuk megidentifikasi pasien dengan hiperkapnea harus
degan menggunakan analisa gas darah arteri. Sehingga pasien COPD harus
menerima terapi oksigen dengan target 88% - 92% dengan menunggu hasil analisa

gas darah.
Beberapa pasien sangat sensitif terhadap pemberian oksigen, bahkan dengan aliran
yang kecil dapat memperburuk hiperkapnia, dan pasien ini mungkin memerlukan
target yang lebih rendah untuk saturasi oksigen. Jika PaCO normal, target saturasi

94% -98%
Observasi dan penilaian ulang pada pasien perlu dilakukan. Pasien yang menderita
eksaserbasi COPD akut bisa sangat tidak sehat terutama pada tahap awal setelah
presentasi, kondisi pasien dapat berubah sangat cepat. Yang dinilai adalah:
- RR
- SaO2
- Penilaian fisiologis
- tingkat sadar, karena setiap depresi kesadaran mungkin terjadi narkosis karbon

dioksida.
Penting untuk diingat bahwa terapi oksigen selama eksaserbasi akut PPOK adalah
terapi pendukung harus disertai dengan pengobatan yang mendasari COPD
eksaserbasi adalah:

nebulisasi bronkodilator
antibiotic
kortikosteroid, yang sesuai.

8. Strategi Ventilasi Lanjut


pasien COPD dengan hiperkapnia dan asidosis mungkin lebih rumit karena pasien
COPD hiperkapnia dapat memburuk bahkan koma meskipun pemberian oksigen
adekuat dan dilakukan pengobatan eksaserbasi. Maka dari itu dukungan ventilasi

lanjut mungkin diperlukan.


Stimulan doxapram pernafasan telah digunakan bertahun-tahun sebagai cara untuk
menghindari endotrakeal intubation dan ventilasi invasif tekanan positif. Ia bekerja
melalui stimulasi kemoreseptor pusat dan perifer, dengan hasil peningkatan volume
tidal dan ventilasi menit. Hal ini meningkatkan ekskresi karbon dioksida, yang
memungkinkan

koreksi

hipoksia

tanpa

memburuknya

hiperkapnia.

Namun,

farmakokinetik tidak dapat diprediksi oleh karena itu infus yang adekuat sangat
diperlukan. Hal ini lebih baik daripada plasebo untuk pencegahan kerusakan gas
darah di jam pertama terapi sehingga diganti oleh ventilasi non invasif (NIV).
Doxapram sekarang direkomendasikan untuk digunakan hanya bila NIV tidak

tersedia.
Sebelum NIV diperkenalkan, intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis adalah
pilihan yang tersisa untuk pasien gagal terapi medis. Intubasi endotrakeal dan
ventilasi mekanis beresiko untuk pasien PPOK yang sudah parah dan terlalu lemah

untuk menjalani prosedur ini. Oleh karena itu dibutuhkan metode untuk menghindari

intubasi dan sedasi.


Ada beberapa kontraindikasi untuk penggunaan NIV, khususnya untuk pasien yang
tidak mampu mempertahankan jalan napas mereka sendiri karena obstruksi atau
tingkat kesadaran berkurang, hipoksemia, atau pneumotoraks undrained.

9. Panduan Praktek dan Strategi untuk Merubah Perilaku


1. Langkah pertama dalam meningkatkan standar adalah menentukan target untuk
perawatan optimal.
2. Data yang tersedia dari 384 rumah sakit di 13 negara, terdapat 16.018 pasien yang
dirawat dengan COPD eksaserbasi didapatkan:
- 85% dari pasien diberi terapi oksigen dikontrol,
- 82% memiliki analisis gas darah arteri,
- dan 51% menerima NIV seperti yang direkomendasikan. S
3. Sebuah audit di Portugal menemukan bahwa meskipun oksigen ditentukan dalam
93% kasus, mayoritas ditentukan oleh laju aliran tetap daripada menargetkan
saturasi oksigen. Banyak pasien masih diberikan oksigen konsentrasi tinggi selama
perawatan pra-rumah sakit akibatnya terjadi hyperoxemic dan / atau hiperkapnia.
4. Intervensi sederhana dapat mengubah perilaku: misalnya, dalam satu seri
retrospektif di Inggris, mengeluarkan 28% Venturi masker untuk kru ambulans
dibantu dalam mengurangi proporsi pasien yang menerima oksigen aliran tinggi
sebelum ke Rumah Sakit. Perawatan Standardized "bundel" telah terbukti
mengurangi angka kematian di berbagai kondisi dengan meningkatkan perawatan di
rumah sakit, dan menerapkan paket standar sederhana rekomendasi untuk
eksaserbasi COPD di departemen darurat dari salah satu rumah sakit besar
meningkat secara signifikan sesuai dengan pedoman pengobatan, terutama
meningkatkan penyediaan terapi oksigen dari 76 % sampai 96%. Selain itu, oksigen
harus menyediakan kerangka sederhana untuk memandu staf yang merawat pasien.
5. Mungkin yang terpenting, bagaimanapun, adalah pendidikan profesional perawatan
kesehatan, khususnya dokter, perawat, dan paramedis yang bertanggung jawab
untuk mengelola terapi oksigen untuk pasien dengan COPD dengan meningkatkan
pendidikan pasien juga dapat menjadi faktor.
10. Aplikasi di Indonesia
Di Indonesia terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa sekitar 50% penderita
eksaserbasi ter dapat bakteri di saluran nafas bawah sehingga pemberian fl
uoroquinolone respirasi, seperti levofl oxacin, dapat mengeradikasi kuman hingga

lebih dari 90%.


Menurut Dr. Priyanti Zuswayudha Soepandi Sp.P pada Kalbe Academia yang
berlangsung pada tanggal 20 September 2014 di Hotel Ritz Carlton Jakarta, beliau

mengatakan Pengobatan yang sering diberikan diIndonesia pada kasus eksaserbasi


akut antara lain bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik. Jika kasusnya berat,
pasien dapat diberi penunjang pernafasan, seperti masker oksigen atau alat bantu
nafas mekaniknon-invasif, Ventilasi noninvasif merupakan teknik ventilasi mekanis

tanpa menggunakanpipa trakea (endotracheal tube) pada jalan napas


Selain yang dibahas diatas terdapat beberapa terapi PPOK yang dilakukan di
Indonesia yaitu
1. Nebulizer
Nebulizer adalah alat yang digunakan untuk mengubah obat dalambentuk
cairan menjadi aerosol stabil. Bersamaan dengan cairan dapat dapatdiberikan
juga obat bronkodilator atau kortikosteroid. Pada eksaserbasi akutterapi oksigen
merupakan hal yang pertama diberikan dengan tujuan untukmemperbaiki
hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa (CaiaFrancis, 2008).
2. Chest Fisioterapi
Yaitu upaya untuk membersihkan jalan napas dari mukus/ sekresi
yangberlebih.

Chest

fisioterapi

terdiri

dari

breating

drainage,perkusi/ tapotement, batuk efektif dan active exercise.

exercise,

postural

Anda mungkin juga menyukai