Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Gagal nafas adalah ketidakmampuan alat pernafasan untuk mempertahankan


oksigenasi didalam darah dengan atau tanpa penumpukan CO2. Gagal nafas dibagi menjadi
dua jenis yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik. Gagal nafas akut adalah gagal nafas
yang timbul pada pasien yang memiliki struktural dan fungsional paru yang normal sebelum
penyakit muncul. Sedangkan gagal nafas kronis adalah gagal nafas yang terjadi pada pasien
dengan penyakit paru kronis seperti bronkitis kronis, emfisema. Pasien mengalami toleransi
terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap (Grippi et al, 2015).
Gagal nafas dapat diakibatkan oleh kelainan pada paru, jantung, dinding dada, otot
pernafasan dan mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medula oblongata. Meskipun
tidak dianggap sebagai penyebab langsung gagal nafas, disfungsi dari jantung, sirkulasi paru,
sirkulasi sistemik, transport oksigen hemoglobin dan disfungsi kapiler sistemik mempunyai
peran penting pada gagal nafas. Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak
adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan
pernafasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla) (Creagh-Brown, 2016).
Keadaan gagal nafas dapat menyebabkan kematian dan dapat meningkatkan angka
morbiditas. Insiden rate pada gagal nafas berkisar 10-86 kasus per 100.000 penduduk
(Creagh-Brown, 2016). Gagal nafas merupakan diagnosa klinis, namun dengan adanya
analisa gas darah (AGD), gagal nafas dipertimbangkan sebagai kegagalan fungsi pertukaran
gas yang nyata dalam bentuk kegagalan oksigenasi (hipoksemia) atau kegagalan dalam
pengeluaran CO2 (hiperkapnia, kegagalan ventilasi) atau merupakan kegagalan kedua fungsi
tersebut (Lentz et al., 2020).
Referat ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui mekanisme patofisiologi yang
memicu terjadinya gagal nafas, manifestasi klinis, penegakan diagnosis serta
penatalaksanaanya dengan cepat dan tepat.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Gagal nafas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi gagal untuk melakukan
fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran karbondioksida.
Ketidakmampuan itu dapat dilihat dari kemampuan jaringan untuk memasukkan oksigen
dan mengeluarkan karbondioksida. Kriteria kadar gas darah arteri untuk gagal napas tidak
mutlak bisa ditentukan dengan mengetahui PO2 kurang dari 60 mmHg dan PCO2 diatas
45 mmHg (Alwi et al, 2019, Setyohadi et al, 2015, Grippi et al, 2015).

2. Etiologi
Penyebab gagal napas dapat dikelompokkan berdasarkan kelainan primer dan
komponen individu dari sistem pernafasan (misalnya sistem saraf pusat, sistem saraf tepi,
otot pemafasan, dinding dada. saluran udara, dan alveoli) (Murat Kaynar and Sharma,

2020). Gagal napas paling sering disebabkan oleh ganggguan ventilasi dan gangguan
difusi:
A. Gangguan Ventilasi:
1) Neuromuskular
Gangguan sistem saraf pusat karena depresi dari dorongan saraf untuk
bernafas seperti dalam kasus overdosis narkotika dan obat penenang. Berbagai
gangguan farmakologis, struktural, dan metabolik SSP ditandai oleh depresi
dorongan saraf untuk bernafas. Ini dapat menyebabkan hipoventilasi akut atau kronis
dan hiperkapnia. Contohnya termasuk tumor atau kelainan pembuluh darah yang
melibatkan batang otak, overdosis narkotika atau obat penenang, dan gangguan
metabolisme seperti miksedema atau alkalosis metabolik kronis (Murat Kaynar and
Sharma, 2020).
Gangguan pada sistem saraf tepi biasanya kelemahan otot pernafasan dan
dinding dada menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan tingkat
ventilasi menit yang sesuai untuk laju produksi karbon dioksida. Hipoksemia dan
hiperkapnia bersamaan terjadi. Contohnya termasuk sindrom Guillain-Barré, distrofi

2
otot, myasthenia gravis. kyphoscoliosis parah, dan obesitas yang tidak wajar (Murat

Kaynar and Sharma, 2020; Patel and Sharma, 2020).

2) Obstruksi Saluran Nafas


Obstruksi jalan nafas yang parah adalah penyebab umum hiperkapnia akut dan
kronis. Contoh gangguan jalan nafas atas adalah epiglottitis akut dan tumor yang
melibatkan trakea; gangguan jalan nafas yang lebih rendah termasuk PPOK, asma,
dan cystic fibrosis (Patel and Sharma, 2020; Shebl and Burns, 2020).
B. Gangguan Difusi
Abnormalitas alveoli yang menyebabkan gagal nafas tipe I (hipoksemia) seperti
pada kasus edema paru dan pneumonia berat. Kelainan alveoli ditandai dengan
pengisian alveolus difus, yang sering menyebabkan Gagal nafas hipoksemia, meskipun
hiperkapnia dapat memperumit gambaran klinis. Contoh umum adalah edema paru
kardiogenik dan nonkardiogenik, pneumonia aspirasi, atau perdarahan paru yang luas.
Gangguan ini berhubungan dengan shunt intrapulmoner dan peningkatan kerja
pernafasan (Murat Kaynar and Sharma, 2020).

3. Klasifikasi Gagal Napas


Untuk pengukuran langsung dari parameter metabolik ini, dokter harus
mengandalkan nilai gas darah (AGD). Gagal pernafasan diklasifikasikan menurut kelainan
gas darah menjadi hipoksemia (tipe I) dan hiperkapnia (tipe II). Dalam banyak kasus,
gagal nafas hiperkapnia dan hipoksemia sering terjadi bersamaan. Entah bisa akut atau
kronis. Gangguan yang awalnya hipoksemia dapat menyebabkan kegagalan pompa
pernafasan dan hiperkapnia. Sebaliknya, penyakit yang menyebabkan kegagalan pompa
pernafasan sering dipersulit oleh hipoksemia akibat proses parenkim paru sekunder
(misalnya, pneumonia atau atelektasis) atau kelainan vaskular (misalnya. emboli
pulmonal) (Grippi et al, 2015; Shebl and Burns, 2020).

3
Gambar 2.1 Klasifikasi Gagal nafas (Grippi et al, 2020)

A. Gagal Napas Tipe I (Hipoksemia)


Gagal napas tipe I (hipoksemia) memiliki Pa02<60 mmHg dengan PaCO2 normal
atau subnormal. Ini adalah bentuk paling umum dari Gagal nafas, dan dapat dikaitkan
dengan hampir semua penyakit akut paru-paru. Pada tipe ini, pertukaran gas terganggu
pada tingkat membran aveolo-kapiler. Umumnya melibatkan pengisian cairan atau
kolapsnya unit alveolar. Beberapa contoh gagal pemafasan tipe I adalah edema paru
kardiogenik atau nonkardiogenik, pneumonia, dan perdarahan paru. Penyebab umum
gagal nafas tipe I (hipoksemia) meliputi: PPOK, pneumonia. edema paru, fibrosis paru,
asma, pneumotoraks, emboli paru, hipertensi arteri pulmonalis, pneumoconiosis,
penyakit paru-paru granulomatosa, penyakit jantung bawaan sianotik, bronkiektasis,
sindrom gangguan pernafasan akut (ARDS), sindrom emboli lemak, kyphoscoliosis,
kegemukan (Murat Kaynar and Sharma, 2020).
B. Gagal Napas tipe II (Hiperkapnia)
Gagal Nafas tipe II (hiperkapnia) memiliki PaC02>50 mmHg. Hipoksemia sering
terjadi, dan ini disebabkan oleh kegagalan pompa pernafasan. Hipoksemia sering terjadi
pada pasien dengan gagal nafas hiperkaplatik yang menghirup udara kamar. PH
tergantung pada tingkat bikarbonat, yang pada gilirannya. tergantung pada durasi
hiperkapnia. Etiologi umumnya adalah overdosis obat penyakit neuromuskuler,
kelainan dinding dada, dan gangguan jalan nafas yang parah, misalnya, asma dan
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Penyebab umum gagal nafas tipe II
(hiperkapnia) meliputi: PPOK, asma berat, overdosis obat. keracunan, myasthenia
gravis, polineuropati, polio. gangguan otot primer, porfiria, kordotomi serviks, cidera
4
kepala dan leher rahim, hipoventilasi alveolar primer, sindrom obesitas-hipoventilasi.
edema paru, ARDS, myxedema, tetanus (Murat Kaynar and Sharma, 2020).

4. Patofisiologi Gagal Nafas


Tindakan respirasi melibatkan tiga proses berikut: (1) transfer oksigen melintasi
alveolus; (2) transportasi oksigen ke jaringan; (3) pembuangan karbondioksida dari darah
ke dalam alveolus dan kemudian ke lingkungan. Gagal nafas dapat terjadi karena tidak
berfungsinya salah satu dari proses ini. Gagal nafas dapat timbul dari kelainan pada salah
satu komponen sistem pernafasan, termasuk saluran udara, alveoli, sistem saraf pusat,
sistem saraf tepi, oto pernafasan, dan dinding dada. pasien yang mengalami hipoperfusi
sekunder akibat kardiogenik, hipovolemik, atau syok septik sering disertai gagal nafas
(Murat Kaynar and Sharma, 2020). Mekanisme patofisiologi utama gagal nafas adalah:
a) Hipoventilasi: di mana PaCO2 dan PaO2 dan gradien PO2 alveolar-arteri normal.
Contoh kondisi ini adalah depresi SSP karena obat-obatan
b) V/P mismatch: ini adalah penyebab paling umum dari hipoksemia. Pemberian 100%
02 menghilangkan hipoksemia.
c) Shunt: di mana terdapat hipoksemia persisten meskipun inhalasi 02 100%. Dalam
kasus shunt, darah terdeoksigenasi (darah vena campuran) memotong alveoli tunpu
diberi oksigenasi dan bercampur dengan darah teroksigenasi yang telah mengalir
melalui alveoli berventilasi, dan ini menyebabkan hipoksemia seperti pada kasus
edema paru (kardiogenik atau nonkardiogenik), pneumonia dan atelektasis.
Gagal nafas dapat disebabkan oleh penurunan ventilatory capacity atau peningkatan
ventilatory demand atau keduanya. Ventilatory capacity adalah ventilasi spontan maksimal
yang dapat dipertahankan tanpa menyebabkan kelelahan otot pernafasan. Ventilatory
demand adalah ventilasi menit spontan yang menghasilkan PaCO2 yang stabil. Biasanya,
ventilatory capacity sangat melebihi ventilatory demand. Ventilatory capacity dapat
dikurangi dengan proses penyakit yang melibatkan komponen fungsional sistem
pernafasan dan pengontrolnya. Ventilatory demand diperbesar oleh peningkatan ventilasi
dalam hitungan menit dan/atau peningkatan kerja nafas (Grippi et al, 2015).

5. Diagnosis Gagal Napas


Diagnosis gagal napas dimulai jika ada gejala klinik yang muncul. Gejala klinis pada
gagal napas terdiri dari tanda kompensasi pernapasan yaitu takipneu. penggunaan otot
pernapasan tambahan, restriksi intrakostal, suprasternal dan supraklavikular. Gejala
peningkatan tonus simpatis seperti takikardi, hipertensi dan berkeringat. Gejala hipoksia
5
yaitu perubahan status mental misalnya bingung atau koma, bradikardi dan hipotensi
(Shebl and Burns, 2020).

Tabel 1. Manifestasi Klinis Hiperkapnia dan Hipoksemia (Shebl and Burns, 2020).

Hipoksemia Hiperkapnia
Ansietas Somnolen
Takikardia Letargi
Takipneu Koma
Diaforesis Sakit kepala
Aritmia Edema papil
Perubahan Status Mental Asteriks
Bingung Agitasi
Sianosis Tremor
Kejang Bicara kacau
Asidosis Laktat Somnolen

Dalam mementukan kondisi gagal nafas, indikator penting yang perlu diketahui
adalah frekuensi pernafasan. N 16-20x/mnt. Jika frekuensi pemafasan > 35 kali mnt maka
akan menimbulkan kelelahan otot pernafasan yang pada akhimya mengantarkan pada
gagal nafas. sehingga membutuhkan bantuan ventilator. Indikator yang kedua adalah
Kapasitas Vital menggunakan spirometer, Jika hasilnya kurang dari 10-20 ml/kg maka hal
tersebut merupakan tanda gagal nafas (Murat Kaynar and Sharma, 2020).
Untuk menunjang diagnosis pada kasus gagal nafas dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang antara lain dengan pengukuran gas darah pada arteri, pengukuran saturasi
oksigen menggunakan pulse oxymeter, dan pengukuran PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat
6
dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia, yang
dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis underlying disease (penyakit yang mendasarinya) (Setyohadi et al, 2015, Murat
Kaynar and Sharma, 2020).

6. Penatalaksanaan Gagal Nafas


Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Perawatan dilakukan di
Intensive Care Unit (ICU), dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani
gagal napas tersedia (Mazen, 2020). Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas
akut adalah membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan,
serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas
tersebut (Rochwerg et al., 2017).
Prioritas dalam penanganan gagal nafas berbeda-beda tergantung dari etiologinya,
tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien, yaitu menangani sebab
gagal nafas dan bersamaan dengan itu memastikan ada ventilasi yang memadai dan jalan
nafas yang bebas.
a. Perbaiki jalan napas (Airway)
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi
kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih belum
menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple airway
maneuver) atau dengan menggunakan manuver head tilt-chin lift), biasanya berhasil
untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas. Sambil menunggu dan
mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh
benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga
diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea
(Setyohadi et al, 2015) Grippi et al, 2015).
b. Terapi oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Pada terapi oksigen, besarnya oksigen yang
diberikan tergantung dari mekanisme hipoksemia, tipe alat pemberi oksigen
tergantung pada jumlah oksigen yang diperlukan, potensi efek samping oksigen, dan
ventilasi semenit pasien (Faverio et al., 2018). Cara pemberian oksigen dibagi
menjadi dua yaitu sistem arus rendah dan sistem arus tinggi:

7
Tabel 2. Pemberian oksigen (Rochwerg et al , 2017).
Kateter Nasal 1.6 L/menit
Konsentrasi : 24-44%
Alat Oksigen Arus Kanula Nasal 1-6 L/menit
Rendah Konsentrasi : 24-44%
Simple Mask 6-8 L/menit
Konsentrasi : 40-60%
Mask + Rebreathing 6-8 L/menit
Konsetrasi 60-80%
Alat Oksigen Arus Ambu Bag 10 L/menit
Tinggi Konsentrasi : 100%
Bag Mask + Jackson 10 L/ menit
L/menit Konsentrasi: 100%
Rees

Pemberian terapi oksigen harus memenuhi kriteria 4 tepat 1 waspada yaitu


tepat indikasi, tepat dosis, tepat cara pemberian tepat waktu pemberian, dan
wasapada terhadap efek samping. Untuk pemberian terapi oksigen dapat ditargetkan
pada 2 jenis gagal nafas, yaitu hipoksemia dan hiperkapnia. Untuk hipoksemia,
pasien dengan PaO2 ≤ 7.3kPa dapat diberikan terapi oksigen jangka panjang
minimal selama 15 jam dalam sehari. Untuk hiperkapnia, non-invasive ventilation
(NIV) dapat diindikasikan pada pasien dengan gagal nafas hiperkapnia dikarenakan
deformitas dinding dada, penyakit neuromuskular maupun obesitas. Selain itu,
pasien PPOK dengan persisten hiperkapnia yang menggunakan NIV memiliki
prognosis yang cukup bagus (Creagh-Brown, 2016).
c. Alat ventilasi
Penggunaan ventilator mekanikk diperlukan apabila terjadi apnea, hiperkarbia
akut yang tidak respon dengan terapi spesifik (Setyohadi et al, 2015). Apabila
kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi menggunakan
ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB (Intermittent Positive
Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas spontan melalui mouth piece atau
sungkup muka yang dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan
inspirasi maka tekanan negative yang ditimbulkan akan menggerakkan ventilator

8
dan memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang diatur (Mazen, 2020;
Rochwerg et al, 2017). Penggunaan
d. Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan
untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Obat-obatan yang bisa digunakan
antara lain diuretik, nitrat, bronkodilator, maupun kortikosteroid (Setyohadi et al,
2015).

BAB III
PENUTUP

Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan mempertahankan suatu


keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan
kebutuhan normal. Gagal nafas diklasifikasikan menjadi gagal nafas hipoksemia (tipe I) dan
hiperkapnia (tipe II), dan berdasarkan waktu (akut dan kronik). Penyebab dari gagal nafas
dapat berupa kelainan pada otak, susunan neuromuskular, dinding thoraks dan diafragma,
paru, serta sistem kardiovaskuler. Diagnosa selain berdasarkan gejala klinis juga diperlukan
pemeriksaan penunjang seperti analisis gas darah, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan
mendukung penyakit penyerta dan foto thoraks. Penatalaksanaan pada kasus gagal nafas
bertujuan untuk membuat oksigenasi arteri adekuat serta menghilangkan underlying disease.

9
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, I, Salim et al. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik
Klinis. Cetakan Ke-IV. Jakarta: Interna Publishing 2019

Creagh-Brown, B., 2016. Respiratory failure. Medicine, 44(6), pp.342-345.


Grippi, M. A., In Elias, J. A., In Fishman, J.. In Kotloff, R. M.. In Pack, A. I, In Senior, R.
M., & In Siegel, M. D. 2015. Fishman's Pulmonary Diseases and Disorders, 5 Ed. USA:
McGraw-Hill Education.
Faverio, P., De Giacomi, F., Sardella, L., Fiorentino, G., Carone, M., Salerno, F., Ora, J.,
Rogliani, P., Pellegrino, G., Sferrazza Papa, G., Bini, F., Bodini, B., Messinesi, G.,
Pesci, A. and Esquinas, A., 2018. Management of acute respiratory failure in interstitial
lung diseases: overview and clinical insights. BMC Pulmonary Medicine, 18(1).
Lentz, S., Roginski, M., Montrief, T., Ramzy, M., Gottlieb, M. and Long, B., 2020. Initial
emergency department mechanical ventilation strategies for COVID-19 hypoxemic
respiratory failure and ARDS. The American Journal of Emergency Medicine,
Mazen Khaled Banweer., et al. 2020. “Management of Respiratory Failure in the Emergency
Department”. EC Pulmonology and Respiratory Medicine 9.2 :01-08.
Murat Kaynar, A. and Sharma, S., 2020. Respiratory Failure: Background, Pathophysiology,
Etiology. [online] Emedicine.medscape.com. Available at:
<https://emedicine.medscape.com/article/167981-overview> [Accessed 22 October
2020].
Patel, S., & Sharma, S. 2020. Respiratory Acidosis. In StatPearls. StatPearls Publishing.
Rochwerg. Bram. et al. 2017. "Official ERS/ATS clinical practice guidelines: noninvasive
ventilation for acute respiratory failure." European Respiratory Journal 50.2. 2017:
1602426.
Shebl, E., & Burns, B. 2020. Respiratory Failure. In StatPearls. StatPearls Publishing.

10

Anda mungkin juga menyukai