Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sampai saat ini gagal nafas pada anak masih merupakan salah satu penyebab mordibitas
dan mortalitas terbesar penderita yang dirawat di Ruang perawatan Intensif Anak RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta (RSCM). Keterlambatan merujuk penderita diduga merupakan salah
satu penyebab tingginya angka kematian, disamping beratnya penyakit dasar, penyakit
penyerta dan penyulit selama perawatan.
Gagal nafas adalah ketidakmampuan alat pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi
di dalam darah, dengan atau tanpa penumpukan CO2. Terdapat 6 sistem sistem kegawatan
salah satunya adalah gagal nafas, dari 6 sistem tersebut gagal nafas menempati urutan
pertama, Hal ini dapat dimengerti karena bila terjadi gagal nafas waktu yang tersedia terbatas
sehingga diperlukan ketepatan dan kecepatan untuk bertindak.
Penatalaksanaan perawatan gagal nafas memerlukan suatu keterampilan dan pengetahuan
khusus serta penafsiran dan perencanaan maupun melakukan tindakan harus dilakukan
dengan cepat dan sistematis, oleh karena itu pengetahuan perawat tentang apa dan bagaimana
terjadinya gagal nafas sangat diperlukan.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan di angkat pada makalah ini adalah apa itu sindroma
gagal nafas dan bagaimana asuhan kebidanannya.

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Memahami apa itu sindroma gagal nafas dan mengetahui asuhan kebidanan pada anak
dengan atresia esofagus.
2. Tujuan Khusus
1) Mengetahui definisi
2) Mengetahui etiologi
3) Mengetahui klasifikasi
4) Mengetahui manifestasi
5) Memahami asuhan kebidanan pada
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian

Menurut Bruner and Suddart (2002), gagal napas adalah sindroma dimana sistem
respirasi gagal untuk melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen, dan pengeluaran
karbondioksida. Keadekuatan tersebut dapat dilihat dari kemampuan jaringan untuk
memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Indikasi gagal napas adalah PaO 2 <
60mmHg atau PaCO2 > 45mmHg, dan atau keduanya.

Gagal napas adalah gangguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi yang
terjadi di pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan gas masuk keluar paru.
Menurut Joy M. Black (2005), gagal napas adalah suatu keadaan yang mengindikasikan
adanya ketidakmampuan sistem respirasi untuk memenuhi suplai oksigen untuk proses
metabolisme atau tidak mampu untuk mengeluarkan karbondioksida. Sedangkan menurut
Susan Martin (1997), gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal, eliminasi karbondioksida, dan pH yang adekuat
disebabkan oleh masalah ventilasi, difusi, atau perfusi.

Gangguan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia primer, oleh karena kapasitas


difusi CO2 jauh lebih besar dari O2 dan karena daerah yang mengalami hipoventilasi dapat
dikompensasi dengan meningkatkan ventilasi bagian paru yang normal. Hiperkapnia adalah
proses gerakan gas keluar masuk paru yang tidak adekuat (hipoventilasi global atau general)
dan biasanya terjadi bersama dengan hipoksemia.

2.2 Etiologi

Penyebab gagal napas biasanya tidak berdiri sendiri melainkan merupakan kombinasi
dari beberapa keadaan, dimana penyebeb utamanya adalah :

1. Gangguan ventilasi
Gangguan ventilasi disebabkan oleh kelainan intrapulmonal maupun
ekstrapulmonal. Kelainan intrapulmonal meliputi kelainan pada saluran napas
bawah, sirkulasi pulmonal, jaringan, dan daerah kapiler alveolar. Kelainan
ekstrapulmonal disebabkan oleh obstruksi akut maupun obstruksi kronik. Obstruksi
akut disebabkan oleh fleksi leher pada pasien tidak sadar, spasme larink, atau
oedema larink, epiglotis akut, dan tumor pada trakhea. Obstruksi kronik, misalnya
pada emfisema, bronkhitis kronik, asma, COPD, cystic fibrosis, bronkhiektasis
terutama yang disertai dengan sepsis.
2. Gangguan neuromuskular
Terjadi pada polio, guillaine bare syndrome, miastenia gravis, cedera spinal,
fraktur servikal, keracunan obat seperti narkotik atau sedatif, dan gangguan
metabolik seperti alkalosis metabolik kronik yang ditandai dengan depresi saraf
pernapasan.
3. Gangguan/depresi pusat pernapasan
Terjadi pada penggunaan narkotik atau barbiturat, obat anastesi, trauma, infark
otak, hipoksia berat pada susunan saraf pusat.
4. Gangguan pada sistem saraf perifer, otot respiratori, dan dinding dada
Kelainan ini menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan minute
volume (mempengaruhi jumlah karbondioksida), yang sering terjadi pada guillain
bare syndrome, distropi muskular, miastenia gravis, kiposkoliosis, dan obesitas.
5. Gangguan difusi alveoli kapiler
Gangguan difusi alveoli kapiler sering menyebabkan gagal napas hipoksemia,
seperti pada oedema paru (kardiak atau nonkardiak), ARDS, fibrosis paru, emfisema,
emboli lemak, pneumonia, tumor paru, aspirasi, perdarahan masif pulmonal.
6. Gangguan kesetimbangan ventilasi perfusi (V/Q Missmatch)
Peningkatan deadspace (ruang rugi), seperti pada tromboemboli, emfisema,
dan bronkhiektasis.

2.3 Klasifikasi

1. Klasifikasi gagal napas berdasarkan hasil analisa gas darah :


1) Gagal napas hiperkapneu
Hasil analisa gas darah pada gagal napas hiperkapneu menunjukkkan kadar
PCO2 arteri (PaCO2) yang tinggi, yaitu PaCO2>50mmHg. Hal ini disebabkan
karena kadar CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 yang tersisih di alveolar
dan PaO2 arterial menurun. Oleh karena itu biasanya diperoleh hiperkapneu dan
hipoksemia secara bersama-sama, kecuali udara inspirasi diberi tambahan
oksigen. Sedangkan nilai pH tergantung pada level dari bikarbonat dan juga
lamanya kondisi hiperkapneu.
2) Gagal napas hipoksemia
Pada gagal napas hipoksemia, nilai PO2 arterial yang rendah tetapi nilai
PaCO2 normal atau rendah. Kadar PaCO2 tersebut yang membedakannya
dengan gagal napas hiperkapneu, yang masalah utamanya pada hipoventilasi
alveolar. Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas
hiperkapneu.
2. Klasifikasi gagal napas berdasarkan lama terjadinya :
1) Gagal napas akut
Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang ditandai
dengan perubahan hasil analisa gas darah yang mengancam jiwa. Terjadi
peningkatan kadar PaCO2. Gagal napas akut timbul pada pasien yang keadaan
parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit
timbul.
2) Gagal napas kronik
Gagal napas kronik terjadi dalam beberapa hari. Biasanya terjadi pada pasien
dengan penyakit paru kronik, seperti bronkhitis kronik dan emfisema. Pasien
akan mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapneu yang memburuk
secara bertahap.
3. Klasifikasi gagal napas berdasarkan penyebab organ :
1) Kardiak
Gagal napas dapat terjadi karena penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2
akibat menjauhnya jarak difusi akibat oedema paru. Oedema paru ini terjadi
akibat kegagalan jantung untuk melakukan fungsinya sehingga terjadi
peningkatan perpindahan aliran dari vaskuler ke interstisial dan alveoli paru.
Terdapat beberapa penyakit kardiovaskuler yang mendorong terjadinya
disfungsi miokard dan peningkatan left ventricel end diastolic volume (LVEDV)
dan left ventricel end diastolic pressure (LVEDP) yang menyebabkan
mekanisme backward-forward.
Penyakit yang menyebabkan disfungsi miokard :
a. Infark miokard
b. Kardiomiopati
c. Miokarditis

Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP :

a. Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan coartasio


aorta
b. Meningkatkan beban volume : mitral insufisiensi, aorta insufisiensi,
ASD, dan VSD.
c. Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis dan trikuspid
insufisiensi.
2) Nonkardiak
Terjadi gangguan di bagian saluran pernapasan atas dan bawah maupun di
pusat pernapasan, serta proses difusi. Hal ini dapat disebabkan oleh obstruksi,
emfisema, atelektasis, pneumothorak, dan ARDS.

2.4 Mekanisme Gagal Nafas

Beberapa mekanisme yang menyebabkan hipoksemia dapat bekerja secara sendiri atau
bersama-sama.

1. Tekanan partial O2 yang dihirup (FiO2) menurun


Terjadi pada dataran tinggi (high altitude) sebagai respons menurunnya
tekanan barometer, inhalasi gas toksik, atau dekat api kebakaran yang
mengkonsumsi CO.
2. Hipoventilasi
Hipoventilasi akan menyebabkan retensi CO 2 dan PaCO2 meningkat.
Peningkatan PaCO2 dapat melebihi batas normal dapat mengganggu sensitifitas
medulla oblongata untuk men-drive pernapasan dan apabila tidak terkompensasi,
dapat menyebabkan apnea.
3. Gangguan Difusi
Akibat pemisahan fisik gas dan darah (pada penyakit paru interstisial) atau
menurunnya waktu transit eritrosit sewaktu melalui kapiler.
4. Ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi/perfusi (V/Q) regional
Keadaan ini selalu menyebabkan keadaan hipoksemia yang berarti dalam
klinik. Unit paru yang ventilasinya jelek dibandingkan perfusinya menyebabkan
desaturasi, yang efeknya sebagian tergantung kadar O2 darah vena. Kadar O2 vena
yang menurun menyebabkan keadaan hipoksemia menjadi lebih jelek. Penyebab
terbanyak adalah keadaan yang menyebabkan ventilasi paru menurun atau obstruksi
saluran napas, atelektasis, konsolidasi, oedema kardiogenik atau nonkardiogenik.
Pemberian O2 dapat memperbaiki keadaan hipoksemia apabila penyebabnya adalah
gangguan ketidakseimbangan V/Q, hipoventilasi atau gangguan difusi oleh karena
PaO2 meningkat, walaupun pada daerah yang ventilasinya jelek. Apabila penderita
mendapat O2 100%, hanya daerah yang sama sekali tidak mendapat ventilasi
(shunt) yang menyebabkan hipoksemia.
5. Shunt
Pada shunt darah vena sistemik langsung masuk kedalam sirkulasi arterial.
Shunt dapat terjadi intrakardiak yaitu pada penyakit jantung kongenital sianotik
right-to-left atau di dalam paru darah melalui jalur vaskuler abnormal (arterivena
fistula). Penyebab paling sering adalah penyakit paru yang menghasilkan
ketidakseimbangan V/Q, dengan ventilasi regionalnya hampir atau samasekali tidak
ada.
6. Pencampuran (admixture) darah vena desaturasi dengan darah arterial
Keadaan ini akan menurunkan PaO2 pada penderita dengan penyakit paru dan
menyebabkan gangguan di pertukaran gas intrapulmonal. Campuran saturasi O2
vena langsung dipengaruhi oleh setiap imbalan antara konsumsi O2 dan
penyampaian O2. Keadaan anemia yang tidak dapat dikonsumsi oleh peningkatan
output jantung atau output jantung yang insufisien untuk kebutuhan metabolisme,
dapat menyebabkan penurunan SVO2 dan PaO2.

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari gagal napas adalah nonspesifik dan mungkin minimal,
walaupun terjadi hipoksemia, hiperkarbia dan asidemia yang berat. Tanda utama dari
kegagalan pernapasan adalah penggunaan otot bantu napas, takipnea, takikardia, menurunnya
tidal volume, pola napas irreguler atau terengah-engah (gasping) dan gerakan abdomen yang
paradoksal. Hipoksemia akut dapat menyebabkan berbagai masalah termasuk aritmia jantung
dan koma. Terdapat gangguan kesadaran berupa konfusi. PaO2 rendah yang kronis dapat
ditoleransi oleh penderita yang mempunyai cadangan kerja jantung yang adekuat. Hipoksia
alveolar (PaO2 < 60 mmHg) dapat menyebabkan vasokonstriksi arteriolar paru dan
meningkatnya resistensi vaskuler paru dalam beberapa minggu sampai berbulan-bulan,
menyebabkan hipertensi pulmonal, hipertrofi jantung kanan (cor pulmonale) dan pada
akhirnya gagal jantung kanan. Hiperkapnia dapat menyebabkan asidemia. Menurunnya pH
otak yang akut meningkatkan drive ventilasi. Dengan berjalannya waktu, kapasitas buffer di
otak meningkat, dan akhirnya terjadi penumpukan terhadap rangsangan turunnya pH di otak
akibatnya drive tersebut akan menurun.

Efek hiperkapnia akut kurang dapat ditoleransi daripada yang kronis, yaitu berupa
gangguan sensorium dan gangguan personalia yang ringan, nyeri kepala, sampai konfusi dan
narkosis. Hiperkapnia juga menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak dan peningkatan
tekanan intrakranial. Asidemia yang terjadi bila (pH < 7,3) menyebabkan vasokonstriksi
arteriolar paru, dilatasi vaskuler sistemik, kontraktilitas miokard menurun, hiperkalemia,
hipotensi dan kepekaan jantung meningkat sehingga dapat terjadi aritmia yang mengancam
nyawa.

Manifestasi klinis gagal napas hipoksemia diperburuk oleh adanya gangguan hantaran
oksigen ke jaringan. Hal-hal yang dapat menyebabkan penurunan oksigen delivery, antara
lain:

1. Penurunan konsentrasi O2 : Penurunan konsentrasi O2 terjadi karena penurunan saturasi


haemoglobin akibat berkurangnya PaO2 atau bergesernya kurva disosiasi oksihaemoglobin
ke kanan.
2. Anemia : Ikatan antara CO dengan Hb lebih kuat daripada ikatan O 2 dengan Hb, sehingga
menyebabkan kesulitan untuk melepas O2 ke jaringan.
3. Penurunan curah jantung : Penurunan curah jantung tergantung dari aliran balik vena
sistemik, fungsi ventrikel kanan dan kiri, resistensi pulmonal dan sistemik, serta frekuensi
denyut jantung.

Selain itu, tanda dan gejala yang muncul pada gagal napas yaitu aliran udara di mulut dan
hidung tidak dapat dirasakan. Pada gerakan napas spontan terlihat retraksi supraklavikula dan
sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada saat inspirasi. Adanya kesulitan inflasi paru
dalam usaha memberikan ventilasi buatan dan terdengar suara napas tambahan gargling,
snoring, wheezing.

2.6 Patofisiologi

Terdapat 2 mekanisme dasar yang mengakibatkan kegagalan pernafasan yaitu


obstruksi saluran nafas dan konsolidasi atau kolaps alveolus. Apabila seorang anak menderita
infeksi saluran nafas maka akan terjadi :

1. Sekresi trakeobronkial bertambah


2. Proses peradangan dan sumbatan jalan nafas
3. Aliran darah pulmonal bertambah
4. ‘metabolic rate’ bertambah
Akibat edema mukosa, lendir yang tebal dan spasme otot polos maka lumen saluran
nafas berkurang dengan hebat. Hal ini mengakibatkan terperangkapnya udara dibagian distal
sumbatan yang akan menyebabkan gangguan oksigenasi dan ventilasi. Gangguan difusi dan
retensi CO2 menimbulkan hipoksemia dan hipercapnea, kedua hal ini disertai kerja pernafasan
yang bertambah sehingga menimbulkan kelelahan dan timbulnya asidosis. Hipoksia dan
hipercapnea akan menyebabkan ventilasi alveolus terganggu sehingga terjadi depresi
pernafasan, bila berlanjut akan menyebabkan kegagalan pernafasan dan akirnya kematian.

Hipoksemia akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah pulmonal yang menyebabkan


tahanan alveolus bertambah, akibatnya jantung akan bekerja lebih berat, beban jantung
bertambah dan akirnya menyebabkan gagal jantung.

Akibat bertambahnya aliran darah paru, hipoksemia yang mengakibatkan permiabilitas


kapiler bertambah, retensi CO2 yang mengakibatkan bronkokontriksi dan ‘metabolic rate’
yang bertambah, terjadinya edema paru. Dengan terjadinya edema paru juga terjadinya
gangguan ventilasi dan oksigenisasi yang akhirnya dapat menimbulkan gagal nafas.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik

1. Analisa gas darah


Membedakan gambaran kemajuan hipoksemia (penurunan PaO2 meskipun inspirasi
meningkat). Hiperkarbia dapat terjadi pada tahap awal berhubungan dengan
kompensasi hiperventilasi. Hiperkrbia menunjukkan kegagalan ventilasi.
1) Hb : dibawah 12 gr%
2) Analisa gas darah :
a. pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45
b. PaO2 di bawah 80 atau di atas 100 mmHg
c. PaCO2 di bawah 35 atau di atas 45 mmHg
d. BE di bawah -2 atau di atas +2
3) Saturasi O2 kurang dari 90 %
2. Sinar X (foto thorax)
Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui.
Terdapat gambaran akumulasi udara/cairan, dapat terlihat perpindahan letak
mediastinum.
3. Tes fungsi paru : Menunjukkan complain paru dan volume paru menurun.
4. EKG : Memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan atau menunjukkan
disritmia.
5. Pemeriksaan saturasi oksigen
Memadainya tekanan oksigen dalam darah arteri, PaO 2 diharapkan dihitung dari
persamaan gas alveolar ketika pasien bernafas dengan FiO 2 yang lebih tinggi dari udara
biasa.

2.8 Penatalaksanaan

1. Jalan nafas
Jalan nafas sangat penting untuk ventilasi, oksigen, dan pemberian obat-obatan
pernapasan dan harus diperiksa adanya sumbatan jalan nafas. Pertimbangan untuk
insersi jalan nafas artificial seperti ETT berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas
artificial dibandingkan jalan napas alami. Keuntungan jalan napas artificial adalah dapat
melintasi jalan napas bagian atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan,
memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP . memfasilitasi penyedotan sekret, dan
rute untuk bronkhoskopi.
2. Oksigen
Besarnya aliran oksigen tambahan yang diperlukan tergantung dari mekanisme
hipoksemia dan tipe alat pemberi oksigen. CPAP (Continous Positive Airway Pressure )
sering menjadi pilihan oksigenasi pada gagal napas akut. CPAP bekerja dengan
memberikan tekanan positif pada saluran pernapasan sehingga terjadi peningkatan
tekanan transpulmoner dan inflasi alveoli optimal. Tekanan yang diberikan ditingkatkan
secara bertahap mulai dari 5 cm H2O sampai toleransi pasien dan penurunan skor sesak
serta frekuensi napas tercapai.
3. Bronkhodilator
Bronkhodilator mempengaruhi kontraksi otot polos, tetapi beberapa jenis
bronkhodilator mempunyai efek tidak langsung terhadap oedema dan inflamasi.
Bronkhodilator merupakan terapi utama untuk penyakit paru obstruksi, tetapi
peningkatan resistensi jalan nafas juga banyak ditemukan pada penyakit paru lainnya.
4. Agonis beta-adrenergik
Obat-obatan ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan secara
parenteral atau oral.
5. Antikolinergik
Respon bronkhodilator terhadap antikolinergik tergantung pada derajat tonus
parasimpatis intrinsik.
6. Kortikosteroid
Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak diketahui
secara pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi.
7. Fisioterapi dada dan nutrisi : Merupakan aspek penting yang perlu diintegrasikan dalam
tatalaksana menyeluruh gagal nafas.
8. Pemantauan hemodinamik : Meliputi pengukuran rutin frekuensi denyut jantung, ritme
jantung tekanan darah sistemik, tekanan vena central, dan penentuan hemodinamik yang
lebih invasif.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2012). Asuhan Keperawatan Gagal Napas. www.ilmukeperawatan.com. Diakses


tanggal 21 September 2016.

Anonim. (2011). The 2009-2011 Nursing Diagnoses Organized According to a Nursing


Focus by Doenges/Moorhouse Diagnostic Divisions. http://keperawatan .net. Diakses tanggal
21 September 2016.

Anonim. (2012). Gagal Nafas dan Oedema Paru. http://www.scribd.com/doc/3510727/html.


Diakses tanggal 21 September 2016.

Brunner and Suddart. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2. Jakarta : EGC.

Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000). Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta.

Palilingan, JF. (2012). Gagal Nafas .http://perawatgawatdarurat.blogspot.com/2008/09/gagal-


napas.html. Diakses tanggal 21 September 2016.

Sadguna, Dwija. (2011). Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pasien Gagal Nafas.
http://www.scribd.com. Diakses tanggal 21 September 2016.

Sherwood, Lauralee. (2011). Fisiologi Manusia (Dari Sel ke Sistem ). Edisi ke-6. Jakarta:
EGC.

Ulfah, Anna, dkk. (2001). Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta : Bidang
Pendidikan dan Pelatihan Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan
Kita.

Anda mungkin juga menyukai