OLEH:
C. Etiologi
Penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primernya dan komponen
sistem pernapasan yaitu:
1. Gangguan sistem saraf pusat (SSP)
a. Berbagai gangguan farmakologi, struktur dan metabolik pada SSP dapat
mendepresi dorongan untuk bernapas
b. Hal ini dapat menyebabkan gagal napas hipoksemi atau hiperkapni yang akut
maupun kronis
c. Contohnya adalah tumor atau kelainan pembuluh darah di otak, overdosis narkotik
atau sedatif, gangguan metabolik seperti miksedema atau alkalosis metabolik
kronis
2. Gangguan sistem saraf perifer, otot pernapasan dan dinding dada
a. Gangguan pada kelompok ini adalah ketidakmampuan untuk menjaga tingkat
ventilasi per menit sesuai dengan produksi CO2
b. Dapat meyebabkan hipoksemi dan hiperkapni
c. Contohnya sindrom Guillan-Barre, distropi otot, miastenia gravis, kiposkoliosis
berat dan obesitas
3. Abnormalitas jalan napas
a. Obstruksi jalan napas yang berat adlah penyebab umum hiperkapni akut dan kronis
b. Contonhnya epiglotitis, tumor yang menenai trakea, penyakit paru obstruktif
kronis, asma dan kistik fibrosis
4. Abnormalitas alveoli
a. penyakit yang ditandai oleh hipoksemi walaupun kompliksi hiperkapni dapat
terjadi
b. contohnya adalah edema pulmoner kardiogenik dan nonkardiogenik, pneumonia
aspirasi, perdarahan paru yang massif
c. gangguan ini berhubungan dengan shunt intrapulmoner dan peningkatan kerja
pernapasan
5. Penyebab umum gagal napas tipe I (hipoksemi)
a. Emfisema dan bronkitis kronis (PPOK)
b. Pneumonia
c. Edema pulmoner
d. Asma
e. Pneumothorak
f. Emboli paru
g. Hipertensi arteri pulmoner
h. Pneumokoniosis
i. Penyakit paru granuloma
j. Penyakit jantung kongenital sianosis
k. Bronkiekstasi
l. Sindrom distres pernapasan akut
m. Sindrom emboli lemak
n. Kiposkoliosis
o. Obesitas
6. Penyebab umum gagal napas tipe II (hiperkapni)
a. Emfisema dan bronkitis kronis (PPOK)
b. Asma yang berat
c. Overdosis obat
d. Keracunan
e. Miastenia gravis
f. Polineuropati
g. Kelainan otot primer
h. Porphiria
i. Kordotomi servikal
j. Trauma kepala dan servikal
k. Hipoventilasi alveolar primer
l. Sindrom hipoventilasi pada obesitas
m. Edema pulmoner
n. Sindrom distres pernapasan akut
o. Miksedema
p. Tetanus
D. Tanda Dan Gejala
1. Tanda-tanda hypoksemia/hypoksia
a. Disorientasi, bingung, gelisah, apatis, atau kesadaran menurun
b. Takipnoe
c. Nafas pendek dan dangkal / dipsnoe
d. Takikardi, vasokonstriksi, tensi meningkat
2. Tanda-tanda hyperkapnoe
a. Sakit kepala akibat vasodilatasi serebral
b. Depresi mental, miosis, keringat dingin, kulit / sklera / konjungtiva memerah.
c. Takikardi
d. Aritmia
E. Pohon Masalah/Patofisiologi
Gagal nafas akut dapat disebabkan karena hipoventilasi, gangguan difusi, dan
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q Mismatch). Menurut patofisiologinya gagal
nafas akut di bedakan menjadi 2 bentuk yaitu, hipoksemik atau kegagalan oksigenasi dan
hiperkapnik atau kegagalan ventilasi.
Gagal nafas akut hipoksemia disebabkan karena hipoventilasi, gangguan difusi, dan
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q Mismatch). Letak kelainan pada sindrom ini
adalah pada membran alveolar kapiler, kerusakan pada membran alveolar kapiler, ini akan
mengakibatkan terjadinya gangguan pengambilan oksigen dengan akibatnya terjadinya
hipoksemia. Kelainan terutama berupa peningkatan permeabilitas membran tersebut sehingga
terjadi kebocoran cairan yang mula-mula mengisi jaringan interstitial antara endotelium
kapiler dan epithelium alveolar, kemudian proses berlanjut dengan pengisian cairan di ruang
alveoli, karena kebocoran cairan berlanjut, paru menjadi lebih kaku dan compliance
(kelenturan) paru menurun, penurunan ini akan mengakibatkan terjadi penurunan ventilasi
dan perbandingan ventilasi-perfusi menurun sehingga terjadilah hipoksemia arterial (proses
gangguan difusi), Akhirnya masuk dan mengisi ruang alveoli, ventilasi sama sekali tidak
terjadi, perbandingan ventilasi-perfusi menjadi nol, maka terjadilah shunt atau pintasan, lebih
banyak ruang alveoli yang terisi, lebih berat pintasan intrapulmoner yang terjadi, dan tekanan
oksigen arterial menjadi semakin menurun ,(proses ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
V/Q Mismatch), Terjadi penutupan ruang jalan napas terminalis dengan akibat terjadi
atelektasis, penurunan volume paru dan akan memperberat penurunan tekanan oksigen
arterial. Tekanan CO2 arterial tetap rendah disebabkan karena terjadi kompensasi berupa
takipnea. (proses hipoventilasi mengakibatkan terjadinya hipoksemia).
Dengan tanda dan gejala gejala hipoksemia merupakan akibat langsung dari hipoksia
jaringan. Tanda dan gejala yang sering dicari untuk menentukan adanya hipoksemia
seringkali baru timbul setelah PaO2 mencapai 40 sampai 50 mmHg. Jaringan yang sangat
peka terhadap penurunan oksigen diantaranya adalah otak, jantung, dan paru-paru. Tanda dan
gejala yang paling menonjol adalah gejala neurologis, berupa sakit kepala, kekacauan mental,
gangguan dalam penilaian, bicara kacau, gangguan fungsi motorik, agitasi dan gelisah yang
dapat berlanjut menjadi delirium dan menjadi tidak sadar. Respons kardiovaskular yang mula-
mula tehadap hipoksemia adalah takikardi dan peningkatan curah jantung serta tekanan darah.
Jika hipoksia menetap, bradikardi, hipotensi, penurunan curah jantung dan aritmia dapat
terjadi. Hipoksemia dapat menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah paru-paru. Efek
metabolik dari hipoksia jaringan metabolisme anaerobik yang mengakibatkan asidosis
metabolic.
sedangkan gagal nafas akut hiperkapnik disebabkan karena hipoventilasi. Kegagalan
ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan ekstrapulmoner.
Hiperkapnik yang terjadi karena kelainan extrapulmoner dapat disebabkan karena 1)
penekanan dorongan pernapasan sentral atau 2) gangguan pada respon ventilasi. Gagal nafas
tipe hiperkapnia adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2, pada umumnya
disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2
atau hiperkapnea) disertai dengan penurunan pH yang abnormal. Gagal nafas hiperkapnia
terutama disebabkan oleh hipoventilasi elveolar. Kegagalan ventilasi dapat terjadi bila PaCO2
meninggi dan pH kurang dari 7,35. Kegagalan ventilasi terjadi bila “minut ventilation”
berkurang secara tidak wajar atau bila tidak dapat meningkat dalam usaha memberikan
kompensasi bagi peningkatan produksi CO2 atau pembentukan rongga tidak berfungsi pada
pertukaran gas (dead space)
Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan PaCO2
merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya terutama melalui turunnya PH
cairan cerebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi
secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat karena
hiperkapnia akut. (Purwato dkk, 2009). Hiperkapnea menyebabkan konstriksi pada pembuluh
darah paru-paru, sehingga dapat memperberat hipertensi arteri pulmonalis. Jika retensi CO2
sangat berat, maka dapat terjadi penurunan kontraktilitas miokardium, vasodilatasi sistemik,
gagal jantung, dan hipotensi. Hiperkapnea menyebabkan asidosis respiratorik yang sering
bercampur dengan asidosis metabolik jika terjadi hiposia. Campuran ini dapat mengakibatkan
penurunan yang serius dari pH darah. Respon kompensasi ginjal terhadap asidosis respiratorik
adalah reabsorpsi bikarbonat untuk mempertahankan pH darah tetap normal.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisa Gas Darah Arteri : Pemeriksaan gas darah arteri penting untuk menentukan
adanya asidosis respiratorik dan alkalosis respiratorik, serta untuk mengetahui apakah
klien mengalami asidosis metabolik, alkalosis metabolik, atau keduanya pada klien yang
sudah lama mengalami gagal napas. Selain itu, pemeriksaan ini juga sangat penting untuk
mengetahui oksigenasi serta evaluasi kemajuan terapi atau pengobatan yang diberikan
terhadap klien.
_ pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45
_ paO2 di bawah 80 atau di atas 100 mmHg
_ pCO2 di bawah 35 atau di atas 45 mmHg
_ BE di bawah -2 atau di atas +2
- Saturasi O2 kurang dari 90 %
2. Radiologi : Berdasarkan pada foto thoraks PA/AP dan lateral serta fluoroskopi akan
banyak data yang diperoleh seperti terjadinya hiperinflasi, pneumothoraks, efusi pleura,
hidropneumothoraks, sembab paru, dan tumor paru.
3. Pengukuran Fungsi Paru : Penggunaan spirometer dapat membuat kita mengetahui ada
tidaknya gangguan obstruksi dan restriksi paru. Nilai normal atau FEV1 > 83% prediksi.
Ada obstruksi bila FEV1 < 70% dan FEV1/FVC lebih rendah dari nilai normal. Jika FEV1
normal, tetapi FEV1/FVC sama atau lebih besar dari nilai normal, keadaan ini
menunjukkan ada restriksi.
4. Elektrokardiogram (EKG) : Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat pada EKG yang
ditandai dengan perubahan gelombang P meninggi di sadapan II, III dan aVF, serta
jantung yang mengalami hipertrofi ventrikel kanan. Iskemia dan aritmia jantung sering
dijumpai pada gangguan ventilasi dan oksigenasi.
5. Pemeriksaan Sputum : Yang perlu diperhatikan ialah warna, bau, dan kekentalan. Jika
perlu lakukan kultur dan uji kepekaan terhadap kuman penyebab. Jika dijumpai ada garis-
garis darah pada sputum (blood streaked), kemungkinan disebabkan oleh bronkhitis,
bronkhiektasis, pneumonia, TB paru, dan keganasan. Sputum yang berwarna merah jambu
dan berbuih (pink frothy), kemungkinan disebabkan edema paru. Untuk sputum yang
mengandung banyak sekali darah (grossy bloody), lebih sering merupakan tanda dari TB
paru atau adanya keganasan paru. (Said. 2011)
G. Penatalaksanaan Medis
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu, penanganannya
tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di rumah sakit. Perawatan
dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk
menangani gagal napas tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut
adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta
menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
Prioritas dalam penanganan gagal nafas berbeda-beda tergantung dari etiologinya,
tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien, yaitu menangani sebab
gagal nafas dan bersamaan dengan itu memastikan ada ventilasi yang memadai dan jalan nafas
yang bebas. (Hall, 2008)
1. Perbaiki jalan napas (Air Way)
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi kepala
mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih belum
menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple airway
maneuver) atau dengan menggunakan manuver head tilt-chin lift), biasanya berhasil
untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas. Sambil menunggu dan
mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh
benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga
diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea.
2. Terapi oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan
PaO2 sampai normal. Pada terapi oksigen, besarnya oksigen yang diberikan tergantung
dari mekanisme hipoksemia, tipe alat pemberi oksigen tergantung pada jumlah oksigen
yang diperlukan, potensi efek samping oksigen, dan ventilasi semenit pasien. Cara
pemberian oksigen dibagi menjadi dua yaitu sistem arus rendah dan sistem arus tinggi.
Pemberian terapi oksigen harus memenuhi kriteria 4 tepat 1 waspada yaitu tepat
indikasi, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat waktu pemberian, dan wasapada
terhadap efek samping. (Ulaynah, Ana. 2010)
Alat Oksigen Arus Rendah Kateter nasal 1-6 L/menit
Konsentrasi : 24%-44%
Kanula nasal 1-6 L/menit
Konsentrasi : 24%-44%
Sungkup muka sederhana 6-8 L/menit
Konsentrasi : 40-60%
Sungkup dengan kantong 8-12 L/menit
rebreathing Konsentrasi : 60-80 %
Sungkup dengan kantong no- 8-12 L/menit
reabrithing Konsentrasi :99%
Alat Oksigen Arus Tinggi Sungkup muka dengan venturi Warna dan flows (L/menit)
FiO2(%)
1. Biru : 2:24
2. Putih : 4: 28
3. Orange : 6:31
4. Kuning : 8:35
5. Merah : 10: 40
6. Hijau : 15 : 60
Bag and mask/ resuscitator 12-15 L/menit
manual Konsentrasi : 74-100%
3. Ventilasi Bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat
dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose).
Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi
menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB (Intermittent
Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas spontan melalui mouth piece atau
sungkup muka yang dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan
inspirasi maka tekanan negative yang ditimbulkan akan menggerakkan ventilator dan
memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang diatur.
4. Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator.
Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya diperlukan obat-
obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak berontak dan
parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator.
5. Terapi farmakologi
a. Bronkodilator.
Mempengaruhi langsung pada kontraksi otot polos bronkus. Merupakan
terapi utama untuk pnyakit paru obstruktif atau pada penyakit dengan peningkatan
resistensi jalan napas seperti edema paru, ARDS, atau pneumonia.
b. Agonis B adrenergik / simpatomimetik
Memilik efek agonis terhadap reseptor beta drenergik pada otot polos
bronkus sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi. golongan ini memiliki efek
samping antara lain tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Lebih
efektif digunakan dalam bentuk inhalasi sehinga dosis yang lebih besar dan efek
kerjanya lebih lama.
c. Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada derajat
tonus parasimpatis intrisik. Obat-obatan ini kurang berperan pada asma, dimana
obstruksi jalan nafas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan dengan bronkitis
kronik dimana tonus parasimpatis lebih berperan. Pada gagal nafas, antikolinergik
harus diberikan bersamaan dengan agonis beta adrenergik. Contoh dari
antikolinergik adalah Ipatropium Bromida, tersedia dalam bentuk MDI (metered
dose-inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti
takikardia, palpitasi, dan retensi urine.
d. Teofilin
Mekanisme kerja melalui inhibisi kerja fosfodieterase pada AMP siklik,
translokasi kalsium, antagonis adenosin, dan stimulasi reseptor beta-adrenergik,
dan aktifitas anti-inflamasi. Efek samping meliputi takikardia, mual, dan muntah.
Komplikasi terparah antara lain aritmia jantung, hipokalemia, perubahan status
mental, dan kejang.
e. Kortikosteroid (Gwinnutt, C. 2011)
6. Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan
untuk masing-masing penyakit akan berlainan.
Tindakan terapi untuk memulihkan kondisi pasien gagal napas:
a. Penghisapan paru untuk mengeluarkan sekret agar tidak menghambat saluran
napas.
b. Postural drainage, juga untuk mengeluarkan sekret.
c. Latihan napas, jika kondisi pasien sudah membaik
A (alertness) :
V (verbal) :
P (pain) :
U (unserpons) :
Taging : P1 P2 P3 P4 P5
Tingkat kesadaran :
Pernafasan :
Upaya bernafas :
Benda asing di jalan nafas :
Bunyi nafas :
Hembusan nafas :
2. Masalah Keperawatan
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
3. Intervensi / Implementasi
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
4. Evaluasi
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
B. BREATHING
1. Fungsi pernafasan
Jenis Pernafasan :
Frekwensi Pernafasan :
Retraksi Otot bantu nafas :
Kelainan dinding thoraks : (simetris, perlukaan, jejas trauma)
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
Bunyi nafas :
Hembusan nafas :
2. Masalah Keperawatan
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
3. Intervensi / Implementasi
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
4. Evaluasi
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
C. CIRCULATION
1. Keadaan sirkulasi
Tingkat kesadaran :
Perdarahan (internal/eksternal) :
Kapilari Refill :
Nadi radial/carotis
Akral perifer
2. Masalah Keperawatan
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
3. Intervensi / Implementasi
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
4. Evaluasi
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
D. DISABILITY
1. Pemeriksaan Neurologis:
5. Masalah Keperawatan
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
6. Intervensi / Implementasi
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
7. Evaluasi
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
1. RIWAYAT KESEHATAN
a. RKD
………………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………………..
b. RKS
………………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………………..
c. RKK
………………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………………..
2. RIWAYAT DAN MEKANISME TRAUMA
………………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………………..
3. PEMERIKSAAN FISIK (HEAD TO TOE)
a. Kepala
Kulit kepala :
Mata :
Telinga :
Hidung :
Mulut dan gigi :
Wajah :
b. Leher
c. Dada/ thoraks
Paru-paru :
Inspeksi :
Palpasi :
Perkusi :
Auskultasi :
Jantung
Inspeksi :
Palpasi :
Perkusi :
Auskultasi :
d. Abdomen
Inspeksi :
Palpasi :
Perkusi :
Auskultasi :
e. Pelvis
Inspeksi :
Palpasi :
g. Genitalia :
h. Ekstremitas
Status sirkulasi :
Keadaan injury :
i. Neurologis :
Fungsi sensorik :
Fungsi motorik :
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi Laboratorium Darah Pemeriksaan Lain Terapi Medis
Anamnesis
Keluhan utama yang sering muncul adalah gejala sesak nafas atau peningkatan frekuensi
nafas. Secara umum perlu dikaji tentang gambaran secara menyeluruh apakah klien tampak
takut, mengalami sianosis, dan apakah tampak mengalami kesukaran bernafas.
Perlu diperhatikan juga apakah klien berubah menjadi sensitif dan cepat marah (iritability),
tanpak binggung (confusion), atau mengantuk (somnolen). Yang tak kalah penting ialah
kemampuan orientasi klien terhadap tempat dan waktu. Hal ini perlu diperhatikan karena
gangguan funngsi paru akut dan berat sering direfeksikan dalam bentuk perubahan status
mental. Selain itu, gangguan keadaan sering pula dihubungkan dengan hipoksemia,
hiperkapnea, dan asidemia karena gas beracun. Selain itu kaji riwayat penyakit masa lalu,
riwayat penyakit keluarga, lingkungan serta habits/ kebiasaan.
Pemeriksaan Fisik
1. Airway
a. Peningkatan sekresi pernafasan.
b. Bunyi nafas krekles ronki dan mengi.
2. Breating
a. Distress pernafasan : pernafasan cupping hidung, takipneu/bradipneu retraksi.
b. Menggunakan otot aksesori pernafasan.
c. Kesulitan bernafas : lapar udara, diaphoresis, sianosis.
3. Circulation
a. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardi.
b. Sakit kepala.
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk.
d. Papiledema.
e. Penurunan haluan urine.
Keadaan umum
Kaji tentang kesadara klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara bicara. Denyut nadi,
frekuensi nafas yang meingkat, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, sianosis.
1. B1 (Breathing)
Inspeksi
Kesulitan bernafas tampak dalam perubahan irama dan frekuensi pernafasan. Keadaan
normal frekuensi pernafasan 16-20x/menit dengan amplitude yang cukup besar. Jika
seseorang bernafas lambat dan dangkal, itu menunjukan adanya depresi pusat
pernafasan. Penyakit akut paru sering menunjukan frekuensi pernafasan > 20x/menit
atau karena penyakit sistemik seperti sepsis, perdarahan, syok, dan gangguan metabolic
seperti diabetes militus.
Palpasi
Perawat harus memerhatikan pelebaran ICS dan penurunan taktil fremitus yang menjadi
penyebab utama gagal nafas.
Perkusi
Perkusi yang dilakukan dengan saksama dan cermat dapat ditemukan daerah redup-
sampai daerah dengan daerah nafas melemah yang disebabkkan oleh peneballan pleura,
efusi pleura yang cukup banyak, dan hipersonor, bila ditemukan pneumothoraks atau
emfisemaparu.
Auskultasi
Auskultasi untuk menilai apakah ada bunyi nafas tambahan seperti wheezing dan ronki
serta untuk menentukan dengan tepat lokasi yang didapat dari kelainan yang ada.
2. B2 (Blood)
Monitor dampak gagal nafas pada status kardovaskuler meliputi keadaan hemodinamik
seperti nadi, tekanan darah dan CRT.
3. B3 (Brain)
Pengkajian perubahan status mental penting dilakukan perawat karena merupakan
gejala sekunder yang terjadi akibat gangguan pertukaran gas. Diperlukanan
pemeriksaan GCS unruk menentukan tiingkat kesadaran.
4. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urin perlu dilakukan karena berkaitan dengan intake cairan.
Oleh karena itu, perlu memonitor adanya oliguria, karena hal tersebut merupaka tanda
awal dari syok.
5. B5 (Boowel)
Pengkajian terhadap status nutrisi klien meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan-
kesulitan dalam memenuhi kebutuhanya. Pada klien sesak nafas potensial terjadi
kekurangan pemenuhan nutrisi, hal ini karena terjadi dipnea saat makan, laju
metabolism, serta kecemasan yang dialami klien.
6. B6 (Bone)
Dikaji adanya edema ekstermitas, tremor, tanda-tanda infeksi pada ekstermitas, turgon
kulit, kelembaban, pengelupasan atau bersik pada dermis/ integument.
I. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan gangguan aliran udara ke alveoli
atau kebagian utama paru
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi
secret/mucus, keterbatasan gerakan dada, nyeri, kelemahan dan kelelahan.
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, penurunan ekspansi paru,
pengesetan ventilator yang tidak tepat.
J. RENCANA KEPERAWATAN