Anda di halaman 1dari 22

KELAINAN KONGENITAL PADA LARING

I.

PENDAHULUAN
Kelaianan kongenital pada laring dapat berupa laringomalasi, stenosis
subglotik, selaput di laring, kista kongenital, hemangioma, dan fistel
laringotrakea-esofagus.(1)
Laring bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan orang
dewasa. Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan oleh
tekanan jalan napas. Pada bayi dengan kelainan kongenital laring dapat
menyebabkan gejala sumbatan jalan napas, suara tangis melemah sampai tidak
ada sama sekali, serta kadang-kadang terdapat juga disfagia. Obstruksi jalan
napas sendiri dapat menyebabkan kegagalan tumbuh kembang, yang dapat

berwujud lebih nyata daripada obstruksi jalan napas.(1,2)


II. EMBRIOLOGI
a. Prinsip umum perkembangan
Pengetahuan tentang perkembangan embrio dari laring sangat penting dalam
memahami bagaimana anomali kongenital muncul secara klinis dan bagaimana
penanganannya. Perkembangan laring dapat dibagi menjadi tahap prenatal dan
postnatal.(3)
Saat lahir, laring terletak di leher setinggi antara C1 dan C4 vertebra,
memungkinkan bernapas bersamaan atau vokalisasi dan penelanan.(3)
Pada usia 2 tahun, laring turun lebih kebawah, pada usia 6 tahun, mencapai
posisi dewasa antara vertebra C4 dan C7. Posisi baru ini memberikan jarak
yang lebih baik untuk fonasi (karena faring supraglottis lebih luas) dengan
menghilangkan fungsi pemisahan ini, yaitu, penelanan dan pernapasan.(3)

b. Perkembangan Janin

Perkembangan janin dapat dibagi menjadi tahap embrionik ( 0-8 minggu ),


ditandai dengan organogenesis, dan fase janin, ditandai dengan pematangan
organ.(3,4)
c. Organogenesis
Laring berkembang dari lapisan endodermal dan mesenkim yang berdekatan
dari foregut antara lengkungan branchial keempat dan keenam. Pada usia
kehamilan 20 hari , foregut pertama diidentifikasi dengan laryngotracheal alur
ventral. Pada usia kehamilan 22 hari, alur ini berdiferensiasi ke dalam sulcus
laring primitif dan primordial pernapasan, tunas paru-paru kiri dan kanan
muncul pada hari ke- 24. Lekuk laringotrakeal lebih dalam sampai tepi lateral
menyatu. Pada hari ke 26 , tabung ini turun lebih caudal, di mana trakea
menjadi terpisah dari kerongkongan oleh septum trakeoesofageal dengan
pembukaan slitlike ke faring. Fusi ini terjadi pada arah caudal ke kranial, dan
hasil fusi yang tidak lengkap dalam perembangan terus-menerus antara laring
atau trakea dan esofagus. Saluran pernapasan dan pencernaan berkembang
secara terpisah dari titik ini.(3,4,5)
Pada usia kehamilan 32 hari, perkembangan laring yang pertama jelas
dengan munculnya tojolan mesenchymal - arytenoid dari lengkungan branchial
keenam, berdekatan dengan ujung kranial dari laryngotracheal tube. Tonjolan
ini masing-masing berada di garis tengah dan ujung bawah dari hypobranchial
eminence untuk mengubah pembukaan vertikal laryngotracheal menjadi Tshaped aditus. Penekanan garis tengah saluran oleh tonjolan dalam
perkembangannya menyatu dengan lamina epitel, secara efektif saluran
menutup dari faring. Tonjolan arytenoid terus tumbuh keatas dan untuk
membedakan arytenoid dan corniculate kartilago dan lipatan aryepiglottis
primitive. (3,4)
Eminensia hypobranchial mencapai epiglottis dan cuneiform cartilage,
menyelesaikan struktur supraglottis. Kartilago tiroid berkembang dari pusat
chondrification bilateral dari lengkungan branchial keempat, krikoid dan
kartilago trakea berkembang dari lengkungan branchial keenam. Saraf laring

superior berasal dari lengkungan branchial keempat, menjadi jelas hari ke-33.
Pada hari ke-37, saraf laring kembali berasal dari lengkungan branchial
keenam menjadi jelas.(3,4)
Pada hari ke-40, laring dan tulang rawan dan otot-otot intrinsik terlihat
jelas. Pada hari ke-44, kartilago menjadi lebih berkembang, dan krikoid
membentuk cincin lengkap. Pada hari ke-48, epiglotis mencapai bentuk cekung
nya (concave shape). Kartilago hyoid diamati pada hari ke-51. Pada akhir fase
embrio, laring diidentifikasi dengan jelas dengan otot-otot yang intrinsik,
persarafan, suplai darah, dan tulang rawan. Lamina epitel melebur pada akhir
periode ini, menghasilkan pembukaan paten ke dalam trakea. Lanjutan
perkembangan laring merupakan ciri periode janin.(3,4)

Gambar: Perkembangan laring: 1. minggu ke-3 Pernapasan awal dibentuk dari primitive
foregut, 2. Minggu ke 4-5 septum trakeoesofageal (TE) dibentuk dari lipatan TE.(5)

Gambar: 1. Pertumbuhan laring dari tonjolan ke 4 dan 5; 2. Saluran primitive laring T-shaped
terdiri atas 3 bagian(5)

d. Pematangan organ
Selama kehamilan bulan ketiga, proses vokal berkembang dari arytenoid,
dan lamina tulang rawan tiroid di garis tengah. Selama bulan keempat, sel-sel
goblet dan kelenjar submukosa menjadi jelas. Tulang rawan epiglottis matang
untuk menjadi fibrocartilaginous antara bulan kelima dan ketujuh. Selama
periode ini, corniculate dan ujung tulang rawan menjadi jelas. Periode janin
berakhir dengan kartilago krikoid berubah dari pertumbuhan interstitial ke
perichondrial.(3)
e. Perkembangan postnatal
Perubahan utama terjadi pada laring postnatal adalah perubahan sumbu,
bentuk luminal, panjang, dan pertumbuhan proporsional dari elemen laring.
Laring tumbuh pesat selama 3 tahun pertama kehidupan, sedangkan aritenoid
tetap dengan ukuran yang sama. Aritenoid pada laring dewasa secara
proporsional lebih kecil daripada di laring anak .(3)
Dimulai pada usia 18-24 bulan , laring turun ke leher untuk mencapai posisi
akhir di vertebra C4 - C7 pada usia 6 tahun. Selama penurunan ini, sumbu
laring berubah dari posisi yang sedikit off horizontal (anteriorly shaped) ke
posisi horizontal. Laring memanjang sebagai hyoid, tiroid , dan tulang rawan
krikoid masing-masing terpisah satu sama lain (accordion effect). Kartilago
krikoid terus berkembang selama dekade pertama kehidupan, secara bertahap
berubah dari bentuk corong ke lumen dewasa yang lebih luas, sehingga tidak
lagi menjadi bagian tersempit dari saluran napas bagian atas.(3)
III.

ANATOMI LARING
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas atas. Bentuknya

menyerupai limas segitiga terpancung dengan bagian atas lebih besar daripada
bagian bawah. Bagian atas laring adalah aditus laring, sedangkan bagian
bawahnya adalah batas kaudal kartilago krikoid.(6)
Rongga laring dibagi atas 3 bagian yaitu supraglotis, glotis, dan subglotis.
Daerah supraglotis terdiri dari epilaring dan vestibulum. Epilaring merupakan

gabungan dari permukaan epiglotis, plika ariepiglotika dan aritenoid, sedangkan


vestibulum terdiri dari pangkal epiglotis, plika vestibularis, dan ventrikel daerah
glotis terdiri dari pita suara dan 1 cm di bawahnya. Daerah subglotis adalah dari
batas bawah glotis sampai dengan batas bawah kartilago krikoid.(6)
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid dan
beberapa tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U yang permukaan
atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendon dan
otot-otot. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago
tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata dan kartilago
kuneiformis.(6)
Jaringan elastis laring terdiri dari 2 bagian yaitu membran kuadrangular
supraglotis dan konus elastikus. Membran kuadrangular melekat di anterior pada
batas lateral epiglotis dan melingkar ke posterior dan melekat di kartilago
aritenoid dan kornikulata. Struktur ini dan mukosa yang melapisinya akan
membentuk plika ariepiglotika. Plika ini juga merupakan dinding medial dari
sinus piriformis.(6)
Konus elastikus merupakan struktur elastis yang lebih tebal dibanding
membran kuadrangular. Di bagian inferior melekat pada batas superior dari
kartilago krikoid yang kemudian berjalan ke atas dan medial melekat di superior
pada komisura anterior kartilago tiroid dan prosesus vokalis dari aritenoid. Di
antara perlekatan di superior ini konus menebal dan membentuk ligamen vokalis.
Di bagian anterior konus membentuk membran krikotiroid pada garis tengah.
Membran ini memadat dan membentuk ligamen krikotiroid. Ligamen-ligamen
dan membran ini akan menyatukan kartilago dan distabilkan oleh mukosa yang
meliputinya.(6)

Gambar : Kartilago dan ligamen pada laring.(6)

Otot-otot laring terdiri atas otot ekstrinsik dan otot instrinsik. Otot ekstrinsik
terdiri dari m. digastrikus, m. geniohioid, m. stilohioid, m. milohioid, m.
sternohioid, m. omohioid, dan m. tirohioid. Sedangkan otot intrinsik laring adalah
m. krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika, m. vokalis, m. tiroaritenoid, m.
ariepiglotika, m. krikotiroid, m. ariteoid transversum, m. ariteoid oblik, dan m.
krikoaritenoid posterior. .(6)

Gambar : otot-otot pada laring(6)

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n. laringeus


inferior dan n. laringeus superior. Kedua saraf ini merupakan saraf motorik dan
sensorik. Sedangkan perdarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu a.

laringeus inferior yang merupakan cabang dari a. tiroid inferior dan a. laringeus
superior yang merupakan cabang dari a. tiroid superior. .(6)
IV.

LARINGOMALASI
1. DEFINISI
Laringomalasia merupakan suatu kelainan dimana terjadi kelemahan
struktur supraglotik sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran nafas.
Istilah laringomalasia pertama kali diperkenalkan oleh Jackson pada tahun
1942. Laringomalasia merupakan penyebab utama stridor pada bayi.
Laringomalasia biasanya bermanifestasi saat baru lahir atau dalam usia
beberapa minggu kehidupan berupa stridor inspirasi. .(6)
Berdasarkan
letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk
membuat klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasinya adalah: Tipe 1,
yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih; Tipe 2,
yaitu memendeknya plika ariepiglotika; Tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis
ke arah posterior.(6)

Gambar :

Klasifikasi
laringomalasia.

(6)

2. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan beberapa laporan, sekitar 65- 75% kelainan laring pada
bayi baru lahir disebabkan oleh laringomalasia, dan masih mungkin

dianggap sebagai fase normal perkembangan laring, karena biasanya


gejala akan menghilang setelah usia 2 tahun. .(4,6)
3. ETIOLOGI
Etiologi laringomalasia masih belum diketahui secara pasti. Tetapi
karena tingginya insiden gangguan neuromuskuler pada bayi dengan
laringomalasia, beberapa peneliti mempercayai bahwa gangguan ini
merupakan

bentuk hipotonia

laring. Peneliti lain

berpendapat

bahwa penyakit refluks gastroesofageal yang ditemukan pada 63% bayi


dengan laringomalasia, mungkin berperan, karena menyebabkan edema
supraglotis dan mengubah resistensi aliran udara, sehingga menimbulkan
obstruksi nafas. .(4,6)
4. MANIFESTASI KLINIS
Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh
spontan pada 70% bayi saat usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi
kebanyakan timbul segera setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu
atau bulan ke depan. Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum,
interkostal, dan epigastrium akibat usaha pernafasan.(6)
Pada beberapa bayi tidak menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif
(sekitar 3 bulan) atau dipicu oleh infeksi saluran nafas. Stridor yang terjadi
bersifat bervibrasi dan bernada tinggi. Stridor akan bertambah berat
sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan dan bersifat intermitten
dan hanya timbul bila usaha bernafas bertambah seperti saat anak aktif,
menangis, makan, kepala fleksi atau posisi supinasi. Setelah itu keadaan
makin membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah selama 4 tahun 2 bulan.
Tidak ada korelasi antara lama berlangsungnya stridor dengan derajat atau
waktu serangan.(6)
Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi nafas yang berat.
Penderita laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang
disertai muntah sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah
gizi kurang dan gagal tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks
lambung terjadi pada 80% dan regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan.

Masalah makan dipercaya sebagai akibat sekunder dari tekanan negatif


yang tinggi di esofagus intratorak pada saat inspirasi.(6)
Ostructive sleep apnea (23%) dan central sleep apnea (10%) juga
ditemukan pada laringomalasia. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat
obstruksi nafas atas yang lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya
serangan apnea yang mengancam jiwa dan timbul hipertensi pulmonal
yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung, penyakit paru
obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder
dari laringomalasia. (6)
5. DIAGNOSIS
Diagnosis

laringomalasia

ditegakkan

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan fisik, laringoskopi fleksibel dan radiologi. Pemeriksaan


utama

untuk

diagnosis

laringomalasia

adalah

dengan

menggunakan laringoskopi fleksibel.(6)


Hawkins

dan Clark menyatakan

bahwa

laringoskopi

fleksibel

efektif untuk diagnosis bahkan pada neonatus. Pemeriksaan ini dilakukan


dengan posisi tegak melalui kedua hidung. Melalui pemeriksaan ini dinilai
pasase hidung, nasofaring dan supraglotis. Dengan cara ini bentuk
kelainan yang menjadi penyebab dapat terlihat dari atas. Laringoskopi
fleksibel dapat membantu

menyingkirkan

diagnosis

anomali

laring

lainnya seperti kista laring, paralisis pita suara, malformasi pembuluh


darah, neoplasma, hemangioma subglotis, gerakan pita suara paradoks,
stenosis glotis dan web glotis.(6)
Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu
risiko terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien
menangis dan kurang akurat dalam menilai keadaan subglotis dan trakea.
Masih menjadi perdebatan di kalangan ahli apakah setiap bayi dengan
laringomalasia harus melalui pemeriksaan laringoskopi dan bronkoskopi
meskipun pemeriksaan tersebut masih merupakan standar baku untuk
menilai obstruksi nafas, mengingat pemeriksaan ini memiliki beberapa
kelemahan bagi kelompok umur neonatus, seperti resiko anestesi dan

instrumentasi, alatendoskopi yang khusus, membutuhkan ahli anestesi


yang handal, dan biaya yang mahal.(6)
Olney dkk membuat kategori kandidat yang sebaiknya dilakukan
laringoskopi dan bronkoskopi. Kriterianya adalah:

(6)

1. Bayi laringomalasia dengan gangguan pernafasan yang berat, gagal


tumbuh, mengalami fase apnea, atau pneumonia berulang.
2. Bayi dengan gejala yang tidak sesuai dengan gambaran laingomalasia
yang ditunjukkan oleh laringoskopi fleksibel.
3. Bayi dengan lesi di laring.
4. Bayi yang akan dilakukan supraglotoplasti
6. DIAGNOSIS BANDING
Setiap kelainan yang menyebabkan obstruksi pada laring dan trakea
merupakan diagnosis banding dari laringotrakeomalasia baik akibat
kelainan kongenital, infeksi, trauma, benda asing, tumor, paralisis pita
suara, stenosis laring dan trakea. (6)
7. PENATALAKSANAAN
Kira-kira hampir 90% kasus laringomalasia bersifat ringan dan tidak
memerlukan intervensi bedah. Pada keadaan ini, hal yang dapat dapat
dilakukan adalah memberi keterangan dan keyakinan pada orang tua
pasien tentang prognosis dan tidak lanjut yang teratur hingga akhirnya
stridor menghilang dan pertumbuhan yang normal dicapai.(6)
Pada keadaan ringan, bayi diposisikan tidur telungkup, tetapi hindari
tempat tidur yang terlalu lunak, bantal dan selimut. Jika secara klinis
terjadi hipoksemia (saturasi oksigen <90%), harus diberikan oksigenasi.(6)
Pada laringomalasia yang berat, akan tampak gejala obstruksi nafas
yang disertai retraksi retraksi sternal dan interkosta, baik saat tidur atau
terbangun, sulit makan, refluks berat dan gagal tumbuh. Anak-anak yang
mengalami hal ini berisiko mengalami serangan apnea. Keadaan hipoksia
akibat obstruksi nafas dapat menyebabkan hipertensi pulmonal dan terjadi
korpulmonal.(6)

10

Menurut Jackson dan Jackson, 1942, pada keadaan yang berat ini
maka intervensi bedah tidak dapat dihindari dan penatalaksanaan baku
adalah membuat jalan pintas berupa trakeostomi sampai masalah teratasi.
Namun pada anak-anak, resiko morbiditas dan mortalitas trakeostomi
berisiko tinggi.(6)
Pada tahun 1922, Iglauer mempelopori tindakan operasi pada
laringomalasia dengan cara membuang ujung epiglotis. Di tahun 1944,
Schwartz membuang sebagian epiglotis dengan irisan berbentuk V. Zalza
dkk, 1987 melaporkan pada akhir-akhir ini peran bedah endoskopi pada
struktur supra glotis telah menjadi alternatif dibanding trakeostomi, dan
memberikan harapan yang lebih baik. Peran bedah laring mikro dengan
menggunakan laser CO2 telah mulai digunakan sejak tahun 1970-an.
Vaugh merupakan orang pertama yang melakukan epiglotidektomi dengan
laser

CO2 dengan pendekatan endoskopi pada tahun 1978. Jenis

operasi yang dilakukan pada laringomalasia adalah supraglotoplasti yang


memiliki sinonim epiglotoplasti dan ariepiglotoplasti. Berdasarkan
klasifikasi Olney terdapat tiga teknik supraglotoplasti yang dapat
dilakukan.

Teknik

yang

dipilih

tergantung

pada

kelainan

laringomalasianya. (4,6)

11

Gambar :
Supraglottoplasti(6)

Pada tipe 1, dimana terjadi prolaps mukosa aritenoid pada kartilago


aritenoid yang tumpang tindih, dilakukan eksisi jaringan mukosa yang
berlebihan pada bagian posterolateral dengan menggunakan pisau bedah
atau dengan laser CO2. Laringomalasia tipe 2 dikoreksi dengan cara
memotong

plika

ariepiglotika

yang

pendek

yang

menyebabkan

mendekatnya struktur anterior dan posterior supraglotis. Laringomalasia


tipe 3 ditangani dengan cara eksisi melewati ligamen glosoepiglotika
untuk menarik epiglotis ke depan dan menjahitkan sebagian dari epiglotis
ke dasar lidah. (4,6)
8. PROGNOSIS
Laringomalasia dan ttrakeomalasia mempunyai prognosis yang baik,
karena hampir sebagian kasus dapat hilang sendirinya dalam 1-2 tahun. (6)
V. STENOSIS SUBGLOTIS
1. DEFINISI
Stenosis sublotis kongenital didefinisikan sebagai suatu diameter
subglotis yang kurang dari 4 mm. Laring neonatus normal dapat dilalui
bronkoskop 3,5 mm. sebagian neonatus mengalami stridor tidak lama
setelah lahir, sedangkan bayi lainnya mengalami episode laringotrakeitis
berulang.(2,4)

12

2. EPIDEMIOLOGI
Kelainan kongenital stenosis subglotis merupakan kelainan kongenital
ketiga yang paling sering terjadi pada laring, sekitar 15 % dari semua
kasus. Kondisi kelainan pada laring ini yang paling sering membutuhkan
penanganan trakeotomi pada bayi. Laki-laki dua kali lebih sering terkena
daripada perempuan.(7)
3. ETIOLOGI
Kelainan yang dapat menyebabkan stenosis subglotis ialah : (1)
a. Penebalan jaringan submukosa dengan hiperplasia kelenjar mucus dan
fibrosis
b. Kelainan bentuk tulang rawan krikoid dengan lumen yang lebih kecil
c. Bentuk tulang rawan krikoid normal dengan ukuran lebih kecil
d. Pergeseran cincin trakea pertama kea rah atas belakang ke dalam
lumen krikoid
4. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis pada kelainan stenosis subglotis biasanya muncul
dalam beberapa bulan pertama kelahiran. Gejala stenosis subglotis
biasanya tidak jelas sampai anak menunjukkan adanya gejala dari proses
inflamasi akut. Gejalanya klinis pada anak selama periode ini tidak jauh
berbeda dengan gejala pada infeksi laringotrakeobronkitis (croup). Gejala
yang paling umum dapat berupa stridor dengan atau tanpa gejala
gangguan pernapasan, anak mungkin mengalami batuk berdahak, tetapi
tangisan anak biasanya normal. Dikatakan suspek kelainan kongenital
stenosis subglotis ketika gejala-gejala tersebut berulang atau gejala
berkepanjangan melampaui waktu dari infeksi croup (1-3 hari).(7)
Gejala lain stenosis subglotis ialah dyspnea, retraksi di suprasternal,
epigastrium, intercostal serta subklavikula. Pada stadium yang lebih berat
akan ditemukan sianosis dan apnea, sebagai akibat sumbatan jalan napas,
sehingga mungkin juga terjadi gagal pernapasan (Respiratory distress).(1)
Pada pemeriksaan fisik, anak dengan kelainan kongenital stenosis
subglotis mungkin atau tidak terdapat gangguan dalam pernapasan secara
signifikan

yaitu

seperti

cuping

hidung,

sianosis,

dan

retraksi

supraklavikula atau interkosta. Pemeriksaan kepala dan leher biasanya


normal. Endoskopi fleksibel biasanya tidak cukup untuk menilai kelainan

13

kongenital subglotis tetapi penting untuk membedakan diagnosis


kelumpuhan pita suara dan kelainan glottis dan supraglotis lainnya. (7)
5. DIAGNOSIS
Riwayat croup berulang biasanya menunjukkan kelainan kongenital
stenosis subglotis. Dapat dilakukan rigid bronchoscopy untuk memastikan
diagnosis dan juga untuk menilai kelainan saluran napas yang lainnya.
Evaluasi stenosis subglotis sesuai dengan panjang dan diameternya.
Kelainan kongenital stenosis subglotis biasanya di diagnosis dengan
diameter lumen kurang dari 4mm pada bayi normal atau kurang dari 3
mm pada bayi prematur. Evaluasi radiologi dapat membantu untuk menilai
jalan napas sebelum melakukan bronkoskopi atau ketika sulit untuk
mendiagnosa, dengan gambaran radiologi lateral/AP kesan terjadi
penyempitan pada tingkat subglotis tersebut.(7,8)
Ketika seorang pasien anak dating, penting untuk mengetahui riwayat
dan pemeriksaan fisiknya. Trauma lahir atau intubasi, dan juga lahir
prematur penting untuk diketahui. Waktu, onset, dan durasi dari stridor,
kualitas suara/menangis, pemberian makan yang tidak normal, sianosis,
dan kemungkinan aspirasi benda asing juga sangat penting untuk
diketahui. Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan kepala dan leher, serta
karakter dari stridor, dan tanda-tanda kesulitan bernapas. Pemeriksaan
laringoskopi juga harus dilakukan.(9)
6. PENATALAKSANAAN
Pada sebagian besar kasus kelainan kongenital stenosis subglotis dapat
sembuh secara spontan dengan pertumbuhan anak. Terapi stenosis subglotis
ini juga tergantung pada kelainan yang menyebabkannya. Kasus ringan pada
stenosis subglotis hanya perlu pengamatan, namun sebagian besar kasus
memerlukan trakeostomi jika pasien memiliki masalah pada jalan napas.
Kebanyakan pasien yang membutuhkan trakeostomi dapat dilakukan pada
usia 3-4 tahun ketika daerah subgotis melebar.
Pada umunya, terapi stenosis subglotis yang disebabkan oleh kelainan
submukosa adalah dilatasi atau dengan laser CO2, tetapi terapi ablasi laser
ini terbatas dalam pengelolaan kelainan kongenital stenosis subglotis dan
biasanya digunakan untuk lesi yang lunak dengan ketebalan kurang dari 5

14

mm. Stenosis subglotis yang disebabkan oleh kelainan bentuk tulang rawan
krikoid dilakukan terapi pembedahan dengan melakukan rekonstruksi.
Laryngotrakeoplasty dapat dilakukan tetapi hanya untuk kasus stenosis
subglotis yang parah. (1,2,7,8)
VI.

SELAPUT DI LARING (LARYNGEAL WEB)


1.DEFINISI
Selaput di laring merupakan selaput yang transparan (web) yang dapat
tumbuh di daerah glottis, supraglotik atau subglotik. Selaput ini banyak
tumbuh di daerah glotis (75%), subglotis (13%), dan supraglotis (12%).
Selaput ini biasanya mempengaruhi jalan napas, suara atau tangisan, dimana
gejala mulai timbul pada saat bayi lahir.(1,2)

Gambar: :laryngeal web(10, 11)


2. EPIDEMIOLOGI
Kelainan kongenital selaput di laring (laryngeal web) merupakan
kelainan yang jarang terjadi pada laring. (10)
3. MANIFESTASI KLINIS
Selaput di laring dapat bermanifestasi dengan gejala yang ringan mulai
dari disfonia sampai obstruksi jalan napas yang signifikan, tergantung pada
ukuran dari selaput. Stridor jarang terjadi pada pasien yang memiliki
posterior interarytenoid web.(10)
Sepertiga dari anak-anak dengan selaput di laring telah terkait dengan
kelainan dari saluran pernapasan, yang paling sering terjadi adalah stenosis
subglotis. Pada pemeriksaaan, anak dengan selaput di laring mungkin atau

15

tidak terdapat gangguan dalam pernapasan secara signifikan yaitu seperti


cuping hidung, sianosis, dan retraksi supraklavikula atau interkosta. Pada
pemeriksaan kepala dan leher biasanya normal. Dengan endoskopi dapat
ditemukan selaput di laring, tetapi tidak cukup dalam mengevaluasi sejauh
mana kelainan ini terjadi.(10)

4. DIAGNOSIS
Selaput di laring (laryngeal web) pertama-tama harus didiagnosis
melalui visualisasi endoskopi. Laringoskopi dan bronkoskopi diperlukan
untuk menilai letak dari selaput, ketebalan, dan tingkat horisontal dan
vertikal. Selaput dapat terlihat tipis, transparan dan melibatkan pita suara
anterior, atau selaput juga dapat terlihat tebal, struktur berserat yang meluas
ke daerah inferior subglotis.(2,10)
Daerah posterior glottis biasanya tidak terlihat dan mungkin tertutup
oleh selaput interarytenoid. Evaluasi radiologi dapat membantu untuk
menilai letak dan luas dari selaput laring sebelum dilakukan bronkoskopi.
Foto polos lateral menggambarkan kesan sail sign yang berupa jaringan
persisten antara pita suara dan subglotis. (2,10)
5. PENATALAKSANAAN
Terapi dengan gejala sumbatan laring, dapat dilakukan pembedahan
yaitu bedah mikro laring yang membuang selaput laring dengan memakai
laringoskop suspensi. Dapat juga dilakukan dilatasi berulang, atau
trakeotomi dan pemakaian alat selipan laring (1,2)
6. PROGNOSIS
Prognosis jangka panjang untuk selaput kongenital laring (laryngeal
web) adalah baik.(2)
VII.

KISTA LARING KONGENITAL


1. DEFINISI

16

Kista laring kongenital merupakan penyakit yang jarang menyebabkan


obstruksi jalan napas pada neonatal. Kista dapat dibedakan menjadi dua
jenis yaitu, kista duktus dan kista saccular. (12,13)
2. EPIDEMIOLOGI
Kista laring adalah kelainan kongenital yang jarang terjadi. Kista
saccular mewakili 25% dari semua kista laring. Kista laring kongenital
jarang terjadi, meskipun sering ditemukan pada populasi Inggris - Pakistan.
(12,13)

3. MANIFESTASI KLINIS
Kista saccular muncul lebih awal dengan gejala pada gangguan saluran
napas yang lebih berat, sementara kista vallecular cenderung munculnya
lambat dengan kesulitan makan dan gagal tumbuh. Dua pertiga dari anakanak dengan kista vallecular juga mengalami laryngomalacia. Perawatan
satu tahap endoskopi marsupialisation lebih efektif pada semua kasus yang
rata-rata tindak lanjuti selama tiga belas bulan.(13)
Gejala yang muncul tergantung pada ukuran kista dan letaknya dekat
dengan glotis dan dihubungkan dengan laryngomalasia. (13)
4. DIAGNOSIS
Neonatus dengan kista kongenital biasanya mengalami obstruksi jalan
napas atau gangguan pertumbuhan. Episode obstruksi jalan napas dapat
membingungkan dan di anggap sebagai akibat suatu gangguan kejang.
Suara dan proses menelan biasanya normal.(2)
5. PENATALAKSANAAN
Pengobatan masih kontroversial, terutama yang berkaitan dengan kista
saccular, beberapa percaya bahwa prosedur endoskopi lebih rentan
menyebabkan kekambuhan. Marsupialisation Endoskopi adalah cara yang
efektif untuk pengobatan kista duktus dan kista saccular yang terbatas pada
laring. (2,12,13)
Bila memungkinkan, kista harus di eksisi lebih baik secara endoskopi.
Jika hal ini tidak memungkinkan, maka dapat dilakukan aspirasi atau

17

marsupialisasi.

Pada

pasien

tersebut

diperlukan

trakeotomi

atau

pembedahan luar.(2,12,13)
VIII. HEMANGIOMA
1. DEFINISI
Hemangioma adalah tumor endotel dengan perilaku biologis yang unik.
Hemangioma tumbuh dengan pesat, hilang secara perlahan-lahan, dan tidak
pernah kambuh. Terdapat Tiga tahap dalam siklus hidup hemangioma, yang
masing-masing ditandai dengan beberapa penanda biologis dan prosesproses, yaitu (1) tahap berkembang biak (0 - 1 tahun), (2) tahap berinvolusi
(1 - 5 tahun), dan (3) fase involuted (> 5 tahun). Tahap ini biasanya
bergejala klinis yang jelas dan dapat dibedakan secara mikroskopis dan
immunohisto-kimia.(14)
Gambar : Hemangioma(11)

2.

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI


Hemangioma subglottis mencapai 1,5 % dari seluruh kelainan
kongenital pada laring. Perempuan dua kali lebih sering terkena
dibandingkan laki-laki.(15)
Hemangioma subglottis berkembang sebagai hasil dari malformasi
vaskular yang berasal dari sisa

jaringan mesenchymal vasoaktif di

subglottis tersebut.(15)
3. MANIFESTASI KLINIS

18

Pada anak-anak biasanya tanpa gejala saat lahir . Sebagaian lesi cepat
tumbuh dari usia 2-12 bulan, anak mengalami gangguan pernapasan
progresif yang awalnya intermiten kemudian terus menerus. Gejalanya
mirip dengan infeksi croup, manifestasi klinisnya berupa stridor biphasic,
batuk menggonggong, menangis normal atau serak, dan gagal tumbuh.
Kebanyakan pasien mengalami obstruksi jalan napas yang cukup signifikan
dan memerlukan intervensi. (15)
Pada pemeriksaan, anak dengan hemangioma subglottis mungkin tidak
mengalami gangguan pernapasan yang signifikan (pernafasan cuping
hidung, supraklavikula atau interkostalis, sianosis). Pada kepala dan leher
hasil pemeriksaan biasanya normal, meskipun setengah dari pasien mungkin
memiliki hemangioma kulit kepala dan leher. Pada endoskopi fleksibel tidak
menunjukkan lesi tetapi merupakan prosedur yang diperlukan untuk
menyingkirkan kelainan laring yang lainnya.(15)
4. DIAGNOSA
Bronkoskopi

kaku

diperlukan

untuk

menentukan

diagnosis

hemangioma subglottis. Lesi biasanya terletak posterolateral di submukosa


subglottis tersebut. Lesi bisa unilateral atau bilateral, biasanya terletak di
trakea bagian atas. Lesi berwarna pink biru, tidak bertangkai, dan mudah
di mampatkan.(15)

19

Gambar : Endoskopi hemangioma subglottis (Dari B Benjamin , Atlas of Pediatric


Endoskopi , Oxford University Press , NY , 1981)(15)

Sindrom PHACES (malformasi fossa otak posterior, hemangioma,


anomali jantung dan koarktasio aorta, anomali mata dengan atau tanpa celah
sternal)

adalah

menyingkirkan

gangguan
sindrom

neurokutaneus.

PHACES

dengan

Hal

ini

penting

hemangioma

untuk

subglottis.

Haggstrom dkk baru-baru ini melaporkan pada 17 pasien berusia kurang dari
1 tahun yang didiagnosis memiliki hemangioma wajah dan hemangioma
saluran napas ukuran ( > 22 cm2 ). Delapan pasien (47%) memenuhi kriteria
untuk sindrom PHACES.(15)
Bila diagnosis tidak jelas, biopsi dilakukan pada lesi dengan hati-hati
karena risiko perdarahan yang signifikan. Radiologi polos leher dapat
menunjukkan penyempitan yang asimetris dari subglottis, yang dapat
membantu dalam menegakkan diagnosis sebelum endoskopi.(15)
5. PENATALAKSANAAN
Observasi biasanya sudah cukup untuk lesi kecil, yang tidak
menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan. Trakeostomi biasanya
diperlukan untuk mengamankan jalan napas sampai lesi regresi spontan,
biasanya pada usia 5 tahun.(15)
Injeksi steroid pada hemangioma kecil atau ukuran menengah dapat
menimbulkan involusi sekunder dan penekanan stimulasi estradiol lesi dan
meningkatkan kemampuan reaksi vasokonstriktor.(15)
Teknik lain yang dijelaskan termasuk carbon dioxide laser ablation,
cryosurgery, intralesional interferon atau injeksi agen sclerosing, dan
steroid sistemik. Dari beberapa teknik ini, Endoskopik laser ablasi yang
paling sering berhasil untuk pengobatan lesi unilateral yang kecil. Ablasi
lesi melingkar dalam pengobatan tunggal ditakutkan dapat menyebabkan
stenosis subglotis. Penyinaran eksternal memiliki tingkat keberhasilan 93%
untuk menyembuhkan hemangioma subglottis tetapi tidak digunakan saat
ini karena peningkatan risiko kanker tiroid . Hemangioma dapat kambuh

20

dalam kasus-kasus tertentu di mana lesi melampaui batas-batas submukosa


dan tidak terdeteksi selama operasi.(15)
Operasi terbuka telah digunakan segera setelah diagnosis sebagai
intervensi primer setelah kegagalan terapi lain. Circular hemangioma tidak
disebutkan sebagai kontraindikasi untuk operasi meskipun risiko stenosis
pasca operasi bisa terjadi dalam kasus ini, terutama jika perawatan laser
karbon dioksida telah dilakukan.(15)
Penggunaan propanolol dalam pengobatan hemangioma subglottic
menunjukkan hasil yang positif dengan perbaikan yang cepat dan kurangnya
efek samping yang parah. Banyak penulis menyarankan penggunaan
propanolol sebagai pengobatan lini pertama pada hemangioma subglottis
ketika intervensi diperlukan.(15)

DAFTAR PUSTAKA
1. Arsyad E,dkk. Kelainan kongenital laring. In: Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala & leher. Ed.6.Jakarta: 2007.p.237-238
2. Boies A. Gangguan laring jinak. In: Boies buku ajar penyakit THT. Ed.6.
Jakarta: .p.378-382
3. Tewfik TL,dkk. Embryology. In: Congenital malformations of the larynx.
Updated: Jun 19, 2013. Available from: www.medscape/congenital
malformation of the larynx/Embryology.html
4. Soliman, Ahmad. Congenital anomalies of the larynx. Philadelphia.
Department of otolaryngology-head & neck surgery, temple university.
USA: 2007.p.177-191
5. Font JP. Congenital laryngeal anomalies. Department of otolaryngology
The University of Texas Medical Branch. Texas: 2005

21

6. Novialdy, Rusdi D. Diagnosis dan penatalaksanaan laringomalasia dan


trakeomalasia. Bagian ilmu kesehatan THT Bedah KL FK Universitas
Andalas. Padang
7. Tewfik TL,dkk.

Congenital

Subglottic

Stenosis.

In:

Congenital

malformations of the larynx. Updated: Jun 19, 2013. Available from:


www.medscape/congenital

malformation

of

the

larynx/congenital

subglottic stenosis.html
8. Morrissey MSC, Bailey CM. Diagnosis and management of subglottic
stenosis after neonatal ventilation. Department of otolaryngology.
London:1990;65:1103-1104
9. Briscoe M, dkk. Pediatric congenital subglottic stenosis. Dept. of
otolaryngology. Update: June27, 2007
10. Bull TR. The larynx. In: Color atlas of ENT diagnosis. Ed.4. London,
UK:2003.p.210-218
11. Tewfik TL,dkk. Congenital laryngeal webs. In: Congenital malformations
of

the

larynx.

Updated:

www.medscape/congenital

Jun

19,

malformation

2013.
of

the

Available

from:

larynx/congenital

laryngeal webs.html
12. Tewfik TL,dkk. Congenital laryngeal atresia, cysts, and lymphangioma.
In: Congenital malformations of the larynx. Updated: Jun 19, 2013.
Available from: www.medscape/congenital malformation of the larynx/
Congenital laryngeal atresia, cysts, and lymphangioma.html
13. Prowse S, Knight L. Congenital cysts of the infant larynx. Int J pediatr
Otorhinolaryngol.2012 May:76(5):708-11
14. Marler JJ, Mulliken JB. Current management of hemangiomas and
vascular malformation. Clin plastic surg 32(2005) 99-116
15. Tewfik TL,dkk. Subglottic hemangioma. In: Congenital malformations of
the

larynx.

Updated:

www.medscape/congenital

Jun

19,

malformation

2013.
of

Available
the

from:

larynx/subglottic

hemangioma.html

22

Anda mungkin juga menyukai