Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

Pneumothorax Sekunder Ec Tb Paru

Oleh:
dr. M Tata Suharta

Pembimbing:
dr. Dramora Nepy Asmara, Sp.P, M.Biomed

RUMAH SAKIT Tk. II 02.05.01 dr. AK Gani


PALEMBANG
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas presentasi kasus yang berjudul “Pneumothorax
Sekunder Ec Tb Paru”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW.
yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Penyusunan presentasi kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Program Dokter Internsip di RS dr. AK Gani Palembang.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada dr. Dramora Nepy
Asmara, Sp.P, M.Biomed yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis dalam
penulisan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan-
rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga referat ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dan
memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya bidang kedokteran dan berguna bagi para
pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya dan ilmu
penyakit dalam pada khususnya.Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-
Nya kepada kita semua, Amin.

Palembang, Agustus 2019

Penulis
BAB I
Pendahuluan
Pneumothoraks adalah kumpulan dari udara atau gas dalam rongga pleura dari
dada antara paru-paru dan dinding dada. Pneumothoraks dapat terjadi spontan ataupun
akibat trauma. Pneumothoraks spontan bisa terjadi secara primer yaitu tanpa ada riwayat
penyakit paru yang mendasari sebelumnya (PSP), maupun secara sekunder yaitu
disebabkan penyakit paru yang mendasarinya (PSS) seperti TB paru, PPOK, pneumonia,
dan sebagainya.1
Insidens pneumothoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak
diketahui, pria lebih banyak daripada wanita dengan perbandingan 5:1. Dilaporkan di
Inggris jumlah kematian akibat pneumothoraks 1,26 per 1.000.000 orang per tahun pada
laki-laki dan 0,62 pada wanita. Angka kematian lebih tinggi pada lansia dan PSS.1
Pneumothoraks dapat terjadi akibat pecahnya permukaan paru-paru yang
memungkinkan udara keluar ke rongga pleura, biasanya akibat luka tusukan pada dinding
dada sehingga udara masuk ke rongga pleura. Namun tanpa trauma dada, pneumothoraks
juga dapat terjadi secara spontan. Pada PSP penyebabnya belum diketahui, sedangkan
pada PSS paling sering adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) sebanyak 70%
kasus. Penyebab lain bisa juga infeksi pada paru seperti TB paru, asma bronchial,
pneumonia, dan sebagainya. PSS terjadi akibat pecahnya bleb viseralis atau bulla
subpleura yang berhubungan dengan penyakit dasarnya.1 Pneumothoraks yang terjadi
akibat TB paru sudah banyak ditemukan, walaupun belum banyak penelitian yang
membahas hal ini. Probabilitas terjadinya pneumothoraks pada pasien TB paru mencapai
0,6-1,4%, sehingga dapat diestimasikan ±1% pasien dengan TB paru akan mengalami
pneumothoraks.2
Penanganan pneumothoraks tergantung dari luasnya. Tujuan dari penanganan
yang diberikan ialah mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan
kecenderungan untuk kambuh lagi. Prinsip penanganan meliputi observasi dan pemberian
tambahan oksigen, aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi
dengan atau tanpa pleurodesis, torakoskopi, dan torakotomi.1
Komplikasi yang dapat terjadi ialah tension pneumothoraks (3-5% pasien),
kegagalan respirasi akut, pio-pneumothoraks, hidro/hemo-pneumothoraks, henti jantung-
paru dan kematian. Pasien dengan pneumothoraks spontan hampir separuhnya akan
mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube
thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien yang dilakukan torakotomi
terbuka. Pasien yang sudah ditangani dengan baik umumnya jarang mengalami
komplikasi, kecuali pada PSS yang tergantung penyakit yang mendasari.1
BAB II
Status Pasien

Identifikasi
Nama : Triady Hermansyah
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 52 Tahun
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Jl Lunjuk Jaya Gg Mawar Palembang
Pekerjaan : Buruh
MRS : 17 Juli 2019
Nomor Rekam Medis : 0424816

Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan pada hari Rabu tanggal 18 Juli 2019 pukul 08:00 WIB

Keluhan Utama : Sesak nafas sejak 2 minggu SMRS


Keluhan Tambahan :-
Riwayat Perjalanan Penyakit
2 minggu SMRS pasien mengeluh sesak nafas, tidak dipengaruhi cuaca dan aktivitas.
dirasakan hilang timbul makin lama makin sesak dan berkurang bila istirahat. Pasien juga
mengeluh sakit dada sebelah kiri terutama bila sesak timbul. Demam (-) mual (-) muntah (-
) batuk (+) berdahak dirasakan hanya sesekali. Pasien juga merasa lemas hingga sulit untuk
beraktivitas. Terdapat penurunan berat badan, demam hilang timbul, dan batuk berulang. Nafsu
makan menurun, hanya 2-3 sendok setiap kali makan. Tidak ada mual atau muntah. Pasien lalu ke
IGD RS AK Gani.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat batuk lama : ada
 Riwayat penyakit kongenital : disangkal
 Riwayat trauma : disangkal
 Riwayat TB Paru : ada
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat Darah tinggi : disangkal
 Riwayat Kencing manis : disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


 Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga : disangkal

Riwayat Pengobatan
 Riwayat penggunaan obat-obatan : disangkal
 Riwayat alergi obat-obatan dan makanan : disangkal

Riwayat Kebiasaan dan Sosio-Ekonomi


 Pasien bekerja sebagai buruh, istri pasien tidak bekerja
 Pasien memiliki 3 anak
 Status sosioekonomi pasien menengah.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Frekuensi Nadi : 110 x/menit
Frekuensi Napas : 28 x/menit
Suhu : 36,4°C
SpO2 : 92%
Keadaan Spesifik
Kepala
 Bentuk : Simetris, Normosefali
 Rambut : Tebal, warna hitam, tidak mudah dicabut
 Mata : Pupil bulat , isokor, reflek cahaya (+/+), konjungtiva palpebra
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Hidung : Deformitas (-), sekret (-/-), napas cuping hidung (-)
 Telinga : Deformitas (-/-), fistula (-/-), sekret (-/-)
 Mulut : Sianosis (-), edema (-), stomatitis (-),cheilitis (-)
 Tenggorokan : Faring hiperemis (-), Arcus Faring Simetris, Tonsil T1-T1, uvula
di tengah
 Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-),

Thoraks
a. Paru-paru
 Inspeksi : Statis dan dinamis terdapat dada kiri tertinggal retraksi (-/-),
 Palpasi : Stem fremitus kiri redup, krepitasi (-/-), nyeri (-/-)
 Perkusi : Hipersonor pada lapang paru kiri bawah
 Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

b. Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis (-)
 Palpasi : Iktus kordis (-), thrill (-)
 Perkusi : Redup (+) normal, batas jantung-paru (+) normal
 Auskultasi : BJ I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
 Inspeksi : Datar, venektasi (-), jejas (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Lemas, hepar-lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
 Perkusi : Timpani (+) normal, pekak hati (+) normal

Ekstremitas
 Deformitas (-), jejas (-), akral hangat, CRT< 3”

Diagnosis Banding
 Pnemothorax Sinistra ec TB Paru
 Simple Pneumothorax TB

Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium Darah Rutin 16 Juni 2019
o Hb : 16,2 g/dL
o Ht : 46 %
o Leukosit : 12.500 mm3
o Trombosit: 288.000
 Rotgen Thorax Ap Lat
 EKG

Diagnosis Kerja
Pneumothorax Sinistra Sekunder ec TB Paru

Tatalaksana
 IVFD RL gtt XX/menit
 O2 2l/m via nasal canul
 OAT Kat 1
 Rencana Pemasangan WSD

Prognosis
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad functionam : bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
Tinjauan Pustaka

Pneumotoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura.3,4


Pneumotoraks diklasifikasikan menjadi :
1. Pneumotoraks spontan
a. Pneumotoraks spontan primer
Umumnya disebabkan oleh pecahnya suatu bleb subpleura yang biasanya terdapat di
daerah apeks paru. Factor resiko utama adalah merokok. Pada beberapa kasus
faktor herediter juga memegang peranan, umumnya penderita berpostur tinggi
dan kurus.
b. Pneumothoraks spontan sekunder
Terjadi sebagai komplikasi penyakit paru dasarnya (underlying lung disease).
Beberapa penyakit yang sering menjadi penyebab pneumothoraks antara lain
PPOK tipe emfisema dan tuberkulosis paru.
2. Pneumothoraks Traumatika
Terjadi sebagai akibat trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tajam di dinding
dada.
3. Pneumothoraks iatrogenik
Terjadi sebagai akibat tindakan medis yang dilakukan, misalnya akibat punksi pleura,
biopsy pleura, trans thoracal biopsy, dll

Pneumotoraks dibagi menjadi tension dan non tension pneumotoraks. Tension


pneumotoraks merupakan kondisi bahaya dimana terjadi akumulasi dari udara di ruangan pleura
ketika setiap bernafas. Peningkatan tekanan intratorakal menghasilkan pergeseran yang masif
dari mediastinum ke arah paru yang sehat dan menekan ke pembuluh darah. Sebaliknya
nontension pneumothoraks tidak begitu berbahaya karena tidak ada penumpukan udara dan
penekanan organ dalam paru. 3,4
Paru terdapat dalam rongga dada, dengan rongga yang sempit. Udara masuk ke dalam
rongga paru melewati diafragma. Rongga paru antara dinding dada dengan paru, jika udara
masuk ke dalam rongga ini, mau itu dari dalam paru (closed pneumothorax) ataupun dari luar
rongga dada (open pneumothorax) akan terjadi kolaps dari paru yang menyebabkan orang
tersebut menjadi tidak bisa bernafas, walaupun dengan saluran pernafasan yang terbuka. Jika
jaringan membentuk saluran satu arah yang dapat membuat udara masuk ke dalam rongga dada
namun tidak bisa kabur, maka tekanan yang terlalu tinggi terbentuk setiap kali bernafas, hal ini
diketahui sebagai tension pneumotoraks. Hal ini dapat menyebabkan kolaps dari system
pernafasan, kedua kondisi tersebut memerlukan tindakan yang cepat karena mengancam jiwa.
Pneumotoraks biasanya dimanifestasikan dengan nafas yang pendek- pendek yang timbul
tiba-tiba, batuk berdahak, sianosis dan rasa sakit pada dada, pundak dan tangan. Pada penetrasi
luka di dada akan terdengar suara udara melewati lubang pungtur yang berarti mengindikasikan
pneumotoraks . jika tidak dilakukan tindakan maka akan terjadi hipoksia yang kemudian akan
berujung pada kehilangan kesadaran dan koma. Selain itu terjadi pendorongan mediastinum ke
arah paru yang sehat yang dapat berakibat juga penekanan pada vena cava superior dan inferior
yang berakibat pada berkurangnya cardiac preload dan menurunnya cardiac output.
Pada kasus yang berat, pneumothoraks dapat berujung kematian dalam hitungan waktu
yang cepat. Pneumotoraks dapat juga terjadi pada suatu prosedur kesehatan seperti pemasangan
kateter intravena, pada vena subclavia atau vena jugularis. 3,4
Patogenesis3,4
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesothelial, ditunjang oleh jaringan
ikat, pembuluh darah dan kapiler serta saluran limfatikus. Rongga pleura dibatasi oleh dua
lapisan tipis mesothelial, terdiri dari pleura parietalis yang melapisi otot-otot, dinding dada,
tulang dan kartilago, diafragma dan mediastinum. Dan pleura viseralis yang melapisi paru, dan
menyusup ke semua fisura. Rongga pleura yang normal terisi cairan (10-20 mL) dan berfungsi
sebagai pelumas di antara kedua lapisan pleura.

Pneumotoraks Spontan Primer3,4


Pneumotoraks spontan primer terjadi karena robeknya suatu kantong udara dekat pleura
viseralis. Penelitian secara patologis membuktikan bahwa pasien pneumotoraks spontan yang
parunya direseksi tampak adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk bulla yang
dibatasi pleura fibrotik yang menebal, sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri sebagian lagi
oleh jaringan paru emphiematous.
Proses terbentuknya bulla belum diketahui, banyak pendapat menyatakan terjadinya kerusakan
bagian apeks paru berhubungan dengan iskemia atau peningkatan distensi pada alveoli di
daerah apeks patu akibat tekanan pleura yang lebih negatif.
Pecahnya alveoli berhubungan dengan obstruksi check-valve pada saluran nafas kecil
sehingga timbul distensi tuang udara bagian distalnya.

Pneumotoraks Spontan Sekunder3,4


Pneumotoraks Spontan Sekunder terjadi karena pecahnya bulla viseralis dan sering
berhubungan dengan penyakit paru yang mendahului.
Patogenesis pneumotoraks Spontan Sekunder multifaktorial, umumnya terjadi akibat
komplikasi PPOK, tuberkulosis, asma, penyakit paru infiltratif lain (pneumonia supuratif,
pneumocystis Carinii).
Pneumotoraks spontan Sekunder umumnya lebih berat daripada pneumotoraks spontan
primer, karena pada pneumotoraks spontan sekunder terdapat penyakit paru yang sebelumnya
mendahuluinya.
Mekanisme TB Paru disertai Pneumotoraks 4,5,6
Pneumotoraks yang terjadi pada penderita TB adalah suatu komplikasi. Keadaan ini
terdapat pada proses pneumotoraks sekunder dimana terjadi pada ruptur lesi paru yang terletak
dekat permukaan pleura sehingga udara inspirasi memperoleh akses ke rongga pleura. Lesi
pleura ini juga dapat terjadi pada penyakit emfisema, abses paru, karsinoma, dan banyak proses
lainnya.4 Berbeda dengan pneumotoraks spontan primer, pada pneumotoraks spontan sekunder
keadaan penderita tampak serius dan kadang-kadang mengancam kehidupan karena adanya
penyakit paru yang mendasarinya.6Pneumotoraks spontan sekunder terjadi oleh karena pecahnya
bleb yang berada di sub pleura viseralis dan sering ditemukan di daerah apeks lobus superior dan
inferior. Terbentuknya bleb akibat perembesan udara melalui alveoli yang dindingnya ruptur
kemudian melalui jaringan intersisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di sub pleura viseralis.
Sebab pecahnya dinding alveolus ini belum diketahui dengan pasti, diduga ada dua faktor yaitu
penyakit paru dan peningkatan tekanan intraalveolar akibat batuk. 5
Alveoli disangga oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan mudah robek, apabila alveoli
tersebut melebar dan tekanan didalam alveoli meningkat maka udara masuk dengan mudah
menuju ke jaringan peribronkovaskuler. Gerakan nafas yang kuat, infeksi dan obstruksi
endobronkial merupakan beberapa faktor presipitasi yang memudahkan terjadinya robekan
selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat mengoyak jaringan fibrotik
peribronkovaskular. Robekan pleura kearah yang berlawanan dengan tilus akan menimbulkan
pneumotoraks sedangkan robekan yang mengarah ke tilus dapat menimbulkan
pneumomediastinum
Dalam suatu laporan kasus The Indian Journal of Chest Diseases & Allied Sciences bahwa
Tuberkulosis miliar dan kejadian pneumotoraks bilateral adalah suatu komplikasi yang jarang
terjadi. Adapun patomekanismenya masih belum jelas. Diduga bahwa terjadi pembentukan
daerah kecil konfluen nodul miliaria subpleural yang mengalami caseation dan nekrosis
kemudian pecah dan masuk ke dalam ruang pleura sehingga menyebabkan pneumotoraks.

Tuberkulosis5
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacteria. Pada
manusia kebanyakan yang menginfeksi adalah Mycobacterium tuberculosis. Selain itu terdapat juga
Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium canetti, dan Mycobacterium microti.
Biasanya tuberkulosis menyerang paru, namun dapat juga menyerang Central Nervus System, sistem
limfatikus, sistem urinaria, sistem pencernaan, tulang, sendi dan lainnya.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram positif,
berukuran 0,4 – 3 μ, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan
kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis
bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia.
Selain Mycobacterium tuberculosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis
adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti.
Patogenesis5
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan mempermudah proses
penularan dan berperan sekali dalam peningkatan jumlah kasus TB
Penularan TB biasanya melalui udara, yaitu dengan inhalasi droplet nukleus yang mengandung
basil TB. Hanya droplet nukleus ukuran 1-5 mikron yang dapat melewati atau menembus sistem
mukosilier saluran napas sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkiolus maupun alveolus.

Gambar 2. Tuberkulosis menyebar lewat udara

Di bronkiolus dan alveolus inilah basil tuberkulosis berkembang biak dan menyebar melalui
saluran limfe dan aliran darah tanpa perlawanan yang berarti dari pejamu karena belum ada kekebalan
awal. Di dalam alveolus makrofag akan memfagositosis sebagian basil tuberkulosis tetapi belum mampu
membunuhnya. Sebagian basil TB dalam makrofag umumnya dapat tetap hidup dan berkembang biak dan
menyebar melalui saluran limfe regional maupun melalui aliran darah sehingga dapat mencapai berbagai
organ tubuh. Di dalam organ tersebut akan terjadi transfer antigen ke limfosit.
Basil TB hampir selalu dapat bersarang di sumsum tulang, hepar dan limfe tetapi tidak selalu
dapat berkembang biak secara luas. Basil TB di lapangan atas paru, ginjal, tulang, dan otak lebih mudah
berkembang biak terutama sebelum imunitas spesifik terbentuk.
Imunitas spesifik yang terbentuk biasanya cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan
basil TB lebih lanjut. Dengan demikian lesi TB akan sembuh dan tidak ada tanda dan gejala klinis. Pada
sebagian kasus imunitas spesifik yang terbentuk tidak cukup kuat sehingga terjadi penyakit TB dalam 12
bulan setelah infeksi dan pada sebagian penderita TB terjadi setelah lebih dari 12 bulan setelah infeksi.
Kurang lebih 10% individu yang terkena infeksi TB akan menderita penyakit TB dalam beberapa
bulan atau beberapa tahun setelah infeksi. Kemungkinan menjadi sakit TB lebih besar pada balita,
pubertas dan akil balik. Keadaan yang menyebabkan turunnya imunitas memperbesar kemungkinan sakit
TB, misalnya karena infeksi HIV dan pemakaian kortikosteroid atau obat imunosupresif lainnya yang
lama, demikian juga pada diabetes melitus.
Hipersensitivitas terhadap beberapa komponen basil TB dapat dilihat pada uji kulit dengan
tuberkulin yang biasanya terjadi 2-10 minggu setelah infeksi.
Dalam waktu 2-10 minggu ini juga terjadi cell-mediated immune response. Setelah terjadi infeksi
pertama, basil TB yang menyebar ke seluruh badan suatu saat di kemudian hari dapat berkembang biak
dan menyebabkan penyakit. Penyakit TB dapat timbul dalam 12 bulan setelah infeksi, tapi dapat juga
setelah 1 tahun atau lebih. Lesi TB paling sering terjadi di lapangan atas paru.
Tuberkulosis post primer dimulai dengan serangan dini, yang umumnya terletak di segmen apikal
dari lobus superior maupun anterior. Sarang dini mula-mula berbentuk suatu sarang pneumonik kecil.
Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan berikut :
1. Direabsorbsi kembali dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat.
2. Sarang tadi mula-mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan jaringan fibrosis.
Selanjutnya akan membungkus diri, menjadi lebih keras, terjadi perkapuran dan akan sembuh
dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga terjadi bahwa sarang tadi menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas, bila jaringan keju dibatukan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kavitas mula-mula
berdinding tipis, lama-lama dindingnya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik). Yang kemudian
akan terjadi :
- Mungkin belum kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru, sarang ini akan
mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan di atas.
- Dapat memadati dan membungkus diri (encapsulated) dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin juga aktif kembali mencair lagi
dan menjadi kavitas lagi.
- Kavitas bisa juga menjadi bersih dan menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya
mengecil. Mungkin berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, dan menciut kelihatan seperti
bintang (stellate shaped).
- Sarang-sarang aktif, eksudatif.
- Sarang-sarang yang terletak antara aktif dan sembuh.
Gambar 3. Tuberkel

Apabila kavitas yang terbentuk ini pecah maka akan terjadi pneumotoraks di mana udara dari
dalam paru akan masuk ke dalam rongga pleura sehingga paru menjadi kolaps. 5
Diagnosis
Anamnesis :
Sesak nafas (didapatkan pada 80-100% kasus)
Nyeri dada ( didapatkan pada 75-90% kasus)
Batuk-batuk (didapatkan pada 25-35% kasus)

Pemerikasaan fisik :
Pada pneumotoraks yang kecil, biasanya hanya menimbulkan takikardia ringan dan gejala yang
tidak khas. Pada pneumotoraks yang besar, biasanya didapatkan takikardia berat, hipotensi
serta:Inspeksi : dinding dada yang terkena tertinggal pada pergerakan, pergeseran mediastinum
atau trakea
Palpasi : taktil fremitus menurun
Perkusi : bisa normal atau meningkat (hipersonor)
Auskultasi : VBS menurun, Vocal resonan menurun sampai menghilang

Pemeriksaan penunjang :
 Analisis gas darah arteri memberikan gambaran hipoksemia meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan.
 Pada pemeriksaan foto toraks bisa didapatkan daerah hiperlusen, corkan vaskular
paru menghilang, dengan garis paru pada sisi medial

Hilangnya suara pernafasan dalam stetoskop dapat mengindikasikan bahwa paru tidak
memenuhi rongga dada. Tanda ini disertai oleh hipersonor pada pemeriksaan perkusi di dinding
dada menambah dugaan pneumotoraks. Pemeriksaan koin test dapat positif. Jika tanda-tanda
pneumotoraks meragukan maka dilakukan foto rontgen, namun pada hipoksia berat atau ada
tanda-tanda tension pneumotoraks maka penanganan terhadap pneumotoraks tersebut dilakukan
pertama kali. Pada posisi supine rongent akan didapatkan deep sulcus sign, yang
dikarakteristikan sebagai sudut rendah lateral dari costophrenicus pada sisi yang terinfeksi.
Tempat di mana rusuk dan diafragma bertemu terlihat lebih rendah pada rontgen dengan deep
sulcus sign memberikan diagnostik pneumotoraks.

Diagnosis Banding
- Miokardium infark akut:
nafas yang pendek dan sakit dada, namun sakit dada pada MI biasanya spesifik seperti di
hancurkan, sentral dan menyebar ke daerah rahang, tangan kiri atau perut. Namun pasien
dengan MI bisa juga superinfeksi dengan penyakit paru.
- Emphysema :
kehilangan fungsi jaringan paru dan digantikan dengan rongga berudara yang juga
menyebabkan nafas yang pendek-pendek, berkurangnya asupan udara dan meningkatnya
resonansi pada pemeriksaa. Emphysema merupakan penyakit kronik, bedanya emphysema
difus sedangkan pneumothorax local, anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto rontgen harus
dilakukan dan dinilai teliti sehingga dapat didapatkan hasil yang akurat.

Penatalaksanaan
Setelah diagnosis yang tepat ditegakan maka observasi yang cermat perlu dilaksanakan.
Bila pasien sesak nafas sekali maka dilakukan pemasangan WSD (water sealed drainage). Pada
pasien yang gawat sekali maka pemasangan WSD harus segera dilakukan dengan menusukan
jarum ke rongga pleura yang berfungsi sebagai penyelamat.
Tujuan dari penatalaksanaan pneumotoraks adalah mengeluarkan udara dari rongga
toraks dan mencegah pneumotoraks yang berulang. Pada simple pneumothorax minimal (<15%
hemithorax) biasanya dilakukan pengobatan konservatif, karena akan sembuh sendiri dengan
sendirinya, tidak perlu invasive kemudian penderita harus istirahat di tempat tidur selama
beberapa hari dan observasi keluhan sesak dan tanda-tanda vital. Kemudian berikan oksigen 2-4
L dan obati penyakit dasar yang menyebabkan pneumotoraks. Untuk memeriksanya apakah ada
perbaikan atau tidak maka dilakukan foto rontgen berulang kemudian dibandingkan antara yang
lama dan baru. Pneumotoraks yang terlalu kecil membutuhkan thoracostomy tabung dan terlalu
besar untuk tidak dilakukan tindakan maka dilakukan aspirasi dengan kateter kecil.
Pada tensional pneumotoraks atau simple pneumothorax > 15% hemithoraks dengan
dispnea berat, gangguan respirasi, hipoksia arteri yang nyata (PO2 <55 mmHg), kolaps total
total pada satu paru, pembesaran pneumothorax bilateral, harus segera dilakukan pemasangan
pipa torakostomi (chest tube). Teknik pengeluaran (drainage) udara keluar dari rongga pleura
dapat dilakukan dengan :
- Simple aspirasi
- Pemasangan WSD (water sealed drainage)
Panduan pengobatan TB5,6

Kasus paru BTA + , kasus BTA -,


lesi luas kasus berat, tiba di luar paru 2RHZE/4RH 2RHZE/4R3H3

Kambuh, gagal Sesuai uji 2RHZES/1RHZE


5R3H3E3
TB paru pengobatan berulang Sesuai lamanya 2RHZES/1RHZE
pengobatan 5R3H3E3
sebelumy. Lama
berhenti obat dan
keadaan klinis
bakteriologis &
radiologis saat ini
TB paru BTA - 2RHZ/4RH 2RHZ/4R3H3
kronik Sesuai uji resistensi H seumur hidup
MDR TB Sesuai uji resistensi H seumur hidup
+ quinolon

Pendekatan DOTS5,6
DOTS adalah strategi yang telah direkomendasi oleh WHO dalam pelaksanaan program
penanggulangan TB. Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi. Sesuai dengan rekomendasi WHO, maka strategi DOTS terdiri atas 5
komponen, yaitu sebagai berikut.
-komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.
-Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
-Pengobatan dengan panduan OTA jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas
menelan obat (PMO)
-Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
-Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program
penganggulangan TBC
Sumber penularan dan case finding5,6

Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan melakukan kontak erat
dengan anak tersebut. Pelacakan dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum
(pelacakan sentripetal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnestik, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang, yaitu uji tuberkulin.

Aspek sosial ekonomi5,6

Pengobatan tuberkulosis tidak terlepas dari masalah sosio ekonomi, karena pengobatan TB
memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka
memerlukan biaya yang cukup besar. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar
mengetahui tentang tuberkulosis. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi.
Daftar Pustaka
1. Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks spontan. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo
AW, Simadibrata MK, Setiyohadi B, Syam AF. Ilmu penyakit dalam edisi 6.
Jakarta: Interna Publishing. 2014. h. 1063-1068.
2. Freixinet JR, Caminero JA, Marchena J, Rodriguez PM, Casimiro JM, Hussein M.
Spontaneous pneumothorax and tuberculosis: long term follow-up. Eur Respir J.
2011;38:126–131.
3. FK UI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV, Jilid II. Jakarta: 2006, Hal 988-
1000, 1063-1068
4. Loddenkemper, R dan Frank, W, 2003, Pleural Disease in Respiratory Medicine,
3rd Edition, Vol. 2, Hal 1184-1937
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Jakarta: 2006, Hal 8-32
6. WHO Guidelines for The Management of Drug-Resistant Tuberculosis, 2nd Edition.
Geneva: 1997

Anda mungkin juga menyukai