Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN PULMONOLOGI LAPORAN KASUS

DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

ABSES PARU

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1

SUPERVISOR PEMBIMBING:

dr. Bulkis Natsir, Sp.P

RESIDEN PEMBIMBING :

dr. La Ode Nazar

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN PULMONOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Kelompok : Kelompok 1

Judul Laporan Kasus : Abses Paru

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Pulmonologi dan

Kedokteran Respirasi Universitas Hasanuddin.

Makassar, 4 Oktober 2019

Supervisor Pembimbing,

dr. Bulkis Natsir, Sp.P


BAB I
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 59 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 29 September 2019
No. RM : 896743 – Perawatan IC Lantai 2

2. ANAMNESIS
 Keluhan Utama
Batuk
 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluhkan batuk dialami 2 minggu sebelum masuk rumah sakit,


dan memberat 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuh berdahak warna
putih. Nanah ada, darah tidak ada, batuk bertambah jika berbaring, sesak
napas ada, tidak dipengaruhi oleh aktivitas atau cuaca. Sesak bertambah jika
pasien terlentang. Nyeri dada tidak ada, Riwayat nyeri dada ada 3 minggu
yang lalu, dirawat di RS bayangkara selama 2 minggu lebih. Demam tidak
ada, Nafsu maan baik, nyeri ulu hati ada, terutama ketika batuk keras, mual
ada, muntah tidak ada.
 Riwayat Penyakit Dahulu

I. Riwayat penyakit TB Paru disangkal


II. Riwayat dislipidemia disangkal
III. Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama
 Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok 16 batang per hari selama 25 tahun
Riwayat minum alkohol tidak ada

3. PEMERIKSAAN FISIS
Status Generalis
Sakit sedang / gizi baik / composmentis

Tanda Vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 kali/ menit
Pernapasan : 20 kali/menit
Suhu : 36o C
Saturasi Oksigen : 96% dengan modalitas 3 lpm via nasal kanul

Pemeriksaan Kepala dan Leher


Mata : Konjungtiva pucat (-), ikterus (-), edema palpebra (-)
Leher : Dalam batas normal. Tanpa pembesaran kelenjar limphe.

Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis.
Palpasi : Vokal fremitus melemah pada hemithorax kanan,
setinggiICS IV.
Perkusi : Redup hemithorax kanan setinggi ICS IV.
Auskultasi : Bronkovesikuler, Rh (-/-) Wh (-/-).

Pemeriksaan ekstremitas
Edema pretibial (-), hangat.
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium (29/9/2019)

Test Type Result Normal Value

WBC 11 4,00-10,0 10^3/ul


RBC 3.41 4,50-6,50 10^6/ul
HGB 10.1 12,0-16,0 gr/dl
HCT 30.3 37,0-48,0 %
MCV 89 80,0-97,0 fL
MCH 29.6 26,5-33,5 Pg
MCHC 33.3 31,5-35,0 gr/dl
PLT 517 150-400 10^3/ul
NEUT 74.7 52,0-75,0 %
LYMPH 12.3 20,0-40,0 %
MONO 10.9 2,00-8,00 %
EO 1.3 1,00-3,00 %
BASO 0.8 0,00-0,10 %
GDS 123 <140 mg/dL
Ureum 15 10-50 gr/dL
Creatinin 0.68 <1.1 gr/dL
SGOT 22 <38 U/L
SGPT 10 <41 U/L
Albumin 2.4 3.5-5 gr/dL
Natrium 130 135-145 mmol/l
Kalium 3.8 3.5-5 mmol/l
Klorida 104 97-111 mmol/l

Kesan : anemia dan hipoalbuminemia


B. Foto X-ray Thorax (29-9-2019)
- Tampak konsolidasi inhomogen berbentuk bulat pada lapangan tengah
dan bawah paru kanan
- Tampak bercak infiltrat yang tersebar pada kedua lapangan paru
- Tampak perselubungan homogen pada hemithoraks kanan yang
menutupi sinus, difragma dan batas kanan jantung
- Cor : sulit dinilai, aorta normal
- Sinus dan diafragma kiri baik
- Retrosternal dan retrocardial clear space baik
- Tulang-tulang intak
- Jaringan lunak sekitar kesan baik
Kesan
- Round pnemonia
- Bronchopnemonia bilateral
- Efusi pleura dextra
-
C. Sputum BTA 3x pewarnaan (30/9/2019)
- Pewarnaan BTA 1 – Negatif
- Pewarnaan BTA 2 - Negatif
- Pewarnaan BTA 3 - Negatif
D. MSCT Thorax (1/10/2019)

- Tampak cairan (17HU) pada cavum pleura dextra disertai penebalan dan
penyangatan dinding pleura yang memberikan gambaran pleural split
sign.
- Tampak multiple cavitas berdinding tebal, disertai ganbaran airfluid
level didalamnya pada lobus superior paru bilateral
- Tampak konsolidasi inhomogen, ground glass opacity, garis-garis
fibrosis dan dilatasi bronchus yang memberikan signet ring sign dan tran
track pada segmen superior dan posterobasal lobus inferior paru sinistra
- Trachea di midline
- Tampak pembesaran kelenjar getah bening di subcarina (station 7)
- Cor : ukuran dalam batas normal, kalsifikasi pada aorta (atherosclerosis)
- Tidak tampak densitas cairan bebas pada cavum pleura sinistra
- Hepar, gaster, dan lien yang terscan dalam batas normal
- Tampak garis fraktur pada sisi lateral costa IV-VIII sinistra, callus
forming positif,korteks belum intak
Kesan
- Multiple cavitas paru dextra suspek absess DD/ cavitas TB
- TB paru lama aktif lesi luas disertai bronchectasis
- Emphyema pulmo dextra
- Fraktur sisi lateral costae IV-VIII sinistra

5. DIAGNOSIS
• Abses paru dextra
• Hiponatremia
6. TERAPI
1. Oksigen 4L/menit/nasal kanul
2. NaCl 0,9% infus 20 tpm
3. Metronidazole 500 gram/8 jam/intravena
4. Levofloxacin 750 gram /8 jam/intrvena
5. Clindamycin 300 gram/8 jam/oral
6. N-acethylsistein 200 gram/8 jam/oral
7. Ranitidin 50 mg/12 jam/intravena

7. PLANNING
1. Pasang WSD
2. Evaluasi darah rutin dan cairan elektrolit
3. Bronkoskopi

8. DIAGNOSIS
Abses paru dextra

Terduga TB paru kasus baru

Hipoalbuminemia
9. TERAPI
Infus NaCl 0.9% 20 TPM

Oksigen 4 liter/ menit/ nasal kanul

Metronidazole 500 mg/ 8 jam/ intravena

Ciprofloxacin 750 mg/24 jam/ intravena

Clindamycin 300 mg /8 jam/ oral

Ranitidin 50 mg / 12 jam/ intravena

N-Acetylcystein 200 mg/8 jam / oral


BAB II
DISKUSI
ABSES PARU PARU PADA PASIEN TN.S

Pembahasan
Abses paru merupakan salah satu penyakit infeksi paru yang
didefinisikan sebagai kematian jaringan paru-paru dan pembentukan rongga
yang berisi sel-sel mati atau cairan akibat infeksi destruktif berupa lesi
nekrotik pada jaringan paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas
yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih. 1
Abses paru dapat diklasifikasikan berdasarkan perlangsungan dan
penyebabnya. Berdasarkan perlangsungannya abses paru diklasifikasikan
menjadi akut dan kronik. Disebut akut apabila perlangsungannya terjadi
dalam waktu 4 minggu. Abses disebut kronik apabila perlangsungannya
terjadi dalam waktu > 4-6 minggu. Sedangkan menurut penyebabnya abses
paru dibagi menjadi abses primer dan sekunder. Abses primer muncul karena
nekrosis jaringan paru (akibat pnumonitis, infeksi dan neoplasma) ataupun
pneumonia pada orang normal. Disebut abses sekunder apabila disebabkan
kondisi sebelumnya seperti septik emboli (misalnya endokarditis sisi kanan),
obstruksi bronkus (misalnya aspirasi benda asing), bronkiektasis ataupun
pada kasus imunokompromis.1,2,7
Epidemiologi
Kebanyakan pasien dengan abses paru primer dapat sembuh dengan
antibiotik, dengan tingkat kesembuhan rata-rata sebanyak 90-95%.
Faktor host yang menyebabkan prognosis memburuk antara lain usia
lanjut, kekurangan tenaga, malnutrisi, infeksi HIV atau bentuk lain
imunosupresi, keganasan, dan durasi gejala lebih dari 8 minggu. Tingkat
kematian untuk pasien dengan status imunokompromis mendasar atau
obstruksi bronkial yang kemudian membentuk abses paru dapat mencapai
75%.
Organisme aerobik, yang biasanya didapat di rumah sakit, juga dapat
menghasilkan prognosa yang buruk. Sebuah studi retrospektif melaporkan
tingkat kematian abses paru yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan
gram negatif digabungkan adalah sekitar 20%.
Laki-laki mempunyai prevalensi yang dominan dalam kejadian abses
paru yang dilaporkan dalam beberapa seri kasus yang sudah dipublikasikan.
Abses paru pada umumnya terjadi pada pasien usia lanjut dikarenakan
meningkatnya penyakit periodontal dan peningkatkan prevalensi disfagi dan
aspirasi pada usia ini. Namun, serangkaian kasus dari warga yang tinggal di
pusat perkotaan dengan prevalensi alkoholisme tinggi melaporkan usia rata-
rata yang mengalami abses paru adalah 41 tahun.2
Orang-orang tua, orang-orang dengan immunocompromise, malnutrisi,
debilitated dan khususnya orang-orang yang tidak pernah mendapatkan
antibiotik adalah orang-orang yang paling rentan dan memiliki prognosis
yang paling buruk.3
Etiologi
Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, yaitu :
a. Kelompok bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi
- Bacteriodes melaninogenus
- Bacteriodes fragilis
- Peptostreptococcus species
- Bacillus intermedius
- Fusobacterium nucleatum
- Microaerophilic streptococcus
Bakteri anaerobik meliputi 89% penyebab abses paru dan 85%-100% dari
spesimen yang didapat melalui aspirasi transtrakheal.
b. Kelompok bakteri aerob
Gram positif: sekunder oleh sebab selain aspirasi
- Staphillococcus aureus
- Streptococcus micraerophilic
- Streptococcus pyogenes
- Streptococcus pneumoniae1,2,3,5
Abses sekunder adalah abses yang terjadi sebagai akibat dari kondisi
lain. Seperti contoh: Obstruksi bronkial (karsinoma bronkogenik);
penyebaran hematogen (endokarditis bakterial, IVDU); penyebaran infeksi
dari daerah sekitar (mediastinum, subphrenic).3
Gram negatif : biasanya merupakan sebab nosokomial
- Klebsiella pneumoniae
- Pseudomonas aeroginosa
- Escherichia coli
- Actinomyces species
- Nocardia species
- Gram negatif bacilli
c. Kelompok jamur (mucoraceae, aspergillus species), parasit, amuba,
mikobakterium1,2,3,5
Prevalensi tertinggi berasal dari infeksi saluran pernapasan dengan
mikroorganisme penyebab umumnya berupa campuran dari bermacam-macam
kuman yang berasal dari flora mulut, hidung, dan tenggorokan.
Faktor predisposisi terjadinya abses paru seorang pasien:
1. Ada sumber infeksi saluran pernafasan.
Infeksi mulut, tumor laring yang terinfeksi, bronkitis, bronkiektasis dan
kanker paru yang terinfeksi.
2. Daya tahan saluran pernafasan yang terganggu
Pada paralisa laring, aspirasi cairan lambung karena tidak sadar, kanker
esofagus, gangguan ekspektorasi, dan gangguan gerakan sillia.
3. Obstruksi mekanik saluran pernafasan karena aspirasi bekuan darah, pus,
bagian gigi yang menyumbat, makanan dan tumor bronkus. Lokalisasi
abses tergantung pada posisi tegak, bahan aspirasi akan mengalir menuju
lobus medius atau segmen posterior lobus inferior paru kanan, tetapi dalam
keadaan berbaring aspirat akan menuju ke segmen apikal lobus superior
atau segmen superior lobus interior paru kanan, hanya kadang-kadang
aspirasi dapat mengalir ke paru kiri.4
Patofisiologi
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara, yaitu aspirasi dan
hematogen. Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru bronkogenik
yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor, dan struktur
bronkial. Keadaan ini menyebabkan obstruksi bronkus dan terbawanya organisme
virulen yang akan menyebabkan infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut.
Dalam keadaan tegak, bahan aspirasi akan mengalir menuju ke lobus medius atau
segmen posterior lobus inferior paru kanan, tetapi dalam keadaan berbaring aspirat
akan menuju ke segmen apikal lobus superior atau segmen superior lobus inferior
paru kanan, hanya kadang-kadang saja aspirat dapat mengalir ke paru kiri.1,4
Kebanyakan abses paru muncul sebagai komplikasi dari pneumonia aspirasi
akibat bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki masalah
periodontal (jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri yang berasal dari celah gigi
yang sampai ke saluran pernapasan bawah akan menimbulkan infeksi. Tubuh
memiliki sistem pertahanan terhadap infeksi semacam ini, sehingga infeksi hanya
terjadi jika sistem pertahanan tubuh sedang menurun, seperti yang ditemukan pada
seseorang yang tidak sadar atau sangat mengantuk karena pengaruh obat penenang,
obat bius, atau penyalahgunaan alkohol. Selain itu dapat pula terjadi pada penderita
gangguan sistem saraf.1,2,3
Jika bateri tersebut tidak dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan
tubuh, maka akan terjadi pneumonia aspirasi dan dalam waktu 7-14 hari kemudian
akan berkembang menjadi nekrosis yang berakhir dengan pembentukan abses.2,3
Secara hematogen yang paling banyak terjadi adalah akibat septikemi atau
sebagai fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi pada bagian lain
tubuhnya seperti tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya
akan berbentuk abses multipel dan biasanya disebabkan oleh stafilokokus.
Abses hepar bakterial atau amubik bisa mengalami ruptur dan menembus
diafragma yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan
rongga pleura.1
Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang
terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada orang
yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi, bronkiektasis dan
gangguan imunitas.1
Diameter abses bervariasi dari beberapa milimeter sampai kavitas besar
dengan ukuran 5-6 cm. Lokalisasi dan jumlah abses bergantung pada bentuk
perkembangannya. Abses paru yang diakibatkan oleh aspirasi lebih banyak terjadi
pada paru kanan (lebih vertikal) daripada paru kiri, serta lebih banyak berupa
kavitas tunggal. Abses yang terjadi bersamaan dengan adanya pneumonia atau
bronkiektasis umumnya bersifat multipel, terletak di basal dan tersebar luas. Septik
emboli dan abses yang diakibatkan oleh penyebaran hematogen umumnya bersifat
mulitipel dan dapat menyerang bagian paru manapun.5,6
Abses bisa mengalami ruptur ke dalam bronkus, dengan isinya
diekspektoransikan ke luar dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara.
Kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura sehingga terjadi empiema yang
diikuti dengan terbentuknya fistula bronkopleura.1,6
Gejala klinis:

Abses paru-paru dibagi menurut durasinya menjadi akut (<6 minggu) dan
kronis (> 6 minggu) gejala biasanya tidak spesifik pada infeksi non-kavitas.
Gejalanya meliputi demam, batuk, sputum produktif dan sesak napas. Abses perifer
juga dapat menyebabkan nyeri dada pleuritik. Jika kronis, dapat terjadi penurunan
berat badan dan gejala konstitusional. Dalam beberapa kasus erosi ke dalam
pembuluh darah bronkial dapat terjadi secara tiba-tiba dan berpotensi menjadi
hempotisis masif yang mengancam nyawa. Abses paru primer yang disebabkan
oleh bakteri flora anaerob mulut biasanya hadir dalam mode sub-akut atau indolen
dengan gejala yang muncul beberapa minggu atau lebih lama. Kebersihan gigi yang
buruk memungkinkan terjadinya aspirasi. Abses anaerob jarang terjadi pada pasien
edentulous (kehilangan semua gigi asli) kecuali ada kelainan predisposisi pada
paru. Kelainan paru predisposisi termasuk karsinoma bronkogenik, obstruksi
bronkial, bronkiektasis, dan infark paru. COPD tidak mempengaruhi infeksi paru-
paru anaerob. Demam, malaise, keringat malam, dan batuk dengan dahak purulen
sering ditemukan, Nyeri pleuritik sering terjadi. Penurunan berat badan yang besar
dapat terjadi bahkan tanpa adanya keganasan yang mendasarinya. Menggigil
kedinginan hampir tidak pernah ditemukan pada penderita abses paru-paru. Pasien
mulai mencari fasilitas medis ketika produksi dahak berlebihan atau mengalami
nyeri pleuritik. Dahak berbau busuk sekitar 50% kasus dan pasien, atau orang yang
dekat dengan pasien abses paru mengeluh bau busuk atau napas yang berbau .
Hemoptisis dapat terjadi dalam beberapa kasus. Pasien dengan abses paru sering
ada riwayat kehilangan kesadaran sebelumnya yang disebabkan oleh kejang atau
kemabukan. Pemeriksaan fisik meliputi demam, kebersihan gigi-geligi yang buruk
serta penyakit gingiva dan temuan paru abnormal berupa infeksi parenkim, kelainan
cairan plerural, atau keduanya. Suara napas amforis atau kavernosa mungkin
terdengar. Dapat terjadi clubbing finger pada penderita abses paru. Anemia
penyakit kronis dan leukositosis ≥ 15.000 sel darah putih / mm3 sering terjadi.
Empiema dapat terjadi sekitar sepertiga dari kasus dan dapat disertai dengan atau
tanpa fistula bronkoplerural. Necrotizing pneumonia kadang-kadang terjadi dengan
cepat, biasanya muncul dalam 1 minggu setelah onset gejala. Penyebaran kelobus
lainya dan ruang pleura, demam tinggi, dan leukositosis > 20.000 / mm3sering
terjadi. Pneumonia yang berprogresif cepat disebut dengan gangren paru. 7

Diagnosis

Diagnosis biasanya dibuat dengan foto thorax radiologi yang menunjukkan


gambaran kavitas yang disertai air fluid level didalamnya. Biasanya, dinding
kavitas tebal dan tidak teratur, dan terdapat infiltrat paru di sekitarnya. Infiltrat
umumnya terlokalisasi di satu segmen atau lobus paru, dan adenopati hilar tidak
prominent. Jika ditemukan abses paru dengan lokasi multipel lobus , hal ini
menunjukkan terjadinya adanya gangguan mekanisme pertahan tubuh penderita.7

Computed tomography-Scan (CT-Scan) lebih sensitif daripada foto thorax


konvensional karena dapat mendeteksi kavitas yang kecil, memberikan bukti untuk
lesi obstruksi endobronkial, dan membedakan abses paru dari air fluid level di ruang
pleura. 7
Pada pasien tipikal rawan aspirasi dengan penyakit gingiva, dan dahak
berbau busuk, diagnosis terduga dapat dibuat, infeksi anaerob polimikroba dapat
diasumsikan, dan terapi dapat dimulai tanpa studi mikrobiologis. 7

Pewarnaan gram dahak pada pasien abses paru-paru menunjukkan banyak


neutrofil dan campuran flora dengan banyak bakteri yang berbeda secara
morfologis. Kultur rutin, biasanya menumbuhkan flora pernapasan normal. Karena
ekspektorasi dahak terkontaminasi oleh flora oral yang mengandung sejumlah besar
anaerob. Pasien tanpa gejala klasik dan pasien dengan abses paru sekunder harus
memiliki pewarnaan gram dan biakan dahak untuk bakteri aerob, mikobakterium,
jamur, dalam beberapa kasus parasit. 7

Terapi

1. Terapi antibiotic

Dalam sebuah studi oleh Smith dengan 1650 kasus dari periode 1935
hingga 1945, ketika sulfonamid tersedia, laporan tersebut menunjukkan
bahwa penggunaan agen-agen ini pada dasarnya tidak berdampak pada
penyembuhan abses paru-paru. Selama bertahun-tahun, penicillin dianggap
sebagai obat pilihan untuk infeksi anaerob "di atas diafragma". Dalam
beberapa dekade terakhir, bagaimanapun banyak flora mulut anaerob,
termasuk fusobacteria, Prevotella, spp., dan Bacteroides spp. non fraglis,
telah terbukti menghasilkan penisilinase. Penelitian prospektif telah
menunjukkan keunggulan clindamycin dibandingkan penisilin dalam
pengobatan abses paru-paru sebagaimana terjadi resolusi dahak busuk, dan
tingkat kekambuhan. 7

Metronidazole yang digunakan sebagai monoterapi telah


mengecewakan dan memiliki efek lebih rendah daripada klindamisin.
Metronidazole tidak aktif terhadap mikroaerofilikstreptokokus dan
beberapa kokus anaerob yang merupakan unsur khas infeksi paru-paru
anaerob. Metronidazol yang akan digunakan pada alkoholik harus
digunakan dengan hati-hati karena berpotensi untuk terjadi reaksi seperti
disulfiram8 Agen lain yang dapat diprediksi berguna untuk pengobatan
abses paru termasuk kombinasi penisilin dengan inhibitor beta-lacatamase,
karbapenem, dan kuinolon dengan aktivitas anaerobik yang baik
(moxifloxacin dan gatifloxacin). Satu studi telah menunjukkan hasil yang
9
sangat baik menggunakan IV diikuti oleh oral amoksisilin-klavulanat.
Penelitian lain telah menunjukkan bahwa ampisilin sulbaktam sebanding
dengan klindamisin ditambah sefalosporin. Dua penelitian terbaru telah
mendokumentasikan kemanjuran untuk moxifloxacin. kuinolon dengan
aktivitas yang baik melawan anaerob dan spesies streptokokus yang
umumnya terlibat dalam abses paru-paru. Tetrasiklin tidak boleh digunakan
karena resistensi luas pada banyak spesies anaerob. 10

Terapi konservatif standar untuk abses paru-paru dengan bakteri


anaerob adalah clindamycin (600 mg IV pada 8 jam), yang menunjukkan,
dalam beberapa uji klinis superioritas terhadap penisilin dalam hal tingkat
respons, durasi demam dan waktu untuk resolusi dahak bau busuk. 11. Dosis
oral amoksisilin-klavulanat untuk orang dewasa adalah (per 625 mg tab
(Klavulanat K 125 mg, amoksisilin trihidrat 500 mg), per 1 gram tab
(Kalvulanat K 125 mg, amoksisilin trihidrat 875 mg) setiap 8jam, 300
hingga 600 mg setiap 8 jam untuk klindamisin, dan 400 mg / hari untuk
moxifloxacin . 7
Dianjurkan untuk mengobati abses paru dengan antibiotik spektrum
luas, karena flora polimikroba, seperti Clindamycin (600 mg IV setiap 8
jam) dan kemudian dilanjutkan 300 mg PO stiap 8 jam atau kombinasi
ampicilin /sulbactam (1,5-3 gr IV stiap 6 h). 9Terapi alternatif adalah
piperacilin / tazobactam 3,375 gr IV setiap 6 jam atau Meropenem 1 gr IV
setiap 8 jam. 12Untuk MRSA dianjurkan untuk menggunakan linezolid 600
mg IV setiap 12 jam atau vankomisin 15 mg / kg BM setiap 12 jam. 13

Jawaban efektif untuk terapi antibiotik dapat dilihat setelah 3-4 hari,
kondisi umum akan membaik setelah 4-7 hari, tetapi penyembuhan total,
dengan normalisasi radiografi dapat dilihat setelah dua bulan. Jika tidak ada
perbaikan kondisi umum atau temuan radiografi, perlu dilakukan
bronkoskopi karena beberapa faktor etiologi lain dan ubah jenis
antibiotik.Durasi pengobatan: Tidak ada durasi yang disepakati secara
umum untuk pengobatan abses paru-paru. Pasien sering dirawat selama 6
hingga 8 minggu atau lebih. Satu studi menggunakan clindamycin untuk
mengobati abses anaerob menunjukkan hasil yang sangat baik selama 3
minggu terapi (Murtaza,2015) . Terapi antibiotik harus bertahan setidaknya
sampai demam, dahak busuk dan cairan abses telah sembuh, biasanya antara
5-21 hari untuk aplikasi antibiotik intravena dan kemudian per aplikasi oral,
14
total dari 28 hingga 48 hari Banyak penelitian merekomendasikan foto
thorax setiap minggu atau dua minggu sekali untuk melihat perbaikan klini.
Penghentian terapi dilakukan ketika foto thoraks sudah bersih atau masih
ada lesi residual kecil yang stabil.

2. Bronkoskopi

Bronkoskopi dilakukan untuk pasien yang tidak respon terhadap


manajemen medis dan pasien yang diduga ada tumor endobronkial.
Gambaran klinis terkait dengan keganasan dan ada indikasi yang mendasari
sejak dini untuk bronkoskopi untuk membantu mendiagnosis tumor
termasuk lokasi abses di segmen posterior lobus superior, segmen anterior
lobus inferior, kurangnya risiko aspirasi pada pasien edentulous, usia lebih
dari 50 tahun dikombinasikan dengan riwayat merokok yang kuat, dan
kurangnya gejala sistematis.

3. Bedah

Pembedahan reseksi sebelumnya adalah perawatan untuk abses paru-paru.


Saat ini, hampir semua pasien menanggapi terapi antimikroba yang tepat,
dan operasi dicadangkan untuk 10% hingga 15% pasien yang tidak
membaik dengan manajemen medis yang tepat. Drainase adalah langkah
terpenting dalam pengelolaan abses terlepas dari lokasi. Abses paru-paru,
berbeda dengan abses visceral lainnya, yang biasanya mengalir sendiri
melalui hubungan dengan saluran udara yang besar. Drainase ini
diindikasikan jika terdapat adanya air fluid level. Penyebab kegagalan
perawatan medis dan indikasi untuk pertimbangan lobektomi atau
pneumonektomi adalah abses dengan kavitas besar (> 8 cm) yang
disebabkan oleh organisme resisten seperti P.aeruginosa, neoplasma
obstrukti, dan perdarahan masif (jarang). Baru-baru ini, drainase
perkutaneus dipandu CT-Scan telah digunakan dengan aman dan berhasil
pada pasien yang tidak menanggapi pengobatan antimikroba. Pilihan
drainase lain yang belum sepenuhnya dievaluasi adalah penempatan
“pigtail catheter” secara endoskopi melalui jalan napas ke dalam kavitas,
dengan irigasi antibiotik.7

Kegagalan pengobatan dan respons terhadap terapi.

Keluhan demam yang berkurang dan perubahan perasaan yang subjektif


lebih baik dalam beberapa hari awal terapi antimikroba. Defervesensi (keadaan
dimana badan mulai merasa kebih baik) dapat diharapkan dalam 7 sampai 10 hari.
Demam persisten melebihi 2 minggu harus mengarah pada tes diagnostik untuk
menyingkirkan komplikasi, obstruksi atau keduanya (CT scan, bronkoskopi),
bersama dengan kultur untuk patogen yang tidak biasa, seperti jamur dan
mikobakteri. (Murtaza,2015)

Ketika manajemen medis gagal, paling sering penyebabnya adalah sekunder


dari efusi pleura yang tidak terdrainase, obstruksi endobronkial yang disebabkan
oleh neoplasma atau benda asing, organisme resisten, atau ukuran kavitas besar
(diameter> 8 cm). Foto thorax umumnya menunjukkan perburukan dalam sekitar
sepertiga dari pasien selama minggu pertama pengobatan .

Waktu rata-rata untuk penutupan kavitas adalah 4 minggu, dan untuk


infiltrat membutuhkan waktu dua kali lebih lama penyembuhan . Perbaikan
radiografi bisa lebih lambat dari penyembuhan klinis. Dalam beberapa pasien
dengan respon klinis yang membaik dengan pengobatan, kavitas sembuh perlahan
dan mungkin memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk
menghilang secara radiografi; sebagian kecil pasien sembuh dengan kavitas residu.
7
DAFTAR PUSTAKA
1. Rasyid, Ahmad. Abses Paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. 2009. Hal 2323-8
2. Kamangar, Nadar. Lung Abscess. Updated on [Aug 19, 2009] cited on Jan 3,
2013. Available at URL:
http://www.emedicine.medscape.com/article/299425-overview
3. Datin, Abhijit. Lung Abscess. Updated on [May 2, 2008] cited on Jan 3, 2013.
Available at URL: http://radiopaedia.org/articles/lung_abscess
4. Alsagaff, Hodd. Mukty, H. Abdul(ed). Dasar-dasar ilmu penyakit paru.
Surabaya: Airlangga University Press. 2005. Hal 136-40
5. Kumar, Vinay. Abbas, Abul. Robbins Basic Pathology, 8th edition.
Philadelphia: Saunders. 2007. Hal 515
6. Muller, Nestor. Franquet, Thomas. Soo Lee, Kyung. Imaging of Pulmonolgy
Infection, 1st edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
Chapter 1
7. Murtaza M, Iftikhar HM, Muniandy RK, et al. Lung Abscess: Diagnosis,
Treatment and Mortality. International Journal of Pharmaceutical Science
Invention. 2015;Vol.2 Is.2:37-41.
8. Hecht DW. Anaerobes: antibiotic resistance, clinical significance, and the
role of susceptibility testing. Anaerobe 2006;12:115-21. [PubMed] [Google
Scholar] [Ref list]
9. Fernandez Sabe N,Carratala J,Dorca J,et al.Efficacy and safety of sequential
amoxicillin-clavulanate in the treatment of anaerobic lung infections.Eur J
Clin Microbiol Infect Dis.2003;22:185-87.
10. Allewelt M, Schüler P, Bölcskei PL, et al. Ampicillin + sulbactam vs
clindamycin +/- cephalosporin for the treatment of aspiration pneumonia and
primary lung abscess. Clin Microbiol Infect 2004;10:163-70. [PubMed]
[Google Scholar] [Ref list]
11. Bartlett JG. How important are anaerobic bacteria in aspiration pneumonia:
when should they be treated and what is optimal therapy. Infect Dis Clin
North Am 2013;27:149-55. [PubMed] [Google Scholar] [Ref list]
12. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, et al. Infectious Diseases Society
of America/American Thoracic Society consensus guidelines on the
management of community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis
2007;44 Suppl 2:S27-72. [PubMed] [Google Scholar] [Ref list]
13. David MZ, Daum RS. Community-associated methicillin-resistant
Staphylococcus aureus: epidemiology and clinical consequences of an
emerging epidemic. Clin Microbiol Rev 2010;23:616-87. [PMC free article]
[PubMed] [Google Scholar] [Ref list]
14. Takayanagi N, Kagiyama N, Ishiguro T, et al. Etiology and outcome of
community-acquired lung abscess. Respiration 2010;80:98-105. [PubMed]
[Google Scholar] [Ref list]

Anda mungkin juga menyukai