I.
PENDAHULUAN
Kelaianan kongenital pada laring dapat berupa laringomalasi, stenosis
subglotik, selaput di laring, kista kongenital, hemangioma, dan fistel
laringotrakea-esofagus.(1)
Laring bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan orang
dewasa. Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan oleh
tekanan jalan napas. Pada bayi dengan kelainan kongenital laring dapat
menyebabkan gejala sumbatan jalan napas, suara tangis melemah sampai tidak
ada sama sekali, serta kadang-kadang terdapat juga disfagia. Obstruksi jalan
napas sendiri dapat menyebabkan kegagalan tumbuh kembang, yang dapat
b. Perkembangan Janin
superior berasal dari lengkungan branchial keempat, menjadi jelas hari ke-33.
Pada hari ke-37, saraf laring kembali berasal dari lengkungan branchial
keenam menjadi jelas.(3,4)
Pada hari ke-40, laring dan tulang rawan dan otot-otot intrinsik terlihat
jelas. Pada hari ke-44, kartilago menjadi lebih berkembang, dan krikoid
membentuk cincin lengkap. Pada hari ke-48, epiglotis mencapai bentuk cekung
nya (concave shape). Kartilago hyoid diamati pada hari ke-51. Pada akhir fase
embrio, laring diidentifikasi dengan jelas dengan otot-otot yang intrinsik,
persarafan, suplai darah, dan tulang rawan. Lamina epitel melebur pada akhir
periode ini, menghasilkan pembukaan paten ke dalam trakea. Lanjutan
perkembangan laring merupakan ciri periode janin.(3,4)
Gambar: Perkembangan laring: 1. minggu ke-3 Pernapasan awal dibentuk dari primitive
foregut, 2. Minggu ke 4-5 septum trakeoesofageal (TE) dibentuk dari lipatan TE.(5)
Gambar: 1. Pertumbuhan laring dari tonjolan ke 4 dan 5; 2. Saluran primitive laring T-shaped
terdiri atas 3 bagian(5)
d. Pematangan organ
Selama kehamilan bulan ketiga, proses vokal berkembang dari arytenoid,
dan lamina tulang rawan tiroid di garis tengah. Selama bulan keempat, sel-sel
goblet dan kelenjar submukosa menjadi jelas. Tulang rawan epiglottis matang
untuk menjadi fibrocartilaginous antara bulan kelima dan ketujuh. Selama
periode ini, corniculate dan ujung tulang rawan menjadi jelas. Periode janin
berakhir dengan kartilago krikoid berubah dari pertumbuhan interstitial ke
perichondrial.(3)
e. Perkembangan postnatal
Perubahan utama terjadi pada laring postnatal adalah perubahan sumbu,
bentuk luminal, panjang, dan pertumbuhan proporsional dari elemen laring.
Laring tumbuh pesat selama 3 tahun pertama kehidupan, sedangkan aritenoid
tetap dengan ukuran yang sama. Aritenoid pada laring dewasa secara
proporsional lebih kecil daripada di laring anak .(3)
Dimulai pada usia 18-24 bulan , laring turun ke leher untuk mencapai posisi
akhir di vertebra C4 - C7 pada usia 6 tahun. Selama penurunan ini, sumbu
laring berubah dari posisi yang sedikit off horizontal (anteriorly shaped) ke
posisi horizontal. Laring memanjang sebagai hyoid, tiroid , dan tulang rawan
krikoid masing-masing terpisah satu sama lain (accordion effect). Kartilago
krikoid terus berkembang selama dekade pertama kehidupan, secara bertahap
berubah dari bentuk corong ke lumen dewasa yang lebih luas, sehingga tidak
lagi menjadi bagian tersempit dari saluran napas bagian atas.(3)
III.
ANATOMI LARING
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas atas. Bentuknya
menyerupai limas segitiga terpancung dengan bagian atas lebih besar daripada
bagian bawah. Bagian atas laring adalah aditus laring, sedangkan bagian
bawahnya adalah batas kaudal kartilago krikoid.(6)
Rongga laring dibagi atas 3 bagian yaitu supraglotis, glotis, dan subglotis.
Daerah supraglotis terdiri dari epilaring dan vestibulum. Epilaring merupakan
Otot-otot laring terdiri atas otot ekstrinsik dan otot instrinsik. Otot ekstrinsik
terdiri dari m. digastrikus, m. geniohioid, m. stilohioid, m. milohioid, m.
sternohioid, m. omohioid, dan m. tirohioid. Sedangkan otot intrinsik laring adalah
m. krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika, m. vokalis, m. tiroaritenoid, m.
ariepiglotika, m. krikotiroid, m. ariteoid transversum, m. ariteoid oblik, dan m.
krikoaritenoid posterior. .(6)
laringeus inferior yang merupakan cabang dari a. tiroid inferior dan a. laringeus
superior yang merupakan cabang dari a. tiroid superior. .(6)
IV.
LARINGOMALASI
1. DEFINISI
Laringomalasia merupakan suatu kelainan dimana terjadi kelemahan
struktur supraglotik sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran nafas.
Istilah laringomalasia pertama kali diperkenalkan oleh Jackson pada tahun
1942. Laringomalasia merupakan penyebab utama stridor pada bayi.
Laringomalasia biasanya bermanifestasi saat baru lahir atau dalam usia
beberapa minggu kehidupan berupa stridor inspirasi. .(6)
Berdasarkan
letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk
membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasinya adalah: Tipe 1,
yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih; Tipe 2,
yaitu memendeknya plika ariepiglotika; Tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis
ke arah posterior.(6)
Gambar :
Klasifikasi
laringomalasia.
(6)
2. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan beberapa laporan, sekitar 65- 75% kelainan laring pada
bayi baru lahir disebabkan oleh laringomalasia, dan masih mungkin
bentuk hipotonia
berpendapat
laringomalasia
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis,
untuk
diagnosis
laringomalasia
adalah
dengan
bahwa
laringoskopi
fleksibel
menyingkirkan
diagnosis
anomali
laring
(6)
10
Menurut Jackson dan Jackson, 1942, pada keadaan yang berat ini
maka intervensi bedah tidak dapat dihindari dan penatalaksanaan baku
adalah membuat jalan pintas berupa trakeostomi sampai masalah teratasi.
Namun pada anak-anak, resiko morbiditas dan mortalitas trakeostomi
berisiko tinggi.(6)
Pada tahun 1922, Iglauer mempelopori tindakan operasi pada
laringomalasia dengan cara membuang ujung epiglotis. Di tahun 1944,
Schwartz membuang sebagian epiglotis dengan irisan berbentuk V. Zalza
dkk, 1987 melaporkan pada akhir-akhir ini peran bedah endoskopi pada
struktur supra glotis telah menjadi alternatif dibanding trakeostomi, dan
memberikan harapan yang lebih baik. Peran bedah laring mikro dengan
menggunakan laser CO2 telah mulai digunakan sejak tahun 1970-an.
Vaugh merupakan orang pertama yang melakukan epiglotidektomi dengan
laser
Teknik
yang
dipilih
tergantung
pada
kelainan
laringomalasianya. (4,6)
11
Gambar :
Supraglottoplasti(6)
plika
ariepiglotika
yang
pendek
yang
menyebabkan
12
2. EPIDEMIOLOGI
Kelainan kongenital stenosis subglotis merupakan kelainan kongenital
ketiga yang paling sering terjadi pada laring, sekitar 15 % dari semua
kasus. Kondisi kelainan pada laring ini yang paling sering membutuhkan
penanganan trakeotomi pada bayi. Laki-laki dua kali lebih sering terkena
daripada perempuan.(7)
3. ETIOLOGI
Kelainan yang dapat menyebabkan stenosis subglotis ialah : (1)
a. Penebalan jaringan submukosa dengan hiperplasia kelenjar mucus dan
fibrosis
b. Kelainan bentuk tulang rawan krikoid dengan lumen yang lebih kecil
c. Bentuk tulang rawan krikoid normal dengan ukuran lebih kecil
d. Pergeseran cincin trakea pertama kea rah atas belakang ke dalam
lumen krikoid
4. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis pada kelainan stenosis subglotis biasanya muncul
dalam beberapa bulan pertama kelahiran. Gejala stenosis subglotis
biasanya tidak jelas sampai anak menunjukkan adanya gejala dari proses
inflamasi akut. Gejalanya klinis pada anak selama periode ini tidak jauh
berbeda dengan gejala pada infeksi laringotrakeobronkitis (croup). Gejala
yang paling umum dapat berupa stridor dengan atau tanpa gejala
gangguan pernapasan, anak mungkin mengalami batuk berdahak, tetapi
tangisan anak biasanya normal. Dikatakan suspek kelainan kongenital
stenosis subglotis ketika gejala-gejala tersebut berulang atau gejala
berkepanjangan melampaui waktu dari infeksi croup (1-3 hari).(7)
Gejala lain stenosis subglotis ialah dyspnea, retraksi di suprasternal,
epigastrium, intercostal serta subklavikula. Pada stadium yang lebih berat
akan ditemukan sianosis dan apnea, sebagai akibat sumbatan jalan napas,
sehingga mungkin juga terjadi gagal pernapasan (Respiratory distress).(1)
Pada pemeriksaan fisik, anak dengan kelainan kongenital stenosis
subglotis mungkin atau tidak terdapat gangguan dalam pernapasan secara
signifikan
yaitu
seperti
cuping
hidung,
sianosis,
dan
retraksi
13
14
mm. Stenosis subglotis yang disebabkan oleh kelainan bentuk tulang rawan
krikoid dilakukan terapi pembedahan dengan melakukan rekonstruksi.
Laryngotrakeoplasty dapat dilakukan tetapi hanya untuk kasus stenosis
subglotis yang parah. (1,2,7,8)
VI.
15
4. DIAGNOSIS
Selaput di laring (laryngeal web) pertama-tama harus didiagnosis
melalui visualisasi endoskopi. Laringoskopi dan bronkoskopi diperlukan
untuk menilai letak dari selaput, ketebalan, dan tingkat horisontal dan
vertikal. Selaput dapat terlihat tipis, transparan dan melibatkan pita suara
anterior, atau selaput juga dapat terlihat tebal, struktur berserat yang meluas
ke daerah inferior subglotis.(2,10)
Daerah posterior glottis biasanya tidak terlihat dan mungkin tertutup
oleh selaput interarytenoid. Evaluasi radiologi dapat membantu untuk
menilai letak dan luas dari selaput laring sebelum dilakukan bronkoskopi.
Foto polos lateral menggambarkan kesan sail sign yang berupa jaringan
persisten antara pita suara dan subglotis. (2,10)
5. PENATALAKSANAAN
Terapi dengan gejala sumbatan laring, dapat dilakukan pembedahan
yaitu bedah mikro laring yang membuang selaput laring dengan memakai
laringoskop suspensi. Dapat juga dilakukan dilatasi berulang, atau
trakeotomi dan pemakaian alat selipan laring (1,2)
6. PROGNOSIS
Prognosis jangka panjang untuk selaput kongenital laring (laryngeal
web) adalah baik.(2)
VII.
16
3. MANIFESTASI KLINIS
Kista saccular muncul lebih awal dengan gejala pada gangguan saluran
napas yang lebih berat, sementara kista vallecular cenderung munculnya
lambat dengan kesulitan makan dan gagal tumbuh. Dua pertiga dari anakanak dengan kista vallecular juga mengalami laryngomalacia. Perawatan
satu tahap endoskopi marsupialisation lebih efektif pada semua kasus yang
rata-rata tindak lanjuti selama tiga belas bulan.(13)
Gejala yang muncul tergantung pada ukuran kista dan letaknya dekat
dengan glotis dan dihubungkan dengan laryngomalasia. (13)
4. DIAGNOSIS
Neonatus dengan kista kongenital biasanya mengalami obstruksi jalan
napas atau gangguan pertumbuhan. Episode obstruksi jalan napas dapat
membingungkan dan di anggap sebagai akibat suatu gangguan kejang.
Suara dan proses menelan biasanya normal.(2)
5. PENATALAKSANAAN
Pengobatan masih kontroversial, terutama yang berkaitan dengan kista
saccular, beberapa percaya bahwa prosedur endoskopi lebih rentan
menyebabkan kekambuhan. Marsupialisation Endoskopi adalah cara yang
efektif untuk pengobatan kista duktus dan kista saccular yang terbatas pada
laring. (2,12,13)
Bila memungkinkan, kista harus di eksisi lebih baik secara endoskopi.
Jika hal ini tidak memungkinkan, maka dapat dilakukan aspirasi atau
17
marsupialisasi.
Pada
pasien
tersebut
diperlukan
trakeotomi
atau
pembedahan luar.(2,12,13)
VIII. HEMANGIOMA
1. DEFINISI
Hemangioma adalah tumor endotel dengan perilaku biologis yang unik.
Hemangioma tumbuh dengan pesat, hilang secara perlahan-lahan, dan tidak
pernah kambuh. Terdapat Tiga tahap dalam siklus hidup hemangioma, yang
masing-masing ditandai dengan beberapa penanda biologis dan prosesproses, yaitu (1) tahap berkembang biak (0 - 1 tahun), (2) tahap berinvolusi
(1 - 5 tahun), dan (3) fase involuted (> 5 tahun). Tahap ini biasanya
bergejala klinis yang jelas dan dapat dibedakan secara mikroskopis dan
immunohisto-kimia.(14)
Gambar : Hemangioma(11)
2.
subglottis tersebut.(15)
3. MANIFESTASI KLINIS
18
Pada anak-anak biasanya tanpa gejala saat lahir . Sebagaian lesi cepat
tumbuh dari usia 2-12 bulan, anak mengalami gangguan pernapasan
progresif yang awalnya intermiten kemudian terus menerus. Gejalanya
mirip dengan infeksi croup, manifestasi klinisnya berupa stridor biphasic,
batuk menggonggong, menangis normal atau serak, dan gagal tumbuh.
Kebanyakan pasien mengalami obstruksi jalan napas yang cukup signifikan
dan memerlukan intervensi. (15)
Pada pemeriksaan, anak dengan hemangioma subglottis mungkin tidak
mengalami gangguan pernapasan yang signifikan (pernafasan cuping
hidung, supraklavikula atau interkostalis, sianosis). Pada kepala dan leher
hasil pemeriksaan biasanya normal, meskipun setengah dari pasien mungkin
memiliki hemangioma kulit kepala dan leher. Pada endoskopi fleksibel tidak
menunjukkan lesi tetapi merupakan prosedur yang diperlukan untuk
menyingkirkan kelainan laring yang lainnya.(15)
4. DIAGNOSA
Bronkoskopi
kaku
diperlukan
untuk
menentukan
diagnosis
19
adalah
menyingkirkan
gangguan
sindrom
neurokutaneus.
PHACES
dengan
Hal
ini
penting
hemangioma
untuk
subglottis.
Haggstrom dkk baru-baru ini melaporkan pada 17 pasien berusia kurang dari
1 tahun yang didiagnosis memiliki hemangioma wajah dan hemangioma
saluran napas ukuran ( > 22 cm2 ). Delapan pasien (47%) memenuhi kriteria
untuk sindrom PHACES.(15)
Bila diagnosis tidak jelas, biopsi dilakukan pada lesi dengan hati-hati
karena risiko perdarahan yang signifikan. Radiologi polos leher dapat
menunjukkan penyempitan yang asimetris dari subglottis, yang dapat
membantu dalam menegakkan diagnosis sebelum endoskopi.(15)
5. PENATALAKSANAAN
Observasi biasanya sudah cukup untuk lesi kecil, yang tidak
menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan. Trakeostomi biasanya
diperlukan untuk mengamankan jalan napas sampai lesi regresi spontan,
biasanya pada usia 5 tahun.(15)
Injeksi steroid pada hemangioma kecil atau ukuran menengah dapat
menimbulkan involusi sekunder dan penekanan stimulasi estradiol lesi dan
meningkatkan kemampuan reaksi vasokonstriktor.(15)
Teknik lain yang dijelaskan termasuk carbon dioxide laser ablation,
cryosurgery, intralesional interferon atau injeksi agen sclerosing, dan
steroid sistemik. Dari beberapa teknik ini, Endoskopik laser ablasi yang
paling sering berhasil untuk pengobatan lesi unilateral yang kecil. Ablasi
lesi melingkar dalam pengobatan tunggal ditakutkan dapat menyebabkan
stenosis subglotis. Penyinaran eksternal memiliki tingkat keberhasilan 93%
untuk menyembuhkan hemangioma subglottis tetapi tidak digunakan saat
ini karena peningkatan risiko kanker tiroid . Hemangioma dapat kambuh
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Arsyad E,dkk. Kelainan kongenital laring. In: Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala & leher. Ed.6.Jakarta: 2007.p.237-238
2. Boies A. Gangguan laring jinak. In: Boies buku ajar penyakit THT. Ed.6.
Jakarta: .p.378-382
3. Tewfik TL,dkk. Embryology. In: Congenital malformations of the larynx.
Updated: Jun 19, 2013. Available from: www.medscape/congenital
malformation of the larynx/Embryology.html
4. Soliman, Ahmad. Congenital anomalies of the larynx. Philadelphia.
Department of otolaryngology-head & neck surgery, temple university.
USA: 2007.p.177-191
5. Font JP. Congenital laryngeal anomalies. Department of otolaryngology
The University of Texas Medical Branch. Texas: 2005
21
Congenital
Subglottic
Stenosis.
In:
Congenital
malformation
of
the
larynx/congenital
subglottic stenosis.html
8. Morrissey MSC, Bailey CM. Diagnosis and management of subglottic
stenosis after neonatal ventilation. Department of otolaryngology.
London:1990;65:1103-1104
9. Briscoe M, dkk. Pediatric congenital subglottic stenosis. Dept. of
otolaryngology. Update: June27, 2007
10. Bull TR. The larynx. In: Color atlas of ENT diagnosis. Ed.4. London,
UK:2003.p.210-218
11. Tewfik TL,dkk. Congenital laryngeal webs. In: Congenital malformations
of
the
larynx.
Updated:
www.medscape/congenital
Jun
19,
malformation
2013.
of
the
Available
from:
larynx/congenital
laryngeal webs.html
12. Tewfik TL,dkk. Congenital laryngeal atresia, cysts, and lymphangioma.
In: Congenital malformations of the larynx. Updated: Jun 19, 2013.
Available from: www.medscape/congenital malformation of the larynx/
Congenital laryngeal atresia, cysts, and lymphangioma.html
13. Prowse S, Knight L. Congenital cysts of the infant larynx. Int J pediatr
Otorhinolaryngol.2012 May:76(5):708-11
14. Marler JJ, Mulliken JB. Current management of hemangiomas and
vascular malformation. Clin plastic surg 32(2005) 99-116
15. Tewfik TL,dkk. Subglottic hemangioma. In: Congenital malformations of
the
larynx.
Updated:
www.medscape/congenital
Jun
19,
malformation
2013.
of
Available
the
from:
larynx/subglottic
hemangioma.html
22