Anda di halaman 1dari 32

I.

PENDAHULUAN
Kanker paru masih menjadi masalah kesehatan utama baik di dunia maupun di
Indonesia. Data WHO menyebutkan kanker paru sebagai penyebab kematian
nomor empat dari kematian yang disebabkan keganasan. Kematian akibat kanker
paru baik laki laki maupun perempuan meningkat di China dan beberapa negara
Asia. 1,2 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan kanker merupakan
penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia dengan presentasi 5,7% dari seluruh
penyebab kematian.3 Berdasarkan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) pada
tahun 2010, kanker paru merupakan jenis kanker peringkat ke lima tertinggi pada
pasien rawat inap maupun rawat jalan di seluruh RS di Indonesia dengan jumlah
pasien sebanyak 3.244 orang (7,8%). 4
Penelitian di beberapa Rumah Sakit di Indonesia menunjukkan Angka ketahanan
hidup 1 tahun penderita kanker paru kurang dari 20%.

4,5

. Angka ketahanan hidup

ini salah satunya dipengaruhi oleh stadium kanker saat dilakukan tindakan.
Penelitian di beberapa Rumah Sakit di Indonesia menyebutkan hampir 75%
pasien datang saat kanker paru sudah berada pada stadium lanjut. 4 Penderita
kanker paru stadium lanjut memiliki rerata angka ketahanan hidup 5 tahun lebih
kecil dibanding mereka yang dilakukan pembedahan pada stadium awal. 6
Untuk mengatasi masalah kanker paru diperlukan pendekatan multidispilin dari
berbagai bidang ilmu kedokteran. Radiologi memegang peranan penting dalam
deteksi dini, diagnosis dan staging, evaluasi dan follow up pasca terapi. Berbagai
modalitas radiologi mengalami perkembangan teknologi yang sangat signifikan
dengan karakteristik dan keunggulannya masing masing. Pada makalah ini akan
dibahas mengenai pilihan modalitas radiologi yang tersedia untuk kasus kanker
paru. Pilihan modalitas yang tepat akan membantu penanganan kasus kanker paru
dengan lebih efektif dan adekuat.

II. KANKER PARU


Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, baik
keganasan yang berasal dari paru maupun metastasis dari keganasan di luar paru.
Dalam makalah ini pembahasan dibatasi pada kanker paru sebagai kanker primer
yaitu tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkogenik.
II.1. Etiologi
Sebuah sel normal dapat tubuh menjadi sel kanker jika terjadi ketidakseimbangan
antara fungsi onkogen dengan gen tumor supresor dalam proses tumbuh kembang
sebuah sel. Ketidak seimbangan ini dapat disebabkan oleh mutasi gen ataupun
perubahan pada kromosom.

7,8

Perubahan pada tingkat biomolekuler ini berperan

sebagai etiologi dari terjadinya kanker paru


II.2. Faktor Risiko
Penelitian epidemiologik menunjukkan kaitan yang kuat antara kebiasaan
merokok dengan insiden kanker paru. Secara umum laki laki lebih banyak
menderita kanker paru dibanding wanita. Risiko wanita merokok baik aktif
maupun pasif meningkat lebih tinggi dibandingkan mereka yang bukan perokok
aktif maupun pasif. Usia juga menjadi salah satu faktor risiko dimana kanker paru
lebih banyak ditemukan pada usia 65 tahun ke atas. Paparan zat industri dan
adanya riwayat keluarga dekat yang menderita kanker paru juga menjadi perhatian
khusus untuk mendeteksi adanya kanker paru pada seseorang.7,8
II.3. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Kanker paru jarang menunjukkan gejala pada stadium awal. Penderita umumnya
baru menunjukkan keluhan ringan dan tidak spesifik seperti batuk batuk dengan
atau tanpa dahak saat kanker paru telah memasuki stadium II ataupun III. Gejala
berikutnya yang dapat timbul pada stadium lanjut adalah batuk darah, batuk
kronik, sesak napas, nyeri dada, suara serak, sakit menelan, benjolan di pangkal
leher, sembab muka dan leher kadang disertai sembab di daerah lengan disertai
nyeri yang hebat.7

Gejala lain dapat timbul sebagai manifestasi metastasis di luar paru seperti
kompresi di daerah otak, pembesaran hepar ataupun fraktur patologis. Hilangnya
nafsu makan, penurunan berat badan, demam yang hilang timbul dan sindrom
paraneoplastik dapat muncul sebagai keluhan yang tidak khas pada penderita
kanker paru.7
Hasil pemeriksaan fisik pada penderita kanker paru sangat dipengaruhi kelainan
yang ada pada saat pemeriksaan. Tumor yang berukuran kecil dan terletak di
perifer seringkali tidak menunjukkan hasil apapun pada pemeriksaan fisik. Hasil
yang lebih informatif bisa didapatkan jika tumor berukuran besar terlebih bila
disertai atelektasis, efusi pleura ataupun penekanan vena kava. Pemeriksaaan
kelenjar getah bening juga penting dilakukan sebagai data untuk penentuan
stadium penyakit. Pemeriksaan organ lain secara sistematis, teliti dan menyeluruh
diperlukan untuk mendeteksi adanya metastasis.7,8
II. 4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dikerjakan untuk menentukan jenis histopatologi sel
tumor, lokasi tumor primer, metastasi dan penentuan stadium penyakit.
Pemeriksaan radiologi mutlak dilakukan untuk menentukan karakteristik tumor
primer dan metastasisnya. Modalitas yang umumnya digunakan adalah foto toraks
PA/lateral, computerized tomography (CT)-scan toraks, bone scan, bone survey,
ultrasonografi (USG) abdomen, CT otak, positron emission tomography (PET)
dan magnetic resonnance imaging (MRI).6,8
Pemeriksaan khusus seperti bronkoskopi, biopsi aspirasi jarum, transbronchial
needle aspiration (TBNA), transbronchial lung biopsy (TBLB) dengan bantuan
fluoroskopi, transthorasic needle aspiration (TTNA) dan biopsi transtorakal
dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik histologi kanker
paru. Aspirasi jarum halus (AJH), sitologi sputum, biopsi KGB dapat dilakukan
bila diagnosis sitologi/histology tuumor primer di paru belum diketahui. Jika
massa tumor terletak di bagian perifer paru, pleura ataupun mediastinum biopsy

dapat dilakukan melalui tindakan torakoskopi medik mediastinoskopi, atau


torakotomi eksplorasi dan biopsi paru terbuka sebagai pilihan terakhir.7
II. 4. Klasifikasi kanker paru
Klasifikasi kanker paru diperlukan untuk memperkirakan prognosis dan
menentukan pilihan modalitas terapi yang sesuai dengan kondisi penderita.
Klasifikasi berdasarkan jenis histologis yang memiliki kepentingan klinis terdiri
dari kanker paru sel kecil dan kanker paru bukan sel kecil. Kanker paru bukan sel
kecil terdiri dari karsinoma sel besar, adenokarsinoma dan karsinoma sel
skuamosa.8
Kanker paru sel kecil dibagi menjadi dua stadium. Pertama adalah stadium
terbatas (LD) dimana kanker hanya ditemukan pada satu paru-paru saja dan pada
jaringan di sekitarnya. Kedua adalah stadium ekstensif (ED) dimana kanker
ditemukan di jaringan dada di luar paru-paru tempat asalnya. Atau kanker
ditemukan di organ-organ tubuh yang jauh.9
Kanker paru bukan sel kecil ditentukan penderajatannya menurut International
stagining System for Lung cancer 2007 yang merupakan revisi dari system
penderajatan sebelumnya di tahun 1997.10 Sistem penderajatan ini menilai ukuran
tumor sebagai komponen T, keterlibatan kelenjar getah bening sebagai komponen
N dan ada tidaknya metastasis jauh sebagai komponen T. Selanjutnya nilai T, N
dan M ini akan menjadi penentu penderajaran kanker paru mulai dari stadium 0
sampai IV. 1012
Staging dilakukan untuk kepentingan pemilihan terapi dan memiliki nilai
prognostic. Beberapa penelitian menunjukkan tingkat kelangsungan hidup untuk
stadium IA sebesar 61%, stadium IB 38%, stadium II A 34%, staddium IIB 24%,
stadium IIIA 13%, stadium IIIB 5% dan 1% untuk stadium IV (3). Secara umum,
pasien dengan status tampilan baik, stadium I, II dan beberapa dengan stadium III
dapat dipertimbangkan modalitas pembedahan. Sedangkan sebagian besar pasien
dengan stadium IIIB (kecuali T4N0) dan stadium IV memerlukan tatalaksana

yang berbeda.

13

Keterangan mengenai deskripsi T, N dan M pada masing masing

stage dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Chart illustrates the descriptors from the 7th edition of the TNM staging
system for lung cancer

13

II. V. Tatalaksana
Tatalaksana kanker paru menggunakan multi modalitas terapi yang pemilihannya
dipengaruhi jenis histologis, derajat dan tampilan pasien.6,14 Pilihan modalitas
terapi kanker paru antara lain pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
Pembedahan dapat dilakukan pada Kanker paru bukan sel kecil stadium I dan II
atau sebagai bagian dari combined modality therapy pada kasus inoperabel
misalnya kanker paru bukan sel kecil stadium IIIA. Kanker paru dengan sindrom
vena kava superior berat merupakan kegawatan yang memerlukan intervensi
bedah.6,8 Radioterapi pada kanker paru dapat bersifat kuratif, paliatif atau untuk
penanganan kegawatdaruratan seperti sindrom vena kava superior, nyeri tulang
akibat invasi tumor ke dinding dada ataupun metastasis ke otak dan tulang.
Kemoterapi

dapat

diberikan

pada

semua

kasus

kanker

paru

dengan

memperhatikan status tampilan baik menurut skala Karnofsky atau skala WHO. 6,7

III. PERAN MODALITAS RADIOLOGI PADA KASUS KANKER PARU


III. 1. SKRINING

Secara definisi skrining berarti evaluasi pada individual yang asimtomatik namun
berisiko untuk terkena suatu penyakit. Tujuan dari skrining adalah mencegah atau
memperlambat perjalanan penyakit. Penemuan positif pada skrining dapat diikuti
evaluasi lanjutan untuk memperoleh kepastian diagnosis. Skrining yang efektif
setidaknya harus memenuhi 3 kondisi. Pertama, harus dapat membantu
mendiagnosa sebelum muncul gejala penyakit. Kedua, tatalaksana dini penyakit
harus lebih efektif dari tatalaksana pada stadium lanjut. Ketiga, keuntungan dari
proses skrining harus lebih besar dari potensi bahayanya. 1517
Pada skrining kanker paru, syarat pertama relatif mudah dipenuhi. Namun syarat
kedua dan ketiga masih banyak bias yang mempengaruhi. Hal yang menjadi
tantangan dalam skrining kanker paru ini adalah karakter biologis dari sel kanker.
Sel kanker paru berkembang 3-6 juta sel per gram per jaringan tiap 24 jam yang
menunjukkan potensi metastasis yang sangat besar.

18

Beberapa penelitian

menyebutkan kemungkinan metastasis sudah terjadi pada saat lesi berukuran


sekitar 1-2 mm. Sel kanker paru juga memiliki heterogenitas karakter biologis
yang cukup luas mulai dari indolen hingga yang agresif. 18 Hal ini menyebabkan
diskusi yang berbeda mengenai efektifitas skrining mengingat kemungkinan yang
sangat beragam saat kelainan ditemukan secara radiologis dapat menyebabkan
tatalaksana yang berlebihan .16
Saat ini belum ada metode khusus untuk mendeteksi kelainan kanker paru secara
dini. Skrining rutin pada populasi berisiko tinggi terhadap kanker paru masih
menjadi hal yang diperdebatkan. 19 Individu yang berisiko tinggi terhadap kanker
paru diantaranya adalah laki laki, usia lebih dari atau sama dengan 40 tahun,
perokok berat, terpapar dengan bahan berbahaya dan atau memiliki gejala yang
berhubungan dengan kanker paru.7,20 Secara umum alur deteksi dini yang
direkomendasikan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tercantum dalam
gambar 2.

Gambar 2. Alur Deteksi Dini Kanker Paru 7


Skrining kanker paru pada populasi berisiko tinggi sebelumnya dilakukan dengan
menggunakan foto toraks konvensional dan sitologi sputum. Foto toraks
konvensional menjadi pilihan lini pertama karena tersedia lebih luas, ekonomis
dan memiliki tingkat radiasi yang lebih rendah. Foto toraks juga menjadi
pemeriksaan yang rutin dilakukan untuk general check up. Pada pemeriksaan foto
toraks rutin, dapat ditemukan nodul solid paru yang asimtomatik.
Beberapa studi sejak tahun 1950-1975 menyebutkan, skrining kanker paru dengan
foto toraks dan sitologi sputum tidak menunjukkan hubungan yang bermakna
untuk menurunkan angka mortalitas ataupun morbiditas kanker paru. 19 Kelemahan
foto toraks dalam mendeteksi nodul paru yang berukuran kurang dari 2 cm
menjadi faktor yang mengurangi sensitifitas pada skrining kanker paru. 19

Sejak akhir tahun 1980 diperkenalkan Low Dose Helical CT (LDCT) Scan untuk
skrining Ca paru. LDCT ini menjadi pilihan karena sifatnya yang non invasif dan
tidak menggunakan kontras. Pemeriksaan ini juga memiliki waktu scanning yang
lebih cepat (kurang dari 1 menit), resolusi gambar yang lebih baik dan potongan
yang lebih tipis (<1mm) sehingga nodul atau lesi yang berukuran minimal dapat
dideteksi lebih dini. Pada LDCT, dosis radiasi dapat dikurangi hingga seperlima
sampai seperdelapan dosis CT standar menggunakan protokol dosis rendah
(120kV,50mAs) dengan paparan radiasi sebesar 1-4 millisieverts tergantung dari
ukuran tubuh pasien. CT scan konvensional biasanya memberikan paparan radiasi
antara 5-20 millisieverts20,21 LDCT lebih sensitif dibandingkan foto toraks dalam
menemukan nodul berukuran kurang dari 2 cm. 8
Studi yang dilakukan The National Lung Screening pada

tahun 2002-2010

menunjukkan penurunan mortalitas kanker paru pada populasi berisiko tinggi


sebesar 20% dengan pemeriksaan LDCT dibanding foto toraks. Studi acak ini
dilakukan dengan melibatkan 53.456 pria dan wanita, berusia antara 55 74
tahun, memiliki riwayat merokok sedikitnya 30 pak-tahun (perkalian dari jumlah
rata rata pak rokok setiap hari dengan jumlah tahun pasien telah merokok), tidak
memiliki tanda, gejala, ataupun riwayat kanker paru. Skrining dilakukan sebanyak
3 kali dalam tiga tahun berturut turut.22

Kebijakan ACCP Evidence-Based Clinical Practice Guidelines edisi ke 3


mengenai Diagnosa dan Manajemen Kanker Paru tahun 2013 tidak lagi
merekomendasikan penggunaan foto toraks konvensional ataupun sitologi sputum
untuk skrining pada individu dengan risiko tinggi kanker paru. ACCP
merekomendasikan skrining tahunan dengan LDCT pada perokok atau mantan
perokok usia 55-74 tahun dan telah merokok sebanyak 30 pak/lebih per tahun
baik yang masih merokok ataupun berhenti dalam waktu kurang dari 15 tahun
dengan setting pemeriksaan yang setara dengan yang dilakukan pada National
Lung Sreening.23 Pada individu perokok yang akumulasi jumlahnya kurang dari
30 pak per tahun atau berumur kurang dari 55 dan lebih dari 74 atau sudah

berhenti merokok lebih dari 15 tahun yang lalu, CT screening tidak


direkomendasikan.23
Penggunaan LDCT masih menyisakan beberapa tantangan. Risiko kumulatif
akibat paparan radiasi tahunan tetap memberikan paparan radiasi yang lebih besar
dibanding foto toraks konvensional. Selain itu deteksi dini ternyata mempengaruhi
pola hidup pasien. Pasien perokok berat yang memiliki hasil skrining normal
cenderung menganggap aman untuk meruskan kebiasaan merokok tanpa risiko
kanker paru. Kemungkinan over ataupun pseudodiagnosis dapat melibatkan
tindakan invasif yang berlebihan. Faktor biaya juga masih menjadi pertimbangan
apakah sepadan dengan manfaat yang diperoleh.19 Perbandingan keuntungan dan
kekurangan foto toraks dan CT Scan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan Modalitas Skrining Radiologi
Kelebihan

Foto Toraks
Tersedia luas

LDCT
Resolusi lebih baik

Ekonomis

Potongan lebih tipis

Cukup rutin dilakukan

Lebih sensitif

Tingkat radiasi rendah


Kekurangan

Sensitifitas rendah
Tidak

Mahal

terbukti Tingkat

menurunkan morbiditas

radiasi

lebih

tinggi

Beberapa kebijakan hasil penilaian skrining adalah; jika ditemukan nodul solid
berukuran sangat kecil (<4mm) pada pasien risiko rendah tidak dilakukan tindak
lanjut dan pada pasien risiko tinggi dilakukan pencitraan lanjutan. Jika ditemukan
nodul kecil (4-6mm) pada pasien risiko rendah dilakukan reevaluasi pada bulan ke
12 dan tidak memerlukan follow up tambahan jika tidak ada perubahan. Nodul
solid yang berukuran 6-8mm perlu dievaluasi antara bulan ke 6-12 dan 18-24 jika
tidak didapatkan perubahan. Untuk pasien dengan risiko tinggi, nodul berukuran
kurang dari 4 mm harus di reevaluasi pada bulan ke 12. Nodul berukuran 4-6 mm
harus di follow up antara bulan ke 6-12 dan 18-24 jika tidak didapatkan
perubahan. Nodul berukuran 6-8 mm difollow up antara 3-6 bulan kemudian 9-12

bulan dan pada bulan ke 24. Jika ditemukan nodul dan massa yang lebih besar
dilakukan pancitraan lanjutan dan pengambilan sampel jaringan pada semua
pasien tanpa kelas risiko. 23
III.2 DIAGNOSIS
Diagnosa kanker paru memerlukan informasi mengenai jenis histologi, staging
dan status tampilan pasien. Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan
penunjang yang penting untuk menilai lokasi tumor primer, metastasis dan
penentuan stadium penyakit. Modalitas radiologi yang digunakan dalam diagnosis
kanker paru diantaranya adalah Foto toraks PA/Lat, CT-scan toraks s/d suprarenal,
PET, MRI, dan USG.

Curiga Kanker paru

Anamnesa,
pemeriksaan jasmani

Laboratorium,
pemeriksaan
histologi

Kanker paru sel


kecil

Foto toraks PA/Lat, CT-scan


toraks s/d suprarenal, PET,
MRI, USG

Bronkoskop; biopsi, TBLB,


BAJ, TBNA, sikatan,
kureting, bilasan, TTNA,
TTB, BJH, Biopsi pleura,
punksi pleura

Kanker paru bukan


sel kecil

Gambar 3. Bagan alur diagnosa kanker paru7


III.2.1. Foto toraks konvensional
Modalitas pertama yang umumnya digunakan untuk mendiagnosa kanker paru
adalah pemeriksaan foto toraks PA, Lateral dan oblique (bila perlu). Pemeriksaan
ini bertujuan menentukan letak tumor dengan tepat. Massa tumor umumnya
terlihat jika berukuran lebih dari 1 cm. Massa biasanya soliter dan terletak di
perifer, 40% diantaranya dapat ditemukan di sentral. Kelainan dapat berupa

10

bayangan padat dengan batas suram. Tepi irregular dan identasi pleura dan nodul
satelit mendukung diagnosa ke arah keganasan. 24
Umumnya kanker paru tidak memberikan gambaran yang spesifik pada foto
toraks. Dapat ditemukan tanda pembesaran kelenjar getah bening di hilus, tanda
destruksi iga, pendorongan atau penarikan trakea dan mediastinum, serta
kelumpuhan diafragma. Dapat juga ditemukan invasi tumor ke dinding dada, efusi
pleura, efusi perikardium dan metastasis intrapulmonal.7 Pada setiap gambaran
radiologis yang ditemukan pada pasien golongan risiko tinggi kanker paru harus
dilakukan follow up yang teliti. Gambaran efusi pleura luas yang ditemukan pada
foto toraks harus diikuti dengan foto toraks ulang pasca pungsi pleura atau
pemasangan WSD agar tumor primer yang tertutup efusi dapat terlihat. Keganasan
harus difikirkan bila cairan bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik.
Contoh gambaran kanker paru pada foto toraks dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Karsinoma dengan kerusakan tulang rusuk. Kekeruhan padat di lobus


kiri atas dengan dekstruksi iga dua dan tigaII

ACCP (American College of Chest Physician) merekomendasikan diagnosa


histologis untuk nodul paru yang ditemukan membesar pada evaluasi foto toraks
serial. Pasien dengan nodul paru solid yang stabil sekurangnya dua tahun, tidak
direkomendasikan evaluasi diagnostik tambahan.23 Pasien TB yang tidak
menunjukkan perbaikan atau bahkan perburukan setelah 1 bulan pemberian OAT
atau pasien pneumonia yang tidak membaik dengan pemberian antibiotic selama 1

11

minggu harus dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menyingkirkan kemungkinan


diagnosis kanker paru.7
Selain gambaran yang tidak khas, foto toraks juga kurang baik untuk
mengevaluasi keterlibatan KGB. Informasi dari pemeriksaan radiografi toraks
konvensional kurang memberikan manfaat dalam menentukan staging kanker
paru. Diperlukan pemeriksaaan radiologi lanjutan untuk menilai ukuran, lokasi
dan perluasan tumor primer.24

II
III.2.2 CT-Scan toraks
Perkembangan CT Scan sangat cepat, dimulai dari generasi pertama yang hanya
memiliki satu detektor dan menggunakan berkas Pencil Beam, sampai yang
sekarang ini sudah menggunakan Multi Slice Detector (MSCT) dan Dual Source
CT (DSCT). Tehnik pencitraan dengan CT scan dapat mendeteksi tumor dengan
ukuran kurang dari 1cm secara lebih tepat dibandingan dengan foto toraks. ACCP
merekomendasikan pemeriksaan CT scan thoraks sebagai pemeriksaan lanjutan
dengan irisan tipis untuk setiap nodul soliter paru yang ditemukan pada
pemeriksaan foto toraks. Pada individu dengan nodul solid paru indeterminate
yang berukuran lebih dari 8 mm, ACCP merekomendasikan pemeriksaan
surveillance dengan serial CT scan pada bulan ke 3-6, 9-12, dan 18-24 bulan
menggunakan LDCT non kontras.
Lesi tumor dapat muncul sebagai massa soliter dengan lobulasi, spikulasi, kavitasi
dan air bronkogram seperti gambaran ground glass opacity. Pada CT scan tanda
tanda proses keganasan tergambar lebih baik. Pada tahun 2009, Arman dkk
mengajukan sistem scoring yang dapat digunakan sebagai panduan untuk prediksi
keganasan dengan mengevaluasi karakteristik lesi yang ditemukan pada HRCT
scan. Studi tersebut menunjukkan sistem skoring tersebut memiliki sensitifitas
sebesar 97,7% dan spesifisitas 83,3%. Hal yang dinilai dalam scoring tersebut
adalah volume tumor, HU, spikula, ground glass opacity, kalsifikasi, pleural tail,
rigler notch sign, angiogram sign, kavitas, atelektasis, infiltrat, destruksi tulang,
cairan pleura, metastasis ddan pembesaran KGB. Nilai skor >35 curiga

12

keganasan, <35 menunjukkan lesi jinak.

25

CT scan toraks dapat mendeteksi

penekanan bronkus, tumor intrabronkial, atelektasis, efusi pleura minimal ataupun


invasi ke mediastinum dan dinding dada yang asimtomatik. Keterlibatan KGB dan
kemungkinan metastasis intrapulmonal dapat dievaluasi pada CT scan toraks. 24
CT scan inisial untuk keperluan diagnosis kanker paru disarankan menggunakan
kontras iodin.23 Meskipun ada yang berpendapat hal ini tidak memberikan hasil
yang lebih baik, namun pada studi lain disebutkan penggunaan kontras dapat
meningkatkan penilaian KGB mediastinum hingga 11% khususnya di regio
paratrakeal atas.26 Pemeriksaan CT dengan kontras iodin juga memungkinkan
penilaian adanya invasi ke struktur vaskular, parakardial, dan emboli tumor
dengan lebih baik. Meskipun demikian, penggunaan kontras selalu disertai risiko
terjadinya syok anafilaktik, gagal ginjal dan kematian.8
Pada pemeriksaan CT scan toraks ahli radiologi harus berhati hati dengan jenis
karsinoma sel skuamosa yang cenderung lambat pertumbuhannya. ACCP
merekomendasikan follow up tahunan pada pasien dengan ground glass opasitas
yang murni. Baik CT scan maupun foto toraks memiliki kelemahan dalam
kemampuan deteksi metastasis jauh dan metastasis di KGB mediastinum
khususnya pada KGB mediastinum yang berukuran normal atau kurang dari 1 cm.
Kemampuan CT scan untuk menilai keganasan di KGB mediastinum memiliki
sensitifitas dan spesifisitas sebesar 79% dan78%.8,24
III.2.3 PET Scan
PET atau Positron Emission Tomography adalah modalitas radiologi terkini yang
memberikan kemajuan bermakna dalam upaya penegakkan diagnosis kanker paru.
Dasar kerja PET adalah positron dan elektron yang beranihilasi menghilangkan
muatan dan mengemisikan dua radiasi gamma 511 keV ke arah yang berlawanan
pada saat yang bersamaan. Radiasi ini akan ditangkap beberapa detektor dan
dengan algoritme komputer yang sesuai distribusi spasial radioaktif dalam tubuh
direkonstruksi dalam bentuk tiga dimensi.

27

Gambar mesin PET Scan dapat

dilihat pada gambar 4.

13

Gambar 4. PET
PET bekerja dengan mendeteksi radioaktif yang dipancarkan oleh sejumlah kecil
zat radioaktif pelacak beberapa saat setelah disuntikkan ke vena perifer. Pelacak
yang biasa digunakan untuk deteksi kanker paru adalah analog glukosa radioaktif
18F-2-deoxy-2-fluoro-D-glucose (FDG). Tumor ganas mempunyai metabolisme
lebih cepat dibanding tumor jinak. FDG akan mengalami uptake selular yang
sama dengan glukosa namun tidak dimetabolisme sehingga terakumulasi pada sel
kanker.28 Akumulasi isotop inilah yang dibaca oleh PET-Camera. Analisis
dilakukan secara kuantitatif menurut standart uptake volume (SUV). Jumlah
uptake lebih besar dari 2,5 atau lebih besar dari uptake aktifitas mediastinum yang
menjadi latarnya merupakan kriteria spesifik yang menunjukkan hasil abnormal.
Total zat radioaktif yang diperlukan sama dengan dosis yang digunakan pada
CT.27
Pemeriksaan PET memerlukan persiapan puasa 4-6 jam sebelum pemeriksaaan.
Setelah persiapan dan pemeriksaan awalan dilakukan, zat radiofarmaka yang telah
dilabel disuntikkan secara intravena. Pemeriksaan dilakukan kurang lebih 30-50
menit hingga zat tersebut diserap tubuh, bergantung pada organ yang diperiksa.
Waktu pemeriksaan berkisar antara 30 sampai 90 menit.

29

Pada umumnya, pasien

diperbolehkan mengkonsumsi obat yang telah diresepkan. Khusus penderita


diabetes, obat diabetes oral tetap diminum rutin dan kadar gula harus 100-200
mg/dL sebelum pemeriksaan. PET dikontraindikasikan untuk ibu hamil. 27

14

ACCP merekomendasikan pemeriksaan PET pada pasien yang memiliki nodul


paru padat indeterminate berdiameter lebih dari 8 mm dengan pre test probabilitas
keganasan yang rendah hingga moderat untuk menilai karakteristik nodul. Pasien
dengan pre test probabilitas keganasan yang tinggi tidak direkomendasikan
pemeriksaan PET untuk menilai karakteristik nodul tapi tetap direkomendasikan
untuk menentukan staging. 23
Aktivitas biomolekuler keganasan seringkali muncul lebih dahulu sebelum tumor
dapat dideteksi melalui pencitraan anatomik. Pemeriksaan PET dengan 18 F-FDG
memiliki akurasi tinggi dalam membedakan lesi ganas dengan jinak dengan
sensitifitas 97% dan spesifisitas 78%.13 Hasil positif palsu dapat ditemukan pada
proses peradangan seperti infeksi bakterial paru, tuberculosis dan penyakit
granulomatosa lain dapat juga menyebabkan akumulasi 18fFDG sehingga
spesifitas PET menjadi rendah.27,30 Hasil negatif palsu dapat terjadi pada beberapa
kondisi yaitu ukuran lesi yang sangat kecil <6mm, kondisi pasien yang
hiperglikemi dan tumor tersembunyi dengan akifitas metabolik yang rendah.
Karsinoma sel bronkioalveolar dan tumor karsinoid juga dapat memberikan hasil
negatif palsu.8,27 Penyebab positif dan negative palsu diringkas pada tabel 1.
Tabel 1. Penyebab Hasil Positif Palsu atau Negatif Palsu pada Penggunaan PET
Positif Palsu
Inflamasi akut
Fokal

keganasan

Negatif Palsu
Luka karena bedah Hiperglikemia
yang

kecil

atau Infeksi

mikroskopik

Keganasan derajat rendah

Hipermetabolisme otot
Fokus metabolic yang sangat berdekatan
Selain sensitifitas dan spesifisitas yang cukup tinggi, PET memiliki akurasi yang
lebih baik dibandingan CT dalam deteksi atau eksklusi keterlibatan nodul
mediastinum. Hasil metaanalisis menunjukkan sensitifitas 83%, spesifitas 91%
dan NPV 94,8%.8,13 Meskipun demikian, PET tetap hanya merupakan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti kanker paru hanya dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan invasif seperti biopsi transtorakal dan mediastinoskopi. 30

15

III.2.4. Gabungan PET/CT scan


Saat ini berkembang pencitraan yang menggabungkan PET dan CT secara
bersamaan. PET/CT Scan dapat meningkatkan sensitifitas dan spesifitas diagnosa
kanker paru. Dalam satu prosedur, CT membuat gambar anatomi organ dan
struktur di dalam tubuh, dan kemudian PET membuat gambar berwarna yang
menunjukkan perubahan fungsional bahan kimia atau lainnya dalam jaringan.
Perbandingan gambaran CT dan PET/CT dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Perbandingan gambaran CT dan PET/CT Scan


Penggabungan CT dan PET dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dari
lokasi tumor dan pertumbuhan atau penyebarannya dibandingkan penggunaannya
secara terpisah. Prosedur gabungan dapat meningkatkan kemampuan untuk
mendiagnosa kanker, menentukan seberapa jauh tumor telah menyebar,
merencanakan pengobatan, dan memantau respon terhadap pengobatan.8,31
Gabungan PET / CT juga dapat mengurangi jumlah tes pencitraan tambahan dan
prosedur lainnya.
Pemeriksaan gabungan PET / CT scan dapat membantu ahli radiologi
membedakan metatastasis dengan lesi jinak juga membedakan tumor berulang
dengan fibrosis pasca radiasi. Namun perlu diperhatikan nilai negative palsunya
yang cukup tinggi (sekitar 40%) pada kasus sel karsinoma bronkioalveolar.

III.2.5 MRI

16

MRI atau Magnetic Resonance Imaging adalah modalitas tambahan yang dapat
digunakan untuk melengkapi CT Scan. Secara umum MRI memiliki kelemahan
waktu pemeriksaan yang lama, lebih rumit, lebih mahal dan resolusi spasial yang
lebih rendah dibanding CT scan. Kekurangan ini juga disebabkan rendahnya
densitas proton, T2* yang pendek dan inhomogenitas lapangan magnetik
parenkim paru.32 Seleksi pasien yang ketat seperti pengguna implan, katup jantung
dan klaustrofobia juga menjadi keterbatasan. Untuk menilai parenkim paru, MRI
memiliki kelemahan akan banyaknya artefak yang disebabkan pergerakan dan
paucity proton pada udara parenkim.26
Meskipun demikian MRI memiliki keunggulan untuk mengevaluasi tumor di
daerah sulkus superior (Tumor Pancoast) ataupun tumor yang menginvasi
diafragma. MRI juga lebih superior dibanding CT scan untuk mengevaluasi
jaringan lunak, pleksus brakialis, pembuluh darah subklavia dan kanalis
spinalis.8,26

Penelitian lain yang dilakukan Akata dkk menunjukkan dynamic

respiratory MRI dapat mengevaluasi invasi dinding dada dengan sensitifitas dan
spesifisitas 100% dan 82,9%.33
Perkembangan teknik MRI dan penggunaan kontras gadolinium meningkatkan
kemampuan diagnostik MRI dalam kanker paru. MRI merupakan modalitas
pilihan untuk diagnosis dan staging kanker paru pada pasien dengan alergi kontras
iodine pada CT Scan ataupun dengan gangguan ginjal yang serius.
III.2.6 USG
Dalam diagnosa kanker paru, USG tidak banyak digunakan untuk mengevaluasi
tumor primer. USG Toraks dapat digunakan untuk mengevaluasi kelainan pleura.
Efusi pleura akan tampak seperti lapisan hipoechoic diantara pleura parietal dan
viscera. Bagian paru yang mengalami atelektasi dapat dilihat pergerakannya
melalui cairan pleura. Efusi ganas, lesi metastasis atau mesotelioma umumnya
terlihat sebagai gambaran hypoechoic. Gambaran tumor pancoast dengan USG
toraks lebih baik dibanding CT scan, tapi masih lebih baik digambarkan oleh
MRI.24

17

Pada penelitian Bandi dkk tahun 2008,34 ultrasound lebih sensitif dibanding CT
dalam mengevaluasi invasi dinding dada dengan sensitifitas 89% berbanding
42%.34 USG toraks juga dapat digunakan sebagai penuntun biopsi jarum. Namun
hal ini masih belum terlalu banyak dilakukan meskipun penggunaan USG toraks
lebih murah dan mudah jika dibanding CT scan. Keterampilan operator pengguna
USG toraks belum banyak sehingga masih jarang yang melakukan. Massa
subpleura, dinding dada dan dalam pleura dapat dibiopsi jarum dengan penuntun
USG toraks.24
III.3. STAGING
Setelah didapatkan informasi mengenai diagnosa kanker paru, tahap selanjutnya
adalah melakukan clinical staging. Umumnya diperlukan kombinasi beberapa
modalitas untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai staging kanker
paru. CT scan toraks dan abdomen, CT atau MRI otak dan bone scan
direkomendasikan sebagai pemeriksaan radiologi rutin untuk staging kanker paru
sel kecil.23 Pada kanker paru bukan sel kecil pilihan modalitas disesuaikan dengan
kondisi klinis yang ditemukan. Modalitas radiologi yang umumnya digunakan
adalah CT Scan, MRI, Brain CT, PET, PET/CT Scan, USG abdomen, Bone Scan
dan Bone Scintigrafi. Masing masing modalitas digunakan sesuai dengan tujuan
staging untuk mengevaluasi ukuran (T), keterlibatan KGB (N) dan metastasis (M).
III.1. Ukuran Tumor
Modalitas utama yang digunakan untuk mengevaluasi ukuran tumor adalah CT
scan thorax. Tumor T1 disubklasifisikasikan menjadi T1a (< atau = 2 cm) dan
T1b (>2 - < atau = 3 cm). Nodul berukuran kurang dari 3 cm secara teknik lebih
mudah direseksi. Informasi penting yang perlu dideskripsikan adalah posisi tumor
terhadap arteri pulmonalis utama. Tumor yang terletak dekat arteri pulmonalis
utama merupakan indikasi untuk pneumonektomi atau arterioplasti pulmonal. Hal
lain yang perlu dideskripsikan adalah apakah tumor melibatkan keseluruhan fisura
interlobaris atau hanya menyilang secara inkomplit. Keterangan mengenai hal ini
akan mempengaruhi pendekatan operasi yang akan dilakukan. 28

18

Tumor T2 disubklasifikasikan menjadi T2a (>3 - < atau = 5 cm) dan T2b (>5 - <
atau = 7 cm). Tumor juga dapat diklasifikasikan sebagai T2 jika tumbuh hingga
saluran napas besar (bronkus utama) tidak kurang dari 2 cm di bawah karina,
menuju pleura visceral atau membuat sebagian paru kolaps. Keterangan ini
penting disampaikan agar ahli bedah dapat mempertimbangkan kebutuhan
pneumonektomi atau reseksi. 13,28
Tumor berukuran >7cm atau tumbuh menginvasi dinding dada, pleura
mediastinum, diafragma, pericardium parietal, diklasifikasikan sebagai T3.
Adanya nodul tambahan di lobus yang sama dengan tumor primer, atelektasis,
pneumonitis seluruh lobus juga diklasifikasikan sebagai T3. Tumor yang terletak
kurang dari 2cm di dekat karina mungkin memerlukan pneumonectomy carinal.
Tingkat invasi dinding dada penting untuk disampaikan kepada ahli bedah karena
mempengaruhi luasnya reseksi yang direncanakan. Perluasan tumor ke dalam
jaringan lunak, struktur mediastinum ataupun tulang rusuk dapat dideskripsikan
melalui CT atau MRI dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang tidak jauh
berbeda.13 MRI merupakan modalitas pilihan staging kanker paru pada pasien
dengan alergi kontras iodine CT atau dengan gangguan ginjal yang serius.26
Tumor dengan nodul tambahan yang terletak di lobus lain ipsilateral atau tumbuh
ke area mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea, oesophagus, tulang
belakang, karina, dengan efusi pleura ganan atau efusi perikardial diklasifikasikan
sebagai T4.10,11 Pada stadium ini kontrol lokal dari penyakit adalah salah satu
aspek penting dari tatalaksana untuk meningkatkan kelangsungan hidup. Reseksi
bedah beberapa tumor T4 dapat dilakukan selama pasien memiliki status tampilan
baik dan tidak memiliki bukti penyakit sistemik. Oleh karena itu deskripsi stuktur
yang terlibat harus dilakukan secara teliti dan detil. Beberapa penelitian
menyarankan 18F FDG PET untuk membantu penilaian pleura. Nilai sensitifitas,
spesifisitas, positif predictif value meningkat jika dikombinasikan dengan CT. 27,28
Salah satu tumor T4 yang memerlukan reseksi adalah tumor sulkus superior
(tumor Pancoast). Hal yang harus dideskripsikan secara radiologis adalah
keterlibatan pleksus brakialis, perluasan ke tulang belakang hingga kanalis

19

spinalis. Tumor yang menginvasi vertebara merupakan kontraindikasi reseksi.


Keteribatan lebih dari 50% struktur tulang belakang menunjukkan prognosis
pembedahan yang lebih buruk. Pencitraan MRI paling berguna pada pasien
dengan tumor sulcus superior untuk menentukan apakah tumor telah menginvasi
pleksus brakialis, vena subklavia , atau tulang vertebra.8,26
Selain

dari

perpsektif

pembedahan,

pencitraan

radiologi

juga

harus

memperhatikan kepentingan radioterapi. Informasi radiologis mengenai tumor


primer yang penting untuk kepentingan radiasi adalah kondisi struktur yang
berdekatan dengan tumor khususnya paru-paru, sumsum tulang belakang,
kerongkongan, dan jantung, di mana toleransi radiasi membebankan kendala
dosis-volume. Modalitas radiologi yang dipilih harus dapat menggambarkan
dengan baik margin tumor dan sejauh mana invasi tumor ke dalam yang struktur
yang berdekatan.
Pemeriksaan CT scan toraks dapat menunjukkan lokasi dan ukuran semua
adenopati dada, termasuk dari mediastinum, hili, supraklavikula, paraesophageal,
aksila, dan regio retrocrural untuk memberikan petunjuk rencana radioterapi.
Whole-tumor dual-input perfusion CT dapat memberikan informasi mengenai
vaskularisasi (dual blood supply of tumors ) tumor yang membantu untuk
memprediksi efek dari infuse kemoterapi multiarterial pada kanker paru bukan sel
kecil stadium lanjut35
III.2 KELENJAR GETAH BENING
Untuk keterlibatan kelenjar getah bening, penderajatan dikategorikan atas Nx, No
s/d N3. Tidak adanya keterlibatan kelenjar getah bening dikategorikan sebagai N0.
Keterlibatan kelenjar getah bening paru dikategorikan sebagai N1. Adenopati
mediastinal ipsilateral atau subcarinal digolongkan sebagai N2. Klasifikasi N3
ditentukan jika didapatkan keterlibatan KGB paru kontralateral.
CT kurang ideal untuk mengevaluasi KGB mediastinum. Meskipun MSCT telah
meningkatkan kualitas pencitraan CT, namun perannya dalam penderajatan kanker
paru belum meningkat secara bermakna. Hal ini dikarenakan CT hanya

20

menunjukkan ukuran, bentuk dan lokasi KGB mediastinum. Kelenjar getah


bening mediastinum dapat dievaluasi lebih baik jika KGB terbesar yang
merupakan bagian dari drainase tumor dibandingkan dengan KGB terbesar di
seluruh mediastinum. KGB dikatakan abnormal jika short-axis diameter kurang
dari 10 mm dan perbedaan lebih dari 5 mm antara ukuran ini dengan KGB
terbesar di mediastinum.13,28
Pencitraan PET dengan FDG terbukti lebih akurat dibandingkan CT dan MRI.
(81-96%) dalam evaluasi keterlibatan kelenjar getah bening. PET juga berguna
untuk membedakan KGB hiperplastik dari KGB metastasis dan mendeteksi sel
metastasis dalam KGB yang berukuran normal. Salah satu kemajuan yang paling
menarik di FDG PET adalah pencitraan integrasi PET / CT, yang memungkinkan
resolusi anatomi yang lebih baik.

27,13

Jika dibandingkan dengan mediastinoskopi,

akurasi PET dalam mengevaluasi KGB adalah 56% dan 78%.8


III.3. METASTASIS
Kategori penderajatan berdasarkan ada atau tidaknya metastase jauh terdiri dari
M0 dan M1. M0 dimana tidak didapatkan metastasis jauh dan M1
disubklasifikasikan menjadi M1a (dengan nodul paru kontralateral, efusi pleura
maligna atau efusi perikardial) dan M1b (metastasis jauh seperti pada otak, hepar,
tulang, dan kelenjar adrenal). 12
Deteksi metastasis jauh merupakan tahapan yang penting pada penatalaksanaan
pasien kanker paru, karena biasanya akan merubah pengobatan pada pasien
kanker paru. Pada pasien yang sudah terjadi metastasis jauh, maka operasi
pengangkatan tumor tidak dapat dilakukan. Metastasis dapat terjadi pada sekitar
50% pasien kanker paru bukan sel kecil dan sekitar 60-80% pada kanker paru sel
kecil.
CT scan toraks dapat mengevaluasi kemungkinan metastasis intrapulmonal tapi
memiliki kelemahan dalam kemampuan deteksi metastasis jauh dan metastasis di

21

KGB mediastinum.24 Metastasis kanker paru dapat sampai ke kelenjar adrenal,


hati, otak, tulang, dan kelenjar getah bening.
PET Scan merupakan modalitas mutakhir yang unggul dalam penilaian metastasis
kanker paru. PET scan yang dilakukan seluruh tubuh dapat mengurangi tindakan
invasif yang tidak perlu pada pasien yang dicurigai memiliki metastasis. PET scan
seluruh tubuh lebih akurat dibandingkan dengan CT thorak dan otak, sidik tulang,
atau MRI dalam penentuan stadium pada pasien dengan kanker paru. Hasil
systematic review dan meta analisis menunjukkan sensitifitas, spesifisitas, LR +
dan LR dari PET/CT dalam mendeteksi metastasis jauh adalah 97,5%, 98,2%,
19,86 dan 0,06.36 Studi meta analisis yang dilakukan Xinhua Qu dkk tahun 2010
menyebutkan sensitifitas deteksi metastasis tulang pada kanker paru dengan
18

FDG-PETCT, 18FDG-PET, MRI dan Bone Scan adalah 92%, 87%, 77% dan

86% dengan spesifisitas 98%, 94%, 92% dan 88%. Studi tersebut menyimpulkan
bahwa baik

18

FDG-PETCT dan

18

FDG-PET adala modalitas yang lebih baik

untuk mendeteksi metastasis tulang dibanding MRI dan Bone Scan, 31


PET scan memiliki nilai prognostik dan berkorelasi sangat kuat dengan angka
harapan hidup pada pasien kanker yang mendapatkan pengobatan. Pasien dengan
hasil PET scan positif memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan pasien
yang hasil PET scan negatif. 31
PET masih belum banyak tersedia di Indonesia. Oleh karena itu jika secara klinis
diduga sudah terjadi metastasis jauh, perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan pada
lokasi yang dicurigai. Deteksi metastasis dapat dilakukan dengan menggunakan
CT Otak, MRI, USG abdomen, bone scan dan bone skintigrafi sesuai dengan
klinis pasien.
III.3.1. Metastasis ke adrenal dan hati
Pencitraan dengan CT scan thorax biasanya diperluas hingga mencakup hati dan
adrenal. Pada pemeriksaan CT scan thorax, tingkat deteksi metastasis adrenal
mencapai 20% pada presentasi awal. Identifikasi metastase adrenal sangat penting
karena reseksi metastase yang terisolir pada adrenal dikaitkan dengan peningkatan
angka kelangsungan hidup. Metastasis harus dapat dibedakan dari adrenal

22

adenoma yang dapat terjadi dalam 2% -10% dari populasi umum. Massa adrenal
dapat dianggap jinak jika memiliki nilai penyangatan kurang dari 10 HU pada CT
scan atau ada pengurangan 50% atau lebih Hounsfield unit pada 10 menit delayed
CT scan. 26,13
Jika gambaran CT kurang memuaskan, MRI atau PET berguna untuk karakterisasi
lebih lanjut. Analisis pergeseran kimia dengan MRI dapat membantu menentukan
apakah lesi adrenal jinak atau ganas. FDG PET juga merupakan metode yang
efektif untuk mengevaluasi massa adrenal karena dapat menunjukkan aktivitas
metabolik. Jika ketiga metode ini tidak menunjukkan apakah massa jinak atau
ganas, dianjurkan untuk biopsi dari lesi adrenal. 28
Evaluasi adanya metastasi hepar secara awal masih menjadi kontroversi. Setiap
lesi mencurigakan di hepar yang terdeteksi pada CT scan dada dianjurkan untuk
evaluasi lebih lanjut baik dengan CT abdomen, MRI ataupun biopsi. CT scan
memiliki nilai sensitivitas sekitar 85% dalam mendeteksi metastasis di hati. Nilai
yang sama mungkin juga dimiliki oleh MRI dan USG apabila dilakukan oleh
dokter yang berpengalaman. USG lebih baik dibandingkan dengan CT scan dalam
membedakan metastasis dari kista hati yang sering terlihat seperti jinak pada CT
scan.
III.3.2 Metastasis Otak
Metastasis otak dilaporkan pada 18% pasien dengan karsinoma paru bukan sel
kecil. Meskipun demikian, CT scan otak hanya dianjurkan pasien yang
menunjukkan tanda dan gejala kelainan neurologis. Angka kelangsungan hidup
yang lebih baik ditunjukkan pada reseksi metastasis otak soliter pada pasien
dengan kanker paru bukan sel kecil.
Kanker paru jenis karsinoma sel kecil dan adenokarsinoma merupakan kanker
paru yang sering bermetastasis ke otak. Dalam memberikan gambaran anatomi
otak, MRI lebih baik dibandingkan CT scan terutama anatomi di fossa posterior
yang berdekatan dengan dasar tengkorak. Pada pasien kanker paru dengan jenis

23

karsinoma bukan sel kecil, pencitraan otak tidak rutin dilakukan pada pasien tanpa
gejala karena angka kejadian untuk metastasis otak pada pasien tersebut hanya 24%.
III.3.3. Metastasis Tulang
Pada pasien kanker paru bukan sel kecil pemeriksaan untuk deteksi metastasis
tulang dengan radiografi tulang konvensional, bone survey, bone scan ataupun
MRI dianjurkan pada pasien dengan riwayat nyeri tulang fokal atau menunjukkan
peningkatan nilai alkalin phosphatase. Rekomendasi ini menarik untuk ditinjau
ulang karena hasil penelitian sebelumnya (90) dari FDG PET pada kanker paru
bukan sel kecil menunjukkan bahwa 13% dari pasien kanker paru tanpa gejala
tersebut sudah memiliki metastasis tulang.37,38
Bone survey adalah serangkaian pemeriksaan radiografik tulang konvensional
dengan sinar X. Pemeriksaan bone survey mencakup pemeriksaan bone survey I
pada kepala (AP-Lateral), vertebrae (AP-Lateral) , C1-S Pelvis (AP) dan bone
survey II pada extremitas (foto AP humerus dan femur) dan thorax (foto costae
AP/PA). Metastasis kanker paru pada tulang umumnya menunjukkan gambaran
lesi osteolitik.
Kelebihan bone survey adalah tidak memerlukan persiapan khusus dan tidak
memerlukan

zat

kontras.

Bone

survey

memiliki

kelemahan

dalam

memvisualisasikan kompresi sumsum tulang belakang. Pada kasus seperti ini


diperlukan bantuan CT atau MRI jika bone survey tidak menunjukkan kelainan
apapun pada lokasi dimana pasien mengeluh nyeri.
Bone scan atau skintigrafi tulang atau sidik tulang adalah pemeriksaan pencitraan
dengan menggunakan radiasi nuklir (sinar gamma) yang membantu mendiagnosa
kelainan pada tulang. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melengkapi bone survey.
Skintigrafi tulang digunakan untuk menentukan ada tidaknya metastasis ke tulang
dan mengevaluasi efektifitas terapi.

24

Skintigrafi menggunakan zat radioaktif yang disuntikkan melalui pembuluh darah.


Zat radioaktif ini akan memancarkan radiasi dalam jumlah yang sangat kecil. Oleh
karena itu, pemeriksaan ini memiliki risiko yang relatif lebih kecil dibanding sinar
X ray biasa. Radiasi yang dihasilkan akan hilang dalam waktu 2-3 hari. Reaksi
alergi dan reaksi anafilaksis dapat terjadi. Pemeriksaan pada wanita hamil ataupun
menyusui sebaiknya ditunda untuk mencegah paparan radiasi ke bayi, Jika
pemeriksaan harus dilakukan, maka ASI yang dihasilkan selama 2 hari setelah
pemeriksaan harus dibuang.
Sidik tulang dengan menggunakan radioisotop Tc-99m dapat dilakukan di bagian
kedokteran nuklir dan diindikasikan untuk pasien dengan keluhan nyeri tulang.
Pemeriksaan ini memiliki nilai sensitivitas hingga 95% untuk mendeteksi
metastasis, akan tetapi juga memiliki nilai positif palsu yang juga tinggi. Positif
palsu ini biasanya dapat disebabkan oleh penyakit degeneratif dan trauma.
Sehingga pemeriksaan ini perlu dikombinasikan dengan pencitraan anatomi.
Namun terkadang ditemukan perbedaan hasil antara sidik tulang dengan radiologi
karena sidik tulang sudah dapat mendeteksi sebelum terjadi 30% kerusakan pada
tulang, sedangkan pencitraan radiologi konvensional baru dapat mendeteksi
setelah terjadi > 30% kerusakan pada tulang. Metastasis di tulang belakang dapat
menyebabkan kompresi pada medula spinalis. Pada pasien tanpa keluhan, sidik
tulang hanya dapat mendeteksi 5% metastasis tulang, sehingga pemeriksaan ini
tidak disarankan untuk rutin digunakan sebelum operasi.31
III.4. EVALUASI DAN FOLLOW UP
III.4.1. Pasca pembedahan
Pada periode segera pasca operasi, radiografi toraks portable dapat dilakukan
untuk menilai ada tidaknya lobus yang kolaps, tension pneumotoraks, edema paru,
atau proses akut lainnya. Pada pasien yang telah menjalani pneumonectomi,
kebanyakan ahli bedah lebih suka memasukkan cairan dalam rongga pleura
menutupi tunggul bronkial sebelum dibuang. Ahli radiologi harus mengetahui hal
ini dalam memberikan interpretasi radiologis.

25

Beberapa bulan setelah operasi, pneumotoraks berkurang ukurannya, diganti


ekspansi cairan atau kompensasi dari paru-paru yang tersisa. Pasien dengan
pneumonectomy biasanya akan memiliki gambaran opasitas satu hemithorax
dengan pergeseran mediastinum ke sisi pembedahan dalam waktu 6-8 bulan.
Peningkatan komponen gas pasca operasi harus meningkatkan kepedulian
terhadap adanya fistula bronkopleural. Ahli radiologi harus rajin menilai situs
operasi untuk bukti kekambuhan dan adanya metastasis. 28
III.4.2 PASCA RADIOTERAPI
Pencitraan pasca radioterapi adalah bagian penting dari evaluasi pasca-perawatan.
Ahli radiologi harus tahu tanggal selesai pengobatan agar tepat menafsirkan
gambar. Pencitraan yang dilakukan dalam 3 bulan pengobatan mungkin
didapatkan gambaran groundglass opasitas yang menunjukkan pneumonitis
radiasi. Pada pencitraan lanjutan, akan terlihat nodul yang menyatu menjadi
daerah konsolidasi dan akhirnya akan menjadi komponen dari fibrosis radiasi.
Fibrosis radiasi terdiri dari daerah konsolidasi berbatas tegas terkait dengan
hilangnya volume dan bronkiektasis. Umumnya, fibrosis akan bertambah
perlahan-lahan selama 3-12 bulan setelah terapi radiasi berakhir dan stabil dalam
waktu 2 tahun. Ahli onkologi radiasi biasanya perlu mengkonfirmasi stabilitas
fibrosis dan adanya tumor berulang dengan modalitas radiologi.28
Temuan umum lainnya setelah terapi radiasi adalah efusi pleura dan perikardial.
Efusi pleura dan perikardium biasanya berkembang dalam waktu 6-9 bulan
setelah selesai terapi Efusi ini sebagian besar mungkin memerlukan thoracentesis
untuk menentukan keganasan. Deteksi sisa tumor dalam tumor primer dan
restaging KGB mediastinum dapat diperiksa dengan PET. Pneumonitis radiasi
juga dapat menunjukkan peningkatan aktifitas di gambar PET.24,27
Dari perspektif onkologi medik, pada dasarnya perlu diketahui perkembangan
tumor untuk menentukan apakah rejimen pengobatan harus dilanjutkan atau
diubah. Dengan kriteria RECIST (Response Evaluation Criteria in Solid Tumors)
WHO, respon pengobatan didefinisikan sebagai respon lengkap (tidak ada bukti

26

tumor), respon parsial (penurunan sedikitnya 30% ukuran tumor, penyakit yang
stabil (tidak ada perubahan ukuran tumor), dan progresif (peningkatan setidaknya
20% ukuran tumor). 28
III.4.3 DETEKSI KOMPLIKASI PASCA TERAPI
Kemoterapi dapat menyebabkan beberapa komplikasi, yang paling umum
diantaranya adalah infeksi dan toksisitas obat. Paru-paru adalah lokasi umum
sebagian besar infeksi serius pada pasien dengan kanker yang umumnya dapat
dideteksi dengan pencitraan.28 Toksisitas obat juga harus dipikirkan sebagai
diagnosis banding karena dapat menampilkn gambaran radiologis yang mirip
dengan infeksi, pneumonitis radiasi atau tumor berulang.24 Toksisitas obat
bermanifestasi sebagai gambaran ground glass opacity, kekeruhan interstitial
ataupun fibrosis. Beberapa agen kemoterapi seperti gemcitabine, etoposid, dan
paclitaxela telah dilaporkan menyebabkan cedera paru.28 Pada pasien dengan
terapi kuratif yang intensif, follow up penilaian komplikasi sebaiknya dilakukan
dalam 3-6 bulan. Dilanjutkan setiap 6 bulan dalam 2 tahun kemudian setahun
sekali.23 Follow up direkomendasikan menggunakan CT scan atau PET, PET/CT
Scan.

IV. KESIMPULAN
Masalah kanker paru memerlukan kerjasama multidisiplin. Modalitas radiologi
memegang peranan penting dalam deteksi dini, diagnosa, staging dan evaluasi
kanker paru. Setiap modalitas memiliki nilai kelebihan dan kekurangan masing

27

masing. Foto toraks merupakan modalitas awal dalam diagnosa kanker paru. CT
scan memiliki keunggulan untuk deteksi dini dan deskripsi tumor primer. PET
Scan dan PET/CT Scan berperan unggul untuk menentukan keganasan, staging,
keterlibatan KGB mediastinum dan deteksi metastasis jauh. MRI baik untuk
menilai invasi dinding dada, tumor di area sulkus superior dan metastasis ke otak.
USG digunakan untuk mengevaluasi metastasis hati. Bone scan dan Bone Survey
baik untuk mengevaluasi metastasis tulang. Penilaian radiologis yang akurat dapat
memperbaiki diagnosa dan tatalaksana pasien yang berpengaruh pada angka
harapan hidup penderita kanker paru.

V. DAFTAR PUSTAKA
1.

Jemal A, Bray F, Center MM, Ferlay J, Ward E, Forman D. Global cancer


statistics. CA Cancer J Clin. 2011 Apr;61(2):6990.

2.

Mortality Statistics: Deaths registered in England and Wales (Series DR)


[Internet]. Office for National Statistics. 2010 [cited 2015 Feb 25]. Available

28

from:
http://www.ons.gov.uk/ons/rel/vsob1/mortality-statistics--deathsregistered-in-england-and-wales--series-dr-/2009/index.html
3.

Laporan_Riskesdas2013.PDF [Internet]. [cited 2015 Feb 23]. Available


from:
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd2013/Laporan_Riskesdas
2013.PDF

4.

Zuelmi S. ANGKA KETAHANAN HIDUP SATU TAHUN PENDERITA


KANKER PARU DI RUANG RAWAT INAP PARU RSUD ARIFIN
ACHMAD PEKANBARU PERIODE MARET 2010 MARET 2011. 2013
Jul
26
[cited
2015
Feb
23];
Available
from:
http://repository.unri.ac.id/xmlui/handle/123456789/4741

5.

- S, Suryanto A. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan hidup satu


tahun penderita kanker paru stadium lanjut di RSUP Dr. Kariadi Semarang.
MEDICA Hosp - J Clin Med [Internet]. 2013 Feb 8 [cited 2015 Feb 23];1(1).
Available
from:
http://medicahospitalia.rskariadi.co.id/index.php/mh/article/view/35

6.

Lung Cancer Management | SOERATMAN | Indonesian Journal of Cancer


[Internet].
2014
[cited
2015
Feb
12].
Available
from:
http://www.indonesianjournalofcancer.or.id/ejournal/index.php/ijoc/article/view/251

7.

Indonesia PDP. Kanker Paru, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia. Jkt Balai Penerbit FKUI. 2003;

8.

Kernstine K, H RKLKK. Lung Cancer: A Multidisciplinary Approach to


Diagnosis and Management. Demos Medical Publishing; 2010. 477 p.

9.

Jett JR, Schild SE, Kesler KA, Kalemkerian GP. Treatment of small cell lung
cancer: Diagnosis and management of lung cancer, 3rd ed: american college
of chest physicians evidence-based clinical practice guidelines. Chest. 2013
Mei;143(5_suppl):e400S e419S.

10. Rami-Porta R, Crowley JJ, Goldstraw P. The revised TNM staging system
for lung cancer. Ann Thorac Cardiovasc Surg Off J Assoc Thorac Cardiovasc
Surg Asia. 2009 Feb;15(1):49.
11. Mirsadraee S, Oswal D, Alizadeh Y, Caulo A, van Beek EJ. The 7th lung
cancer TNM classification and staging system: Review of the changes and
implications. World J Radiol. 2012 Apr 28;4(4):12834.
12. UK CR. More about staging for lung cancer [Internet]. 2014 [cited 2015 Feb
25].
Available
from:
http://www.cancerresearchuk.org/aboutcancer/type/lung-cancer/treatment/more-about-lung-cancer-staging

29

13. UyBico SJ, Wu CC, Suh RD, Le NH, Brown K, Krishnam MS. Lung Cancer
Staging Essentials: The New TNM Staging System and Potential Imaging
Pitfalls. RadioGraphics. 2010 Agustus;30(5):116381.
14. Bakhtiar A. Kanker Paru dan Penatalaksanaannya. J Kedokt Unsyiah.
2013;6(1).
15. Gill RR, Jaklitsch MT, Jacobson FL. Controversies in Lung Cancer
Screening. J Am Coll Radiol. 2013 Dec 1;10(12):9316.
16. Aberle DR, Brown K. Lung Cancer Screening with CT. Clin Chest Med.
2008 Mar;29(1):114.
17. Patz EF, Black WC, Goodman PC. CT Screening for Lung Cancer: Not
Ready for Routine Practice. Radiology. 2001 Desember;221(3):58791.
18. Halperin EC, Perez CA, Brady LW. Perez and Bradys Principles and
Practice of Radiation Oncology. Lippincott Williams & Wilkins; 2008. 2152
p.
19. Kanne JP. Screening for Lung Cancer: What Have We Learned? Am J
Roentgenol. 2014 Mar 1;202(3):5305.
20. Lung Cancer: Screening Guidelines [Internet]. Memorial Sloan Kettering
Cancer
Center.
[cited
2015
Mar
6].
Available
from:
http://www.mskcc.org/cancer-care/adult/lung/screening-guidelines-lung
21. Computed Tomography (CT) Scans and Cancer Fact Sheet - National Cancer
Institute
[Internet].
[cited
2015
Mar
6]. Available
from:
http://www.cancer.gov/cancertopics/diagnosis-staging/ct-scans-fact-sheet
22. Black WC, Gareen IF, Soneji SS, Sicks JD, Keeler EB, Aberle DR, et al.
Cost-effectiveness of CT screening in the National Lung Screening Trial. N
Engl J Med. 2014;371(19):1793802.
23. Detterbeck FC, Lewis SZ, Diekemper R, Addrizzo-Harris D, Alberts WM.
Executive summary: Diagnosis and management of lung cancer, 3rd ed:
american college of chest physicians evidence-based clinical practice
guidelines. Chest. 2013 Mei;143(5_suppl):7S 37S.
24. Rakesh R. Misra AP. AZ of Chest Radiology. 1st ed. United Kingdom:
Cambridge University Press; 2007. 56-63 p.
25. Abdullah AA, Bujang N, Badril C, Hamdani C, Junadi P, Jusuf A, et al. The
Sensitivity and Specificity of a new Scoring System Using High Resolution
Computed Tomography to Diagnose Lung Cancer. Med J Indones. 2009
Sep;18(3):1818.
26. Laurent F, Montaudon M, Corneloup O. CT and MRI of Lung Cancer. Respir
Int Rev Thorac Dis. 2006;73(2):13342.

30

27. Amin Z, Kadarsan D, Ayudyasari W. The Role of Positron Emission


Tomography in Diagnosis and Evaluation of Lung Cancer. J Indones Med
Assoc. 2011;57(04).
28. Munden RF, Swisher SS, Stevens CW, Stewart DJ. Imaging of the Patient
with NonSmall Cell Lung Cancer. Radiology. 2005 Desember;237(3):803
18.
29. Choices NHS. PET scan - NHS Choices [Internet]. 2015 [cited 2015 Mar 3].
Available
from:
http://www.nhs.uk/conditions/PETscan/Pages/Introduction.aspx
30. Kagna O, Solomonov A, Keidar Z, Bar-Shalom R, Fruchter O, Yigla M, et
al. The value of FDG-PET/CT in assessing single pulmonary nodules in
patients at high risk of lung cancer. Eur J Nucl Med Mol Imaging. 2009
Jun;36(6):9971004.
31. Qu X, Huang X, Yan W, Wu L, Dai K. A meta-analysis of 18FDG-PETCT,
18FDG-PET, MRI and bone scintigraphy for diagnosis of bone metastases in
patients with lung cancer. Eur J Radiol. 2012 May 1;81(5):100715.
32. Imaging in Lung Cancer Staging. 2014 Feb 27 [cited 2015 Apr 9]; Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/362919-overview
33. Akata S, Kajiwara N, Park J, Yoshimura M, Kakizaki D, Abe K, et al.
Evaluation of chest wall invasion by lung cancer using respiratory dynamic
MRI. J Med Imaging Radiat Oncol. 2008 Feb;52(1):369.
34. Bandi V, Lunn W, Ernst A, Eberhardt R, Hoffmann H, Herth FJF. Ultrasound
vs. CT in detecting chest wall invasion by tumor: a prospective study. Chest.
2008 Apr;133(4):8816.
35. Li XS, Fan HX, Fang H, Huang H, Song YL, Zhou CW. Value of WholeTumor Dual-Input Perfusion CT in Predicting the Effect of Multiarterial
Infusion Chemotherapy on Advanced NonSmall Cell Lung Cancer. Am J
Roentgenol. 2014 Nov 1;203(5):W497505.
36. Lu Y-Y, Chen J-H, Liang J-A, Chu S, Lin W-Y, Kao C-H. 18F-FDG PET or
PET/CT for detecting extensive disease in small-cell lung cancer: a
systematic review and meta-analysis. Nucl Med Commun. 2014
Jul;35(7):697703.
37. Donato AT, Ammerman EG, Sullesta O. Bone scanning in the evaluation of
patients with lung cancer. Ann Thorac Surg. 1979 Apr;27(4):3004.
38. Li F, Engelmann R, L. Pesce L, Doi K, Metz CE, MacMahon H. Small Lung
Cancers: Improved Detection by Use of Bone Suppression Imaging
Comparison with Dual-Energy Subtraction Chest Radiography. Radiology.
2011 Desember;261(3):93749.

31

32

Anda mungkin juga menyukai