Oleh:
dr. M Tata Suharta
Pembimbing:
dr. Dramora Nepy Asmara, Sp.P, M.Biomed
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas presentasi kasus yang berjudul “Pneumothorax
Sekunder Ec Tb Paru”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW.
yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Penyusunan presentasi kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Program Dokter Internsip di RS dr. AK Gani Palembang.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada dr. Dramora Nepy
Asmara, Sp.P, M.Biomed yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis dalam
penulisan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan-
rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga referat ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dan
memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya bidang kedokteran dan berguna bagi para
pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya dan ilmu
penyakit dalam pada khususnya.Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-
Nya kepada kita semua, Amin.
Penulis
BAB I
Pendahuluan
Pneumothoraks adalah kumpulan dari udara atau gas dalam rongga pleura dari
dada antara paru-paru dan dinding dada. Pneumothoraks dapat terjadi spontan ataupun
akibat trauma. Pneumothoraks spontan bisa terjadi secara primer yaitu tanpa ada riwayat
penyakit paru yang mendasari sebelumnya (PSP), maupun secara sekunder yaitu
disebabkan penyakit paru yang mendasarinya (PSS) seperti TB paru, PPOK, pneumonia,
dan sebagainya.1
Insidens pneumothoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak
diketahui, pria lebih banyak daripada wanita dengan perbandingan 5:1. Dilaporkan di
Inggris jumlah kematian akibat pneumothoraks 1,26 per 1.000.000 orang per tahun pada
laki-laki dan 0,62 pada wanita. Angka kematian lebih tinggi pada lansia dan PSS.1
Pneumothoraks dapat terjadi akibat pecahnya permukaan paru-paru yang
memungkinkan udara keluar ke rongga pleura, biasanya akibat luka tusukan pada dinding
dada sehingga udara masuk ke rongga pleura. Namun tanpa trauma dada, pneumothoraks
juga dapat terjadi secara spontan. Pada PSP penyebabnya belum diketahui, sedangkan
pada PSS paling sering adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) sebanyak 70%
kasus. Penyebab lain bisa juga infeksi pada paru seperti TB paru, asma bronchial,
pneumonia, dan sebagainya. PSS terjadi akibat pecahnya bleb viseralis atau bulla
subpleura yang berhubungan dengan penyakit dasarnya.1 Pneumothoraks yang terjadi
akibat TB paru sudah banyak ditemukan, walaupun belum banyak penelitian yang
membahas hal ini. Probabilitas terjadinya pneumothoraks pada pasien TB paru mencapai
0,6-1,4%, sehingga dapat diestimasikan ±1% pasien dengan TB paru akan mengalami
pneumothoraks.2
Penanganan pneumothoraks tergantung dari luasnya. Tujuan dari penanganan
yang diberikan ialah mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan
kecenderungan untuk kambuh lagi. Prinsip penanganan meliputi observasi dan pemberian
tambahan oksigen, aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi
dengan atau tanpa pleurodesis, torakoskopi, dan torakotomi.1
Komplikasi yang dapat terjadi ialah tension pneumothoraks (3-5% pasien),
kegagalan respirasi akut, pio-pneumothoraks, hidro/hemo-pneumothoraks, henti jantung-
paru dan kematian. Pasien dengan pneumothoraks spontan hampir separuhnya akan
mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube
thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien yang dilakukan torakotomi
terbuka. Pasien yang sudah ditangani dengan baik umumnya jarang mengalami
komplikasi, kecuali pada PSS yang tergantung penyakit yang mendasari.1
BAB II
Status Pasien
Identifikasi
Nama : Triady Hermansyah
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 52 Tahun
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Jl Lunjuk Jaya Gg Mawar Palembang
Pekerjaan : Buruh
MRS : 17 Juli 2019
Nomor Rekam Medis : 0424816
Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan pada hari Rabu tanggal 18 Juli 2019 pukul 08:00 WIB
Riwayat Pengobatan
Riwayat penggunaan obat-obatan : disangkal
Riwayat alergi obat-obatan dan makanan : disangkal
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Frekuensi Nadi : 110 x/menit
Frekuensi Napas : 28 x/menit
Suhu : 36,4°C
SpO2 : 92%
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Simetris, Normosefali
Rambut : Tebal, warna hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Pupil bulat , isokor, reflek cahaya (+/+), konjungtiva palpebra
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-/-), napas cuping hidung (-)
Telinga : Deformitas (-/-), fistula (-/-), sekret (-/-)
Mulut : Sianosis (-), edema (-), stomatitis (-),cheilitis (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), Arcus Faring Simetris, Tonsil T1-T1, uvula
di tengah
Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-),
Thoraks
a. Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis terdapat dada kiri tertinggal retraksi (-/-),
Palpasi : Stem fremitus kiri redup, krepitasi (-/-), nyeri (-/-)
Perkusi : Hipersonor pada lapang paru kiri bawah
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
b. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis (-)
Palpasi : Iktus kordis (-), thrill (-)
Perkusi : Redup (+) normal, batas jantung-paru (+) normal
Auskultasi : BJ I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), jejas (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, hepar-lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani (+) normal, pekak hati (+) normal
Ekstremitas
Deformitas (-), jejas (-), akral hangat, CRT< 3”
Diagnosis Banding
Pnemothorax Sinistra ec TB Paru
Simple Pneumothorax TB
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium Darah Rutin 16 Juni 2019
o Hb : 16,2 g/dL
o Ht : 46 %
o Leukosit : 12.500 mm3
o Trombosit: 288.000
Rotgen Thorax Ap Lat
EKG
Diagnosis Kerja
Pneumothorax Sinistra Sekunder ec TB Paru
Tatalaksana
IVFD RL gtt XX/menit
O2 2l/m via nasal canul
OAT Kat 1
Rencana Pemasangan WSD
Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
Tinjauan Pustaka
Tuberkulosis5
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacteria. Pada
manusia kebanyakan yang menginfeksi adalah Mycobacterium tuberculosis. Selain itu terdapat juga
Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium canetti, dan Mycobacterium microti.
Biasanya tuberkulosis menyerang paru, namun dapat juga menyerang Central Nervus System, sistem
limfatikus, sistem urinaria, sistem pencernaan, tulang, sendi dan lainnya.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram positif,
berukuran 0,4 – 3 μ, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan
kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis
bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia.
Selain Mycobacterium tuberculosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis
adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti.
Patogenesis5
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan mempermudah proses
penularan dan berperan sekali dalam peningkatan jumlah kasus TB
Penularan TB biasanya melalui udara, yaitu dengan inhalasi droplet nukleus yang mengandung
basil TB. Hanya droplet nukleus ukuran 1-5 mikron yang dapat melewati atau menembus sistem
mukosilier saluran napas sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkiolus maupun alveolus.
Di bronkiolus dan alveolus inilah basil tuberkulosis berkembang biak dan menyebar melalui
saluran limfe dan aliran darah tanpa perlawanan yang berarti dari pejamu karena belum ada kekebalan
awal. Di dalam alveolus makrofag akan memfagositosis sebagian basil tuberkulosis tetapi belum mampu
membunuhnya. Sebagian basil TB dalam makrofag umumnya dapat tetap hidup dan berkembang biak dan
menyebar melalui saluran limfe regional maupun melalui aliran darah sehingga dapat mencapai berbagai
organ tubuh. Di dalam organ tersebut akan terjadi transfer antigen ke limfosit.
Basil TB hampir selalu dapat bersarang di sumsum tulang, hepar dan limfe tetapi tidak selalu
dapat berkembang biak secara luas. Basil TB di lapangan atas paru, ginjal, tulang, dan otak lebih mudah
berkembang biak terutama sebelum imunitas spesifik terbentuk.
Imunitas spesifik yang terbentuk biasanya cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan
basil TB lebih lanjut. Dengan demikian lesi TB akan sembuh dan tidak ada tanda dan gejala klinis. Pada
sebagian kasus imunitas spesifik yang terbentuk tidak cukup kuat sehingga terjadi penyakit TB dalam 12
bulan setelah infeksi dan pada sebagian penderita TB terjadi setelah lebih dari 12 bulan setelah infeksi.
Kurang lebih 10% individu yang terkena infeksi TB akan menderita penyakit TB dalam beberapa
bulan atau beberapa tahun setelah infeksi. Kemungkinan menjadi sakit TB lebih besar pada balita,
pubertas dan akil balik. Keadaan yang menyebabkan turunnya imunitas memperbesar kemungkinan sakit
TB, misalnya karena infeksi HIV dan pemakaian kortikosteroid atau obat imunosupresif lainnya yang
lama, demikian juga pada diabetes melitus.
Hipersensitivitas terhadap beberapa komponen basil TB dapat dilihat pada uji kulit dengan
tuberkulin yang biasanya terjadi 2-10 minggu setelah infeksi.
Dalam waktu 2-10 minggu ini juga terjadi cell-mediated immune response. Setelah terjadi infeksi
pertama, basil TB yang menyebar ke seluruh badan suatu saat di kemudian hari dapat berkembang biak
dan menyebabkan penyakit. Penyakit TB dapat timbul dalam 12 bulan setelah infeksi, tapi dapat juga
setelah 1 tahun atau lebih. Lesi TB paling sering terjadi di lapangan atas paru.
Tuberkulosis post primer dimulai dengan serangan dini, yang umumnya terletak di segmen apikal
dari lobus superior maupun anterior. Sarang dini mula-mula berbentuk suatu sarang pneumonik kecil.
Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan berikut :
1. Direabsorbsi kembali dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat.
2. Sarang tadi mula-mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan jaringan fibrosis.
Selanjutnya akan membungkus diri, menjadi lebih keras, terjadi perkapuran dan akan sembuh
dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga terjadi bahwa sarang tadi menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas, bila jaringan keju dibatukan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kavitas mula-mula
berdinding tipis, lama-lama dindingnya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik). Yang kemudian
akan terjadi :
- Mungkin belum kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru, sarang ini akan
mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan di atas.
- Dapat memadati dan membungkus diri (encapsulated) dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin juga aktif kembali mencair lagi
dan menjadi kavitas lagi.
- Kavitas bisa juga menjadi bersih dan menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya
mengecil. Mungkin berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, dan menciut kelihatan seperti
bintang (stellate shaped).
- Sarang-sarang aktif, eksudatif.
- Sarang-sarang yang terletak antara aktif dan sembuh.
Gambar 3. Tuberkel
Apabila kavitas yang terbentuk ini pecah maka akan terjadi pneumotoraks di mana udara dari
dalam paru akan masuk ke dalam rongga pleura sehingga paru menjadi kolaps. 5
Diagnosis
Anamnesis :
Sesak nafas (didapatkan pada 80-100% kasus)
Nyeri dada ( didapatkan pada 75-90% kasus)
Batuk-batuk (didapatkan pada 25-35% kasus)
Pemerikasaan fisik :
Pada pneumotoraks yang kecil, biasanya hanya menimbulkan takikardia ringan dan gejala yang
tidak khas. Pada pneumotoraks yang besar, biasanya didapatkan takikardia berat, hipotensi
serta:Inspeksi : dinding dada yang terkena tertinggal pada pergerakan, pergeseran mediastinum
atau trakea
Palpasi : taktil fremitus menurun
Perkusi : bisa normal atau meningkat (hipersonor)
Auskultasi : VBS menurun, Vocal resonan menurun sampai menghilang
Pemeriksaan penunjang :
Analisis gas darah arteri memberikan gambaran hipoksemia meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan.
Pada pemeriksaan foto toraks bisa didapatkan daerah hiperlusen, corkan vaskular
paru menghilang, dengan garis paru pada sisi medial
Hilangnya suara pernafasan dalam stetoskop dapat mengindikasikan bahwa paru tidak
memenuhi rongga dada. Tanda ini disertai oleh hipersonor pada pemeriksaan perkusi di dinding
dada menambah dugaan pneumotoraks. Pemeriksaan koin test dapat positif. Jika tanda-tanda
pneumotoraks meragukan maka dilakukan foto rontgen, namun pada hipoksia berat atau ada
tanda-tanda tension pneumotoraks maka penanganan terhadap pneumotoraks tersebut dilakukan
pertama kali. Pada posisi supine rongent akan didapatkan deep sulcus sign, yang
dikarakteristikan sebagai sudut rendah lateral dari costophrenicus pada sisi yang terinfeksi.
Tempat di mana rusuk dan diafragma bertemu terlihat lebih rendah pada rontgen dengan deep
sulcus sign memberikan diagnostik pneumotoraks.
Diagnosis Banding
- Miokardium infark akut:
nafas yang pendek dan sakit dada, namun sakit dada pada MI biasanya spesifik seperti di
hancurkan, sentral dan menyebar ke daerah rahang, tangan kiri atau perut. Namun pasien
dengan MI bisa juga superinfeksi dengan penyakit paru.
- Emphysema :
kehilangan fungsi jaringan paru dan digantikan dengan rongga berudara yang juga
menyebabkan nafas yang pendek-pendek, berkurangnya asupan udara dan meningkatnya
resonansi pada pemeriksaa. Emphysema merupakan penyakit kronik, bedanya emphysema
difus sedangkan pneumothorax local, anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto rontgen harus
dilakukan dan dinilai teliti sehingga dapat didapatkan hasil yang akurat.
Penatalaksanaan
Setelah diagnosis yang tepat ditegakan maka observasi yang cermat perlu dilaksanakan.
Bila pasien sesak nafas sekali maka dilakukan pemasangan WSD (water sealed drainage). Pada
pasien yang gawat sekali maka pemasangan WSD harus segera dilakukan dengan menusukan
jarum ke rongga pleura yang berfungsi sebagai penyelamat.
Tujuan dari penatalaksanaan pneumotoraks adalah mengeluarkan udara dari rongga
toraks dan mencegah pneumotoraks yang berulang. Pada simple pneumothorax minimal (<15%
hemithorax) biasanya dilakukan pengobatan konservatif, karena akan sembuh sendiri dengan
sendirinya, tidak perlu invasive kemudian penderita harus istirahat di tempat tidur selama
beberapa hari dan observasi keluhan sesak dan tanda-tanda vital. Kemudian berikan oksigen 2-4
L dan obati penyakit dasar yang menyebabkan pneumotoraks. Untuk memeriksanya apakah ada
perbaikan atau tidak maka dilakukan foto rontgen berulang kemudian dibandingkan antara yang
lama dan baru. Pneumotoraks yang terlalu kecil membutuhkan thoracostomy tabung dan terlalu
besar untuk tidak dilakukan tindakan maka dilakukan aspirasi dengan kateter kecil.
Pada tensional pneumotoraks atau simple pneumothorax > 15% hemithoraks dengan
dispnea berat, gangguan respirasi, hipoksia arteri yang nyata (PO2 <55 mmHg), kolaps total
total pada satu paru, pembesaran pneumothorax bilateral, harus segera dilakukan pemasangan
pipa torakostomi (chest tube). Teknik pengeluaran (drainage) udara keluar dari rongga pleura
dapat dilakukan dengan :
- Simple aspirasi
- Pemasangan WSD (water sealed drainage)
Panduan pengobatan TB5,6
Pendekatan DOTS5,6
DOTS adalah strategi yang telah direkomendasi oleh WHO dalam pelaksanaan program
penanggulangan TB. Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi. Sesuai dengan rekomendasi WHO, maka strategi DOTS terdiri atas 5
komponen, yaitu sebagai berikut.
-komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.
-Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
-Pengobatan dengan panduan OTA jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas
menelan obat (PMO)
-Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
-Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program
penganggulangan TBC
Sumber penularan dan case finding5,6
Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan melakukan kontak erat
dengan anak tersebut. Pelacakan dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum
(pelacakan sentripetal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnestik, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang, yaitu uji tuberkulin.
Pengobatan tuberkulosis tidak terlepas dari masalah sosio ekonomi, karena pengobatan TB
memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka
memerlukan biaya yang cukup besar. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar
mengetahui tentang tuberkulosis. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi.
Daftar Pustaka
1. Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks spontan. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo
AW, Simadibrata MK, Setiyohadi B, Syam AF. Ilmu penyakit dalam edisi 6.
Jakarta: Interna Publishing. 2014. h. 1063-1068.
2. Freixinet JR, Caminero JA, Marchena J, Rodriguez PM, Casimiro JM, Hussein M.
Spontaneous pneumothorax and tuberculosis: long term follow-up. Eur Respir J.
2011;38:126–131.
3. FK UI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV, Jilid II. Jakarta: 2006, Hal 988-
1000, 1063-1068
4. Loddenkemper, R dan Frank, W, 2003, Pleural Disease in Respiratory Medicine,
3rd Edition, Vol. 2, Hal 1184-1937
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Jakarta: 2006, Hal 8-32
6. WHO Guidelines for The Management of Drug-Resistant Tuberculosis, 2nd Edition.
Geneva: 1997