Anda di halaman 1dari 17

FUNDAMENTAL CRITICAL CARE SUPPORT

FIFTH EDITION

CHAPTER 4
DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN KEGAGALAN RESPRIRASI AKUT
OBJEKTIF

Mendefinisikan dan klasifikasi kegagalan respirasi akut


Menjelaskan patofisiologi dan manifestasi dari kegagalan respirasi akut
Meninjau suplementasi pemberian oksigen pada kegagalan respirasi akut

STUDI KASUS
Seorang pria 75 tahun datang dengan riwayat merokok yang lama, penyakit paru kronik dan
penanganan tidak adekuat ketika di bawa ke UGD oleh anaknya, dengan keluhan sesak nafas secara
progresif sepanjang malam. Pasien terbangun, cemas, dan dalam moderat respiratori distress, dengan
penggunaan otot asessori saat inspirasi dan ekspirasi dan pernapasan 30 x/menit. Suara ekspirasi
wheezing. Kamu di panggil untuk menangani pasien dan pengobatan.

Apa pemeriksaan yang dilakukan untuk mengevaluasi beratnya kondisi pasien?


Suplementasi oksigen seperti apa yang perlu digunakan?
Apa pengobatan farmakologi yang perlu diberikan?

I. PENDAHULUAN
Kegagalan respirasi akut adalah salah satu penyebab dimasukkan dalam ICU. Kegagalan respirasi akut
dapat di definisikan sebagai ketidak mampuan sistem respirasi untuk mengikat oksigenasi, ventilasi atau
keperluan metabolik dari pasien. Sistem pulmonari memiliki dua fungsi yang penting: Mengeliminasi
karbondioksida (CO2) dan oksigenasi darah. Ada tiga tipe dari kegagalan respirasi: Hipoksemik,
hiperkapnik, dan campuran. Kegagalan respirasi hipoksemik dapat didefinisikan oleh tekanan ruang
udara secara parsial dari arterial oksigen (Pao2) 50 60 mmHg (6.7 8 kPa) atau rasio abnormal dari
Pao2 ke fraksi oksigen inspirasi (Pao2:F102, atau P:F rasio). Pada abnormalitas ini, Pao2 harusnya ada di
dalam kekurangannya intracardiac right-to-left shunting. Kegagalan respirasi hiperkapnik dapat di
definisikan oleh tekanan parsial dari arteri CO2 (Paco2) 50 mmHg (6.7 kPa) hal ini merupakan bukan
kompensasi dari alkalosis metabolik. Kegagalan respirasi campuran memiliki kedua bagian dari
hiperkapnia dan hipoksemia dan kegagalan respirasi pada pasien kritis. Kegagalan respirasi dapat
dipertimbangkan sebagai kronik dari sistem renal dimulai hingga kompensasi oleh pertahanan
bikarbonat. Hal ini biasa terjadi beberapa hari dari hiperkapnia persisten dan menghasilkan asidosis
respiratorik. Biasanya, pada pasien dengan penyakit paru kronis, kegagalan respirasi akut mungkin dapat
superimposed pada respiratori kronik insufisiensi. Komponen akut seperti keadaan yang dapat

dibedakan dari komponen kronik dari derajat asidosis respiratorik di relasikan dengan Paco2 dan
pengetahuan dari pemberian dasar oksigenasi, level Paco2 dan nilai bikarbonat.
II. PENYEBAB DARI KEGAGALAN RESPIRASI AKUT
Kegagalan respirasi akut timbul dari macam-macam keadaan klinis. Kegagalan respirasi dapat dihasilkan
dari gangguan pulmonari primer atau dari gangguan sistem nonpulmonari, yang dirangkumkan dalam
tabel 4-1. Penyakit pada sistem nervus sentralis, sistem neuromuskular, pernapasan atas dan bawah,
pulmonary parenchyma, pulmonary vasculature, kavitas thoracoabdominal, dan sistem kardovaskular
yang dapat timbul terjadinya kegagalan respirasi akut.
Kegagalan respiratori hipoxemik dapat dilihat dari pasien dengan pneumonia berat, acute lung injury,
atau edema paru akut, kelainan yang mengganggu secara primer dengan oksigenasi secara adekuat dari
sirkulasi darah ke kapiler alveolar. Kegagalan respirasi hiperkapnik dapat dilihat pada pasien dengan
obstruksi saluran nafas, kegagalan sentral respiratori, atau kegagalan neuromuskular respiratori.
Hiperkapnia paling banyak dihasilkan dari ventilasi alveolar yang tidak adekuat, yang dapat
menyebabkan tidak efektif keluarnya CO2.
Tabel 4-1 Penyebab Gagal Pernapasan
Gangguan yang Berhubungan dengan abnormal pemasukan dari oxygen
(Kegagalan Hipoksemik Respiratori)
Pernapasan bagian bawah dan Parenkim
INFEKSI NEOPLASMA
TRAUMA
Sindrom Gangguan Pernapasan
Virus
Kontusi Pulmoner
Akut
Bakteri
Laserasi Pulmoner
Penyakit paru interstitial
Jamur
LAIN-LAIN
Emboli Paru
Mycoplasma
Bronkospasme
Atelektasis
Lain-lain
Gagal Jantung
Cystic Fibrosis
Gangguan yang Berhubungan dengan Inadekuat Offloading dari Karbondioksida
(Kegagalan Hiperkapnik Respiratori)
Otak
OBAT
METABOLIK
INFEKSI
Opioid
Hiponatremia
Meningitis
Benzodiazepines
Hipokalsemia
Encepalitis
Propofol
Alkalosis
Abses
Barbiturates
Myxedema
Polio
Anastesi General
NEOPLASMA
West Nile Mengitis
Racun
PENINGKATAN
TEKANAN
INTRAKRANIAL
LAIN-LAIN
Hipoventilasi sentral alveolar
Sleep apnea sentral
Saraf dan Otot
TRAUMA
METABOLIK
LAIN-LAIN
Cedera Tulang Belakang
Hipokalemia, hiperkalemia
Penyakit motor neuron

Cedera Diafragmatik
OBAT/RACUN
Agen yang memblokir
neuromuskular
Antibiotik aminoglikosida
Arsenik
Strychnine
Botulism
PEMBESARAN JARINGAN
Tonsil dan adenoid
Hiperplasia
Neoplasma malignan
Polip
Goiter
TRAUMA
Fraktur tulang rusuk
Flail chest
Burn Eschar

Hipophosphatemia
Hipomagnesemia
NEOPLASMA
INFEKSI
Tetanus
West Nile Meningitis

Saluran Napas Bagian Atas


INFEKSI
Epiglotitis
Laringotrakeitis
TRAUMA

Area Dada
FAKTOR KONTRIBUSI LAIN
Kiposcoliosis
Skleroedema
Spondilitis
Pneumotoraks
Efusi Pleura

Myasthenia Gravis
Multiple Sclerosis
Distrofi Muskular
Sindrom Guillain-Barre
Botulisme

LAIN-LAIN
Paralisis vocal-cord bilateral
Edema laryngeal
Trakeomalasia
Artritis Krikoaritenoid
Obstruksi sleep apnea
Fibrotoraks
Posisi supine
Obesitas
Nyeri
Asites

Berikut ini adalah skenario ICU secara umum yang menyebabkan kegagalan pernapasan akut:

Obstruksi penyakit paru eksaserbasi kronik, yang ditandai dengan sekresi mukopurulen yang
tebal serta bronkospasme, sering dihubungkan dengan kedua kegagalan pernafasan akut
hypoxemia dan hiperkapnia.
Pneumonia paling sering dikaitkan dengan kegagalan pernafasan hypoxemic, meskipun juga
dapat dikaitkan dengan gagal napas hiperkapnia, terutama pada penyakit lain seperti PPOK.
Sindrom gangguan pernapasan akut adalah manifestasi dari respon inflamasi sistemik yang
disebabkan oleh cedera paru atau nonpulmonary atau penyakit. Kegagalan pernafasan terutama
hipoxemic disebabkan terutama oleh peningkatan fraksi shunt yang mengisi alveolar.
Trauma otak dapat dikaitkan dengan kegagalan pernafasan terutama hiperkapnia, meskipun
dapat menjadi rumit oleh kegagalan pernafasan hypoxemic dalam pengaturan aspirasi secara
bersamaan, paru kontusi, edema paru neurogenik, atau penyakit paru kronik.
Overdosis dengan agen penurunan sistem saraf pusat, seperti benzodiazepin, opioid, atau
barbiturat, menghasilkan hipoventilasi alveolar dan kegagalan pernafasan akut hiperkapnia.
Dekompensasi gagal jantung kongestif dikaitkan dengan domniasi kegagalan hypoxemic
(sekunder mengisi alveolar dan peningkatan shunt); Namun, kegagalan pernafasan hiperkapnia
juga bisa terjadi pada eksaserbasi berat atau dengan adanya penyakit paru.

III. PATOFISIOLOGI KEGAGALAN RESPIRATORI AKUT


A. Hypoxemia
Paling umum kelainan fisiologis yang mendasari kegagalan pernapasan hypoxemic adalah ketidaks
alveolar ventilasi V dan paru perfusi Q seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4-1. Ketidakcocokan
ventilasi dan perfusi, di mana ventilasi menurun relatif terhadap perfusi disebut V/Q rendah

Penyetaraan V/Q penting untuk oksigenasi darah dibandingkan dengan eliminasi CO2 karena disosiasi
kinetika kurva oksigen hemoglobin. Daerah paru-paru dengan rasio V/Q yang tinggi, memberikan PaO2
yang tinggi, tidak dapat mengimbangi daerah dengan rasio V/Q yang rendah (menghasilkan PaO2
rendah) sebagai molekul hemoglobin sudah sekitar 90% jenuh pada PaO2 sekitar 60 mmHg. Campuran
darah yang beroksigen sedikit merubah dari alveoli abnormal yang mendilusi oksigenasi dalam darah
dari paru-paru unit normal, sehingga terjadi hipoksemia sistemik. Hipoksemia disebabkan oleh
ketidakcocokan V/Q biasanya mudah diperbaiki dengan tambahan O2.

Disease processes that cause progressive obstruction of distal airways, alveolar filling, or atelectasis (eg,
pneumonia, aspiration, pulmonary edema) result in a decrease in the amount of oxygen available in
distal airways for uptake through the pulmonary capillaries. Through hypoxic pulmonary
vasoconstriction, blood flow to such abnormal lung units decreases, but this decline is of lesser
magnitude than the decrease in oxygen availability. This allows for a greater proportion of
deoxygenated blood (venous admixture) to return to the left side of the heart.
Proses penyakit yang menyebabkan obstruksi secara progresif pada saluran udara bagian distal, pengisi
alveolar, atau atelektasis (misalnya, pneumonia, aspirasi, edema paru) mengakibatkan penurunan
jumlah oksigen yang tersedia di distal saluran udara menuju kapiler paru. Melalui vasokonstriksi paru
hipoksia, aliran darah ke paru-paru dalam unit yang abnormal menurun, namun penurunan ini
jumlahnya lebih rendah daripada penurunan ketersediaan oksigen. Hal ini memungkinkan untuk
proporsi yang lebih besar darah terdeoksigenasi (campuran vena) untuk kembali ke sisi kiri jantung.
One extreme of V/Q mismatch is shunt, as there is perfusion of the unventilated lung. In diseases that
cause diffuse alveolar flooding (eg. ARDS), there may be refractory hypoxemia due to shunt physiology.
Treatment of hypoxemia due to V/Q mismatch should be directed towards treating the underlying cause
such as infections, reversing airway obstruction, reopening (recruiting) atelectatic lung zones, and
preventing closure (de-recruitment) of the affected lung units. Oxygen therapy and/or mechanical
ventilation are cornerstones in providing support until such time that cause of V/Q mismatch has been
reversed.

Salah satu perbandingan ketidaksesuaian yg besar pada V/Q adalah shunt, karena ada perfusi paru yg
tidak terventilasi. Dalam penyakit yang menyebabkan difus alveolar flooding (misalnya. ARDS), mungkin
ada hipoksemia refraktori karena shunt fisiologi. Pengobatan hipoksemia karena ketidakcocokan V/Q
harus diarahkan ke penyebab yang mendasari seperti infeksi, membalikkan obstruksi jalan napas,
membuka kembali (merekrut) zona paru atelektasis, dan mencegah penutupan (de-rekrutmen) unit paru
yang terkena. Terapi oksigen dan atau ventilasi mekanik merupakan landasan dalam memberikan
dukungan hingga penyebab ketidakcocokan V/Q membaik.
Other, less common cause of hypoxemia include:

Decreased diffusion of oxygen across the alveolocapillary membrane complex because of


interstitial edema, inflammation, fibrosis, etc.
High altitude with low inspired partial pressure of oxygen
Low mixed venous oxygen saturation

Penyebab kurang umum hipoksemia meliputi:

Penurunan difusi oksigen di kompleks membran alveolocapillary karena edema interstitial,


peradangan, fibrosis, dll
Tinggi dan rendahnya inspirasi tekanan parsial dari oksigen
Rendahnya saturasi oksigen vena campuran

Diffusion abnormality is rarely the primary cause for hypoxemia as O2 transport across alveolocapillary
membrane is generally perfusion limited and not diffusion limited, however, in cases such as increased
cardiac output and tachy cardia, diffusion may be limited when the transit time across pulmonary
capillaries is reduced. Therapy for diffusion abnormalities, in addition to maintaining adequate
circulating volume, includes treatment of the cause of interstitial pathology (ie, diuretics for cardiogenic
pulmonary edema, corticosteroids for inflammatory disorders). Ensuring adequate minute ventilation
will correct hypoxemia that is solely due to hypoventilation. High altitude is a rare cause of acute
hypoxemia in patients. Ad a compensatory strategy, increasing oxygen supplementation (F102) while
the cause of the hypoxemia is sought and corrected may improve oxygenation.
Difusi abnormal jarang pada penyebab utama hipoksemia yang mengangkut O2 melewati membran
alveocapillar, secara umum perfusi yang terbatas dan tidak ada batasan difusi, selain itu pada kasus
seperti peningkatan cardiac output dan takikardia, difusi akan sangat terbatas ketika waktu transit
melewati capiler pulmonary menjadi berkurang. Terapi untuk abnormal difusi, dalam penambahan
untuk menjaga volume sirkulasi yang adekuat, termasuk terapi penyebab patologi interstitial (seperti
diuretic untuk edema cardiogenik pulmoner, kortikosteroid untuk gangguan inflamasi). Ventilasi yang
adekuat dapat mengoreksi hipoksemia yang penyebabnya hanya pada hipoventilasi. Tingginya altitude
sangat jarang terjadi pada pasien hipokseima. Usaha kompensasi peningkatan suplementasi oksige (FI02)
pada penyebab hipokesima untuk mencapai dan mengoreksi dapat meningkatkan oksigensasi.
The gradient between the partial pressure of oxygen in the alveolus (PAO2) and in the arterial
circulation (Pao2), the P(A-a)O2 gradient, can be used to determine whether hypoxemia is caused only

by hypoventilation. The Pao2 is obtained from arterial blood gas analysis while the patient breathes
room air. The PAO2 is estimated from the modified alveolar air equation:
PAO2=[F102 x (PB-47)] (1.25 X Paco2)
Tingginya antara terkanan parsial dari oksigen di alveolus (PAO2) dan sirkulasi arterial (Pao2), dan P(Aa)O2, dapat digunakan untuk menentukan apakah hipoksemia disebabkan hanya kerena hipoventilasi.
Pao2 diperoleh dari analisi artrerial gas dalam darah. PAO2 merupakan estimasi untuk modifikasi udara
alveolar dengan:
PAO2 = [FI02 x (PB 47)] (1.25 x Paco2)

In the above equation, F102 is expressed as a fraction (not a percentage), PB is barometric pressure, 47
represents water vapor pressure, and Paco2 is obtained from the same arterial blood gas analysis.
FI02 merupakan fraksi (bukan dalam persentasi), PB adalah tekanan barometric , 47 mewakili tekanan
uap air, dan Paco2 diperoleh dari analisis gas darah.
The P(A-a)O2 gradient should be <10 mmHg (<1.3 kPa) in young adults and <20 mmHg (<2.7 kPa) in all
patients. A normal gradient suggest that hypoxemia is likely due to hypoventilation alone; whereas, an
increasing gradient suggest that other causes (eg. V/Q mismatch) are responsible for the hypoxemia.
Another utility of calculating A-a gradient is when the Pao2 is low normal in the presence of significant
hypocapnia, thus indicating a widened A-a gradient and, therefore, an incipient abnormality in V/Q
matching. The usefulness of this assessment is limited because supplemental oxygen without an
accurate measure of F102, greatly distorts its interpretation. As most hypoxic patients should not be
stressed by breathing room air, measurements are usually made while the patient receives oxygen.
Therefore, the P(A-a)O2 gradient has significant limitations. In the absence of hypercarbia, all hypoxemic
patients except those with low inspired partial pressure of oxygen will have a widened A-a gradient. The
use of this value gives no information about the cause of hypoxemia, but should prompt the physician to
search for one.
P(A-a)O2 harus <10 mmHg (<1.3 kPa) pada dewasa muda dan <20 mmHg (<2.7 kPa) pada semua pasien.
Normal gradient pada hypoxemia seperti halnya pada hipoventilasi; dimana peningkatan gradien pada
penyebab lain (contoh, Ketidaksesusaian V/Q) sangat bertanggung jawab terjadinya hipoksemia. Selain
kemampuan untuk menjumlah tingginya A-a dan oleh karena itu abnormal yang baru terjadi pada
penyesuaian V/Q. Kegunaan dari penanganan ini terbatas karena suplementasi oksigen tanpa
pengukuran FI02 yang adekuat, dapat mengubah hasil interpretasi. Kebanyakan pasien hipoksemic
seharusnya tidak stress pada pernapasan ruang udara, pengukuran biasanya dilakukan ketika pasien
menerima oksigen. Selain itu, gradient P(A-a)O2 memiliki batasan yang berarti. Pada kurangnya
hiperkarbia, seluruh pasien hipoxemik kecuali pada pasien dengan rendahnya inspirasi tekanan parsial
pada oksigen akan terjadi pelebaran gradient A-a. Pada penggunaan ini tidak memberikan informasi
penyebab hipoksemia, tetapi harus dianjurkan pada pemeriksa.

Numerous methods for quantifying hypoxemia gave been proposed to provide a mean of following the
degree of hypoxemia and to communicate this formation to other providers. The P:F ratio (where Pao2
is measured as mmHg and F102 is the fraction of inspired oxygen) is commonly used for quantifying the
degree of patient hypoxemia. It requires accurate assessment of F102, which is difficult in nonintubated
patient. Calculating the P.F ratio is a simple method both to assess the degree of hypoxemia and follow
it over time. Lower ratios indicate more severe hypoxemia. However, one must be cognizant of the fact
that Pao2 hence, the P:F ratio can be greatly modified by the application of positive and-expiratory
pressure and other recruitment maneuvers. Thus, different P:F ratios may be obtained for the same
among of P102.
Banyak metode untuk mengukur hipoksemia diusulkan untuk memberikan rata-rata mengikuti tingkat
hipoksemia dan berkomunikasi formasi ini untuk provider lain. rasio P:F (di mana PaO2 diukur sebagai
mmHg dan F102 adalah fraksi dari inspirasi oksigen) umumnya digunakan untuk mengukur tingkat
hipoksemia pasien. Hal ini membutuhkan penilaian yang akurat dari F102, yang sulit pada pasien nonintubasi. Menghitung rasio PF adalah metode sederhana baik untuk menilai tingkat hipoksemia dan
mengikutinya dari waktu ke waktu. Rasio yang lebih rendah menunjukkan hipoksemia lebih parah.
Namun, salah satu harus menyadari fakta bahwa PaO2 - maka, rasio P:F - dapat sangat dimodifikasi oleh
penerapan tekanan positif dan ekspirasi dan manuver perekrutan lainnya. Dengan demikian, perbedaan
rasio P:F dapat diperoleh untuk hal yang sama di antara dari P102.
B. Hypercapnia
Hypercapnic respiratory failure is caused by either excess CO2 production (Vco2) or decreases effective
alveolar ventilation (VA) as is evident from the equation:
Gagal napas hiperkapnia disebabkan oleh salah satu produksi CO2 berlebih (Vco2) atau menurun
ventilasi alveolar yang efektif (VA) seperti terbukti dari persamaan:
Pco2= K . Vco2/VA
Pco2= K . Vco2/VA
Therefore, for a constant Vco2, one or more factors described in the equation for alveolar minute
ventilation given below must be present to cause hypercapnia:
Oleh karena itu, untuk VCO2 konstan, satu atau lebih faktor yang dijelaskan dalam persamaan untuk
ventilasi menit alveolar diberikan di bawah ini harus ada untuk menyebabkan hiperkapnia:
VA= (VT-VD)f
VA= (VT-VD)f
where VA is minute alveolar ventilation, VT is tidal volume, VD is dead space, and f is respiratory
frequency.

dimana VA adalah ventilasi alveolar menit, VT adalah volume tidal, VD adalah ruang mati, dan f adalah
frekuensi pernapasan.
Hypercapnia, resulting from either decreased VT or F, occurs with drug ingestion, anesthesia, depression
of the medullary center for respiration, and fatigue, for example, An elevated Paco2 normally increases
ventilator drive. Therefore, hypercapnic respiratory failure implies that the patient is unable to sustain
minute ventilation (f x VT).
Hiperkapnia, hasil dari penurunan VT atau F, terjadi dengan menelan obat, anestesi, depresi pusat
medula untuk respirasi, dan kelelahan, misalnya, peningkatan Paco2 secara normal meningkat ventilator
drive. Oleh karena itu, kegagalan pernafasan hiperkapnia termasuk bahwa pasien tidak dapat
mempertahankan ventilasi menit (fx VT).
Treatment of decreased VT or respiratory rate may require reversal of sedation or other drugs,
intubation/mechanical ventilation to rest fatigued muscle, nutrition, respiratory stimulants, or
treatment of other possible primary causes. Measures of ventilator mechanics, such as peak negative
inspiratory pressure and forced vital capacity (FVC), monitor a patients course and may signal when
endotracheal intubation and mechanical ventilation are warranted, especially in neuromuscular disorder
such as myasthenia gravis and Guillain-Barre syndrome. A single measurement is less useful than
measurements made overtime. Negative inspiratory pressure below -20 to 25 cm H2O or an FVC <10
mL/kg, or both, should raise concern that a patients ventilator mechanics may be sufficiently impaired
to warrant tracheal intubation and mechanical ventilation.
Pengobatan penurunan VT atau laju pernapasan mungkin memerlukan pembalikan sedasi atau obat lain,
intubasi / ventilasi mekanik untuk beristirahat otot lelah, nutrisi, stimulan pernapasan, atau pengobatan
penyebab utama lain yang mungkin. Tindakan mekanika ventilator, seperti puncak tekanan inspirasi
negatif dan memaksa kapasitas vital (FVC), memantau pasien dan dapat sinyal ketika intubasi
endotrakeal dan ventilasi mekanik dijamin, terutama dalam gangguan neuromuskuler seperti
myasthenia gravis dan sindrom Guillain-Barre. Sebuah pengukuran tunggal kurang berguna daripada
pengukuran yang dilakukan lembur. Tekanan inspirasi negatif di bawah -20 sampai 25 cm H2O atau FVC
<10 mL / kg, atau keduanya, harus meningkatkan kekhawatiran bahwa mekanik ventilator pasien
mungkin cukup terganggu untuk menjamin intubasi trakea dan ventilasi mekanik.
Increased physiologic dead space (VD) may also produce hypercapnia and is another type of mismatch
illustrated in Figure 4-1. When gas flow to and from airways remains adequate but blood flow is
absolutely or relatively diminished, CO2 does not have the opportunity to diffuse out of the pulmonary
circulation, and CO2-rich blood is returned to the left atrium. Increased dead space ventilation may
occur in respiratory muscle fatigue from any cause, leading to rapid shallow breathing. Increased VD
may also be seen in hypovolemia, pulmonary embolism, poor cardiac output, or when the regional
airway pressure is relatively higher than the regional perfusion pressure, reducing pulmonary blood flow
in that area.
Peningkatan ruang mati fisiologis (VD) juga dapat menghasilkan hiperkapnia dan jenis lain dari
ketidakcocokan yang diilustrasikan pada Gambar 4-1. Ketika aliran gas ke dan dari saluran udara tetap

memadai tapi aliran darah benar-benar atau relatif berkurang, CO2 tidak memiliki kesempatan untuk
berdifusi keluar dari sirkulasi paru, dan darah yang kaya CO2 dikembalikan ke atrium kiri. Peningkatan
ventilasi ruang mati dapat terjadi kelelahan otot pernafasan akibat penyebab apa pun, yang mengarah
ke pernapasan dangkal cepat. Peningkatan VD juga dapat dilihat di hipovolemia, emboli paru, curah
jantung yang buruk, atau ketika tekanan udara daerah relatif lebih tinggi dari tekanan perfusi regional,
mengurangi aliran darah paru di daerah itu.
Strategies to reduce dead space may include reduction in peak or mean airway pressure, if the patient is
receiving mechanical ventilation, augmentation of intravascular volume and/or cardiac output, or
treatment of other causes for limited pulmonary blood flow. It may be possible to compensate for
hypercapnia due to high VD by modifying parameters to increase minute ventilation during mechanical
ventilation while the cause of hypercapnia is sought and corrected. Because of the high solubility of
CO2, a diffusion barrier rarely ever occurs. Increased CO2 production may contribute to hypercapnia
secondary to either excess carbohydrate nutritional calories or extreme hypercatabolic conditions (eg,
burns, hyperthyroidism, persistent fever).
Strategi untuk mengurangi ruang mati dapat mencakup pengurangan puncak atau rata-rata tekanan
udara, jika pasien menerima ventilasi mekanik, pembesaran volume intravaskular dan / atau cardiac
output, atau pengobatan penyebab lain untuk aliran darah paru yang terbatas. Dimungkinkan untuk
mengkompensasi hiperkapnia karena VD tinggi dengan memodifikasi parameter untuk meningkatkan
ventilasi menit selama ventilasi mekanik sedangkan penyebab hiperkapnia dicari dan diperbaiki. Karena
kelarutan tinggi CO2, penghalang difusi jarang pernah terjadi. Peningkatan produksi CO2 dapat
berkontribusi untuk hiperkapnia sekunder baik karbohidrat kalori gizi berlebih atau kondisi
hypercatabolic ekstrim (misalnya, luka bakar, hipertiroidisme, demam persisten).
C. Mixed Respiratory Failure
Patients commonly demonstrate characteristics of both pathophysiologic categories of ARF during the
course of illness. An understanding of the underlying pathophysiology of each, therefore, is necessary
for planning therapeutic support. Several related disease processes often act in concert or synergistically
to compound respiratory failure. For example, the patient with chronic pulmonary disease and a large
dead space often has associated heart failure, which increases V/Q mismatching and worsens
hypoxemia.
Pasien biasanya menunjukkan karakteristik dari kedua kategori patofisiologi dari ARF selama perjalanan
penyakit. Pemahaman tentang patofisiologi yang mendasari masing-masing, oleh karena itu, perlu untuk
merencanakan dukungan terapi. Beberapa proses penyakit terkait sering bertindak dalam konser atau
sinergis untuk senyawa kegagalan pernapasan. Sebagai contoh, pasien dengan penyakit paru kronis dan
ruang mati yang besar sering dikaitkan telah gagal jantung, yang meningkatkan ketidakcocokan V/Q dan
memperburuk hipoksemia.

IV. MANIFESTATIONS OF ACUTE RESPIRATORY FAILURE

A. Clinical Presentation of Respiratory Distress


Clinical manifestations of respiratory distress commonly include signs and symptoms of hypoxemia,
hypercapnia, or both. These include:

Altered mental status ranging from agitation to somnolence


Evidence of increased work or breathing, such as nasal flaring in infants, use of accessory
respiratory muscles, intercostal/suprasternal/supraclavicular muscle retraction, tachypnea,
hyperpnea, or a paradoxical or dysynchronous breathing pattern (Figure 4-2)
Bradypnea
Cyanosis of mucosal membranes (eg, tongue, mouth) or nail beds
Diaphoresis, tachycardia, hypertension, and other signs of catecholamine release

Manifestasi klinis dari gangguan pernapasan umum termasuk tanda-tanda dan gejala hipoksemia,
hiperkapnia, atau keduanya. Ini termasuk:

Perubahan status mental mulai dari pergerakan untuk mengantuk


Bukti peningkatan kerja atau pernapasan, seperti hidung melebar pada bayi, penggunaan otot
pernafasan aksesori, interkostal/suprasternal/supraklavikula retraksi otot, takipnea, hiperpnea,
atau pola pernapasan paradoks atau dysynchronous (Gambar 4-2)
Bradypnea
Sianosis membran mukosa (misalnya, lidah, mulut) atau tempat tidur kuku
Diaphoresis, takikardia, hipertensi, dan tanda-tanda pelepasan katekolamin

B. Diagnostic Test
Pulse oximetry can be used to rapidly evaluate oxygenation in patient with respiratory distress by
estimating the arterial oxyhemoglobin saturation (Chapter 6). However, pulse oximetry provides no
assessment for hypercapnia. Arterial blood gas analysis is commonly used in severely ill patients to
determine the two primary measure of respiratory failure, the Pao2 and Paco2, as well as pH. Additional
test such as electrolytes, hematocrit, and drug levels may provide clues to the underlying etiology of ARE
Chest radiography in combination with these laboratory test is invaluable in suggesting the underlying
pathophysiology of ARE
Pulse oximetry dapat digunakan secara cepat mengevaluasi oksigenasi pada pasien dengan gangguan
pernapasan dengan memperkirakan saturasi oksihemoglobin arteri (Bab 6). Namun, pulse oximetry
tidak memberikan penilaian untuk hiperkapnia. Analisa gas darah arteri umumnya digunakan pada
pasien yang sakit parah untuk menentukan dua ukuran utama kegagalan pernapasan, Pao2 dan Paco2,
serta pH. Tes tambahan seperti elektrolit, hematokrit, dan kadar obat dapat memberikan petunjuk
etiologi yang mendasari. Gambaran dada radiografi dalam kombinasi dengan uji laboratorium ini sangat
berharga dalam menyarankan patofisiologi yang mendasari.

V. MANAGEMENT CONSIDERATIONS

A. Oxygen Supplementation
Most patients with ARF require supplemental oxygen. Oxygen transfer from alveolar gas to capillary
blood occurs by diffusion across the alveolar-capillary membrane and is driven by the oxygen partialpressure gradient between the PAO2 and the Po2 of the pulmonary capillary blood. In most cases of ARF
the PAO2 can be substantially increased by use of supplemental oxygen, thus increasing the gradient
across the membrane and improving the Pao2.
Kebanyakan pasien dengan kegagalan respiratori akut membutuhkan oksigen. Mentransfer oksigen dari
gas alveolar darah kapiler terjadi dengan difusi melintasi membran alveolar-kapiler dan didorong oleh
oksigen parsial-gradien tekanan antara Pao2 dan Po2 darah kapiler paru. Dalam kebanyakan kasus
kegagalan respiratori akut Pao2 dapat meningkat secara substansial dengan menggunakan oksigen,
sehingga meningkatkan gradien melintasi membran dan meningkatkan Pao2.
Supplemental oxygen can be provided by a variety of devices (Figure 4-3). The effectiveness of each is
determined by its capacity to deliver sufficient oxygen at a high enough flow rate to match the patients
spontaneous inspiratory flow rate. Matching between the flow capacity of the oxygen device and the
patients inspiratory flow demand determines how much room air is entrained by the nonintubated
patient breathing in an open system. Any entrained room air (F102=0.21) will dilute (decrease) the F102
of the delivered gas in such a way that the tracheal F102, and hence PAO2, may be considerably lower
than the F102 delivered from the oxygen source. Therefore, oxygen-supplement system are usually
classified as high oxygen (capable of delivering up to 100%voxygen), controlled oxygen (set oxygen
percentage), or low oxygen. Similarly, the devices are also categorized as either high flow, moderate
flow, or low flow, reflecting the flow-delivery capacity of the gas at the preset F102 level.
Oksigen dapat diberikan oleh berbagai perangkat (Gambar 4-3). Efektivitas setiap ditentukan oleh
kemampuannya untuk memberikan oksigen yang cukup pada tingkat aliran yang cukup tinggi untuk
mencocokkan laju aliran inspirasi spontan pasien. Pencocokan antara kapasitas aliran perangkat oksigen
dan permintaan aliran inspirasi pasien menentukan berapa banyak ruang udara oleh pernapasan pasien
non-intubasi dalam sistem terbuka. Setiap ruangan udara (FIO2 = 0,21) akan mencairkan (penurunan)
FIO2 gas disampaikan sedemikian rupa bahwa FIO2 trakea, dan karenanya Pao2, mungkin jauh lebih
rendah dari FIO2 disampaikan dari sumber oksigen. Oleh karena itu, sistem oksigen suplemen biasanya
diklasifikasikan sebagai oksigen yang tinggi (mampu memberikan hingga 100% oxygen), oksigen
dikendalikan (set persentase oksigen), atau oksigen rendah. Demikian pula, perangkat juga
dikategorikan sebagai aliran tinggi, aliran moderat, atau aliran rendah, mencerminkan kapasitas aliranpengiriman gas pada tingkat FIO2 yang telah ditetapkan.

For example, a tachypneic and hyperpneic patient will have a high inspiration flow rate during each
breath. In such cases, hypoxemia is not likely to respond well to oxygen supplementation by nasal
cannula because it is a low-oxygen, low-flow system and cannot match the patients high inspiratory

flow rate. Room air will be entrained during inspiration, and the tracheal F102 will be reduced. A highoxygen, high-flow system should be selected for this type of patient.
Sebagai contoh, pasien tachypneic dan hyperpneic akan memiliki laju aliran inspirasi yang tinggi pada
setiap napas. Dalam kasus tersebut, hipoksemia tidak mungkin merespon dengan baik untuk
suplementasi oksigen dengan kanula nasal karena merupakan oksigen rendah, sistem aliran rendah dan
tidak bisa cocok laju aliran inspirasi yang tinggi pasien. Udara ruangan akan tertahan selama inspirasi,
dan FIO2 trakea akan berkurang. Tinggi oksigen, sistem aliran tinggi harus dipilih untuk jenis pasien.
1. Low-flow Nasal Cannula
Short prongs of the nasal cannula are inserted into the nares. Oxygen (100%) is delivery through the
cannula, but at a rate between 0.5 and 5 L/min. The resulting F102 depends on the patients minute
ventilation and, therefore, cannot be precisely controlled, but the maximal tracheal F102 in not likely to
exceed 0.4 to 0.5 (40% to 50%). Higher flow rates do not result in much higher F102 levels and have a
drying and irritating effect on nasal mucosa. The nasal cannula is comfortable and well tolerated by
many patients with ARF in whom precise control of F102 is not necessary it is a low-flow, low-oxygen
device.
Prongs singkat dari kanula hidung dimasukkan ke dalam lubang hidung. Oksigen (100%) adalah
pengiriman melalui kanula, tapi pada tingkat antara 0,5 dan 5 L / menit. FIO2 yang dihasilkan tergantung
pada ventilasi menit pasien dan, oleh karena itu, tidak dapat dikontrol secara tepat, tetapi trakea FIO2
maksimal tidak akan melebihi 0,4-0,5 (40% sampai 50%). Laju aliran yang lebih tinggi tidak menghasilkan
tingkat FIO2 jauh lebih tinggi dan memiliki pengeringan dan efek iritasi pada mukosa hidung. Kanula
hidung nyaman dan ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien dengan kegagalan respiratori akut di
antaranya kontrol yang tepat dari FIO2 tidak perlu itu adalah aliran rendah, perangkat rendah oksigen.
2. High-Flow Nasal Cannula
In contrast to the low-flow cannulas, high-flow nasal cannula system involve delivery of heated and
humidified oxygen via special devices (eg, Vapotherm, Optiflow) at rates up to 50 L/min provide higher
amounts of F102 in patients with high minute ventilation requirements by matching the patients
inspiratory demands and minimizing air dilution. These devices may generate positive end-expiratory
pressure that is difficult to measure and have the potential for causing barotraumas.
Berbeda dengan Kanula aliran rendah, aliran tinggi sistem kanula nasal melibatkan pengiriman
dipanaskan dan dilembabkan oksigen melalui perangkat khusus (misalnya, Vapotherm, Optiflow) sampai
dengan 50 L / menit memberikan jumlah yang lebih tinggi dari F102 pada pasien dengan kebutuhan
ventilasi yang tinggi dengan mencocokkan tuntutan inspirasi pasien dan meminimalkan pengenceran
udara. Perangkat ini dapat menghasilkan tekanan akhir ekspirasi positif yang sulit untuk mengukur dan
memiliki potensi untuk menyebabkan barotraumas.
3. Air-Entrainment Face Mask

Air-entrainment masks (also called Venturi masks) deliver oxygen through a jet-mixing devices that
increases the velocity of oxygen and causes a controlled entrainment. The F102 can be more precisely
controlled from 0.24 to 0.5 (24% to 50%) at high-flow rates simply by selecting the interchangeable jet
nozzle and adjusting the oxygen flow rate. It Is a high-flow, controlled-oxygen device.
Sungkup Air-entrainment (juga disebut sungkup Venturi) memberikan oksigen melalui perangkat jetmixing yang meningkatkan kecepatan oksigen dan menyebabkan entrainment dikendalikan. F102 dapat
lebih tepat dikendalikan 0,24-0,5 (24% sampai 50%) pada tingkat aliran tinggi hanya dengan memilih
nosel jet dipertukarkan dan menyesuaikan laju aliran oksigen. Ini Adalah aliran tinggi, perangkat yang
dikendalikan oksigen.
4. Aerosol Face mask
The commonly used aerosol face mask combines a variable oxygen setting and moderate flows. The
mask, which has large side holes, is attached by large-bore tubing to a nebulizer that blends 100%
oxygen and room air to deliver gas at a preset F102 level. Flow matching can be evaluated by observing
the patient during spontaneous breathing. If the entire aerosol mist disappears from the mask during
inhalation, the patients inspiratory flow demands are probably exceeding the capacity of the nebulizer
and room air is being entrained. The aerosol face mask is a variable oxygen, moderate-flow devices.
Yang umum digunakan sungkup wajah aerosol dengan menggabungkan pengaturan oksigen variabel dan
arus moderat. Sungkup, yang memiliki lubang sisi yang besar, terpasang dengan besar-menanggung
tubing ke nebulizer yang memadukan 100% oksigen dan udara ruangan untuk memberikan gas pada
tingkat F102 yang telah ditetapkan. Pencocokan aliran dapat dievaluasi dengan mengamati pasien
selama pernapasan spontan. Jika seluruh aerosol kabut menghilang dari sungkup selama inhalasi, aliran
inspirasi pasien mungkin melebihi kapasitas nebulizer dan ruang udara sedang entrained. Sungkup
Aerosol adalah perangkat oksigen variabel, aliran sedang.
5. Reservoir face mask
The reservoir face mask incorporates a reservoir bag from which the patient breathes. This bag is filled
with 100% oxygen from a supply source. The flow rate is adjusted so that the bag remains completely or
partially distended throughout the respiratory cycle. When the mask is properly applied, oxygen delivery
to the nonintubated patient can be maximized but rarely exceeds an F102 of 0.6 to 0.9. The reservoir
face mask is a high oxygen, high-flow device.
Sungkup wajah reservoifr menggabungkan tas reservoir dimana pasien bernafas. Tas ini diisi dengan
100% oksigen dari sumber pasokan. Laju aliran disesuaikan sehingga tas tetap sepenuhnya atau
sebagian buncit sepanjang siklus pernapasan. Ketika sungkup diterapkan dengan baik, pengiriman
oksigen ke pasien non intubasi dapat dimaksimalkan tapi jarang melebihi sebuah F102 dari 0,6-0,9.
Sungkup wajah reservoir adalah -oxygen tinggi, perangkat high-flow.
6. Resuscitation Bag-Mask Unit

Although not commonly considered an oxygen-supplement device, bag mask unit are usually included
with other emergency equipment and, therefore, are readily accessible. When the mask is held firmly
over the patients face, room air entrainment is largely excluded. If the oxygen flow to the bag is kept
high (15 L/min), a high-oxygen supply is provided at sufficient flow. The resuscitation bag need not be
compressed to supply oxygen. It is a high-oxygen, high-flow device.
Meskipun tidak sering dianggap sebagai perangkat suplemen oksigen, Unit tas -mask biasanya
disertakan dengan peralatan darurat lainnya dan, oleh karena itu, mudah diakses. Ketika topeng
diadakan tegas di wajah pasien, entrainment udara ruangan sebagian besar dikecualikan. Jika aliran
oksigen ke tas disimpan tinggi (15 L / min), pasokan tinggi oksigen diberikan pada aliran yang cukup.
Tas resusitasi tidak perlu dikompresi untuk memasok oksigen. Ini adalah tinggi oksigen, perangkat highflow.
B. Pharmacologic Adjuncts.
Many diseases that cause ARF produce similar anatomic derangements, including bronchial
inflammation, mucosal edema, smooth muscle contraction, and increased mucus production and
viscosity. Each of these processes may contribute to obstruction of airway gas flow, increased airway
resistance, mismatch, and elevated VD. Some pharmacologic agents may be helpful in the care of such
patients and may directly alter shunt or dead-space effects.
Banyak penyakit yang menyebabkan kegagalan respirasi akut menghasilkan derangements anatomi yang
sama, termasuk peradangan bronkial, edema mukosa, kontraksi otot polos, dan peningkatan produksi
lendir dan viskositas. Masing-masing proses ini dapat berkontribusi untuk obstruksi aliran gas napas,
peningkatan resistensi saluran napas, ketidakcocokan, dan VD tinggi. Beberapa agen farmakologis dapat
membantu dalam perawatan pasien tersebut dan dapat langsung mengubah shunt atau efek deadspace.
1. B2-Agonist
Inhaled B2-agonist are important therapy in patients with ARF secondary to many causes. Stimulation of
B2-adrenergic receptors causes bronchial and vascular smooth-muscle relaxation. These agents are
typically administered by metered-dose inhaler or by intermittent or continuous nebulization (Table 42). On rare occasion, in very critically ill patients with obstructive airway disease, B2-agonists are
administered by both inhalation and subcutaneous injection. Long-acting inhaled agents do not have a
role in the management of patients with acute respiratory deterioration. Racemic epinephrine aerosol is
an established therapy for upper airway obstruction in children with croup and is also used for laryngeal
edema in adults.
Inhalasi B2-agonis adalah terapi yang penting pada pasien dengan kegagalan respirasi akut sekunder
untuk banyak penyebab. Stimulasi reseptor B2-adrenergik menyebabkan bronkial dan pembuluh darah
relaksasi otot polos. Agen ini biasanya dikelola oleh meteran-dosis inhaler atau intermiten atau kontinu
nebulization (Tabel 4-2). Pada kesempatan langka, pada pasien yang sangat kritis dengan penyakit
saluran napas obstruktif, B2-agonis dikelola oleh inhalasi dan injeksi subkutan. Long-acting agen inhalasi

tidak memiliki peran dalam pengelolaan pasien dengan kerusakan saluran pernapasan akut. Rasemat
epinefrin aerosol merupakan terapi yang didirikan untuk obstruksi jalan napas atas pada anak-anak
dengan croup dan juga digunakan untuk edema laring pada orang dewasa.

2. Anticholinergic Agents
Ipratropium bromide competes with acetylcholine at the bronchial receptor site, resulting in bronchial
smooth-muscle relaxation. This agent is delivered by metered-dose inhaler or nebulization (Table 4-2).
Ipratropium has a more delayed onset of action than B2-agonists and has more consistent
bronchodilatory effects in COPD than in asthma. The addiction of ipratropium to albuterol appears to
have an addictive benefit in approximately 30% of asthma patients. Tiotropium is a long-acting
anticholinergic bronchodilator that has sustained bronchodilator effects in COPD patients, but its use in
acute exacerbations is not recommended.
Bromide ipratropium bersaing dengan asetilkolin pada situs reseptor bronkial, sehingga relaksasi otot
polos bronkial. Agen ini dialirkan oleh inhaler meteran-dosis atau nebulization (Tabel 4-2). Ipratropium
memiliki onset lebih lambat aksi dari B2-agonis dan memiliki efek saluran pernafasan yang lebih
konsisten dalam PPOK daripada di asma. Kecanduan ipratropium untuk albuterol tampaknya memiliki
manfaat adiktif di sekitar 30% pasien asma. Tiotropium adalah bronkodilator antikolinergik long-acting
yang telah dipertahankan efek bronkodilator pada pasien PPOK, namun penggunaannya dalam
eksaserbasi akut tidak dianjurkan.
3. Corticosteroids
The central role of inflammation in obstructive airway disease is well established, and the benefit from
aggressive or corticosteroid use in asthmatic patients with ARF is well documented. In addition,
corticosteroids may be decrease B-receptor tachyphylaxis. Limited consensus exists on dosing schedules
in asthma. Doses of methylprednisolone of 80 mg/24 hour have been as effective as >360 mg/24 Hour.
Some clinicians use doses equivalent to those given for asthma when treating COPD, whereas other
begin with doses equivalent to 1 mg/kg/24 Hour, adjusting as patient response dictates. The intravenous
and oral routes are equally effective. Careful monitoring of corticosteroid side effects is warranted.
Acute myopathies have been described after moderate to high dosages of corticosteroids in patients
with COPD and/r asthma. After the acute exacerbation, inhaled corticosteroids are often useful adjuncts
to therapy and may allow reduction in systemic corticosteroid dosage. However, routine us of
inhalational agents is not recommended in the setting of acute severe bronchospasm.
Peran sentral peradangan pada penyakit saluran napas obstruktif total, dan manfaat dari penggunaan
agresif atau kortikosteroid pada pasien asma dengan kegagalan respirasi akut didokumentasikan dengan
baik. Selain itu, kortikosteroid dapat menurunkan tachyphylaxis B-reseptor. Konsensus terbatas ada di
dosis jadwal pada asma. Dosis methylprednisolone 80 mg / 24 jam telah seefektif > 360 mg / 24 Jam.
Beberapa dokter menggunakan dosis setara dengan yang diberikan untuk asma ketika merawat COPD,
sedangkan lainnya mulai dengan dosis setara dengan 1 mg / kg / 24 Jam, menyesuaikan dengan perintah

respon pasien. Rute intravena dan oral sama-sama efektif. Pengawasan terhadap efek samping
kortikosteroid dibenarkan. Miopati akut telah dijelaskan setelah sedang sampai dosis tinggi
kortikosteroid pada pasien dengan PPOK dan/ asma. Setelah eksaserbasi akut, kortikosteroid inhalasi
sering tambahan yang berguna untuk terapi dan memungkinkan pengurangan dosis kortikosteroid
sistemik. Namun, rutin kami agen inhalasi tidak direkomendasikan dalam pengaturan bronkospasme
akut.

4. Antibiotics
Bacterial infection (bronchitis/pneumonia) frequently precipitates ARE antibiotics should be used when
there is clinical suspicion that bacterial pulmonary infection is present (eg, change in sputum
characteristics, pulmonary infiltrates in the chest radiograph, fever, leukocytosis), and they should be
chosen to effectively treat usual pathogens (Chapter 11). Therapy should be subsequently adjusted
when culture and sensitivity data become available.
Infeksi bakteri (bronchitis / pneumonia) sering dengan cepat pada kegagalan respirasi akut sehingga
antibiotik harus digunakan bila ada kecurigaan klinis bahwa infeksi paru bakteri (misalnya, perubahan
karakteristik sputum, infiltrat paru di rontgen dada, demam, leukositosis), dan mereka harus dipilih
untuk secara efektif mengobati patogen biasa (Bab 11). Terapi harus disesuaikan kemudian ketika
budaya dan sensitivitas data yang tersedia.
C. Miscellaneous Agents and Treatments
Agent to hydrate or otherwise alter the composition, elasticity, or viscosity of mucus have been used,
although their efficacy has not been demonstrated except in selected patient groups (eg, patients with
cystic fibrosis). Example of these agents include mucolytics such as acetylcysteine or propylene glycol,
bronchorrheic agent such as saturated solution of potassium iodide or glycerol guaiacolate, and
alkalinizing agents such as aerosolized sodium bicarbonate.
Postural drainage, chest physical therapy, nasotracheal suctioning, incentive spirometry, intermittent
positive pressure breathing, and cough/deep-breathing exercises have long been used. Also available
are newer measures such as positive expiratory pressure therapy, vest devices (high-frequency chest
oscillator), and mattress percussion devices. Many of these modalities may be applied to treat specific
symptoms of ARF or the cause of respiratory failure. The effectiveness and positive impact of the
contributions of the bedside nurse of the respiratory care practitioner and the avoidance of
intubation/mechanical ventilation should not be underestimated.
Agen untuk menghidrasi atau mengubah komposisi, elastisitas, atau viskositas lendir telah digunakan,
meskipun keberhasilan mereka belum menunjukkan hasil kecuali dalam kelompok pasien yang dipilih
(misalnya, pasien dengan fibrosis kistik). Contoh obat ini termasuk mukolitik seperti asetilsistein atau

propilen glikol, agen bronchorrheic seperti larutan jenuh kalium iodida atau gliserol guaiacolate, dan zat
basa agen seperti aerosol sodium bikarbonat.
Drainase postural, terapi fisik dada, penyedotan nasotrakeal, spirometri insentif, intermiten pernapasan
tekanan positif, dan latihan batuk/pernafasan mendalam telah lama digunakan. Juga tersedia adalah
langkah-langkah yang lebih baru seperti terapi tekanan ekspirasi positif, perangkat rompi (frekuensi
tinggi osilator dada), dan perangkat kasur perkusi. Banyak dari modalitas tersebut dapat diterapkan
untuk mengobati gejala spesifik kegagalan respirasi akut atau penyebab kegagalan pernafasan.
Efektivitas dan dampak positif dari kontribusi perawat samping tempat tidur dari praktisi perawatan
pernapasan dan menghindari intubasi / ventilasi mekanik tidak boleh dianggap remeh.

DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF ACUTE RESPIRATORY FAILURE

Acute respiratory failure is classified as hypoxemic, hypercapnic, or mixed. Arterial blood gas
measurements are the primary assessment tool for determining this classification.
The most common pathophysiologic mechanism for hypoxemic acute respiratory failure is
ventilation/perfusion mismatch.
Hypercapnic acute respiratory failure is primarily the result of a change in one or more
determinants of the alveolar minute ventilation equation: tidal volume, respiratory frequency,
and physiologic dead space.
Oxygen supplementation is commonly used to treat hypoxemia. The oxygen supply device that
is chosen must be capable of matching the oxygen and respiratory flow demands of the patient.
Pharmacologic and therapeutic adjuncts should be considered when treating patients with acute
respiratory failure.

DIAGNOSIS DAN PENANGANAN KEGAGALAN RESPIRATORI AKUT

gagal napas akut diklasifikasikan sebagai hypoxemic, hiperkapnia, atau campuran. Pengukuran
gas darah arteri adalah alat penilaian utama untuk menentukan klasifikasi ini.
Mekanisme patofisiologis yang paling umum untuk kegagalan pernafasan akut hypoxemic
ventilasi / perfusi mismatch.
hiperkapnia kegagalan pernafasan akut terutama hasil dari perubahan dalam satu atau lebih
faktor-faktor penentu persamaan menit ventilasi alveolar: volume tidal, frekuensi pernapasan,
dan ruang mati fisiologis.
Suplementasi oksigen umumnya digunakan untuk mengobati hipoksemia. Perangkat suplai
oksigen yang dipilih harus mampu mencocokkan oksigen dan aliran pernapasan tuntutan pasien.
Farmakologis dan terapi tambahan berarti harus dipertimbangkan ketika merawat pasien
dengan kegagalan pernafasan akut.

Anda mungkin juga menyukai